Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang timbul setelah 20

minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Kejadian ini diketahui berperan

sebagai salah satu penyulit kehamilan. Adanya preeklampsia meningkatkan

morbiditas dan mortalitas baik bagi ibu hamil maupun janin yang dikandungnya.

Data statistik menunjukkan bahwa angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih

merupakan salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara yakni mencapai 228 per

100.000 kelahiran hidup.1

Efek preeklampsia pada kematian perinatal berkisar antara 10-28%.

Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas, pertumbuhan

janin terhambat, dan solutio plasenta. Sekitar 75% Preeklampsia terjadi

antepartum dan sisanya terjadi pada postpartum. Preeklampsia berat pada

perkembangannya dapat berkembang menjadi eklampsia yang ditandai dengan

timbulnya kejang atau konvulsi. Kematian ibu yang terjadi akibat preeklampsia

sebesar 46% sedangkan kematian pada bayi sebesar 65%.2,3

Faktor risiko terjadinya preeklampsia bervariasi pada setiap orang. Faktor

genetik memiliki pengaruh pada timbulnya preeklampsia, karena ibu dengan

riwayat preeklampsia dalam pihak keluarga maternal atau paternal memiliki risiko

lebih tinggi untuk menderita preeklampsia di masa depan. Terdapat tujuh kali

risiko terjadinya preeklampsia pada ibu yang mengidap preeklampsia pada

kehamilan sebelumnya. Kehamilan ganda juga merupakan risiko terjadinya


preeklampsia, dan kehamilan kembar tiga memiliki risiko yang lebih besar

daripada kehamilan kembar dua, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan massa

plasenta memiliki peran dalam meningkatkan risiko preeklampsia. Adanya faktor

risiko kardiovaskular klasik memiliki hubungan dengan timbulnya preeklampsia

pada ibu hamil, seperti usia maternal 40 tahun, resistensi insulin, obesitas,

peradangan sistemik, riwayat hipertensi sebelumnya, diabetes mellitus, dan

penyakit ginjal meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia. Hal tersebut

memiliki hubungan timbal balik, dimana wanita dengan riwayat preeklampsia

memiliki risiko lebih besar untuk mengidap penyakit kardiovaskular.4

MgSO4 terbukti dapat mengurangi risiko terjadinya eklampsia pada wanita

dengan preeklampsia hingga setengahnya. MgSO4 biasanya diberikan secara

parenteral dalam bentuk loading dose secara intravena dan dilanjutkan dengan

maintenance dose.5

Plasenta merupakan organ sentral dalam patogenesis preeklampsia. Dengan

mengeluarkan plasenta dari uterus, kondisi tersebut dapat dihilangkan, terlebih

lagi, hanya plasenta dan bukan fetusnya yang dibutuhkan untuk preeklampsia

untuk dapat berkembang.Hipoksia yang terjadi karena plasentasi abnormal dapat

berkontribusi pada timbulnya komplikasi maternal dan fetal dari penyakit

tersebut. Pada preeklampsia terjadi penurunan perfusi plasenta. Penurunan perfusi

plasenta ini dapat mengakibatkan intrauterine growth restriction,

oligohidramnion, atau intrauterine fetal death.6


BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. J. M

Umur : 29 tahun

Alamat : Koloan

Status : Menikah

Agama : Kristen Protestan

Bangsa : Indonesia

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Nama suami : Tn. R. E

Umur suami : 29 tahun

Pendidikan suami : SMA

Pekerjaan suami : Swasta

MRS : 11 Juli 2014

Anamnesis Utama

Keluhan utama : Nyeri perut bagian bawah ingin melahirkan dirasakan

teratur oleh penderita sejak 4 jam sebelum masuk rumah

sakit

Anamnesis :

 Nyeri perut bagian bawah ingin melahirkan dirasakan oleh penderita


 Pelepasan air dari jalan lahir sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

 Pelepasan lendir campur darah (+)

 Pergerakan janin (+) sebelum masuk rumah sakit

 BAB/BAK biasa

Anamnesis Obstetrik Ginekologi

A. Riwayat Perkawinan dan Kehamilan.

 Kawin 1 kali

 Usia perkawinan 5 tahun

 Kehamilan: G2P1A0

- ♂, spontan letak belakang kepala, di RSUP prof Kandow,

BBL = 3000 gram, PBL = ? lahir tahun 2009

- .Hamil ini: riwayat merokok (-), riwayat alkohol (-), dan

riwayat KB (+) = implant

B. Riwayat Haid.

 Menarche pada umur 13 tahun, siklus teratur, lamanya 3-4 hari.

 Sakit waktu haid hingga tidak dapat bekerja: ya

 HPHT: ? September 2013

 Tafsiran tanggal partus: ? Juli 2014

C. Penyakit, Operasi dan Pemeriksaan Dahulu.

 Keputihan: tidak ada.

 Penyakit kelamin: tidak ada.

 Pemeriksaan PA dahulu: tidak pernah.


2.2 PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG

Status Praesens:

Keadaan umum : cukup

Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah : 160/100 mmHg.

Nadi : 78 x/menit.

Respirasi : 24 x/menit.

Suhu badan : 36,5oC.

Warna Kulit : Sawo matang

Edema : (-)

Kepala : normocephal

Lidah : beslag (-).

Gigi : caries (-)

Kerongkongan : T1/T1, hiperemis (-).

Leher : pembesaran KGB (-).

Dada : simetris, retraksi (-)

Jantung : SI-SII normal, murmur (-)

Paru-paru : suara pernapasan vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-.

Hati : tak teraba

Limpa : tak teraba

Kelamin : normal

Ekstremitas : edema -/-, akral hangat.


Neurologis : Refleks fisiologis (+) normal, refleks patologis (-).

Status Obstetrik

Pemeriksaan luar:

Tinggi fundus uteri : 29 cm

Detak jantung janin : 145-150 x/menit

Letak janin : Letak kepala, punggung kiri

His : 8-9// 10”-15”

Pemeriksaan dalam:

- Effacement 75%, pembukaan 1-2 cm, ketuban (-) sisa putih keruh, pp kepala

HI

Pemeriksaan lain:

 USG (11 Juli 2014):

o FHM (+)

o FM (+)

o BPD = 9,38 cm

o AC = 31,50 cm

o FL = 7,14 cm

o EFW = 2900-3000 gram

 Hb: 12,8 gr/dl, Ht: 36,8%, Leukosit: 10.100/mm3, Trombosit:

347.000/mm3

 Urin bakar= Proteinuria +++


2.3 RESUME MASUK

Pasien G2P1A0 29 tahun hamil aterm datang ke RS dengan keluhan nyeri perut

bagian bawah ingin melahirkan dirasakan teratur sejak 4 jam sebelum masuk

rumah sakit, pelepasan lendir campur darah (+), pelepasan air dari jalan lahir sejak

1 hari sebelum masuk rumah sakit, gerakan janin (+) sebelum masuk rumah sakit.

BAB/BAK biasa

Status praesens: T: 160/100 mmHg, nadi: 78 x/menit, respirasi: 24 x/menit, suhu:

36,50C.

Status Obstetrik

Pemeriksaan luar:

Tinggi fundus uteri : 29 cm

Detak jantung janin : 145-150 x/menit

Letak janin : Letak kepala, punggung kiri

His : 8-9// 10”-15”

Pemeriksaan dalam:

- Effacement 75%, pembukaan 1-2 cm, ketuban (+) putih keruh, pp kepala HI

Diagnosis Sementara : G2P1A0 29 tahun hamil aterm inpartu kala I +

preeklampsia berat

Janin intrauterine tunggal hidup letak kepala

Sikap:

 Partus pervaginam dengan percepat kala II

 Konseling informed consent


 MgSO4 sesuai protokol

 Dopamet 3 x 500 mg

 Konsul mata, konsul interna

 Lab, EKG, USG, UL

 Obs T, N, R, S, HIS, dan BJJ

2.4 OBSERVASI PERSALINAN

18.00 WITA

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 160/100

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 24 x/menit

His : 8-9//10”-15”

BJJ : 145-150 x/menit

Pemeriksaan dalam : Effacement 75%, pembukaan 1-2 cm, ketuban (-) sisa

putih keruh, PP kepala HI

Diagnosis : G2P1A0 29 tahun hamil aterm inpartu kala I + PEB

Janin intrauterine tunggal hidup letak kepala

Sikap :

 Partus pervaginam dengan percepat kala II

 Konseling informed consent

 MgSO4 sesuai protokol

 Dopamet 3 x 500 mg

 Konsul mata, konsul interna


 Lab, EKG, USG, UL

 Obs T, N, R, S, HIS, dan BJJ

Oksitosin drips dimulai 5 IU dalam 500 cc D5% dimulai 8 gtt dinaikkan 4

gtt hingga his adekuat atau maksimal 60 gtt

Jam HIS BJJ

18.00-18.15 8-9//10-15 135-145

18.15-19.00 8-9//10-15 120-125

19.00-19,15 8-9//10-15 100-115

19.15-19.30 8-9//10-15 100-110

19.30-19.45 8-9//10-15 90-100

19.45

Pemeriksaan dalam : Effacement 95%, pembukaan 1-2 cm, ketuban (-) sisa

slight mekonium, PP kepala HI

Diagnosis : G2P1A0 29 tahun hamil aterm inpartu kala I +

Preeklampsia berat

Janin intrauterine tunggal hidup letak kepala + gawat

janin

Sikap :

 Oksitosin drips dihentikan

 Resusitasi intrauterin

 Sectio cesarea dihentikan

 Konseling, informed consent, sedia darah, setuju operasi

 Obs T, N, R, S, His, BJJ


20.00

Pasien sedang didorong ke OK CITO

20.25

Operasi dimulai

Dilakukan SCTP

20.30

Lahir bayi ♀/ BBL 3100 gram/ PBL 47 cm/ AS 5-7

Terdapat lilitan tali pusar 2 kali erat di leher

21.30

Operasi selesai

Laporan Operasi:

Pasien dibaringkan terlentang di atas meja operasi, dilakukan general anestesi.

Kemudian dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada daerah abdomen

sekitarnya. Abdomen ditutup dengan doek steril kecuali lapangan pandang

operasi. Dilakukan insisi pfannensleil diperdalam lapis demi lapis sampai dengan

fascia. Fascia dijepit dengan 2 kocher kemudian diperlebar ke kiri dan ke kanan.

Tampak otot-otot disisihkan ke lateral, kemudian peritoneum dijepit dengan 2

kocher digunting kecil dan disisihkan ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan.

Tampak uterus gravidarum tampak perlengketan uterus bagian anterior dengan

peritoneum. Identifikasi SBR, dilakukan insisi pada SBR secara semilunar, insisi

lapis demi lapis, kemudian dengan bantuan klem bengkok, cavum uterus

ditembus, keluar cairan ketuban warna putih keruh ± 50 cc. Identifikasi bayi letak

kepala, bayi dilahirkan dengan cara diluksir kepala. Jam 20.30 lahir bayi ♀/ BBL
3100 gram/ PBL 47 cm/ AS 5-7, terdapat lilitan tali pusar 2 kali erat di leher.

Diakukan penjepitan tali usat pada kedua tempat. Tali pusat digunting di

antaranya bayi diserahkan kepada sejawat neonati. Kemudian plasenta dilahirkan.

Bayi diserahkan kepada sejawat neonati untuk perawatan selanjutnya.

Cavum uteri dibersihkan dari sisa plasenta, ketuban dan darah. Luka pada SBR

berbentuk huruf T, dilakukan penjahitan secara hecting delapan. Lapisan I

kemudian secara jelujur pada lapisan kedua dengan menggunakan chromic catgut

II tapper. Plika vesikouterina dijahir jelujur degan chromic catgut 2.0 tapper,

peritoneum dijahir jelujur. Kontrol perdarahan (-), otot dijahit dengan chromic

catgut. Fascia dijahit jelujutr dengan sajil 1, kontrol perdarahan (-). Lemak dijahit

simpul dengan plain catgut, kontrol perdarahan (-). Kulit dijahit subkutikuler

dengan chromic catgut 2.0, kontrol perdarahan (-). Luka operasi ditutup dengan

alkohol haas steril. Eksplorasi vagina (jalan lahir). Operasi selesai.

Perdarahan : + 400 cc

Diuresis : + 200 cc

Kontraksi uterus baik

Kesadaran compos mentis

Diagnosis Post Op: P2A0 29 tahun post SCTP a/i gawat janin + PEB

Lahir bayi ♀/ 3100 gram/ 47 cm/ 5-7

KU Post Op : T: 160/90 mmHg, N: 88 x/menit, R: 22 x/menit, S: 36,7oC

Terapi : - IVFD RL:D5% 2:2  28 gtt/menit


- ceftriaxone 3x1 gr IV

- Metronidazole 2x500 mg drips

- As. Tranexamat 3x1 amp

- Inj oxytosxin 3 x 1 IV

- Vit C 2x1 amp

- Kaltrofen 1xII sup

- Cek Hb 2 jam & 6 jam post operasi

- Bila Hb < 8 g/dL pro transfuse

Drips MgSO4 40% 6 gram dalam 500 cc RL  28 gtt/menit

Hasil Laboratorium Post Operasi:

 Leukosit : 18.200/uL

 Eritrosit : 3,14 x 106/uL

 Hemoglobin : 9,9 g/dL

 Hematokrit : 26,4%

 Trombosit : 389.000/uL

2.5 FOLLOW UP

12 Juli 2014

Keluhan : (-)
Status praesens : KU: cukup, Kes: CM, T: 130/80 mmHg, N: 84x/mnt, R:

22x/mnt, Sb: 36,7 0C.

Mammae : Laktasi +/+ Infeksi -/-

Abdomen : - TFU 2 jari di bawah pusat

- Kontraksi uterus baik

- Luka bekas operasi baik, perdarahan (-)

- BU (+)

Diagnosa : P2A0 29 tahun post SCTP a/i gawat janin Hari I + PEB

Lahir bayi ♀/ 3100 gram/ 47 cm/ 5-7

Terapi : - Ceftriaxone 3x1 IV

- Metronidazole 2 x 500 mg

- Vit C 1x1 IV

- Piton 3 x 1 IV

- Kaltrofen 2x1 supp

Aff infus dan kateter

13 Juli 2014

Keluhan : (-)
Status praesens : KU: cukup, Kes: CM, T: 120/80 mmHg, N: 82x/mnt, R:

24x/mnt, Sb: 36,4 0C.

Mammae : Laktasi +/+ Infeksi -/-

Abdomen : - TFU 2 jari di bawah pusat

- Kontraksi uterus baik

- Luka bekas operasi baik, perdarahan (-)

- BU (+)

Diagnosa : P2A0 29 tahun post SCTP a/i gawat janin Hari II + PEB

Lahir bayi ♀/ 3100 gram/ 47 cm/ 5-7

Terapi : - Cefadroxil 3x500 mg

- Metronidazole 2 x 500 mg

- SF 1 x 1 tab

- Vit C 1x1 tab

14 Juli 2014

Keluhan : (-)

Status praesens : KU: cukup, Kes: CM, T: 140/90 mmHg, N: 84x/mnt, R:

20x/mnt, Sb: 36,7 0C.

Mammae : Laktasi +/+ Infeksi -/-

Abdomen : - TFU 2 jari di bawah pusat


- Kontraksi uterus baik

- Luka bekas operasi baik, perdarahan (-)

- BU (+)

Diagnosa : P2A0 29 tahun post SCTP a/i gawat janin Hari III + PEB

Lahir bayi ♀/ 3100 gram/ 47 cm/ 5-7

Terapi : - Cefadroxil 3x500 mg

- Metronidazole 2 x 500 mg

- SF 1 x 1 tab

- Vit C 1x1 tab

- Dopamet 3 x 500 mg

2.6. PROGNOSIS

Prognosis: Dubia ad Bonam


BAB III

PEMBAHASAN

Plasenta merupakan organ sentral dalam patogenesis preeklampsia. Dengan

mengeluarkan plasenta dari uterus, kondisi tersebut dapat dihilangkan, terlebih

lagi, hanya plasenta dan bukan fetusnya yang dibutuhkan untuk preeklampsia

untuk dapat berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kasus kehamilan

molar yang menyebabkan peningkatan risiko untuk preeklampsia. Pemeriksaan

patologi dari plasenta pada beberapa wanita dnegan preeklampsia berat

menunjukkan beberapa abnormalitas termasuk infark, aterosis, trombosis dan

inflamasi kronik. Abnormalitas ini dapat disebabkan karena adanya hipertensi dan

cedera endotel yang diinduksi oleh penyakit ini. Namun beberapa abnormalitas

dari perkembangan plasenta terjadi sebelum timbulnya preeklampsia. Selama

plasentasi normal, sel sitotrofoblas menginvasi dinding uterus maternal. Setelah

terjadi invasi, sitotrofoblas ditemukan pada otot polos dan lapisan endotelial di

arteri desisual maternal. Interaksi ini menyebabkan timbulnya induksi proses

remodelling pada pembuluh darah ibu menjadi pembuluh darah yang beresistensi

rendah. Keadaan ini menyebabkan adanya akses oksigen dan nutrisi untuk

perkembangan plasenta dan fetus. Sebagai bagian dari proses ini, sitotrofoblas

mengadopsi fenotipe endotel, dan mengekspresikan molekul adhesi yang biasanya

ditemukan di permukaan sel endotel. Pada preeklampia, proses ini mengalami

penyimpangan. Invasi sitotrofoblas tidak terjadi secara lengkap, dengan sel

sitotrofoblas hanya terdapat di lapisan superfisial desidua. Arteri spirasil

mengalami kegagalan invasi dan remodelling, hal ini menyebabkan timbulnya

pembuluh darah yang mengalami vasokontriksi dan resistensi tinggi. Gambaran


ini tampak pada pemeriksaan patologi plasenta penderita preeklampsia. Invasi

dangkal ini berhubungan dengan kegagalam sitotrofoblas dalam mengadopsi

fenotipe adhesi endotel.6

Hipoksia dapat berkontribusi dalam perkembangan plasenta abnormal di

atas karena kegagalan sitotrofoblas dalam menginvasi dan menganti molekul

adhesi dapat disebabkan oleh karena kondisi hipoksia melalui percobaan in vitro.

Hal ini dapat menjadi penyebab mengapa wanita yang tinggal di daerah dataran

tinggi memiliki risiko lebih tinggi untuk mendapat preeklampsia. Namun,

hipoksia yang terjadi karena plasentasi abnormal juga dapat berkontribusi pada

timbulnya komplikasi maternal dan fetal dari penyakit tersebut. Pada

preeklampsia terjadi penurunan perfusi plasenta. Penurunan perfusi plasenta ini

dapat mengakibatkan intrauterine growth restriction, oligohidramnion, atau

intrauterine fetal death.6

Pada kasus ini diketahui terjadi oligohidramnion, hal itu dapat menjadi

akibat dari adanya preeklampsia pada ibu hamil. Karena hipoksia yang terjadi

dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini sehingga mengakibatkan

terjadinya oligohidramnion.

Preeklampsia merupakan penyakit yang memiliki faktor risiko yang mirip

dengan penyakit kardiovaskular yaitu obesitas, hiperlipidemia, hipertensi, dan

peningkatan glukosa darah.Selain itu, terdapat faktor risiko lainnya yang dapat

mendukung terjadinya preeklampsia pada wanita hamil antara lain:7,8

1. Usia 40 tahun atau lebih.

2. Nullipara.
3. Riwayat hipertensi dalam keluarga dan riwayat preeklampsia

sebelumnya.

4. Penyakit kardiovaskular sebelumnya.

Obesitas diasosiasikan dengan gangguan fetal dan hasil persalinan yang

buruk, di antaranya adalah risiko lebih besar terjadinya preeklampsia, diabetes

gestasional, makrosomia, dan distosia dalam persalinan. Merokok saat hamil

dapat meningkatkan risiko terjadinya abruptio plasenta, berat badan lahir rendah,

dan intrauterine growth restriction, tetapi menurunkan risiko preeklampsia.9

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Patrick dkk10 menunjukkan bahwa

preeklampsia bisa diprediksi dengan mengetahui faktor risikonya seperti adanya

riwayat hipertensi kronik, IMT pasien, dan tekanan darah pasien.

3.1 GEJALA DAN TANDA PREEKLAMPSIA

Secara teoritik urutan-urutan gejala yang timbul pada preeklampsia adalah

edema, hipertensi, dan terakhir proteinuria. Preeklampsia secara klinis mulai

tampak hanya menjelang akhir suatu proses patofisiologi yang mungkin sudah

dimulai 3 sampai 4 bulan sebelum timbulnya hipertensi.11,12

Pada preeklampsia berat bisa temukan satu atau lebih gejala di bawah ini

yaitu antara lain:11

1. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110

mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun wanita hamil sudah

dirawat di rumah sakit dan menjalani tirah baring.

2. Protenuria lebih dari 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.


3. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam

4. Kenaikan kadar kreatinin plasma

5. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala,

skotoma, dan pandangan kabur.

6. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat

teregangnya kapsula Glisson).

7. Edema paru-paru dan sianotik.

8. Hemolisis mikroangiopatik.

9. Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penuruna trombosit yang

cepat.

10. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar

alanin dan aspartate transaminase.

11. Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.

12. Sindrom HELLP.6

Preeklampsia berat dapat pula dibagi menjadi dua yaitu a) preeklampsia berat

tanpa impending eclampsia dan b) preeklampsia berat dengan impending

eclampsia. Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai dengan

gejala-gejala subjektif seperti nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah

nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.11

Preeklampsia juga dapat dicirikan dengan beberapa gangguan metabolik

subklinik seperti hipertrigliseridemia, stres oksidatif berlebihan, resistensi insulin,

dan inflamasi sistemik kronik. Ada juga dokumentasi klasik yang menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara karakteristik siklus menstruasi, gangguan


endokrin, dan risiko terjadinya gangguan kronik masa depan. Secara biologi,

hubungan antara karakteristik siklus menstruasi dan preeklampsia di kemudian

hari itu memungkinkan.13

Kombinasi proteinuria dan hipertensi kehamilan secara nyata meningkatkan

risiko mortalitas dan morbiditas perinatal. Hasil dari sebuah studi prospektif yang

dilakukan oleh Friedman dan Neff (1976) menunjukkan bahwa hipertensi saja,

yang didefinisikan sebagai tekanan diastolik sebesar 95 mmHg atau lebih,

berkaitan dengan peningkatan angka kematian janin sebesar tiga kali lipat. Tabel 1

di bawah ini menunjukkan indikasi keparahan gangguan hipertensi dalam

kehamilan.13

3.2 PENANGANAN PREEKLAMPSIA

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat

inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting

pada preeklampsia berat ialah pengelolaan airan karena penderita preeklampsia

dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.

Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat

menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme,

kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid/pulmonary

capillary wedge pressure.11

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada

rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi

neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium


sulfat, magnesium akan mengeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak

terjadi (terjadi kompetitif inhibisi antara ion kalsium dan ion magnesium).11

Cara pemberian

Magnesium sulfat regimen

 Loading dose: initial dose

4 gram MgSO4: intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit

 Maintenance dose

Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam.

 Syarat-syarat pemberikan MgSO4

o Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium

glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit

o Refleks patella (+) kuat

o Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit tidak ada tanda-tanda distres

pernapasan

o Diuresis 100cc/4jam

 Magnesium sulfat dihentikan bila:

o Ada tanda-tanda intoksikasi

o Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam sete;ah kejang terakhir

 Dosis terapeutik dan toksis MgSO4

o Dosis terapeutik 4-7 mEq/liter 4,8-8,4 mg/dl

o Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl

o Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter 18 mg/dl

o Terhentinya jantung > 30 mEq/liter > 36mg/dl


 Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu

obat berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, fenitoin.

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,

payah janting kongestif dan anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemid.

Pemberian diuretikum dapat merugikan yaitu memperberat hipovolemia,

memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,

menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.11

Masih terdapat banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentua

batas tekanan darah untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort

mengusulkan batasan yang dipakai ialah ≥ 160/110 mmHg dan MAP ≥ 126

mmHg.11

Berdasarkan Cochrane Review ada 40 studi evaluasi yang melibatkan 3797

perempuan hamil dengan preeklampsia. Duley menyimpulkan bahwa pemberian

antihipertensi pada preeklampsia ringan maupun preeklampsia berat tdak jelas

kegunaannya. Di sisi lain Hendorson, dalam Cochrane Review juga meneliti 24

uji klinik yang melibatkan 2949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan,

menyimpulkan bahwa sampai didapatkan bukti yang lebih teruji. Ini berarti

hingga sekarang belum ada antihipertensi yang terbaik untuk pengobatan

hipertensi pada kehamilan. Namun yang harus dihindari secara mutlak sebagai

antihipertensi ialah pemberian diazokside, ketanserin, nimodipin, dan magnesium

sulfat.11

Jenis antihipertensi yang digunakan yaitu:

 α-Metildopa
Dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal 3 gram per hari

 Calcium channel blocker

Nifedipin dosis bervariasi antara 30-90 mg/hari

Sikap terhadap kehamilan

Penelitian Duley, berdasarkan Cochrane Review, terhadap dua uji klinik,

terdiri atas 133 ibu dengan preeklampsia berat hamil preterm, menyimpulkan

bahwa belum ada cukup data untuk memberi rekomendasi tentang sikap terhadap

kehamilannya pada kehamilan preterm.11

Berdasarkan William Obstetrics11, ditinjau dari umur kehamilan dan

perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan; maka sikap

terhadap kehamilannya dibagi menjadi:

 Aktif (aggresive management): berarti kehamilan segera

diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan

medikamentosa.

Indikasi perawatan aktif ialah bila terdapat satu atau lebih keadaan di bawah

ini:

o Ibu

 Umur kehamilan ≥ 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil

batasan umur kehamilan > 37 minggu untuk preeklampsia ringan

dan batasan umur kehamilan ≥ 37 minggu untuk preeklampsia berat.

 Adanya tanda-tanda/gejala-gejala Impending Eclampsia.

 Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik

dan laboratorik memburuk.


 Diduga terjadi solusio plasenta

 Timbul onset persalinan, ketuban pecah, dan perdarahan

o Janin

 Adanya tanda-tanda fetal distress

 Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)

 NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal

 Terjadinya oligohidramnion

o Laboratorik

 Adanya tanda-tanda sindrom HELLP khususnya menurunnya

trombosit dengan cepat

Pada kasus ini diketahui terjadinya gawat janin sehingga kehamilan

harus segera diterminasi untuk menyelamatkan janin.

 Konservatif: berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan

pemberian pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif ialah

bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending

eclampsia dengan keadaan janin baik. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu

sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-lambatnya

dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, keadaan ini

dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus

diterminasi.11

 Penyulit Ibu

o Sistem saraf pusat


 Perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi

ensefalopati, edema serebri, edema retina, makular atau retina

detachment dan kebutaan korteks.

 Gastrointestinal hepatik: subskapular hematoma hepar, ruptur kapsul

hepar.

 Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.

 Hematologik: DIC, trombositopenia, dan hematoma luka operasi.

 Kardiopulmonar: Edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik,

depresi atau arrest pernapasan, Cardiac arrest, iskemia miokardium.

 Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi tidak terkendalikan.6

 Penyulit Janin

Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal growth

restriction, solusio plasenta, prematuritas, sindrom distres pernapasan,

kematian janin intrauterin, kematian neonatal perdarahan intraventrikular,

necrotizing enterocolitis, sepsis, cerebral palsy.6

Pada penderita dalam kasus ini terjadi penyulit pada janin yaitu terjadinya

oligohidramnion.

3.3 Prognosis

Prognosis pada kasus ini yaitu dubia ad bonam.


BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Preeklampsia berat merupakan penyulit kehamilan yang ditandai dengan

adanya hipertensi (≥ 160/90 mmHg) dan protenuria. Preeklampsia berat dapat

ditangani secara konservatif dan aktif. Preeklampsia berat dapat menyebabkan

terjadinya penyulit pada janin maupun ibu, pada janin dapat terjadi

oligohidramnion, penyulit tersebut merupakan indikasi untuk dilakukan

penanganan aktif yaitu terminasi kehamilan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Pratiwi RB dan Dewantiningrum J. Efektivitas kombinasi nifedipin 10 mg

dan metildopa 500 mg terhadap luaran maternal dalam pengelolaan

preeklampsia berat di RSUP Dr. Kariadi. Jurnal Media Medika Muda.

2013:1-9.

2. Wiyah RA. Studi penggunaan obat pada penderitapreeklampsia berat di rsd

dr. soebandi jember tahun 2012 [Skripsi]. Jember. Universitas Jember.

2014.

3. Konimusliha P, Dewantiningrum J, dan Hapsari R. Hubungan antara

frekuensi perawatan antenatal dengan kejadian preeklampsia berat di RSUP

Dr. Kariadi tahun 2010. 2011:1-15.

4. Powe CE, Levine RJ, dan Karumanchi SA. Preeklampsia, a disease of the

maternal endothelium: The role of antiangiogenic factors and implications

for later cardiovascular disease. Circulation. 2011;123:2856-2869.

5. Gordon R, Magee LA, Payne B, Firoz T, Sawchuck D, Tu D, dll.

Magnesium sulphate for the management of preeclampsia and eclampsia in

low and middle income countries: A systematic review of tested dosing

regimens. J Obstet Gynaecol Can 2014;36(2):154–163.

6. Powe CE, Levine RJ, Karumanchi SA. Preeclampsia, a disease of the

maternal endothelium the role of antiangiogenic factors and implication for

the later cardiovascular disease. Circulation. 2011;123:2856-2869.


7. Sohlberg S, Stephansson O, Cnattingius S, Wikström A. Maternal body

mass index, height, and risks of preeclampsia. American Journal of

Hypertension, 2012;25(1):120-125.

8. Poon L, Kametas N, Chelemen T, Leal A, dan Nicolaides K. Maternal risk

factors for hypertensive disorders in pregnancy: a multivariate approach.

Journal of Human Hypertension, 2010;24:104–110.

9. Stone C, Diallo O, Shyken J, dan Leet T. The combined effect of maternal

smoking and obesity on the risk of preeclampsia. Journal of Perinatal

Medicine, 2007; 35:28–31.

10. Emonts P, Seaksan S, Laurence S, Thoumsin H, Gaspard U, Albert A, dan

Foidart J. Prediction of maternal predisposition to preeclampsia.

Hypertension in Pregnancy, 2008; 37:237-245.

11. Saifuddin A, Rachimhadi T, Wiknjosastro G, editor. Ilmu kebidanan

Sarwono Praworohardjo. Edisi ke-4. Jakarta: P.T. Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo; 2008. Hal. 532-45.

12. Cunningham FG, Kenneth JL, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, dan Spong

CY. Obstetri Williams. 23rd edition. United States: The McGraw-Hills

Companies. Inc. Hal 706-756.

13. Rudra C dan Williams M. BMI as a modifying factor in the relations

between age at menarche, menstrual cycle characteristics, and risk of

preeclampsia. Gynecological Endocrinology, Oktober 2005; 21(4): 200–

205.

Anda mungkin juga menyukai