Anda di halaman 1dari 10

BAB7

HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM


PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

A. Hubungan dalam Bidang Kewenangan

Sejak Negara Republik Indonesia diproklamirkan, para pendiri negara (the founding
fathers) berkeinginan bahwa negara Indonesia ini merupakan Negara Kesatuan. Hal ini dapat
dilihat dalam Konstitusi negara ini (UUD 1945) Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan:

“Negara Indonesia iala negara Kesatuan yang berbentuk Republik”

Pasal ini, sejak Konstitusi Indonesia ditetapkan sampai terjadinya amandemen pasal-
pasal dalam Konsitusi RI (UUD 1945), ternyata tidak termasuk ke dalam pasal yang di
amandemen. Hal ini membuktikan bahwa sejak di proklamasikannya negara ini hingga
sekarang, Indonesia tetap berprinsip pada bentuk negaranya sebagai Negara Kesatuan.
Bahkan, hasil amandemen UUD 1945 menetapkan bahwa khusus mengenai bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Ciri yang melekat dari negara kesatuan, yaitu adanya Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang keduanya saling berhubungan erat dan saling menentukan. Artinya,
Pemerintah Pusat tidak akan mampu menjalankan tugas dan kewajiban dalam organisasi
kekuasaan negara yang sangat luas tanpa Pemerintah Daerah. Pada sisi lain, Pemerintah
Daerah tidak akan mendapat kekuasaan (power) yang berbentuk kewenangan (authority)
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya apabila tidak diberi wewenang oleh
Pemerintah Pusat yang diatur melalui peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di negara kesatuan sangat
menentukan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.

Sebagai konsekuensi dari negara kesatuan sesuai dengan ciri tersebut,


penyelenggaraan Pemerintah di Indonesia terbagi menjadi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah
Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota
mempunyai Pemerintah Daerah, yang diatur dengan Undang-undang.”
Daerah yang ada di Indonesia ini bukan merupakan suatu negara (staats), melainkan
hanya merupakan daerah provinsi. Daerah provinsi di bagi lagi dalam daerah yang lebih kecil
lagi, yaitu kabupaten dan kota. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang erat antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan, “Pemerintan daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan
pemerintah daerah lainnya.”

Hubungan dalam bidang kewenangan berkaitan dengan cara pembagian urusan


penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara
penentuan ini mencerminkan bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Suatu daerah dapat
digolongkan sebagai otonomi luas apabila memenuhi syarat berikut. Pertama, urusan-urusan
rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-
cara tertentu pula. Kedua, apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian
rupa sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-
cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem keuangan antara pusat
dan daerah yangmenimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah
yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.

Dalam penyelenggaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diserahkan kepada


daerah jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap
menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Otonomi luas bisa bertolak dari prinsip, semua urusan
pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan
sebagai urusan pusat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004, yaitu:

a. Politik luar negeri;


b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional, dan
f. Agama.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang


dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah bidang-bidang berikut:
1. Politik luar negeri adalah urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk
warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan
kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan
kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya;
2. Pertahanan, misalnya mendirikan atau membantuk angkatan bersenjata, menyatakan
damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian negara dalam keadaan bahaya,
membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan,
menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara, dan
sebagainya;
3. Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetaokan
kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melakukan hukum negara,
menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara,
atau sebagainya;
4. Moneter dan fiskal nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata
uang, menetapkan kebijakan moneter/fiskal, mengendalikan peredaran uang, dan
sebagainya;
5. Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa,
mendirikan lembaga permasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan
keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang,
peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan
lain yang berlaku secara nasional;
6. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,
memberi hak pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan
dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.

Selain enam urusan pemerintah tersebut, selebihnya menjadi wewenang Pemerintah


Daerah. Dengan demikian, urusan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah menjadi tidak
terbatas. Daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dianggap mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan memiliki potensi untuk
dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam pembagian urusan pemerintah, terdapat bagian urusan pemerintahan yang


bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian atau bidang
tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Dengan demikian, pada urusan yang bersifat concurrent, ada bagian urusan yang menjadi
wewenang pemerintah pusat dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.
Untuk mewujudkan pembagian urusan yang concurrent secara proporsional antara
pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, disususnlah kriteria yang meliputi
eksternalistis, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan mempertimbangkan keserasian hubungan
pengelolaan urusan pemerintahan antara tingkat pemerintahan.

Kriteria eksternalistis, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan


dengan mempertimbangkan dampat/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut. Apabila dampat yang ditimbulkan bersifat lokal, urusan pemerintahan
tersebut menjadi wewenang kabupaten/kota, apabila regional menjadi wewenang provinsi,
dan apabila berakibat secara nasional, menjadi wewenang pemerintah pusat.

Kriteria akuntabilitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan


dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan
adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampat/akibat dari urusan
yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintah tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Kriteria efisiensi, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan


mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personal, dana, dan peralatan) untuk
mendapatkan ketetapan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan. Artinya, penanganan suatu bagian urusan dipastikan akan
lebih berdaya guna dan berhasik guna apabila dilaksanakan oleh daerah provinsi, dan/atau
daerah kabupaten/kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah pusat. Oleh karena
itu, bagian urusan tersebut diserahkan kepada daerah provinsi dan/atau daerah
kabupaten/kota. Sebaliknya, apabila suatu bagian urusan akan lebih berdaya guna dan
berhasil guna apabila ditangani oleh pemerintah pusat, bagian urusan tersebut tetap ditangani
oleh pemerintah pusat. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut didasari dari besarnya
manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang dihadapi.

Keserasian hubungan, bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan


oleh tingkat pemerintah yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling
bergantung (interpendensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.

B. Hubungan dan Bentuk Pembinaan dan Pengawasan


Penyelenggaraan Pemerintah di daerah berdasarkan pada prinsip permusyawaratan
yang dilakukan oleh masyarakat daerahnya sehingga prinsip demokratisasi harus
dikembangkan juga dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal ini dapat dilihat
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka (2) yang menyebutkan,

“Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah


daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Pasal ini mengandung pengertian bahwa setiap kebijakan mengenai penyelenggaraan


pemerintahan daerah harus berdasarkan aspirasi yang dikehendaki masyarakat, sesuai dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya sehingga setiap keinginan dari masyarakatnya dapat
terpenuhi. Hal ini sesuai dengan asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menitik beratkan pada asas
desentralisasi. Pemberlakuan asas ini memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahannya dalam mengurus rumah tangganya yang dibarengi oleh
rasa tanggung jawab oleh masyarakat setempat karena setiap kebijakan penyelenggaraan
pemerintahannya ini sesuai dengan keinginan mereka (masyarakat setempat).

Selain pemberlakuan asas desentralisasi, penyelenggaraan pemerintahan di daerah


pun berprinsip pada asa dekonsentrasi dan tugas pembantuan, yaitu upaya hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam rangka mewujudkan tujuan nasional dalam
kerangka Negara Kesatuan. Asas dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang dari
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah.
Adapun tugas pembantuan diberlakukan mengingat terbatasnya kemampuan perangkat
pemerintah pusat di daerah dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat di daerah,
pemerintah pusat memberikan penugasan kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa
yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya dengan kewajiban untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

Seiring dengan pemberlakukan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah


tersebut, sebagai negara yang merupakan negara kesatuan, pemerintah memberlakukan
sistem pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerlah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesautan Republik Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan
diatas, yaitu untuk menjaga hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana diatur dalam Bab XII Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2004 dan diatur lebih terperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dilakukan oleh Pemerintah (Pusat) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini karena tidak menutup kemungkinan dengan diberikannya
keleluasaan dan kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahannya (desentralisasi),
daerah dengan kewenangannya sendiri menyelenggarakan pemerintahan tanpa
memperhatikan keperluan (keutuhan) Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pemerintah
Pusat) sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan upaya yang


dilakukan oleh pemerintah dan/atau gubernur selaku wakil pemerintah pusat yang ada di
daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah, meliputi
koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan, pemberian pedoman dan standar
pelaksanaan urusan pemerintahan, pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi
pelaksanaan urusan pemerintahan, pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil
kepala daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perangkat daerah, pegawai negeri
sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan masyarakat secara
umum.

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh


pemerintah meliputi:

1. Koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;


2. Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
3. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan;
4. Pendidikan dan pelatihan;
5. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan
urusan pemerintahan.

Koordinasi dilaksanakan secara berkala pada tingkatan nasional, regional, atau


provinsi. Pemberian pedoman atau standar mencakup aspek perencanaan, pengawasan, tata
laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan. Pemberian bimbingan,
supervisi dan konsultasi dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu, baik secara
menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala
daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa.
Perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan, dan evaluasi dilaksanakan secara
berkala ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan. Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan kerja sama dengan perguruan tinggi
dan/atau lembaga penelitian.

Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan keutuhan Negara Kesatuan Republik


Indonesia, pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang diatus dalam Bab XII Pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Maksud pengawasan ini adalah menjaga pelaksanaan otonomi oleh daerah-daerah


agar diselenggarakan dan tidak bertindak melebihi wewenangnya sehingga daerah dengan
wewenangnya yang luas, nyata dan bertanggung jawab ini menyelenggarakan pemerintahan
tanpa memerhatikan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal semacam ini
tentunya akan menimbulkan tuntutan-tuntutan yang bersifat memperlemah kesatuan dan
persatuan bangsa, bahkan tuntutan bentuk pemisahan diri dari negara luar sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan


dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (4) dijelaskan
bahwa:

“Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan adalah proses kegiatan yang


ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dam efektif
sesuai dengan rencana dan ketentuan perundang-undangan.”

Fungsi pengawasan ini dalam rangka menjamin terlaksananya kebijaksanaan


pemerintah dan rencana pembangunan pada umumnya. Dalam organisasi pemerintahan,
pengawasan bertujuan menjamin:

1. Keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintah oleh Pemerintah Daerah dan


Pemerintah Pusat;
2. Kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pengawasan pemerintah pusat atas penyelenggaraan pemerintah daerah ini tentunya
telah mengalami pergeseran sejak adanya Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah di
Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomo 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dikenal dengan adanya pengawasan umum,
pengawasan preventif, dan pengawasan represif.

Pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pengawasan umum adalah pengawasan


pemerintah pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telahdiberikan
olehPemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan umum ini meliputi bidang
pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peralatan, pembangunan, perumahan daerah, serta
bidang yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pengawasan preventif mengharuskan setiap peraturan daerah dan keputusan kepala


daerah mengenai pokok tertentu berlaku sesudah mendapatkan pengesahan dari Menteri
Dalam Negeri bagi peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tingkat I, daerah tingkat II.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang memerlukan pengesahan itu adalah hal-
hal yang menyangkut sebagai berikut.

1. Menetapkan ketentuan-ketentuan yang menyangkut rakyat dan mengandung perintah,


larangan, keharusan berbuat sesuatu yang ditujukan langsung kepada rakyat.
2. Mengadakan ancaman pidana berupa denda atau hukuman kurungan atas pelanggaran
tertentu.
3. Memberikan bahan kepada rakyat (pajak, retribusi daerah).
4. Mengadakan utang piutang, menanggung pinjaman, mengadakan perusahaan daerah,
menetapkan dan mengubah APBD, menetapkan perhitungan APBD, mengatur gaji
pegawai, dan lain-lain.

Pengawasan represif adalah menyangkut penangguhan atau pembatalan Peraturan


Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang
tingkatnya lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang
terhadap semua peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

Adapun berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pengawasan atas


penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan melalui sebagai berikut.

1. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh


Pemerintah yang meliputi:
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat
pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

Untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah memberi


penghargaan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Perangkat Daerah, Pegawai Negeri Sipil Daerah,
Kepala Desa, Perangkat Desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan hasil
penilaian terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah yang menunjukkan prestasi
tertentu. Sebaliknya, Pemerintah juga memberikan sanksi kepada Pemerintah Daerah, Kepala
Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Perangkat Daerah, Pegawai Negeri Sipil Daerah, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan anggota
Badan Permusyawaratan Desa apabila ditemukan adanya penimpangan dan pelanggaran.

C. Hubungan dalam Bidang Keuangan

Hubungan keuangan antara pusat dan daerah sangat menentukan kemandirian


otonomi. Akan tetapi yang umum dipersoalkan adalah minimnya jumlah uang dimiliki daerah
dibandingkan dengan yang dimiliki pusat. Berdasarkan premis ini, inti hubungan keuangan
pusat dan daerah adalah perimbangan keuangan. Perimbangan adalah memperbesar
pendapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak.

Berbagai kenyataan mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah


menunjukkan beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, meskipun pendapatan asli daerah
tidak banyak, tidak berarti lumbung keuangan daerah tidak berisi banyak. Lumbung keuangn
daerah tidak bersumber dari pendapatan sendiri, tetapi dari uang yang diserahkan pusat
kepada daerah seperti subsidi dan lainya. Tidak berarti pula lumbung keuangan daerah yang
terbatas itu menyebabkan rakyatnya tidak menikmati kesejahteraan karena usaha
kesejahteraan ikut diselenggarakan pusat. Kedua, meskipun ada skema hukum perimbangan
keuangan, dalam kenyataan perimbangan keuangan pusat dan daerahhanya ilusi karena dalam
keadaan apa pun, keuangan pusat akan selalu lebih kuat daripada keuangan daerah. Ketiga,
meskipun sumber lumbung keuangan daerah diperbesar, tidak akan ada daerah yang mampu
membelanjai secara penuh rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, hubungan di
bidang keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah meliputi sebagai berikut.

1. Pemberian sumber-sumber keuangan, untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan


yang menjadi kewenangan pemerintah daerah;
2. Pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintah daerah;
3. Pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah.

Sementara itu, hubungan dalam bidang keuangan antarpemerintah daerah meliputi sebagai
berikut.

1. Bagi hasil pajak dan non pajak antara pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah Kabupaten/Kota.
2. Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggungjawab bersama.
3. Pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah.
4. Pinjaman dan/atau hibah antarpemerintah daerah.

Anda mungkin juga menyukai