Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebijakan merupakan fitur penting dari organisasi publik dan swasta. Dalam

bidang kesehatan, kebijakan kesehatan sangat penting dalam pengambilan

keputusan dan penyebaran sumber daya. Secara tradisional, analisis kebijakan telah

didefinisikan sebagai penentuan apa yang pemerintah lakukan, mengapa mereka

melakukannya, dan untuk apa. Perbedaan itu membuat pemerintah memperhatikan

proses pemeriksaan tata kelola dan advokasi kebijakan, bukan dengan murni fokus

pada pemerintahan sendiri. Hal ini terutama terjadi pada ruang lingkup kesehatan.

(Coveney, 2010)

Perspektif dalam analisis kebijakan, Weimer dan Vining dalam Coveny

(1989) dalam jurnalnya menunjukkan pendekatan terhadap analisis kebijakan

sangat bergantung pada kerangka disiplin yang digunakan dan tujuan analisisnya.

Analisis kebijakan bisa dikatakan membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk

melihat potensi dampak pada kapasitas masyarakat. Menurut Collins dalam Coveny

(2005) telah dengan mudah meringkas jumlah metodologi analisis kebijakan yang

dapat dilakukan dan diterapkan untuk kesehatan masyarakat. Dunn dalam Coveny

(1981) mengemukakan hal itu terdapat enam prosedur umum yang harus

dimasukkan ke dalam analisis kebijakan: memecahkan, mendefinisikan,

memprediksi, meresepkan, menggambarkan, dan mengevaluasi. Portney dalam


Coveny (1986) mengemukakan tiga pendekatan untuk analisis kebijakan:

pembuatan kebijakan, penyebab dan konsekuensi, dan resep kebijakan. . Dimana

kebijakan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata

menjangkau seluruh rakyat.

Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal

organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk

menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat,. Kebijakan akan menjadi rujukan

utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku.

Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan

Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation).

Sistem kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari pembangunan kesehatan.

Intinya sistem kesehatan merupakan seluruh aktifitas yang mempunyai tujuan

utama untuk mempromosikan, mengembalikan dan memelihara kesehatan. Sistem

kesehatan memberi manfaat kepada mayarakat dengan distribusi yang adil. Sistem

kesehatan tidak hanya menilai dan berfokus pada tingkat manfaat yang diberikan,

tetapi juga bagaimana manfaat itu didistribusikan.

Perencanaan kesehatan adalah sebuah proses untuk merumuskan masalah-

masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, menentukan kebutuhan dan

sumber daya yang tersedia, menetapkan tujuan program yang paling pokok dan

menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Perencanaan akan menjadi efektif jika perumusan masalah sudah dilakukan

berdasarkan fakta-fakta dan bukan berdasarkan emosi atau angan-angan saja.

Fakta-fakta diungkap dengan menggunakan data untuk menunjang perumusan


masalah. Perencanaan juga merupakan proses pemilihan alternative tindakan yang

terbaik untuk mencapai tujuan. Perencanaan juga merupakan suatu keputusan untuk

mengerjakan sesuatu di masa akan datang, yaitu suatu tindakan yang diproyeksikan

di masa yang akan datang.


BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Kebijakan

Anderson dalam Purwanto (2014:12) mengatakan bahwa kebijakan

adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seorang

pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. Dengan

kata lain habwa kebijakan adalah sejumlah keputusan yang dibuat oleh

mereka yang bertanggujawab dalam bidang tertentu. Menurut Anderson

dalam Purwanto (2014:12), mengklasifikasi kebijakan menjadi dua:

a. Kebijakan substantif yaitu apa yang harus dikerjakan oleh

pemerintah.

b. Kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana kebijakan tersebut

diselenggarakan.

Ilmu kebijakan mengembangkan kajian tentang :

a. Hubungan antara pemerintah dan swasta.

b. Distribusi kewenangan dan tanggung jawab antar berbagai lever

pemerintah.

c. Hubungan antara penyususunan kebijakan dan pelaksanaannya

d. Ideologi kebijakan.

e. Makna reformasi kesehatan.


Faktor konsektual yang mempengaruhi kebijakan :

a. Faktor situasional yaitu faktor yang tidak permanen khusus yang dapat

berdampak pada kebijakan (contohnya kekeringan).

b. Faktor struktural yaitu bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah

( contohnya sistem politik).

c. Faktor budaya yaitu faktor yang berpengaruh seperti hirarki, gender,

stigma, terhadap penyakit tertentu.

d. Faktor internasional atau eksogen yaitu faktor yang menyebabkan

peningkatan ketergantungan antarnegara dan mempengaruhi

kemandirian dan kerjasama internasional.

Tahap analisis kebijakan :

a. Perumusan masalah

Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan

masalah.

b. Forecasting

Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari

diterapkannya alternatif kebijakan termasuk apabila tidak membuat

kebijakan.

c. Rekomendasi kebijakan

Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif

dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat

bersih paling tinggi.


d. Monitoring kebijakan

Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu

dari diterapkannya alternatif kebijakan termasuk kendal-kendalanya.

e. Evalusi kebijakan

Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan.

Masalah kebijakan adalah nilai kebutuhan atau kesempatan yang belum

terpenuhi, tetapi dapat di identifikasikan dan dicapai melalui tindakan

publik. Tingkat permasalahan tergantung pada nilai dan kebutuhan apa yang

dipandang paling penting.

Menurut Dunn (1988) beberapa karakteristik masalah pokok dari

masalah kebijakan, adalah :

1. Interdepensi (saling ketergantungan)

Interdepensi yaitu kebijakan suatu bidang seringkali mempengaruhi

masalah kebijakan lainnya. Kondisi ini menunjukkan adanya sistem

masalah. Sistem masalah ini membutuhkan pendekatan holistik, satu

masalah dengan yang lain tidak dapat di pisahkan dan diukur sendirian.

2. Subjektif

Subjektif yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah

diindentifikasi, diklasifikasi dan dievaluasi secara selektif. Contoh:

Populasi udara secara objektif dapat diukur (data). Data ini menimbulkan
penafsiran yang beragam (Gangguan kesehatan, lingkungan, iklim, dll).

Muncul situasi problematis, bukan problem itu sendiri.

3. Artifisial

Artifisial yaitu pada saat diperlukan perubahan situasi problematis,

sehingga dapat menimbulkan masalah kebijakan.

4. Dinamis

Dinamis yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana

perubahan yang terus menerus. Pemecahan masalah justru dapat

memunculkan masalah baru, yang membutuhkan pemecahan masalah

lanjutan.

5. Tidak terduga

Tidak terduga yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan

kebijakan dan sistem masalah kebijakan.

2.2 Kebijakan Kesehatan

Menurut UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan

adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan

setiap orang hidup produktif secara soial dan ekonomi (RI, 1992).

Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan yang dikembangkan

oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu keadaan yang sempurna yang

mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya terbebasnya dari


penyakit atau kecacatan. Menurut UU No. 36, tahun 2009 Kesehatan adalah

keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomis.

Kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu untuk mempengaruhi

faktor-faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas

kesehatan masyarakat. Bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala

sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan. (Walt, 1994)

Kebijakan kesehatan membahas tentang penggarisan kebijaksanaan,

pengambilan keputusan, kepemimpinan, public relation, penggerakan peran

serta masyarakat dalam pengelolaan program-program kesehatan.

Pentingnya kebijakan kesehatan:

a. Sektor kesehatan merupakan bagian penting bagi perekonomian di

berbagai negara

b. Kesehatan mempunyai posisi yang lebih istimewa dibanding dengan

masalah sosial lainnya.

c. Kesehatan dapat dipengaruhi oleh keputusan yang tidak ada kaitannya

dengan pelayanan kesehatan (misalnya kemiskinan dan populasi).

d. Memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan.

Beberapa variabel yang menentukan kerangka kebijakan kesehatan

yaitu :

a. Tujuan yang akan dicapai dalam mengambil kebijakan kesehatan.


b. Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam

pembuatan kebijakan.

c. Sumber daya yang mendukung kebijakan kesehatan.

d. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan kesehatan.

e. Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik dan lain

sebagainya.

f. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.

Proses analisis kebijakan kesehatan :

a. Serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan

yang bersifat politis.

b. Aktifitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang

mencakup penyususunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,

dan penilaian kebijakan.

c. Sedangkan aktifitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi

kebijakan dan monitoring merupakan aktifitas yang lebih bersifat

intelektual.

Perencanaan yang baik, mempunyai beberapa ciri-ciri yang harus

diperhatikan. Menurut Azwar (1996) ciri-ciri tersebut secara sederhana

dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Bagian dari sistem administrasi

Suatu perencanaan yang baik adalah yang berhasil menempatkan

pekerjaan perencanaan sebagai bagian dari sistem administrasi secara


keseluruhan. Sesungguhnya, perencanaan pada dasarnya merupakan salah

satu dari fungsi administrasi yang amat penting. Pekerjaan administrasi

yang tidak didukung oleh perencanaan, bukan merupakan pekerjaan

administrasi yang baik.

b. Dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan

Suatu perencanaan yang baik adalah yang dilakukan secara terus-

menerus dan berkesinambungan. Perencanaan yang dilakukan hanya sekali

bukanlah perencanaan yang dianjurkan. Ada hubungan yang berkelanjutan

antara perencanaan dengan berbagai fungsi administrasi lain yang dikenal.

Disebutkan perencanaan penting untuk pelaksanaan, yang apabila hasilnya

telah dinilai, dilanjutkan lagi dengan perencanaan. Demikian seterusnya

sehingga terbentuk suatu spiral yang tidak mengenal titik akhir.

c. Berorientasi pada masa depan

Suatu perencanaan yang baik adalah yang berorientasi pada masa depan.

Artinya, hasil dari pekerjaan perencanaan tersebut, apabila dapat

dilaksanakan, akan mendatangkan berbagai kebaikan tidak hanya pada saat

ini, tetapi juga pada masa yang akan datang.

d. Mampu menyelesaikan masalah

Suatu perencanaan yang baik adalah yamg mampu menyelesaikan

berbagai masalah dan ataupun tantangan yang dihadapi. Penyelesaian

masalah dan ataupun tantangan yang dimaksudkan disini tentu harus

disesuaikan dengan kemampuan. Dalam arti penyelesaian masalah dan


ataupun tantangan tersebut dilakukan secara bertahap, yang harus tercermin

pada tahapan perencanaan yang akan dilakukan.

e. Mempunyai tujuan

Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai tujuan yang

dicantumkan secara jelas. Tujuan yang dimaksudkandi sini biasanya

dibedakan atas dua macam, yakni tujuan umum yang berisikan uraian secara

garis besar, serta tujuan khusus yang berisikan uraian lebih spesifik.

f. Bersifat mampu kelola

Suatu perencanaan yang baik adalah yang bersifat mampu kelola, dalam

arti bersifat wajar, logis, obyektif, jelas, runtun, fleksibel serta telah

disesuaikan dengan sumber daya. Perencanaan yang disusun tidak logis

serta tidak runtun, apalagi yang tidak sesuai dengan sumber daya bukanlah

perencanaan yang baik.

2.3 Kebijakan Kesehatan di Indonesia

Kebijakan kesehatan Indonesia dirumuskan dalam sistem kesehatan

nasional. Health System atau sistem kesehatan menurut WHO adalah semua

kegiatan yang tujuan utamanya untuk meningkatkan, mengembalikan dan

memelihara kesehatan. Bagian pertama dari sistem kesehatan nasional secara

garis besarnya menggambarkan arah, tujuan, kebijaksanaan dan dasar serta

landasan tentang bagaimana seharusnya pengadministrasian segala upaya

kesehatan di Indonesia. Bentuk kebijakan kesehatan di Indonesia yaitu dengan


adanya Asuransi Kesehatan Sosial atau Jaminan Kesehatan Nasional yang

sering disebut JKN dan salah satu programnya yaitu BPJS Kesehatan atau

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam bidang kesehatan.

Sebelum membahas pengertian asuransi kesehatan sosial, beberapa

pengertian yang patut diketahui terkait dengan asuransi tersebut adalah:

a. Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat

wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas

risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya

(UU SJSN No.40 tahun 2004).

b. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan program

Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

c. Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh

rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dengan

demikian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan

melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib

(mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang

Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk

Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat

memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak.

Prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut :


a. Prinsip kegotongroyongan Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi

salah satu prinsip dalam hidup bermasyarakat dan juga merupakan salah

satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong royong

berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu,

peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan

peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena

kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa

pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong - royong

jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

b. Prinsip nirlaba Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for

profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi

sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari

masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya,

akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Prinsip

keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.

Prinsip-prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan

dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

c. Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan

jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah

pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.
d. Prinsip kepesertaan bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat

menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan

bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan

dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan

penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di

sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi

peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.

e. Prinsip dana amanat Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan

dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-

baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk

kesejahteraan peserta.

f. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan

seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar

kepentingan peserta

Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas

Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15

(lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran

pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan

kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di

wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran

pembayaran, Menteri Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas


program JKN yang diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan.

Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat

yang bersifat non medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang

menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat

meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau

membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan

dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan, yang

disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak

berlaku bagi peserta PBI.

Sesuai peraturan presiden nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan

Kesehatan dan perpres Nomor 28 Tahun 2016 tentang :

a. Bagi Peserta Penerima bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, iuran

dibayarkan oleh Pemerintah.

b. Iuran bagi Peserta Penerima Upah.

2. 3 Contoh Kasus Mengenai Kebijakan BPJS

Si A terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran BPJS

kesehatan dari pemerintah di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Namun untuk

sementara si A berdomisili di Jawa Tengah. Suatu hari si A sakit dan berobat di

salah satu Puskesmas di Jawa Tengah. Dengan harapan dapat menggunakan

BPJSnya. Namun setelah mendaftar ternyata harus dirujuk untuk berobat lanjut
ke Rumah Sakit yang alat pemeriksaan kesehatannya lebih lengkap. Namun

petugas puskesmas belum bisa merujuk dengan menggunakan jaminan

kesehatan dalam ini BPJS kesehatannya karena alasan harus merubah wilayah

faskesnya terlebih dahulu ke wilayah Jawa Tengah. Setelah itu si A ke kantor

BPJS dengan maksud untuk merubah wilayah faskesnya ke Jawa Tengah,

namun petugas BPJS menginformasikan bahwa ternyata si A terdaftar sebagai

peserta bantuan BPJS pemerintah yang statusnya dari APBD ( Anggaran

Pemerintah dan Belanja Daerah). Diberitahukan oleh petugas BPJS bahwa

hanya peserta penerima bantuan iuran APBN lah yang dapat berobat ke seluruh

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan itu si A tidak dapat

berobat dengan menggunakan BPJS yang dia miliki.

Rumusan Masalah

Apakah peraturan BPJS APBD dan BPJS APBN berbeda ?


BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Persamaan & Perbedaan PBI KIS APBN dan PBI APBD

3.1.1 Persamaan Peserta BPJS PBI APBN dan APBD adalah sebagai berikut:

a. Merupakan program pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan bagi

warga miskin dan kurang mampu.

b. Kedua-duanya dibiayai oleh pemerintah, jadi jika anda terdaftar sebagai

peserta PBI BPJS baik APBN maupun APBD, anda tidak perlu membayar

premi (iuran bpjs) bulanan, karena iuran sepenuhnya sudah ditanggung atau

dibayarkan oleh pemerintah.

c. Pemegang kartu KIS dari BPJS, kedua jenis kepesertaan BPJS PBI tersebut

saat ini menjadi pemegang kartu KIS dari BPJS, walaupun masih ada yang

memegang kartu Jamkesmas atau jamkesda tapi secara bertahap akan

diganti menjadi kartu KIS dari BPJS.

d. Keduanya hanya berhak atas kelas 3 BPJS

e. Hanya dapat berobat di fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas

kelurahan atau desa)

3.1.2 Perbedaan antara KIS PBI APBN dan KIS APBD

a. PBI KIS APBN merupakan peralihan dari Jamkesmas sedangkan

PBI APBD merupakan peralihan dari Jamkesda.


b. Di kota jakarta peserta KIS PBI APBN sama halnya dengan pemegang kartu

KIS (kartu indonesia sehat) sedangkan PBI APBD adalah pemegang kartu

KJS (kartu jakarta sehat).

c. PBI KIS APBD biayanya ditanggung oleh pemerintah daerah, sedangkan

PBI APBD ditanggung oleh pemerintah pusat (provinsi).

3.2 Analisis Kasus

Setelah kami menganalisis salah satu kasus BPJS kesehatan dan teori yang

ada dapat dianalisa bahwa :

a. Kurangnya sosialisasi peraturan BPJS kesehatan mengenai peraturan APBD

dan APBN sehingga terjadi keterlambatan penanganan kesehatan. Seperti

petugas puskesmas yang tidak mengetahui informasi mengenai BPJS APBD

menyarankan si A untuk ke BPJS dengan pengharapan bahwa si A dapat

berobat menggunakan BPJS nya dan pada akhirnya BPJS kesehatan APBD

tidak bisa digunakan selain di daerah asal.

b. Minimnya kerjasama antar semua pelaku kebijakan, contohnya petugas

Puskesmas yang tidak mengetahui aturan mengenai BPJS APBD dengan

BPJS APBN.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Masalah kebijakan adalah nilai kebutuhan atau kesempatan yang belum

terpenuhi, tetapi dapat di identifikasikan dan dicapai melalui tindakan publik.

Tingkat permasalahan ini tergantung pada nilai dan kebutuhan apa yang dipandang

paling penting.

Salah satu contoh tingkat permasalahan mengenai suatu kebijakan yang

terdapat di negara tercinta kita ini Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu

Sosialisasi yang kurang merata dari tenaga BPJS kesehatan kepada seluruh pihak

terkait khususnya petugas di seluruh fasilitas kesehatan.

4.2 Saran

4.2.1 Untuk BPJS

Ketika menetapkan peraturan harusnya ada sosialisasi yang merata agar

semua pihak paham dan tidak keliru.

4.2.2 Untuk peserta BPJS

Selalu mengikuti perkembangan peraturan BPJS kesehatan terbaru.


DAFTAR PUSTAKA

Coveney, J. (2010) ‘Analyzing Public Health Policy: Three Approaches’, Health

Promotion Practice, 11(4), pp. 515–521. doi: 10.1177/1524839908318831.

Purwanto Adi, 2016, Artikel, Pengertian Kebijakan menurut Para Ahli.

Khoirunnisa Rizki, 2017, Artikel, Mengenal Persamaan dan Perbedaan BPJS PBI

APBN dan PBI APBD.

Husnhy, 2013,Atrikel, Makalah Analisis Kebijakan Kesehatan.

Utami Dewi Citra et al, 2015, Artikel, Makalah Kebijakan Kesehatan di

Masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai