Anda di halaman 1dari 51

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. E. J. S.
Umur : 25 Tahun (09-06-1992)
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Aspol Kloofkamp

1.2 Anamnesis ( Autoanamnesis, Tanggal 27 Januari 2018)


Keluhan utama: perasaan penuh dan nyeri di telinga kiri.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke poli tht dengan keluhan nyeri pada telinga kanan yang dirasakan
2 hari sebelumnya. Sebelumnya pasien memiliki riwayat suka mengorek-ngorek
telinga dikarenakan gatal kemudian timbul nyeri pada telinga. Nyeri dirasakan
semakin memberat apabila pasien membuka mulut dan saat telinga pasien ditarik.
Pasien juga mengeluhkan nyeri atau rasa tidak nyaman pada tenggorokan
sehingga membuat pasien sulit untuk menelan beberapa minggu terakhir ini.
Pasien juga mengeluh batuk disertai pilek dan bersin-bersin sejak 2 hari lalu
dikarenakan pasien sebelumnya terpapar debu dan pasien juga mengaku memiliki
alergi terhadap debu.

Riwayat penyakit dahulu:


Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit berat, riwayat sinusitis (-), riwayat
rinitis (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asma (-), riwayat trauma pada
telinga (-), riwayat penyakit pada telinga sebelumnya (-)
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada riwayat gejala penyakit telinga yang serupa pada anggota keluarga
pasien

1
Riwayat alergi:
Riwayat penggunaan obat-obatan dan riwayat alergi pada obat-obatan dan
makanan (-). Riwayat alergi debu (+), alergi suhu (-)

Riwayat pengobatan :
Pasien belum pernah mencoba mengobati keluhan yang dirasakannya.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Bb: 59 kg

Tanda vital:
Tensi : 120/80 mmhg
Nadi : 84 x/menit
Suhu: 36,6 c
Respirasi : 16 x/menit

Status lokalis:
Telinga:
Gambar :

Bagian telinga Telinga kanan Telinga kiri


Deformitas (-), hiperemis (- Deformitas (-), hiperemis
Aurikula
), edema (-) (-), edema (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah preaurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan tragus (-) tekan tragus (+)
Daerah Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),

2
retroaurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
tekan (-) tekan (-)
Serumen (+), edema (+), Serumen (-), edema (-),
Meatus akustikus
hiperemis (+), sekret (+) hiperemis (-), furunkel (-),
eksternus
kekuningan, otorea (-) sekret (-),
Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
perforasi (-), cone of light perforasi (-), cone of light
Membran timpani
(+), posisi jam 5, injeksi (+), posisi jam 7, injeksi
(+) (+)

Hidung:
Gambar :

Pemeriksaan hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Bentuk (n), inflamasi (-), Bentuk (n), inflamasi (-),
nyeri tekan (-), deformitas nyeri tekan (-),
(-). deformitas (-).
Rinoskopi anterior
Vestibulum N N
Dasar kavum nasi Bentuk (n), mukosa Bentuk (n), mukosa
media hiperemi (-). hiperemi (-).
Meatus nasi media Mukosa hiperemi (-), konka Mukosa hiperemi (-),
nasi media (n), massa (-), sekret (-), konka nasi
sekret (-). media (n), massa (-),
sekret (-).
Meatus nasi inferior Mukosa hiperemi (-), Mukosa hiperemi (-),

3
edema (-) edema (-)
Sekret (+) bening dan
encer
Konka nasi inferior Mukosa hiperemi (-), Mukosa hiperemi (-),
edema (-) edema (-)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing
perdarahan (-). (-), perdarahan (-).

Tenggorokan:
Gambar :

Bagian Keterangan
Mukosa bukal Hiperemis (-), massa (-)
Mukosa gigi Hiperemis (-), massa (-)
Palatum durum dan palatu
Hiperemis (-), massa (-)
mole
Hiperemis (+), edema (-), massa (-), granul
Mukosa faring (+),
Ulkus (-)
Tonsil Hiperemis (-), ukuran t1-t1, detritus (-)

1.4 Diagnosis Banding :


- Otitis eksterna difusa: otitis eksterna sirkumskripta
- Faringitis kronik: faringitis akut dan faringitis spesifik
- Rhinitis alergi: rhinitis akut dan rhinitis vasomotor

4
1.5 DIAGNOSIS KERJA:
- Otitis eksterna diffusa dekstra
- Faringitis kronis
- Rhinitis alergika intermiten derajat ringan

1.6 Penatalaksanaan:
a. Non medikamentosa
 Pasien diberitahu bahwa pasien mengalami infeksi pada liang telinga,
tenggorokan dan hidung.
 Pasien harus diingatkan mengenai kemungkinan kekambuhan yang
mungkin terjadi pada pasien.
 Pasien harus menjaga agar telinganya selalu kering, menghindari makanan
pedas dan berminyak untuk menghindari perburukan pada radang
tenggorokan, serta menjauhi faktor-faktor yang dicurigai sebagai pencetus
alergi pada rhinitis alerginya.
 Pasien diingatkan agar tidak menggaruk/membersihkan telinga dengan
cotton bud terlalu sering.
b. Medikamentosa
Sistemik :
- antibiotik : cefixime tab 100 gr 2x2
- analgesik : natrium diclofenac 50 mg 2x1
- antihistamin: ceterizine tab 10 mg 2x1

1.7 Prognosis :
Dubia ad bonam
1.8 Resume
Pasien nn. E.j.s. Datang ke poli tht dengan keluhan nyeri pada telinga kanan yang
dirasakan 2 hari sebelumnya. Nyeri dirasakan semakin memberat apabila pasien
membuka mulut dan saat telinga pasien ditarik dan pada pemeriksaan telinga
didapatkan hiperemis dan sedikit sekret pada daerah liang telinga sesuai dengan
gambaran klinis dari otitis eksterna difusa.

5
Pasien juga mengeluhkan nyeri atau rasa tidak nyaman pada tenggorokan
sehingga membuat pasien sulit untuk menelan. Keluhan ini dirasakan juga sejak 2
hari sebelumnya dan pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan gejala hiperemis
dan granul pada tenggorokan sehingga sesuai dengan gejala klinis dari faringitis.
Pasien juga mengeluh batuk disertai pilek sejak 2 hari lalu dikarenakan
pasien sebelumnya terpapar debu dan pasien juga mengaku memiliki alergi
terhadap debu sehingga dapat sesuai dengan gejala pada rhinitis alergi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embirologi Dan Anatomi Telinga Luar

Gambar. 1.: anatomi telinga


Secara anatomi telinga luar dapat dibagi menjadi aurikula (pinna) dan
liang telinga (canalis acusticus eksternus/cae). Telinga luar dipisahkan dengan
telinga dalam oleh membran timpani. Aurikula dan 1/3 lateral liang telinga tediri
dari kartilago elastis yang secara embrional berasal dari mesoderm dan sejumlah
kecil jaringan subkutan yang ditutupi oleh kulit dan adneksanya. Hanya lobulus
pinna yang tidak memiliki kartilago dan terdapat lemak.

Gambar. 2: perkembangan aurikula


Aurikula berasal dari enam tonjolan mesenkim, tiga tonjolan dari arkus
brankial pertama dan lainnya dari arkus brankial kedua. Pada kehamilan yang
normal tonjolan mesenkim kartilaginosa bersatu membentuk aurikula. Aurikula
akan berpindah posisi menjadi lebih tinggi yaitu dari posisi semula dekat

7
comissura lateralis oris ke area temporal dengan pertumbuhan selektif dari
mandibula.
Kanalis akustikus eksterna merupakan derivat dari celah brankial pertama
ektodermantara mandibula (i) dan lengkung hyoid (ii). Epitel yang melapisi celah
ini bertemu dengan endoderm dari lengkung faringeal pertama yang kemudian
membentuk membran timpani dan menjadi batas medial dari kanalis akustikus
eksterna. Jaringan ikat yang berasal dari mesoderm ditemukan antara ektoderm
dan endoderm dan kemudian menjadi lapisan fibrosa membran timpani. Karena
embriologinya yang berasal dari ektoderm, kanalis akustikus eksternus, termasuk
permukaan lateral membran timpani, dilapisi oleh epitel skuamosa.
Proses kanalisasi lengkap terjadi pada minggu ke-12 kehamilan, pada saat
itu kanalis akustikus eksternus telah dilapisi oleh jaringan epitel. Kemudian akan
terjadi rekanalisasi pada minggu ke-28 kehamilan.
Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari kartilago yang dilapisi
kulit. Bentuk kartilago ini unik dan harus diusahakan untuk mempertahankan
bangunan ini karena dapat menjaga telinga luar dari trauma. Kulit pada
permukaan luar daun telinga melekat erat pada kartilago di bawahnya beserta
jaringan ikat dari dermis yang padat membentuk perikondrium. Sebaliknya, kulit
permukaan belakang daun telinga mempunyai lapisan subkutan sejati. Keadaan
daun telinga serta posisi daun telinga yang terbuka merupakan penyebab
timbulnya sebagian besar masalah klinis yang mengenai daun telinga yaitu
trauma, kontak langsung dengan cuaca, dan infeksi.

Gambar 3: liang telinga. A. Bagian kartilaginosa. B. Bagian osseus


Pengumpulan cairan akibat proses-proses tersebut seperti adanya pus dan
hematom mengakibatkan terpisahnya perikondrium dari kartilago. Bila proses ini

8
tidak segera diatasi maka akan terjadi nekrosis kartilago karena terganggunya
perfusi nutrisi dari pembuluh darah perikondrium.
Kanalis akustikus eksternus dapat dibagi menjadi 2 bagian. Bagian luar,
40% dari cae, adalah bagian kartilaginosa dan terdapat lapisan tipis jaringan
subkutan diantara kulit dan kartilago. Kulit yang melapisi bagian kartilaginosa
lebih tebal dari bagian tulang, selain itu juga mengandung folikel rambut yang
banyaknya bervariasi tiap individu namun ikut membantu menciptakan suatu
sawar dalam liang telinga. Bagian dalam, 60% dari cae, adalah bagian osseus
terutama dibentuk oleh timpanic ring dan terdapat jaringan lunak yang sangat tipis
antara kulit, periosteum dan tulang.
Anatomi bagian ini sangat unik karena merupakan satu-satunya tempat
dalam tubuh dengan kulit langsung terletak di atas tulang tanpa adanya jaringan
subkutan. Dengan demikian daerah ini sangat peka dan tiap pembengkakan akan
sangat nyeri karena tidak terdapat ruang untuk ekspansi. Terdapat penyempitan
pada petemuan bagian kartilaginosa dan bagian osseus kanalis akustikus eksternus
yang disebut isthmus. Panjang kanalis akustikus eksternus pada orang dewasa
rata-rata 2,5 cm. Karena posisi membran timpani yang miring, maka bagian
posterosuperior kanalis akustikus eksternus lebih pendek 6 mm dari bagian
anteroinferior. Kanalis akustikus eksternus membentuk kurva seperti huruf s arah
superior dan posterior dari lateral ke medial. Kanalis akustikus eksternus juga
mengarah ke hidung sehingga pada pemeriksaannya aurikula perlu ditarik ke
superior, lateral dan posterior untuk meluruskan kanalis akustikus eksternus.
Bagian lateral kanalis akustikus eksternus dibatasi oleh meatus. Bagian
medial dibatasi oleh membran tympani dan bagian squamosa tulang temporal
yang menjadi barier yang baik terhadap penyebaran infeksi bila membran tersebut
utuh. Bila terjadi perforasi membran tympani infeksi dapat menyebar kembali dan
terus menyebar dari telinga tengah ke kanalis akustikus eksternus. Tympanic ring
yang berbentuk seperti tapal kuda dan bagian squamosa tulang temporal
memisahkan kanalis akustikus eksternus dengan fossa cranial media, yang jarang
terjadi penyebaran infeksi secara langsung ke intracranial.
Batas posterior kanalis akustikus eksternus adalah kavum mastoid.
Beberapa pembuluh darah masuk ke kanalis akustikus eksternus, khususnya

9
sepanjang sutura tympanomastoid. Infeksi dapat menyebar secara hematogen
melalui segmen mastoid ini. Dari posterior ke bagian kartilaginosa kanalis
akustikus eksternus terdapat jaringan ikat tebal mastoid yang dapat menyebabkan
infeksi sekunder.
Batas superior kanalis akustikus eksternus adalah fossa infratemporal dan
basis kranii.infek yang meluas sampai ke atap kanalis akustikus eksternus dapat
meluas ke strukturr ini. Batas anteriornya adalah kelenjar parotis dan
temporomandibular junction.
Pada kanalis akustikus eksternus terdapat tiga mekanisme pertahanan
pelindung yaitu tragus dan antitragus, kulit degan lapisan serumen, dan isthmus.
Tragus dan antitragus membentuk barier parsial terhadap benda asing
makroskopik. Kulit pada bagian kartilaginosa memiliki banyak sel rambut dan
kelenjar apokrin seperti halnya kelenjar seruminosa. Ketiga struktur adeneksa ini
bersama-sama memberikan fungsi proteksi dan biasa disebut unit
apopilosebaseous. Eksfoliasi sel-sel epitel skuamosa ikut berperan dalam
pembentukan materi sebagai lapisan pelindung penolak air pada dinding kanalis
ini. Gabungan berbagai bahan ini membentuk suasana asam dengan ph 6, yang
berfungsi mencegah infeksi.migrasi sel epitel yang terlepas juga membentuk suatu
mekanisme pembersihan sendiri dari membran timpani ke arah luar.

10
Gambar 4: unit apopilosebaseus pada kanalis akustikus eksternus

Invaginasi epidermis membentuk dinding terluar dari folikel rambut dan


tangkai rambut membentuk dinding bagian dalam. Saluran folikularis merupakan
ruangan antara kedua struktur ini. Alveoli dari kelenjar sebasea dan apokrin
kosong sampai dengan pendek, duktus ekskretorius yang lurus, dan bemuara ke
saluran folikularis. Sumbatan pada salah satu bagian dari salah satu sistem
kelenjar ini merupakan faktor predisposisi terhadap timbulnya infeksi.
Kanalis akustikus eksternus yang normal memiliki struktur proteksi dan
pembersihan sendiri. Lapisan serumen berangsur-angsur berjalan pada salurannya
yaitu setelah bagian isthmus ke bagian lateral kanalis akustikus eksternus dan
kemudian keluar dari telinga. Pembersihan kanalis akustikus eksternus yang
berlebihan, baik karena alat maupun sebagai suatu tindakan, dapat mengganggu
barier pelindung primer dan dapat memicu terjadinya infeksi. Variasi individu
pada anatomi kanalis akustikus eksternus dan konsistensi produksi serumen dapat
menjadi predisposisi terjadinya penumpukan serumen pada beberapa orang.

11
2.1.1 Vaskularisasi Telinga Luar
Aurikula dan kanalis akustikus eksternus menerima perdarahan dari arteri
temporalis superfisialis dan cabang aurikularis posterior yang merupakan cabang
dari arteri karotis eksterna.
Sedangkan aliran vena dari aurikula dan meatus yaitu melalui vena
temporalis superfisiali dan vena aurikularis posterior kemudian bersatu
membentuk vena retromandibular yang biasanya terpisah dan keduanya bertemu
di vena jugularis, pertemuan terakhir terdapat pada vena jugularis eksterna namun
demikian juga menuju ke sinus sigmoid melalui vena emissarius mastoid.

2.1.2 Persarafan Dan Alitan Limfatik Telinga Luar


Persarafan daun telinga dan kanalis akustikus eksternus
Persarafan sensoris ke aurikula dan canalis akustikus eksternus berasal
dari persarafan kranialis dan kutaneus dengan kontribusi dari cabang
aurikulotemporal n. Trigeminus (v), n.
Fasialis (vii), dan n. Vagus (x)., dan juga n. Aurikularis magna dari
pleksus servikalis (c 2-3). Otot motorik ekstrinsik telinga, yaitu pada bagian
anterior, superior, dan posterior aurikula dipersarafi n. Fasialis (vii).
Tabel 1: persarafan aurikula

Nerve Derivation Region supplied


Greater auricular Cervical plexus Permukaan medial dan permukaan
C2.3 Lateral bagian posterior
Lesser occipital Cervical plexus Bagian superior dari permukaan
C2.3 Medial
Auricular Vagus Concha , antihelix, sebagian
Eminentia concha (permukaan
Medial)
Auriculotemporal Mandibular (n. V3) Tragus, crus of helix, perbatasan
Helix
Facial (n. Vii) Kemungkinan menyuplai sebagian
Kecil dari akar konka

12
Aliran limfatik telinga

Aliran limfatik kanalis akustikus eksternus merupakan saluran yang


penting pada penyebaran infeksi. Bagian anterior dan posterior terdapat aliran
limph dari kanalis akustikus eksternus menuju ke limfatik pre-aurikular didalam
kelenjar parotis dan kelenjar getah bening leher profunda bagian superior.
Bagian inferior kanalis akustikus eksternus aliran limphnya menuju ke
kelenjar getah bening infra aurikular dekat angulus mandibularis. Sedangkan
bagian posterior menuju ke kelenjar getah bening post aurikular dan kelenjar
getah bening leher profunda superior.

2.2 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi,
3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala
mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago
septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka
yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

13
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter.
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sepit yang
disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan
meatus superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimaris, pada meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Pendarahan hidung berasal dari a. Maksilaris interna (bagian bawah hidung),
a. Fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang a.
Sfenopalatina, a. Etmoid anterior, a. Labialis superior, dan a. Palatina mayor, yang
disebut pleksus kieselbach. Vena-vena membentuk pleksus yang luas di dalam
submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. Etmoid
anterior (cabang n. Nasolakrimalis, cabang n. Oftalmikus). Rongga hidung
lainnya saraf sensoris n. Maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum.

Gambar 5: anatomi external hidung

14
Gambar 6: anatomi dinding lateral hidung

Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa


pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel
skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
yang tidak bersilia.
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga
hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih
tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah.

15
2.3 Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan
ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler
ini mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga
setinggi vertebra servikalis ke-6.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan bagian
ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk
oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring
superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan
berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian otot
bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama
lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah
untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh nervus vagus.

Gambar 7: otot-otot faring dan esofagus


Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi nasofaring,
orofaring dan laringofaring (hipofaring).

16
Gambar 8: anatomi nasofaring, orofaring dan hypoparing

Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari


nasofaring ini antara lain :
- batas atas : basis kranii
- batas bawah : palatum mole
- batas depan : rongga hidung
- batas belakang : vertebra servikal
Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fossa rosenmuller, kantong ranthke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba eustachius, koana,
foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glossopharyngeus, nervus vags dan
nervus asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.1,3
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan
laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu :
Batas atas : palatum mole

17
Batas bawah : tepi atas epiglottis
Batas depan : rongga mulut
Batas belakang : vertebra servikalis
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,
tonsil lingual dan foramen sekum.
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring.
Dengan batas-batas dari laringofaring antara lain, yaitu : -
Batas atas : epiglotis
Batas bawah : kartilago krikodea
Batas depan : laring
Batas belakang : vertebra servikalis

2.3.1 Fisiologi Faring


Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu
menelan, resonansi suara dan artikulasi.

Fungsi menelan

Menurut kamus deglutasi atau deglutition diterjemahkan sebagai proses


memasukkan makanan kedalam tubuh melalui mulut “the process of taking food
into the body through the mouth”.

Proses menelan merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan setiap
organ yang berperan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Dalam proses menelan ini diperlukan kerjasama yang baik dari 6 syaraf cranial, 4
syaraf servikal dan lebih dari 30 pasang otot menelan.

Pada proses menelan terjadi pemindahan bolus makanan dari rongga mulut ke
dalam lambung. Secara klinis terjadinya gangguan pada deglutasi disebut disfagia
yaitu terjadi kegagalan memindahkan bolus makanan dari rongga mulut sampai ke
lambung.

18
Gambar 9: proses menelan

Fungsi faring dalam proses bicara

Percakapan digunakan untuk berkomunikasi antar individu untuk


menyempurnakan proses percakapan ini, diperlukan aktivitas otot. Bagian penting
dalam percakapan dan bahasa adalah cerebral cortex yang berkembang sejak lahir
dan memperlihatkan perbedaan pada orang dewasa. Perbedaan ini
memperlihatkan bahwa pengalaman phonetic bukan hal yang perlu untuk
perkembangan area pusat saraf dalam sistem percakapan.

Otot-otot yang mengkomando organ bicara diatur oleh motor nuclei di


otak, dengan produksi suara diatur oleh control pusat di bagian rostral otak.

Respirasi. Proses bicara diawali oleh sifat energi dalam aliran dari udara. Pada
bicara yang normal, aparatus pernapasan selama ekshalasi menyediakan aliran
berkesinambungan dari udara dengan volume yang cukup dan tekanan (di bawah
kontrol volunteer adekuat) untuk phonasi. Aliran dari udara dimodifikasi dalam
fungsinya dari paru-paru oleh fasial dan struktur oral dan memberikan
peningkatan terhadap simbol suara yang dikenal sebagai bicara.

19
2.4 Definisi Otitis Eksterna
Otitis eksterna difus dikenal dengan swimmer ear (telinga perenang) atau
telinga cuaca panas ( hot weather ear) adalah infeksi pada 2/3 dalam liang telinga
akibat infeksi bakteri yang menyebabkan pembengkakan stratum korneum kulit
sehingga menyumbat saluran folikel.
Terjadinya kelembaban yang berlebihan karena berenang atau mandi
menambah maserasi kulit liang telinga dan menciptakan kondisi yang cocok bagi
pertumbuhan bakteri. Perubahan ini dapat juga menyebabkan rasa gatal di liang
telinga sehingga menambah kemungkinan trauma karena garukan .

2.4.1 Epidemiologi
Penyakit ini merupakan penyakit telinga bagian luar yang sering dijumpai,
disamping penyakit telinga lainnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan mulai
tanggal januari 2000 s/d desember 2000 di poliklinik tht rs h.adam malik medan
didapati 10746 kunjungan baru dimana, dijumpai 867 kasus (8,07 %) otitis
eksterna, 282 kasus (2,62 %) otitis eksterna difusa dan 585 kasus (5,44 %) otitis
eksterna sirkumskripta.
Penyakit ini sering dijumpai pada daerah-daerah yang panas dan lembab
dan jarang pada iklim- iklim sejuk dan kering. Patogenesis dari otitis eksterna
sangat komplek dan sejak tahun 1844 banyak peneliti mengemukakan faktor
pencetus dari penyakit ini yang mengatakan bahwa berenang merupakan
penyebab dan menimbulkan kekambuhan. Bahwa keadaan panas, lembab dan
trauma terhadap epitel dari liang telinga luar merupakan faktor penting untuk
terjadinya otitis eksterna.

2.4.2. Etiologi
Otitis eksterna dapat disebabkan oleh infeksi bakteri seperti pseudomonas
aeruginosa, proteus mirabilis, staphylococcus, streptococcus, dan beberapa bakteri
gram negatif. Serta dapat juga disebabkan oleh jamur sereti jamur golongan
aspergillus atau candida sp. Otitis eksterna difusa dapat juga terjadi sekunder pada
otitis media supuratif kronis

Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya otitis eksterna, yaitu :

20
 Derajat keasaman (ph)
Ph pada liang telinga biasanya normal atau asam, ph asam berfungsi sebagai
protektor terhadap kuman. Bila terjadi perubahan ph menjadi basa maka
akan mempermudah terjadinya otitis eksterna yang disebabkan oleh karena
proteksi terhadap infeksi menurun.
 Udara
Udara yang hangat dan lembab lebih memudahkan kuman dan jamur mudah
tumbuh.
 Trauma
Trauma ringan misalnya setelah mengorek telinga merupakan factor
predisposisi terjadinya otitis eksterna.
 Berenang
Terutama jika berenang pada air yang tercemar. Perubahan warna kulit liang
telinga dapat terjadi setelah terkena air.

2.4.3 Klasifikasi Otitis Eksterna


Melihat bentuk infeksi di liang telinga, penyakit dibagi atas:

Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel/bisul).

Otitis eksterna sirkumskripta adalah infeksi bermula dari folikel rambut di


liang telinga yang disebabkan oleh bakteri stafilokokus dan menimbulkan
furunkel di liang telinga di 1/3 luar. Sering timbul pada seseorang yang menderita
diabetes.
Gejala klinis otitis eksterna sirkumskripta berupa rasa sakit (biasanya dari
ringan sampai berat, dapat sangat mengganggu, rasa nyeri makin hebat bila
mengunyah makanan). Keluhan kurang pendengaran, bila furunkel menutup liang
telinga. Rasa sakit bila daun telinga ketarik atau ditekan. Terdapat tanda infiltrat
atau abses pada 1/3 luar liang telinga.
Penatalaksanaan otitis eksterna sirkumskripta :
1. Lokal : pada stadium infiltrat diberikan tampon yang dibasahi dengan 10%
ichthamol dalam glycerine, diganti setiap hari. Pada stadium abses dilakukan
insisi pada abses dan tampon larutan rivanol 0,1%.

21
2. Sistemik : antibiotika diberikan dengan pertimbangan infeksi yang cukup
berat. Diberikan pada orang dewasa ampisillin 250 mg qid, eritromisin 250
qid. Anak-anak diberikan dosis 40-50 mg per kg bb.
3. Analgetik : parasetamol 500 mg qid (dewasa). Antalgin 500 mg qid (dewasa).
Pada kasus-kasus berulang tidak lupa untuk mencari faktor sistemik yaitu adanya
penyakit diabetes mellitus.

Otitis eksterna difus


Otitis eksterna difus adalah infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi
bakteri. Umumnya bakteri penyebab yaitu pseudomonas. Bakteri penyebab
lainnya yaitu staphylococcus albus, escheria coli, dan sebagainya. Kulit liang
telinga terlihat hiperemis dan udem yang batasnya tidak jelas. Tidak terdapat
furunkel (bisul). Gejalanya sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta
(furunkel = bisul). Kandang-kadang kita temukan sekret yang berbau namun tidak
bercampur lendir (musin). Lendir (musin) merupakan sekret yang berasal dari
kavum timpani dan kita temukan pada kasus otitis media.
Pengobatan otitis eksterna difus ialah dengan memasukkan tampon yang
mengandung antibiotik ke liang telinga supaya terdapat kontak yang baik antara
obat dengan kulit yang meradang. Kadang-kadang diperlukan obat antibiotika
sistemik.
Berdasarkan perjalanan waktu, otitis eksterna dibagi menjadi:
1. Otitis eksterna akut :
 Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel/bisul).
 Otitis eksterna difus
2. Otitis eksterna kronik
Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel/bisul) adalah otitis eksterna lokal yang
bermula dari infeksi folikel rambut dan menimbulkan furunkel (bisul)10 pada
sepertiga luar dari liang telinga luar (meatus akustikus eksterna). Otitis eksterna
difus adalah otitis eksterna yang dapat disebabkan bakteri (pseudomonas,
stafilokokus, proteus) atau jamur pada dua per tiga dalam dari liang telinga luar
(meatus akustikus eksterna).
Otitis eksterna kronik adalah otitis eksterna yang berlangsung lama dan

22
ditandai oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks). Adanya sikatriks
menyebabkan liang telinga menyempit.
2.4.4 Patofisiologi
Secara alami, sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan dibersihkan
dan dikeluarkan dari gendang telinga melalui liang telinga. Cotton bud (pembersih
kapas telinga) dapat mengganggu mekanisme pembersihan tersebut sehingga sel-
sel kulit mati dan serumen akan menumpuk di sekitar gendang telinga. Masalah
ini juga diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa lekukan pada liang
telinga.
Keadaan diatas dapat menimbulkan timbunan air yang masuk ke dalam
liang telinga ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah, lembab, hangat, dan
gelap pada liang telinga merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri
dan jamur.
Adanya faktor predisposisi otitis eksterna dapat menyebabkan berkurangnya
lapisan protektif yang menimbulkan edema epitel skuamosa. Keadaan ini
menimbulkan trauma lokal yang memudahkan bakteri masuk melalui kulit, terjadi
inflamasi dan cairan eksudat. Rasa gatal memicu terjadinya iritasi, berikutnya
infeksi lalu terjadi pembengkakan dan akhirnya menimbulkan rasa nyeri.
Proses infeksi menyebabkan peningkatan suhu lalu menimbulkan perubahan
rasa nyaman dalam telinga. Selain itu, proses infeksi akan mengeluarkan cairan /
nanah yang bisa menumpuk dalam liang telinga (meatus akustikus eksterna)
sehingga hantaran suara akan terhalang dan terjadilah penurunan pendengaran.
Bakteri patogen yang sering menyebabkan otitis eksterna yaitu
pseudomonas (41%), streptokokus (22%), stafilokokus aureus (15%) dan
bakteroides (11%). Infeksi pada liang telinga luar dapat menyebar ke pinna,
periaurikuler dan tulang temporal.
Otalgia pada otitis eksterna disebabkan :
 Kulit liang telinga luar beralaskan periostium & perikondrium bukan
bantalan jaringan lemak sehingga memudahkan cedera atau trauma. Selain
itu, edema dermis akan menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa
sakit yang hebat.
 Kulit dan tulang rawan pada 1/3 luar liang telinga luar bersambung dengan

23
kulit dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan sedikit saja pada daun
telinga akan dihantarkan ke kulit dan tulang rawan liang telinga luar
sehingga mengakibatkan rasa sakit yang hebat pada penderita otitis
eksterna.

Gambar 10. Patofisiologi otitis eksterna


2.4.5 Gejala Klinik
Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap
awal dari otitis eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan
nyeri tekan daun telinga.
Gatal merupakan gejala klinik yang sangat sering dan merupakan
pendahulu rasa sakit yang berkaitan dengan otitis eksterna akut. Pada kebanyakan
penderita rasa gatal disertai rasa penuh dan rasa tidak enak merupakan tanda
permulaan peradangan suatu otitis eksterna akuta. Pada otitis eksterna kronik
merupakan keluhan utama.
Rasa sakit di dalam telinga bisa bervariasi dari yang hanya berupa rasa
tidak enak sedikit, perasaan penuh didalam telinga, perasaan seperti terbakar
hingga rasa sakit yang hebat, serta berdenyut. Meskipun rasa sakit sering
merupakan gejala yang dominan, keluhan ini juga sering merupakan gejala sering
mengelirukan. Kehebatan rasa sakit bisa agaknya tidak sebanding dengan derajat
peradangan yang ada. Ini diterangkan dengan kenyataan bahwa kulit dari liang

24
telinga luar langsung berhubungan dengan periosteum dan perikondrium,
sehingga edema dermis menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa sakit
yang hebat. Lagi pula, kulit dan tulang rawan 1/3 luar liang telinga bersambung
dengan kulit dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan yang sedikit saja
dari daun telinga akan dihantarkan kekulit dan tulang rawan dari liang telinga luar
dan mengkibatkan rasa sakit yang hebat dirasakan oleh penderita otitis eksterna.
Kurang pendengaran mungkin terjadi pada akut dan kronik dari otitis
eksterna akut. Edema kulit liang telinga, sekret yang sorous atau purulen,
penebalan kulit yang progresif pada otitis eksterna yang lama, sering menyumbat
lumen kanalis dan menyebabkan timbulnya tuli konduktif. Keratin yang
deskuamasi, rambut, serumen, debris, dan obat-obatan yang digunakan kedalam
telinga bisa menutup lumen yang mengakibatkan peredaman hantaran suara.

2.4.6 Diagnosis
Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan dengan gejala awal berupa
gatal. Rasa gatal berlanjut menjadi nyeri yang sangat dan terkadang tidak sesuai
dengan kondisi penyakitnya (mis, pada folikulitis atau otitis eksterna
sirkumskripta). Nyeri terutama ketika daun telinga ditarik, nyeri tekan tragus, dan
ketika mengunyah makanan.
Rasa gatal dan nyeri disertai pula keluarnya sekret encer, bening sampai
kental purulen tergantung pada kuman atau jamur yang menginfeksi. Pada jamur
biasanya akan bermanifestasi sekret kental berwarna putih keabu-abuan dan
berbau.
Pendengaran pasien bisa normal atau sedikit berkurang, tergantung pada
besarnya furunkel atau edema yang terjadi dan telah menyumbat pada liang
telinga.
Didapatkan riwayat faktor predisposisi misalnya kebiasaan berenang pada
pasien, ataupun kebiasaan mengorek kuping dengan cotton bud bahkan
menggunakan bulu ayam yang merupakan media penyebaran infeksi.
Pemeriksaan fisik pada pasien bisanya menunjukkan:

25
 Kulit mae edema, hiperemi merata sampai ke membran timpani dengan liang
mae penuh dengan sekret. Jika edema hebat, membran timpani dapat tidak
tampak.
 Pada folikulitis akan didaptkan edema, hiperemi pada pars kartilagenous mae.
 Nyeri tragus (+)
 Tidak adanya partikel jamur
 Adenopati reguler dan terkadang didapatkan nyeri tekan.

2.4.7 Penatalaksanaan
Otitis ekseterna difusa harus diobati dalam keadaan dini sehingga dapat
menghilangkan edema yang menyumbat liang telinga. Untuk tujuan ini biasanya
perlu disisipkan tampon berukuran ½ x 5 cm kedalam liang telinga mengandung
obat agar mencapai kulit yang terkena. Setelah dilumuri obat, tampon kasa
disisipkan perlahan-lahan dengan menggunakan forsep hartmann yang kecil.
Penderita harus meneteskan obat tetes telinga pada kapas tersebut satu hingga dua
kali sehari. Dalam 48 jam tampon akan jatuh dari liang telinga karena lumen
sudah bertambah besar.
Polimiksin b dan colistemethate merupakan antibiotic yang paling efektif
terhadap pseudomonas dan harus menggunakan vehiculum hidroskopik seperti
glikol propilen yang telah diasamkanbahan kimia lain, seperti gentian violet 2%
dan perak nitrat 5% bersifat bakterisid dan bisa diberikan langsung ke kulit liang
telinga. Setelah reaksi peradangan berkurang, dapat ditambahkan alcohol 70%
untuk membuat liang telinga bersih dan kering.
Pasien harus diingatkan mengenai kemungkinan kekambuhan yang
mungkin terjadi pada pasien, terutama setelah berenang. Untuk menghindarinya
pasien harus menjaga agar telinganya selalu kering, menggunakan alcohol encer
secara rutin tiga kali seminggu. Juga harus diingatkan agar tidak
menggaruk/membersihkan telinga dengan cotton bud terlalu sering.

26
2.4.8 Komplikasi
 Perikondritis
 Selulitis
 Dermatitis aurikularis.

2.5 Definisi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung
yang terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai ige pada
mukosa hidung.

2.5.1 Epidemiologi
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien
dengan alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis
utama di amerika serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup
yang menurun dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek
samping obat-obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain
fungsi fisik, problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas emosi,
bahkan kesehatan mental.

Prevalensi
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di
seluruh dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang
semakin meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di
sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara
langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar
amerika pertahun.
Di amerika serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis
alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi
sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini
mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda
tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi.

27
Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa
kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita namun pada masa
dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi onset
rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda.
Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-
laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi
pada semua umur.

2.5.2 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial
(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau
yaitu dermatophagoides farinae dan dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor
resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke
pegunungan membantu identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.

2.5.3 Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi
rinitis alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja

28
(occasional). Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki empat
musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala
ketiganya hampir sama, hanya sifat berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis
alergi sepanjang tahun timbul terus menerus atau intermiten.
Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala
dan kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala
≤4 hari perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu
dan >4 minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-
berat tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak
ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar,
bekerja dan lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu
atau lebih gangguan tersebut di atas.

Intermiten Persisten
Gejala Gejala
 ≤ 4 hari per minggu  > 4 hari per minggu
 Atau ≤ 4 minggu  Dan > 4 minggu

Ringan Sedang-berat
 Tidur normal Satu atau lebih gejala
 Aktivitas sehari-hari, saat olah  Tidur terganggu
raga dan santai normal  Aktivitas sehari-hari, saat olah
 Bekerja dan sekolah normal raga dan santai terganggu
 Tidak ada keluhan yang  Masalah dalam sekolah dan
mengganggu bekerja
 Ada keluhan yang mengganggu

Gambar 11 klasifikasi rinitis alergi

2.5.4 Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau
sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji ( antigen presenting
cell/sel apc), dan berada di mukosa saluran pernafasan. Antigen yang menempel
pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel apc, kemudian dari
antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini

29
bergabung dengan mhc-ii yang berada pada permukaan sel apc. Komplek peptida-
mhc-ii ini akan dipresentasikan ke limfosit t yang diberi nama helper-t cells (th0).
Apabila sel th0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-mhc-
ii tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.
Sel apc akan melepas sitokin yang salah satunya adalah il-1. Il-1 akan
mengaktivasi th0 menjadi th1 dan th2. Sel th2 melepas sitokin antara lain il-3, il-4, il-
5 dan il-13. Il-4 dan il-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan limfosit-b,
akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-b. Limfosit-b aktif ini memproduksi ige.
Molekul ige beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan
ditangkap eleh reseptor ige pada permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka
akan terjadi degranulasi sel mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis .
Mediator yang terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar
mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek
lainnya berupa gatal hidung, bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan
permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa sehingga
terjadi gejala sumbatan hidung.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan
reaksi alergi fase cepat (rafc), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca
paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang rafc
mastosit juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ecfa
(eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan ncea (neutrophil chemotactic
factor of anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel
eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.
Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase
lambat (rafl) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas rafl adalah
terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi di
jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling
konstan bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan
korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil.

30
2.5.5 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan
adanya trias gejala yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung,
ditambah gatal hidung. Perlu diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma,
dermatitis atopi, injeksi konjungtiva, dan lain sebagainya).
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi
pemeriksaan wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
a. Wajah
- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung
- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang
melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan
menggosok hidung keatas dengan tangan.
b. Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi
spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis
alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya
berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental,
purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi
septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit
granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip
dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan

31
tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut.
Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.
C. Telinga, mata dan orofaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-
fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani
dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan
tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan
disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.
-
Pada pemeriksaan mata akan ditemukan injeksi dan
pembengkakkan konjungtiva palpebral yang disertai dengan
produksi air mata.
d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati
e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma
f.
Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.
Pemeriksaan sitologi hidung.
Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan pmn menunjukkan adanya infeksi bakteri.
Hitung eosinofil dalam darah tepi.
Jumlah eosinofil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan
pemeriksaan ige total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria.

Uji kulit
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara,
yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/set), uji cukit (prick test), dan uji gores (scratch test). Kedalaman kulit
yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. Set dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi

32
yang bertingkat kepekaannya. Keuntungan set, selain alergen penyebab, juga
derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Tes penunjang lainnya
Yang lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes ige spesifik
dengan rast (radio immunosorbent test) atau elisa (enzyme linked immuno assay).
Ige total > 200 ige rast untuk alergen –alergen dengan tingkat skor 1+ s/d 4+.

2.5.6 Ko-Morbiditas
Inflamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai
komorbiditas telah diketahui berhubungan dengan rinitis.
Asma
- Mukosa nasal dan bronkus mempunyai banyak kesamaan
- Banyak penderita rinitis rinitis alergi mengalami peningkatan
hipereaktivitas bronkus yang non-spesifi
- Banyak penderita rinitis juga menderita asma
- Saluran nafas atas dan bawah diduga diepngaruhi oleh suatu proses
inflamasi yang serupa yang mungkin dapat menetap dan
diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan ini.
- Penyakit alergi dapat bersifat sistemik.provokasi bronkial
menyebabkan inflamasi nasal dan provokasi nasal menyebabkan
inflamasi bronkial.
Sinusitis dan konjungtivitis
Hubungan antara rinitis alergi, polip nasal dan otitis media belum dipahami
dengan baik.

2.5.7 Penatalaksanaan
Menurut aria penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk
mencegah kontak antara alergen dengan ige spesifik dapat dihindari sehingga
degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari.
Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen

33
tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya
peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi
alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat
dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan
intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin h-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor h-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan
mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti
rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada
fase lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin
atau topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa
hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja
untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan
baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti
leukotrien, anti ige, dna rekombinan.
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan.
Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi
subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan

34
keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin
yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen
utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai
20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan
penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi
konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan
antihistamin h1 dan farmakoterapi
- Prnderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping
yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka
panjang.

Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi


spesifik oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali
lebih besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak
imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak
direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur
5 tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir
sama seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu
sama-sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek
biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.

35
Glukokortikosteroid (gcss) berikatan dengan reseptor gcs yang berada
di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan
mempengaruhi dna sehingga tidak membentuk mrna. Akibat selanjutnya
menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya
terajadi pada peningkatan populasi limfosit th yang berguna pada
penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa
penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan
konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan
tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai agno3 25 %
atau triklor asetat.

36
Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO Initiative ARIA

Diagnosis Rinitis Alergi (Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)

Penghindaran allergen

- AH oral/ -AH oral/topical


topical atau atau
- AH + Intermitten Persisten/menetap
dekongestan - AH + dekongestan
oral oral atau

- KS topical atau Membaik Tidak ada

- Na kromoglikat ↓ ↓

↓ Th/ Mundur 1 - salah diagnosis


Ringan Sedang/berat Ringan - nilai kepatuhan
langkah danSedang/berat
Gejala persisten th/ diteruskan pasien
untuk 1 bulan - komplikasi/ infeksi
↓ - factor kelainan
anatomis
Evaluasi setelah 2-4
minggu KS topical
Tingkatkan Sumbatan hidung Bersin/Gatal Rinore
dosis intranasal ↓ menetap hidung menetap
KS
Jika gagal: maju 1
↓ ↓ ↓
langkah
Dekongestan (3-5 Tambahkan Ipratroprium
Jika th/ berhasil:
hari) atau KS oral H1 blocker bromida
lanjutkan 1 bulan
(jangka pendek)
Evaluasi setelah 2-4 minggu

Gagal
Jika ada conjungtivitis :

- Oral H1-blocker atau
- Kaustik konka /
Intraocilar H1-blocker atau
- Intraocular chromone konkotomi

*pertimbangkan imunoterapi

37
2.5.8 komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan
manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan
sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda
patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi
yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit t cd4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
Ditemukan juga mrna untuk gm-csf, tnf-alfa, il-4 dan il-5 yang berperan
meningkatkan reaksi alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema
mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan
menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses
alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (mbp) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan


obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan
reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini
maka pengobatab rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan,
antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

38
2.6 Definisi Faringitis
Faringitis adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat
infeksi maupun non infeksi.

2.6.1 Etiologi
Banyak microorganism yang dapat menyebabkan faringitis, virus (40-
60%) bakteri (5-40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis yang
paling banyak teridentifikasi dengan rhinovirus (±20%) dan coronaviruses (±5%).
Selain itu juga ada influenza virus, parainfluenza virus, adenovirus, herpes
simplex virus type 1&2, coxsackie virus a, cytomegalovirus dan epstein-barr virus
(ebv). Selain itu infeksi hiv juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis.
Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup s.pyogenes
dengan 5-15% penyebab faringitis pada orang dewasa. Group a streptococcus
merupakan penyebab faringitis yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun, ini
jarang ditemukan pada anak berusia <3tahun. Bakteri penyebab faringitis yang
lainnya (<1%) antara lain neisseria gonorrhoeae, corynebacterium diptheriae,
corynebacterium ulcerans, yersinia eneterolitica dan treponema pallidum,
mycobacterium tuberculosis.
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang
menderita faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi
alkohol yang berlebihan.

2.6.2 Patogenesis

Bakteri s. Pyogenes memiliki sifat penularan yang tinggi dengan droplet


udara yang berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan melalui batuk
dan bersin. Jika bakteri ini hinggap pada sel sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi
dan mensekresikan toksin. Toksin ini menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan
inflamasi pada orofaring dan tonsil. Kerusakan jaringan ini ditandai dengan
adanya tampakan kemerahan pada faring periode inkubasi faringitis hingga gejala
muncul yaitu sekitar 24 – 72 jam.

39
Beberapa strain dari s. Pyogenes menghasilkan eksotoksin eritrogenik yang
menyebabkan bercak kemerahan pada kulit pada leher, dada, dan lengan. Bercak
tersebut terjadi sebagai akibat dari kumpulan darah pada pembuluh darah yang
rusak akibat pengaruh toksin.
Faktor risiko dari faringitis yaitu

 Cuaca dingin dan musim flu


 Kontak dengan pasien penderita faringitis karena penyakit ini dapat
menular melalui udara
 Merokok, atau terpajan oleh asap rokok
 Infeksi sinus yang berulang
 Alergi

2.6.3. Klasifikasi faringitis


Faringitis akut
A. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis. Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan dan
sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus
influenza, coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.
Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit
berupa maculopapular rash.

40
Gambar12 : viral pharyngitis
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan
gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein-barr virus (ebv) menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
shepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan hiv menimbulkan keluhan nyeri
tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring
hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.

B. Faringitis bakterial
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan
suhu yang tinggi dan jarang disertai dengan batuk. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum
dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.

41
Gambar 13 : streptococcal pharyngitis

Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group a dapat diperkirakan


dengan menggunakan centor criteria, yaitu : - demam
- anterior cervical lymphadenopathy
- tonsillar exudates
- absence of cough
Tiap kriteria ini bila dijumpai diberi skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien tidak
mengalami faringitis akibat infeksi streptococcus group a, bila skor 1-3 maka
pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi streptococcus group a dan bila skor 4
pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi streptococcus group a.

C. Faringitis fungal
Keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.

42
Faringitis kronik
Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hiperplastik
dan faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring
adalah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi
uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya
faringitis kronik adalah pasien yang bernafas melalui mulut karena hidungnya
tersumbat.

Faringitis kronik hiperplastik


Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk.
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi.
Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan berglanular.

Faringitis kronik atrofi


Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya
sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien umumnya
mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal seerta mulut berbau. Pada
pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa kering.

Gejala klinis
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan
tanda dan gejala-gejala seperti demam, anorexia, suara serak, kaku dan sakit pada
otot leher, faring yang hiperemis, tonsil membesar, pinggir palatum molle yang
hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah teraba dan nyeri bila ditekan dan bila
dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah dan
leukosit.

43
2.6.4 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang
cermat dan dilakukan pemeriksaan temperature tubuh dan evaluasi tenggorokan,
sinus, telinga, hidung dan leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang
hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar
getah bening di leher.

Pemeriksaan penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam penegakkan
diagnose antara lain yaitu :
- pemeriksaan darah lengkap
- gabhs rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi bakteri
streptococcus group a
- throat culture
Namun pada umumnya peran diagnostic pada laboratorium dan radiologi terbatas.

2.6.5 Penatalaksanaan
Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup
dan berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Antivirus
metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis
60-100mg/kgbb dibagi dalam 4-6kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada
anak <5tahun diberikan 50mg/kgbb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
streptococcus group a diberikan antibiotik yaitu penicillin g benzatin 50.000
u/kgbb/im dosis tunggal atau amoksisilin 50mg/kgbb dosis dibagi 3kali/hari
selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisin
4x500mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah
menunjukan perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang
dapat diberikan berupa deksametason 8-16mg/im sekali dan pada anak-anak 0,08-
0,3 mg/kgbb/im sekali. Dan pada pasien dengan faringitis akibat bakteri dapat
diberikan analgetik, antipiretik dan dianjurkan pasien untuk berkumur-kumur
dengan menggunakan air hangat atau antiseptik.

44
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan
melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau
dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur,
jika diperlukan dapat diberikann obat batuk antitusif atau ekspetoran. Penyakit
pada hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi
pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk faringitis kronik atrofi
hanya ditambahkan dengan obat kumur dan pasien disuruh menjaga kebersihan
mulut.
2.6.6 Prognosis
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik. Pasien dengan
faringitis biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

2.6.7 Komplikasi
Komplikasi infeksi gabhs dapat berupa demam reumatik, dan abses
peritonsiler.
• komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena bakteri yaitu
: sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia. Kekambuhan
biasanya terjadi pada pasaien dengan pengobatan yang tidak tuntas pada
pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru.
• demam rheumatic akut(3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal
glomerulonephritis, dan toxic shock syndrome, peritonsiler abses
• komplikasi infeks mononukleus meliputi: ruptur lien, hepatitis, guillain barré
syndrome, encephalitis, anemia hemolitik, myocarditis, b-cell lymphoma, dan
karsinoma nasofaring.

45
BAB III
Pembahasan

3.1 Otitis Eksterna Diffusa


Pada kasus ini diagnosa otitis eksterna diffusa ditegakan berdasarkan anamnesa
pada pasien dimana pasien mengeluh adanya nyeri telinga terutama saat telinga
ditarik atau membuka mulut serta riwayat mengorek-ngorek telinga akibat adanya
rasa gatal. Dimana berdasarkan teori pada OED garukan dapat menimbulkan
berkurangnya lapisan protektif yang menimbulkan edema epitel skuamosa.
Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang memudahkan bakteri masuk melalui
kulit, terjadi inflamasi dan cairan eksudat. Rasa gatal yang diduga dapat berasal
dari tanda radang akut atau dapat dari riwayat alergi yang dimiliki pasien, dapat
memicu terjadinya iritasi, berikutnya infeksi lalu terjadi pembengkakan dan
akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Proses infeksi menyebabkan peningkatan suhu
lalu menimbulkan perubahan rasa nyaman dalam telinga. Selain itu, proses infeksi
akan mengeluarkan cairan / nanah yang bisa menumpuk dalam liang telinga
(meatus akustikus eksterna). Otalgia pada otitis eksterna disebabkan :

• kulit liang telinga luar beralaskan periostium & perikondrium bukan bantalan
jaringan lemak sehingga memudahkan cedera atau trauma. Selain itu, edema
dermis akan menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa sakit yang hebat.

• kulit dan tulang rawan pada 1/3 luar liang telinga luar bersambung dengan kulit
dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan sedikit saja pada daun telinga
akan dihantarkan ke kulit dan tulang rawan liang telinga luar sehingga
mengakibatkan rasa sakit yang hebat pada penderita otitis eksterna.

Sedangkan berdasarkan pemeriksaan fisik diagnosis ditegakan berdasarkan pada


teori dimana pada OED kulit mae dapat tampak edema, hiperemi merata sampai
ke membran timpani dengan liang mae penuh dengan sekret. Jika edema hebat,
membran timpani dapat tidak tampak serta terdapat nyeri tragus (+), dimana pada
pemeriksaan fisik semuanya ditemukan pada pasien.

46
3.2 Rhinitis Alergi

Diagnosa rhinitis alergi ditegakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan


fisik dimana pada anamnesa pasien mengaku sering batuk, pilek serta bersin-
bersin teruatam setelah terpapar debu. Rinitis alergi secara klinis didefinisikan
sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah paparan alergen akibat
reaksi. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan adanya trias
gejala yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung, ditambah rasa gatal.
Perlu diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis atopi, injeksi
konjungtiva, dan lain sebagainya).

Pada pemeriksan fisik (terutama hidung) pasien berdasarkan teori pada rhinitis
alergi digunakan nasal speculum atau rhinoskop akan tampak mukosa edema,
basah, berwarna pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak. Pada rinitis
alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan
dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna dapat timbul
pada rinitis alergi. Untuk klasifikasi rinitis alergi digunakan parameter gejala dan
kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala ≤4
hari perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu
dan >4 minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-
berat tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak
ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar,
bekerja dan lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu
atau lebih gangguan tersebut di atas.

3.3 Faringitis Kronis

Diagnosis faringitis kronis ditegakan berdasarkan pada anamnesa dan


pemeriksaan fisik pada pasien dimana pada anamnesa ditemukan rasa tidak
nyaman pada tengggorokan, terutama saat menenlan serta rhinitis.

Pada faringitis viral, rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari
kemudian akan menimbulkan faringitis. Demam disertai rinorea, mual, nyeri
tenggorokan dan sulit menelan. pada faringitis bakterial terdapat gejala yang berat
seperti demam tinggi, nyeri kepala, serta muntah.

47
Pada pemeriksaan fisik tampak faring dan tonsil hiperemis dan pemeriksaan
mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (faringitis kronik
hiperplastik). Virus influenza, coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di
orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.

3.4 Tatalaksana

Untuk tatalaksana diberikan antibiotik cefixime, golongan cephalosporin


generasi ketiga dengan aktivitas luas (broad spectrum) untuk melawan bakteri
gram-negatif yang menyebabkan infeksi pada telinga atau tenggorokan.

Untuk analgesik diberikan antiinflamasi non-steroid, natrium diclofenac 50


mg, yang digunakan untuk menekan peradangan dan anti nyeri pada otitis
eksterna serta faringitis.

Untuk rasa gatal dan reaksi alergi diberi ceterizine tab 10mg sebagai
antihistamin. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin h-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor h-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rinitis alergi. Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi
alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat
dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan
intranasal atau oral pada pasien juga diberikan edukasi untuk menghindari faktor-
faktor yang memperberat peradangan (makanan berminyak, makanan pedas,
aktivitas berat/banyak beristirahat) serta yang memicu reaksi alergi (debu).

48
BAB IV

KESIMPULAN

1. Otits Eksterna Difus


 Otitis eksterna difus adalah infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat
infeksi bakteri. Pada pasien ini diagnosa ditegakan berdasarkan pada
anamnesa dan pemeriksaan fisik.
 Pada anamnesa pasien mengeluhkan nyeri pada telinga terutama saat
ditarik dan membuka mulut sedangkan pada pemeriksaan fisik
didapatkan tanda hiperemis dan edema pada liang telinga dimana
temuan-temuan ini sesuai dengan gejala dari otitis eksterna difusa
akibat proses iritasi dan peradangan pada liang telinga.
2. Rinitis Alergi
 Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi
hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang
diperantarai IgE pada mukosa hidung.
 Berdasarkan anamnesa pasien mengaku sering bersin, pilek dan batuk
terutama saat terpapar debu serta berdasarkan pemeriksaan fisik pada
daerah hidung dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan
edema mukosa dan sekret putih yang encer yang merupakan tanda
reaksi inflamasi akibat adaya alergen atau pada pada kasus ini debu
yang di duga sebagai pemicu alergi.
3. Faringitis
 Faringitis adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan
akibat infeksi maupun non infeksi.
 Pada kasus ini pasien mengaku merasakan ketidaknyamanan pada
daerah tenggorokan terutama saat menelan beberapa minggu terakhir.
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda hiperemis dan terdapat
granul-granul pada derah tenggorokan dimana sesuai dengan gejala
klinis dari faringitis kronik hiperplastik.

49
4. Tatalaksana

 Medikamentosa: pada pasien diberikan antibuotik, cefixime unuk melawan


bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada liang telinga. Selain itu pada
pasien juga diberikan analgesik anti-inflamasi non steroid yang berperan
menekan reaksi inflamasi dan sebagai anti nyeri pada otitis eksterna dan
faringitis kronis. Untuk rasa gatal dan untuk menekan reaksi alergi pasien
juga diberikan ceterizine sebagai antihistamin, yang bekerja menekan
molekul-molekul pemicu reaksi alergi.
 Non-medikamentosa
Pada pasien juga diberikan edukasi untuk menghindari faktor-faktor yang
memperberat peradangan (makanan berminyak, makanan pedas, aktivitas
berat/banyak beristirahat) serta yang memicu reaksi alergi (debu).

50
Daftar Pustaka

1. Kartika, Henny. 2008. Otitis Eksterna. Availble From


Http://Library.Usu.Ac.Id/Modules.Php&Id.

2. Ardan, Juliarti, Satwika, Et Al. 2008, Sinopsis Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok. Available From : Http://Www.Thtub.Pdf.Co.Id .

3. Sosialisman, Alfian P. Hafil, Helmi. 2007. Kelainan Telinga Luar.Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Hal.
53. Jakarta : Balai Penerbit Fkui.

4. Irawati N., Kasaeyan E., Rusmono N. 2007. Rinitis Alergi .Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Hal. 106.
Jakarta : Balai Penerbit Fkui.

5. Rusmarjono, Soepardi E. A. 2007. Faringitis, Tonsilitis Dan Hipertrofi


Adenoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Dan Leher. Hal. 59. Jakarta : Balai Penerbit Fkui.

6. George L. Adams M.D, Lawrence R. Boies Jr. M.D, Peter A. Higler M.D.
1997. Boies Fundamentals Of Otolaryngology Six Edition. Jakarta. Balai
Penerbit Buku Kedokteran Egc.

51

Anda mungkin juga menyukai