Anda di halaman 1dari 24

PEREKONOMIAN INDONESIA

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

Oleh.

Kelompok 5

Luh Gede Sintya Nurmala Sari (1515351070)/17

Putu Elsa Pratiwi Dewi (1515351082)/18

Kadek Dina Sabina Rini (1515351090)/19

Ni Made Anita Dewi Natami (1515351092)/20

JURUSAN AKUNTANSI PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2017

1
1.1. Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan,
yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis da kuantitatif tentang keadilan ditribusi
pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya
bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang dan distribusi “fungsional” atau
distribusi kepemilikan factor-faktor produksi. Dari kedua jenis distribusi pendapatan ini
kemudian dihitung indicator untuk menunjukkan distribusi pendapatan masyarakat.
1.1.1. Distribusi Pendapatan Ukuran
Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi
ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering
digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Cara mendapatkan
pendapatan itu tidak dipermasalahkan. Yang diperhatikan disini adalah adalah
seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli darimana
sumbernya, entah itu berasal dari gajinya karena bekerja, atau berasal dari sumber
yang lain seperti bunga tabungan, laba, hasil sewa, hadiah ataupun warisan. Selain itu
lokasi sumber pendapatan (desa atau kota) maupun sector atau bidang kegiatan yang
menjadi sumber pendapatan (pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga
diabaikan.
Para ekonom dan ahli statistic cendrung mengurutkan semua individu tersebut
semata-mata berdasarkan pendapatan yang diterimanya, lantas membagi total
populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran. Populasi dibagi menjadi lima
kelompok atau kuntil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile).
Tabel 5.1: Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara Berdasarkan
Pangsa Pendapatan – Kuintil dan Desil
Individu Pendapatan/orang Pangsan (%) Pangsan (%)
(unit barang) Kuintil Desil
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9

2
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total (Pendapatan Nasional) 100 100 100
Catatan: ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga
termiskin dibagi dengan jumlah pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya =
14/51 = 0,28
Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu
(atau lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian
diurutkan berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit),
hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional
yang merupakan penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit,
seperti tampak pada kolom 2 dalam tabel tersebut. Dalam kolom 3, segenap rumah
tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4
individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20 persen populasi
terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen (dalam hal
ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8)
menerima 9 persen dari pendapatam total. Dengan kata lain, 40 persen populasi
terendah (kuintil 1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan
20 persen teratas (kuintil ke lima) dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan
total.

3
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi
ukuran, yakni:
(1) Rasio Kutnezs
Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat
ditemukan dalam kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima
oleh 20 persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok
terbawah. Rasio yang sering disebut sebagai rasio Kutnezs inilah (dinamai
berdasarkan nama pemenang Nobel Simon Kutnezs), yang sering dipakai sebagai
ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrim, yaitu kelompok yang
sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di satu Negara. Rasio ketimpangan
dalam contoh ini adalah 14 dibagi dengan 51 atau sekitar 0,28.
(2) Kurva Lorenz
Metode lainnya yang lazim dipakai untuk menganalisis statistic pendapatan
perorangan adalah dengan menggunakan kurva Lorenz (Lorenz Curve). Kurva
Lorenz menunjukkan hubungan kuantitatif actual antara persentase penerima
pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima
selama, misalnya, satu tahun. Pada peraga 1, garishorisontal menunjukkan
persentase kumulatif penerima pendaptan, sedangkan sumbu vertical menyatakan
baian dari pendapatan total yang diterima masing-masing persentase kelompok
penduduk tersebut. Masing-masing sumbu berakhir pada titik 100 persen,
sehingga dia berbentuk bujur sangkar. Satu garis diagonal ditarik dari titik nol
pada sudut kiri bawah menuju ke sudut kanan atas, pada setiap titik yang terdapat
pada garis diagonal itu, persentase pendapatan yang diterima persis sama dengan
persentase jumlah penerimanya, misalnya titik tengah garis diagonal
menunjukkan 50 persen pendapatan yang diterima oleh 50 persen
penduduk,begitu seterusnya pada setiap titik di garis diagonal. Dengan kata lain,
garis diagonal tersebut menunjukkan “pemerataan sempurna” (perfect equality)
dalam distribusi ukuran pendapatan.

4
Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis
pemerataan sempurna), maka semakin timpang atau tidak merata distribusi
pendapatannya. Kasus ektrem dari ketidakmerataan sempurna (yaitu, apabila
hanya seorang saja yang menerima seluruhpendapatan nasional, sementara orang-
orang lainnya sama sekali tidak menerima pendapatan), akan diperhatikan oleh
Kurva Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan
sumbu vertical sebelah kanan. Oleh karena itu tidak ada suatu negara pun yang
memperlihatkan pemerataan sempurna di dalam distribusi pendapatannya, semua
kurva Lorenz dari setiap negara akan berada di sebelah kanan garis diagonal.
Semakin parah ketidakmerataannya atau ketimpangan distribusi pendapatan di
satu negara, maka bentuk kurva Lorenznya pun akan semakin melengkung
mendekati sumbu horizontal bagian bawah.

(3) Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat


Perangkat yang terakhir dan sangat mudah digunakan untuk mengukur derajat
ketimpangan pendapatan relative di satu Negara, adalah dengan menghitung rasio
bidang yang terletak di antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas
separuh segi empat di mana kurva Lorenz tersebut berada. Pada Peraga 2, rasio
ini adalah rasio daerah A yang diberi warna agak gelap dengan luas segitiga
BCD.rasio ini dikenal dengan nama rasio konsentrasi Gini (Gini concentration
ratio) atau sederhananya disebut koefisien Gini (Gini coefficient).

5
Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar
antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Dibawah
ini merupakan contoh distribusi pendapat.

1.1.2. Distribusi Fungsional


Ukuran distribusi pendapatan kedua yang lazim digunakan adalah distribusi
pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per factor ekonomi. Ukuran
ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-
masing factor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan
fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase pendapatan tenaga kerja
secara keselruhan dan membandingkan dengan persentase pendapatan total yang
dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan
dari tanah, modal uang, dan modal fisik).
Ilustrasi sederhana dibawah tentang teori distribusi tradisional mengenai
pendapatan fungsional. Dalam peraga tersebut, diasumsikan bahwa hanya terdapat
dua factor produksi saja yaitu modal, yang persediaannya dianggap tetap atau baku
dan tenaga kerja, yang merupakan satu-satunya factor produksi variabel (kuantitanya
dapat berubahsetiap saat). Sayangnya, relevansi teori fungsional menjadi kurang
tajam karena tidak memperhitungkan pentingnya peranan dan pengaruh kekuatan-
kekuatan di luar pasar yang menentukan harga factor-faktor produksi ini, misalnya,
peran kekuatan tawar menawar secara kolektif antara pihak pengusaha dan serikat-
serikat buruh dalam menentukan upah disektor modern, dan kekuatan para monopolis

6
serta pemilik tanah yang kaya mampu memanipulasi harga modal, tanah, dan
outputnya demi keuntungan pribadi.

1.1.3. Perkembangan Indeks Ketimpangan


Sebagai hasil dari penerapan berbagai cara untuk mencapai ukuran pembagian
pendapatan di bawah ini disampaikan data mengenai koefisien Gini untuk periode
1964/65 sampai 1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang
diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari 2002 sampai 2007
untuk menghitung koefisien Kutnezs
Tabel 5.2: Koefisien Gini pengeluaran di Indonesia, 1964/65-1976
Pengeluaran Konsumsi Per Kapita
Keterangan Data Susenas
1964-65a 1967b 1970 1976
Perkotaan
Jawa 0,313 0,323 0,386 0,386
Luar Jawa 0,403 t.a. 0,332 0,329
Indonesia 0,356 t.a. 0,341 0,377

Pedesaan
Jawa 0,336 0,294 0,312 0,302
Luar jawa 0,349 t.a. 0,313 0,313
Indonesia 0,358 t.a. 0,318 0,354
a
Data untuk November 1964 – Februari 1965.

7
b
Data untuk September – Oktober 1967.
c
Data untuk periode Januari – April.
Sumber: A. Booth dan P. Mc Cawley 1990 (h242)
Sayang sekali tidak diperoleh data mengenai ketimpangan distribusi pendapatan
Indonesia untuk seluruh periode perekonomian Indonesia. Namun dapat di duga bahwa
distribusinya lebih timpang pada waktu pemerintahan Sukarno, lebih kurang timpang
(lebih merata) pada pemerintahan Suharto. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa tingkat
ketimpangan pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun 1964/65 hampir sama
untuk perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang sedang. Sedangkan
pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan di pedesaan di Jawa,
namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa, yakni di pedesaan lebih merata. Kalau kita
bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi
lebih timpang, sedangkan di daerah pedesaan di Jawa selalu menjadi lebih merata sampai
tahun 1976. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena UUPM dan UUPMDN dan
beberapa kebijaksanaan lainnya yang mulai dilaksanakan pada awal pemerintahan
Suharto lebih banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kaya perkotaan di Jawa sehingga
distribusi pendapatan di perkotaan Jawa menjadi lebih timpang. Hal yag sebaliknya
terjadi di pedesaan di Jawa, yakni program pembangunan pertanian dan pedesaan,
terutama program BIMAS-INMAS, lebih banyak dinikmati oleh golongan miskin di Jawa
sehingga distribusi pendapatannya menjadi lebih merata (koefisien Gini menurun).
Koefisien Gini secara keseluruhan di perkotaan menjadi lebih timpang, sedangkan di
pedesaan sedikit menjadi lebih baik bila kita bergerak dari 1964/65 menuju 1976.
Tabel 5.3: Persentase Pendapatan yang diterima Oleh Berbagai Kelompok Penduduk di
Indonesia, Rasio Kutnezs dan Gini Rasio,2002-2007.

Kelompok penduduk 2002 2003 2004 2005 2006 2007


40% Terendah 20,92 20,57 20,80 18,81 19,75 19,10
40% Menengah 38,89 37,10 37,13 38,10 38,10 36,11
20% terkaya 42,19 42,33 42,07 42,15 42,15 44,79
Rasio Kutnezs 0,50 0,49 0,49 0,42 0,47 0,43
Gini Rasio 0,33 0,32 0,32 0,36 0,33 0,37
Sumber: BPS seperti pada BI LIPI 2007.
Kalau kita bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan
bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan
di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang baik

8
ditunjukkan oleh koefisien Kutnezs maupun koefisien Gini. Pada awal periode (2002-
2004) bagian pendapatan yang diterima oleh 40 persen termiskin relatif tetap sekitar 20
persen dan bagian yang diterima oleh 20 persen terkaya juga tetap (sekitar 42 persen),
sehingga koefisien Kutnezs juga relatif konstan (bedanya 0,01 karena pembulatan), dan
koefisien Gini juga menunjukkan hal yang sama daro 0,33 (pada tahun 2002) menjadi
0,32 pada dua tahun setelah itu. Dari tahun 2004 ke 2005 distribusi pendapatan menjadi
sedikit lebih buruk, bagian yang diterima oleh 40 persen termiskin menurun dan bagian
yang diterima oleh 20 persen terkaya meningkat sehingga koefisien Kutnezs mengalami
penurunan. Hal ini juga ditunjukkan oleh Koefisien Gini yag menunjukkan distribusi
pendapatan menjadi lebih timpang. Memburukknya distribusi pendapatan dari tahun 2006
ke 2007 (ditunjukkan oleh menurunnya koefisien Kutnezs dan menaiknya koefisien Gini)
mungkin dapat dijelaskan karena adanya kenaikan harga-harga sebagai akibat naiknya
harga bensi ketika itu. Kenaikan harga-harga rupanya lebih menguntungkan kelompok
kaya dibandingkan dengan kelompok miskin, sebagaimana diperjuangkan oleh para
demonstran yang menentang kenaikan harga premium waktu itu.

1.2. Kemiskinan
Yang dimaksud dengan kemiskinan di sini adalah penduduk miskin, yakni penduduk
yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimun tertentu – atau dibawah
“garis kemiskinan internasional”. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara,
tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara, dan juga
memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk
miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar paritas daya beli
(ppp). Kemiskinan absolut dapat da memang terjadi dimana-mana, di Jakarta, di Bali, di
Nusa Penida, di Medan, walaupun kadarnya (dilihat dalam persentase terhadap jumlah
penduduk) berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.
1.2.1. Mengukur Kemiskinan Absolut1)
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala
(headcount)”,H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya
berada dibawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut
dianggap sebagai bagian dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala
(headcount index), H/N. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu
konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam
9
menangulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu. Gagasan yang
mendasari penetapan level ini adalah satu standar minimum di mana seseorang hidup
dalam “kesengsaraan absolut manusia”, yaitu ketika kesehatan seseorang sangat
buruk.
Dalam banyak hal, metode dan pnyederhanaan perhitungan jumlah penduduk
yang masih hidup di bawah garis kemiskinan itu sendiri memang masih mengandung
banyak keterbatasan. Oleh karena itu beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan
indikator jurang kemiskinan (poverty gap) yang mengukur pendapatan total yang
diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas
garis itu. Pada peraga di bawah ini, meskipun di negara A dan B, 50 persen
penduduknya sama-sama masih berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang
kemiskinan di A ternyata lebih lebar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian
negara A harus berusaha lebih keras guna memerangi kemiskinan absolut
penduduknya.
Kita juga tertarik mempelajari seberapa jauhkah pendapatan kelompok miskin
berada di bawah garis kemiskinan. “Kekurangan pendapatan total” atau jurag
kemiskinan total (total poverty gap = TPG) dari kaum miskin didefinisikan sebagai:

TPG = ∑(𝑌𝑝 − 𝑌𝑖 )
𝑖=1

10
Kita dapat mengartika TPG secara sederhana (dalam hal ini tidak diperhitungkan
biaya administrasi atau efek ekuilibrium) sebagai jumlah uang per hari yang diperlukan
untuk mengangkat perekonomian setiap orang miskin di negara itu sampai pada standar
minimum yang telah ditentukan. Jika dihitung atas dasar per kapita, kekurangan
pendapatan rata-rata, atau jurang kemiskinan rata-ratanya, (average poverty gap) adalah:

𝐴𝑃𝐺 = 𝑇𝑃𝐺/𝐻

Sering kali, kita juga tertarik mempelajari ukuran kekurangan pendapatan dalam
hubungannya dengan garis kemiskinan, sehingga kita dapat menggunakan jurang
kemiskinan yang dinormalisasikan (normalized poverty gap =NPG) = APG/Yp sebagai
ukuran kekurangan pendapatan; ukuran ini berkisar antara nol dan satu, sehingga ukuran
ini bermanfaat jika kita menginginkan ukuran jurang tanpa unit, agar perbandingan antar
negara atau antar waktu bisa lebih baik.
Seperti dalam ukuran ketimpangan, ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang
diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yaitu prinsip-prinsip
anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional. Kedua
prinsip yang pertama (anonimitas dan independensi populasi) sangat mirip karakteristik
yang digunakan untuk membahas indeks ketimpangan. Ukuran cakupan kemiskinan tidak
boleh tergantung pada siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah
penduduk yng banyak atau sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa dan jika anda
memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan, jika
semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih
tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan selalu lebih rendah setelah
pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut mempunyai monotonisitas yang kuat (strong
monotocity). Rasio headcount memenuhi asas monotonisitas, namun bukan yang kuat.
Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal lain konstan, jika
ada mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya
perekonomian akan menjadi lebih miskin. Ukuran rasio headcount memenuhi syarat
anonimitas, independensi populasi, dan monotonisitas, namun gagal memenuhi syarat
sensitivitas distribusional (dengan kata lain, rasio ini tidak akan menghitung dampak
deferensial dari, katakanlah, kenaikan harga beras). Sedangkan headcount yang sederhana
gagal, bahkan untuk memenuhi prinsip independensi populasi.

11
Indeks kemiskinan yang terkenal yang memenuhi ke empat kriteria di atas adalah
indeks Sen dan bentuk tertentu dari Indeks Poster-Grer-Thornbeck (FGT) yang sering
disebut sebagai kelas Pαdari ukuran kemiskinan.Pα dapat ditulis sbb:

∑𝐻
𝑖=1(𝑌𝑝− 𝑌𝑖 )

𝑃∝ = 1⁄𝑁
𝑌𝑝

Dimana Yi adalah pendapatan dari orang miskin yang ke i, Yp adalah garis kemiskinan
dan N adalah jumlah penduduk. Indeks Pαmempunyai bentuk yang berbeda-beda
tergantung pada nilai α. Jika α=0 maka pembilangnya sama dengan H dan ia menjadi
sama rasio headcount H/N. Jika nilai α=1 maka akan diperoleh jurang kemiskinan yang
dinormalisasi. Jika α=2 ukuran yang dihasilkan adalah

𝑃2 = (𝐻 ⁄𝑁) {𝑁𝑃𝐺 2 + (1 − 𝑁𝑃𝐺)2 (𝐶𝑉𝑝 )2 }

dimana NPG = normalized poverty gap = APG/Yp, CVp = koefisien variasi


pendapatan antar kaum miskin. Rumus P2 ini berisi ukuran CVpdan memenuhi keempat
kriteria kemiskinan di atas. Jelaksan P2meningkat jika H/N, NPG, dan CVpmeningkat.
Ukuran kemiskinan P2 ini makin banyak digunakan oleh Bank Dunia, bank pembangunan
regional, sebagian besar lembaga PBB, dan dalam penelitian empiris mengenai
kemiskinan.
Ukuran kemiskinan lain diperkenalkan oleh UNDP yang dikenal dengan human
Poverty index = HPI (indeks kemiskinan manusia = IKM ). UNDP yakin bahwa
kemiskinan manusia harus diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama (three key
deprivations), yaitu kehidupan (lebih dari 30 persen penduduk negara-negara yang paling
miskin cenderung bertahan hidup kurang dari 40 tahun), pendidikan dasar (diukur oleh
persentase penduduk dewasa yang buta huruf), dan keseluruhan ketetapan ekonomi (yang
diukur oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanankesehatan
dan air bersih ditambah dengan persentase anak-anak di bawah usia 5 tahun yang
kekurangan berat badan). Oleh karena nilai IKM menunjukkan proporsi penduduk yang
secara luas dipengaruhi oleh hilangnya tiga hal utama (daya hidup, ilmu pengetahuan dan
ketetapan ekonomi) maka IKM yang rendah menunjukkan hal yang bagus (yakni
sedikitnya persentase penduduk yang mengalami kehilangan tiga hal tersebut). Nilai IPM
yang tinggi menunjukkan kehilangan yang lebih besar.

12
1.2.2. Cakupan Kemiskinan Absolut
Jumlah dan persentase penduduk miskin untuk 1976-1999, dan garis kemiskinan
di Indonesia untuk tahun 2005 sampai dengan 2007 disajikan dalam dua tabel berikut.

Tabel 5.4: Jumlah dan Persentase penduduk miskin di Indonesia 1976-1999


Penduduk Miskin
Tahun
% dari jumlah penduduk1976 Jumlah (juta orang)
1976 40,08 54,2
1978 33,31 47,2
1980 28,56 42,3
1981 26,85 40,6
1984 21,64 35,0
1987 17,42 30,0
1990 15,08 27,2
1993 13,67 25,9
1996 11,34 22,5
1998 20,30 49,5
1999 23,00 48,5
Sumber: BPS seperti pada Tambunan, Tabel 3.8.

13
3. Tabel 5.5: garis kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin, 2005-2007
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Jumlah
Persentase
Daerah/ Non Penduduk
Bahan Penduduk
Tahun Bahan Jumlah Miskin
makanan Miskin
makanan (juta)
Perkotaan
2005 103 992 46 807 150 799 12,40 11,37
2006 126 527 48 797 175 324 14,29 13,36
2007 132 258 55 683 187 941 13,56 12,52
Pedesaan
2005 84 014 33 245 117 259 22,70 19,51
2006 103 180 28 076 131 256 24,76 21,90
2007 116 265 30 572 146 837 23,61 20,37
Kota + Desa
2005 91 072 38 036 129 108 35,10 15,97
2006 114 619 38 228 152 847 39,05 17,75
2007 123 992 42 704 166 696 37,17 16,58
Sumber: BPS seperti pada BI LPI 2007.
Dari Tabel 5.4 di atas ternyata bahwa pembangunan ekonomi telah menurunkan
persentase penduduk midkin lebih dari 40 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar 54
juta orang) pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,34 persen dari jumlah penduduk (atau
sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996, untuk kemudian sebagai akibat dari krisis
ekonomi meningkat menjadi sekitar 23 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar 49 juta
orang) pada tahun 1999. Setelah itu terus mengalami penurunan sehingga menjadi sekitar
16 persen dari jumlah penduduk (atau sejumlah 37 juta orang) pada tahun 2007 (lihat
Tabel 5.5). dapat dikatakan bahwa persentase yang cukup tinggi dari seluruh penduduk
Indonesia (16-18%) masih berada dibawah garis kemiskinan dan merupakan tugas yang
berat bagi pemerintah sekarang kalau kita perhatikan kutipan pada awal bab ini bahwa
urusan yang belum terselesaikan pada abad 21 adalah pemberantasan kemiskinan ( Juan
Somavia, United nations World Summit for Socisl Development, 1995) atau masalah
kemiskinan menjadi tujuan pembangunan milenium dewasa ini di Indonesia.

14
1.2.3. Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin
Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan
yang sangat tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolute yang parah. Pada
tingkap pendapatn tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, maka
akan semakin rendah jumlah kemiskinan absolut. Tingginya tingkat pndapatan per
kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan absolut.
Sebagian besar kelompok penduduk miskin bertempat tinggal di daerah-daerah
pedesaan, sebagian besar dari pengeluaran pemerintah justru lebih tercurah ke daerah-
daerah perkotaan dan berbagai sektor ekonominya. Di Indonesia, nelayan ikan sangat
miskin dibandingkan petani. Hal ini disebabkan karena nelayan tidak punya tanah dan
proses produksinya tidak bersifat cultivation, seperti halnya di pertanian. Dengan
demikisn,di Indonesia nilai tambah produk pertanian jauh lebih tinggi daripada nilai
tambah dari produk-produk ikan.
Pada umumnya buruh-buruh pertanian tidak memiliki tanah sendiri. Mereka
disebut sebagai petani gurem, yang merupakan golongan termiskin dari kelompok
tani. Ada 3 faktor penyebab utama sektor pertanian merupakan pusat kemiskinan di
Indonesia.
1. Tingkat produktivitas yang rendah disebabkan karena jumlah pekerja di sektor
tersebut terlalu banyak, sedangkan tanah, capital, teknologi terbatas, dan tingkat
pendidikan petani yang rata-rata sangat rendah.
2. Daya saing petani antar komoditas pertanian terhadap komoditas industri semakin
lemah. Perbedaan harga ini disebabkan antara lain oleh perbedaan nilai tambah
antara hasil pertanian dan hasil industri serta tat niaga yang lebih menguntungkan
produsen di sektor industri.
3. Tingkat diversifikasi usaha di sektor pertanian ke jenis-jenis komoditas bukan
bahan makanan yang memiliki prospek pasar dan harga yang lebih baik masih
sangat terbatas.
1.2.4. Faktor-faktor penyebab Kemiskinan
a. Tingkat pertumbuhan output (produktivitas tenaga kerja)
b. Tingkat upah neto
c. Distribusi pendapatan
d. Kesempatan kerja (termasuk jenis pekerjaan yang tersedia)
e. Tingkat inflasi
f. Pajak dan subsidi
15
g. Investasi
h. Alokasi kualitas sumber daya alam
i. Kondisi fisik dan alam suatu wilayah
j. Etos kerja dan motivasi kerja
k. Ketersediaan fasiltas umum
l. Bencana alam dan peperangan
Sebagian besar faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Misalnya, tingkat pajak yang tinggi membuat tingkat upah neto rendah dan ini bisa
mengurangi motivasi kerja seseorang sehingga produktivitasnya menurun,
produktivitas menurun selanjutnya dapat mengakibatkan tingkat upah netonya
berkurang dan begitu seterusnya. Jadi tidak mudah untuk memastikan apakah karena
pajak naik atau produktivitasnya yang turun membuat pekerja tersebut menjadi miskin
karena upah netonya menjadi rendah.
1.2.5. Pertumbuhan dan Kemiskinan
Pertama, kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum
miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai
pendidikan anaknya dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter,
mempunyai banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya.
Kedua, akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru
menyaksikan fakta bahwa tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-
negara yang sekarang sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak
dikenal karena hasrat mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian yang
besar dari pendapatan mereka di dalam perekonomian negara mereka sendiri.
Ketiga, pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh
golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan gizi dan pendidikan yang rendah,
dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung
maupun tidak langsungmenyebabkan perekonomian tumbuh lambat.
Keempat, peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong
kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, sementara
golongan kaya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatnnya untuk barang-
barang mewah impor. Meningkatkan permintaan untuk barang-barang buatan lokal
memberikan rangsangan yang lebih besar kepada produksi lokal.
Kelima, penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi ekspansi
ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologis yang kuat
16
bagi melus]asnya partisipasi publik dalam proses pembangunan. Sebaliknya, lebarnya
kesenjangan pendapatan dan besarnya kemiskinan absolute dapat menjadi pendorong
negative materi dan psikologis yang sama kuatnya terhadap kemajuan ekonomi.

1.3. Pilihan Kebijaksanaan


Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/memperbaiki distribusi
pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihn, yakni:

1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang


khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi. Kebijaksanaan
ini dapat berupa:

a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum


nasional dan regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Pemerintah
menentukan tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat upah yang ditentukan di pasar bebas atas permintaan dan penawaran.
Dengan kebijaksanaan ini para investor menganggap buruh menjadi terlalu
mahal dan mereka memilih teknologi produksi yang hemat tenaga kerja.
Bagian upah pada perekonomian nasional menjadi lebih kecil, dan
kemungkinan jumlah orang miskin menjadi lebih besar.

b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah


dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan
penawaran. Misalnya pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan
pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga, penetapan kurs valuta asing yang
terlalu tinggi. Semua kebijaksanaan ini mengakibatkan harga modal terlalu
murah, yang akibat akhirnya para pengusaha akan memilih teknologi produksi
yang padat modal sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih buruk dan
orang miskin bertambah.
2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini
akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber daya atau faktor
produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah,
modal finansial seperti saham dan obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk
pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Hal ini dilaksanakan melalui UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria) 1960, yang membatasi jumlah kepemilikan tanah

17
pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak terhadap hasil(bagian laba) saham,
berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah sampai perguruan tinggi, wajib belajar,
dan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Cara lain dapat dilakukan melalui
pemberian kredit komersial dengan bunga pasar yang wajar ( bukannya dengan bunga
rentenir yang sangat tinggi) bagi para wirausaha kecil (kredit ini bisa disebut
“pinjaman mikro” seperti kredit usaha rakyat, kredit usaha tani, dan sebagainya. Akan
tetapi kebijakan-kebijakan pemerataan dan pengentasan kemiskinan ini sering
memerlukan kebijaksanaan pelengkap, tanpa kebijaksanaan pelengkap tersebut
kebijaksanaan pemerataan dan pengentasan kemiskinan tidak bisa berjalan seperti
yang diharapkan. Misalkan UUPA , tetapi tidak dibarengi oleh kebijaksanaan harga
tanah dan pupuk yang memadai, penggarap tidak mampu membeli sarana produksi
pertanian sehingga land reform tidak berjalan dengan baik. Demikian juga program
pendidikan, tanpa diikuti oleh program penyediaan kesempatan kerja yang memadai,
program pendidikan dan pelatihan tersebut menjadi mubazir.
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan
yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan (akumulasi aset dan penghasilan)
merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat progresif , yang
biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya. Sayangnya, seperti pada banyak
kebijaksanaan lainnya, banyak kebijaksanaan progresif berubah secara ajaib menjadi
pajak yang regresif dalam pelaksanaanya. Kelompok masyarakat yang rendah dan
menengah menanggung beban pajak yang lebih besar dibandingkan kelompok
berpenghasilan tinggi.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa publik.
Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang
miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik dilaksanakan
melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan asuransi kesehatan bagi
golongan miskin (jamkesmas).
Meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program pemerataan
distribusi dan program pengentasan kemiskinan. Ternyata ketimpangan distribusi masih
belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin yang luput dari program,
disamping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk menyaring orang-orang
yang benar-benar tidak mampu dengan orang-orang yang sebenarnya tidak berhak atas
bantuan yang disediakan.
18
1.4. Kesimpulan
Ada dua jenis distribusi pendapatan, ukuran dan fungsional. Dari distribusi ukuran
dapat dibuat kurva lorens, atau dihitung koefisien Kutnezs dan koefisien Gini yang dapat
dipakai untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan.
Ukuran yang paling biasa dipakai di Indonesia adalah koefisien Kutnezs, koefisien Gini,
sedangkan kurva Lorens tidak. Distribusi fungsional memberikan kerangka analisis
kebijaksanaan yang menjelaskan keadilan distribusi pendapatan berdasarkan kepemilikan
faktor produksi. Dari data mengenai koefisien Gini dapat dikatakan bahwa ketimpangan
pembagian pendapatan secara keseluruhan pada tahun 1964/65 hampir sama untuk
perkotaan dan pedesaan dan termasuk pada ketimpangan yang sedang. Sedangkan
pembagian pendapatan perkotaan di Jawa lebih merata dibandingkan di pedesaaan di
Jawa , namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa yakni di pedesaan lebih merata. Kalau kita
bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi pendapatan di perkotaan Jawa dan juga di
Indonesia pada umumnya selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah Pedesaan di
Jawa dan di Indonesia pada umumnya selalu menjadi lebih merata sampai pada tahun
1976, namun tetap pada ketimpangan sedang. Bergerak dari periode 1970an ke periode
2000an, maka dapat kita katakan bahwa tidak terjadi perusahaan yang berarti mengenai
ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia, masih tetap pada ketimpangan yang
sedang baik ditunjukan oleh koefisien Kutnezs maupun koefisien Gini meskipun pada
awalnya (2032-2004) sedikit membaik untuk kemudian menjadi sedikit lebih timpang
pada 2005 dan membaik lagi 2006 untuk akhrinya memburuk lagi tahun 2007.
Perpaduan tingkat pendapatan perkapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang
tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah atau dengan kata lain
banyak penduduk yang hidup dibawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau
dibawah “garis kemiskinan internasional”. Ada beberapa ukuran untuk penduduk miskin,
yakni dengan menghitung jumlah mereka atau disebut “hitungan per kepala (headcount),
indeks per kepala (headcount index), jurang kemiskinan (poverty gap total atau average
atau normalized), Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) dan human poverty
index(indeks kemiskinan manusia =IKM). Ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan
yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom, yakni prinsip-prinsip
anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan sensitivitas distribusional.
Kriteria yang sering dipakai di Indonesia adalah jumlah penduduk miskin presentase
penduduk miskin. Data menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi telah menurunkan
presentase penduduk miskin dari lebih dari 40 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar
19
54 juta orang) pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,34 persen dari jumlah penduduk(atau
sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996, untuk kemudian sebagai akibat dari krisis
ekonomi meningkat menjadi sekitar 23 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar 49 juta
orang) pada tahun 1999. Setelah itu terus menerus mengalami penurunan sehingga
menjadi sekitar 16 persen dari jumlah penduduk (atau sejumlah 37 juta orang) pada
tahun 2007.
Jumlah penduduk miskin yang banyak ini merupakan tugas penting dan berat
mengingat tujuan pembangunan milenium yang sekarang didengungkan dan untuk
keperluan itu pemerintah perlu mengetahui siapa penduduk miskin tersebut beserta
karakteristiknya, serta menentukan sikap yang tegas apakah pertumbuhan yang tinggi
selalu dibarengi dengan kemiskinan untuk dapat menyusun berbagai kebijakan yang
memihak kaum miskin. Berbagai kebijaksanaan yang bertujuan untuk memperbaiki
distribusi pendapatan kukuran dan fungsional telah dilaksanakan oleh pemerintah, namun
sampai sejauh ini tampaknya baru berhasil mempertahankan pembagian pendapatan pada
tingkat ketimpangan sedang dan belum begitu berhasil menurunkan jumlah orang
miskin. Hal yang terakhir ini mungkin disebabkan oleh karena banyak penduduk yang
mestinya tidak berhak atas program pemerintah tertentu namun menikmatinya.

1.5. Ringkasan
1. Distribusi ukuran adalah distribusi besar atau kecilnya bagian pendapatan yang
diterima masing-masing orang (rumah tangga) dan distribusi fungsional atau
distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi adalah distribusi besar atau kecilnya
bagian pendapatan yang diterima masing-masing pemilik faktor produksi.
2. Distribusi ukuran juga disebut distribusi pendapatan perorangan (personal
distribution of income) yang pada prinsipnya memperhatikan seberapa banyak
pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli darimana sumbernya, entah itu
berasal dari gajinya karena bekerja, atau berasal dari sumber yang lain seperti bunga
tabungan, laba, hasil sewa, hadiah, ataupun warisan.
3. Koefisien (rasio) Kutnezs adalah salah satu alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan
dengan bantuan distribusi ukuran, yakni rasio jumlah pendapatan dari 40 persen
orang (rumah tangga) termiskin dibagi dengan jumlah pendapatan dari 20 persen
orang (rumah tangga) terkaya. Nilainya bervariasi dari nol sampai satu, makin besar
makin merata atau makin mendekati satu makin timpang distribusinya.
20
4. Kurva Lorenz adalah alat ukur lain mengenai tingkat ketimpangan pendapatan
dengan menggunakan distribusi ukuran yang menunjukkan hubungan kuantitatif
aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total
yang benar-benar mereka terima selama, misalnya satu tahun. Masing-masing sumbu
berakhir pada titik 100 persen, sehingga dia berbentuk bujur sangkar. Satu garis
diagonal ditarik dari titik nol pada sudut kiri bawah menuju kesudut kanan atas yang
menunjukkan pemerataan sempurna dan makin jauh kurva lorenz dari garis diagonal
ini makin timpang pembagian pendapatan.
5. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan sempurna (yaitu, apabila hanya seorang saja
yang menerima seluruh pendapatan nasional sementara orang-orang lainnya sama
sekali tidak menerima pendapatan), akan diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang
berhimpit dengan sumbu horizontal sebelah bawah dan sumbu vertikal sebelah
kanan.
6. Koefisien Gini adalah alat ukur lain mengenai tingkat ketimpangan pendapatan
dengan bantuan distribusi ukuran, yang dengan menggunakan rumus tertentu
mempunyai nilai dari nol sampai satu. Koefisien Gini untuk negara-negara yang
derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70 sedangkan untuk
negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar antara
0,20 hingga 0,35.
7. Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor
produksi (functional or factor share distribution of income) adalah ukuran yang
berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-
masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Biasanya distribusi ini
menjelaskan besar atau kecilnya pendapatan dari satu faktor produksi dengan
memperhitungkan kontribusi faktor tersebut dalam keseluruhan kegiatan produksi.
8. Koefisien Gini di indonesia dengan menggunakan data pengeluaran konsumsi per
kapita hasil susenas tahun 1964/65 menunjukkan tingkat ketimpangan yang
sedang(menengah) yang sama secara keseluruhan (Indonesia) namun untuk tingkat
ketimpangan di perkotaan Jawa lebih merata dari pada di pedesaan, sedangkan
sebaliknya berlaku untuk Luar Jawa, yakni di perkotaan lebih timpang daripada di
pedesaan Luar Jawa.
9. Tidak terjadi perubahan ketimpangan secara keseluruhan yang berarti antara tahun
1964/65 dan tahun 1976, kecuali di perkotaan secara keseluruhan menjadi sedikit

21
timpang. Hal ini karena di perkotaan di Jawa menjadi jauh lebih timpang
dibandingkan dengan di perkotaan di Luar Jawa yang menjadi sedikit lebih merata.
10. Kalau kita bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an, maka dapat kita katakan
bahwa tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi
pendapatan di Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang
sedang baik ditunjukkan oleh koefisien Kutnezs maupun koefisien Gini.
11. Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang
tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah. Tingkat kemiskinan
dapat diukur dengan hitungan per kepala (headcount), indeks per kepala (headcount
index), jurang kemiskinan (poverty gap total atau average atau normalized), Indeks
Poster-Greer-Thornbeck (FGT) dan human poverty index(indeks kemiskinan manusia
=IKM). Namun yang biasa dipakai di Indonesia adalah hitungan per kepala dan
indeks per kepala, meskipun sesungguhnya ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan
yang diinginkan, yang telah diterima secara luas oleh para ekonom.
12. Pembangunan ekonomi telah menurunkan presentase penduduk miskin dari lebih dari
40 persen dari jumlah penduduk (atau sekitar 54 juta orang) pada tahun 1976 menjadi
sekitar 11,34 persen (atau sekitar 22,5 juta orang) pada tahun 1996.
13. Sebagai akibat dari krisis ekonomi meningkatkan menjadi sekitar 23 persen (atau
sekitar 49 juta orang) pada tahun 1999 dan kemudian terus mengalami penurunan
sehingga menjadi sekitar 16 persen (atau sejumlah 37 juta orang)pada tahun 2007.
14. Presentase yang cukup tinggi dari seluruh penduduk Indonesia(16-18%) masih
berada di garis kemiskinan dan merupakan tugas yang berat bagi pemerintah
sekarang mengingat apa yang dikatakan oleh Juan Somavia, United Nations World
Summit for Social Development, 1995 bahwa urusan yang belum terselesaikan pada
abad 21 adalah pemberantasan kemiskinan atau masalah kemiskinan menjadi tujuan
pembangunan milenium dewasa ini di Indonesia.
15. Yang termasuk dalam kelompok miskin adalah penduduk miskin di pedesaan dan
daerah pantai, terutama kaum wanitanya, etnik minoritas, dan penduduk pribumi
dengan sebab-sebab yang bervariasi sehingga seperti lingkaran setan.
16. Banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang berakibat buruk kepada kaum
miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktual
pertumbuhan modern. Atau, dengan kata lain, perumbuhan yang cepat dibarengi
kemiskinan.

22
17. Pendapat yang santer terdengar di kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran
publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana
yang dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan atau konsentrasi penuh
untuk mengurangi kemiskinan akan memperlambat tingkat pertumbuhan.
18. Dalam laporannya mengenai kemiskinan pada tahun 1990, Bank Dunia
menyimpulkan bahwa dengan kebijakan yang tepat, golongan miskin dapat
berpartisipasi dan kontribusi terhadap pertumbuhan, dan jika mereka dapat
melaksanakan hal tersebut, penurunan tingkat kemiskinan yang cepat akan konsisten
dengan pertumbuhan yang berkelanjutan.
19. Berbagai kebijaksanaan yang bertujuan untuk memperbaiki distribusi pendapatan
kukuran dan fungsional telah dilaksanakan oleh pemerintah, namun sampai sejauh ini
tampaknya baru berhasil mempertahankan pembagian pendapatan pada tingkat
ketimpangan sedang dan belum begitu berhasil menurunkan jumlah orang miskin.
20. Kurang berhasilnya menurunkan/menghilangkan jumlah kaum miskin ini mungkin
disebabkan oleh karena banyak penduduk yang mestinya tidak berhak atas program
pemerintah tertentu namun menikmatinya.Kebijaksanaan selanjutnya adalah agar
kebijaksanaan melawan kemiskinan lebih fokus pada sasarannya.

23
REFERENSI

Nehen, I.K.2012.Perekonomian Indonesia. Denpasar: UUP, Bab 5

24

Anda mungkin juga menyukai