PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Prevalensi infeksi tuberkulosis di negara berkembang termasuk Indonesia masih
tinggi. Tuberkulosis pada anak cukup penting dengan alasan bahwa tuberkulosis pada bayi
dan anak akan lebih mudah berlanjut menjadi TBC paru yang lebih berat dan dapat terjadi
TBC ekstra paru. Infeksi tuberkulosis atau sakit tuberkulosis menunjukkan adanya penularan
di lingkungannya dan tuberkulosis pada anak yang tidak ditangani akan menjadi sumber
infeksi dimasa yang akan datang. Adanya kontak serumah dengan individu yang menularkan
merupakan faktor risiko untuk infeksi atau sakit tuberkulosis pada bayi dan anak. Resiko
timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa
tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi
sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat.
Di Indonesia data tentang hal tersebut masih terbatas. Adanya infeksi tuberkulosis
dapat ditelusuri dari adanya kontak serumah dengan penderita TBC dewasa dengan BTA (+).
Peningkatan jumlah TB diberbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal,
yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat, (2) pengobatan yang tidak adekuat, (3) program
penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi
penduduk, (6) mengobati sendiri, (7) meningkatnya kemiskinan dan (8) pelayanan kesehatan
yang kurang memadai.
Menurut perikiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB di Indonesia adalah
583.000 orang pertahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang pertahun. WHO
memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan
kematian pada anak dan orang dewasa. Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah
Sakit Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun adala 1086 penyandang TB dengan angka
kematian yang bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan
(42,9%), sedangkan untuk bayi < 12 bulan didapatkan 16,5 %.
Mengingat banyaknya masalah serta tingginya angka morbiditas dan mortalitas anak
dengan TBC, maka pada referat ini akan dibahas mengenai gejala klinis, patogenesis, diagnosis, tatalaksana,
serta pencegahan TBC pada anak.
1
1.2. Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai gejala klinis, patogenesis, diagnosis, tatalaksana,
serta pencegahan TBC pada anak.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Kuman batang aerobik
dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk
organisme adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit.
Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara melalui terhirupnya nukleus droplet
yang berisikan organisme basil turbekel dari seseorang yang terinfeksi.1,2
Tuberkulosis paru merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil,
anak dengan malnutrisi, dan anak dengan gangguan imunologis. Sebagian besar anak
menderita tuberkulosis primer pada umur muda dan sebagian besar asimtomatik dan sembuh
spontan tanpa gejala sisa. Pada beberapa pasien penyakit berkembang menjadi tuberkulosis
pasca primer.1,2
2.2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TBC) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai “Global Emergency “. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8
juta kasus baru tuberculosis, pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TBC terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TBC
di dunia. Tiap tahun ada 8-10 kasus baru dengan tiga juta kematian per tahun. Di negara
berkembang, 1,3 juta anak mengidap TBC dengan 450.000 kematian tiap tahun.2,9
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TBC
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke 3 di dunia
untuk jumlah kasus TBC setelah India dan Cina. Berdasarkan data WHO pada tahun 2007
menyatakan jumlah penderita TBC di Indonesia sekitar 528 berada diposisi ketiga setelah
India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke
posisi ke 5 dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang dengan urutan India, Cina,
Afrika, Nigeria, Indonesia. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara
3
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.2,9
2.3 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang lurus
kadang dengan ujung melengkung, gram positif, lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak
membentuk spora, dengan ukuran panjang 2-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan . Kuman merupakan aerob wajib (obligat)
yang tumbuh pada media sintesis yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan
garam amonium sebagai sumber nitrogen. MTB memiliki dinding yang sebagian besar
terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat
kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.
Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat
ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif
2,10
lagi .
Mikroskopik MTB
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam
jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak
mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa
kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini
tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian
2,10
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.
4
2.4 Faktor resiko 2,3
Faktor resiko infeksi TB
Anak-anak yang terekspose dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif)
Risiko timbulnya transmisi kuman dari dewasa ke anak-anak jika orang dewasa tersebut
BTA sputum positif juga terdapat infiltrat yang luas pada lobus atas atau kavitas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat,terutama sirkulasi udara yang tidak baik serta kemiskinan
Tinggal di daerah endemis
Orang-orang pengguna obat-obatan suntik
Petugas kesehatan yang merawat pasien beresiko tinggi
5
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penularan pada anak bisa juga
melalui kulit dan minum susu sapi 2,3,5,11
2.6 Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2,3
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer.2,3,4
6
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama
2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi
TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh
terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih
negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil
kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler
spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2,3
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3,4,5
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai
berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman
di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya.
7
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)
biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.
Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam
fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi
sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6
8
Gambar 1. Patogenesis tuberkulosis2
*catatan :
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (ocult hematogenic spread). Kuman TB
membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik
2. Kompleks prier terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasi
4. Sakit TB pada keadaan ini desebutTB pasca primer
9
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga
dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai
organ.2
2.7 Diagnosis
Konfirmasi pasti pada TB paru adalah dengan mengisolasi Mycobacterium
tuberculosis dari sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau biopsi
10
jaringan. Spesimen untuk kultur yang paling baik pada anak adalah cairan lambung pagi hari
yang diambil sebelum anak bangun dari tidur. Akan tetapi semua hal diatas memang sulit
untuk dilakukan pada anak, sehingga sebagian besar diagnosis berdasarkan gejala klinis,
gambaran radiografi thorax, dan tuberkulin test.2,3,8
Gejala sistemik/umum: .2,3,8
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza
dan bersifat hilang timbul.
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak
naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik dan nafsu
makan menurun
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) dan sebab
lain telah disingkirkan
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit
Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Diare kronik yang tidak ada perbaikan setelah ditangani.
11
i. Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk
rejan
ii. Berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi yang
tidak membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit
pernafasan
iii. Pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit
Klasifikasi 0 Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC
Klasifikasi II Terinfeksi TBC / test tuberkulin ( + ), tetapi tidak menderita TBC (gejala
TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif).
Klasifikasi IV Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif
12
Gambar 4 : SISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB tidak Laporan keluarga Kavitas (+) BTA (+)
jelas BTA (-) BTA tidak jelas
Tidak tahu
Uji Tuberkulin Negativ Positif (≥ 10mm
e atau ≥5mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan / BB/TB <90% Klinis gizi
keadaan gizi BB/U <80% buruk
BB/TB <70%
BB/U <60%
Demam tanpa ≥2 minggu
sebab jelas
Batuk ≥3 minggu
Pembesaran ≥1 cm
KGB colli, Jumlah >1
axilla, inguinal Tidak nyeri
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto rontgen N / Infiltrat Kalsifikasi+infi
tidak Pembesaran KGB ltrat
jelas Konsolidasi Pembesaran
segmental/lobar KGB+infiltrat
Atelektasis
Catatan:
- Didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6, (skor maksimal 14)
- Jika dijumpai skrofuloderma langsung di diagnosis TBC
- Foto rontgen bukan alat diagosis utama pada TBC anak
13
2.8 Pemeriksaan penunjang
A.Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TBC yang mempunyai sifat antigenik
yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan pada seseorang yang telah terinfeksi TBC
(kompleks primer pada tubuhnya) akan memberikan indurasi dilokasi suntikan yang terjadi
karena vasodilatasi lokal,edema, endapan fibrin dan meningkatnya sel radang lain di daerah
suntikan. Uji tuberkulin mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak dengan
sensitivtas dan spesitifitas lebih dari 90%.1,2,3,7,13
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux
lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified Protein Derivate) 5 IU
sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72
jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. 1,7,13
14
Gambar 5. Interpretasi hasil mantoux
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi M. tuberculosis.
Gambar.6 Definisi positif uji tuberculin pada bayi, anak dan dewasa
Indurasi ≥ 5 mm
Kontak dengan penderita atau suspek penyakit TB
Anak-anak dengan tanda klinis dan gambaran radiologi penyakit TB
Anak-anak dengan keadaan imunosupresi seperti HIV dan tranplantasi organ
Pasien dalam pengobatan immunosupresif seperti kortikosteroid ( ≥ 15 mg/24
jam prednison atau sejenisnya selama ≥ 1 bulan )
Indurasi ≥ 10 mm
Bayi dan anak-anak usia ≤ 4 tahun
Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko (penyakit
ginjal, gangguan hematologi, diabetes melitus, malnutrisi, pengguna obat suntik)
Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko tinggi TB
Lahir atau baru pindah ( ≤ 5 tahun ) dari negara dengan angka prevalensi TB
tinggi
Indurasi ≥15 mm
Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko
Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut :
1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. Pasca terapi TB
2. Imunisasi BCG ( infeksi TB buatan )
3. Infeksi mikrobakterium atipik / M. leprae.
15
Uji tuberculin negatif pada 3 kemungkinan keadaan berikut :
Tidak ada infeksi TB
Dalam masa inkubasi infeksi TB
Anergi
B. Radiologis 9,13
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada
TB dapat juga dijumpai pada penyakit lainnya. Interpretasi foto biasanya sulit, harus hti-
hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Secara umum, gambaran
radiologis yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
C. Serologi 9,13
Pada anak sulit mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan TB, maka di cari
pemeriksaan yang mudah pelaksanaanya yaitu pemeriksaan serologi (imunitas humoral).
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno
16
Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun
pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5
D. Mikrobiologi 13
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik
apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan
pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung
didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan
positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan
untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5
17
BAB III
TATALAKSANA TBC PADA ANAK
3.1 Medikamentosa
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pengobatan pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang
terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah:
1. Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
2. Pemberian gizi yang adekuat
3. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
a. Pengobatan TB 2,12
Terdapat 2 fase :
fase intensif dengan tiga macam obat (2 bulan pertama) yaitu rifampisin, isoniazid,
pirazinamid
fase lanjutan dengan dua macam obat (4 bulan lebih) yaitu rifampisin dan isoniazid.
18
dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang
lebih sering terjadi pada anak-anak. Dosis obat juga haus disesuaikan berat badan anak. Prisip
dasar pengobatan TBC harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak2,3,11
19
Hal ini, jarang terjadi pada anak-anak. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan
isoniazid mengalami peningkatan kadar transminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2
bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. 3-10% pasien akan
mengalami peningkatan kadar transminase darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas
yang bermakna secara klinis jarang terjadi dan biasanya terjadi pada remaja atau anak dengan
TB berat. Sebaiknya kita memantau kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tapi hal
tersebut tidak rutin dilakukan. Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan
bersama dengan rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan
fenobarbital atau fenitoin juga dapat meningkatkan resiko terjadinya hepatotoksisitas. Dan
pemberian isoniazid tidak disarankan bila kadar trasminase naik lebih dari lima kali harga
normal atau tiga kali disertai ikterik dan atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah
dan nyeri perut.,2,15,16
Neuritis perifer
Terjadi karena inhibisi kompetitif pada piridoksin. Manifestasi klinis neuritis prifer yang
paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Kadar piridoksin
berkurang pada anak yang menggunakan isoniazid, tetapi manifestasi klinisnya jarang
sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin tambahan. Akan tetapi, remaja dengan diet
yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi, serta
bayi yang hanya minum ASI, memerlukan piridoksin tambahan. Piridoksin diberikan 25-50
mg satu kali sehari atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg INH. 2,15,16
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah reaksi alergi, pellagra, anemia hemolitik
pada pasien defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) dan reaksi
mirip lupus disertai ruam dan artritis. 2,15,16
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ektrasel, dapat memasuki semua
jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Obat ini
diserap dengan baik melalui sistem gatrointestinal pada saat lambung kosong (1 jam sebelum
makan) dan kadar serum puncak tercapai 2 jam. Ekskresi yang utama lewat traktus biliaris..
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10 – 20 mg/kgbb/hari, dosis maksimal
600 mg/hari, dengan dosis pemberian satu kali perhari. Rifampisin tersedia dalam bentuk
kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak dengan
berbagai kisaran BB dan obat ini tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan
karena dapat timbul malabsorpsi. Jika diberikan dengan INH, dosis rifampisin tidak melebihi
20
15 mg/kgBB/hari dan dosis INH 10 mg/kgBB/hari. Distribusi rifampisin kedalam CSS lebih
baik pada keadaan selaput otak yang sedang meradang daripada keadaan normal. 2,14,17
Efek toksik: 2,14,17
Perubahan warna, ludah, keringat, sputum, air mata, menjadi warna oranye
kemerahan
Gangguan GIT (muntah dan mual)
Hepatotoksisitas (ikterik/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar
trasminase serum yang asimtomatik. Dan jika rifampisin diberikan bersama INH
terjadi peningkatan resiko hepatotoksisitas yang dapat diperkecil dengan cara
menurunkan dosis harian INH mejadi maksimal 10mg/hari.
Trombositopenia terjadi karena pemberian obat secara intermittent dan kontrasepsi
oral menjadi tidak efektif
Dapat interaksi dengan beberapa obat lain, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin,
teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk SSP, LCS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam,
diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Obat ini juga resisten terhadap kuman
Mycobacterioum bovis. Obat ini juga dapat mencapai cairan serebrospinal. Efek dari
pirazinamid sudah dapat dilihat pada awal bulan ke 2 menjalani terapi. Pemberian secara oral
sesuai dosis 15 – 30 mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari dan dalam tersedia
dalam bentuk tablet 500 mg yang bisa diberikan bersamaan dengan makan. Kadar serum
puncak 45µg/ml dalam waktu 2 jam dan toksisitas hati kecil. Pirazinamid diberikan pada fase
intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada suasana asam yang timbul akibat
jumlah kuman masih sangat banyak. 2,3,11
Efek toksik: 2,3,11
Athralgia, artritis
Gout akibat hiperurisemia
Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemakaian dosis
Iritasi saluran cerna, anoreksia
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Peran
utama dari obat ini adalah untuk mencegah resistensi obat lain. Dengan dosis 15 – 20
21
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1,25 gram/hari. Kadar serum puncak 5µg dalam waktu 24
jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500mg. Etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali
sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP. Sifat etambutol adalah bakteriostatik dan
bakterisidal. 2,3,11
Efek toksik : 2,3,11
Neuritis optika berupa kebutaan terhadap warna merah-hijau (red-green color
blindness). Efek ini cukup sering dijumpai pada orang dewasa. Insidensi dari
toksisitas optalmologika cukup rendah. Oleh karena pemeriksaan lapang pandang dan
warna pada anak-anak cukup sulit dilakukan maka etambutol tidak direkomendasikan
untuk terapi rutin pada anak-anak. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB
berat dan kecurigaan resisten obat jika obat lain tidak tersedia
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada keadaan
basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Obat ini penting pada pengobatan
fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15 – 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1 gram/hari dan kadar puncak 40-
50µg/ml dalam waktu 1-2 jam. Obat ini dapat melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melawati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik
pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi melalui ginjal. 2,3,11
Efek toksisitas : 2,3,11
Kelainan pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
berupa tinismus dan pusing
Dapat menembus plasenta sehingga hati-hati menentukan dosis pada wanita hamil
karena dapat merusak saraf pendengaran janin
22
Gambar 7. Obat TBC Lini I
Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek Samping
(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg)
Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg)
23
Gambar 9. Regimen Pengobatan TBC anak
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Prednison
24
3.2 Fixed Dose Combination (FDC) 2,3
FDC adalah sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan. Untuk
menjaga kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat
yang banyak. 1,2,3
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB : 1,2,3
Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep
Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien
Mempermudah pengelolaan obat (proses pengadaan, peyimpanan, dan distibusi obat)
Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (mooterapi) sehingga mengurangi
resistensi
Mengurangi kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.
25
malabsorpsi. 11,13,14
Ethionamide
Setelah penemuan isoniazid beberapa turunan pyridine lainnya telah diuji dan
ditemukan ethionamide dan prothionamide memperlihatkan aktifitas antimikobakteri.
Mekanisme kerjanya sama seperti isoniazid, yaitu menghambat sintesis asam mikolat. In-viro
kedua turunan pyridine ini bersifat bakterisid, tetapi resistensi mudah terjadi.
Dosis harian adalah 15-20 mg/kg, dosis maksimal 1 gr. Efek samping utama adalah
gangguan saluran cerna (diberikan dosis harian terbagi 2-3 kali), hepatotoksisitas (4,3%),
ethionamide memperlihatkan kekerapan efek samping yang sedikit lebih rendah dari efek
samping prothioamide. Pemeriksaan enzim hati (SGOT/SGPT) harus dimonitor setiap
bulannya, dan obat harus dihentikan jika terjadi peningkatan enzim lima kali lipat walaupun
tanpa ada gejala. Efek samping yang lain adalah neuritis, kejang, pusing, dan ginekomastia,
artalgia. Karena menembus kedalam CSS amat baik dan mungkin terutama berguna pada
kasus meningitis tuberkulosis. 11,13,14
Beta-laktam
Co-amoxiclav dan ampicillin/sulbactam in-vitro mempunyai aktifitas terhadap M
tuberculosis. Penghambat beta-laktamase adalah esensial untuk menghambat hidrolisis oleh
beta-laktamase yang dihasilkan oleh mikobakteri, sehingga memungkinkan penetrasi
aminopenicillin meliwati dinding sel. Akan tetapi aktifitas bakterisid hanya terhadap
mikobakteri pada fase eksponensial dan tidak pada fase stasioner, sehingga diperkirakan obat
ini hanya bermanfaat untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lainnya yang
diberikan bersama. 11,13,14
Cycloserine
Cycloserine memperlihatkan efek mikobakteriostatiknya melalui penghambatan
sintesis dinding sel. Penelitian klinis yang dilakukan pada tahun 1950-an memperlihatkan
kemanjuran yang lebih rendah dibanding dengan PAS, disertai dengan efek samping
neuropsikiatrik yang terlihat pada 50% penderita yang menerima dosis 1 gram perhari.
Gejalanya mencakup serangan kejang, psikosis, berbicara tak jelas, mengantuk, dan koma.
Kejang dan neuropati perifer juga dapat terjadi jika diberikan bersamaan isoniazid. Untuk hal
ini perlu diberikan 150 mg pyridoxin untuk mencegah atau meringankan kejadian efek
samping neurotoksis. Dalam dosis rendah efek samping kurang kerap; dosis harian yang
digunakan adalah 15-20 mg/kg, dosis maksimal 1 gram/hari, dan kadarnya dalam darah
dianjurkan tak lebih dari 30 ng/ml. Cycloserin tersedia dalam 250 mg-kapsul. 11,13,14
Fluokinolon
Fluorokinolon menghambat trpoisomerase II (DNA gyrase), dan tropoisomerase IV
tetapi enzim ini tak ada pada mikobakteri. Sifat penting fluorokinolon adalah kemampuannya
untuk masuk ke dalam makrofag dan memperlihatkan efek mikobakterisidnya di dalam sel
itu. Yang diakui berkhasiat sebagai OAT adalah fluorokinolon generasi kedua, yaitu
ciprofloxacin, ofloxacin, dan levofloxacin. Akan tetapi jumlah kajian klinik yang meneliti
peran fluorokinolon pada pengobatan multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) masih
terbatas. Pada kajian-kajian itu oxofloxacin diberikan dalan dosis 400 mg sekali hari dan
27
ciprofloxacin dalam dosis 500-750 dua kali sehari. Akan tetapi belakangan ini oxofloxacin
dan ciprofloxacin dirubah dosisnya masing-masing menjadi 800 mg dan 1000 mg yang
diberikan satu kali sehari. Di dalam satu uji banding dinyatakan bahwa levofloxacin lebih
unggul khasiatnya daripada ofloxacin yang dicakupkan kedalam pengobatan penderita
multiple-drug- resistant tuberculosis (MDR-TB). 11,13,14,18
Efek samping yang berkaitan dengan penggunaan fluorokinolon mencakup gangguan
saluran cerna, efek neurologik, artopathy dan fotosensitifitas. Percobaan in-vitro dengan
fluorokinolon baru yakni gatifloxacin dan moxifloxacin, memperlihatkan aktifitas
antimikobakteri yang lebih baik dari levofloxacin. Kedua kinolon baru itu memperlihatkan
kadar hambat minimal (MIC) yang lebih rendah dari kinolon lama. Moxifloxacin dalam dosis
harian yang direkomendasikan 400 mg terlihat paling aktif terhadap M tuberculosis. Pada
penderita dengan tuberculosis aktif, diperlihatkan moxifloxacin mempunyai aktifitas
bakterisidal awal yang setara dengan rifampicin. 11,13,14
29
Kanamycin 15-30 1000 Ototoksisitas, toksisitas
Amikacin 15-22,5 1000 hati
Capreomycin 15-30 1000
Cycloserin terizidone 10-20 1000 Gangguan psikis,
gangguan neurologis
Para-aminosalicylic 150 12000 Muntah, gangguan
acid gastrointestinal
* dapat ditanggulangi dengan dosis terbagi
** meskipun belum disetujui untuk terapi anak tetapi kalau sangat diperlukan dapat diberikan
dengan mengabaikan efek samping
TBC milier, diberikan 4-5 macam OAT (INH, RIF,PZA, STM) atau ETM selama
2 bulan, dilanjutkan dengan INH dan RIF sampai 9-12 bulan kemudian
ditambahkan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu yang selanjutnya
diturunkan secara perlahan-lahan hingga 2-6 minggu
TBC ekstrapulmonal
a . TBC kelenjar, dapat sembuh tanpa diobati namun bisa berkembang jadi
nekrosis. Terapi yang diberikan 2HRZ + 6HR + perbaikan gizi
b. Pleuritis TB, terapi sama dengan terapi TB paru bila berespon maka suhu akan
turun dalam 2 minggu terapi, cairan pleura akan diserap dalam 6 minggu. Bila
demam berlangsung hingga 2 bulan, diberikan steroid selama 2-6 minggu dengan
dosis penuh, kemudian tappering off selama 2-6 minggu
c. TBC tulang/sendi, diberikan 2 RHZE +12 RH dan terapi suportif
d. TBC SSP (meningitis TB), diberikan 2 HRZE + 10 HR dan Prednison 1-2
mg/kgBB/hari selama 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu tappering off
e. TBC kulit (skrofuloderma), diberikan 2HRZ + 6RH dan higiene yang baik
f. TBC abdomen, terapinya 4-5 macam OAT selama 2 bulan pertama + 12 RH
dan kortikosteroid 1-2 mg/kgBB selama 1-2 minggu pertama
g. TBC mata, diberikan 2 RHZ + 4 RH dan kortikosteroid topikal
h. TBC hati, terapinya 2 RE + 12HR
i. TBC ginjal, terapi 4 macam OAT pada 2 bulan pertama + 2 macam obat
selama 12 bulan.Kalau dilakukan pembedahan setelah pemberian OAT 4-6minggu
30
j. TBC jantung, diberikan 4-5 OAT untuk 2 bulan pertama dilanjutkan 2 OAT
hingga 12 bulan
k. TBC perinatal, terapinya 9-12 RH + 2 EZ
l. TBC-HIV, dengan terapi 2 RHZ + RH selama 9-12 bulan
3.3 Evaluasi hasil pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Pentingnya evaluasi pengobatan adalah
karena diagnosis TB pada anak yang sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi
pengobatan dilakukan dengan beberapa cara yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan
pemeriksaan LED. 1,2,3,8,10
Apabila respons pengobatan baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi
penambahan berat badan maka pengobatan dilanjutkan.
Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik yaitu gejala masih ada, tidak terjadi
penambahan berat badan, maka obat OAT tetap diberikan dengan tambahan merujuk
kesarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Kemungkinan yang terjadi adalah
misdiagnosis, mistreatment, atau resisten terhadap OAT.
Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikan klinis seperti berat badan
meningkat, nafsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka
pengobatan dapat dihentikan.
Evalusi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secra rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi
pleura, atau bronkopneumonia. Anak dengan TB milier perlu diulang foto toraksnya
setelah 1 bulan evaluasi pengobatan sementara pada efusi pleura TB setelah 2 minggu
3.7 Nonmedikamentosa
I. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai
dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat
ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah
satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung
terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours
(DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan
TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2
33
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai
berikut : 2,12
Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.
Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
34
3.8 Pencegahan
I. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis
untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah
insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus
tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih
dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang
mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin,
jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.2,3,5,19
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada
anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB,
TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif
telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi
umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif
aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah
ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi
imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat
badan optimal.5,1
II. Kemoprofilaksis16
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis
sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.
Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan
dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada
akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan
sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika
didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan
uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2,3
35
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak
semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan
imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita,
menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik
dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun
waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12
bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan
untuk menilai respon dan efek samping obat.3,5
Cara pemberian Isoniazid untuk pencegahan TB pada anak:
UMUR HIV Hasil Pemeriksaan Tatalaksana
Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH Profilaksis
Balita (+)/(-) Sehat, kontak (+), Uji tuberculin (-) INH Profilaksis
>5tahun (+) Infeksi laten TB INH Profilaksis
>5tahun (+) Sehat INH Profilaksis
>5tahun (-) Infeksi laten TB Observasi
>5tahun (-) Sehat Observasi
Keterangan:
a. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10mg/kgBB 7-15mg/Kg)
Setiap hari selama 6 bulan.
b. Setiap bulan (saat pengambilan obat isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5, atau ke 6, maka
segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera
ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal.
c. Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
d. Bila anak belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah PP-
INH selesai diberikan.
3.9 Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke
ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang
menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
36
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada
pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.11,13
4. Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon
buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple
terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter
meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam
menjalanin pengobatan. 11,13,14
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama
isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi
OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.12,14
37
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan
Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain
dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB.
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi
sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau
berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak
naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe
superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu,
diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan
dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat
TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin.
38
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
40