Anda di halaman 1dari 10

JURNAL STUDI GENDER & ANAK

SKETSA KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Siti Hikmah Anas *)

*)
Penulis adalah dosen STAIN Purwokerto, mantan Ketua Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi (PIKER) Jawa Barat tahun
2004 - 2007.

Abstract: When looking at the phenomenon in newspapers, magazines, and television, a lot of adolescent reproductive health
disorder. This phenomenon is not without cause. Environmental factors, economic factors, and the most cause is the factor that they have
lack of knowledge on reproductive health. Until now, knowledge about reproduction considered taboo. In fact, that statement has become a
myth among the public. This paper tried to reveal the causes of adolescent reproductive health disorder, which on the other side trying to
provide solutions. This solution is very important to enlighten the knowledge and insight readers, especially young people about reproductive
health disorders. Keywords: Health, Reproductive, Adolescent, and Knowledge.

A. PENDAHULUAN
Sepanjang kehidupan seseorang, masa remaja merupakan masa yang paling banyak dibicarakan.
Namun, yang dibahas umumnya hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku mereka, yang dianggap
kurang positif atau kurang baik, jika dibandingkan sebaliknya.
Banyak orangtua terkejut menyaksikan perubahan pada anak-anak mereka. Dari anak-anak yang
manis dan lucu, tiba-tiba berubah menjadi remaja dengan tingkah laku dan sikap yang mengherankan,
mengagetkan orangtua. Sebaliknya, remaja juga mengeluh, merasa tidak difahami oleh orang dewasa
sekitarnya, terutama orangtuanya.
Pada kenyataannya, banyak sekali perubahan yang terjadi pada masa remaja, karena masa tersebut
merupakan masa antara kanak-kanak menjadi individu yang dewasa. Dalam masa tersebut, remaja
mengalami masalah yang berhubungan dengan kesehatan reproduksinya, yaitu ketika mereka mendapati
perkembangan fisik (organ reproduksi primer maupun sekunder)1 yang cepat, hormonal, kepribadian,
sosialisasi, inteligensi, serta emosional, yang kadang tidak dapat dikendalikan oleh mereka.

B. KESEHATAN REPRODUKSI, ORGAN DAN FUNGSI


Dalam Kongres Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, kesehatan
reproduksi didefinisi secara formal dan menyeluruh, yaitu A state of complete physical, mental and social well-
being and not merely the disease or infirmity. Dari hal tersebut, tersirat dua hal berkaitan dengan kesehatan
tidak hanya sebatas kesehatan fisik, tetapi juga mental dan sosial. Pengertian ini hendaknya selalu diingat
ketika membahas lebih lanjut masalah kesehatan reproduksi. Kesehatan mental, hendaknya, tidak
diartikan secara sempit sebagai jiwa yang berupa “gila”, tetapi juga berbagai hal yang merupakan
manifestasi1 bahwa orang tersebut sedang mengalami gangguan kejiwaan. Untuk mengartikannya tidak
menggunakan ukuran sendiri tentang batasan kekuatan seseorang terhadap tekanan kejiwaan karena
setiap orang memiliki daya tahan tubuh yang berbeda terhadap tekanan kejiwaan tersebut. Keadaan jiwa
tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang menjadi latar belakangnya.
Pengertian kesehatan, secara sosial, ditafsirkan sebagai kemampuan orang dalam melakukan
interaksi sosial serta kemampuan memanifestasikan peranannya dalam kehidupan bermasyarakat

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

sehingga ia mampu hidup produktif di masyarakat (lihat deklarasi Alma Ata tahun 1978). Seseorang
karena keadaan dirinya menjadikan ia tidak mampu melakukan fungsi sosial secara normal dapat
dianggap telah mengalami ganguan kesehatan sosial.2
Bagian berikutnya dari definisi Kairo adalah in all matters relating to the reproductive system and to its
function and processes. Dari bagian ini, dapat dilihat bahwa kesehatan reproduksi bukan hanya keadaan
waktu hamil dan melahirkan, tetapi menyangkut perkembangan berbagai organ reproduksi serta
fungsinya sejak dalam kandungan sampai mati. Hal itu berlaku juga bagi resiko reproduksi yang
mengiringinya. Inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa kesehatan reproduksi berlangsung
“from womb to tomb”.
Organ reproduksi manusia mulai berkembang ke arah laki-laki atau perempuan ketika janin berusia
tujuh minggu. Jika perkembangan yang berawal saat itu berlangsung normal, maka dapat diharapkan
bahwa anak tersebut akan memiliki organ reproduksi yang berbentuk dan berfungsi normal. Kelainan
perkembangan yang terjadi saat perkembangan embrional itu, misalnya anomali bentuk rahim, kandung
telur tidak berkembang sempurna atau tumbuh ganda (perempuan memiliki dua lubang vagina). Pada
laki-laki, dapat berupa testis tidak berkembang atau testis tidak turun sempurna atau penis tidak tumbuh
wajar. Semua itu, akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melaksanakan fungsi
reproduksinya kelak.
Perkembangan fisik dan pematangan organ reproduksi sangat dipengaruhi berbagai hormon yang
diproduksi oleh berbagai kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin merupakan induk atau pengendali
kelenjar-kelenjar endokrin lainnya. Kelenjar lainnya tersebut adalah kelenjar hipofisis yang terletak di
bawah otak serta berhubungan langsung dengan pusat emosi yang bernama hypothalamus. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa perubahan emosi dapat mempengaruhi produksi berbagai hormon.
Hormon yang berperan besar dalam proses pematangan seksual seorang remaja adalah estrogen dan
progesterone. Kedua jenis hormon itu diproduksi oleh indung telur. Produksi kedua jenis hormon tersebut
tidak selalu sama, melainkan mengalami fluktuasi bulanan. Hal itulah yang mengatur proses terjadinya
menstruasi. Selain itu, estrogen berperan dalam perkembangan bentuk fisik seorang remaja perempuan,
seperti pertumbuhan payudara, penimbunan lemak di bawah kulit, perubahan atau pemanjangan saluran
vagina dan sebagainya.
Organ reproduksi perempuan meliputi vagina, vulva dan uterus pada masa kanak-kanak tidak
terlihat, tapi ketika masa remaja sebesar buah pearuba fallopi, labia minora dan clitoris (mulai tumbuh dan
terlihat jelas pada masa remaja), indung telur juga menjadi lebih besar dan berat.
Setiap bayi perempuan lahir dilengkapi oleh kurang lebih 400.000 telur setiap indung telurnya.
Memasuki masa dewasa, jumlah sel telur berkurang menjadi 80.000 pada tiap indung telur sejak
perempuan telah haid. Oleh karena itu, setiap 28 hari akan dimatangkan satu sel telur untuk kurun waktu
kurang lebih 38 tahun, yang berarti hanya 496 sel akan matang sepanjang usia reproduksi seorang
perempuan.3
Sementara itu, organ reproduksi laki-laki meliputi testis (alat reproduksi laki-laki yang menggantung
pada pangkal batang penis, yang menghasilkan sperma terus-menerus sejak masa remaja dan seterusnya
selama masa hidupnya, setiap kali ejakulasi akan menghasilkan 100-300 juta sperma) dan penis
(berbentuk silindris yang berfungsi menyemprotkan cairan semen dan sperma ke dalam vagina).
Rendahnya pengetahuan remaja tentang fungsi dan struktur alat-alat reproduksi membuat remaja
mudah terpengaruh oleh informasi-informasi yang tidak benar dan membahayakan kesehatan repro-

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

duksinya. Pengetahuan mengenai fungsi dan struktur reproduksi akan mempengaruhi remaja dalam
memperlakukan organ reproduksinya, yang akan berpengaruh pada kesehatan reproduksinya.
Dalam FGD (Focus Group Disscution) terhadap sekelompok remaja usia 12-15 tahun, penulis
menemukan bahwa permasalahan yang berkaitan dengan reproduksi adalah menstruasi yang tidak
teratur dan sakit, mimpi basah, dorongan seksual yang tinggi dan cara mendapatkan kepuasan seks,4
mengenali masa subur, ajakan cium dan hubungan seks oleh pacar, agar tidak tertular PMS seusai
hubungan seks dengan PSK atau pacar, alat kelamin direndam dan dicuci dengan detergen supaya
kuman-kuman mati. Penulis juga sering mendapatkan pertanyaan berikut:5
“Saya sudah melakukan hubungan seks dengan pacar saya tapi tidak sampai masuk, apa hal itu dapat
menyebabkan kehamilan?”(Tia,16 tahun).
“Pacar saya hamil, saya tidak mungkin menikah dengan dia karena orangtua kami sama-sama tidak
menyetujui hubungan ini. Di samping itu, kami masih kelas 1 SMA, bagaimana cara menggugurkan kandungan
dia? Apa yang harus saya lakukan?” Saya sangat kebingungan…(Anto,16 tahun).
“Bagaimana mengenali masa subur perempuan, supaya saya bisa mengatur jadual berhubungan seks dengan
pacar, agar tidak menyebabkan dia hamil.” (Amir, 18 tahun).
Bahaya gangguan kesehatan reproduksi pada masa remaja akibat perilaku seksual yang terlalu aktif
bagi remaja perempuan akan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau terkena penyakit menular
seksual, kemandulan atau mengalami perkosaan. Bagi remaja laki-laki, resiko yang terbesar adalah
terkena penyakit menular seksual (PMS) yaitu gonorhea, yang jika sampai menjalar ke testis akan
menyebabkan kemandulan pada laki-laki, HIV atau AIDS.
Pada masa remaja perempuan, masalah anemia akan menjadi penyebab gangguan terhadap
kesehatan reproduksinya. Gangguan reproduksi pada usia remaja makin besar jika ia menikah dan hamil
pada usia remaja. Usia remaja adalah usia pertumbuhan cepat dengan keperluan energi yang sangat
besar.
Jika ia hamil, akan terjadi perebutan antara tubuhnya dengan kebutuhan janin yang dikandungnya.
Akibatnya, salah seorang kalah atau kedua-duanya kalah. Jika janinnya yang kalah, maka ia lahir
premature: lahir dengan berat badan kurang, atau lahir dengan pertumbuhan otak yang kurang memadai.
Jika ibunya kalah, ia akan mengalami kekurangan gizi dan mudah mengalami pendarahan sewaktu
melahirkan.
Pemahaman tentang alat-alat reproduksi bagi laki-laki maupun perempuan sangatlah penting. Bagi
perempuan, pemahaman yang benar tentang organ dan fungsi reproduksinya dapat membantu
mengenali siklus reproduksinya seperti haid dan sebagainya. Dengan mengenali organ dan fungsi
reproduksi, perempuan dapat mengenali, bahkan menghindari penyakit-penyakit reproduksi atau
penyakit yang ditularkan melalui hubungan kelamin seperti PMS (penyakit menular seksual), bahkan
HIV atau AIDS.
Bagi laki-laki, pengenalan organ reproduksi dirinya atau pasangannya akan dapat menumbuhkan
pemahaman yang benar tentang organ dan fungsi reproduksi diri dan pasangannya. Selain itu, dia dapat
menjaga diri dari kesakitan yang diakibatkan oleh gangguan kesehatan reproduksi.

C. SEKS DAN KEKERASAN PADA REMAJA


Sari, seorang gadis berusia 14 tahun yang berasal dari Jombang, menceritakan pengalaman
diperkosa.6 Memang, akhir-akhir ini, semakin banyak di media massa tentang remaja yang menjadi

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

korban berbagai bentuk kekerasan seksual. Kultur adat ketimuran yang masih menganggap seks sebagai
sesuatu yang tabu untuk dibicarakan membuat seks menjadi sesuatu hal yang membingungkan bagi
remaja. Kebingungan mereka ini seringkali menjadikan korban potensial dalam kasus-kasus kekerasan
seksual.
Pada saat bersamaan, sesuai dengan tahapan usia mereka yang sedang mengalami pubertas, remaja
juga memiliki rasa ingin tahu yang besar, sekaligus banyaknya paradigma-paradigma yang mereka
dapatkan, mulai dari nilai-nilai agama hingga pengaruh film dan cerita-cerita yang berbau pornografi.
Hal itu telah membuat seks menjadi “sesuatu” yang misteri dan mengundang rasa keingintahuan, mem-
bingungkan, sekaligus menggoda.
Adanya konsep sosial budaya yang menganggap bahwa seks adalah suatu hal yang tabu utuk
dibicarakan membuat jalur informasi yang sebenarnya sangat mereka butuhkan menjadi tertutup.
Kebutuhan akan informasi ini pun mereka dapatkan melalui teman-teman dan media massa. Seringkali,
informasi yang mereka dapatkan tidak lengkap dan menjerumuskan. Oleh karena itu, tidak jarang
kebanyakan remaja telah melakukan hubungan seksual pranikah.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oeh lembaga Studi Cinta dan Pusat Pelatihan Bisnis
dan Humaniora (PSC Psbih) di Yogyakarta, menyebutkan sebanyak 97,07% remaja kehilangan ke-
gadisannya. 44,8% remaja di Kota Bandung telah melakukan hubungan seksual pranikah.7 PKBI Jawa
Barat menemukan 4 dari 20 remaja SLTP dan SLTA di Kota Bandung mengaku pernah melakukan hu-
bungan seksual pranikah.
Adapun yang mengkhawatirkan remaja berkaitan dengan kesehatan reproduksinya adalah hubungan
seksual pranikah dilakukan bukan dengan paksaan atau kekerasan, tapi karena dorongan rasa cinta yang
diinginkan keduanya.8 Padahal, konsekuensi dari hubungan seksual pranikah adalah kehamilan di luar
nikah, pernikahan dini, aborsi, PMS, HIV/AIDS, kematian dan sebagainya.
Banyak remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah akibat terpaksa karena ia menjadi
“korban”. Pertama, menjadi korban kultur,9 orangtua yang menikahkan anak sedini mungkin. Secara
nasional, angka statistik pernikahan muda sebayak 12 persen. Bahkan, di beberapa daerah melebihi
angka tersebut. Di Tawa Timur (39,43%), Kalimantan Selatan (35,48%), Jambi (30,63%), Jawa Barat
(36%), dan Jawa Tengah (27,84%). Pernikahan dini remaja terjadi karena peranan orangtua yang sangat
dominan dalam menentukan perkawinan anak (terutama anak perempuan). Hal ini karena anak
dianggap sebagai “milik” orang tua sehingga anak harus berbakti dan patuh kepada orangtua.10
Orangtua merasa malu bila mempunyai anak perempuan di atas umur 17 tahun belum juga
mendapatkan jodoh. Tidak peduli anak perempuan tersebut setuju atau tidak, yang penting anaknya
sudah mendapatkan calon sehingga terhindar dari cemoohan masyarakat. Sebutan perawan tua
merupakan momok bagi orangtua yang mempunyai anak perempuan karena sebutan perawan tua berarti
anak gadisnya tidak laku.
Di samping itu, hal tersebut didukung oleh Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang
membolehkan pernikahan anak perempuan usia 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Meskipun dengan
batasan minimal 16 tahun, tetapi masih ada 25 persen dari 5,8 juta di antaranya menikah di bawah usia
14 tahun.11 Selain itu, faktor ekonomi juga turut memberikan kontribusi terjadinya perkawinan muda.
Kebanyakan orangtua segera mengawinkan anak perempuannya agar bisa mengalihkan tanggung jawab
dalam mencukupi kebutuhan anak.
Kedua, menjadi korban perkosaan. Tiap hari, selalu ada saja berita perkosaan terhadap remaja,
bahkan anak-anak. Catatan yang dibuat oleh Institut Perempuan, dari jumlah tersebut 96 persen (23

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

kasus) tergolong usia remaja. Jumlah sebenarnya pasti lebih banyak karena catatan tersebut baru
pemantauan terhadap beberapa berita pers. Selain itu, karena kasus perkosaan juga menganut fenomena
gunung es, di mana jumlah kasus yang tampak hanya sebagian kecil dari jumlah kasus yang sebenarnya.
Ketiga, menjadi korban eksploitasi seksual (dilacurkan). Operasi penertiban terhadap pekerja seks
komersial (PSK) di delapan kecamatan Jakarta Pusat sepanjang tahun 2004 mendapatkan bahwa 60
persen di antaranya masih berusia di bawah 17 tahun.12 Dalam kaitan ini, terbuka kemungkinan hal yang
sama juga terjadi di Jawa Barat. Hal ini mengacu pada data dari ILO-IPE (International Labour
International Programme on The Elimination of Child Labour) yang menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan daerah lain di Jawa, Jawa Barat yang paling tinggi jumlah anak yang dilacurkan, sedikitnya ada
9000 orang. Hal ini jauh di atas Jakarta, yakni 5.100 anak. Hal ini akan lebih jauh bila dibandingkan
dengan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, yakni gabungan ketiga daerah tersebut hanya 7000
anak.13 Mereka itu umumnya berasal dari Cirebon, Indramayu, Karawang, dan Bandung adalah korban
trafficking.
Fenomena yang sangat mengejutkan adalah banyak di antara mereka yang dilacurkan sejak remaja
bahkan anak-anak, sebagaimana hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Unair bekerjasama dengan
Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Kota Surabaya (2004). Ada yang dilacurkan sejak usia 14
tahun (10,9%), 15 tahun (32,6%), 16 tahun (45,7%), bahkan ada yang mulai dari usia 7 tahun (2,2%).14

D. DAMPAK HUBUNGAN SEKSUAL PADA KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA


Apapun penyebab perilaku seks yang dilakukan remaja sebelum waktunya (belum cukup umur/
pernikahan dini, belum menikah) akan sangat mempengaruhi kualitas kesehatan reproduksinya. Bagi
remaja perempuan di bawah usia 20 tahun yang melakukan hubungan seksual lebih riskan dibanding
perempuan di atas usia 20-an. Hal ini dikarenakan organ reproduksi belum berfungsi secara optimal
sehingga memudahkan berkembangnya human papiloma virus yang beresiko terjadinya penyakit kanker
rahim, penyakit menular seksual, infeksi saluran reproduksi dan HIV atau AIDS.15
Sebuah survei mendapati 36% penderita PMS adalah remaja. Kejadian ini sangat mengejutkan,
namun “wajar” bila menyimak begitu minimya pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi.
Hanya 27% remaja yang tahu kegunaan kondom (pencegah kehamilan, mengurangi resiko terkena
PMS). Dari jumlah itu, 1% pernah memakai kondom, 10 persen mungkin akan membeli bila perlu,
sedangkan 10 persen menyatakan tidak tahu.
Survei UNICEF memperlihatkan bahwa 41% remaja tidak tahu cara mengenali orang yang
menderita HIV/AIDS. Dengan kondisi seperti ini, tidaklah terlalu mengherankan bila di tingkat
nasional, hingga Juni 2004, jumlah kasus HIV/AIDS di kalangan remaja mencapai 30% dari
keseluruhan kasus (1.252 dari 4.159).16 Hasil survei nasional, yang dilakukan oleh YAI (Yayasan AIDS
Indonesia), menunjukkan bahwa masyarakat yang terjangkit HIV/AIDS sebesar 2.150 dan 36% adalah
pelajar.
Kasus kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy) pada remaja mengalami peningkatan.
Menurut Mitra Citra Remaja (MCR) Bandung, terdapat kenaikan antara tahun 2000 dengan 2001 dalam
kasus kehamilan di luar nikah. Hal ini dapat dicermati pada tahun 2000 terdapat 54 kasus, sementara
pada tahun 2001 terdapat 79 kasus. Catatan Konseling Sahara menunjukkan kasus kehamilan tidak
dikehendaki pada tahun 1999 sebesar 113 kasus.

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

Banyak remaja yang kemudian memilih melakukan aborsi ketika terjadi kehamilan yang tidak
diinginkan (unwanted pregnancy) akibat hubungan seks pranikah (terpaksa atau diinginkan). Sebanyak 15-
20% kasus aborsi di Indonesia 2,3 juta/tahun dilakukan oleh oleh remaja. Survei fact sheet secara nasional
memperlihatkan sebesar 58 persen dari 2.558 kasus aborsi dilakukan oleh remaja usia 14-19 tahun.
Banyak remaja yang melakukan aborsi secara sembunyi-sembunyi yang tentu saja tidak aman,
misalnya dengan datang ke dukun bayi dengan cara diurut atau diinjak-injak, atau dengan cara memakan
nanas muda, minum ramuan “peluntur” kandungan atau dengan memasukkan pelepah daun papaya
bergetah. Hal ini maksudkan agar janinnya hancur kemudian mudah dikeluarkan. Padahal, perilaku
seperti ini berakibat pada kesehatan reproduksinya, misalnya terjadinya pendarahan, kanker atau tumor
rahim, atau rusaknya alat reproduksi sehingga tidak mampu hamil lagi karena struktur alat-alat
reproduksinya sudah rusak.
Kebiasaan seks pranikah mengharuskan perempuan memilih antara menggugurkan kandungan atau
mengasuh anak di luar nikah, keduanya sama-sama memiliki resiko terancam kesehatan fisik, mental
dan sosial. Perempuan yang melahirkan pada usia muda (di bawah 20 tahun) akan berakibat buruk pada
kesehatan ibu dan anak yang dilahirkan karena kesehatan bayi sangat dipengaruhi oleh usia ibu waktu
melahirkan. Akibat buruk tersebut antara lain: Pertama, kematian ibu. Ibu yang melahirkan di bawah usia
20 tahun mendapat resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada
umur 20-30 tahun.
Kedua, kematian bayi. Bayi yang lahir dari ibu muda (usia di bawah 20 tahun) lebih sering
mengalami kejadian premature (lahir belum waktunya, berat badan kurang) dan angka kematian tinggi.
Berat badan kurang pada bayi yang dilahirkan oleh ibu muda dapat menimbulkan cacat bawaan fisik
atau mental pada bayi seperti ayan, kejang, kebutaan, ketulian dan lain-lain. Belum lagi, persoalan yang
berkaitan dengan persalinan pada ibu yang belum cukup umur di antaranya; perdarahan yang banyak,
kurang darah, keracunan hamil, preklamsia dan eklamsia.
Perkawinan dalam usia muda berdampak pada kesehatan sosial remaja, yaitu perceraian yang dua
kali lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang menikah di atas usia 20 tahun. Hal ini terjadi karena
perkawinan pada usia muda dianggap mengurangi atau membatasi kebebasan pribadi. Dalam hal ini,
seseorang tidak dapat berbuat seperti waktu masih bujangan atau gadis. Di samping itu, perkawinan usia
muda belum sempat atau belum mempunyai pendidikan dan keterampilan yang cukup sehingga tidak
bisa mendapatkan lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang cukup atau memadai. Penghasilan yang
rendah menyebabkan kurangnya fasilitas yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan sandang,
pangan, perumahan dan kesehatan bagi anggota keluarga. Hal tersebut dapat menimbulkan benih-benih
penyebab perceraian.

D. UPAYA MENINGKATKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA


Kondisi di atas tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Pemerintah telah memaklumkan pentingnya
kesehatan reproduksi remaja dalam program propernas 2000, namun untuk mencapai hal tersebut, tidak
cukup hanya sekadar pencanangan. Perlu langkah nyata, dan pemerintahlah yang harus menjadi
pelopornya, dibantu oleh semua kalangan. Berikut beberapa hal yang harus segera dilakukan untuk
mengatasi masalah tesebut.
Pertama, mengikis kemiskinan. Kemiskinan inilah yang membuat banyak orangtua (juga orang
dewasa lainnya) tega untuk melacurkan anak dan remaja. Ini adalah tugas wajib pemerintah. Hal ini bisa

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

dimulai dengan sungguh-sungguh dengan cara mengikis korupsi (dalam segala tataran, di segala bidang)
serta menciptakan lapangan kerja.
Kedua, menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi. Hal ini bisa dilakukan melalui media
cetak (koran, majalah dan media cetak lainnya) dan elektronik (radio, televisi, atau internet). Tidak
tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja melakukan
eksplorasi sendiri, baik melalui media cetak, elektronik, maupun pertemanan yang besar kemungkinan
justru salah. Hal ini diperparah dengan masih banyak mitos menyesatkan seperti mitos hubungan seks
yang hanya dilakukan sekali tidak akan menyebabkan kehamilan. Mitos lain adalah mitos kehamilan
tidak akan terjadi pada perempuan yang belum mengalami menstruasi, kehamilan tidak akan terjadi bila
intercourse dilakukan hanya sekali, serta intercourse yang hanya menempel di luar vagina atau celana
dalam tidak akan menyebabkan kehamilan.
Ketiga, memperbanyak akses pelayanan kesehatan, yang iringi dengan sarana konseling. Hal ini
penting mengingat masalah kesehatan reproduksi remaja tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di
desa-desa. Dalam langkah ini bisa bekerja sama dengan masyarakat melalui tokoh masyarakat, tokoh
agama, rumah sakit dan sekolah.
Keempat, meningkatkan partisipasi remaja, dengan mengembangkan peer educator (pendidik sebaya)
yang diharapkan membantu remaja membahas dan menangani permasalahannya, termasuk kesehatan
reproduksi. Langkah ini penting mengingat kehidupan remaja sangat dipengaruhi teman sebaya.
Langkah ini juga akan membuat remaja merasa dihargai, didengar, dan dilibatkan sehingga turut ber-
tanggung jawab atas kesehatan reproduksi remaja.
Kelima, meninjau ulang segala peraturan yang membuka terjadinya reduksi atas kesehatan
reproduksi remaja, seperti Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang memberikan celah bagi terjadinya
pernikahan dini. Selain itu, pemerintah harus segera menggulirkan peraturan yang mencegah
kemungkinan terjadinya tindak kekerasan (perkosaan) terhadap remaja, peraturan yang mencegah
eksploitasi seksual terhadap remaja, serta peraturan yang mencegah terjadinya trafficking.
Keenam, meminimalkan informasi tentang kebebasan seks. Dalam hal ini, media massa dan media
hiburan berperan penting.
Ketujuh, menciptakan lingkungan keluarga yang kokoh, kondusif, mendukung dan informatif.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan bertanya
tentang kesehatan reproduksi kepada orang tuanya. Bahkan, mereka merasa paling tidak nyaman bila
harus membahas seksualitas dengan orangtuanya.

E. PENUTUP
Remaja sering dicap sebagai sumber masalah oleh orang dewasa. Hanya sedikit yang menyadari
bahwa remaja membutuhkan banyak informasi, yang menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi
dalam dirinya, baik fisik maupun emosi. Mereka juga membutuhkan dukungan untuk bisa menjadi
individu yang sesuai dengan figur identitasnya yang positif. Mereka membutuhkan “teman” ketika harus
memutuskan sesuatu demi masa depannya.
Oleh karena itu, orangtua dan kaum pendidik harus bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan
mendidik remaja agar berhati-hati terhadap gejala-gejala sosial, terutama yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi, yang berlangsung saat ini. Sudah saatnya pemberian penjelasan dan pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi remaja ditingkatkan. Hal ini dikarenakan pandangan sebagian besar

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

masyarakat yang menganggap kesehatan reproduksi (terutama seksualitas) adalah suatu hal yang
alamiah, yang nantinya akan diketahui dengan sendirinya setelah mereka dewasa dan menikah. Oleh
karenanya, hal itu dianggap suatu yang tabu untuk diinginkan dan membahayakan bagi remaja.
Paradigma tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan informasi melalui teknologi yang mudah
diakses oleh remaja.
Saat ini, setidaknya ada 44 juta remaja di tanah air (sekitar 20%), kepada merekalah sesungguhnya
masa depan ini dititipkan. Dengan demikian, sangatlah tidak tepat apabila tidak ada kepedulian atas kua-
litas mereka, termasuk kualitas kesehatan reproduksi mereka.

ENDNOTE
1
Organ reproduksi primer yaitu organ vital yang terkait langsung dengan proses
reproduksi, pada perempuan meliputi vulva, vagina, indung telur, tuba fallopi,
uterus, dan cervix) sedangkan alat reproduksi sekunder meliputi payudara. Pada
laki-laki organ reproduksi primer meliputi: testis dan penis, sedangkan organ
reproduksi sekunder meliputi kelenjar prostate dan kantong semen. Baca YLKI,
Informasi Kesehatan Reproduksi Perempuan (2002), hal. 3-22.
2
Ibid., hal. xxii.
3
Ninuk Widiantoro, Perkembangan Remaja dan Seksualitas (YLKI, 2002), hal.
45.
4
Audien laki-laki menyatakan hampir setiap hari (bahkan kadang sehari 2-3
kali) melakukan onani, salah satu cara untuk mendapatkan kenikmatan seksual
adalah dengan cara mengukus ketimun kemudian dilubangi dan selanjutnya penis
dimasukkan dalam lubang ketimun yang masih hangat tersebut. FGD tentang
kesehatan reproduksi remaja di Kiaracondong Bandung terhadap 10 remaja laki-
laki dan perempuan pada 25 Februari 2003, program Pusat Informasi Kesehatan
Reproduksi (PIKER) Fatayat NU Jawa Barat bekerja sama dengan Ford Foundation.
5
Pertanyaan yang sering muncul dalam talk show radio yang penulis bawakan
tentang kesehatan reproduksi remaja di RRI Bandung bekerjasama dengan BKKBN
Jawa Barat, Radio MGT, Bandung News Radio tahun 2002-2005.
6
Pendampingan penulis terhadap korban ketika di Rifka Annisa WCC Jombang
(sekarang berganti nama menjadi Women Crisis Center Jombang) tahun 1999. Pada
saat outreach (sebutan yang digunaka dalam menjemput korban di rumahnya
berdasarkan laporan dari pihak tertentu untuk dilakukan pendampingan) korban
menceritakan “saya lagi nonton TV, trus saya ditarik dan kemudian diseret masuk
dapur sambil membawa pisau besar, baju saya dibuka dengan paksa dan saya
ditelanjangi sama dia sambil mengancam saya dan orangtua akan dibunuh jika
berteriak dan menceritakan kejadian tersebut pada orang lain. Saya sangat
ketakutan...”
7
Hasil penelitian yang dilakukan oleh LSM sahabat anak dan remaja dari
tahun 2001-2002 pada 2000 responden.

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

8
Survey CRESSY tentang alasan remaja melakukan hubungan seksual pranikah
menunjukkan bahwa tidak ada paksaan atau kekerasan yang menyertai hubungan
seksual pranikah, sebanyak 92,5 persen dari 200 responden menyatakan bahwa
alasan pertamakali melakukan hubungan skesual pranikah adalah karena
dorongan jatuh cinta. Dalam konseling penulis terhadap remaja putri (16 tahun)
yang telah pregnancy menyatakan hubungan seks pranikah dilakukan karena suka
sama suka (tidak dapat mengontrol dorongan seks keduanya), pada 26 Juni 2009.
9
Neni Utami Adiningsih, Pikiran Rakyat, 5 Juni 2004.
10
Wali Mujbir sering kali dijadikan hak bagi orang tua untuk memaksakan
anaknya dalam memilih suami dan menikahkan anak perempuan meski tanpa
sengetahuan atau seizin anak perempuannya.
11
Kesenjangan gender dan faktor penyebabnya, ada apa dengan gender dalam KB
dan kesehatan reproduksi (Jakarta: BKKBN, 2002), hal. 28.
12
Suara Pembaharuan 5 Mei 2004.
13
Media Indonesia, 22 April 2004.
14
www.pikas.bkkbn.go.id.
15
Siti Hikmah Anas, “Membentengi Remaja Perempuan dari HIV/AIDS” dalam
Yinyang.
16
Lihat juga data yang bersumber dari Departemen Kesehatan Direktorat
Pemberantasan Penyakit menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM-PL) dengan
judul “Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia” sampai dengan Juni 2005. Tidak
heran jika Departemen Kesehatan RI mengestimasikan adanya 124.000-196.000
pengguna jarum suntik di Indonesia adalah remaja, sekitar 30-93% sudah terinfeksi
HIV dan dua pertiganya tergolong seksual aktif sejak usia 16 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Neni Utami. 2004. “Buruk, Kesehatan Reproduksi Remaja” dalam Pikiran Rakyat.
22 April 2004.
Anas, Siti Hikmah. 2005. “Hubungan Antara Sikap dan Norma Subjektif dengan Intensi dan
Perilaku Hubungan Seksual Pranikah Remaja (Studi pada Siswa SMU “X” di Kota
Bandung)” dalam Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran.
. 2007. “Membentengi Remaja Perempuan dari HIV/AIDS” dalam Jurnal Yinyang. Purwokerto:
PSG STAIN Purwokerto.
Arkutu, A.A. 1995. Healthy Women, Healthy Mothers. 2nd Edition. Family Care, Inc.
BKKBN. 2002. Kesenjangan Gender dan Faktor Penyebabnya, Ada Apa dengan Gender dalam KB
dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta.
BKKBN Jawa Timur. 2001. Memahami Dunia Remaja (Seri Informasi KRR, Buku Bacaan Orang
Tua) Edisi II.

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214
JURNAL STUDI GENDER & ANAK

Departemen Kesehatan Direktorat Pemberantasan Penyakit menular dan Penyehatan


Lingkungan (PPM-PL), 2005, Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta.
Hendarwati, Nina. 2001. Sketsa Kesehatan Reproduksi Perempuan Desa. Yayasan Pengembangan
Pedesaan bekerjasama dengan Ford Foundation, YPP Press.
Jurnal Perempuan Edisi 16. TT. “Ibu dan Anak Perempuan”. Yayasan Jurnal Perempuan.
Media Indonesia, 22 April 2004.
Pipher, Mary. 1994. Reviving Ophelia: Saving the Selves of Adolescent Girls. New Ballatintine
Books.
Santrock, 1996, Adolesence 6, Times Mirror Highr Education.
. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Siegler, Ava L. 1998. The Essential Guide to the New Adolescence: How to Raise an Emotionally
Healthy Teenage. Plume.
Siregar, Ashadi. 2002. AIDS, Gender dan Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: LP3Y.
Stoppard, Miriam. 1994. Womans Body, A Manual for Life. Dorling Kinderslay Ltd.
Suara Pembaharuan 5 Mei 2004.
Support, No. 68, Mei 2005.
UNICEF, 2002, Speaking Out.
UNAIDS. 2004. AIDS Epidemic Update. Geneve Switzeeland: UNAIDS.
www.pikas.bkkbn.go.id
YLKI. 2002. Informasi Kesehatan Reproduksi Perempuan (seri perempuan mengenali dirinya).

Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto YINYANG ISSN: 1907-2791


Vol.5 No.1 Jan-Jun 2010 pp.199-214

Anda mungkin juga menyukai