Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Disusun oleh :
M. Fourta Lasocto
2007730077

Diajukan Kepada :
dr.Camelia, Sp.PD

ILMU PENYAKIT DALAM


RS SEKARWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus
erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum
diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis
dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan
akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang
terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia
reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam
proses patofisiologi. 1,5,6,7
Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki antara
9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus
SLE dari total kunjungan pasien poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data
epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan
cukup tinggi di Palembang.1,5
Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah
20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan
dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan
penyakit vascular aterosklerotik.5,6

2
BAB II

PEMBAHASAN

I. DEFINISI

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang


terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri
yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau
beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah
dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Berdasarkan
sumber lain, sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem
yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune kompleks.
Terdapat spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi.
Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta
adanya gen tertentu yang rentan.2,3

II. ETIOLOGI 2,3,4

1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri)


2. Cahaya matahari ( UV)
3. Stress
4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus,
klebsiella)
5. Obat – obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine,
Isoniazid
6. Zat kimia : merkuri dan silikon
7. Perubahan hormon

III. EPIDEMIOLOGI

3
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik
utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi
pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 -
400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografik tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua
usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi
pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara
(5,5-9) : 1. 1

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai
berikut : 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); 1972-1976 ditemukan
1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat; 1988-1990 insidensi rata-rata
ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.1

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000


perawatan (Purwanto, dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan
insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Tarigan).1

IV. PATOFISIOLOGI

Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama
pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5%
pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta
bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat
menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau

4
regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE, bisa dilihat pada
tabel berikut :

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous
Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)
 Definite

Ultraviolet B light

 Probable

Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1; rasio penderita menarche : menopause = 3:1

 Possible

Faktor diet

Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan
yang sama; Diet tinggi saturated fats

Faktor Infeksi

DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu :

Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; D-


Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF; Interferon-

5
Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor
lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut
terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi
poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada penderita SLE
mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari
respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun
kompleks. Subset patogen autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta
kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.

Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai
keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen
tubuh tidak dikenal (self antigen) contoh: nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A. Antigen tersebut
diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B. Peptida ini akan
menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu
antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang
terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel,
trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk
imun kompleks yang merusak berbagai organ bila mengendap.

Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein


RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat
meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan
glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat
bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses
apoptosis.

Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan
kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan dengan komplemen
yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.

Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks
yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen , PMN dan berbagai mediator inflamasi.

6
Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah
ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat meningkatkan
aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.

Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :

 Sel T :

-Lymphopenia

-Penurunan sel T supressor

-Peningkatan sel T helper

-Penurunan memori dan CD4

-Penurunan aktivasi sel T supressor

-Peningkatan aktivasi sel T helper

 Sel B :

-Aktivasi sel B

-Peningkatan respon terhadap cytokine.

Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang
dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.

7
8
V. GEJALA KLINIK 6,7,8

Onset penyakit dapat spontan atau didahului faktor presipitasi seperti


kontak dengan sinar matahari, infeksi, obat, penghentian kehamilan, trauma
fisik/psikis. Setiap serangan biasanya didahului gejala umum seperti demam,
malaise, kelemahan, anorexia, berat badan menurun, iritabilitas. Demam ialah
manifestasi yang paling menonjol kadang-kadang dengan menggigil.

Manifestasi kulit berupa butterfly appearance. Manifestasi kulit yang lain


berupa lesi discoid, erythema palmaris,periungual erythema, alopesia. Mucous
membran lession cenderung muncul pada periode eksaserbasi pada 20% penderita
juga didapatkan fenomena Raynaud.

Manifestasi gastrointestinal berupa nausea, diare, GIT discomfort. Gejala


menghilang dengan cepat bila manifestasi sistemiknya diobati dengan adekuat.
Nyeri GIT mungkin disebabkan peritonitis steril dan arteritis pembuluh darah
kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis juga
dapat menimbulkan pankreatitis.

Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia, myalgia, myopathi. Joint


symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita. Atritis
cenderung menjadi deformasi, dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan
pada pemeriksaan radiografi.

Manifestasi ocular, termasuk conjungtivitis, fotofobia, transient atau


permanent monoocular blindness dan pandangan kabur. Pada pemeriksaan fundus
dapat juga ditemukan cotton-wool spots pada retina (cytoid bodies).

Pleurisi, pleural effusion, bronkopneumonia, pneumonitis sering dijumpai.


Pleural effusion unilateral ringan lebih sering dijumpai daripada bilateral.
Mungkin didapatkan sel LE pada cairan pleura. Pleural effusion menghilang
dengan terapi yang adekuat. Restriktif pulmonary disease juga mungkin dijumpai.

9
Manifestasi di jantung dapat berupa cardiac failure akibat dari micarditis
dan hipertensi. Cardiac aritmia juga sering dijumpai. Valvular incompetence yang
sering dijumpai adalah mitral regurgitasi.

Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan dihubungkan


dengan polyarteritis nodusa, termasuk ditemukan adanya aneurysma pada
percabangannya. Abdominal pain (setelah makan), ileus, peritonitis, perforasi
dapat terjadi.

Adenopati menyeluruh dapat ditemukan, terutama pada anak-anak,


dewasa muda, dan kulit hitam. Splenomegali terjadi pada 10% penderita. Secara
histologis lien menunjukan fibrosis periarterial (onion skin lesion).

Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan, tetapi jarang disertai


ikterus. Kelenjar parotis dapat membesar pada 6% kasus SLE.

Pada Drug Induce Lupus Erythematosus kelainan pada ginjal dan SSP
jarang ditemukan. Anti Ds-DNA, hipocomplementemia serta kompleks imun juga
jarang ditemukan.

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE


Penyakit SLE dapat ringan atau berat sampai mengancam nyawa .
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah : 10
1. Diagnosis SLE telah ditegakkan atau sangat dicurigai
2. Secara klinis tenang
3. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
4. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit
5. Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengobatan

10
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 10
a. Jantung : vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung,
hipertensi maligna
b. Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, fibrosis interstitial
c. Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika
d. Ginjal : nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulonephritis),
sindroma nefrotik
e. Kulit : vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
f. Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma
demielinisasi
g. Otot : miositis
h. Hematologi : anemia hemolitik, netropenia (leukosit < 1.000/mm3 ),
trombositopenia < 50.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri
i. Konstitusional : demam tinggi yang persiten tanpa bukti infeksi

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :

1. Hematologi

Ditemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia.

2. Kelainan imunologi

Ditemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive,


dan lain-lain. ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE. Antibody double-
stranded DNA (Anti-Ds DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive.
Depresi pada serum complement (didapatkan pada fase aktif) dapat berubah

11
menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan aktivitas
dari perjalanan penyakit SLE , tetapi anti-Sm tidak.

Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic


(Ro,La,Sm,RNP,Jo-1) berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat
dan kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA.

Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.


Mereka disertai antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan
Partial Thrombiplastin (PTT).

Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah
kadarnya pada SLE dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun
telah terjadi proses pada ginjal. Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal
dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan. Adanya
silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.

Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan
prevalensinya.

Tabel 2. Autoantibody pada penderita SLE. 4,5,6

Incidence Antigen Clinical importance


% detected
Antinuclear 98 Multiple nuclearSubstrat sel manusia lebih sensitive dari
antibodies murine. Pemeriksaan negatif yang berturut-
turut menyingkirkan SLE.
Anti-DNA 70 DNA(ds) Spesifik untuk SLE;Anti-ssDNA
tidak.Titer yang tinggi berkorelasi dengan
nephritis dan tingkat aktivitas SLE.
Anti-Sm 30 Protein Spesifik untuk SLE.
complexed to 6
species or small
nuclear RNA
Anti-RNP 40 Protein Titer tinggi pada sindrom dengan
complexed to manifestasi polimyositis,scleroderma,lupus
U1RNA dan mixed connective tissue disease.Jika +
tanpa anti-DNA,resiko untuk nephritis

12
rendah.
Anti-Ro(SS-A) 30 Protein Berhubungan dengan Sjorgen’s
complexed to Syndrome,subacute cutaneus
y1-y5 RNA. lupus,inherited C’ deficiencies,ANA-
negative lupus,lupus in eldery,neonatal
lupus,congenital heart block.Dapat
menyebabkan nephritis.
Anti-La(SS-B) 10 Phosphoprotein Selalu berhubungan dengan anti-Ro.Resiko
nephritis rendah bila +.Berhubungan
dengan Sjorgen’s Synd.
Antihistone 70 Histones Lebih banyak pada drug induced
lupus(95%) daripada spontaneous lupus.
Antiphospholipid 50 Phospholipid 3 tipe- lupus
anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),dan
false-positive test for syphilis(BFP).LA
dan aCL berhubungan dengan clotting,fetal
loss,thrombocytopenia,valvular heart
disease.Antibodi pada β2-glycoprotein I
bagian dari grup ini.
Antierythrocyte 60 Erythrocyte Jumlah sedikit dari antibody ini dapat
mrnnyebabkan hemolisis.
Antiplatelet 30 Platelet surface Berhubungan dengan thrombocytopenia
+ cytoplasma pada 15% penderita.
Antilymphocyte 70 Lymphocyte Kemungkinan berhubungan dengan
surface leukopenia dan abnormal fungsi sel T.
Antiribosomal 20 Ribosomal P Berhubungan dengan psikosis atau depresi
protein dengan CNS SLE.
ANA Anti- Rheumatoid Anti- Ani- Anti- Anti Anti Anti- ANCA
Native Factor Sm SS-A SS-B SCL- Centromere Jo-1
DNA 70
Rheumatoid Arthritis 30-60 0-5 72-85 0 0-5 0-2 0 0 0 0
SLE 95-100 60 20 10-25 15-20 5-20 0 0 0 0-1
Sjorgen Syndrome 95 0 75 0 60-70 60-70 0 0 0 0
Diffuse scleroderma 80-95 0 25-33 0 0 0 33 1 0 0
Limited 80-95 0 33 0 0 0 20 50 0 0
scleroderma(CREST
syndrome)
Polymiositis 80-95 0 33 0 0 0 0 0 20-30 0
Wegener’s 0-15 0 50 0 0 0 0 0 0 93-96
granulomatosis

ANA = Antinuclear antibody , ANCA = Anticytoplasmic antibody

13
Semua angka diatas menunjukan frekwansi dalam %.

Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada


SLE :

1. Anemia 60%

2. Leukopenia 45%

3. Trombocytopenia 30%

4. False test for syphilis 25%

5. Lupus anticoagulant 7%

6. Anti-cardiolipin antibody 25%

7. Direct coomb test positive 30%

8. Proteinuria 30%

9. Hematuria 30%

10. Hypocomplementemia 60%

11. ANA 95-100%

12. Anti-native DNA 50%

13. Anti-Sm 20%

Beberapa obat dapat menyebabkan ANA tes positf dan kadang-kadang sindroma mirip
lupus.Gejala menghilang jika obat dihentikan segera.

14
Obat-obat yang dapat memicu timbulnya SLE terhadap orang dengan predisposisi
genetik :

 Definite ascociation

Chlorpromazine Methyldopa

Hydralazine Procainamide

Isoniazid Quinidine

 Possible ascociation

Beta-blocker Methimazole

Captopril Nitrofurantion

Carbamazepine Penicillinamine

Cimetidine Phenitoin

Ethosuximide Propylthiouracil

Hydrazine Sulfasalazine

Levodopa Sulfonamide

Lithium Trimethadione

 Unlikely ascociation

Allopurinol Penicillin

Chlortalidone Phenylbutazone

Gold salt Reserpine

15
Griseofulvin Streptomycin

Methysergide Tetracycline

Oral contraceptive

16
17
VII. DIAGNOSIS

Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :

1. Wanita muda

2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari

3. Manifestasi sendi

4. Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit

5. Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen yang
rendah)

Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College
of Rheumatology revisi tahun 1997.7,9

Interpretasi:

Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan
spesifitas 98% dan sensitivitas 97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE.

18
19
VIII. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan


diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip aau beberapa tes laboratorium yang
serupa, yaitu : 10,14

a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjogren

c. Sindroma antibody antifosfolipid (APS)

d. Fibromialgia (ANA positif)

e. Purpura trombositopenik idiopatik

f. Lupus imbas obat

g. Artritis reumatoid

h. Vaskulitis

i. Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.

j. Endokarditis bacterial subacute

k. Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi

kulit.

l. Drug eruption.

m. Limfoma.

n. Leukemia.

o. Trombotik trombositopeni purpura.

20
IX. PENGELOLAAN
 Tujuan
Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengenalan dini dan
pengobatan paripurna. Tujuan khusus : a) mendapatkan masa remisi yang
panjang, b) menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa
nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian baik

 Pilar Pengobatan
I. Edukasi dan konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan sekitar agar dapat hidup mandiri. Pasien memrlukan edukasi
mengenai cara mencegah kekambuhan antara lain dengan melindungi kulit
dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya,
payung, atau topi, melakukan latihan secara teratur, pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktifitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
II. Latihan/program rehabilitasi
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
III. A) Pengobatan SLE Ringan 10
a. Edukasi
Pasien diberikan harapan yang realistic sesuai keadaannya,
hindari paparan ultra violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan
pengetahuan akan gejala dan tanda kekambuhan, anjurkan agar
pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi
teratur.
b. Obat-obatan
- Anti analgetik
- Anti inflamasi non steroidal (OAINS)

21
- Glukokortikoid topikal potensi ringan (untuk mengatasi
ruam)
- Klorokuin basa 4mg/kg BB/hari
- Kortikosteroid dosis rendah < 10 mg/hari prednisone
c. Tabir surya : topikal minimum sun protection factor 15 (SPF 15)
d. Istirahat

B) Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa


a. Glukokortikoid dosis tinggi 1,6,7,8
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia : 40-60 mg/hari
(1mg/kg BB) Prednisone atau metilprednisolon intravena sampai
1 g/hari selama 3 hari berturut-turut. Selanjutnya diberikan oral.
b. Obat imunosupresan atau sitotoksik
Azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, klorambusil, siklosporin
dan nitrogen mustard. Tergantung dari berat ringannya penyakit
serta organ yang terlibat, misalnya pada lupus nefritis diberikan
siklofosfamid (oral/intravena) azatioprin; arthritis berat
diberikan metotreksat (MTX).

Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi


yang sempurna). Meskipun begitu dokter bertugas untuk memanage dan mengkontrol
supaya fase akut tidak terjadi. Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala,
juga memberi pengertian dan semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan
melakukan kegiatan sehari-hari. Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori
tinggi protein dan pemberian vitamin.

Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:11,12

1. Monitoring teratur

2. Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup

22
3. Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian

sunscreen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari

4. Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang

adekuat.

5. Rencanakan kehamilan / hindari kehamilan .

Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE :11,12

1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antipiretik dan


antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan
arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti
kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobati SLE
dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria.
Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama
pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit
diharapkan dapat mengatasi hal ini, tetapi belum ada penelitian mengenai
efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi
hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.

2. Antimalaria

Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah
lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk
SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja
dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji
antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga
menghambat fagositosis, migrasi netrofil, dam metabolisme membran
fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV.

23
Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolesterol total,
HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang
tidak.

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-


400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari).
Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya
lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada
saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efek samping lain adalah
timbulnya ruam, toksisitas retin, dan neurologis (jarang).

3. Kortikosteroid

Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan.
Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison
dan metilprednisolon.

Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat


dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5
mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari
respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan
steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi
serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis
berat, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis,
glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer
dan krisis lupus.

Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:

1. Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon,


metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi,
lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis

24
dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10
hari untuk manifestasi hematologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-
10 minggu untuk glomerulonephritis.
2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari,
selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin
dapat mengontrol penyakit lebih cepat daripada terapi oral setiaap hari,
tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga
tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik
azayhioprine atau cyclophosphamide.

Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan


kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.

4. Methoreksat

Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis


untuk penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat
alkilating atau azathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15
mg, efektif sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh
penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge
dkk. melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada
kegagalan steroid dan antimalaria.

Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah: lekopenia, ulkus
oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek
samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan
hepar. Pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian
asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

25
5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.

Azathhioprine (Imuran AZA)

Cylophosphamide (chitokxan, CTX)

Chlorambucil (leukeran, CHL)

Cyclosporine A

Tacrolimus (FK506)

Fludarabine

Cladribine

Mycophenolate mofetil

6. Terapi hormonal

Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)

Danazol

7. Pengobatan Lain

Dapsone

Dapsone, atau 4.4’- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara


mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para
aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta
sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun yang lalu untuk
pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus
eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE,
dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima

26
dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya
berhubungan dengan dosis.

Clofazimine (Lamprene)

Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE


kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200
mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang berubah
menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering.

Thalidomide

Thalidomide dengan dosis 50 sampai 100 mg/hr serta dosis


pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter.
Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini
dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai
terjadinya malformasi janin (fokomelia). 11,12

Immunoglobulin intravena

Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat


reseptor Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi
trombositopenia, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2
k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh
karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi
standar, atau pada keadaan SLE yang berat. 11,12

27
External Device

Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE


agak terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoabsorption,
UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.

8. Transplantasi Sumsum Tulang11,12

Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter.
Terapi ini masih merupakan eksperimental untuk saat ini.

 Pengobatan Terhadap Komplikasi

Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic, anti hipertensi,


mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal. Terhadap kejang-
kejang dapat diberikan antikonvulsan.

X. KOMPLIKASI 9,10

Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa


psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati,
transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari
obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan
menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis
steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.

Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.


Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal
bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis
membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan
asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan semakin
sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2 macam

28
kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus
membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa
sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.

XI. PROGNOSIS

Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan SLE


kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama.

Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio Harry, Albar Zuljasri, Yoga, Bambang. Lupus Eritematosus


Sistemik. Dalam Sudoyo Aru, dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai
Penerbit FK UI Jakarta; 2006. h.1214.

2. Symposium National Immunology Week 2004, Surabaya 9-10 Oktober 2004;


hal201-213.

3. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004; Chapter 20; Arthritis and
Musculosceletal disorder ; page 805-807.

4. Harrisson’s Principle of Internal Medicine 15th Edition; Volume 2; page 1922-


1928.

5. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.

6. Klippel JH, ed. Primer on the rheumatis disease. 12 th ed. Atlanta: Arthritis
Foundation. 2001: 329-334

7. Hochberg Mc. Updating the Ameican College of Rheumatology revised criteria for
the classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 1997;
40: 1725

8. American college of rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus


erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999; 42(9): 1785-96

9. Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB, editors. Textbook of rheumatology.
5th ed. Philadelphia: WB Saunders. 1997

10. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus : Renal,
neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary and hematologic disease. Ann Intern
Med 1995; 122 : 940–50.

30
11. Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am 1994;
20 : 243-263.

12. Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of clinical
trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-199

31

Anda mungkin juga menyukai