Anda di halaman 1dari 31

BAB 186

KUSTA
Thomas H. Rea
Robert L. Modlin

Dalam buku : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi 7. 2008.


Halaman 1786-1796

RINGKASAN
KUSTA

 Definisi: infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae.
 Keterlibatan : lesi kulit dan nervus, tetapi juga dapat ditemukan pada organ
lain seperti mata, saluran pernafasan, kelenjar limfe, testis dan sendi.
 Diagnosis : ditemukannya bakteri basil tahan asam pada jaringan atau
adanya karateristik kerusakan saraf perifer.
 Insiden: kira-kira 500.000 kasus baru ditemukan setiap tahunnya diseluruh
dunia.
 Morbiditas jangka panjang : meskipun pengobatan antibakteri bersifat
kuratif, seperempat sampai sepertiga pasien akan mengalami defisit
neurologis yang permanen.
 Manifestasi klinis : Manifestasi yang beragam dihasilkan dari spektrum
granulomatous, dan selanjutnya ditingkatkan oleh reaksi yang berlangsung.

1
2

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini ditemukan di negara berkembang, kusta bersifat endemik di


semua benua, kecuali Antartika. Di benua Amerika, hanya Kanada dan Chile yang
bukan daerah endemik penyakit ini. Di benua Eropa bagian selatan, angka
kejadian kusta sangat rendah, sementara kusta banyak mewabah di pulau Pasifik.
Selama tahun 1990an, prevalensi kusta turun 90% karena pasien
menggunakan multiple-drug therapy yang telah dipertimbangkan dapat
menunjukkan tanda kesembuhan, namun kejadian penyakit ini masih juga banyak
ditemukan.
Pada semua populasi yang diteliti, penyakit lepromatous merupakan
penyakit yang lebih sering dijumpai pada pria daripada pada wanita dengan rasio
2:1. Kusta biasa terjadi dalam bentuk "tuberkuloid", kusta jarang terjadi dalam
bentuk "lepromatous".9 Kusta dikatakan sebagai penyakit yang menyerang daerah
pedesaan, tetapi ditemukan juga prevalensi di daerah perkotaan. Rata-rata onset
usia kusta tuberkuloid lebih sedikit dibandingkan pada pasien lepromatosa, namun
pada kedua kelompok, kusta didominasi oleh anak muda, usia awal onset yaitu
kurang dari 35 tahun. Waktu inkubasi kusta tuberkuloid adalah 5 tahun dan untuk
lepromatous 20 tahun atau lebih.
Ada beberapa pendapat mengenai kusta, salah satunya bahwa
Mycobacterium leprae ditularkan dari manusia ke manusia.10 Tetapi cara
penularan infeksi tersebut tidak terbukti benar, namun bukti terkini menunjukkan
bahwa transmisi melalui pernafasan, transmisi bawaan dan perkutan, namun
contohnya jarang terjadi. 13 Di daerah endemis kusta infeksi sub-klinis umum
terjadi, karena tes serologi mengidentifikasi M. leprae antibodi spesifik, 14 namun
insiden penyakit memiliki perbandingan yang sangat kecil dengan sebagian besar
individu memiliki respon curative immunologis.
3

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Penyebab kusta adalah M. leprae, bakteri Gram-positif, intraseluler
obligat, bacillus tahan asam. Genom M. leprae (3,27 megabases) lebih pendek
daripada M. tuberculosis (4,41 megabases). kode genom M. leprae hanya 1600
gen, sedangkan kode M. tuberculosis 4000. Kedua spesies berbagi 1439 gen yang
sama. Dalam M. leprae, hanya sebagian dari genom-nya codingnya tersusun
urut; penghapusan gen jelas dan pembusukan daun M. leprae dengan beberapa
enzim pernapasan, 6 yang menjelaskan kegagalan untuk menumbuhkan organisme
dan lingkungan intraseluler obligat.
Pada pemeriksaan kultur jaringan, M. leprae yang diukur dengan indeks
biopsi (BI), skala logaritma tuntuk jumlah basil per lapangan pandang (O1F): BI
dari 6 adalah 1000 atau lebih basil/QIF; BI 5 adalah 100 sampai 1000/O1F; BI
dari 4 adalah 10 sampai 100/O1F; BI dari 3 adalah 1 sampai 10/O1F, BI 2 adalah
1 bacillus/1 sampai 10 OIF; BI dari 1 adalah 1 bacillus/ lO sampai 100 OIF; Dan
BI dari O bukan basil dalam 100 QIFs. Karena BI dari 6 menunjukkan 1O9 basil
per gram dari granuloma, jaringan dengan BI dari 0, memiliki sebanyak
organisme per gram.
Seorang pasien dianggap "paucibacilary" jika tidak ada basil tahan asam
yang ditemukan pada pemeriksaan kultur jaringan, dan menjadi "multibasiler" jika
ada satu atau lebih bacilli tahan asam yang ditemukan.
M. leprae, seperti Treponema pallidum, tidak beracun, manifestasi klinis
dari kusta yang diproduksi oleh respon host terhadap M. leprae, atau sebaliknya,
dengan akumulasi bakteri lebih banyak, seperti pada tanda-tanda infiltrasi difus.
Lipoprotein terkait dinding sel, Ligan untuk heterogen seperti reseptor
Toll-like 2/1, memulai respons pertama inangnya untuk menyerang M. leprae
yang merupakan respons imun bawaan. Respons ini mungkin tidak tepat dalam
menentukan hasil akhirnya dari interaksi parasit host.15 Glikolipid fenolik I adalah
penyusun spesifik spesies dan imunogenik utama dari lapisan luar nonpolar basil
ini. Masuk ke saraf yang dimediasi oleh pengikatan trisakarida spesifik dalam
glikolipid fenolik I ke laminin-2 di lamina basal unit akson sel Schwann,16 hal ini
4

memberikan alasan mengapa M. leprae adalah satu-satunya bakteri yang diketahui


menyerang Saraf perifer.
Studi lain memberikan bukti kuat bahwa faktor genetik dan lingkungan
penting dalam menentukan kerentanan penyakit.17 Pada kromosom l0p 13,
termasuk PARK2 dan PACRG untuk kerentanan terhadap penyakit Parkinson,
ditemukan juga mengandung faktor risiko kerentanan terhadap kusta.18 Ini
termasuk bentuk tuberkuloid dan lepromatosa, dan telah diidentifikasi pada
beberapa kelompok genetik. Antigen kelas II histokompatitifitas kompleks
mempengaruhi terjadinya penyakit tuberkulosis versus lepromatosa, namun tidak
kerentanan terhadap penyakit.19

MANIFESTASI KLINIS
A. ANAMNESIS
Bagi dokter yang berlatih di daerah non-endemik, perlu diketahui
bahwa pasien memiliki faktor risiko kusta (kelahiran atau tempat tinggal di
daerah endemik, atau anggota keluarga pasien menderita kusta), hal ini dapat
menjadi pertimbangan untuk mendiagnosis kusta.
Data atau gejala yang menimbulkan kecurigaan lebih lanjut tentang
kusta yaitu adanya keluhan yang berkaitan dengan neuropati perifer,
gangguan mulut yang terus-menerus, gejala mata, kehilangan dorongan
seksual dan pada biasanya ditemukan pada pria muda.

B. LESI KULIT DAN NEURAL PADA SPEKTRUM


GRANULOMATOUS
a. SPEKTRUM GRANULOMATOUS
Gambaran tentang kusta spektrum granulomatosa dilakukan oleh
Ridley dan rekan-rekannya yang didasarkan pada perubahan klinis dan
histologis.3,20 Ridley membagi kusta menjadi enam bentuk, mulai dari
resistansi tinggi sampai rendah, TT (polar tuberculoid), BT (Borderline
5

tuberculoid), BB (borderline), RL (borderline lepromatous), LLs (subpolar


lepromatous), dan akhirnya, LLp (poLar lepromatous):

Secara konseptual, TT dan LLp stabil secara klinis, namun postur


granulomatosa host mungkin dapat berubah, seperti yang ditunjukkan oleh
anak panah, meningkatkan (atau membalikkan) ke postur ketahanan yang
lebih tinggi, seringkali dengan peradangan. Dengan resistensi yang rendah,
biasanya diam tapi kadang-kadang dengan peradangan. Pasien BT dapat
menjadi TT, sehingga menjadi stabil, namun pasien LLs tidak melakukan
downgrade ke LLp. Patogenesis spektrum granulomatous dimediasi oleh
reaksi imunologi tipe IV, imunitas yang dimediasi oleh sel (CMI) atau
hipersensitivitas tipe delayed (DTH).
Klasifikasi ini ditentukan berdasarkan perubahan klinis histologis
dan jumlah bacillary yang ditemukan.
Sebagai perbandingan tentang terminologi pre-Ridley dan Ridley,
“tuberkulin” berhubungan dengan TI dan BT, “boderline" atau “dismorfik”
adalah BB dan BL, dan "lepromatous" untuk LL dan bibir. Pada hampir
semua pasien TT, dan pada kebanyakan kasus BT, basil tahan asam tidak
dapat ditemukan, sedangkan pada BR, BL, LLs, dan LLp, basil dapat
ditemukan dengan mudah. Penelitian Ridley berguna dalam
mengklasifikasikan pasien, terutama untuk kekebalan tubuh.

b. KELAINAN SARAF PERIFER


Lima jenis kelainan saraf perifer sering terjadi pada kusta :
1. Pembesaran saraf (biasanya dianggap asimetris), terutama pada
aurikular, ulnaris, radial, peroneal superficial, sural, dan tibialis
posterior,
2. Kerusakan sensorik pada lesi kulit,
6

3. Kelumpuhan saraf baik dengan tanda-tanda dan gejala inflamasi


atau tanpa gejala atau disebut “silent neurophaty”,21 baik kerusakan
sensorik dan motorik (Kelemahan dan atrofi)
4. Stocking-glove pattern of sensory impairment (S-GPSI), kerusakan
Serat tipe C, yang ditandai dengan kehilangan rasa sakit atau
sentuhan ringan, dimulai di daerah akral. Dan seiring berjalannya
waktu keluhan ini akan memperluas ke bagian tubuh lain
5. Anhidrosis di telapak tangan atau telapak kaki, akibat kerusakan
saraf simpatik.

1. Kusta Polar Tuberkuloid.


Pada TT imunitas kusta sangat kuat, ditandai dengan penyembuhan
spontan dan tidak adanya penurunan fungsi tubuh. Lesi kulit primer TT
adalah plak, propagasi perifer dan sentral clearing (Gbr. 186-1). Plak
dengan batas tegas. Biasanya, lesi tersebut kemudian akan menjadi
eythematosa, bersisik, kering, tidak berbulu, dan hypopigmentasi, namun
variasi lain juga cukup banyak ditemui (lihat efigs. 186-1.1 dan 186-1.2
dalam edisi on-line).
Nervus sensorik mungkin tidak membesar, tetapi lesi itu sendiri
bersifat hypesthetic dan hidrotic, dengan diameter lesi 10 cm. Lesi kulit
seringkali bersifat solitar, terutama pada pasien TT de novo, berbeda
dengan lesi TT dari BT, terdapat beberapa lesi, biasanya tidak lebih dari
tiga. Pada kedua kelompok, kekebalan cukup dalam proses penyembuhan,
namun terapi antibiotik jug dianjurkan.
Secara histologis, lesi de novo adalah tuberkel kecil dengan
lymphocytic. Lesi upgrade memiliki sel langhans raksasa dan eksositosis
ke dalam epidermis, serta terdapat limfositik yang banyak.
7

GAMBAR 186-1 Lesi solitar, anestesia, dan lesi annular pada kusta polar
tuberkuloid, yang sudah muncul selama 3 bulan. Bagian tepi lesi eritema,
dan batas tegas. Titik merah pada bagian sentral adalah sekuele atau
"footprint" untuk uji persepsi pinprick.

2. Kusta Borderline Tuberkuloid


Pada penyakit BT, resistensi imunologis cukup kuat untuk
menahan infeksi, karena penyakit ini terbatas dan pertumbuhan bacillary,
namun respon inang tidak cukup untuk penyembuhan sendiri (lihat efigs
186-1.3 sampai 186-1 secara on-line edisi). Pasien-pasien ini tidak stabil
dan resistansi dapat meningkat, serta dapat meningkat ke TT atau menurun
ke BL.
Lesi kulit primer BT adalah plak dan papula. Seperti pada TT
biasanya lesi anular dengan batas tegas, tetapi juga dapat ditemukan lesi
anular atau plak dengan batas tegas serta terdapat papula satelit (Gbr. 186-
2). Hipopigmentasi akan terlihat pada pasien berkulit gelap. Berbeda
dengan TT, biasanya hanya ada sedikit skuma, kurang eritema, kurang
indurasi, dan elevasi kurang, namun lesi menjadi jauh lebih besar (lihat
gambar 186-1.3 pada edisi on-line), yaitu dengan diameter lebih dari 10
cm, lesi tunggal terkadang muncul di seluruh ekstremitas dari waktu ke
waktu. Beberapa lesi asimetris, namun lesi soliter tidak jarang
terjadi. Gangguan pada lesi kulit biasanya akibat dari pembesaran saraf
8

atau kerusakan saraf, biasanya asimetris dan tidak lebih dari dua saraf.
Abses saraf paling sering terlihat pada pria dengan penyakit BT (lihat 186-
1, dalam edisi on-line).
Secara histologis, limfositik kurang berkembang dengan baik, sel
langhans sedikit atau bahkan tidak ada, dan eksositosis apapun bersifat
fokal.

GAMBAR 186-2 Salah satu dari beberapa lesi kusta borderline


tuberkuloid, dengan lesi annular yang tidak sempurna dengan papula
satelit. Sama seperti lesi pada polar tuberkuloid Gambar. 186-1, kurang
eritema, tidak ada skuama yang jelas, namun batas lesi tegas.

3. Kusta Borderline
BB adalah titik tengah imunologi atau zona tengah spektrum
granulomatosa, menjadi daerah yang paling tidak stabil, pasien dengan
cepat naik atau turun ke posisi granulomatosa yang lebih stabil dengan
atau tanpa reaksi klinis. Perubahan kulit yang khas adalah lesi annular
dengan batas interior dan eksterior yang tajam, plak besar seperti keju,
atau lesi dimorfik klasik. Karena ketidakstabilannya, postur BB berumur
pendek, dan pasien seperti itu jarang dijumpai, belum pernah ditemukan
pasien non-reactional yang memenuhi kriteria klinis dan histologis.
9

4. Kusta Borderline Lepromatous


Pada penyakit BL, resistensi terlalu rendah, secara signifikan
menahan proliferasi bacillary, namun masih cukup untuk menginduksi
radang untuk merusak jaringan, terutama pada saraf.
Kategori BL sangat bervariasi pada manifestasi klinisnya (Gambar
186-3; lihat eFigs. 186-3.1 melalui 186-3.3 pada edisi on-line). Meskipun
ditemukan pada sepertiga pasien BL, lesi dimorfik klasik (yang memiliki
kedua morfologi) adalah gejala yang paling khas, lesi berbentuk annular
dengan kurang tegas (seperti lepromatous) terdapat satu bagian yang
tertekan kedalam (Seperti tuberkuloid lihat Gambar 186-3). Plak dengan
batas kurang tegas, dengan "punched out" atau "Swiss chesee" pada daerah
yang berbatasan dengan kulit normal di bagian dalam plak. Juga dapat
ditemukan lesi annular dengan batas eksterior dan interior yang
tajam. Biasanya juga dapat ditemukan papula dan nodul yang khas mirip
lepromatosa, tapi biasanya disertai beberapa lesi tajam di tempat lain
(Gambar 186-4).

GAMBAR 186-3 Boderline atau lesi dimorfik, berupa plak annular yang
terinduksi dengan “tuberkuloid” interior namun bagian tepi eksterior
“lepromatous” dengan batas kurang tegas. Kedua morfologi ini disebut
“dismorfik” (Dari Demis DJ: Clinical Dermatology, revision 23, vol 3,
unit 16-29 1996, p 14. Digunakan atas izin Lippincott Williams &
Wilkins.)
10

GAMBAR 186-4 Beberapa lesi pada pasien dengan kusta borderline


lepromatous. Lesi anular dengan ukuran yang bervariasi dan terdistribusi
secara asimetris. Sebaliknya, papular dan nodular yang kurang jelas
tersusun simetris. Penurunan sensasi pada lesi ini.

Lesi dapat meluas menjadi lebih dari satu (awalnya lesi satu)
kemudian menjadi banyak dan menyebar luas. Secara umum, lesi yang
muncul berupa lesi annular dan plak, bersifat asimetris, namun nodul
seperti lepromatous, biasanya bersifat simetris. Kelumpuhan saraf
memiliki prevalensi tertinggi pada penyakit BL namun jumlahnya
bervariasi, mulai dari defisit saraf motorik maupun sensorik, di keempat
ekstremitas. Kerusakan saraf median dan ulnaris yang bersifat simetris,
adalah karakteristik dari penyakit ini. Jika penyakitnya sangat luas, pasien
RL memiliki S-GPSI.
Secara histologi, satu respons klasik adalah infiltrate limfositik
padat yang terbatas pada ruang yang ditempati oleh makrofag (lihat eFig
186-41 pada edisi on-line). Respon klasik lainnya adalah laminasi
perineurium dengan infiltrate limfositik. Pola ini berupa peradangan
kronis. Makrofag tidak berdiferensiasi. Basil tahan asam mudah
ditemukan.
11

5. Kusta Lepromatosa
Pada penyakit LL, kurangnya CMI terhadap M. leprae
memungkinkan replikasi bacillary yang tidak terbatas dan terjadi penyakit
multiorgan. Infiltrasi kulit selalu ada secara subklinis dan pada LL non
nodular diffus, dimanifestasikan sebagai pembesaran lobus telinga,
pelebaran akar hidung, dan pembengkakan jari fusiforrn, yang mirip
dengan penyakit rematik. Nodul adalah lesi yang paling umum ditemukan,
biasanya berdiameter 2 cm, dan terdistribusi secara simetris (Gambar 186-
5; lihat eFig. 186-5.1 dalam edisi online). Kulit, menghasilkan fasies
leonine, sering timbul bersamaan dengan lesi nodular. Lesi
dermatofibroma (histoid) biasanya bersifat multipel, ditandai dengan batas
yang tegas, terdapat papula eritematosa atau nodul, kadang-kadang
bergabung pada plak; yang pertama kali ditemukan pada pasien kambuhan
kusta "histoid” (Gambar 186-6; lihat eFig 186-6.1 dalam edisi on-
line). Lesi kulit yang jarang terjadi seperti eritema yang biasanya
ditemukan pada pasien dengan kulit putih (Gambar 186-7), kadang diikuti
dengan hiperpigmentasi ringan; Pada pasien berkulit gelap, beberapa
makula hipopigmentasi dapat terjadi pada lesi semacam itu, dengan
melanin yang menutupi eritema (lihat eFig. 186-7.1 di edisi online).

GAMBAR 186-5 Dua pola reaksi yang berbeda pada penyakit kusta
lepromatosa seperti ditunjukkan pada dua telinga. Pada telinga sebelah
kiri, infiltrasi yang menyebar sangat luas sampai kulit telinga dilemparkan
ke dalam lipatan, namun tidak ada nodul. (Dari Demis W : Dermatologi
Cilitan revisi ke 23, jilid 3, unit 16-16,1996, halaman 16. Digunakan
12

dengan izin dari Lpincott Williams & Wilkins.) Pada heliks telinga di
sebelah kanan terdapat empat lesi kusta lepromatous nodular, Dua nodul
teratas memiliki nodul yang kurang jelas daripada dua lesi yang di bagian
bawah. Kulit di antara nodul juga difiltrasi namun tidak menimbulkan
perubahan yang jelas secara klinis.

GAMBAR 186-6 Lesi multiple dermatofibroma (histoid), lesi soliter dan


konfluen pada pasien dengan kusta lepromatosa subpolar. Batas tegas dan
tajam yang membedakan dengan sebagian besar lesi.

GAMBAR 186-7 Lesi multipel, hampir tidak teraba, eritematosa, dan


asimtomatik telah ada selama 2 bulan sebelumnya pada pasien
lepromatosa subpolar. Dengan perawatan, saat lesi menjadi agak
hiperpigmentasi. Tanda kulit normal berbeda dengan pembesarannya pada
lesi pada Gambar. 186-6.
13

Biasanya terjadi kerontokan rambut alis mata, terjadi secara lateral


kemudian menjadi medial, atau tidak merata, tapi juga dapat menyebabkan
kerontokan bulu mata dan ekstremitas (lihat efig. 186-7.2 dalam edisi on-
line). Kerontokan rambut pada kulit kepala jarang terjadi, kemungkinan
karena suhu kulit lebih tinggi. S-GPSI biasa terjadi dan mungkin sangat
parah sehingga bisa menyebabkan perubahan pada tangan atau kaki.
Secara histologis, LLs dan LLP memiliki banyak kesamaan :
1. Lesi nodular pada derrnal ditemukan makrofag, tidak
berdiferensiasi, terdapat taburan limfosit, dan epidermis tipis di
atas grenz zone.
2. Secara klinis biasanya kulit normal
3. Dense “pseudofollicular” agregat dari limfosit sel B.22
4. Ditemukan bakteri asam-basa pada sel endothelial dan Schwann
5. Sel plasma dan sel mast meningkat.
6. Foreign-body giant cells ditemukan pada lesi lama. Pada
LLs perineurium tetapi tidak terdapat infiltrasi. Pada LLp,
perineum itu tak terganggu.

6. Kusta Intermediate
Kusta adalah istilah yang memiliki makna yang hampir
sama. Kami lebih memilih definisi Khanolkar,23 yang menentukan lesi
awal, yang muncul sebelum host membuat reaksi imunologis untuk
menyembuhkan atau menanggapi respons granulomatosa. Secara klinis,
lesi dapat berupa makula atau hipopigmentasi dengan defisiensi sensorik
dan ditemukan bakteri basil asam. Lesi semacam ini jarang terjadi di klinik
kami. Istilah ini tidak tepat digunakan untuk menggambarkan lesi basil
tetapi tidak memiliki pola histologis tuberkuloid atau lepromatosa tipikal,
biasanya BL atau LL.
14

PEMERIKSAAN FISIK
Ketidakpekaan kornea umumnya terjadi pada semua bentuk kusta. pada
BL dan LL, banyak perubahan pada kornea, iris menjadi perubahan serius yang
umum terjadi juga, pada LL, kerusakan saraf kornea sering dijumpai dan mungkin
dapat membantu sebagai tanda diagnostik.
Pada semua pasien LL dan pasien BL ditemukan lesi yang meluas dan
penyebaran infeksi secara luas. Biasanya pada saluran pernafasan bagian atas,
berasal dari ujung hidung yang bermanifestasi sebagai rinitis, perforasi septum,
kerusakan bentuk hidung, dan suara serak akibat ada nodul pada pita
suara. Adanya peningkatan follicel-stimulating hormon dan peningkatan kadar
hormon luteinizing, pada pasien BL dan LL terdapat penurunan fungsi seksual
dan ketidaksuburan, serta ditemukan atrofi testis pada pemeriksaan. Gangguan
pada hati, limpa, kelenjar getah bening perifer, dan sumsum tulang juga biasanya
terjadi.

KEHAMILAN DAN POSTPARTUM


Kehamilan dikatakan sebagai faktor pengendapan kusta sebanyak 10-25%
pasien wanita, mungkin karena perubahan imunitas. Saat hamil, pasien LL dan BL
ditemukan eritema nodosum leprosum (ENL, lihat Ernomma Nodosum
Leprosum), Tetapi pada postpartum, cenderung akan menjadi reaksi DTH karena
kekebalan tubuh yang berkurang.24 Apabila Tidak diobati pada air susu pasien BL
dan LL akan banyak ditemukan basil, namun tidak ada risiko yang teridentifikasi
pada bayi yang menelan basil tersebut.25 Dapson pada susu ibu dapat
menyebabkan hemolisis pada bayi.

ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME


Pada pasien acquired immuno deficiency syndrome atau human
immunodeficiency virus, lepra belum dianggap sebagai infeksi
opportunistik. Sebagai contoh, dalam satu penelitian, acquired immunodeficiency
syndrome atau human immunodeficiency virus tampaknya tidak mempengaruhi
15

manifestasi penyakit ini (tuberculoid vs lepromatous), namun dikaitkan dengan


reaksi DTH berulang (lihat eFig l86-7 pada edisi on-line).26

KUSTA RELAPSING
Pasien multibacillary yang tidak patuh atau pasien yang resisten terhadap
obat cenderung cepat kambuh. Individu-individu tersebut hadir dalam beberapa
cara, termasuk (1) reprise presentasi initiai mereka, C2) lesi floral dermatofibroma
florid (lesi histoid), (3) keadaan reaktan, dan (4) postur ketahanan yang lebih
tinggi daripada presentasi awal mereka. , Misalnya, pasien LL yang awalnya
menderita penyakit BL atau bahkan BT.

KEADAAN REAKSIONAL
Secara umum, keadaan reaktivasi kusta bersifat khas yaitu terjadi
kerusakan jaringan, proses inflamasi, didorong secara imunologis, yang
meningkatkan morbiditas penyakit. Karena pengalaman yang dibutuhkan untuk
perawatan pasien yang optimal, membenarkan leprologi sebagai subspesialisasi
klinis. Saat ini, keadaan reaksional didasarkan pada granuloma, namun keadaan
reaksional biasanya mendominasi gambaran klinis. Bila reaksi kekebalan tubuh
meningkat, terjadi kerusakan jaringan. Keadaan reaksional dapat timbul sebagai
komplikasi pengobatan, namun bisa terjadi sebelum pengobatan dimulai atau
setelah selesai pengobatan.

REAKSI DEI.AYED-TYPE HYPERSENSVITI (DTH) (REAKSI


JOPLING’S TIPE I; UPGRADE, REVERSAI., ATAU REAKSI REDUKSI)
Reaksi DTH sangat umum terjadi pada pasien BL, namun tidak jarang
terjadi pada pasien LL, BB, atau BT.28,29 Pasien dapat upgrade ke tipe
granulomatosa yang lebih resisten, atau turun ke tipe yang kurang resisten.
Secara klinis, reaksi DTH ditandai dengan adanya konversi secara tiba-tiba
dari plak yang sebelumnya lesi tumid, dan lesi tumid baru yang timbul pada kulit
normal secara klinis dengan atau tanpa onset neuritis yang tiba-tiba. Lesi ini
16

berwarna keunguan yang khas (Gambar 186-8). Iritis dan lymphedema


(elephantiasis graecorum) dapat terjadi secara bersamaan.29 Varian morfologis
meliputi perubahan annular, konsentris, dan eksim (lihat eFig.186-7.3 dan eFigs
186-8.1 sampai 186-8,5 pada edisi on-line). Lesi bersifat soliter, seperti yang
dapat terjadi pada peningkatan BT ke TT, dan seringkali berjumlah banyak seperti
pada BL atau LL yang meningkat ke BT. Neuritis biasanya ringan sampai parah
dan bisa menjadi bencana jika banyak saraf yang rusak. Reaksi DTH merupakan
mode penyajian, dan reaksi DTH yang terjadi segera setelah tahun pertama
pengobatan. Reaksi DTH bisa terjadi sampai 7 tahun atau lebih setelah memulai
terapi, atau setelah pengobatan berhenti. Diagnosis reaksi DTH terutama
didasarkan pada manifestasi klinis, namun pemeriksaan histologis juga dapat
membantu dalam diagnosis, di mana temuan yang paling umum adalah
edema. Perubahan mikroskopis lainnya seperti diferensiasi makrofag epitel,
campuran langhans dan foreign-body type giant cell, dan epidermis yang menebal.

GAMBAR 186-8 Beberapa lesi awal pada pasien dengan reaksi delayed-type
hipersensitivitas (DTH). Lesi berwarna keunguan keunguan, dengan batas yang
tegas. Lesi tidak nyeri dan tidak lembut. Perbedaan antara lesi ini dan yang
ditunjukkan pada Gambar.186-3 dan 186-4 menekankan bahwa reaksi delayed-
type hipersensitivitas, bukan penyakit lepromatous Pasien juga mengalami
penurunan onset yang ireversibel.
17

ERYTHEMA NODOSUM LEPROSUM (REAKSI JIPLING'S TYPE II)


ENL paling sering terjadi pada LL yaitu pada 75% kasus, namun jarang
terjadi pada pasien BL. Penting untuk diketahui bahwa ENL bukan eritema
nodosum yang terjadi pada kusta; namun respons spesifik kusta, yang memiliki
beberapa kesamaan dengan eritema nodosum (lihat Bab 68). Mungkin terjadi
sebelum, selama, atau setelah kemoterapi. Onset rata-rata hampir 1 tahun setelah
onset pengobatan. Secara klinis, reaksi ini ditandai dengan lesi yang nyeri, lesi
berupa nodul berwarna pink muda, dermatitis akut dan timbul pada kulit normal.
Pada pasien ditandai dengan demam, anoreksia, dan malaise (Gambar 186-9; lihat
eFigs 186-9.1 sampai 186 -9,5 dalam edisi on-line). Lesi mungkin bersifat
targetoid, vesikular, pustular, ulseratif, atau nekrotik. Organ-organ lain juga
terlibat seperti artralgia dan artritis lebih sering terjadi pada ENL daripada
neuritis, adenitis, orchitis/epididimitis, atau iritis, namun masing-masing jarang
ditemukan pada awal timbulnya penyakit. Ekstremitas atas dan bawah adlah
predileksi penyakit ini dan lesi pada wajah terjadi pada satu setengah
pasien. Leukositosis neutrofil sering terjadi, kadang terjadi leukemoid. Episode
berat dapat dikaitkan dengan penurunan hematokrit secara mendadak, sampai 5
g/dL, hal ini mudah disalah diagnosis sebagai hemolisis akibat
dapson. Memberikan respons baik dengan thalidomide pada lebih dari 90%
pasien, hal ini memenuhi syarat sebagai kriteria diagnostik. ENL dapat
diendapkan oleh kehamilan atau infeksi piogenik.
18

GAMBAR 186-9 Lesi eritema nosiosum leprosum pada pasien dengan kusta
lepromatous. Lesi berwarna pink muda. Lesi ini edematous, dan terdapat
pustule. Lesi nyeri dan lembut.

Meskipun episode ENL mungkin sesekali atau sporadis, pada pasien yang
lebih parah, episode dapat sering terjadi hampir tak henti-hentinya. Pada akhirnya,
indurasi ganas pada paha anterior dan bagian lateral lengan adalah predileksi
penyakit ini, dapat juga ditemukan fibrosis reversibel. ENL dapat terjadi dalam
waktu yang lama, sehingga diperlukan durasi pengobatan anti-inflamasi sekitar 5
tahun.
Diagnosis ENL, biasanya tidak sulit, karena gambaran klinis dan
histologis bersifat khas dan memberikan respons baik terhadap thalidomide.
Secara histopatologis, sel ENL berupa neutrofil yang melimpah atau
sedikit, bahkan tidak ada (lihat eFigs 186-9.6 sampai 186-9.8 dalam edisi on-
line). Fitur umum lainnya yang dapat ditemukan seperti peningkatan limfosit,
epidermis yang menebal, dan panniculitis lobular. Vaskulitis jarang terjadi. Pola
histologis yang biasa adalah infiltrate pada dermis dan subkutis dalam.

FENOMENA LUCIO
Paling lazim ditemukan di Meksiko dan kawasan Karibia, fenomena Lucio
terbatas pada pasien dengan Latapi lepromatosis (Lucio leprosy) yang terdiri dari
infiltrasi kutaneous difus, dan berwarna ungu biasanya ditemukan di tangan dan
19

telangiectatic atau erupsi telangiektasi, perforasi septum hidung, alopesia alis dan
bulu mata, dan nodul subkutan S-GPSI30 yang teraba namun tidak terlihat.
Fenomena lucio biasanya terjadi pada lepromatosis latapi yang
berkembang dengan baik dan tidak diobati. Adanya tanda infark hemoragik
dengan bagian tepi bergerigi pada infark septik (Gambar 186-10; lihat eFig. 186-
10.1 dan 186-102 dalam edisi on-line). Lesi terasa nyeri tapi tidak terasa nyeri
pada saat palpasi. Lesi biasanya berupa krusta dan bisa sembuh dengan
meninggalkan scar stellate. Ulserasi sering terjadi, terutama di bawah lutut. Lesi
bervariasi dalam berbagai ukuran dan luasnya mulai dari beberapa lesi kecil pada
hingga lesi besar. Dengan terapi dapson saja, lesi dapat menjadi memburuk,
namun lesi baru berhenti dalam 1 minggu setelah pengobatan dengan rifampisin.31
Perubahan mikroskopis menginduksi nekrosis iskemik epidermis, pada pembuluh
darah dermal terjadi proliferasi endotel, dan parasitisasi berat sel endotel oleh
basil tahan asam (lihat Gambar 186-10.3 dalam edisi on-line).

GAMBAR 186-10 Lesi pada Fenomena Lucio, menunjukkan gejala hemoragik


khas dengan batas bergerigi. Halo erythematous merupakan ciri khas lesi ini,
namun biasanya hilang dalam waktu 1 minggu, yang menunjukkan respon baik
dengan pengobatan mikrobicidal atau terjadi penuaan pada lesi. Lesi terasa
nyeri. Pasien memiliki lepromatosis latapi seperti yang ditandai dengan infiltrasi
difus, alopecia total bulu mata dan alis, perforasi septum hidung, tidak ada lesi
nodular, dan penurunan berat badan yang drastis. (Dari Quisimoro FP et al:
fenomena Lucio: Sindrom deposisi kompleks imun pada kusta lepromatotis Clin
Immunol Immunopathol 9: 185, 1978.)
20

TES LABORATORIUM
Pemeriksaan imunopatologi dan imunologi pada kusta memiliki 3 tujuan
yaitu: (1) pemahaman yang lebih baik tentang penyakit itu sendiri; Khususnya
imunopatogenesis spektrum granulomatosa dan keadaan reaksional; (2)
pemberantasan atau pengendalian penyakit dengan vaksinasi; Dan (3) CMI pada
manusia yang bila dipahami akan mengetahui proses penyakit lainnya.

IMUNITAS SELULAR
Keragaman besar kusta dicontohkan dengan membandingkan dua bentuk
kusta. Bentuk TT memiliki resistensi yang tinggi ditandai dengan beberapa lesi,
granuloma sel epiteloid, dan kecenderungan untuk sembuh sendiri. Kusta TT
merupakan penyakit yang sama sekali berbeda dari bentuk LL yang memiliki
resistensi rendah, dengan penyebaran luas, ditemukan basil tahan asam dalam
jumlag yang banyak, makrofag yang tidak berdiferensiasi, dan jika tidak diobati,
lesi akan berkembang tanpa henti dan meluas. Plak dengan batas tegas adalah
tanda khas anti-M. leprae DTH pada kulit; kerusakan pada batang saraf adalah
tanda khas pada saraf perifer.
Pengamatan positif lepromin skin tes pada lesi tuberkuloid dan pada
pasien lepromatosa adalah bukti objektif bahwa kekebalan host adalah mekanisme
pertahanan. Tes transformasi limfosit dan in vitro lepromin skin test4 memberikan
bukti substansial bahwa mediasi melalui respon imun seluler. Pada antibodi
dengan M. leprae ditemukan menjadi lebih kuat pada pasien LL, menunjukkan
kekebalan humoral tidak menyebabkan resistensi terhadap penyakit.
Studi Immunophenotypic menunjukkan perbedaan yang nyata antara
infiltrasi limfosit pada lesi kulit tuberkuloid dibandingkan pasien lepromatosa,
dengan dominasi subset CD4 (CD4/CD8 = 2: 1), tetapi yang terakhir memiliki
dominasi subset CD8 ( CD4 / CD8 = 1: 2). Skewing of T-sel subset pada lesi
independen pada orang-orang di dalam darah perifer, karena semua pasien
memiliki rasio CD4/CD8 normal 2: 1. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari
respon imun pasien di lokasi penyakit, yaitu, pada lesi kulit.
21

Studi transcriptase-polymerase chain reaction dari messenger RNA profil


(mRNA) sitokin dalam jaringan memberikan penjelasan fungsional pada
immunopathology. Lesi tuberkuloid memiliki tipe 1 [T helper 1 (Th1) atau Th1-
Like] profil pro-inflarnmatoiy, khususnya, mRNA coding berlimpah pada
interleukin 2 (IL-2), interferon-γ (TEN-γ), dan IL- 12, tapi mRNA kurang pada
IL-4 atau IL-10. Sebaliknya, jaringan lepromatous memiliki tipe 2 (Th2 atau Th2-
like) profil anti inflammatory, khususnya IL-4 mRNA dan IL-10 mRNA, tetapi
sedikit mRNA pada cytokines tipe 1. Selanjutnya, sel T CD4+ pada lesi
tuberkuloid duntuk menghasilkan IFN-γ, sedangkan sel-sel CD8 T pada lesi
lepromatosa untuk produksi IL-4. Kehadiran sitokin tipe 1 di sel T dan makrofag,
hasil CMI untuk melokalisasi infeksi. Di sisi lain, sitokin tipe 2 ditemukan pada
lesi lepromatosa untuk respon antibodi yang kuat, tapi menghambat respon sel-T
dan respon makrofag, yang mengakibatkan perkembangan infeksi. Pentingnya
paradigma ini untuk meningkatkan CMI pada pasien lepromatosa, di mana
intradermal rekombinan IFN-γ pada pasien lepromatosa untuk mengurangi jumlah
infiltrasi basil pada jaringan. Profil sitokin yaitu, tipe I atau tipe 2, dapat
memberikan respon dari sistem kekebalan tubuh pada M. leprae. Sitokin yang
diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh bawaan dapat sangat mempengaruhi T
adaptif atau respon sel-B,37 dan khususnya reseptor Toll-Like yang dipicu oleh
lipoprotein mikobakteri, menyebabkan pelepasan IL-12, respons dari sitokin tipe
1.15

KEKEBALAN ANTIBODI
ENL secara luas dimediasi oleh kompleks imun. Ada sejumlah besar anti-
M. leprae antibodi di kedua LL dan BL pasien, tetapi antibodi ini tidak
memberikan perlindungan pada penyakit. Pada darah pasien EL dan LL
mengandung antigen yang berlimpah, termasuk basil utuh, hingga 105/mL. Oleh
karena itu, mudah dibayangkan bahwa pasien BL dan LL terjadi kerusakan
jaringan yang kompleks. ENL adanya produk komplemen yang pecah dalam
serum, yang konsisten dengan aktivasi komplemen ekstravaskuler pada jaringan.40
Inferential evidence adalah infiltrasi neutrofil, menunjukkan fenomena Arthus,
22

dan glomerulonefritis pada pasien ENL. Profil sitokin di ENL adalah tipe 2,
meskipun dominan pada CD4+ subset.39 Namun, bukti untuk mediasi kompleks
imun belum persuasif dan sulit untuk mereproduksi, dan itu dikacaukan oleh
leukosit antigen HLA-DR di epidermis,41 peningkatan IFN-γ yang mengandung
sel-sel yang ditentukan oleh studi hibridisasi, kelebihan IL-2 dibandingkan dengan
jaringan LL, dan pengendapan ENL oleh rekombinan IFN-γ.44 Kedua kompleks
imun dan seluler penting dalam patogenesis ENL.
Sedikit yang diketahui mengenai imunopatogenesis reaksi Lucio yang di
mediasi oleh kompleks imun. Ditemukan basil tahan asam dalam sel endotel bisa
menjadi lokasi yang optimal presentasi antigen untuk antibodi. Mekanismenya
tidak tampak berbeda dari ENL, bahwa ada sedikit ekspresi epidermal dari HLA-
DR pada kerangka antigen.41,45

TES LABORATORIUM LAINNYA


Kebanyakan perubahan laboratorium terjadi dalam satu atau penyakit BL
yang meluas. Hypergiobulinemia adalah tanda yang paling umum ditemukan. Tes
serologi biologis memberikan hasil positif palsu pada sifilis, anemia penyakit
kronis, dan limfopenia ringan. Antibodi anti-fosfolipid signifikan ditemukan pada
50% pasien LL, dan dapat menimbulkan antikoagulan lupus atau aglutinasi
eritrosit (faktor Rubino). Pada pemeriksaan buffy coat ditemukan basil hingga
105/mL. Peningkatan lisozim serum dan angiotensin-converting enzyme
mencerminkan akumulasi luas dan aktivasi makrofag. Proteinuria, juga ditemukan
pada pasien dengan glomerulonefritis, terlihat sebagian besar pada pasien dengan
ENL. Peningkatan serum follicle stimulating hormone dan luteinizing hormone
tapi kadar testosteron rendah, tetapi pada sebagian kecil pria dengan BL.

DIAGNOSIS BANDING
Sebagai penyakit polyrnorphous, salah satu pendekatan untuk mencari
diagnosis banding penyakit ini adalah dengan menekankan pada jenis lesi primer
dan sekunder yang ditemukan pada kusta.
23

a. Lesi Primer
 Makula. Hipopigmentasi pada pitiriasis alba dan kusta hampir sama pada
tampilan klinisnya. Telangiectasias mungkin menjadi erupsi, ditemukan
di wajah dan tubuh bagian atas.
 Lesi papular hingga nodular. Dalam dermis, kusta dapat meniru atau
ditiru oleh derrnatofibromas, erupsi histiocytomas, limfoma, sarkoidosis,
dan granuloma lainnya. Erupsi dan inflamasi nodul subkutan ditemukan
pada ENL, erythema nodosum, eritema induratum, vaskulitis, dll. Nodul
teraba tetapi tidak terlihat pad Latapi lepromatosis sama seperti lipoma.
 Plak-Plak eritematosa mungkin sama seperti mikosis
fungoides. Plak tanpa perubahan pigmen sama seperti
urtikaria. Hypopigmentasi plak juga sama seperti erupsi
papulosquamous. Plak dengan skuama juga sama seperti psoriasis.
 Erupsi vesikulobulosa polimorf. Lesi mirip dengan ENL. Terjadi pada
30% pada pasien LL yang memiliki antibodi desmoglein 1.
Irnmunoglobulin M tidak jarang ditemukan pada membran epidermal LL.
 Lesi annular. Kusta sama seperti erythemas annular, sarkoidosis, sifilis,
atau tinea.

b. Lesi sekunder
 Infark. Lesi fenomena lucio dan nekrotik ENL meniru infark septik.
 Ulkus. Ulkus terjadi pada fenomena Lucio, ENL, neurotrophic ulcer pada
permukaan plantar, dan ulkus pada kaki terjadi insufisiensi vena,
konsekuensi dari infeksi sel endotel .

c. Kumpulan Gejala Klinis


 Lupus eritematosus sistemik. Jari fusiform, leher angsa, uji serologi
biologis memberikan positif palsu untuk sifilis, antibodi anti-
fosfolipid, lupus antikoagulan, dll
24

 Vaskulitis. Vaskulitis benar dapat terjadi pada ENL, fenomena Lucio,


dan Latapi lepromatosis. Secara klinis, lesi kusta granulomatosa dapat
meniru vaskulitis.

d. Mikroskopis
 Pola umum dan tidak umum. Respon granulomatosa adalah reaksi
jaringan umum pada kusta, dengan diferensiasi epithelioid makrofag
menjadi karakteristik dari TT, BT, dan BB, dan dibeda-bedakan
dengan makrofag tidak berdiferensiasi menjadi ciri khas BL, LLS,
dan LLp. Perubahan mikroskopis pada BB terdiri dari diferensiasi
epithelioid makrofag, sangat sedikit limfosit, tidak ada giant cell,
tetapi banyak BTA. Pola yang jarang dapat terjadi, kadang-kadang
mendominasi gambaran histologis, (1) peradangan kronis, terutama
pada penyakit BL; (2) panniculitis lobular di ENL; (3) vaskulitis di
ENL, fenomena Lucio, dan Latapi lepromatosis; dan (4) kulit normal
pada BL atau LL.

DIAGNOSIS
a. Kriteria Diagnosis
Diagnosis kusta didasarkan dari dua kriteria: kelainan saraf perifer
atau ditemukan basil tahan asam dalam jaringan. Di daerah nonendemic,
diagnosis seringkali menjadi sulit. Tidak ada tes atau serangkaian tes yang
akan membuktikan bahwa pasien tidak memiliki resiko kusta.
Karena M. leprae tidak tumbuh di cell-free media, pemeriksaan
mycobacteria dengan acid-fast property sering digunakan dalam menentukan
diagnosis. Basil tahan asam pada jaringan dapat ditemukan dengan
pewarnaan carbolfuchsin, modifikasi dari metode Ziehl Neelsen atau disebut
Fite-Faraco stain. M. leprae, seperti spesies Nocardia dapat ditemukan
dengan pemeriksaan, baik dengan metode Ziehl-Neelsen atau pewarnaan
auramine-rhodamine dengan mikroskop fluorescent. Karena perubahan klinis
25

dan histologis karakteristik, spesifikasi positif dari M. leprae jarang


diperlukan.
Perubahan karakteristik histologis sangat membantu dalam
menunjukkan atau menguatkan diagnosis kusta, kecuali adanya granuloma sel
epiteloid dalam saraf.

b. Metode alternatif
Metode alternatif ini digunakan untuk diagnosis kusta. M. leprae-
spesifik antibodi yang paling sering ditemukan pada kasus multibasiler, di
mana diagnosis mudah dibuat dengan kriteria klinis, dan daerah endemik,
titer antibodi tinggi.14 Reverse transcriprase-polymerase chain
reaction didapatkan hasil negatif pada satu-setengah kasus paucibacillary.
PCR membantu dalam diagnosis pasien dengan lesi yang mengandung
basil tahan asam dan kultur jaringan memberikan hasil negatif. Lepromin
skin test, karena tingginya tingkat reaksi positif pada orang dewasa maka
tes ini tidak berguna dalam diagnosis, tetapi dapat membantu dalam
menentukan klasifikasi kusta. Semua TT dan sebagian besar BT (85%)
positif (3 mm atau lebih dari indurasi pada 21 hari) dan BB dan LLP
negatif (<3 mm).22

KOMPLIKASI
Komplikasi kusta terjadi akibat langsung dari respon host pada M. leprae
yaitu berupa kerusakan saraf perifer atau insufisiensi vena. Sekitar seperempat
sampai sepertiga dari pasien yang baru didiagnosis kusta terjadi kerusakan saraf
perifer ini, beberapa cacat kronis dan kerusakan saraf ireversibel, biasanya pada
tangan atau kaki, juga dapat terjadi pada mata. Runtuhnya hidung pada LL adalah
kontraktur dari jaringan parut, yang telah menggantikan tulang dan tulang rawan.
26

a. Kerusakan Occular
Keratitis muncul akibat dari berbagai faktor termasuk mata kering,
ketidakpekaan kornea, dan lagophthalmos. Keratitis dan lesi pada ruang
anterior dapat mengakibatkan kebutaan.

b. Kecacatan pada Tangan dan Kaki


Kelemaha dan hilangnya persarafan otot merupakan penyebab dari
kecacatan ini. Hal ini ditandai dengan benda tajam atau panas tidak dapat
dipersepsikan. Karena cedera ini lebih parah, infeksi lebih mudah terjadi.
Siklus berulang antara cedera dan infeksi, akan menyebabkan hilangnya
sensasi nyeri dan menjadi sumber dari kerusakan jaringan yang parah pada
kusta. Kontraktur sekunder kelemahan otot atau bekas luka dapat
menghasilkan deformitas lebih lanjut.
Insufisiensi vena pada endotel menyebabkan stasis dermatitis dan
ulkus pada kaki. Pengobatan dan pencegahan cedera saraf memerlukan
keterampilan ahli bedah ortopedi, podiatrists ophthalmologists, ahli bedah
plastik, terapis fisik, orthotists, dan terapis okupasi.

PROGNOSIS
Pada kusta yang tidak diobati, satu-satunya pasien yang akan sembuh
sendiri adalah TT, atau pasien BT yang mengingkat ke TT. Penyakit akan menjadi
progresif, dengan morbiditas yang disebabkan oleh cedera saraf dan keadaan
reaksional. BT, BB, BL, dan LLs bisa meningkat ke BT, BB dan BL mungkin
dapat menurun. BL, LLs dan LLs dapat menjadi ENL.
Pengobatan aktivitas penyakit, tapi S-GPSI dapat berkembang. Neuritis
perifer bisa membaik dengan pengobatan kortikosteroid. Seperti sindrom pasca
polio, gangguan sensorik kadang-kadang sulit untuk dilakukan pengobatan.
27

PENGOBATAN
Pengobatan ini diarahkan pada infeksi itu sendiri, dan, jika ada, pada
keadaan reaksional (Kotak 186-1 dan 186-2). Seperti disebutkan dalam Etiologi
dan Patogenesis, pasien dianggap “paucibacillary” jika tidak ada basil tahan asam
yang ditemukan dalam jaringan dan menjadi 'multibasiler jika satu atau lebih
ditemukan basil tahan asam ditemukan. Silakan lihat Kotak 186-1 untuk rejimen
yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)48 dan US
Public Health Service (USPHS).49,50
Kotak 186-1
Terapi Antibacterial Yang Direkomendasikan Pada Kusta
Organisasi yang Tipe Rifampin Dapson Clofazi- Durasi Follow
merekomendasikan Penyakit min up
WHO (World PB 600 100 __ 6 bulan Tidak
Health mg/mo mg/hari perlu di
Organization) MB 600 100 50 1 tahun follow
mg/mo mg/hari mg/hari up.
300 Lanjut-
mg/hari kan
terapi
U.S. Public Health PB 600 100 __ 1 tahun 6 bulan
Service mg/hari mg/hari sekali
selama 5
tahun
MB 600 100 50 2 tahun 6 bulan
mg/hari mg/hari mg/hari sekali
selama
10 tahun
Agen Dosis
Microbicidal
Lainnya
Clarithromycin 500 mg/hari
Minocycline 100 mg/hari
Levofloxacin 500 mg/hari
MB = multibasiler 1 atau lebih ditemukan bacillus tahan asam, PB = paucibacillar tidak
ditemukan bacillus tahan asam
28

KOTAK 186-2
PENGOBATAN PADA KEADAAN REAKSIONAL
Thalidomide Prednison atau Durasi Agen lain yang
prednisolon belum terbukti
Reaksi reversal Tidak ada nilainya 0,5-1,0 mg/kg. Biasanya Agen anti-
(reaksi tipe 1) Rifampin dibutuhkan inflamasi non
mungkin dalam steroid
meningkatkan waktu 6
katabolisme. minggu
Pengobatan hingga 2
alternatif lain tahun.
mungkin bisa Dapat
ditoleransi diperpanjan
dengan baik g maupun
dapat
dipercepat.
Erythema Obat paling manjur Jika thalidomide Durasi Pentoxifylline
nodusum jika tersedia dan tidak tersedia, median dari
leprosum (reaksi bukan 0,5-1,0 pengobatan
tipe II) kontraindikasi. mg/kg/hari ini yaitu 5
Dosis 100-200 mg tahun.
Dapat
Dosis maintainable mencapai
50 mg sampai 500 10 tahun
mg perhari
Fenomena lucio Tidak ada nilainya Mungkin dapat __ Plasmapharesis
(biasanya membantu yang dilaporkan
disebabkan oleh efektif pada
agen beberapa pasien
microbicidal)

Alasan untuk merekomendasikan tiga rejimen obat bahwa rifampin


(bakterisida) akan membunuh semua organisme yang rentan, serta tahan terhadap
dapson (bakteriostatik), dan dapson akhirnya akan menghilangkan semua
organisme yang rentan, termasuk yang tahan terhadap rifampisin. Klofazimin
(lemah bakterisida, terutama bakteriostatik) untuk menghindarkan risiko resistensi
dapson. Tidak adanya obat rekomendasi WHO yang menyebabkan tingkat
kambuhan rendah.
29

Tingkat kekambuhan setelah selesai pengobatan dengan obat tiga


kontroversial. Sebagian besar pengamat setuju dengan WHO51 dengan angka
kekambuhan yang jarang terjadi. Shetty et al.55 telah melaporkan adanya kasus
kekambuhan. Satu kelompok melaporkan kekambuhan muncul pada 6 tahun
setelah selesai terapi.54 1 tahun setelah pengobatan juga memiliki tingkat
kekambuhan lebih tinggi dari 2 tahun setelah terapi.53 Kekambuhan tidak
dianggap infeksi ulang. Rencana WHO tergantung pada rujukan pasien.
Rekomendasi USPHS akan memungkinkan dimulainya kembali pengobatan
berdasarkan evaluasi seorang dokter. Pendekatan lain adalah penggunaan dapson
saja tanpa batas waktu, setelah menyelesaikan terapi obat.
Selain rifampisin, sejumlah antibiotik memiliki aktrifitas bakterisidal kuat,
seperti minocycline, klaritromisin, dan fluoroquinolones, ofloxacm dan
levofloxacin. Dosis tunggal dari tiga obat seperti rifampisin, ofloksasin, dan
minocycline, sedang dipelajari sebagai pengobatan untuk penyakit paucibacillary,
tetapi tingkat kekambuhan belum ditentukan.
Karena kejadian resistensi dapson jarang terjadi pada populasi pasien
multibasiler,58 obat ini sering digunakan dengan kombinasi rifampisin, 600 mg
setiap hari, dan dapson 100 mg sehari, selama 2 sampai 3 tahun.
Dalam reaksi reversal (lihat Kotak 186-2), karena risiko kerusakan saraf
permanen, terapi yang digunakan adalah prednison (0,5-1,0 mg/kg/hari). Terapi
harus perlahan-lahan dan pasien harus diberikan terapi selama 6 bulan.
Dalam ENL (lihat Kotak 186-2), thalidomide (Lihat Bab 236) efektif
dalam mayoritas pasien dan tidak ditemukan efek teratogeniknya. Dosis yang
dibutuhkan harus lebih tinggi, biasanya dimulai dengan 100 sampai 200 mg setiap
malam dan, jika hanya sebagian efektif, kita dapat menambahkan prednisone
dalam 0,5-1,0 mg/kg selama 6 sampai 8 minggu. Atau, kita tingkatkan dosis
thalidomide sampai 600 mg sebelum tidur. Thalidomide secara perlahan akan
memperbaiki gejala sistemik atau morbiditas dari lesi kulit tetapi lesi kulit tidak
hilangnya secara keseluruhan. Jika thalidomide tidak dapat digunakan, maka
dapat diganti dengan kortikosteroid. Pengobatan dengan anti-inflamasi nonsteroid,
seperti klofazimin atau pentoxifylline berguna pada beberapa orang.
30

EFEK SAMPING OBAT DIGUNAKAN PADA KUSTA


Efek samping dapson (lihat Bab. 226) dalam jangka pendek seperti
sindrom dapson, dan tiga jenis anemia hemolitik. Dalam jangka panjang, dapson
dapat menyebabkan neuropati perifer, penekanan sumsum tulang, dan
agranulositosis.
Efek samping rifampisin adalah hepatotoksisitas. Urine menjadi berwarna
merah. Rifampin dapat mengurangi efek dari obat lain, misalnya, kontrasepsi oral
dan kortikosteroid. Penggunaan sekali-bulanan jarang menyebabkan hemolisis
berat atau gagal ginjal akut.
Klofazimin menjadikan kulit gelap (lihat Gambar. 186-10.22 dalam edisi
on-line) 0,59 Pada dosis biasa 50-100 mg sehari dapat mengakibatkan
gastrointestinal intoleransi, kulit kering, dan ichthyosis. Penggunaan jangka
panjang dengan dosis besar dapat menyebabkan enteropati pada mukosa dan
akumulasi obat pada kelenjar getah bening. Thalidomide (lihat Bab. 236), terkenal
bersifat teratogenik, dapat menyebabkan sembelit dan pusing. Neuritis, efek
samping yang umum pada pasien non-kusta, tampaknya jarang terjadi pada pasien
ENL.
Penggunaan jangka panjang dari minocycine dapat menyebabkan
hiperpigmentasi, hal ini mungkin akibat dari akumulasi makrofag pada
kusta. Hiperpigmentasi pada lokasi lesi, biasanya di kaki atau kaki (lihat efig.
186-10.23 dalam edisi on-line).
Kortikosteroid, selain efek SIDC dapat menyebabkan penyakit lainnya,
misalnya, tuberkulosis, dan hepatitis B.

PENCEGAHAN
Protokol berusaha untuk mengontrol kusta dengan vaksinasi yang terdiri
dari bacille Calmetre-Guerin, viable Bacille Calmette-Guerin yang dikombinasi
dengan M. leprae yang telah dilemahkan, atau M. leprae yang telah dilemahkan
saja.60 Kebanyakan penelitian mendukung pengurangan kejadian kusta, kira-kira
sepertiga pada kasus tuberkuloid, lebih sedikit pada lepromatous. Berdasarkan
31

penelitian terbaru dapat digunakan vaksinasi terbaru yaitu antigen lipid dan
lipoglycan ke dalam sel T (CD4-, CD8-, CD3+) oleh sel CD1+.61 Tindakan
pencegahan lain, seperti isolasi pasien atau pengobatan kontak pasien dengan
antimikroba, cara ini tidak efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar referensi lengkap untuk semua bab tersedia di www.digm7.com.

6. Cole ST et al: Massive gene decay in the leprosy bacillus. Nature


409:1007, 2001
10. Truman R: Leprosy in wild armadillos Lepr Rev 76:198, 2005
15. Krutzik SR et al. TLR activation triggers the rapid differentiation of
monocytes into macrophages and dendriric cells. Nature Med 11:653,
2005
18. Mira T et al. Susceptibility to leprosy is associated with PARK2 and
PACRG. Nature 427:636, 2004
27. Trindade MA et al. Leprosy and HIV coinfection. Lepr Rev 76:162, 2005
28. Scollard DM et ai The continuing challenges of leprosy. Clin ilhcrohiol
Rev 19:338, 2006
32. Rea TH, Levan NE: Lucio’s phenomenon and diffuse non nodular
lepromatous leprosy Arch Dermarol 114:1023, 1978
50. Moschella SL. An update on the diagnosis and treatment of leprosy. J Am
Acad Dermatol5l:417, 2004
51. World Health Organization: Health Topics, http://www.whointltopics/enl
55. Shetty VD et al: Clinical. Histological and bacteriological study of 52
referral MB cases relapsing after MDT. Lep Rev 76:241,2005

Anda mungkin juga menyukai