Anda di halaman 1dari 176

VOLUME 04

ISSUE 1
SEPTEMBER 2017
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

J urnal H ukum
L ingkungan I ndonesia
Volume 4 Issue 1, September 2017
ISSN: 2355-1350

Indonesian Center for Environmental Law


Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

i
J urnal H ukum L ingkungan I ndonesia
Vol. 4 Issue 1 / September / 2017
ISSN: 2355-1350
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: jurnal@icel.or.id

Diterbitkan oleh:
I ndonesian C enter for E nvironmental L aw (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331

Desain Sampul : Suparlan, S.Sos.


Tata Letak : Gajah Hidup

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka


yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan
dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau
e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. ix)

DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

ii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Redak s i d a n Mitra Bebestari

Dewan Penasehat
Dr. Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.
Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.

Redaktur Pelaksana
Grita Anindarini, S.H.

Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Raynaldo G. Sembiring, S.H.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Astrid Debora, S.H.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Ohiongyi Marino, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Isna Fatimah, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Rayhan Dudayev, S.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Wenni Adzkia, S.H.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Fajri Fadhillah, S.H.
Feby Ivalerina, S.H., LL.M. Kemala Nababan, S.H.
Dyah Paramitha, S.H., LL.M. Shafira Anindia Alif Hexagraha, S.H.
Rika Fajrini, S.H., M.H.

Mitra Bebestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

iii
iv
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

P e n g a n t a r R e d a k s i

“Membedah Tantangan dalam Kerangka Gagasan Hukum dan


Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup”

T
antangan yang dihadapi pengarus-utamaan kebijakan lingkungan
tidak dapat semata diidentifikasi melalui seberapa banyak isu
lingkungan dalam komposisi kebijakan publik atau menyeimbangkan
dominasi pembangunan industrial dengan narasi pembangunan berkelanjutan.
Sebelum mengawal translasi kehendak politik, tugas besar dalam menjaga
harmonisasi berbagai elemen dalam lingkungan hidup saat ini adalah memastikan
bahwa medium hukum dan kebijakan lingkungan hidup bebas dari patologi
berpikir yang dapat meruntuhkan upaya-upaya konservatif maupun restoratif di
tengah laju kerusakan lingkungan yang harus dapat senantiasa diantisipasi.1

Karakter prinsipil dari hukum lingkungan pun menyediakan ruang


eksplorasi lebih lanjut. Sebagai salah satu subsistem hukum, hukum lingkungan
mengandung karakter paradoks yaitu ketidakpastian (uncertainty) dan probabilitas
dari lingkungan dan hukum yang bertugas menciptakan suatu tatanan yang
teratur. Karakter paradoks dalam hukum lingkungan tersebut terus bertumbuh
dalam suatu kecenderungan diferensiasi konstan dari tatanan ortodoks hukum
seperti tradisi, konsep, dan prosedur.2 Sebagai konsekuensinya, eksaminasi yang
sepatutnya dilakukan untuk membebaskan hukum dan kebijakan lingkungan
hidup dari patologi berpikir adalah penelaahan kritis yang diantaranya dilakukan
dengan menggeser paradigma dari penelahaan praktis terhadap hukum
lingkungan menjadi penelaahan praksis yaitu resiprositas observasi dan tindakan
yang saling menjaga relevansi antara teori dan kenyataan sosial.3

1 Michael M’Gonigle and Louise Takeda, The Liberal Limits of Environmental Law: A Green Legal
Critique, 30 Pace Environmental Law Review, 2003, pp. 1005-1115, hlm. 1005.
2 Andreas Philippopoulos-Mihalopoulos, Absent Environments: Theorising Environmental Law
and the City, (New York: Routledge, 2007), hlm. 24-25.
3 Paradigma ini ditawarkan sebagai basis dari proposal Green Legal Theory yang ditulis oleh
Michael M’Gonigle dan Louise Takeda, Op.Cit, hlm. 1113. Selain Green Legal Theory, perkem-
bangan studi hukum lingkungan juga ditopang oleh studi multidisiplin hukum (legal multi-
disciplinary) sebagaimana yang ditulis dalam Michael G. Faure dan Nicole Niessen (ed.), En-
vironmental Law in Development: Lessons from The Indonesia Experience, (Massachusetts: Edward
Elgar Publishing, Inc., 2006), hlm. 4-6.

v
Adanya paradoks tidak serta merta meniadakan area persinggungan. Hukum
lingkungan hendaknya selalu berupaya menjaga continuum yaitu menyeimbangkan
produk kekuasaan dengan terus melakukan katalisasi upaya emansipatoris melalui
kebijakan dan hukum lingkungan itu sendiri. Demikian, idealnya diharapkan
perubahan dapat terwujud secara efektif karena pewacanaan yang didorong oleh
dua polar kekuasaan tersebut.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah


mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini
dan melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat
dan Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota
Sidang Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan
substantif bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Andri
G. Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D. yang telah melakukan blind peer review terhadap
artikel dalam jurnal edisi ini.

Akhir kata, JHLI Vol. 4 Issue 1 (September 2017) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.

Jakarta, September 2017,


Redaksi

vi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

D a f t a r I s i

Redaksi & Mitra Bebestari............................................................................................ iii


Pengantar Redaksi.......................................................................................................... v
Daftar Isi......................................................................................................................... vii
Artikel Ilmiah

1. Tata Kelola Pertambangan dalam Kerangka Indonesia Incorporated


untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan
Dr. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum, ............................................................. 1

2. Audit Kepatuhan Terpadu dalam Pencegahan Kebakaran Hutan


dan Lahan
Lakso Anindito, S.H. .................................................................................. 31

3. Tantangan Tata Kelola Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia


(Studi Kasus: Komparasi Antara Penerapan Desentralisasi dan
Multi-Level Governance)
Rifka Sibarani, S.IP., M.A............................................................................. 61

4. Signifikansi Pendekatan Kehati-hatian dalam Pengaturan Organisme


Transgenik di Indonesia
Wahyu Yun Santoso, S.H., M.Hum., LL.M. ; Prof. Dr. Sunarto, M.S. ;
Prof. Dr. Ir. Edhi Martono, M.Sc. ; Dr. Harry Supriyono, S.H., M.Si......... 87

5. Peradilan Internasional dan Diplomasi dalam Sengketa Lingkungan Hidup


Andreas Pramudianto, S.H., M.Si............................................................. 111

Ulasan Peraturan: Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana


Umum Energi Nasional
Grita Anindarini Widyaningsih, S.H...................................................................... 139

Anotasi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Mengenai Izin


Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU-B) 1x1.000 MW
a/n PT. Cirebon Energi Persada
Margaretha Quina, S.H., LL.M................................................................................. 153

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia.................................... ix

vii
viii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Tata Kelola Pertambangan dalam Kerangka Indonesia


Incorporated untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan

Oleh: Suparto Wijoyo1

Abstrak
Aspek yuridis tata kelola pertambangan diformulasi memberikan konstruksi
baru yang solutif bagi kesejahteraan rakyat. Tata kelola pertambangan yang
baik dapat menjadikan Indonesia sebagai superkoridor ekonomi dunia melalui
implementasi konsepsi Indonesia Incorporated. Gagasan ini dicitakan meneguhkan
karakter NKRI sebagai negara hukum berkesejahteraan rakyat dengan
memanfaatkan sumber daya pertambangan. Kajian normatif ini menghadirkan
kewajiban Indonesia yang memakmurkan rakyat dari sektor pertambangan
sedasar Pasal 33 UUD 1945.

Pengembangan Indonesia Incorporated dalam sistem hukum nasional


dimaksudkan untuk menyelenggarakan pertambangan bervisi negara
kesejahteraan. Hal ini mendorong dilakukannya penguatan pengaturan hukum
sebagai basis keabsahan kebijakan pertambangan yang berkerakyatan. Tata
kelola pertambangan dibingkai dalam piranti legal framework yang berkeadilan
sosial sebagai manifestasi negara kesejahteraan. Kegiatan pertambangan yang
tidak mensejahterakan rakyat niscaya kehilangan legitimasi filosofis (Pancasila),
konstitusional (UUD 1945), dan sosial. Tata kelola pertambangan mutlak berpijak
pada prinsip pembangunan berkelanjutan bagi kesejahteraan rakyat.

Kata Kunci: Indonesia Incorporated, negara hukum, negara kesejahteraan, tata


kelola pertambangan, pembangunan berkelanjutan.

1 Penulis adalah Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dan Koor-
dinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

1
SUPARTO WIJOYO

Abstract
Legal aspect of mining governance formulated to give solutive new contraction for
people welfare. Good mining governance can make Indonesia as the super corridor of world
economy through implementation of Indonesia Incorporated concept. This idea was created
to affirm the character of the Unitary State of the Republic of Indonesia as a rule of law
on the welfare of the people by utilizing mining resources. This normative study explains
Indonesia’s obligation to prosper the people from the mining sector under Article 33 of the
1945 Constitution.

The development of Indonesia Incorporated in the national legal system is intended to


conduct state welfare mines. It encourages the strengthening of legal arrangements as the
basis for the legitimacy of a sustainable mining policy. Mining governance is framed in a
legal justice framework as a manifestation of the welfare state. Mining activities that do not
prosper the people undoubtedly lose philosophical legitimacy (Pancasila), constitutional
(UUD 1945), and social. Mining governance absolutely stands on the principle of
sustainable development for people’s welfare.

Keywords: Indonesia Incorporated, state law, welfare state, mining governance,


sustainable development

I. Pendahuluan

Berbagai referensi yuridis dan ekologis telah memberikan deskripsi faktual


bahwa kekayaan tambang suatu wilayah, ternyata tidak serta-merta mensejahterakan
rakyat di daerah yang kaya bahan tambang.2 Kompleksitas permasalahan semakin
rumit dengan memasuki masa transisi atas berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun

2 Berbagai pemberitaan media massa dapat dirujuk dan dapat dibaca Sukarno, Indonesia
Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial, SK. Seno, Djakarta, 1956, h.
63-67. Ignatius Haryanto dkk (Editor), Kehutanan Indonesia Pasca Soeharto: Reformasi Tanpa
Perubahan, Pustaka Latin, Jakarta, 1998, h. 11-46. Kerry B. Collison, Indonesia Gold, Sid Har-
ta Publishers, Australia, 2002, h. 449-486. Leontine E. Visser dan Amapon Jos Marey, Bakti
Pamong Praja Papua, Kompas, Jakarta, 2008, h. 335-360. Freddy Numberi, Quo Vadis Papua,
PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2013, h. 187-258 Frento T. Suharto, Menambang Kekayaan
Dari Bisnis Emas Tanpa Mengeruk Alam, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014, h. 87-101.
Suparto Wijoyo, Reklamasi itu Kebutuhan Siapa, Forum Keadilan, No. 22, 16 Oktober 2016.
Weekly Sindo, Uji Nyali Freeport, No. 52 Tahun V, 27 Februari-5 Maret 2017.

2
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Konflik kewenangan dan orientasi
ekonomi menyelimuti pengelolaan pertambangan yang tidak menguntungkan
rakyat dengan penegakan hukum (lingkungan) yang sangat lemah.3

Pemerintah daerah kabupaten/kota tidak pula memberikan fasilitasi dengan


melakukan pengorganisasian para penambang liar untuk diberikan solusi yuridis,
ekonomis dan ekologis sesuai dengan kaedah pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Pengabaian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat
lokal, khususnya masyarakat hukum adat acapkali masih terjadi. Benturan
kepentingan antara penduduk lokal dengan perusahaan tambang merupakan
fenomena harian yang seringkali terlambat direspon, sehingga menimbulkan
disharmoni sosial.

Berbagai realitas pertambangan telah mendiskripsikan pula kurangnya


pendayagunaan sarana administrasi (dalam klausula perizinan) maupun
instrumen ekonomi yang berupa jasa lingkungan dan jaminan reklamasi sebagai
sarana legal pengelolaan pertambangan yang berwawasan lingkungan. Di banyak
daerah justru instansi pemerintah kabupaten/kota tidak menginternalisir biaya
lingkungan sebagai bagian dari manajemen pertambangan.4 Kenyataan ini sangat
rentan dengan tindakan korupsi di bidang pertambangan berupa pungli terhadap
alat angkut maupun volume bahan tambang.

Terdapat pula kecenderungan bahwa kepala daerah kabupaten/kota


melakukan pembiaran atas kerusakan areal pertambangan hanya semata-mata
karena alasan kewenangan yang sudah beralih ke pemerintah provinsi. Padahal
pejabat yang membiarkan kerusakan ekosistem berdasarkan Undang-undang
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH), dapat dikualifikasi sebagai pejabat yang melakukan tindakan kejahatan

3 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution), AUP,


Surabaya, Cetakan Kedua, 2005, h. 19-86. Suparto Wijoyo, Refleksi Matarantai Pengaturan Hu-
kum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu, AUP, Surabaya, 2005, h. 4-14. Suparto Wijoyo,
Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, AUP, Surabaya, Cetakan Kedua, 2005, h.
34-67. Suparto Wijoyo, Kusebut Indonesia: Dari Keanekaragaman Menuju Keseragaman Hayati,
AUP, Surabaya, 2012, h. 45-78. Kementerian Lingkungan Hidup, Himpunan Hasil-hasil Putu-
san Pengadilan Tentang Tindak Pidana Lingkungan, KLH, Jakarta, 2007.
4 Suparto Wijoyo, Birokrasi Pungli Menghambat Biocracy, Koran Sindo, 25 Oktober 2016. Suparto
Wijoyo, Menggugat Makna Negara, Jawa Pos, 1 November 2016. Suparto Wijoyo, Pentas Hukum
dan Keadilan, Jawa Pos, 16 Desember 2016. Suparto Wijoyo, Menggugat Negara Soal Banjir,
Jawa Pos, 13 Maret 2017.

3
SUPARTO WIJOYO

lingkungan.5 Kenyataan demikian semakin memperburuk potret pertambangan


nasional di kancah perkembangan dunia yang sangat ekstrim.6

Kondisi faktual dunia saat ini menunjukkan adanya: pengurasan energi


yang terus diperebutkan, keamanan yang mengancam, konflik dan peperangan
yang masih mewarnai berbagai belahan bumi, bencana alam dan jihadist war,
pertumbuhan penduduk dan culture war, krisis pangan dan indentitas, terutama
kemiskinan yang melanda disetiap segmen geografis dunia.7 Terhadap hal ini
terdapat tulisan lama James Goldsmit, The Trap yang disampaikan dihadapan
2000 orang di Grand Amphitheatre Universitas Sorbonne, Paris bahwa:8

Setiap masyarakat di dunia modern sedang menghadapi problem rumit dan tidak
ada solusi yang sederhana dan universal. Tetapi banyak di antara problem ini
memiliki akar yang sama. Ilmu, teknologi dan ekonomi telah diperlakukan oleh
masyarakat modern ini sebagai tujuan itu sendiri, bukannya sebagai sarana
penting untuk meningkatkan kesejahteraan.

Meningkatnya pengangguran, kekerasan, kemiskinan, kemerosotan


lingkungan dan kesadaran umum bahwa telah terjadi kesalahan yang mendasar
dalam pengelolaan perekonomian negara seperti yang dilansir James Goldsmit
tersebut telah sampai pada tataran merenungkan kembali keberadaan negara
kesejahteraan yang dalam ungkapan Bjorn Hettne: Negara Kesejahteraan
Dipertanyakan. Peran negara dan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat harus
ditata kembali dengan menyodorkan Paradigma Theory & Policy Making dalam
lingkup Good Corporate Governance. Dinamika dunia memang turut menentukan
pergerakan ekonomi suatu bangsa.9 Kebijakan pertambangan untuk kesejahteraan

5 Suparto Wijoyo, Tak Lelah Dirundung Bencana, Jawa Pos, 28 Desember 2016. Suparto Wijoyo,
Negara Hukum Dalam Daulat Kuasa, Jawa Pos, 14 Januari 2017.
6 Diolah dari pemikiran James Canton, The Extreme Future, Alvabet, Jakarta, 2010, hlm. 68.
7 Daniel, Yergin The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World, The Penguin Press,
New York, 2011. George Friedman, The Next 100 years, Anchor Books, New York, 2009. Thomas L.
Friedman, The World Is Flat: Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat, Jakarta, 2006, h. 67-98.
8 James Goldsmith, Perangkap, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996, h.3. Suparto Wijoyo, Me-
nyoal Legitimasi Reklamasi, Kompas, 4 Oktober 2016.
9 Bjorn Hettne, Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Iida, Akira, Paradigm Theory & Policy Making: Reconfiguring The Future, TUTLE, 2004, h. 23-36.
Eric Schlosser,, Command And Control, The Penguin Press, New York, 2013. Nicholas Mousis,,
Guide to European Policies, 6th edition, European Study Service, BP29-B-1330 Rixensart, Belgium,
2000, h. 67-90. Meene van de, Ineke and Benjamin van Rooij, Access to Justice And Legal Empower-
ment: Making the Poor Central in Legal Development Co-operation. Leiden University Press.

4
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

rakyat, meminjam bahasa Alan Gart dirumuskan dalam ranah RDR, yaitu:
Regulation-Deregulation-Reregulation.10 Dengan RDR berarti konsepsi GCG (Good
Corporate Governance) sebagai tuntutan tata kelola pemerintahan modern tetap
berada dalam kerangka welfare state yang tetap bertumpu pada negara hukum
(rechtsstaat) sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Permasalahannya adalah:
bagaimanakah mengimplementasikan konsepsi yuridis Indonesia Incorporated
dalam tata kelola pertambangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat?11

II. Good Corporate Governance (GCG) Sektor Pertambangan Dalam


Konstelasi Bernegara

Konsepsi Good Corporate Governance (GCG) merupakan produk dari


perkembangan sejarah bernegara melalui peraturan perundang-undangan. Dasar
pemikiran ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Good Corporate Governance:


INDONESIA INCORPORATED

Good Governance

Governance

NEGARA
(State)

Gambar 1: Evolusi Pergerakan GCG Menuju Indonesia Incorporated

Negara sebagai “a society politically organized” yang dalam pemikiran J.J.


Rousseau (1712-1778) merupakan resultan “The Social Contract”, tersusun

10 Gart, Alan, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking, Insurance, and Se-
curities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994. Wijoyo, Suparto, Ilmu Hukum, Airlangga
Universy Press, Surabaya, 2005, h. 37-47.
11 Pengkajian ini juga diinspirasi pembahasan dalam Al Gore, The Future, A Random House
Group Company, 2013. Robert C. Guell,, Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012. Tom
Gorman, The Complete Ideal’s Guides, Economics, Prenada, 2009, 87-90.

5
SUPARTO WIJOYO

atas elementasi wilayah, rakyat, pemerintah maupun kedaulatan. Pemerintah


mengimplementasikan tujuan negara secara terorganisir12 dengan melakukan
tata kelola pemerintahan (governance) guna menjalankan tugas fungsional: “self-
organizing, interorganizational networking” yang berkarakter “interdependence,
resource-exchange, rule of the game, and significant autonomy from the state”.13 Tata
kelola negara dalam konsepsi governance pada perkembangannya harus mampu
menyelenggarakan kepentingan publik.

Sektor publik akhirnya menjadi pusat perhatian tata kelola pemerintahan


(“governance”) yang kemudian mendapatkan tambahan atribut “yang baik”,
sehingga disebut “good governance”. Negara pada akhirnya harus diterima sebagai
kenyataan publik untuk menjadi bagian integral yang saling bersinggungan pada
ruang governance dalam hubungan antar sektor:14

State

Private Society
Sector

Gambar 2: Hubungan Antarsektor dalam Good Governance

12 Lihat Algra, N.E., at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999. Ash Garton, Timothy, Free World:
America, Europe and the Surprising Future Of The West, Random House, Inc., New York, 2004,
104-157. Friedmann, W., The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy, Stevens & Sons,
London, 1971., h. 2-5. Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qa-
lam, Yogyakarta, 2001, h. 89-128.
13 Baca Francis E. Rourke, Bureaucracy Politics, and Public Policy, Little, Brownand Company, Bos-
ton, 1976. Geoffrey Samuel,, The Foundations of Legal Reasoning, MAKLU, 1994. Ruud Lubbers,
at.all., Inspiration for Global Governance: The Universal Declaration of Human Rights and the earth
Charter, Kluwer, 2008. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2015.
14 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,
Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, 2000, h. 6-7. Laurence Boulle,, The Law Of Glo-
balization An Introduction, Wolters Kluwer, 2009. Gill, Indermit S., and Todd Pugatch, At the
Frontlines of Development Reflection From the World Bank, The World Bank, D.C., 2005. Soek-
arwo, Meneguhkan Demokrasi Musyawarah Demi Kesejahteraan Rakyat, Orasi Pelantikan, Ge-
dung Negara Grahadi, Surabaya, 2014. Ibid. Jimoh Omo-Fadaka, Development From Within,
Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978, h. 59. Daoed Joesoef, Industrialisasi dan Pembangunan Manusia
Pembangunan, dalam CSIS, Industrialisasi Dalam rangka Pembangunan nasional, Jakarta, 1982, h.
94. A.G. Pringgodigdo, Perjuangan Bangsa Indonesia Menegakkan Pancasila Dalam Masa Penjaja-
han/Pendudukan Jepang, dalam Santiaji Pancasila, h.174.

6
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

UNDP memaparkan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan


konstruktif antara negara, sektor privat dan masyarakat dengan mengajukan
karakteristik berikut ini: 15

1. Participation, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan


keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi
legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule Of Law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparency, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus komunikasi.
Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima
oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat
dimonitor.
4. Responsiveness, lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba melayani
setiap stake holders.
5. Consensus Orientation, good governance menjadi perantara kepentingan yang
berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas
baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Equity, semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai
kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and Efficiency, proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan
sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-
sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta
dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-
lembaga stake holder. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat
keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal
atau eksternal organisasi.
9. Strategic vision, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif “good
governance” dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan
dengan apa yang diperlukan untuk membangun hal semacam ini.

15 LAN, op.cit.

7
SUPARTO WIJOYO

Terdapat pemahaman esensial tentang “good governance” yang mencerminkan


ketertiban antarsektor dengan enam elemen utama “good governance” yang berupa:
The Rule of Law; The Rule of Integrity; The Rule of Transparency; The Rule of Participation;
The Rule of Accountability; dan The Rule of Value for Money.16 Tatanan pemerintahan
yang berbasis prinsip good governance ini kemudian berkembang dalam wadah
paradigmatik “good corporate governance” (GCG). Government yang bersendikan
GCG harus memperhatikan: “aturan main”, integritas, transparansi, partisipasi,
akuntabilitas dan bervisi keuangan secara yuridis tengah memasuki tren ekonomi
pada pusaran globalisasi yang dapat penulis gambarkan sebagai berikut:

Aturan main Integritas


(rule of law)
Private Sektor

State-Public Transparansi Partisipasi


Sektor

Keuangan:
Akuntabilitas Pembiayaan
Society
Ekonomi
Publik

Gambar 3: Karakter Substansial GCG

Tata kelola pemerintahan tidak lagi dapat dilihat secara parsial dan tradisional.
Sektor-sektor kehidupan publik yang menyangkut state tidak bisa lagi dilakukan
menurut standar organisasi pemerintahan konvensional, tetapi dengan menerima
kenyataan bahwa negara telah hadir sebagai “korporasi” yang menggerakkan
ekonomi global-nasional-lokal. Pergerakan ekonomi yang saling mempengaruhi ini
menandakan lahirnya public-sector reform dalam kerangka “corporation”, terutama
bidang perekonomian sebagai sektor yang sangat menguasai public-interest (dalam
bahasa Pasal 33 UUD 1945 “... yang menguasai hajat bidup orang banyak ...”).

16 The Civil Service Commission, Thailand, 1999. Sebagai tambahan Suparto Wijoyo, Hukum
Lingkungan di Antara Para Pemalas, AUP, Surabaya, 2012, h. 68-143.

8
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

GCG hadir mendorong ekonomi global terus bergulir, termasuk di sektor


pertambangan nasional,17 dan melahirkan “the emerging global economy” di berbagai
negara.18 Ekonomi dunia dengan sendirinya bergerak menuju apa yang dinamakan
“breaking boundaries”, dan hadirlah “competition policy in a change world” perdagangan
dalam segala tingkatannya.19 Tata kelola pertambangan model Undang-undang
No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dalam
dinamikanya wajib membuka ruang “politic and social opportunities” sebagai
bagian dari pengambilan “the strategy and the feasibility of (Toward) Social Welfare”
untuk kepentingan Rakyat. Negara dengan struktur birokrasi dalam membentuk
public policy mesti menyadari untuk selalu melakukan improvement sebagai suatu
korporasi guna membangun corporate culture for sustainable growth, karena memang
selalu ada development challenges.20

III. Fungsi Negara Sebagai Korporasi Untuk Mewujudkan


Indonesia Incorporated Sektor Pertambangan

Sebagaimana negara-negara lain di dunia yang merumuskan tujuan negara


dalam konstitusinya, Indonesia menetapkan tujuan negara yang secara konstitusional
harus diwujudkan. Tujuan NKRI dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
“... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

17 Soekarwo dkk, Pakde Karwo Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana, Prenada Media
Group, Jakarta, 2015, h. 545-580. The Wordlwatch Institute, State Of The World Our Urban Fu-
ture, W.W. Norton & Company, New York-London, 2006, h. 67-98. Kohli, Atul, State-Directed
Development, Political Power and Industrialization in the Global Periphery, Cambridge University
Press, 2004, h. 109-116.
18 Merit E. Janow, at.all., The WTO: Governance, Dispute Settlement & Developing Countries, Juris
Publishing, Inc., 2008. Hwan-Yun Kim, Local Government Finance and Bond Markets, Asian De-
velopment Bank, 2003. Suparto Wijoyo, Otoda Dari Mana Dimulai?, AUP, Surabaya, 2005, 25-63.
19 Joseph E. Pattison, Breaking Boundaries, Peterson’s Book, New Jersey, 1996. Nicholas Moussis,
Guide To European Policies, European Study Service, 2000. Suatu bacaan yang menarik men-
genai hal ini juga adalah Laurence Boulle,, The Law Of Globalization An Introduction, Wolters
Kluwer, 2009, h. 67-90.
20 Robert C. Guell, Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012. Jerald Hage, and Charles H.
Powers, Post-Industrial Lives: Roles and Relationships in the 21st Century, SAGE, London, 1992,
h. 32-57. CHR. Jimmy L. Gaol,, A to Z, Human Capital: Manajemen Sumber Daya Manusia:
Konsep, Teori, Dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik Dan Bisnis, PT. Grasindo,
Jakarta, 2014, h. 76-98. Pakde Karwo, Pintu Gerbang ... op.cit., h. 3-34.

9
SUPARTO WIJOYO

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”.
Tujuan ini mendapatkan landasan ideologis bahwa pencapaiannya harus dipandu
dengan dasar filosofis (philosofische gronslag) Pancasila.

Pemerintah mendapatkan amanat ideologis dan konstitusional untuk


mewujudkan tujuan negara dengan konsepsi yang dewasa ini memasuki babak
GCG. Terhadap hal ini secara yuridis-ekonomi terdapat pemikiran sistematis yang
disodorkan W. Friedman dalam The State and The Rule of Law in A Mixed Economy.
Dikemukakan bahwa terdapat empat fungsi negara dalam ekonomi campuran
yang dapat digambarkan dengan grafis seperti di Gambar 4.21

Keempat fungsi negara bukan untuk dibenturkan tetapi disinergiskan,


terutama di sektor pertambangan. Negara dibentuk memang untuk menyediakan
layanan publik (public-services) bagi rakyatnya dengan fungsi provider, sekaligus
harus mengendalikan perilaku ekonomi dalam bingkai fungsi controller, termasuk
pada aktivitas badan usaha milik negara (BUMN) – public sectors atau swasta
(BUMS) – private sector, karena negara berfungsi selaku entrepreneur dengan tetap
menjamin keadilan bagi seluruh pelaku ekonomi, mengingat negara memangku
juga fungsi umpire.

• Negara melakukan
• Negara memainkan fungsi peran sebagai
sebagai penyedia social controller: the power
services to regulate
• Negara • Melakukan kontrol
menyelenggarakan The State as The State as eskpor-impor,
perannya selaku Provider Regulator industrial licensing
social welfare state control, dll

• Menyediakan • Mengoperasikan
perangkat legislatif, sektor ekonomi
The State as The State as tertentu
administratif dan
peradilan untuk Umpire Entrepreneur
• Negara memiliki
mewujudkan keadilan korporasi serta
bagi seluruh pelaku menjamin
ekonomi termasuk negara keseimbangan sektor
publik dan privat
sebagai enterprises

Gambar 4: Fungsi Negara dalam Pembangunan Ekonomi

21 Diolah dari pemikiran W. Friedmann, The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy,
Stevens & Sons, London, 1971, h. 24-99.

10
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Negara memainkan peran dalam menciptakan keseimbangan seluruh dunia


usaha (enterprise) agar “public and private power” tidak saling menjatuhkan, tetapi
mendukung demi terwujudnya “balance between public and private enterprise”.
Fungsi NKRI secara ekonomi dalam pikiran W. Friedmann sebenarnya telah
diformulasikan UUD 1945. Norma hukum yang tercermin dalam Pasal 33 UUD
194522 memberi pesan fundamental mengenai penyelenggaraan perekonomian
nasional “... yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara; kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; dan perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Pasal 33 UUD 1945 mengalirkan pandangan bahwa pada hakekatnya negara


harus hadir dan dirasakan keberadaannya oleh rakyat. Dalam perkembangan
perekonomian global sejak abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini, jelaslah bahwa
the state as entrepreneur-corporation yang bertumpu pada prinsip-prinsip GCG
berkewajiban memberi yang terbaik pada rakyatnya. Cita konstruktif demikian
dalam tindakan negara dihadirkan untuk “melayani rakyat” layaknya hubungan
“produsen-konsumen” atau “korporasi bisnis dengan customers”. Hubungan
demikian mengacu pada bahasa David Straker masuk pada lingkup The Quality
Conspiracy. Negara sebagai korporasi memberikan jaminan mutu hidup yang
berkualitas kepada rakyat yang multi perspektifnya diolah dari David Straker dan
tersajikan berikut ini:23

PEMBERIAN TERBAIK:
BUSINESS - CUSTOMERS TOTAL OFFERING - PEOPLE - LEADERSHIP
PROCESSES

• Business: profit = revenue - • Total Offering: superior • People: able and motivated
cost product + price + delivery + • Leadership: committed and
• Customers: satisfied or communication consistent
delighted • Processes:effective and efficient

Gambar 5: Mutu Hidup yang Berkualitas Bagi Rakyat

22 Terhadap hal ini sebaiknya dibaca Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 UUD ’45, Muti-
ara, Jakarta, 1980. Mohammad Hatta, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), Kompas, 2015.
Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun: Gagasan & Pemikiran, Kom-
pas, 2015. LP3ES, Karya Lengkap Bung Hatta, Jakarta, 2015, 43-98.
23 Diolah dari pemikiran dan gagasan Straker, David, The Quality Conspiracy, Gower, 1998, h. 12-53.

11
SUPARTO WIJOYO

Pikiran dasar yang ditawarkan David Straker dapat menjadi pedoman yang
dapat digunakan untuk menyelenggarakan tata kelola pertambangan dengan
melakukan “policy change in public sector reforms”.24 GCG yang dibarengi dengan
kemampuan paradigmatik keterpaduan pengelolaan ekonomi negara secara
korporatif yang integral menjadikan model Good Corporate Governance System
sebagai GCG integratif, dimana dominasi keterpaduan menjadi orientasi penting
membangun pertambangan nasional. Interkoneksi antar sektor ekonomi maupun
antar wilayah dibangun dengan komitmen dan konsistensi kepemimpinan yang
mampu memberikan “jalan alternatif” (jalan lain) adanya keterpaduan fungsi-
fungsi negara sebagai provider, regulator, dan korporasi maupun wasit. Pola
pemikiran ini digambarkan sebagai berikut:25

Provider

Leadership:
Entrepreneur committed and Regulator
consistent

Umpire

Gambar 6: Kepemimpinan dalam Keterpaduan Fungsi Negara

Tindakan pemerintahan tidak boleh terpisah dengan kebutuhan publiknya


(integral bestuur), karena semua urusan negara menjadi tanggungjawab pemerintah
yang menyentuh kepentingan pasar dengan tindakan yang patut (“behoorlijkheid”).
Dengan demikian negara melakukan pengaturan (“command”) dan pengawasan
24 Sebagai tambahan dapat dibaca Jacques Laffont, Jean, Regulation and Development, Cam-
bridge University Press, UK, 2005. Richard J. Pierce, JR, Regulated Industries In A Nutshell,
West Publishing CO, 1984, h. 56-99.
25 Diolah dari berbagai referensi, Jonah Goldberg, Liberal Fascism: The Secret History of the Ameri-
can Left from Mussolini to the Politics of Meaning, Doubleday, 2007, h. 154-212. Tom Gorman, The
Complete Ideal’s Guides, Economics, Prenada, 2009. Habermas Jurgen, Teori Tindakan Komunika-
tif Buku Satu: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Kreasi Wacana,Bantul, 2012. Craig Burnside,
(Editor), Fiscal Sustainability in Theory and Practice, The World Bank Washington D.C., 2005.

12
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

(“control”) dalam segala dimensinya, khususnya jalannya perekonomian agar tetap


terjamin adanya “the stability and the sustainability”.26 Hal demikian harus dibarengi
dengan perubahan paradigma pemimpin yang secara psikologis menurut Carol S.
Dweck lazim disebut “change your mindset change your life”. Pengelola kekayaan
tambang harus membuka diri dari keterikatan birokratik yang kaku menjadi
birokrat yang responsif.27

Untuk memudahkan pemahaman atas peran birokratik dalam pemerintah


yang terpadu dalam mempersiapkan hadirnya (state) incoproprated sektor
pertambangan adalah dengan cara: (i) membangun tata kelola pemerintahan yang
terpadu dalam segala prosedur birokratiknya; (ii) memberikan jaminan stabilitas
ekonomi dengan pertumbuhan dan pemerataan yang inklusif; (iii) pasar yang
kondusif bagi produksi pertambangan dengan daya beli masyarakat yang terus
bergerak serta infrastruktur yang memadai; (iv) jajaran birokrasi yang responsif
dengan kemudahan pelayanan yang ramah investasi; dan (v) pengaturan yang
berkepastian hukum dengan implikasi negatifnya berupa persepsi munculnya
“negara yang terlalu turut campur”.

Manajemen pertambangan yang mengkorporasikan fungsi negara memang


akan menimbulkan kesan hadirnya “interventionist state”.28 Terhadap hal demikian
ini dapat dikemukakan pandangan W. Friedmann di atas yang menyebut negara
aktif (“the active state”). Negara memang harus aktif atau responsif (dalam
ungkapan leluhur “tanggap ing sasmito”) dalam melayani rakyat melalui
regulasi untuk mengatasi problem “equality and fair competition” di sektor
pertambangan. Penataan ini tentu saja dengan jejaring “administrative justice”
maupun “government policy”.29
26 Beberapa pustaka dapat dirujuk, antara lain A.J. Hoekema et.al., Integraal Bestuur, Amster-
dam University Press, 1998, h. 67-98. R. Crince Le Roy,, Bestuur en Norm, Kluwer-Deventer,
1986, h. 12-45. Richard A. Posner, Economic Analysis Of Law, Little, Brown and Company,
1992. Heemskerk W.H., Vorm en Wezen, Uitgeverij LEMMA B.W., Utrecht, 1991.
27 Carol S. Dweck,, Cara Baru Melihat Dunia Dan Hidup Sukses Tak Berhingga, Serambi Ilmu Se-
mesta, 2007.
28 Secara khusus dapat dibaca Jonah Goldberg, Liberal Fascism: The Secret History of the American
Left from Mussolini to the Politics of Meaning, Doubleday, 2007. Michel Foucault, Kegilaan dan
Peradaban, Madness and Civilization, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002, h. 67-98.
29 Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Yayasan Ben-
tang Budaya, Yogyakarta, 1997, 145-187. Graydon Carter,, What We’ve Lost, Little, Brown, 2004.
Kerry B. Collison,, Indonesian Gold, Sid Harta Publishers, Australia, 2012. Budi Sulistyo, dkk.,
MDGs Sebentar Lagi: Sanggupkah Kita Menghapus Kemiskinan Di Dunia?, KOMPAS, Jakaarta,

13
SUPARTO WIJOYO

Kecenderungan tata kelola tambang dengan konstruksi GCG harus dibarengi


leadership yang berkomitmen mensejahterakan rakyat dalam figur Indonesia
Incorporated. Negara dikorporasikan dalam makna tata kelolanya yang mampu
memadukan antara sektor publik-privat dan sosial. Dalam lingkup demikian
terdapat tulisan Declan Hayes, Japan’s Big Bang: The Deregulation and Revitalization
of The Japanese Economy yang mengulas secara komprehensif mengenai Japan Inc.30

Kehadiran Jepang sebagai supremasi ekonomi dunia melalui export-oriented


products: cars, cameras, electrical goods dan sebagainya tidak lepas dari perombakan
paradigma perekonomiannya menjadi Japan Incoporated. Ekonomi dibangun
dengan membuka akses dan kesempatan untuk mentransformasi corporate
culture antara dunia usaha publik-privat dan sosial. Pemerintah mengambil peran
sebagai pembuat kebijakan ekonomi yang tergolong “overall guidelines” sebagai
wujud “government-guaranteed” yang dituangkan dalam wujud “administrative
guidance”. Konstruksi Japan Inc. terbangun dengan sikap solidaritas kelompok dan
pemimpin yang cerdas serta patriotik sebagai syarat utamanya.31

Sektor publik
Administrative guidance:
Kepemimpinan yang cerdas
Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)
Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)
Sektor Privat
Administrative guidance:
Kepemimpinan yang cerdas
Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)
Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)
Sektor sosial
Administrative guidance:
Kepemimpinan yang cerdas
Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)
Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)

Gambar 7: Konstalasi Pergerakan Menuju Indonesia Incorporated

2010. Terutama lagi adalah Timothy Ash Garton,, Free World: America, Europe and the Surprising
Future Of The West, Random House, Inc., New York, 2004. Ahmad Asnawi,, Sejarah Para Filsuf
Dunia: 90 Pemikir Terhebat Paling Berpengaruh di Dunia, Indoliterasi, Yohyakarta, 2014.
30 Declan Hayes, Japan’s Big Bang: The Regulation and Revitalization of the Japanese Economy, Tuttle,
Boston, 2000. Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qalam, Yogya-
karta, 2001. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2003.
Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial Dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, Yogyakarta, 2010.
31 Sayidiman Suryohadiprojo, 2012 dan juga lihat ibid dan M. Harvey Brenner,, Pengaruh Eko-
nomi Terhadap Perlaku Jahat dan Penyelenggaraan Perailan Pidana, CV. Rajawali, Jakarta, 1986. Eka
Budianta, Moral Industri, Laporan dan Renungan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, h. 67-90.

14
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Makna suatu negara menjadi incorporated dengan rumusan konsepsional


administrative guidance; kepemimpinan yang cerdas; solidaritas kelompok, dan
patriotisme tertuang dalam Gambar 7 tersebut. UUD 1945 memberikan optimisme
bahwa Indonesia Incorporated dapat diwujudkan karena masyarakat Indonesia
sesungguhnya memiliki watak dasar yang dipersyaratkan dalam tatanan
Indonesia Incorporated tersebut, yaitu: solider (kesetiakawanan dan gotong
royong), serta patriotik (kepahlawanan-nasionalisme) dengan kepemimpinan
yang visioner.32 Regulasi pertambangan dalam jiwa Indonesia Incorporated harus
bermanfaat dan berorientasi kesejahteraan rakyat. Praktik pertambangan selama
ini belum memberikan “kesejahteraan rakyat” sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Kreasi hukum pertambangan dalam kontektualitas Indonesia Inc. disusun


sesuai dengan esensi negara kesejahteraan dengan hukum yang berkeadilan.
Ini merupakan wujud pengembangan corporate culture, solidaritas atau gotong
royong serta patriotisme alias nasionalisme. Sehubungan dengan hal ini, nilai-nilai
kepercayaan menjadi penentu langkah praktis yang terus dikembangkan guna
merealisasi agenda kolektif terwujudnya Indonesia Inc. Langkah dan upaya
itu selanjutnya dilakukan dengan memperkuat moralitas segitiga timbal balik
berikut ini:

Trust & Relationship

Leadership & Partnership Solidarity -Nasionalism

Gambar 8: Segi Tiga Moralitas Pertambangan untuk Indonesia Incorporated

32 Dapat dibaca A. Appadorai, The Substance of Politics, Ninth Edition, Oxford University Press,
Amen House, London E.C.4, 1961 p. 63. Warren, Leinenweber and Andersen, Our Democary
at Work, Second Edition, Prentice-Hall, INC, Englewood Cliffs, N.J., 1967, p.477-480. United
States Information service, Embassy of the United States ff America, Deklarasi Kemerdekaan,
200 Tahun Undang- Undang Dasar Amerika Serikat, tth. H. 1-6. Philip Selznick, Law, Society, and
Industrial Justic, Russel Sage Foundation, 1969; I.T. Smith and Sir John C. Wood, Industrial
Law, Butterworths, London, 1980; S. Takdir Alisjahbana (Ed), Dasar-dasar Kerisis Semesta dan
Tanggung Jawab Kita, Dian Rakyat, Jakarta, 1984; dan Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dam-
pak Kebudayaannya, Vo. I dan II, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.

15
SUPARTO WIJOYO

IV. Menata Pertambangan yang Meneguhkan Negara Kesejahteraan

Dalam semangat mewujudkan Indonesia Incorporated dibutuhkan langkah


mengkonstruksi hukum yang mampu mendorong percepatan realisasi ketentuan
Pasal 33 UUD 1945. Membuat legal framework di bidang perekonomian secara tepat
dan kontekstual bagi kesejahteraan rakyat merupakan pilihan solutif. Mengingat
tata kelola tambang selama ini memberikan data yang sangat memprihatinkan,
antara lain: (a) memburuknya kualitas lingkungan akibat pertambangan; (b)
kesenjangan ekonomi semakin menganga; (c) bagi hasil yang tidak proporsional
antara pusat dan daerah; (d) kemiskinan meningkat di daerah kaya tambang;
(e) konflik sosial yang terus mewarnai dunia pertambangan; (e) penguasaan
areal tambang yang tidak sesuai dengan hukum (UU Minerba, UU Agraria,
UU Kehutanan, UU Perkebunan, dan UU Konservasi Tanah); (f) pelanggaran
tata ruang di bidang pertambangan (merujuk UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang); (g) tumpang tindih regulasi antara pengaturan pertambangan
dengan pemerintahan daerah (UU Minerba vs UU Pemda); (h) pelanggaran
hukum pertambangan secara sengaja maupun akibat ketidakpahaman (seperti
pengabaian pengenaan jaminan pertambangan, reklamasi pasca tambang, dan
jasa lingkungan); (i) meluasnya pungutan liar; dan (j) degradasi lingkungan yang
semakin masif. 33

Untuk itulah tata kelola pertambangan, meminjam bahasa Alan Gart saatnya
dikonstruksi dalam konsep RDR, yaitu: Regulation-Deregulation-Reregulation.34
RDR ditawarkan mampu memberikan ruang dinamik menata sektor pertambangan

33 Berbagai bahan pemberitaan mengenai data ini dapat diikuti dari beragam media massa sep-
erti: Tempo, “Lobi Emas Freeport-Istana”, 19-25 Oktober 2016. Tempo, Goyang Mundur Setya,
21-27 Desember 2016. Tempo, “Morat Marit Paket Ekonomi”, 11-17 Juli 2016. Times, “Bumi
Meleleh”, 8-14 Juni 2015. Sindo Weekly, “Uji Nyali Freeport”, 5 Maret 2017, dan ikuti pemberi-
taan Koran KOMPAS, Republika sepanjang tahun 2017 ini saja akan dapat diketahui betapa
memburuknya tata kelola pertambangan nasional.
34 Alan Gart, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking, Insurance, and Secu-
rities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994. RDR pada mulanya memang hanya disodorkan
untuk merespon percepatan gerak dunia perbankan, asuransi dan securities industries dengan
pangsa pasarnya yang terus bergerak progresif Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan
Sosial, (Terjemahan Alimandan S.U.), Rieneka Cipta, Jakarta, 1993, h. 409-415, CSIS, op.cit h.
59-117. Jimoh Omo-Fadaka, Development From Within, Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978, h. 59.

16
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

dengan ketepatan pengambilan kebijakan ekonomi pada laju ekspresif GCG (Good
Corporate Governance) dengan pijakan regulasi yang selalu tepat. William Safire
dalam karyanya The Right Word in The Right Place at The Right Time mengajarkan
perlunya legal framework pertambangan yang: tepat kata (perumusannya), tepat
tempat (wilayahnya), dan tepat waktunya.35 Perpaduan konsep “DRD” dan “tiga
ketepatan” dapat digambarkan sebagai berikut:

Perkembangan Ekonomi RDR yang merefleksikan


Global - Regional - Nasional The Right Word in The Right
- Lokal Place at The Right Time

Negara Kesejahteraan

Gambar 9: RDR Alan Gart dan Tiga Ketepatan William Safire

RDR dengan prinsip “Tiga Ketepatan” merupakan tuntutan tata kelola


pertambangan yang berada dalam kerangka welfare state sebagaimana diamanatkan
UUD 1945. Rekonstruksi norma tata kelola pertambangan yang tersebar di bidang
investasi, market economy, korporasi, moda transportasi, distribusi, perbankan,
keuangan, asuransi, industri, perdagangan, ekspor impor, 36 dan sektor lainnya mutlak
segera dilakukan, karena terdapat cenderungan hanya untuk “mengeruk kekayaan
alam demi peningkatan PAD (pendapatan asli daerah)”. Potret ini sudah diketahui
publik, sehingga perlu diadakan evaluasi (deregulasi) sekaligus reregulasi.

Rekonstruksi terhadap perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijaksanaan


dapat dimengerti dari konsep legal policy yang dikemukankan Petrazycki:37 “The
35 William Safire, The Right Word in the Right Place at the Right Time, Simon & Schuster, New
York, 2004, h. 240-287.
36 Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism & Democracy, Pustaka Pelajar, 2003. Peter, Senge,
at.all., The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations Are Working Together to Cre-
ate a SustainableWorld, Nicholas Brealey, London, 2008. Dani W. Munggoro, dkk., Menggugat
Ekspansi Industri Pertambangan di Indonesia, LATIN, Bogor, 1999. P. Dvorin, Eugene and Rob-
ert H. Simmons, Dari Amoral sampai Birokrasi Humanisme, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2000.
37 Alan B. Mountjoy, Industrialisasi dan Negara-negara Dunia Ketiga, (Alih Bahasa D.H. Gulo),
Bina Aksara, Jakarta, 1983. Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Terjemahan YAS-
OGAMA), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h. 380, 387-389. J.B.J.M. Berge Ten, Bescherm-

17
SUPARTO WIJOYO

essence of the problem of the policy of law consists in scientifically justified prediction of the
effect if certain legal enactments are introduce and elaborating principles which will bring
about some desirable effect”. Perputaran pembaruan hukum di sektor pertambangan
dengan RDR yang dikaitkan dengan kebijakan publik perekonomian suatu negara,
dapat dituangkan dalam siklus skematis di bawah ini:

Regulasi
(Formulasi)

Reregulasi Implementasi
(Reformulasi) dan Evaluasi

Implementasi Deregulasi
dan Evaluasi

Gambar 10: Perputaran Pembaruan RDR Pertambangan Berkelanjutan

Dewasa ini RDR telah dilakukan untuk melaksanakan GCG di bidang


pertambangan. Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang
Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, tertanggal 11 Januari 2017 berikut
aturan turunannya, merupakan penjelmaan konsepsi RDR-GCG tata kelola
pertambangan. PP No. 1 Tahun 2017 yang ditindaklanjuti dengan hadirnya Permen
ESDM No. 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri dan Peraturan Menteri ESDM No.
6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan
Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian, dapat dipahami
sebagai keseriusan Pemerintah mengurai ragam kepentingan pertambangan.38
ingtegendeoverheid, W.E.J. Tjeenk Willink Zwolle, 1993. Velix V.Wanggai, Pembangunan Untuk
Semua: Mengelola Pembangunan Regional a la SBY, Indomultimedia Communication Group,
2012. Richard A. Wasserstrom, Morality and the Law, Wadsworth Publishing Company, Inc.,
Bellmont, California, 1971.
38 Pengaturan tambang (terutama kasus Freeport) mengenai kewajiban divestasi 51% meru-
pakan bentuk reregulasi pertambangan. Masalah divestasi 51% ini berdasarkan Pasal 24

18
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

RDR untuk pertambangan di negara kesejahteraan dalam bingkai Indonesia


Incorporated, dapat digambarkan seperti di bawah ini:

RDR Legal Framework Substansi

Negara
Kultur Struktur
Kesejahteraan

Kesejahteraan PERTAMBANGAN
Indonesia Rakyat DALAM
Incorporated Perekonomian PEMBANGUNAN
Berkelanjutan BERKELANJUTAN

Gambar 11: Rute Perwujudan RDR dalam Pertambangan Berkelanjutan Indonesia Incorporated

Apa yang menjadi ukuran suatu negara dinamakan negara kesejahteraan?


Secara teoritis, menurut Bismarck, keberhasilan penerapan Negara Kesejahteraan
diukur dari tiga variabel, yaitu:39 (1) pemenuhan kebutuhan biologis warga, (2)
pemenuhan kebutuhan pengembangan diri dan sosial warga serta (3) ketersediaan
fasilitas umum bagi warga.40 Kesejahteraan akan tercipta secara teoritis bersentuhan
dengan tiga dimensi: politik, sosial, dan ekonomi. Indonesia Inc. sejatinya
menggulirkan konsepsi bahwa negara harus hadir membuat kebijakan ekonomi
untuk kesejahteraan rakyat, serta membuka akses secara adil dan keterbukaan
pemerintahan (openbaar bestuur).41
Kontrak Karya (KK) tahun 1991, sebenarnya harus tuntas tahun 2011. Dalam KK ini, Freeport
dibahasakan oleh hukum telah melakukan wanprestasi, mengabaikan isi perjanjian yang
telah disepakati sendiri. Hadirnya kebijakan pertambangan yang telah diperbuat Pemer-
intah dimaksud secara konstitusional hendak memperkuat peneguhan diri sebagai negara
kesejahteraan dengan semangat Indonesia Incorporated terus dimatangkan. Perkembangan
dinamik fungsi pemerintah dalam perekonomian negara kesejahteraan yang berkomitmen
mewujudkan Indonesia Incorporated telah membawa catur fungsi negara berjalan paralel.
39 Tri Widodo, “MEA dan Jawa Timur”, dalam Soekarwo, Soekarwo dkk., Pintu Gerbang MEA
2015 Harus Dibuka, Prenada Media Group, Jakarta, 2016, h. 39-57.
40 Mahmud Syaltout, “Negara Kesejahteraan dan Posisi Jawa Timur”, dalam Soekarwo dkk.,
Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Prenada Media Group, Jakarta, 2016, h. 87-90.
41 James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Kanisius, Yogyakarta, 2010. H.L.A. Hart, Law Liberty-
And Morality: Hukum, KebeasanDan Moralitas, Genta Publishing, PO.BOX 1095 YK-55000, 2000.

19
SUPARTO WIJOYO

Kristalisasi konsepsi GCG yang implementatif untuk pertambangan yang


mensejahterakan rakyat saya tawarkan dengan rumusan berikut ini:

Inovasi +
Distribusi
Pendapatan yang
Merata (Relasi dan
Infrastruktur)

Kesejahteraan Rakyat
Berkelanjutan (Negara
Kesejahteraan) dari Tata
Kelola Pertambangan
=
Indonesia Incorporated
Pembangunan
Berkelanjutan
(Ekonomi-
Ekologi-Sosial)
+ Demokrasi
yang Bertumpu
RDR

Gambar 12: Implementasi GCG dan Ekonomi Inovasi dalam Tata Kelola Pertambangan
Indonesia Incorporated

Pertambangan dalam Indonesia Incorporated harus dikelola secara GCG


melalui paradigma corporate philosophy and corporate culture for sustainable
growth dengan pemerintahan yang integratif.42 Tata kelola ini untuk mewujudkan
negara kesejahteraan berlegitimasi RDR seperti gambar berikut ini:

Paul Hawken, The Ecology of Commerce: A Declaration of Sustainability, Harper-Business, New


York, 1993. G.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. A. Hoogerwert,
Ilmu Pemerintahan,Erlangga, Jakarta, 1983. Ten Berge, at.all., Verklarendwoordenboek Openbaar
Bestuur, Tjeenk Willink, 1992. CH, J. Enschede, De Macht Van De Rechtswetenschap: Overheids-
beleiden maatschappijwetenschappen, Universitaire PersLeiden, Kluwer-Deventer, 1979.
42 Bandingkan Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Pustaka Pelajar, Yog-
yakarta, 2001. John Rawls,, A Theory of Justice: Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, h. 234-289.
Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Volumen II, Yayasan Obor Indo-
nesia, Jakarta, 1985. Alfred Marshall, Principles Of Economics, Macmillan & Co Ltd, London,
1959. Donella Meadows,, at.all., Batas-Batas Pertumbuhan, Gramedia, Jakarta, 1982. Reihard
Mohn, An Age of New Possibilities: How Humane Values andan Entrepreneurial Spirit Will Lead
Us into the Future, Crown Publishers, New York, 2004. Baca pula Aseem Shrivastava and
Ashish Kothari, Churning The Earth, Penguin Book, India, 2012. Thomas Crump, How The
Industrial Revolution Change The World, Robinson, UK, 2010. Robert D. Kaplan, The Revenge of
Geography, Random House Trade Paperbacks, New York, 2012. Chris Goodall, Ten Technolo-
gies To Fix Energy and Climate, Mixed Sources, London, 2008, h. 76-98.

20
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Kebutuhan Rakyat sebagai Sumber


Legitimasi yang PARTISIPATORIS

Perwujudan tata kelola


pemerintahan model GCG

Kesejahteraan Rakyat dengan


RDR yang meneguhkan realisasi
INDONESIA INCORPORATED

Gambar 13: Lingkar Esensial GCG-RDR-Indonesia Incorporated dalam Negara Kesejahteraan

Negara Kesejahteraan berdasarkan UUD 1945 melakukan tata kelola


pertambangan43 sesuai dengan Public Interest GCG-RDR-Indonesia Incorporated
sebagaimana Gambar ini:

• RDR + SDM/L + IT + Control dan partisipatoris


Indonesia Incorporated
• Ekonomi inovasi
• Administrative guidance

• Formulasi kebijakan untuk rakyat


RDR • Evaluasi
• Pengawasan

• Struktur Pemerintahan
From Government to
• Kultur masyarakat
Governance and GCG
• Demokrasi ekonomi inovasi di pasar bebas

Gambar 14: Konstelasi Tata Kelola Tambang dalam Perwujudan GCG-RDR-Indonesia


Incorporated

Untuk merealisir itu semua dibutuhkan manajemen kepemimpinan yang


harus mampu menjadi generator perubahan besar bagi kesejahteraan rakyat yang
berbasis public-participation. Pertambangan di NKRI harus ditata kelola dengan
berpijak pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika:

43 Lihat Tony Evans, Human Rights in The Global Political Economy, Lynne Rienner Publishers, Lon-
don, 2011. Armando Mahler, dan Nurhadi Sabirin, Dari Grasberg Sampai Amamapare, PT. Grame-
dia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Daron Acemoglu, dan James A. Robinson, Mengapa Negara Ga-
gal, Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, PT. Elex Media Komputindo, New York,
2012. N.E. Algra, at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999. Erich Fromm, Akar Kekerasan, Analisis
Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h. 145-256.

21
SUPARTO WIJOYO

• PANCASILA • UUD 45

Ideologi
Tata Kelola Konstitusionalisme
Pertambangan vvv Tata Kelola
(Indonesia ggg vvvv Pertambangan
Incorporated) ggg vvvvvvv (Indonesia
bbbbb Incorporated)

dddd Struktur
Kultur -mmm
vvv Negara yang
• BHINNEKA Tata Kelola • NKRI
diemban Tata Kelola
TUNGGAL IKA Pertambangan
Pertambangan
(Indonesia
(Indonesia
Incorporated)
Incorporated)

Gambar 15: Pijakan Tata Kelola Pertambangan Berkelanjutan

Dengan demikian akan terwujud tata kelola pertambangan yang partisipatoris


dalam setiap penentuan kebijakan, perizinan, dan pengendaliannya. Investasi
pertambangan dilaksanakan secara terbuka dengan siklus RDR yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebangsaan dan keadilan. Tidak boleh lagi ada daerah kaya
tambang yang rakyatnya miskin.

22
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

V. Penutup

Kesimpulan:
a. Pertambangan untuk kesejahteraan rakyat adalah amanat konstitusional UUD
1945 yang harus dikelola melalui perumusan legal framework pertambangan
yang: tepat kata (perumusannya), tepat tempat (wilayahnya), dan tepat
waktunya sedasar konsepsi GCG-RDR-Indonesia Incorporated.
b. Pemikiran konseptual dan implementatif tata kelola pertambangan untuk
mewujudkan Indonesia Incorporated yang berorientasi kepada kemakmuran
rakyat sebagaimana dinormakan UUD 1945 mempersyaratkan perlakuan secara
konsisten prinsip-prinsip bekerjanya GCG yang ditopang oleh mekanisme
RDR, SDM dan leadership yang profesional, pemanfaatan Teknologi Informasi
secara fungsional, serta kontrol publik yang demokratis.

Saran:
a. Pengaturan sektor pertambangan harus dirumuskan ulang untuk memperkuat
perekonomian nasional di kancah global dengan orientasi utama tata kelola
tambang bagi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” guna mengembalikan
karakter NKRI sebagai negara (hukum) kesejahteraan.
b. Dalam kerangka Indonesia Incorporated, meminjam kata-kata Peter Senge,44
merekonstruksi regulasi pertambangan sesungguhnya the necessary revolution
untuk melakukan tata kelola yang berkelanjutan dengan menetapkan kebijakan
sesuai pesan utama Pasal 33 UUD 1945: “untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.

Akhirnya, sebagai negara kaya tambang, Indonesia seyogianya mengambil


prakarsa menyediakan Jalan Baru perwujudan Negara Kesejahteraan dari sektor
pertambangan. Publik menyadari bahwa masa depan memang menyediakan
pikiran baru (new thinking), pilihan baru (new choices) dan awal baru (new beginnings),
tetapi masa depan baru itu dimulai dari komitmen dan konsistensi leader dalam
mengambil keputusan. Suara tata kelola pertambangan yang menyejahterakan
rakyat akan terus menggema dalam wadah Indonesia Incorporated dengan hukum
yang to create a sustainable development.

44 Peter Senge,, at.all., The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations Are Working
Together to Create a SustainableWorld, Nicholas Brealey, London, 2008.

23
SUPARTO WIJOYO

DAFTAR PUSTAKA

Acemoglu, Daron dan James A. Robinson, Mengapa Negara Gagal, Awal Mula
Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, PT. Elex Media Komputindo, New
York, 2012.
Algra, N.E., at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999.
Al Gore, The Future, A Random House Group Company, 2013.
Appadorai, A. , The Substance of Politics, Ninth Edition, Oxford University Press,
Amen House, London E.C.4, 1961.
Ash Garton, Timothy, Free World: America, Europe and the Surprising Future Of The
West, Random House, Inc., New York, 2004.
Asnawi, Ahmad, Sejarah Para Filsuf Dunia: 90 Pemikir Terhebat Paling Berpengaruh di
Dunia, Indoliterasi, Yohyakarta, 2014.
Berge Ten, at.all., Verklarendwoordenboek Openbaar Bestuur, Tjeenk Willink, 1992.
Boulle, Laurence, The Law Of Globalization An Introduction, Wolters Kluwer, 2009.
Brenner, M. Harvey, Pengaruh Ekonomi Terhadap Perlaku Jahat dan Penyelenggaraan
Perailan Pidana, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2015.
Budianta, Eka, Moral Industri, Laporan dan Renungan, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1999.
Burnside, Craig (Editor), Fiscal Sustainability in Theory and Practice, The World Bank
Washington D.C., 2005.
Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan,
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997.
Carter, Graydon, What We’ve Lost, Little, Brown, 2004.
Collison, Kerry B., Indonesian Gold, Sid Harta Publishers, Australia, 2012.
Crump, Thomas, How The Industrial Revolution Change The World, Robinson, UK,
2010.
Diamond, Jared, Guns, Germs & Stell, Gramedia, Jakarta, 2013.
--------, Collapse, Gramedia, Jakarta, 2014.
--------, The World Until Yesterday, Gramedia, Jakarta, 2015
Dweck, Carol S., Cara Baru Melihat Dunia Dan Hidup Sukses Tak Berhingga, Serambi
Ilmu Semesta, 2007.

24
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Budi Sulistyo, dkk., MDGs Sebentar Lagi: Sanggupkah Kita Menghapus Kemiskinan Di
Dunia?, Gramedia, Jakaarta, 2010.
E. Visser, Leontine dan Amapon Jos Marey, Bakti Pamong Praja Papua, Kompas,
Jakarta, 2008.
Enschede, CH, J., De Macht Van De Rechtswetenschap: Overheidsbeleiden
Maatschappijwetenschappen, Universitaire PersLeiden, Kluwer-Deventer, 1979.
Evans, Tony, Human Rights in The Global Political Economy, Lynne Rienner
Publishers, London, 2011.
Foucault, Michel, Kegilaan dan Peradaban, Madness and Civilization, Ikon Teralitera,
Yogyakarta, 2002.
Friedman, George, The Next 100 years, Anchor Books, New York, 2009.
Friedman, Thomas L., The World Is Flat: Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat,
Jakarta, 2006.
Friedmann, W., The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy, Stevens & Sons,
London, 1971.
Friedmann, Wolfgang Law in a Changing Society, Penguin Books,England, 1972.
Fukuyama, Francis, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qalam,
Yogyakarta, 2001.
--------, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2003.
--------, Trust: Kebajikan Sosial Dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, Yogyakarta,
2010.
--------, Political Order and Political Decay: From The Industrial Revolution To The
Globalization of Democracy, Farrar, Straus and Giroux, New York, 2014.
Fromm, Erich, Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Gaol, CHR. Jimmy L., A to Z, Human Capital: Manajemen Sumber Daya Manusia:
Konsep, Teori, Dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik Dan Bisnis,
PT. Grasindo, Jakarta, 2014.
Gart, Alan, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking,
Insurance, and Securities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994.
Garvey, James, 20 Karya Filsafat Terbesar, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Giddens, Anthony, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1999.

25
SUPARTO WIJOYO

-----------, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Pedati,
Pasuruan.
Gill, Indermit S., and Todd Pugatch, At the Frontlines of Development Reflection From
the World Bank, The World Bank, D.C., 2005.
Goodman, Amy, The axception to the rulers: exposing oily politicians, war profiteers,
andthe medis that love them, Hyperion, New York, 2004.
Goldsmith, James, Perangkap, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996.
Goodall, Chris, Ten Technologies To Fix Energy and Climate, Mixed Sources, London,
2008.
Goldberg, Jonah, Liberal Fascism: The Secret History of the American Left from Mussolini
to the Politics of Meaning, Doubleday, 2007.
Gorman, Tom, The Complete Ideal’s Guides, Economics, Prenada, 2009.
Guell, Robert C., Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012.
Habermas Jurgen, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu: Rasio dan Rasionalisasi
Masyarakat, Kreasi Wacana,Bantul, 2012.
Hage, Jerald and Charles H. Powers, Post-Industrial Lives: Roles and Relationships in
the 21st Century, SAGE, London, 1992.
Hart, H.L.A., Law LibertyAnd Morality: Hukum, KebeasanDan Moralitas, GENTA
PUBLISHING, PO.BOX 1095 YK-55000, 2000
Hatta, Mohammad, Penjabaran Pasal 33 UUD ’45, Mutiara, Jakarta, 1980.
--------, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), Kompas, 2015.
--------, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun: Gagasan & Pemikiran, Kom-
pas, 2015.
Haryanto, Ignatius dkk (Editor), Kehutanan Indonesia Pasca Soeharto: Reformasi
Tanpa Perubahan, Pustaka Latin, Jakarta, 1998.
H. Lauer, Robert, Perspektif tentang Perubahan Sosial, (Terjemahan Alimandan S.U.),
Rieneka Cipta, Jakarta, 1993.
Hayes, Declan, Japan’s Big Bang: The Regulation and Revitalization of the Japanese
Economy, Tuttle, Boston, 2000.
Hawken, Paul, The Ecology of Commerce: A Declaration of Sustainability, Harper-
Business, New York, 1993.
Heemskerk W.H., Vorm en Wezen, Uitgeverij LEMMA B.W., Utrecht, 1991.
Hegel, G.W.F., Filsafat Sejarah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

26
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Hettne, Bjorn, Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001.
Hoogerwert, A., Ilmu Pemerintahan, Erlangga, Jakarta, 1983.
Jacques Laffont, Jean, Regulation and Development, Cambridge University Press,
UK, 2005.
J. Pierce, JR, Richard, Regulated Industries In A Nutshell, West Publishing CO, 1984.
Janow, Merit E, at.all., The WTO: Governance, Dispute Settlement & Developing
Countries, Juris Publishing, Inc., 2008.
Kaplan, Robert D. The Revenge of Geography, Random House Trade Paperbacks,
New York, 2012.
Kementerian Lingkungan Hidup, Himpunan Hasil-hasil Putusan Pengadilan Tentang
Tindak Pidana Lingkungan, KLH, Jakarta, 2007.
Kim, Hwan-Yun, Local Government Finance and Bond Markets, Asian Development
Bank, 2003.
Kohli, Atul, State-Directed Development, Political Power and Industrialization in the
Global Periphery, Cambridge University Press, 2004.
Kramer, Peter D, Against Depression, Viking Penguin, 2005.
Iida, Akira, Paradigm Theory & Policy Making: Reconfiguring The Future, TUTLE, 2004.
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, 2000.
LP3ES, Karya Lengkap Bung Hatta, Jakarta, 2015.
Loury, Glenn C., at.,all., Ethnicity, Social Mobility and Public Policy, Cambridge
University Press, 2005.
Lubbers, Ruud, at.all., Inspiration for Global Governance: The Universal Declaration of
Human Rights and the earth Charter, Kluwer, 2008.
Mahler, Armando dan Nurhadi Sabirin, Dari Grasberg Sampai Amamapare, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Mangunwijaya, Y.B., Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Volumen II, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
Marshall, Alfred, Principles of Economics, Macmillan & Co Ltd, London, 1959.
Meadows, Donella, at.all., Batas-Batas Pertumbuhan, Gramedia, Jakarta, 1982.
Meene van de, Ineke and Benjamin van Rooij, Access to Justice And Legal
Empowerment: Making the Poor Central in Legal Development Co-operation.
Leiden University Press.

27
SUPARTO WIJOYO

Mohn, Reihard, An Age of New Possibilities: How Humane Values andan Entrepreneurial
Spirit Will Lead Us into the Future, Crown Publishers, New York, 2004.
Mousis, Nicholas, Guide to European Policies, 6th edition, European Study Service,
BP29-B-1330 Rixensart, Belgium, 2000.
Munggoro, Dani W., dkk., Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di Indonesia,
LATIN, Bogor, 1999.
Numberi, Freddy, Quo Vadis Papua, PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2013.
Omo-Fadaka, Jimoh Development From Within, Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978.
P. Dvorin, Eugene and Robert H. Simmons, Dari Amoral sampai Birokrasi Humanisme,
Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2000.
Pierce, Richard J. JR, Regulated Industries In A Nutshell, West Publishing CO, 1984.
Popper, Karl R., Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001.
Posner, Richard A., Economic Analysis Of Law, Little, Brown and Company, 1992.
Qrebech, Peter, at.all., The Role of Customary Law in Sustainable Development,
Cambridge University Press, 2005.
Rawls, John, A Theory of Justice: Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2011.
Rourke, Francis E., Bureaucracy Politics, and Public Policy, Little, Brownand
Company, Boston, 1976.
Roy, R. Crince Le, Bestuur en Norm, Kluwer-Deventer, 1986.
Safire, William, The Right Word in the Right Place at the Right Time, Simon & Schuster,
New York, 2004.
Sawer, Geoffrey, Law in Society, Oxford at the Clarendum, London. 1973.
Samuel, Geoffrey, The Foundations of Legal Reasoning, MAKLU, 1994.
Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism & Democracy, Pustaka Pelajar, 2003.
Schlosser,Eric, Command And Control, The Penguin Press, New York, 2013.
Selznick, Philip, Law, Society, and Industrial Justice, Russel Sage Foundation, 1969
Senge, Peter, at.all., The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations
Are Working Together to Create a SustainableWorld, Nicholas Brealey, London,
2008.
Schendler, Auden, GETTING Green Done, Hard Truths from the Front Lines of the
Sustainability Revolution, Public Affairs, New York, 2009.

28
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Shrivastava, Aseem and Ashish Kothari, Churning The Earth, Penguin Book, India,
2012.
Smith, T. and Sir John C. Wood, Industrial Law, Butterworths, London, 1980
Soekarwo dkk, Pakde Karwo Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana,
Prenada Media Group, Jakarta, 2015.
--------, dkk, Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana, Prenada Media
Group, Jakarta, 2015.
-------, Administrative Reform: Birokrasi Itu Melayani, Kencana, Prenada Media
Group, Jakarta, 2016.
Straker, David, The Quality Conspiracy, Gower, 1998.
Stein, Peter, Legal Evolution: The Story Of An Idea, Cambridge University Press, 1980.
Suharto, Frento T. Menambang Kekayaan Dari Bisnis Emas Tanpa Mengeruk Alam, PT
Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014.
Sukarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial,
SK. Seno, Djakarta, 1956.
Tantular, Mpu, Kakawin Sutasoma, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, h. 538-539.
Ten, Berge J.B.J.M., Beschermingtegendeoverheid, W.E.J. Tjeenk Willink Zwolle, 1993.
The Wordlwatch Institute, State Of The World Our Urban Future, W.W. Norton &
Company, New York-London, 2006.
Wanggai, Velix V., PembangunanUntuk Semua: Mengelola Pembangunan Regional a la
SBY, Indomultimedia Communication Group, 2012.
Warren, Leinenweber and Andersen, Our Democary at Work, Second Edition,
Prentice-Hall, INC, Englewood Cliffs, N.J., 1967.
Wasserstrom, Richard A., Morality and the Law, Wadsworth Publishing Company,
Inc., Bellmont, California, 1971
W.H., Heemskerk, Vorm en Wezen, Uitgeverij LEMMA B.W., Utrecht, 1991.
Wijoyo, Suparto, Ilmu Hukum, Airlangga Universy Press, Surabaya, 2005.
-------, Reklamasi itu Kebutuhan Siapa, Forum Keadilan, No. 22, 16 Oktober 2016.
-------, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution), AUP,
Surabaya, Cetakan Kedua, 2005.
-------, Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu,
AUP, Surabaya, 2005.
-------, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, AUP, Surabaya, Cetakan
Kedua, 2005.

29
SUPARTO WIJOYO

--------, Kusebut Indonesia: Dari Keanekaragaman Menuju Keseragaman Hayati, AUP,


Surabaya, 2012.
-------, Hukum Perlindungan Lingkungan Hidup, Airlangga University Press, Sura-
baya, 2017.
Wilcox, Clair, Toward Social Welfare, Richard D. Irwin, Inc, 1969.
Yahya, Arief, Great Spirit, Grand Strategy, Corporate Philosophy, Leadership
Architecture, and Corporate Culture for Sustainable Growth, PT. Gramedia,
Jakarta, 2013.
Yergin, Daniel, The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World,
The Penguin Press, New York, 2011.
Yudhoyono, Susilo Bambang, Selalu Ada Pilihan, Kompas, Penerbit Buku, Jakarta,
2014.
Yoesoef, Abdul Jabar, Jangan Biarkan Asing Kuras Tambang Kita, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2011.
Zalasiewics, Jan, The Earth After Us, What Legacy Will Humans Leave In The Rocks?,
Oxford University Press, 2008.

30
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Audit Kepatuhan Terpadu dalam Pencegahan


Kebakaran Hutan dan Lahan

Oleh : Lakso Anindito1

Abstrak
Pelaksanaan audit kepatuhan terpadu memiliki peran yang strategis dalam
memetakan akar permasalahan, memastikan pelaksanaan kewajiban dan
mendukung proses penegakan hukum khususnya hukum adminsitratif dalam
mencegah kebakaran hutan dan lahan. Persoalannya, sampai saat ini, pendekatan
audit kepatuhan secara terpadu belum dilakukan dan dimanfaatkan secara optimal
oleh pemerintah karena perpindahan kepemimpinan pada tingkat nasional. Untuk
itu, tulisan ini akan membahas beberapa aspek. Pertama, tulisan ini akan membahas
peranan audit kepatuhan terpadu sebagai inovasi. Kedua, penggunaan konsep
pertanggungjawaban korporasi dalam hal kepatuhan pencegahan kebakaran
hutan dan lahan sebagai landasan dalam menentukan ukuran kepatuhan dalam
pelaksanaan audit kepatuhan terpadu. Ketiga, kewenangan pemerintah dalam
pelaksanaan audit kepatuhan terpadu. Keempat, prasyarat efektivitas pelaksanaan
audit kepatuhan. Berdasarkan aspek-aspek maka dapat disimpulkan bahwa apabila
audit kepatuhan terpadu dilaksanakan dengan memenuhi perasyarat maka dapat
menjadi perangkat efektif dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan.

Kata Kunci: Audit Kepatuhan Terpadu, Teori Kebijakan Pencegahan (prevention


policy theory), Kepatuhan, Penegakan Hukum Administrasi, Kebakaran Hutan dan Lahan

1 Penulis merupakan pegiat dibidang penegakan hukum yang menjadi tim audit kepatuhan
dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan tahun 2014. Pernah bekerja di Satuan
Tugas Presiden Pemberantasan Mafia Hukum, Satuan Tugas Presiden Persiapan Kelem-
bagaan REDD+ dan Badan Pengelola REDD+. Mempunyai ketertarikan diisu penegakan
hukum, sumber daya alam dan pertanggungjawaban pidana korporasi.

31
LAKSO ANINDITO

Abstract
Based on the theory of prevention policy, audit compliance has an important role as
instrument to prevent haze pollution that is caused by forest and land fires. This approach is
potentially used by the government to find roots of the problem of haze pollution related with
forest and land fires, to encourage compliance of object of audit and to get early information
and data for administrative law enforcement. In this paper, audit compliance is elaborated
in four aspects comprehensively. Firstly, the role of audit compliance as instrument of
prevention policy. Secondly, corporate liability and compliance standard to prevent forest
and land fires. Thirdly, legal basis of government to conduct audit compliance. Finally, the
prerequisites to conduct audit compliance effectively. In conclusion, the audit compliance
program has strategist function as an instrument to prevent forest and land fires based on
prevention policy theory as long as the prerequisite are fulfilled.

Key Words: Compliance Audit, Prevention Policy Theory, Compliance, Administrative


Enforcement, Land and Forest Fire.

I. Pendahuluan
Secara umum audit kepatuhan lingkungan hidup (environmental auditing)
didefinisikan sebagai:

“Environmental auditing is essentially an environmental management tool for


measuring the effects of certain activities on the environment against set criteria
or standards.”2

Definisi tersebut berbeda dengan analisis dampak lingkungan (environmental


impact assessment) yang dilakukan sebelum kegiatan usaha terlaksana dan
berisi perkiraan dampak dari kegiatan tersebut.3 Pelaksanaan audit kepatuhan
tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah secara langsung, seperti program
audit kepatuhan yang dilakukan oleh Environmental Protection Authority (EPA)
Australia terhadap kegiatan industri dengan resiko tinggi yang ditentukan oleh

2 https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/page_14.
htm diakses pada 24 Juli 2017
3 https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/page_14.
htm diakses pada 24 Juli 2017

32
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

pemerintah.4 Selain itu, audit kepatuhan juga dapat dilakukan secara mandiri oleh
korporasi baik dengan menunjuk pihak ketiga ataupun dilakukan sendiri oleh
korporasi dengan standar pelaksanaan yang sudah ditentukan oleh pemerintah
sebagaimana diterapkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika
Serikat.5 Pada bidang lain, pedoman untuk melakukan audit mandiri dilakukan
pula di Inggris dalam pencegahan tindak pidana korupsi sebagaimana diterapkan
sesuai pedoman prinsip-prinsip adequate procedure yang bahkan dapat digunakan
sebagai pembelaan ketika tindak pidana terjadi.6

Pada perkembangannya, di Indonesia, mewacana konsep audit kepatuhan


terpadu yang secara tujuan mirip dengan audit kepatuhan lingkungan hidup
(environmental auditing). Secara definisi, audit kepatuhan terpadu adalah audit yang
dilakukan oleh pemerintah melalui tim terpadu lintas kementerian/lembaga serta
ahli dalam rangka mendapatkan gambaran secara menyeluruh tingkat kepatuhan
objek audit. Berdasarkan pelaksanaan yang pernah dilakukan, objek dari audit
kepatuhan tersebut dapat dilakukan terhadap korporasi maupun pemerintah
daerah.7 Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada audit kepatuhan
terpadu dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang selanjutnya disebut
sebagai audit kepatuhan terpadu.

Berdasarkan objek maupun pelaksana, audit kepatuhan terpadu berbeda


dengan konsep audit lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh auditor
lingkungan hidup dengan objek korporasi sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).8
Akan tetapi, secara prinsip, audit kepatuhan terpadu dan audit lingkungan hidup
memiliki tujuan yang sama karena dilakukan pada saat korporasi tersebut telah
beraktivitas (ex post) bukan sebelum aktivitas dilakukan (ex ante).9
4 Sophie Martin, Epa Industry Compliance Audit Report For The Surface Coating Sector, (Adelaide: EPA,
2008), hlm. 1-3
5 https://www.epa.gov/compliance/audit-protocols diakses pada tanggal 8 Juni 2017
6 Adequate procedure adalah 6 (enam) prinsip pencegahan yang wajib dilaksanakan oleh ko-
rporasi dalam mencegah korupsi. Lihat : Nicholls QC, Colin et al., Corruption and Misuse of
Public Office: Second Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2011), hlm. 89
7 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, Ringkasan Eksekutif (Executive Summary) Audit Kepatu-
han Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Riau, (Jakarta: BP
REDD+, 2014), hlm. 4-5
8 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, ps. 49 – 51.
9 Ibid., ps. 1 angka 28.

33
LAKSO ANINDITO

Untuk mendalami hal tersebut, tulisan ini akan menggunakan pendekatan


Teori Kebijakan Pencegahan (prevention policy theory) yang dikembangkan oleh Ian
Gough dalam menguji peranan audit kepatuhan terpadu sebagai upaya intervensi
pemerintah dalam melakukan pencegahan. Sedangkan, pada lingkup yang lebih
detail yang melihat audit kepatuhan terpadu sebagai bagian dari penegakan
hukum administrasi untuk mendorong kepatuhan, digunakan pendekatan Albert
J. Reiss jr.

II. Peranan Audit Kepatuhan Terpadu

Keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan tujuan utama


dari dilakukannya audit kepatuhan terpadu. Untuk dapat mengukur peranan
dari audit kepatuhan terpadu tersebut dalam mencegah kebakaran hutan dan
lahan, diperlukan adanya pemahaman yang sama mengenai ukuran pencegahan.
Menurut Ian Gough pencegahan tidak dapat ditafsirkan secara langsung sesuai
definisi yang ada dalam kamus yang membatasi hanya pada menghentikan sesuatu
sehingga tidak terjadi. Akan tetapi, harus dilihat dari konteks tujuan dilakukannya
pencegahan yang didasarkan pada kondisi faktual sesuatu yang harus dicegah
dan dalam tahapan apa pencegahan tersebut dilakukan.10 Pada konteks tersebut,
pencegahan dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: pencegahan dalam konteks
primer, sekunder dan tersier. Primer adalah tujuan utama dari pencegahan
sebelum terjadi. Sekunder adalah upaya mitigasi efek dari hal yang sudah terjadi
khususnya pada kelompok tertentu. Sedangkan, tersier adalah mencegah dampak
yang lebih besar dari dampak yang tidak mungkin dihindari (Lihat Tabel 1).11

10 Ian Gough (a), Understanding prevention policy: A theoretical approach, (London:LSE,


2013), hlm. 2

34
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Sesuai dengan tabel tersebut, perlu dilakukan pendalaman untuk melihat


posisi audit kepatuhan terpadu dalam tahapan pencegahan kebakaran hutan dan
lahan (primer, sekunder dan tersier). 12 Pada level primer, perlu diuji apakah audit
kepatuhan terpadu dapat mencegah kejahatan dengan memodifikasi keadaan fisik
dan/atau lingkungan sosial sehingga kebakaran dapat dicegah sebelum terjadi.
Pada konteks sekunder, pada kondisi faktual kebakaran hutan dan lahan yang pasti
terjadi disetiap tahunnya dengan tingkat luas kebakaran berbeda-beda, apakah
audit kepatuhan terpadu mampu mengindentifikasi resiko serta menganalisis
faktor-faktor penyebabnya sehingga pencegahan dapat dilakukan dalam konteks
mitigasi untuk mencegah dampak. Pendekatan sekunder biasanya digunakan
pada konteks kondisi yang sedang terjadi tetapi untuk menghidari dampak, seperti
perubahan iklim yang sedang terjadi sehingga dapat dilakukan langkah-langkah
pencegahan segera agar tidak terjadi secara meluas.13 Pada level tersier, apakah
audit kepatuhan dapat menghentikan dampak yang saat pencegahan dilakukan
sudah terjadi dan dampaknya tidak mungkin dihindari. Sebagai contoh: kebakaran
sedang terjadi secara meluas. Untuk melihat posisi dan peranan audit kepatuhan
terpadu melalui pendekatan tersebut, maka perlu dilihat pelaksanaan audit
kepatuhan terpadu yang sudah pernah dilakukan baik pada tataran pelaksanaan
maupun konsep yang melandasi pelaksanaan audit kepatuhan.

12 Anna Coote menggunakan istilah Upstream, Midstream dan Downstream, silahkan lihat A
Coote, The Wisdom of Prevention (London: nef, 2012) hlm.9-11
13 Ian Gough (b),Climate Change and Public Policy Futures, A Report Prepared for the British
Academy, (London : The British Academy, 2011) hlm. 31-34

35
LAKSO ANINDITO

Pada tahun 2014, pemerintah melakukan audit kepatuhan terpadu sebagai


salah satu langkah melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Audit
kepatuhan terpadu tersebut dilakukan oleh tim lintas Kementerian/Lembaga
yang terdiri dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP-PPP), Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+),
Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan
Hidup.14 Pelaksanaan audit kepatuhan tersebut didukung pula oleh Kepolisian,
Kejaksaan dan Pemerintah Daerah yang memberikan askes data, informasi dan
pengamanan saat dibutuhkan. Melalui pelaksanaan audit kepatuhan tersebut,
terdapat beberapa manfaat pelaksanaan audit kepatuhan terpadu tersebut dalam
mencegah kebakaran hutan dan lahan dihubungkan dengan pencegahan dalam
tahap primer, sekunder dan tersier.

Pertama, mengukur kepatuhan objek audit dalam pencegahan kebakaran


hutan dan lahan. Secara konsep, pelaksanaan audit kepatuhan terpadu berperan
penting untuk mengukur apakah perusahaan dan pemerintah daerah sudah
melakukan upaya optimal dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Pengetahuan tingkat kepatuhan tersebut dapat ditindaklanjuti dengan mendorong
perusahaan untuk melakukan upaya segera sebelum kondisi rawan kebakaran
baik yang diakibatkan dari kondisi alam, seperti: keadaan cuaca yang mendorong
mudahnya terjadi kebakaran,15 maupun diakibatkan kondisi bukan alam, seperti:
musim tanam. Kondisi rawan tersebut menjadikan kebakaran hutan dan lahan
mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk terjadi setiap tahunnya.16 Untuk itu,
data dan informasi memiliki fungsi penting untuk mencegah agar tidak terjadi
dengan skala meluas dan masif dengan berhasilnya dilakukan pemetaan data dan
informasi pada objek tertentu sebagai bahan intervensi pemerintah.

Tujuan audit kepatuhan untuk memperoleh informasi dan data terkait


kepatuhan korporasi dilakukan pula di negara lain, sebagai contoh adalah salah
satu dari tujuan pelaksanaan audit kepatuhan di New South West, Australia, yaitu:

14 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, Ringkasan Eksekutif… (n6) hlm. 3-5


15 Lihat https://www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2014/838/KEKERINGAN-TA-
HUN-2014-NORMAL-ATAUKAH-EKSTRIM/1653 diakses pada tanggal 3 Agustus 2017
16 Andrew P. Vadya, Explaining Indonesian Forest Fires: Both Ends of the Firestick dalam
D.G. Bates and J. Tucker (eds.), Human Ecology: Contemporary Research and Practice, (NY,
Spinger, 2010) hlm. 19

36
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

“…improving compliance with legislative requirements…, ensuring that


statutory instruments are robust and are appropriately used to achieve desired
environmental and conservation outcomes…”17

Secara praktek, hasil pelaksanaan audit kepatuhan terpadu pada tahun 2014
yang mampu menggambarkan tingkat kepatuhan kegiatan usaha pada 17 (tujuh
belas) konsesi yang dimiliki 15 (lima belas) korporasi yang pernah terdeteksi
terdapat kebakaran diwilayahnya. (lihat Diagram 1 dan Diagram 2).

Diagram 1. Hasil Penilaian Tingkat Kepatuhan Perusahaan di 5 (lima) konsesi


Perkebunan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan18

Diagram 2. Hasil Penilaian Tingkat Kepatuhan Perusahaan Kehutanan di 12 (dua belas)


Konsesi Korporasi Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

17 Departement of Environment and Conservation Team, Audit Compliance Handbook, (NSW:


DEC, 2006). Hlm. 1-2
18 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, Ringkasan Eksekutif… (n6) Hlm. 5-6

37
LAKSO ANINDITO

Pelaksaaan audit kepatuhan terpadu tersebut menunjukan bahwa seluruh


perusahaan baik perkebunan dan kehutanan belum memenuhi standar minimal
dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.19 Melalui pengukuran tersebut
maka tim terpadu dapat melakukan indentifikasi kewajiban yang harus dilakukan
oleh perusahaan secara mendetail masing-masing perusahaan yang harus dipenuhi
dalam jangka waktu tertentu.20

Data dan informasi tersebut penting untuk mencegah terjadinya kejahatan


dengan memotong salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan
secara sistematis serta meluas dengan memastikan kepatuhan korporasi. Sesuai
dengan salah satu elemen penting dalam teori pencegahan adalah dengan
mencegah salah satu penyebab kejahatan tersebut dilakukan.21

Kedua, penegakan hukum administrasi. Data dan informasi yang didapat


dari audit kepatuhan terpadu dapat digunakan sebagai informasi awal bagi
pemerintah daerah maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
untuk melaksanakan penegakan hukum administrasi apabila diperlukan untuk
mencegah kebakaran hutan dan lahan. Kewenangan tersebut sebagai bagian dari
lingkup pengawasan untuk memastikan korporasi melakukan kewajibannya
sesuai rekomendasi.22

Melalui penegakan hukum adminsitrasi tersebut maka dapat dipastikan


ketaatan korporasi untuk menindaklanjuti hasil temuan tim terpadu sebelum
tindak pidana terjadi. Mengingat proses audit kepatuhan terpadu melibatkan
pula aparatur yang memiliki kewenangan dalam pengawasan lingkungan
hidup sehingga mempunyai kewenangan dalam melakukan penegakan hukum
administrasi. Hal tersebut selaras dengan tujuan penegakan hukum, khususnya

19 Dari 5 (lima) perusahaan perkebunan yang diaudit, 1 perusahaan tergolong sangat tidak
patuh (18,50 % dari 97 kewajiban) dan 4 (empat) perusahaan tergolong tidak patuh
(antara 23 % sampai 48 % dari 97 kewajiban). Lebih lanjut, Perusahaan Kehutanan :
Dari 12 (tujuh belas) konsesi yang diaudit 1 (satu) konsesi perusahaan tergolong sangat
tidak patuh (7,22% dari 122 kewajiban), 10 (sepuluh) konsesi perusahaan tergolong tidak
patuh (antara 26, 19 % sampai 47, 54 % dari 122 kewajiban) dan 1 (satu) konsesi perusahaan
tergolong kurang patuh (52, 38 % dari 122 kewajiban).
20 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, op.cit., hlm. 6-7.
21 Lihat Nick Tilley dan Aiden Sidebottom terkait Theory for Crime Prevention dalam Nick
Tilley dan Aiden Sidebottom (ed). Handbook of Crime Prevention and Community Safety.
(London dan New York: Routledge, 2017) hlm. 8-10
22 Indonesia (a), op.cit., ps. 76 dan ps. 77

38
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

dalam tujuan untuk mendorong kepatuhan sesuai pendapat Albert Reiss Jr., yaitu:

“Compliance and deterrence strategies of law enforcement have different objectives.


The principal objective of compliance law enforcement is to secure conformity
with law by resorting to means that induce conformity or by taking actions
to prevent law violations without the necessity of detecting, processing, and
penalizing violators. The principal objective of deterrence law enforcement is to
secure conformity with the law by detecting violations of the law, determining
who is responsible for the violations, and penalizing violators to inhibit future
violations by those who are punished and to inhibit those who might be inclined
to violate the law if violators were not penalized. There are two principal types of
compliance strategies of law enforcement, one based on incentives to comply, and
the other on threats to invoke penalties for noncompliance unless actions to comply
are taken. Compliance is voluntary in incentive-based systems whereas it is to
some degree coerced in threat based systems.”23

Sesuai pendapat Reis tersebut, bahwa terdapat perbedaan tujuan prinsip dari
penegakan hukum yang berorientasi pada kepatuhan dan efek jera. Kepatuhan
menekankan pada mendorong kepatuhan terhadap hukum dengan menggunakan
sarana untuk mendorong kesesuaian hukum atau dengan mengambil tindakan
untuk mencegah pelanggaran hukum tanpa keharusan menghukum pelaku
melalui penghukuman yang menimbulkan efek jera melalui pemidanaan.
Sedangkan, efek jera menekankan pada mendorong kepatuhan melalui proses
penghukuman terhadap pelaku untuk mencegah kembali terjadinya pelanggaran
hukum. Selain itu, meminimalisir kemungkinan pelaku untuk melakukan
kejahatan.24 Tujuan penegakan hukum yang berorentasi pada kepatuhan adalah
mengutamakan perlindungan lingkungan hidup dengan mendorong kepatuhan
melalui pendekatan penegakan hukum administrasi, sebagaimana diungkapkan
Mas Achmad Santosa, yaitu:

23 Albert J. Reiss Jr., Consequences Of Compliance And Deterrence Models of Law Enforcement
For The Exercise of Police Discretion, Duke University School of Law Journal of Law and Con-
temporary Problems, Volume 47, No.4, (Durham: Duke University School of Law, 1984), hlm.
91-92
24 Brandon C. Welsh dan David D Farrington, Crime Prevention and Public Policy dalam The Ox-
ford Handbook of Prevention. (New York: Oxford University Press, 2011), hlm. 4

39
LAKSO ANINDITO

“Diskusi mengenai teori/argumentasi pendekatan compliance versus deterrence


ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa dalam konteks perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, pendekatan compliance harus lebih diutamakan
dibandingkan dengan pendekatan deterrence... Oleh sebab itu, pendekatan ultimum
remedium (pendekatan penegakan hukum administrasi didahulukan sebelum
diterapkan penegakan hukum pidana) yang dipersyaratkan oleh Pasal 100 UU No. 32
Tahun 2009 tentang PPLH merupakan pendekatan yang sudah benar dan tepat.”25

Ketiga, pemetaan akar permasalahan dan perumusan kebijakan. Pelaksanaan


audit kepatuhan terpadu juga dapat dikembangkan untuk memahami akar
permasalahan dari kebakaran hutan dan lahan. Hasil observasi yang dilakukan
di lapangan dan interaksi dengan pemangku kepentingan dapat menghasilkan
data dan informasi yang relevan dalam memahami akar permasalahan kebarakan
hutan dan lahan. Sebagai contoh, pada audit kepatuhan terpadu kebakaran hutan
dan lahan tahun 2014, beberapa akar persoalan yang muncul karena kebijakan
perlindungan lahan gambut tidak memadai, perencanaan tata ruang bermasalah,
konflik agraria yang terkait dengan kebakaran, komitmen korporasi yang rendah
dalam menyediakan sarana dan prasarana pencegahan, sampai dengan sarana
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) oleh pemerintah daerah yang belum jadi
prioritas.26 Persoalan-persoalan tersebut menghasilkan 9 (sembilan) rekomendasi,
yaitu: 1) perbaikan kebijakan perlindungan di kawasan rawan kebakaran baik
dari hulu sampai hilir; 2) evaluasi konsensi korporasi didasarkan kesanggupan
korporasi dalam menjaga kawasannya; 3) Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah
dalam Resolusi Konflik; 4) penguatan sistem informasi karhutla; 5) penguatan
legislasi khususnya terkait pedoman kewajiban pencegahan kebakaran hutan dan
lahan; 6) penguatan pengawasan berjenjang melalui optimalisasi pengawas daerah;
7) pemberdayaan Masyarakat sekitar korporasi oleh korporasi dalam pencegahan
kebakaran; 8) Dukungan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dan Insentif Lain
bagi Masyarakat yang tidak membakar; dan 9) dukungan alokasi anggaran yang
memadai serta tepat sasaran dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan.27

25 Mas Achmad Santosa, Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Dalam Perlindungan


Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia: Studi Kasus Di Provinsi Jawa Tengah,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 2014) hlm. 73-74
26 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, op.cit., hlm. 8-11.
27 Loc.cit., hlm. 12-15

40
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Pada tingkat korporasi, mendorong agar korporasi melakukan langkah-


langkah perbaikan sebelum terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Sebagai contoh,
kewajiban perusahaan membangun menara dan mengatur tingkat ketinggian air
dilahan gambut. Pada tingkat perumusan kebijakan, diharapkan pemerintah pusat
dan daerah melakukan kebijakan tertentu, seperti evaluasi konsesi audit sehingga
kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah.

Berdasarkan ketiga manfaat tersebut, maka tergambarkan bahwa audit


kepatuhan terpadu berperan dalam konteks pencegahan sekunder (mitigasi). Hal
tersebut didasarkan beberapa alasan. Pertama, sebagaimana penjelasan pertama,
potensi kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir disetiap tahun. Langkah
yang dilakukan adalah untuk mencegah agar keadaan rawan kebakaran tidak
menjadikan kebakaran hutan dan lahan terjadi meluas karena adanya prilaku dari
korporasi maupun pelaku lainnya. Kedua, sebagaimana peranan pertama dan
ketiga, audit kepatuhan terpadu mampu memetakan resiko dari potensial pelaku
korporasi maupun dari sisi tata kelola yang membuat kebakaran yang terjadi secara
sistematis dan meluas sehingga dapat dilakukan pencegahan. Ketiga, data dan
informasi tersebut digunakan untuk melakukan intervensi pemerintah baik berupa
penegakan hukum administrasi, kebijakan tata kelola atau tindakan lainnya.

III. Konsep Pertanggungjawaban Korporasi dan Pemenuhan Kepatuhan

Dasar dari pelaksanaan audit kepatuhan adalah untuk mengukur kepatuhan


korporasi dalam menjalankan kewajibannya dalam mencegah kebakaran di
wilayah konsensinya. Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh apa kewajiban
korporasi dalam melakukan pencegahan. Untuk itu, konsep pertanggungjawaban
korporasi ini menjadi hal penting untuk dapat mengetahui sejauh apa kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh korporasi sehingga akan menentukan pula ukuran
kepatuhan dalam pelaksanaan audit kepatuhan terpadu.

Legislasi kehutanan mewajibkan perusahaan kehutanan untuk mencegah


kebakaran di wilayah kerja sesuai izin yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan
Undang-Undang Tentang Kehutanan (UU Kehutanan)28 sebagai berikut:
28 Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kehutanan, UU No. 41 Tahun 1999, sebagaimana di-

41
LAKSO ANINDITO

“Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam
areal kerjanya.”29

Kewajiban tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa:

“Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan


dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.”30

Apabila dihubungkan antara bunyi pasal dan penjelasan maka perusahaan


kehutanan mempunyai kewajiban untuk melindungi areal kerjanya dari
kebakaran hutan. Artinya korporasi mempunyai kewajiban untuk melakukan
langkah-langkah dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Lebih
lanjut, pada sisi pertanggungjawaban atas tidak terlaksananya kewajiban, terdapat
penegasan mengenai pertanggungjawaban korporasi sebagaimana diatur dalam
UU Kehutanan, sebagai berikut:

“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di
areal kerjanya”31

Pengaturan tersebut meletakkan beban pertanggungjawaban atas terjadinya


kebakaran di areal kerja korporasi kepada korporasi tanpa secara tegas mengatur
perlunya pembuktian siapa yang melakukan pembakaran. Konsep yang sebenarnya
mirip dengan konsep tanggung jawab seketika (strict liability). Walaupun
pengaturan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai tanggungjawab seketika
(strict liability) karena tidak mengatur secara jelas bentuk pertanggungjawabannya
apakah pidana, perdata atau administratif serta sejauh apa korporasi harus
bertanggungjawab. Konsep stirict liability tersebut akan dibahas kemudian.

Oleh karena itu, UU Kehutanan menempatkan tanggungjawab korporasi tidak


terbatas pada tindakan aktif dari korporasi untuk membakar wilayahnya, tetapi
sikap pasif dengan tidak mencegah menjadikan korporasi bertanggungjawab.

ubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, LN No. 86 Tahun 2004, LN No. 29 Tahun 2004.
29 Ibid., ps. 48 ayat (3)
30 Ibid.
31 Ibid., ps. 49.

42
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Sebagai contoh: pertanggungjawaban bukan hanya untuk tindakan perusahaan


untuk membuka kawasan (land clearing), tetapi temasuk juga sikap pasif (omission)
untuk tidak melakukan tindakan pencegahan yang optimal sehingga terjadinya
kebakaran. Hal tersebut menunjukan bahwa legislasi kehutanan melihat kewajiban
korporasi pada keberhasilan dari melakukan pencegahan berbasis dampak (materil)
yaitu memastikan tidak terjadinya kebakaran. Walaupun sudah menyediakan
sarana dan prasarana pencegahan kebakaran hutan, korporasi tetap dapat
dimintakan pertanggungjawaban apabila kebakaran terjadi sehingga upaya yang
dilakukan oleh korporasi harus sedemikian rupa sehingga kebakaran tidak terjadi.

Pendekatan legislasi perkebunan memliki pendekatan yang berbeda. Hal


tersebut sesuai Undang Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU
Perkebunan),32 yaitu:

“(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan
dengan cara membakar. (2) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki
sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun.”33

Kewajiban dalam UU Perkebunan tersebut bersifat larangan membakar


dalam melakukan pembukaan lahan (land clearing) serta kewajiban bagi korporasi
untuk memiliki sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan
kebun sebagaimana UU Kehutanan. Selain itu, UU Perkebunan menyebutkan
mengenai kewajiban perusahaan dalam melakukan pelestarian lingkungan tetapi
tidak menjelaskan mengenai tanggungjawab korporasi ketika terjadi kebakaran
diwilayahya. Legislasi terbatas pada kewajiban penyediaan sarana, prasarana,
dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya
kebakaran, sebagaimana berikut:

“Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), sebelum memperoleh izin Usaha Perkebunan, Perusahaan
Perkebunan harus: … c. membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan
sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk
menanggulangi terjadinya kebakaran.”34

32 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Perkebunan, UU Nomor 39 Tahun 2014, LN No. 308
Tahun 2014, TLN No. 5613.
33 Ibid., ps. 56 ayat (1) dan (2).
34 Ibid., ps. 67 ayat (3).

43
LAKSO ANINDITO

Ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas mengenai pembebanan


pertanggungjawaban kepada korporasi apabila terjadi kebakaran pada areal
kerjanya selama korporasi sudah menyediakan pencegahan kebakaran lahan dan
kebun yang memadai, tanpa penjelasan lebih lanjut ukuran memadai. Hal tersebut
berpotensi menimbulkan dua tafsir pada ukuran “memadai”. Tafsir pertama, ukuran
memadai dinilai dari keberhasilan sarana dan prasarana tersebut dalam mencegah
kebakaran hutan dan lahan sehingga bersifat materil. Sedangkan, tafsir kedua,
ukuran memadai mengikuti ukuran tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah
yang menyebabkan tafsirnya menjadi bersifat formil. Dampaknya adalah apabila
ditafsirkan secara formil, selama perusahaan perkebunan sudah mengikuti
ketentuan mengenai ukuran “memadai” yang diwajibkan oleh pemerintah dan
terjadi kebakaran lahan dan kebun maka menurut ketentuan undang-undang
perkebunan, perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Kelemahan pendekatan UU Perkebunan tersebut terjawab dalam legislasi


lingkungan hidup yang mengatur lintas sektor, mulai dari pertambangan,
kehutanan sampai perkebunan. UU PPLH mengatur bahwa:

“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a.


memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga
keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku
mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”35

Ketentuan tersebut mewajibkan korporasi untuk menjaga keberlanjutan fungsi


lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Lingkup kriteria baku mutu
kerusakan lingkungan termasuk juga kebakaran hutan dan lahan.36 Pembebanan
tersebut dipertegas dengan adanya pertanggungjawaban korporasi baik secara
perdata, pidana maupun administratif. Untuk perdata, bahkan menggunakan
pendekatan tanggungjawab seketika bersifat mutlak (strict liability), yaitu:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan


B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
35 Indonesia (a), op.cit., ps. 68.
36 Ibid., ps. 21 ayat (3).

44
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”37

Artinya apabila kebakaran hutan dan lahan terjadi di wilayah korporasi,


korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa melihat siapa yang
melakukan pembakaran. Konsep strict liability merupakan konsep pembebanan
pertanggungjawaban tanpa pembuktian elemen kesalahan yang berangkat
dari kebutuhan melindungi masyarakat dari kejahatan tertentu yang sulit
pembuktiannya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Richard G. Singer dan
John Q. La Fond, sebagai berikut:

“The courts here relied on two main premises: (1) legislature were unrestrained
in their ability to proscribe conduct and did not have to require mens rea (a
jurisprudential philosophy known as legal positivism); (2) there was a compelling
need to protect society, particularly minors, against such evils (sex, liquor, etc),
and it was too hard to prove mens rea.

During the first half of the twentieth century, some courts applied these
decisions to newly enacted “regulatory” statutes, such as those prohibiting… (3)
environmental damage”38

Pada pendekatan pidana, korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban


apabila gagal dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan sehingga menimbulkan
dampak baik karena secara aktif membakar, mendiamkan kebakaran dan tidak
melaksanakan kewajiban pencegahan (omission)39 maupun kelalaian40. Hal tersebut
mengingat bahwa kewajiban dalam pencegahan kebakaran merupakan kewajiban
hukum (legal obligation) sehingga tidak dilakukannya pencegahan menjadikan
perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai dengan sengaja tidak melakukan
(omission).41 Di Indonesia, hal tersebut selaras, berdasarkan pertimbangan hakim
agung dalam putusan PT Kalista Alam :

“…Bahwa dan segi kesalahan perusahaan tidak menyediakan sarana dan


prasarana dapat dikategorikan dengan sengaja…”42
37 Ibid., ps. 88.
38 Richard G. Singer dan John Q. La Fond, Criminal Law: Examples and Explanations, Sixth
Edition, (New York: Wolters Kluwer, 2013) hlm. 121
39 Indonesia (a), op.cit., ps. 98.
40 Ibid., ps. 99.
41 Richard G. Singer dan John Q. La Fond, op.cit., hlm. 39.
42 Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015 dengan Terpidana PT Kalista Alam

45
LAKSO ANINDITO

Melalui berbagai pendekatan berbagai undangan tersebut, terdapat kemiripan


dari UU Kehutanan dan UU PPLH dalam melihat pertanggungjawaban korporasi
dengan pertanggungjawaban yang bersifat materil. Perbedaan terdapat pada UU
Perkebunan yang bersifat formil. Akan tetapi, sebagaimana penjelasan sebelumnya,
UU PPLH menjadi rujukan utama karena mengatur secara lebih khusus dari
berbagai legislasi yang khusus (systematische specialiteit) yaitu UU Perkebunan
maupun UU Kehutanan karena kebakaran hutan dan lahan merupakan ranah
secara dampak masuk dalam lingkup lingkungan hidup sehingga diutamakan
dibandingkan kedua legislasi lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
pencegahan kebakaran hutan maupun lahan terhadap korporasi bersifat materil
baik terhadap perkebunan maupun kehutanan karena adanya legislasi lingkungan
hidup. Melalui pencegahan yang bersifat materil tersebut, korporasi diwajibkan
untuk melakukan pencegahan yang memastikan tidak terjadinya kebakaran.
Pedoman kewajiban pencegahan yang diterbitkan pemerintah hanya bersifat
sebagai pedoman standar minimal. Apabila terdapat kondisi tertentu (lokasi, jenis
tanah gambut dan lain-lain) dan berdasarkan analisis resiko korporasi diperlukan
upaya lebih dari pedoman yang dibentuk pemerintah maka upaya tersebut harus
dilakukan.

IV. Landasan Kewenangan Pelaksanaan Audit Kepatuhan Terpadu

Dasar hukum dari kewenangan pemerintah dalam melaksanakan audit


kepatuhan terpadu menjadi hal yang menarik dibahas, mengingat ketentuan yang
spesifik mengenai hal tersebut secara spesifik tercantum dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan (Peraturan Menteri LHK tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan).43 Sedangkan, pelaksanaan audit kepatuhan terpadu pada tahun 2014
didasarkan pada keputusan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP PPP) dengan merujuk pada UU PPLH.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua isu, yaitu: dasar hukum dari audit

43 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehu-
tanan Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Permen LHK No. P.32/MenLHK/
Setjen/Jum.1/3/2016, ps. 105.

46
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

kepatuhan terpadu sebagai instrumen pencegahan kerusakan lingkungan hidup


dan tim terpadu yang melaksanakan audit kepatuhan terpadu tersebut.

Dasar hukum kewenangan pemerintah dalam melakukan audit kepatuhan


terpadu didasarkan pada legislasi lingkungan hidup. Berdasarkan UU PPLH,
Pemerintah mempunyai kewajiban sebagai berikut:

“(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup


dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c.
pemulihan.
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai
dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.”44

Sesuai dengan ketentuan tersebut, pemerintah memiliki kewajiban untuk


melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang
terdiri dari pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Untuk melaksanakan
kewajiban tersebut baik pencegahan, penanggulangan dan pemulihan dilakukan
melalui berbagai instrumen. Adapun instrumen-instrumen pencegahan tersebut
terdiri dari:

“Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri


atas: a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; d. kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup; e. amdal; f. UKL-UPL; g. perizinan; h. instrumen
ekonomi lingkungan hidup; i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan
hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup; k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/
atau perkembangan ilmu pengetahuan.”45

Instrumen tersebut terdiri dari 12 (dua belas) instrumen yang secara spesifik
ditentukan oleh undang-undang dan 1 (satu) instrumen yang dapat dikembangkan
oleh pemerintah. Instrumen audit kepatuhan terpadu tidak menjadi salah satu

44 Indonesia (a), op.cit., ps. 13.


45 Ibid.,ps. 14

47
LAKSO ANINDITO

instrumen yang secara spesifik disebutkan. Adapun, pengaturan yang ada hanyalah
audit lingkungan hidup. Perbedaannya, pada sisi pelaksana, audit kepatuhan
hanya dapat dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup yang dipekerjakan
oleh perusahaan baik dengan dipilih oleh perusahaan atau dipilih oleh menteri
apabila perusahaan tidak mau melakukan audit kepatuhan.46 Mengenai hal yang
diaudit, terbatas pada cara pandang auditor lingkungan hidup tanpa melihat
aspek lainnya yang terkait kebakaran hutan dan lahan secara komprehensif. Selain
itu, pada beberapa kasus rawan terjadi konflik kepentingan karena dibiayai oleh
perusahaan.

Peluang audit kepatuhan terpadu didasarkan dari turunan dari instrumen


ke-13 (ketiga belas) dari berbagai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup, yaitu:

“ .. m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu


pengetahuan.”

Instrumen tersebut memungkinkan pemerintah untuk membentuk instrumen


lain sesuai kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. Dari berbagai
hasil penelitian secara ilmiah, audit kepatuhan terpadu dibutuhkan untuk melihat
bukan hanya dari sudut pandang lingkungan hidup tetapi aspek lain lain, seperti:
kebijakan, tata kelola, kepentingan47 dan konflik sosial.48 Hal tersebut berangkat
dari kebutuhan dalam melihat persoalan kebakaran hutan dan lahan secara
komprehensif baik untuk mendorong kepatuhan maupun perbaikan kebijakan.

Secara teoritis, bukan hanya normatif undang-undang, landasan ilmiah dari


dilaksanakannya audit kepatuhan terpadu tersebut juga selaras dengan salah satu
landasan dalam pembuatan suatu kebijakan publik sebagaimana disampaikan Ian
Gouh. Secara teori, menurut Ian Gouh dengan mengutip hasil penelitian Richard
Freeman dan elaborasi yang dilakukannya bahwa kebijakan pencegahan didasarkan
dari dua pondasi utama. Pertama, pemahaman ilmiah terhadap penyebab dan efek
serta kemungkinan untuk memprediksi (scientific understandings of cause and effect
and the possibility of prediction). Audit kepatuhan terpadu berangkat dari kebutuhan

46 Ibid., ps. 48-51


47 Helena Varkkey. The Haze Pollutin Problem in Southeast: Palm Oil and Patronage Asia.
(London and New York: Routledge, 2016) hlm 18
48 Charles Victor Barber, Forests, Fires and Confrontation in Indonesia, (IISD, 2002), Hlm.110

48
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

audit dengan melihat aspek yang komprehensif sesuai ilmu pengetahuan


sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kedua, kebijakan pencegahan tersebut
diduga mempunyai kapasitas oleh pemerintah dalam melakukan intervensi yang
dapat dikontrol dalam kehidupan sosial (prevention policy presumes some capacity
for controlled intervention by government in social life).49 Pengambilan kebijakan audit
kepatuhan terpadu merupakan bagian dari intervensi dalam upaya mencegah
kebakaran hutan dan lahan khususnya dalam fungsi pencegahan sekunder
sebagaimana dibahas sebelumnya.

Selanjutnya, kewenangan untuk membetuk audit kepatuhan terpadu tersebut


teratribusi50 kepada Pemerintah. Sesuai dengan UU PPLH, kata “Pemerintah”
merujuk pada:

“Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden


Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”51

Berdasarkan hal tersebut, Presiden mendapatkan atribusi kewenangan dari


undang-undang untuk membentuk dan melaksanakan audit kepatuhan terpadu.
Pada pelaksanannya, sesuai dengan Peraturan Presiden Tentang Penataan Tugas
dan Fungsi Kabinet Kerja52 dan Peraturan Presiden Tentang Kedudukan, Tugas,
dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi
Eselon I Kementerian Negara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan53
mempunyai tugas membantu Presiden dalam urusan lingkungan hidup dan
kehutanan. Artinya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempunyai
kewenangan dalam perumusan dan penetapan kebijakan di bidang lingkungan
hidup yang dalam hal ini adalah audit kepatuhan terpadu. Kebijakan tersebut

49 Ian Gough (a), op.cit, hlm.3


50 Philupus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerin-
tahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Airlangga., 1994, hlm. 7
51 Indonesia (a), op.cit., ps. 1 angka 37
52 Presiden RI (a), Peraturan Presiden tentang Penataan Tugas Dan Fungsi Kabinet Kerja, Perpres
Nomor 165 Tahun 2014, ps. 5
53 Presiden RI (b), Peraturan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara
Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, Perpres No. Nomor
24 Tahun 2010, ps. 574 dan ps. 575.

49
LAKSO ANINDITO

dibentuk dalam Peraturan Menteri LHK tentang Pengendalian Kebakaran Hutan


dan Lahan.

Kesimpulannya, dasar kewenangan dalam pelaksanaan audit kepatuhan


terpadu didasarkan pada kewenangan pemerintah dalam membentuk instrumen
pencegahan (sebagai instrumen ke-13 (tiga belas)) didasarkan pada UU PPLH.
Sedangkan, pada tahap pelaksanaan diturunkan secara teknis dalam Peraturan
Menteri KLHK tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan walaupun
tidak mengatur secara detail bagamana tata cara pelaksanaannya secara detail.

V. Prasyarat Pelaksanaan Audit Kepatuhan

Terdapat beberapa prasyarat yang diperlukan dalam mewujudkan audit


kepatuhan terpadu secara optimal. Prasyarat tersebut terbagai dalam dua isu
utama, yaitu: tim terpadu dan perangkat yang digunakan untuk melakukan audit.
Tim terpadu terkait dengan kemampuan tim dalam melakukan indentifikasi
persoalan dan pengukuran kepatuhan secara objektif, independen, komprehensif
dan akuntabel. Sedangkan, perangkat yang digunakan adalah instrumen yang
digunakan sebagai panduan dan ukuran kepatuhan dari objek yang diaudit.

Tim terpadu yang berintegritas dan profesional memiliki fungsi penting dalam
melakukan audit kepatuhan. Untuk memenuhi hal tersebut dibutuhkan pemenuhan
beberapa syarat. Pertama, tim terpadu harus didasarkan dari keterpaduan keahlian
dan kewenangan yang relevan dengan sektor yang mempengaruhi pencegahan
kebakaran hutan dan lahan. Pelibatan ahli dari universitas maupun lembaga
riset yang menguasai bidang ilmunya memiliki fungsi penting untuk dilibatkan
sehingga proses audit kepatuhan dilakukan secara ilmiah dan menggunakan
metode yang tepat. Sebagai contoh, pada audit kepatuhan terpadu tahun 2014,
terdapat ahli yang memahami kebakaran hutan dan lahan, kerusakan tanah dan
hukum lingkungan hidup.54 Lebih lanjut, kewenangan dari Kementerian/Lembaga
54 Sesuai dengan Dokumen Audit Kepatuhan dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan
dan Lahan, ahli yang digunakan antara lain: Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hu-
tan dan lahan, serta Basuki Wasis, ahli kerusakan tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB)
memiliki peran penting dalam membangun instrumen audit sehingga audit dapat dilak-
sanakan sesuai dengan metode ilmiah. Hal tersebut diperkuat dengan tersedianya masukan
pemenuhan sesuai legislasi yang berlaku dari Mas Achmad Santosa yang saat itu sekaligus

50
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

yang dilibatkan memiliki fungsi penting sehingga temuan-temuan tersebut dapat


ditindaklanjuti sesuai kewenangannya. Sebagai contoh, pada audit kepatuhan
terpadu tahun 2014, pelibatan perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Kehutanan dan Kementerian Perkebunan memiliki peran untuk
mendukung fleksibilitas pelaksanaan audit terkait kewenangan yang melekat
padanya serta dukungan data serta informasi pendukung, seperti Amdal atau
UKL-UPL, yang dimiliki kementerian tersebut. Ke depan, perlu dipertimbangkan
pelibatan Kementerian Dalam Negeri karena memiliki kewenangan terkait
pemerintah daerah yang menjadi mitra sekaligus objek audit kepatuhan terpadu.

Kedua, integritas dan indepedensi pelaku audit. Menjadi hal penting bagi tim
audit untuk menghindarkan diri dari benturan kepentingan (conflict of interest).
Benturan kepentingan tersebut dapat terjadi dari 2 (dua) pendekatan. Pendekatan
pertama adalah pembiayaan. Pembiayaan yang dilaksanakan untuk mendukung
proses audit seharusnya harus bebas dari pembiayaan oleh korporasi dengan
tujuan menghindari konflik kepentingan. Apabila dikarenakan kondisi harus
menggunakan sarana korporasi, seperti pada kondisi audit yang dilakukan melalui
kanal dimana hanya korporasi yang memiliki kapal maka sedapat mungkin biaya
penggunaan kapal tetap dibayarkan oleh tim audit kepatuhan terpadu. Pendekatan
kedua adalah interaksi dengan objek audit kepatuhan dan kepentingan dari
kementerian/lembaga yang terlibat. Sebagai contoh, Kementerian Kehutanan
memiliki kewenangan dalam penerbitan izin dan mempunyai kepentingan dalam
mendorong industri kehutanan untuk dapat meningkatkan produksi. Di sisi lain,
Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan
hukum atas pelanggaran yang terjadi. Untuk itu, menjadi penting untuk melibatkan
Direktorat Jenderal yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum
administratif apabila audit melibatkan Direktorat Jenderal yang mendukung
pelaksanaan produksi dari industri kehutanan. Hal tersebut untuk memastikan
adanya masukan yang berimbang. Pada konteks ahli, pembacaan rekam jejak ahli
yang terlibat menjadi penting khususnya terkait interaksi dengan korporasi. Hal
tersebut untuk memastikan audit dilaksanakan secara berintegritas.

menjabat sebagai pengarah tim audit sekaligus Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Peren-
canaan dan Pengawasan Pembangunan (UKP PPP) dan ahli hukum lingkungan hidup dari
Universitas Indonesia.

51
LAKSO ANINDITO

Perangkat audit kepatuhan terpadu menjadi isu penting untuk memastikan


metode dan proses audit dilaksanakan secara objektif baik ukuran kepatuhan
maupun pemilihan objek audit. Perangkat audit kepatuhan harus dapat
mencerminkan segala aspek terkait kebakaran hutan dan lahan secara
komprehensip. Pada audit kepatuhan terpadu tahun 2014, audit dilakukan
dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu: aspek sistem dan kelembagaan,
aspek sarana prasarana dan sumber daya manusia serta aspek biofisik dan sosial
kemasyarakatan.

Aspek sistem dan kelembagaan digunakan untuk mengukur kesiapan


korporasi dalam membangun sistem yang digunakan untuk mencegah kebakaran
hutan dan lahan. Sebagai contoh, keberadaan Standard Operating Procedure (SOP)
dan pelaksanaan SOP tersebut secara teknis di lapangan sehingga tidak terbatas
hanya dokumen. Sedangkan, kelembagaan digunakan untuk melihat kesiapan
kelembagaan korporasi dalam mencegah dan menangani kebakaran hutan dan
lahan, seperti: kesediaan unit khusus yang memastikan kepatuhan korporasi dalam
mencegah kebakaran khususnya dalam membaca potensi rawan kebakaran baik
terkait faktor alam (contohnya: musim kemarau) maupun bukan alam (contohnya:
musim tanam serta masyarakat sekitar) serta kemampuan merumuskan langkah-
langkah yang dilakukan berdasarkan pembacaan kondisi tersebut.

Aspek sarana prasarana digunakan untuk mengukur kesediaan sarana


dan prasarana yang digunakan baik untuk mencegah maupun menanggulangi
kebakaran yang terjadi. Sebagai contoh, kesediaan alat pemantau titik api, kesediaan
sarana pemadam api dan keterbukaan akses untuk memadamkan api. Untuk itu,
kewajiban dihimpun dari adanya kewajiban dalam regulasi dan komitmen dalam
dokumen Amdal atau UKL-UPL.

Secara regulasi, standar sarana dan prasanana pencegahan dan penanggulangan


kebakaran hutan dan lahan belum secara terpadu diatur dalam satu regulasi di
Indonesia. Untuk itu, pada audit kepatuhan terpadu tahun 2014, kewajiban standar
minimal sarana dan prasarana pencegahan kebakaran dihimpun dari sedikitnya
12 (dua belas) regulasi untuk bidang kehutanan55 dan 8 (delapan) regulasi bidang
55 Dasar hukum untuk bidang kehutanan tersebut: a. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan; b. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pen-
gendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan atau Lahan; c. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun

52
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

perkebunan56. Berbagai regulasi tersebut yang menjadi dasar pembuatan standar


kepatuhan audit. 57

Untuk mengakomodir kebutuhan minimal sarana dan prasarana dengan


didasarkan analisis resiko yang diturunkan pada komitmen masing-masing
perusahaan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL korporasi tersebut. Hal
tersebut didasarkan pada kondisi bentang alam konsesi yang berbeda-beda
sehingga dokumen Amdal atau UKL-UPL menjadi media yang penting untuk
memperkirakan resiko dari aktivitas korporasi dan memastikan komitmen

2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Presiden Repub-
lik Indonesia; d. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 ten-
tang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; e. Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan; f. Keputusan Direktur Jen-
deral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 48/KPTS/DJ-VI/1997 tentang
Sistem Komando Pemadaman kebakaran Hutan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Pelestarian Alam; g. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestar-
ian Alam No. 243/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk teknis Pencegahan dan Penang-
gulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan Areal Penanggulangan
Lainnya; h. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No. 244/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan;
i. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 245/
KPTS/DJ-VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pemakaian Peralatan Pemadam Kebakaran
Peralatan Pemadam Kebakaran Hutan; j. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hu-
tan dan Pelestarian Alam No. 246/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Pembuatan dan
Pemasangan Rambu-Rambu Kebakaran Hutan; k. Keputusan Direktur Jenderal Perlindun-
gan Hutan dan Pelestarian Alam No. 247/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Standarisasi
Sarana Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan; dan l. Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 248/KPTS/DJ/VI/1994 tentang
Prosedur Tetap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan.
56 Dasar Hukum Kerangka Audit Bidang Perkebunan: a. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan; b. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian
Kerusakan dan atau Pedoman atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; c. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.
16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan; d. Per-
aturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme
Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; e Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/
OT.140/3/2011 tentang Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO); f. Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; g. Peraturan Menteri Pertanian No. 47/
Permentan/OT.140/4/2014 tentang Brigade dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan ser-
ta Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun; dan h. Pedoman Pengendalian Kebakaran
Lahan dan Kebun Direktorat Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan
Kementrian Pertanian Tahun 2010.
57 Tim Audit Kepatuhan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, Laporan Audit Kepatuhan
Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, (Jakarta: BP REDD+, 2014).

53
LAKSO ANINDITO

korporasi untuk memenuhinya sehingga kerusakan lingkungan hidup dapat


dicegah.

Mengenai sarana prasarana, menjadi catatan penting bahwa pemenuhan


sarana prasarana sesuai regulasi tidak berarti korporasi dapat melepaskan diri
dari pertanggungjawaban korporasi baik perdata maupun pidana apabila terjadi
kebakaran. Hal tersebut didasarkan tanggungjawab korporasi dalam pencegahan
kebakaran hutan dan lahan bersifat materil sesuai dengan pembahasan pada
pertanggungjawaban pidana korporasi. Adapun, penggunaan standar regulasi
dan Amdal atau UKL/UPL sebagai dasar audit adalah untuk menetapkan standar
yang sama dalam proses audit kepatuhan terpadu.

Aspek Biofisik dan sosial kemasyarakatan digunakan untuk mengevaluasi


persoalan dari kondisi biofisik dan sosial kemasyarakatan serta pengaruhnya
terhadap kebakaran hutan dan lahan. Aspek biofisik melihat apakah aktivitas
yang dilakukan oleh korporasi dilakukan di kawasan yang sesuai dengan legislasi
yang berlaku. Sebagai contoh, pengukuran kedalaman gambut di dalam wilayah
konsesi dihubungkan dengan kesesuaian legislasi perlindungan gambut serta
perlindungan flora dan fauna.

Aspek sosial kemasyarakatan menilai potensi konflik yang terjadi disekitar


konsesi. Kebakaran terkadang disebabkan oleh ketidakjelasan tata kelola kawasan
serta pemberian konsesi yang menyebabkan konflik sehingga pembukaan lahan
dengan menggunakan pembakaran terjadi di wilayah sengketa.

Berbagai instrumen tersebut dibentuk didasarkan pada pemikiran faktor-faktor


yang berpengaruh terhadap kesiapan dalam pencegahan kebakaran hutan dan
lahan. Selain itu, instrument-instrumen tersebut berperan untuk dapat memahami
persoalan pencegahan kebakaran hutan dan lahan secara komprehensif.

Menjadi hal penting untuk memastikan seluruh aspek tersebut dihitung secara
cermat melalui metode perhitungan yang terukur. Hal tersebut untuk memastikan
terciptanya proses audit yang akuntabel dan adil antar perusahaan yang menjadi
objek audit kepatuhan.

54
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Tabel 1. Contoh Bagian Hasil Perhitungan Pada Pelaksanaan Audit Kepatuhan 201458

4. Aspek biofisik 0,14 0,028


1. Kedalaman dan sebaran gambut 0,4 0
2 1 sesuai standar
tidak sesuai standar
2. Tata Kelola Air 0,4 0,2
3 1 sistem tata kelola air ada dan efektif
2 0,5 sistem tata kelola air ada namun tidak efektif
1 0 sistem tata kelola air tidak ada
3 Keragaman spesies flora dan fauna 0,2 0
total 0,2 2 1 sesuai standar
1 0 tidak sesuai
5 Aspek Sosial kemasyarakatan 0,091 0,015
1. Konflik Agraria 0,667 0
3 1 tidak ada konflik
2 0,5 ada konflik namun sudah di selesaikan dengan baik
1 0 ada konflik namun tidak di selesaikan dengan baik
2. Pola Kemitraan 0,333 0,167
total 0,167 3 1 ada kemitraan dan terbina dengan baik
0,3832 2 0,5 ada kemitraan namun tidak terbina dengan baik
38,32 0 tidak ada pola kemitraan

Penentuan objek audit memiliki peran penting juga untuk melaksanakan audit
pada objek yang tepat. Hal tersebut untuk mendorong objek audit yang berpotensi
terjadinya kebakaran dikonsesinya untuk patuh. Penentuan objek korporasi dan
pemerintah daerah yang menjadi objek didasarkan pada pembacaan sejarah
tingkat tingginya titik api maupun lokasi terbakar secara aktual. Hal tersebut
untuk memastikan adanya lokasi yang tepat dalam melakukan audit kepatuhan.

VI. Penutup

Audit kepatuhan terpadu yang dilaksanakan secara tepat dapat menjadi


salah satu instrumen yang efektif dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Hal tersebut terkait peran audit kepatuhan terpadu untuk mengukur kepatuhan
korporasi, sehingga dapat ditindaklanjuti segara untuk memastikan korporasi
memenuhi kewajibannya. Selain itu, audit kepatuhan terpadu berperan penting
untuk menjadi dasar informasi dan data dalam kerangka penegakan hukum
administrasi khususnya optimalisasi peran pengawasan pemerintah. Audit
kepatuhan terpadu juga menjadi dasar untuk menemukan akar permasalahan
sehingga dapat menjadi dasar perumusan kebijakan.

58 Tim Audit Kepatuhan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, op.cit., hlm. 35.

55
LAKSO ANINDITO

Untuk mendukung terciptanya audit kepatuhan terpadu, perlu dipenuhi


prasyarat baik terkait dengan tim terpadu yang melaksanakan audit maupun
instrumen yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan audit kepatuhan.
Pemilihan objek audit dengan mempertimbangkan resiko maupun sejarah objek
audit juga menjadi penting untuk membangun audit kepatuhan yang adil.

Ke depan, pelaksanaan audit kepatuhan sudah seharusnya dilaksanakan secara


rutin dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Hal tersebut untuk
memastikan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan menjadi optimal serat
memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam mencegah kebakaran hutan dan
lahan.

56
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Tulisan

Albert J. Reiss Jr. 1984. Consequences Of Compliance And Deterrence Models of


Law Enforcement For The Exercise of Police Discretion, Duke University School
of Law Journal of Law and Contemporary Problems, Volume 47, No.4.
Durham: Duke University School of Law
Philupus M. Hadjon. 1994. Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar
Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Airlangga.
Barber, Charles Victor. 2002. Forests, Fires and Confrontation in Indonesia. IISD
Departement of Environment and Conservation Team. 2006. Audit Compliance
Handbook. NSW: DEC.
Sophie Martin. 2008. EPA Industry Compliance Audit Report for The Surface Coating
Sector. Adelaide: EPA.
Tucker, J. and Bates, D.G (eds.). 2010. Human Ecology: Contemporary Research
and Practice. New York: Spinger.
Nicholls QC, Colin et al. 2011. Corruption and Misuse of Public Office: Second Edition.
Oxford: Oxford University Press.
Brandon C. Welsh dan David D Farrington (eds.). 2011. Crime Prevention and Public
Policy dalam The Oxford Handbook of Prevention. New York: Oxford University
Press.
Gough, Ian. 2011. Climate Change and Public Policy Futures, A Report Prepared for the
British Academy. London: The British Academy.
Coote, A. 2012. The Wisdom of Prevention. London: nef.
Gough, Ian. 2013. Understanding prevention policy: A theoretical approach. London:
London School of Economic and Political Science
Richard G. Singer dan John Q. La Fond. 2013. Criminal Law: Examples and
Explanations, Sixth Edition. New York: Wolters Kluwer.
Mas Achmad Santosa. 2014. Efektivitas Penegakan Hukum Administrasi Dalam
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia: Studi Kasus Di
Provinsi Jawa Tengah. Jakarta: Universitas Indonesia.

57
LAKSO ANINDITO

Tim Audit Kepatuhan Terpadu. 2014. Ringkasan Eksekutif (Executive Summary) Audit
Kepatuhan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi
Riau. Jakarta: BP REDD+.
Tim Audit Kepatuhan. 2014. Laporan Lengkap Audit Kepatuhan Dalam Rangka
Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Jakarta: BP REDD+.
Helena Varkkey. The Haze Pollutin Problem in Southeast: Palm Oil and Patronage
Asia. (London and New York: Routledge, 2016)
Nick Tilley dan Aiden Sidebottom (eds.). 2017. Handbook of Crime Prevention and
Community Safety. London dan New York: Routledge
https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/
page_14.htm diakses pada tanggal 24 Juli 2017
https://www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2014/838/KEKERINGAN-
TAHUN-2014-NORMAL-ATAUKAH-EKSTRIM/1653 diakses pada tanggal
3 Agustus 2017
https://www.epa.gov/compliance/audit-protocols diakses pada tanggal 8 Juni 2017

Peraturan dan Putusan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah


dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang
Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan
atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran
Hutan dan atau Lahan
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan
atau Pedoman atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

58
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi
Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara
Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas Dan Fungsi
Kabinet Kerja
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan .
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang
Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO)
Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan
Peraturan Menteri Pertanian No. 47/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Brigade
dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan serta Pengendalian Kebakaran
Lahan dan Kebun
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/MenLHK/
Setjen/Jum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No. 243/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk teknis Pencegahan dan
Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan
Areal Penanggulangan Lainnya
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 244/
KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No.245/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pemakaian Peralatan
Pemadam Kebakaran Peralatan Pemadam Kebakaran Hutan.

59
LAKSO ANINDITO

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.


246/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Pembuatan dan Pemasangan
Rambu-Rambu Kebakaran Hutan.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.
247/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Standarisasi Sarana Pencegahan
dan Penanggulangan Kebakaran Hutan.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No. 248/KPTS/DJ/VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pencegahan dan
Penanggulangan Kebakaran Hutan.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.
48/KPTS/DJ-VI/1997 tentang Sistem Komando Pemadaman kebakaran
Hutan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
Pedoman Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun Direktorat Perlindungan
Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian Tahun
2010
Putusan No. 1554 K/Pid.Sus/2015 dengan Terpidana PT Kalista Alam

60
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Tantangan tata Kelola Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia


(Studi Kasus: Komparasi Antara Penerapan Desentralisasi dan
Multi-Level Governance)

Rifka Sibarani 1

Abstrak
Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) menyarankan untuk
menggunakan pendekatan multi-level governance (MLG) untuk mengimplementasi
kebijakan perubahan iklim, seperti yang telah diterapkan di Uni Eropa. Indonesia
adalah salah satu negara yang masih menggunakan pendekatan desentralisasi
dalam implementasi kebijakan perubahan iklim dan kondisi ini memiliki tantangan
tersendiri.

Artikel ini menggunakan pendekatan studi pustaka dan berfokus pada


dokumen pemerintah, laporan dari media massa dan studi akademis untuk
mengeksplorasi tantangan tata kelola kebijakan perubahan iklim di Indonesia dalam
perspektif multi-level governance (MLG) di Indonesia, dengan melihat implementasi
RAD-GRK di Sumatera Utara. Temuan dalam studi ini menunjukkan bahwa
desentralisasi merupakan tantangan kebijakan perubahan iklim di Indonesia, yang
mana manghasilkan permasalahan, antara lain, koordinasi yang buruk di instansi
pemerintah dan tidak ada keharusan hukum bagi pemerintah daerah dan kota
untuk memberikan tingkat emisi mereka.

Kata kunci: multi-level governance, climate change policy, decentralisation

1 Penulis adalah pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta

61
RIFKA SIBARANI

Abstract
The Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) recommends using the Multi-
Level Governance (MLG) approach to implementing climate change policies, as applied in
the EU. Indonesia is one of the countries that still uses decentralization approach in the
implementation of climate change policy and this condition has its own challenges.

This article uses a literature approach and focuses on government documents, media
reports and academic studies to explore the challenges of climate change governance in
Indonesia by comparing the MLG and the decentralisation approaches and looking the
implementation of RAD-GRK in North Sumatera, Indoensia The findings in this study
indicate that decentralisation is a challenge to climate change policy in Indonesia, which
creates problems, among others, poor coordination in government agencies and there is no
legal requirement for local and municipal governments to provide their emission levels.

Keywords: multi-level governance, climate change policy, decentralization

I. Pendahuluan

Dalam studi kebijakan publik dan hubungan internasional, kebijakan


perubahan iklim merupakan isu yang pelik. Dikarenakan lingkup permasalahan
kebijakan yang kompleks, beberapa studi menyebut isu kebijakan perubahan
iklim sebagai “the super wicked problem”.23 Kompleksitas permasalahan kebijakan
perubahan iklim serta skala dari kompleksitas penanganan dampak dari perubahan
iklim tersebut membuat perubahan iklim sebagai krisis global yang sangat penting
di abad ini bagi negara maju dan berkembang,4 termasuk Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu pihak yang meratifikasi piagam United


Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Indonesia telah
menandatangani berbagai kerjasama internasional di bidang lingkungan hidup
dan pinjaman luar negeri dengan agenda untuk menurunkan emisi gas rumah kaca

2 J. Fitzgibbon dan K. Mensah, “Climate Change as a Wicked Problem”, SAGE Open, Vol 2,
No. 2 (2012), hal. 2
3 R. Grundmann, R, “Climate change as a wicked social problem”, Nature, Geoscience, Vol 9,
No. (8), (2016), hal. 562
4 J. Fitzgibbon dan K. Mensah, loc. cit., hal. 2

62
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

di tingkat nasional sebesar 21% tanpa bantuan dana internasional, dan 41% dengan
dana internasional, khususnya di bidang kehutanan.5 Terhitung sejak tahun 2011,
misalnya, Indonesia telah meminjam dari Asian Development Bank sebesar $US
100 juta6 dan World Bank sebesar $US 200.000,7 untuk berbagai kegiatan terkait
manajemen penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Namun hingga saat ini
hasilnya masih belum memuaskan, terutama dari program REDD+,8 9 sedangkan
dampak perubahan iklim di Indonesia semakin jelas dan berbahaya.

Perubahan iklim merupakah salah satu isu global yang dibingkai sebagai isu
yang dibedah dengan sistem antar pemerintah yang telah diatur oleh negara-negara
lain memiliki kepentingan bersama (intergovernmental regime). Salah satu hasil dari
sistem ini adalah Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCCC) yang telah
mengeluarkan beragam laporan dan manual untuk diikuti negara-negara anggota
guna menurunkan emisi karbon mereka, termasuk Indonesia. Salah satu anjuran

5 Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Ikim, Indonesia-Norway Partnerships on REDD+,


Liputan Khusus COP 21 2015, http://ditjenppi.menlhk.go.id/program/liputan-khusus-
cop-21-2015/indonesia-norway-partnerships-on-redd.html, diakses pada 13 April 2017
6 Asian Development Bank, News Releases, ADB $100 Million Loan Aids Low Carbon Growth,
Climate Resilience in Indonesia, https://www.adb.org/news/adb-100-million-loan-aids-
low-carbon-growth-climate-resilience-indonesia, diakses pada 5 April 2017
7 World Bank, Projects and Operations, Indonesia Climate Change Development Policy Proj-
ect, http://projects.worldbank.org/P120313/indonesia-climate-change-development-poli-
cy-project?lang=en, diakses 30 Maret 2017
8 Norwegia telah menyatakan ketidakpuasannya sebab tidak adanya kemajuan yang telah
dicapai Indonesia dalam program REDD+. Pada tahun 2010, Norwegia setuju untuk meny-
erahkan dana sebesar US $ 1 miliar kepada Indonesia untuk mendanai program pengurangan
emisi terkait sektor kehutanan dan tanah gambut. Menteri Lingkungan dan Iklim Norwegia,
Vidar Helgesen, dalam kunjungannya di bulan Febuari 2016, mengungkapkan apresiasinya
terhadap pemerintah Indonesia dalam upaya pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan
lahan gambut, namun Helgesen menyayangkan kualitas implementasi program REDD+
yang rendah dan progressnya yang lambat. Sumber: Jakarta Post, 2016, Norway Slams Slow
REDD+ Project Progress, http://www.thejakartapost.com/news/2016/02/04/norway-
slams-slow-redd-project-progress.html, diakses 20 Mei 2017
9 Menurut penelitian sebelumnya, Indonesia dinilai menujukkan performa kinerja REDD+
yang lebih baik dibandingkan dengan negara REDD+ lainnya seperti Vietnam, Peru, dan
Cameroon. Biarpun demikian, Indonesia masih menghadapi banyak kekurangan dalam ke-
siapan program REDDD+. Sebagai contoh, penelitian ini melihat bahwa tanggung jawab in-
stitusi dalam menjalankan program REDD+ masih belum jelas hingga perlu dipertimbang-
kan alternatif. Kemudian tidak ada prosedur MRV yang disiapkan oleh pemerintah, serta
skema pembiayaan yang jelas – padahal Norwegia sudah menyediakan dana dengan jumlah
yang besar untuk progam REDD+. Lihat Minang, Peter Akong, Meine Van Noordwijk, Lalisa
A. Duguma, Dieudonne Alemagi, Trong Hoan Do, Florence Bernard, Putra Agung, et al.
“REDD+ Readiness Progress Across Countries: Time for Reconsideration.” Climate Policy
14, no. 6 (2014): hal 685-708.

63
RIFKA SIBARANI

IPCC adalah menggunakan pendekatan multi-level governance (MLG),10 11 seperti


yang telah diterapkan di Uni Eropa. IPCC menganjurkan MLG sebab sebagai
pendekatan dalam studi ilmu pemerintahan, pendekatan ini merupakan sebuah
model tata kelola pemerintahan yang sesuai untuk program-program dengan tema
pembangunan berkelanjutan (sustainability) dan kemudian juga penerapannya
di bidang lain seperti perlindungan iklim atau ekonomi hijau.12 Serta dalam
penerapannya, pendekatan MLG lebih menekankan pada aspek kerja sama antar
lembaga yang meminimalisir birokrasi kelembagaan yang pada implementasinya
banyak memperlambat program-program pemerintahan dan inisiatif masyarakat.

Pada tahun 2011 Indonesia meluncurkan rencana aksi nasional (RAN-GRK)


untuk mengurangi emisi dari kehutanan dan sektor penggunaan lahan masing-
masing sebesar 26% dan 41% pada tahun 2020. Namun pendekatan yang dipakai
masih belum menggunakan MLG, seperti anjuran IPCC. Pendekatan yang
dipakai dalam pengembangan dan implementasi kebijakan perubahan iklim di
Indonesia masih dipengaruhi oleh sistem politik desentralisasi yang kemudian
pada praktiknya justru membatasi otoritas dan partisipasi daerah dalam politik
internasional seperti perubahan iklim.13 Berbeda dengan desentralisasi, MLG
menawarkan sebuah sistem tata kelola yang partisipatif dan inklusif.

Suatu perubahan dari tata kelola yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi


bukanlah suatu langkah yang mudah karena desentralisasi dapat diinterpretasikan
secara berbeda oleh pihak-pihak yang berbeda. Di sektor kehutanan, sejumlah
pemerintah daerah telah menginterpretasikan desentralisasi sebagai
kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun yang mereka inginkan
dengan sumberdaya hutan di wilayah mereka. Salah interpretasi tak pelak

10 Kirsten Jörgensen, Anu Jogesh, dan Arabinda Mishra. “Multi-level climate governance and
the role of the subnational level.” Journal of Integrative Environmental Sciences no. 4, (2015),
hal. 236
11 Kirsten Jörgensen, Barbara Saerbeck, dan Martin Janicke. “The Multi-Level System of Global
Climate Governance - the Model and its Current State.” Environmental Policy and Gover-
nance, 2, 27, (2017), hal. 109
12 Schreurs MA, Tiberghien Y. Multi-level reinforcement: explaining European Union lead-
ership in climate change mitigation. Global Environmental Politics, 7,4, (2007), hal: 19–46.
DOI:10.1162/glep.2007.7.4.19
13 Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan
dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for InternationalForestry Re-
search (CIFOR), 2006), hal.

64
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

lagi membahayakan keberadaan sumberdaya hutan.14

Studi ini dikembangkan dengan mempelajari berbagai dokumen pemerintah


dan penelitian sebelumnya seputar kebijakan perubahan iklim di Sumatera Utara
2011-2015, sebelum isu perubahan iklim diikutsertakan ke dalam implementasi
agenda Sustainable Development Goals (SDGs) dan NAWA CITA. Adapun dokumen-
dokumen strategis yang digunakan antara lain Rencana Aksi Daerah Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatra Utara 2010-2020 serta Peraturan Daerah
Provinsi Sumatera Utara Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 – 2025.

Pertimbangan untuk menganalisis kedua dokumen ini adalah karena


kedua dokumen ini membahas detail penting tentang pelaksanaan kebijakan
pengurangan emisi di kawasan Sumatera Utara. Sebagai pembanding antara
kemajuan dari kebijakan ini dengan keadaan di lapangan, penelitian ini juga
menganalisis laporan evaluasi kebijakan program pengurangan emisi baik dari
eksternal maupun internal pemerintah. Tidak hanya itu, studi ini juga menganalisis
pemberitaan di media massa Indonesia khususnya dari periode 2011-2015 untuk
melihat bagaimana implementasi program di lapangan.

Jika melihat perkembangan yang signifikan sebagai implikasi dari agenda SDGs
dan NAWA CITA di Indonesia dan data sekunder yang digunakan, maka studi ini
akan terlihat tertinggal waktu. Oleh sebab itu, kedua hal diatas menjadi batasan
dari studi ini. Biarpun demikian, argumen dan data sekunder yang digunakan
dalam studi ini berkontribusi kepada pembelajaran implementasi sebuah
kebijakan yang secara global diakui sulit dengan menganalisis konteks politik
lokal di Indonesia. Penelitian ini disususun untuk memberikan latar belakang
teoritis untuk memahami tentang tantangan tata kelola kebijakan perubahan iklim
di Indonesia. Adapun tujuan ini berusaha dicapai dengan membandingkan dua
pendekatan teoritis, yaitu desentralisasi dan MLG, serta penerapannya di negara-
negara lain untuk kemudian dibandingkan dengan kondisi di Indonesia.

14 Wandojo Siswanto dan Wahjudi Wardojo, “Desentralisasi Sektor Kehutanan: Pengalaman


Indonesia” dalam Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi
Hutan, Kekuasaan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for Interna-
tionalForestry Research (CIFOR), 2006)

65
RIFKA SIBARANI

II. Pendekatan Multilevel Governance (MLG)

MLG merupakan sebuah pendekatan tata kelola yang identik dengan sistem
pemerintahan Uni Eropa yang berawal sejak awal tahun 1990-an.15 Kata kunci yang
penting dari teori dan pendekatn MLG adalah kolaborasi.16 Bache dan Flinders
(2004) menggunakan konsep MLG untuk memahami hubungan timbal balik
dinamis di dalam dan di antara berbagai tingkat pemerintahan dan pemerintahan.17
Meskipun gagasan tentang tata kelola multilevel pada awalnya dikembangkan di
sekitar Uni Eropa, banyak bentuknya telah diterapkan di bidang studi lain seperti
studi negara-negara federal dalam politik komparatif. McCormick berpendapat
bahwa “tata kelola bertingkat adalah sepupu konseptual dari dua konsep lama
lainnya, federalisme dan konfederelisme”.18 MLG juga dapat dipahami sebagai
sebuah sistem pemerintahan polisentrik yang berarti sebuah sistem pemerintahan
yang mana setiap bagian yang terlibat didalamnya tidak melihat sistem tersebut
sebagai tantangan, namun sebagai sebuah inovasi, proses pembelajaran, serta
bauran teknologi untuk mendukung instrumen kebijakan.19

Terdapat dua jenis MLG.20 Tipe I merupakan pendekatan hierarkis yang


berfokus pada cara kompetensi dan otoritas dibagi antara berbagai tingkat
pemerintahan; Tipe II merupakan model polisentrik di mana beberapa bidang
otoritas horizontal yang saling tumpang tindih dan saling berhubungan terlibat
dalam mengatur isu-isu tertentu. Sebagai sebuah sistem tata kelola lingkungan,
MLG sangat penting karena beberapa alasan, antara lain: (1) sifatnya yang
terintegrasi dari global hingga lokal; (2) Peran masing-masing level - dari global ke
lokal - sangat spesifik; (3) Interaksi vertikal menawarkan potensi tambahan MLG

15 Literatur tentang konsep MLG dapat dilihat di Marks, 1993; Scharpf, 1997; Benz and Eber-
lein, 1999; Börzel and Risse, 2000; Hooghe and Marks, 2001; Kern, 2010
16 Coopenergy, What is Multi-Level Governance? http://www.coopenergy.eu/book/what-
multi-level-governance, diakses 25 Juli 2017
17 Kern K, Bulkeley H, “Cities, Europeanization and multi-level governance: governing cli-
mate change through transnational municipal networks”. JCMS: Journal of Common Market
Studies Vol 47, No. 2, hal 309–332.
18 M. Jänicke, M, M. Schreurs, dan K. Töpfer, 2015, The Potential of Multi-Level Global Climate
Governance, https://goo.gl/XLiz8v, diakses 29 Mei 2017
19 Lihat K. Sovacool, “An International Comparison of Four Polycentric Approaches to Climate
and Energy Governance”, Energy Policy, Vol. 39, No. 6 (2015), hal. 3832–3844.
20 L. Hooghe dan G. Marks, “Types of Multi-Level Governance”, European Integration Online
Papers (EIoP), Vol. 5, No. 11, (2011), hal. 4-6

66
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

sebagai sebuah sistem; (4) Multi-sektoral dan multi-stakeholder.21 Adapun ilustrasi


dari kedua tipe MLG dan relasi antar aktor, tingkat yuridiksi, permasalahan yang
diatur dapat dilihat dalam gambar dibawah ini:

Gambar 1 ‘Model Rio’ dari tata kelola pemerintahan multi-level dan multi-sektor yang
berkelanjutan 22

Ilustrasi diatas menggambarkan bagaimana pembangunan berkelanjutan dan


juga perlindungan iklim memerlukan pendekatan pendekatan global. Tata kelola
global, bagaimanapun, membutuhkan pemerintah pada tingkat nasional hingga
lokal yang menjadi bagian dari sistem politik global. Peran masing-masing level
- dari global ke lokal - sangat spesifik. Pemerintah dari tiap tingkat memiliki
tanggung jawab, tantangan dan peluang tersendiri dan memiliki dinamika
horizontal yang spesifik: pembelajaran, kompetisi dan kerja sama antar lembaga.
Jaringan horizontal kota dan provinsi / negara bagian telah menjadi pemain
global dalam tata kelola iklim. Interaksi vertikal menawarkan potensi tambahan
MLG sebagai sebuah sistem: peningkatan praktik terbaik melalui kebijakan dan
dukungan kebijakan tingkat tinggi terhadap tingkat yang lebih rendah. Interaksi
MLG vertikal dan horizontal telah menjadi pusat dari pembelajaran interaktif yang
tinggi dan difusi inovasi teknis dan politik yang cepat.23 Ini pada dasarnya adalah

21 M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance – the Model and Its Cur-
rent Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017), hal 110-111
22 Gambar diambil dari M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance –
the Model and Its Current Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017), hal
110
23 Ibid., hal. 112-114

67
RIFKA SIBARANI

sistem multi-impuls untuk inovasi terkait perubahan iklim. Hal ini menjadikan
MLG sebagai sebuah model yang tidak hanya dapat menangani semua skala tetapi
juga semua kelompok kepentingan terkait dalam tata kelola iklim global. Hal ini
diilustrasikan sebagai berikut:

Tingkat Pemerintah Peran

Badan-badan internasional seperti United Nations Environment


Programme (UNEP) dan Commission on Sustainable Development
Global
berperan sebagai badan yang mengatur agenda kebijakan iklim global
untuk kemudian diteruskan ke negara anggota

Memainkan peran dalam artikulasi supranasional untuk kepentingan


Negara persatuan
bersama dan pembahasan solusi untuk masalah umum di wilayah ini
Memiliki tanggung jawab khusus dalam pelaksanaan kebijakan
Nasional
nasional.
Ini adalah level dimana sebagian besar peraturan nasional harus
Provinsi/ Daerah
dilaksanakan

Masyarakat Penggerak inisiatif / ide teknologi/ gaya hidup ramah lingkungan

Anggota tata kelola dan sasaran dan dasar dari pengetahuan iklim
Individu
global (misalnya, laporan IPCC)

Tabel 1 Peran tiap aktor dalam sistem tata kelola MLG menurut Jänicke (2017)

Kriteria kesuksesan implementasi dapat dilihat dari enam faktor,24 antara


lain: (1) Visi bersama (shared vision); (2) Kerja sama efektif (effective partnership);
(3) Keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder involvement); (4) Ketersediaan
dana (funding availability); (5) Keahlian teknis (technical expertise); (6) Tata kelola
pemerintahan yang terstruktur (structured governance).

Beberapa contoh implementasi MLG yang sukses dapat dilihat dalam upaya-
upaya pengembangan kebijakan perubahan iklim yang terintegrasi di negara-
negara Eropa. Sebagai contoh, Perjanjian Convenant of Mayors yang dipelopori oleh
para walikota di kawasan Rhine-Neckar Metropolitan dinyatakan sebagai salah
satu contoh penerapan MLG yang sukses dalam kategori tata kelola pemerintahan
yang terstruktur (structured governance). Menurut laporan Coopenergy Eropa,25

24 Coopenergy, Good Practice Resources, http://www.coopenergy.eu/good-practice-resourc-


es, diakases 20 Juli 2017
25 Coopenergy, Rhine-Neckar Metropolitan Region-Promotion of the Covenant of Mayors,
http://www.coopenergy.eu/sites/default/files/good_practice_files/27_Rhine-Neckar%20
Metropolitan%20Region%2C%20DE%20%20Promotion%20of%20the%20Covenant%20
of%20Mayors.pdf, diakses pada 20 Juli 2017

68
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

kesuksesan ini dinilai dari keberhasilan para mayor dalam kawasan tersebut
dalam menghasilkan sebuah perjanjian yang mengikat seluruh mayor dalam
kawasan Metropolitan tersebut. Adapun tujuan dari perjanjian ini adalah untuk
mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim serta melibatkan pemangku
kepentingan (dari pihak swasta) dalam menjalan rencana menurunkan emisi kota-
kota mereka–seluruh kegiatan perencanaan dan pertemuan resmi tidak memiliki
anggaran sehingga inisiatif ini dinilai lebih efisien dan efektif.

Swedia juga dinilai telah menerapkan program kebijakan perubahan iklim


dengan pendekatan MLG dengan sangat baik, terutama dari segi kerjasama yang
efektif.26 Contohnya adalah perwujudan inisiatif Sustainable Energy Community
(SEC) of Kalmar County merupakan inisiatif MLG dari proyek European City.
Melalui inisiatif ini, Badan Energi untuk Swedia Tenggara mendukung 5 dari 12
kota di Kalmar untuk menjadi ‘komunitas energi berkelanjutan’ yang mengurangi
emisi CO2 oleh setidaknya 30% pada tahun 2030. Kolaborasi ini diformalkan
melalui penandatanganan dokumen strategis serta policy tool kit yang disusun oleh
masyarakat itu sendiri. Pengalaman SEC Kalmar ini menunjukkan pentingnya
pembangunan kapasitas di tingkat masyarakat untuk membuat kebijakan, hingga
kolaborasi di kalangan pegawai pemerintahan dan pakar teknis guna mewujudkan
komitmen politik dalam pengembangan kebijakan perubahan iklim di tingkat lokal.
Strategi pemberdayaan masyarakat dan pemerintah tingkat lokal ini tidak hanya
menghasilkan data yang lebih baik guna memantau perkembangan kebijakan
perubahan iklim yang sudah dibuat bersama tersebut, namun juga memastikan
bahwa kebijakan yang dibuat menjawab permasalahan nyata di lingkungan
masyarakat.

III. Desentralisasi : tantangan MLG

Desentralisasi dapat dipahami sebagai ‘penyerahan kewenangan politik,


keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah (kabupaten atau

26 Coopenergy, Southeast Sweden – Sustainable Energy Community of 5 municipalities in


Kalmar County,http://www.coopenergy.eu/sites/default/files/good_practice_files/150_
Southeast%20Sweden%20%E2%80%93%20Sustainable%20Energy%20Community%20
of%205%20municipalities%20in%20Kalmar%20County.pdf, diakses pada 20 Juli 2017

69
RIFKA SIBARANI

kota) sehingga pemerintah dapat menyediakan dan menjamin pelayanan publik


yang lebih baik bagi masyarakat’.27 Terdapat beberapa faktor-faktor pendukung
kesusksesan sistem desentralisasi, antara lain: (1) Lembaga dan sumber daya
manusia (SDM) yang memiliki kualifikasi untuk mengimplementasikan program
dalam sistem desentralisasi; (2) Infrastruktur, teknologi, akses informasi, SDM,
kapasitas kelembagaan dalam perencanaan, dan distribusi keuntungan
sumberdaya alam yang layak.28

Konsep desentralisasi, telah menjadi strategi bagi berbagai negara untuk


menjaga kelestarian lingkungan, untuk menjaga distribusi sumber daya dan
kekuasaan hingga ke tingkat masyarakat yang sesuai dengan semangat demokrasi,
pluralisme, dan persamaan hak.29 Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
desentralisasi justru menghambat perkembangan kebijakan perubahan iklim
sebab, antara lain: (1) Hubungan birokrasi antar tingkatan pemerintah dalam sistem
desentralisasi (federalisme) kompleks dan temuan di lapangan menujukkan bahwa
justru memperlambat progress kebijakan perubahan iklim di daerah dan nasional30;
(2) Dalam sistem desentralisasi (federalisme) terdapat pengaruh kuat dari partai
politik dari pemerintahan yang berkuasa, sehingga tidak jarang membatasi gerak
inisatif politik lingkungan yang bertentangan dengan kepentingan politik partai
yang mendominasi sistem pemerintahan31; (3) Kurang pekanya pemerintah pusat
(federal) terhadap isu sosial, politik, serta budaya masyarakat daerah sehingga
kebijakan yang dibuat justru tidak sesuai dengan kebutuhan atau kebiasaan lokal32.

Studi tentang kebijakan perubahan iklim di sektor undang-undang bangunan


(building policy) di Austria berargumen bahwa sistem tata kelola perubahan iklim

27 Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan
dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for International Forestry Re-
search (CIFOR), 2006), hal. 178
28 Ibid
29 Agrawal, Arun dan Elinor Ostrom. “Collective Action, Property Rights, and Decentraliza-
tion in Resource use in India and Nepal.” Politics & Society 29, no. 4 (2001), hal. 487
30 Steurer, Reinhard, and Christoph Clar. “Is decentralisation always good for climate change
mitigation? How federalism has complicated the greening of building policies in Austria.”
Policy Sciences 48, no. 1 (March 2015): 85-107. Business Source Ultimate, hal. 99-100
31 Rabe, Barry. “Contested Federalism and American Climate Policy.” Publius: The Journal of
Federalism 41, no. 3 (June 2011): 494-521. Political Science Complete, hal. 518
32 E. Ampaire, L. Jassogne, H. Providence, M. Acosta, J. Twyman, L. Winowiecki, dan P. Asten,
“Institutional challenges to climate change adaptation: A case study on policy action gaps in
Uganda”. Environmental Science & Policy, Vol. 75, hal. 88

70
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

yang terdesentralisasi justru cenderung menyulitkan, sebab hubungan birokrasi


antar tingkatan pemerintah dalam sistem desentralisasi (federalisme) kompleks
serta justru memperlambat progress kebijakan perubahan iklim di daerah
dan nasional33. Misalnya dalam kasus kebijakan bangunan Austria, Menteri
Lingkungan di tingkat federal (pusat) dikonfrontasi oleh dua menteri lainnya dan
sembilan kepala provinsi, kebijakan bangunan justru menjadi terbentur di tengah
jalan karena kemudian mendapat tentangan dari pihak provinsi yang kemudian
hanya melakukan sebatas keharusan administratif. Menteri Lingkungan Austria
kemudian kesulitan untuk menjalankan agenda perubahan iklimnya, karena
tanggung jawab menjalankan kebijakan tersebut ada di kementerian lain.

Selain itu, politik perubahan iklim akan dipengaruhi oleh politik pemerintah
federal, sehingga rentan gagal jika tidak didukung oleh pemerintah federal dan
kekuatan partai politik di belakangnya, walaupun publik mendukung isu, seperti
di Amerika Serikat.34 Kebijakan perubahan iklim Amerika Serikat dibawah
kepemimpinan George Bush, Jr., Barrack Obama, dan Donald Trump mengalami
masa-masa kritis yang akhirnya diperburuk dengan keputusan Donald Trump untuk
menutup Environmental Protection Agency Amerika Serikat, departemen utama di
tingkat federal dan lokal yang berfokus memanajemen urusan perubahan iklim dan
lingkungan di Amerika Serikat.35 Partai Republikan merupakan partai politik terbesar
yang selalu menentang kebijakan perubahan iklim dengan alasan akan merugikan
industri Amerika Serikat. Partai Demokrat juga tidak lebih progresif dari Republikan,
malah figur-figur penting dari Demokrat seperti Barrack Obama dan Hillary Clinton
justru tidak mampu mendorong isu perubahan iklim di partai mereka sendiri.36 37

33 Steurer, R., dan C. Clar,”Is Decentralisation Always Good for Climate Change Mitigation?
How Federalism Has Complicated the Greening of Building Policies in Austria”, Policy Sci-
ences, (2015), Vol. 48, hal. 94
34 Koski, C., dan A. Siulagi, “Environmental harm or natural hazard? Problem identification
and adaptation in U.S. municipal climate action plans.” The Review of Policy Research No.
3: (2016), hal. 270-290
35 http://edition.cnn.com/2017/04/29/politics/trump-epa-cuts-infighting-climate-change/
index.html
36 Naomi Klein, Opinion, We’re out of time on climate change. And Hillary Clinton helped
get us here, https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/apr/07/out-of-time-cli-
mate-change-hillary-clinton, diakses 25 Juli 2017
37 Naomi Klein, Opinion, Climate change is a global emergency. Stop waiting for politicians
to sound the alarm, https://www.theguardian.com/commentisfree/2014/sep/20/climate-
change-global-emergency-alarm, diakses 25 juli 2017

71
RIFKA SIBARANI

Studi di Uganda, misalnya, adalah sebuah contoh tata kelola perubahan


iklim yang tidak efektif dan berakibat pada ketidaksuksesan program kebijakan
iklim mereka. Selama lebih dari satu dekade pemerintah nasional telah mengatur
banyak peran yang harus dimainkan oleh pemerintah daerah seperti, (i) menunjuk
dan memberi penghargaan kepada para pemimpin kabupaten, (ii) menghapuskan
sumber pendapatan tingkat daerah, dan (iii) mengalokasikan anggaran kecil ke
sektor non-produktif. Hal ini menempatkan kabupaten pada tahap penerimaan,
tanpa mengambil keputusan. Juga, mereka tidak berada dalam posisi untuk
meminta para pejabat untuk bertanggung jawab, yang telah melakukan “hubungan
patron-klien” antara pemerintah pusat dan pemimpin lokal.38

Sedangkan di Indonesia, penelitian Siswanto dan Wardojo menemukan


beberapa permasalahan penting dari praktik desentralisasi di sektor tata kelola
kehutanan di Indonesia. Penelitian ini menemukan beberapa permasalahan krusial
dalam sektor pemerintahan yang berbeda, seperti: (1) Birokrasi pusat-daerah;
(2) Perundangan; (3) Pemerintah lokal/ masyarakat. Menurut penelitian ini,
memahami semangat dari otonomi, implementasi desentralisasi kehutanan
seharusnya tidak terperangkap dalam permasalahan otoritas kewenangan antara
pusat-daerah39. Misalnya saja, di tingkat provinsi dan kabupaten, status hierarkis
di sektor publik sering membatasi pegawai negeri eselon yang lebih rendah untuk
mengkoordinasikan atau mengarahkan kepala lembaga lain dengan status eselon
yang lebih tinggi.40 Namun harus tetap berpijak dari semangat membangun
kesejahteraan sosial bagi rakyat dan pencapaian pengelolaan hutan yang
berkelanjutan. 41

Studi ini juga berargumen bahwa kedua dimensi tersebut dapat dicapai
melalui koordinasi dan kesatuan visi yang sama antara pusat dan daerah. Batasan

38 E. Ampaire, L. Jassogne, H. Providence, M. Acosta, J. Twyman, L. Winowiecki, dan P. Asten,


loc. cit., hal. 86
39 Wandojo Siswanto dan Wahjudi Wardojo, “Desentralisasi Sektor Kehutanan: Pengalaman
Indonesia” dalam Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi
Hutan, Kekuasaan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for Interna-
tionalForestry Research (CIFOR), 2006), hal 178-179
40 J. McCarthy dan Z. Zen, “Regulating the Oil Palm Boom: Assessing the Effectiveness of En-
vironmental Governance Approaches to Agro-Industrial Pollution in Indonesia”, Law amd
Policy, Vol. 32, No. 1 (2010), hal. 153-179.
41 Wandojo Siswanto dan Wahjudi Wardojo, Op.cit., hal. 178

72
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

administratif seharusnya tidak menjadi penghalang dalam pengelolaan di sektor


kehutan. Sebaliknya pemerintah, swasta, dan masyarakat harus saling bekerja sama
untuk mencapai kesejahteraan sosial dari hasil hutan tersebut melalui program-
program yang berkelanjutan. Kegagalan sistem politik desentralisasi kehutanan di
Indonesia dapat dilihat dari lambatnya birokrasi di sektor kehutanan, munculnya
konflik di antara berbagai pemangku kepentingan akibat kompleksitas
permasalahan di lapangan serta kesalahan dalam menafsirkan model pengelolaan
hutan, juga terjadinya degradasi hutan.42 Adapun beberapa hambatan dari sistem
politik desentralisasi terhadap pengelolan sektor kehutanan di Indonesia dapat
dilihat dalam tabel berikut:

Tingkat Pemerintah Peran

Badan-badan internasional seperti United Nations Environment


Programme (UNEP) dan Commission on Sustainable Development
Global
berperan sebagai badan yang mengatur agenda kebijakan iklim global
untuk kemudian diteruskan ke negara anggota

Memainkan peran dalam artikulasi supranasional untuk kepentingan


Negara persatuan
bersama dan pembahasan solusi untuk masalah umum di wilayah ini

Memiliki tanggung jawab khusus dalam pelaksanaan kebijakan


Nasional
nasional.
Ini adalah level dimana sebagian besar peraturan nasional harus
Provinsi/ Daerah
dilaksanakan
Masyarakat Penggerak inisiatif / ide teknologi/ gaya hidup ramah lingkungan
Anggota tata kelola dan sasaran dan dasar dari pengetahuan iklim
Individu
global (misalnya, laporan IPCC)

Tabel 2 : Hambatan Dari Sistem Politik Desentralisasi Terhadap Sektor Kehutanan di


berbagai Negara, (Bogor: Center for InternationalForestry Research (CIFOR), 2006)

IV. Perkembangan kebijakan perubahan iklim Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan dengan tiga puluh empat provinsi dimana
berbagai tindakan dan rencana iklim yang berbeda direncanakan dan dilaksanakan
secara berbeda dari satu provinsi dengan provinsi lainnya sebagai implementasi

42 Ibid. Hal 183

73
RIFKA SIBARANI

dari sistem pemerintahan terdesentralisasi. Keterlibatan Indonesia dalam politik


internasional perubahan iklim sudah dimulai sejak tahun 1992 ketika perwakilan
Indonesia menghadiri Konvensi Kyoto Protokol tahun 1992. Seiring dengan
liberalisasi pasar Orde Baru, terjadi berbagai permasalahan lingkungan hidup akibat
ekploitasi pertambangan, pembukaan lahan untuk perkebunan dan transmigrasi,
serta pembangunan resot dan hotel, namun tidak banyak yang bisa dilakukan
karena pengaruh besar Soeharto dan kroninya hingga pedesaan di Indonesia
berbagai aktivitas ekonomi seperti eksploitasi pertambangan, pembukaan hutan
untuk industri perkebunan, dan pembukaan lahan untuk industri pariwisata.43

Namun tidak banyak yang bisa dilakukan pada masa itu karena pengaruh
Soeharto dan kroninya yang mengakar hingga pedesaan dan keterlibatan
masyarakat dengan perkembangan politik lingkungan internasional bisa dikatakan
minimal dan tidak signifikan.44 Komitmen internasional yang rendah ini memiliki
implikasi negatif pada politik dan kebijakan lingkungan domestik. Sebaliknya,
jika komitmen internasional yang tinggi akan berdampak positif pada kedua hal
tersebut. Sebagai contoh, Uni Eropa yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap
lingkungan, seperti Jerman4546 dan Belanda, dengan komitmen politik yang tinggi
terhadap politik lingkungan internasional memiliki kebijakan dan partisipasi
masyarakat yang tinggi.47

43 G. Andrew, The floracrats: state-sponsored science and the failure of the Enlightenment in
Indonesia, (Madison, Wis: University of Wisconsin Press, 2011), hal. 75
44 Colin MacAndrews, “Politics of the Environment in Indonesia”, Asian Survey, Vol. 34, No. 4:
369 (1994), hal 373-380
45 Berlin, Jerman, bersiap-siap menghadapi dampak perubahan iklim dengan merancang kota
mereka agar mampu menyerap air dan emisi karbon dengan memperbanyak lahan hijau
dan mendorong masyarakat menanam tanaman yang menyerap air dan emisi karbon. Ren-
cana Aksi Iklim Jerman 2050 (Klimaschutzplan 2050) adalah dokumen kebijakan perlindun-
gan iklim yang disetujui oleh pemerintah Jerman pada tanggal 14 November 2016. Rencana
tersebut menguraikan langkah-langkah yang dengannya Jerman dapat memenuhi berbagai
tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca nasionalnya sampai tahun 2050 dan memberi-
kan komitmen internasionalnya berdasarkan Perjanjian Iklim Paris 2016. Lihat: Nils Zim-
mermann, “Sponge City: Berlin plans for a hotter climate”, Deutsche Welle, http://www.
dw.com/en/sponge-city-berlin-plans-for-a-hotter-climate/a-19420517, diakses pada 15 Ma-
ret 2017
46 Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear Safety,
Climate Action Plan 2050: Principles and goals of the German’s government climate policy,
UNFCCC International, https://unfccc.int/files/focus/long-term_strategies/application/
pdf/161114_climate_action_plan_2050_en_bf.pdf, diakses pada 1 Maret 2017
47 Belanda mengintegrasikan agenda kebijakan iklim domestiknya ke dalam kebijakan luar
negeri sebagai bentuk komitmen Belanda terhadap politik kebijakan iklim internasional.

74
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia meluncurkan rencana strategis untuk


menurunkan emisi nasional Indonesia. Dokumen tersebut adalah RAN-GRK
yang diturunkan dari COP21 di Bali dan Copenhagen Accord. RAN-GRK adalah
dokumen strategis yang menjelaskan tentang strategi nasional untuk menurunkan
emisi rumah kaca dari lima sektor, yaitu: konsumsi energi, transportasi, kehutanan
dan lahan gambut, dan kegiatan rumah tangga. Adapun RAN-GRK merupakan
kebijakan yang bersifat top-down sehingga fokus pengembangan hingga
implementasi tersentral sejak di tingkat kementerian.48

Deforestasi di Indonesia terjadi pada tingkat yang mengkhawatirkan dan


masalah ini telah terjadi Pusat Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Pada 2011, Presiden Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono, berjanji untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan dan sektor
pemanfaatan lahan masing - masing sebesar 26% dan 41% dari garis dasar Business
as Usual (BAU) (berdasarkan dukungan bantuan internasional) pada tahun 2020.
Untuk mencapai target tersebut, Indonesia mengikuti Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) untuk mengembangkan Mitigasi yang Layak secara
Nasional Tindakan (NAMAs) dan contoh kota-kota Eropa untuk menggunakan
tata kelola iklim bertingkat sebagai pendekatan dalam mengembangkan dan
menerapkan strategi mitigasi dan adaptasi iklim mereka.

COP-13 2007 Bali memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kebijakan
perubahan iklim di Indonesia. Hasil penting dari COP-13 antara lain dituangkan
dalam Bali Action Plan yang mengatur skema pengurangan emisi dari deforestasi
negara berkembang; pengembangan serta transfer teknologi yang didukung
secara finansial oleh negara-negara maju. Kemudian hasil penting lainnya adalah
keluarnya laporan Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Tidak hanya itu, di tahun 2015 Pengadilan Tinggi Den Haag memenangkan gugatan hukum
masyarakat kota Den Haag terhadap pemerintah kota sebab pemerintah kota dinilai ber-
salah tidak memenuhi tugas dan tanggung jawab mereka memitigasi dampak perubahan
iklim atas kota mereka Inisiatif masyarakat, didukung oleh komitmen politik pemerintah
menciptakan teknologi serta terobosan kebijakan perubahan iklim yang komprehensif dan
Uni Eropa adalah negara kesatuan yang berhasil mewujudkannya. Lihat: Arthur Neslen,
“Dutch government ordered to cut carbon emissions in landmark ruling”, The Guardian,
https://www.theguardian.com/environment/2015/jun/24/dutch-government-ordered-
cut-carbon-emissions-landmark-ruling, diakses pada 3 Maret 2017
48 BAPPENAS, Laporan Dua Tahun Pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK, http://ran-
radgrk.bappenas.go.id/rangrk/admincms/downloads/publications/Laporan_Dua_Ta-
hun_Pelaksanaan_RAN-GRK_RAD-GRK.pdf, diakses 12 Febuari 2017

75
RIFKA SIBARANI

Change. Selain itu Indonesia telah mengeluarkan undang-undang yang secara


spesifik mengatur tentang mitigasi perubahan iklim.

Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki beberapa undang-undang tentang


perubahan iklim antara lain; Undang – Undang 1994 Nomor 6 Tahun 1994 Tentang
Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Setelah
COP-13, Indonesia kemudian mengeluarkan undang-undang perubahan iklim
yang menjabarkan tentang peran pemerintah dalam prosesnya. Undang-undang
Republik Indonesia nomor 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement to
The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim);
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengesahan
Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change
(Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa
Tentang Perubahan Iklim); dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika (selanjutnya disebut
“UU No. 31 Tahun 2009”). UU No. 31 Tahun 2009 menjadi landasan hukum yang
kuat sebab undang-undang tersebut menjelaskan langkah-langkah apa saja yang
harus diambil untuk mitigasi maupun adaptasi.

“Pemerintah wajib melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. (2)


Untuk mendukung mitigasi dan adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah wajib melakukan: a) perumusan kebijakan nasional, strategi, program,
dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; b) koordinasi kegiatan pengendalian
perubahan iklim; dan c) pemantauan dan evaluasi penerapankebijakan tentang
dampak perubahan iklim”49

Melalui serangkaian kebijakan perubahan iklim tersebut, Indonesia telah


menyiapkan beberapa dokumen strategis terkait penangangan dampak perubahan
iklim yang berfokus pada mitigasi, adaptasi, serta pembiayaan program perubahan
iklim di Indonesia. Sifat rencana strategis ini merupakan rencana strategis
desentralisasi, yang mana implikasi kebijakan dalam sistem seperti ini memiliki
tantangan dan potensi tersendiri di Indonesia.

49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31, Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan


Geofisika, tahun 2009, pasal 65

76
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 mengatur tentang Rencana Aksi


Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Selanjutnya disebut dengan “Perpres
No. 61 Tahun 2011”). Berdasarkan Perpres No. 61 Tahun 2011, RAN GRK tidak
hanya mencakup kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi
juga menjadi acuan bagi pemerintah daerah dan sektor swasta dalam perencanaan
dan dukungan kegiatan penurunan GRK. Dalam hal ini, di beberapa provinsi juga
memasukkan kegiatan mitigasi sebagai bagian dari RAD-GRK yang sebelumnya
sudah tercantum dalam RAN-GRK. Usulan kegiatan RAD-GRK juga umumnya
didesain untuk melibatkan sumber pendanaan tidak hanya dari APBD tetapi
juga dari APBN dan BUMN ataupun dari sektor swasta.50 Kedua rencana aksi ini
mengatur tentang rencana nasional dan daerah untuk menyusun data inventori
emisi tiap daerah yang nantinya akan digunakan sebagai dasar penghitungan
penurunan emisi nasional dan prioritas pembangunan daerah. Dalam rencana
tersebut, setiap daerah diwajibkan merancang rencana penurunan emisi daerah
mereka dengan tetap mengikuti prioritas pembangunan daerah. Sumber dana
kegiatan RAD-GRK berasal dari berbagai sumber, termasuk APBN, APBD, swasta,
masyarakat, hingga donor internasional.51

V. Tantangan Penerapan RAD GRK di Sumatera Utara

Perspektif MLG menerangkan bahwa desentralisasi justru menghambat


perkembangan kebijakan perubahan iklim di tingkat lokal. Oleh sebab itu, bagian ini
akan membahas bagaimana tantangan RAD GRK di Sumatera Utara sebagai sebuah
produk dari desentralisasi kebijakan di Indonesia. Sumatera Utara merupakan
provinsi di Indonesia dengan laju kebakaran hutan yang cepat. Namun demikian,
pada tahun 2011 Sumatera Utara mengumumkan menjadi salah satu provinsi
pertama yang akan menjalankan RAD GRK, yang kemudian kebijakan mitigasinya
difokuskan pada isu deforestasi. Kemudian strategi adaptasinya berfokus pada

50 Dari beberapa dokumen RAD-GRK, beberapa kegiatan bersifat usulan atau masih meru-
pakan nonfundedactivities terkait dengan belum adanya komitmen dari segi pendanaan
aktifitas.
51 Irfa Ampri, PhD, “Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia”, (makalah disampaikan dalam
Diskusi Publik Kesiapan Indonesia Menghadapi Perundingan Perubahan Iklim Doha, 2012),
hal. 7

77
RIFKA SIBARANI

penguatan produksi padi dalam konteks perubahan iklim.52 Untuk melaksanakan


program adaptasi, pemerintah Sumatera Utara bekerja sama Japan International
Cooperation Agency. Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang berkomitmen untuk mengimplementasikan RAD-GRK di tahun 201153 . RAD-
GRK Provinsi Sumatera Utara 2010-2020 telah disahkan dengan Peraturan Gubernur
Sumatera Utara Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 – 2025. Sedangkan kebijakan
adaptasi perubahan iklim dituangkan dalam strategi Upaya Pengamanan Produksi
Beras di Sumatera Utara 2012-2020 yang telah disahkan dengan Intruksi Gubernur
Sumatera Utara Nomor 188.54/05/INST/2012, yang juga merupakan turunan
dari Pergub No. 36 tahun 2012. Kedua regulasi ini juga diintegrasikan kedalam
RPJMD 2014-2018 yang mana pemantapan pembangunan secara menyuluruh
dengan penekanan pada daya saing daerah, yang dilandaskan pada sumber daya
manusia dan sumber daya alam, melalui pemanfaatan teknologi. Integrasi ini juga
mendukung visi RPJPD Sumatera Utara 2005-2025 yaitu masyarakat Sumatera Utara
yang Beriman, Maju, Mandiri, Mapan dan Berkeadilan di dalam ke Bhinnekaan
yang didukung oleh tata pemerintahan yang baik.

Komitmen ini secara simbolik memiliki pengaruh yang positif bagi citra
internasional Indonesia karena Sumatera Utara tercatat memiliki permasalahan
kebakaran hutan, perubahan lahan, serta polusi udara dari transportasi dan kegiatan
produksi pabrik yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah
daerah Sumatera Utara mengadaptasi RAD-GRK dan telah sampai pada proses
inventarisasi emisi lokal mereka. Namun proses ini terhenti di tengah jalan ketika
Gubernur Sumatera Utara saat itu menjadi tersangka kasus korupsi. Hingga kini,
belum banyak perkembangan signifikan dari RAD-GRK di Sumatera Utara.

Laporan kemajuan implementasi RAD GRK Sumatera Utara menguraikan


empat masalah terkait pengawasan dalam pelaksanaan RAD GRK: 1) koordinasi
yang buruk antar instansi pemerintah; 2) Sumatera Utara tidak dapat mengejar
ketinggalan dengan pengembangan model persediaan emisi gas rumah kaca
dari pemerintah nasional karena ketidakkonsistenan perencanaan, 3) Tidak ada

52 BAPPEDA Sumatera Utara, Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Provinsi Sumatra Utara 2010-2020, (Medan: BAPPEDA Sumatera Utara), hal. 6-10
53 BAPPENAS, Satu Tahun RAN-GRK, (Jakarta: BAPPENAS), hal. 23

78
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

keharusan hukum bagi pemerintah daerah dan kota untuk memberikan inventoris
tingkat emisi GRK mereka, sehingga sulit menyusun sebuah RAD-GRK yang
berbasis bukti inventoris emisi rumah kaca; 4) terbatasnya sumber daya manusia
yang mahir dalam perhitungan emisi gas rumah kaca.54

Seperti yang telah disebutkan di bagian sebelumnya, bahwa koordinasi


antara pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dapat menjadi tantangan nyata
dalam iklim bertingkat atau pengaturan tata kelola lingkungan di Indonesia. Hal
ini juga dialami di dalam implementasi RAD GRK di Sumatera Utara. Sebagai
contoh, dalam hal pengelolaan limbah di Sumatera Utara, pemerintah kabupaten
hanya fokus pada penanganan limbah daripada bekerja sama dengan tingkat
pemerintahan dan bisnis lainnya untuk memastikan pengelolaan lingkungan
dianggap sebagai ‘keseluruhan masalah pemerintah’.55

Kedua, masalah koordinasi dapat menyebabkan penundaan yang signifikan


dalam pelaksanaan dan mengevaluasi program. Misalnya, menurut pedoman RAD
GRK, Sumatera Utara telah menetapkan target untuk menghasilkan lebih banyak
energi terbarukan di daerah-daerah terpencil antara tahun 2013 dan 2020. Namun,
menurut survei Biro Statistik pada tahun 2015, masih ada 36 keluarga di Sumatera
Utara yang tidak memiliki akses listrik.56 Pemerintah Sumatera Utara menjelaskan
bahwa alasan di balik lambatnya pelaksanaan proses penyediaan masyarakat
terpencil dengan akses terhadap energi terbarukan (misalnya panel surya) adalah
karena Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
Nomor: 17 Tahun 2013 Tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT. Perusahaan
Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik yang
bedampak pada Perusahaan Listrik Nasional (PLN) daerah.57

54 Departemen Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Pelaksanaan Inventarisasi Gas Rumah


Kaca (GRK) di Provinsi Sumatera Utara, http://lcs-rnet.org, diakses 14 Oktober 2015
55 BPS Sumatera Utara, Survei: Statistik Infrastuktur di Sumatera Utara.diakses 30 Maret
2017ns, In2001; era Utaraluarkan undang-undang perubahan iklim yang menjabarkan ten-
tang peran pemerintah dalam https://sumut.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Statistik-
Infrastruktur-Sumatera-Utara-2014.pdf, diakses pada 10 Oktober 2015
56 BPS, Banyaknya Desa / Kelurahan Menurut Keberadaan Keluarga Pengguna Listrik dan
Sumber Penerangan Jalan Utama Desa, https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/
id/1759, diakses 20 Juli 2017
57 E. Siregar, “Pemerintah perlu dorong investasi energi di Sumatera Utara”, http://www.
antaranews.com/ diakses pada 12 Oktober 2015

79
RIFKA SIBARANI

Ketiga, lemahnya komitmen politik dari pemerintah (dalam hal ini baik pusat
maupun lokal) yang wujudnya adalah tidak ada keharusan pemerintah kabupaten
untuk menyediakan data persediaan GRK, maka mengumpulkan data emisi dari
tingkat kabupaten merupakan tugas yang sulit. Hal ini berdampak pada kualitas
data inventaris emisi rumah kaca yang kemudian dikumpulkan ke pemerintah
provinsi untuk kemudian diteruskan ke level nasional. Hal ini juga terkait dengan
masalah keempat, yaitu hanya sedikit orang yang mengerti bagaimana melakukan
akuntansi karbon di tingkat kabupaten. Dengan keterbatasan sumber daya
manusia yang memahami pelaksanaan RAD GRK, ada kemungkinan besar gagal
di tingkat kabupaten.

VI. Kesimpulan

Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia yang pertama kali
mengambil inisiatif untuk mengembangkan RAD-GRK pada masa awal inisasinya.
Namun pada perjalanannya, RAD-GRK di Sumatera Utara justru mengalami
stagnansi dan kemunduran. Melalui perspektif MLG, desentralisasi dilihat sebagai
salah satu faktor penyebab kebijakan iklim gagal atau berjalan lambat di suatu
daerah atau negara.

Di tingkat internasional, berbagai penelitian mencoba menjelaskan mengapa


banyak negara gagal dalam menjalankan program mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim. Salah satu elemen yang diteliti adalah aspek tata kelola pemerintahan
(governance), yang menunjukkan bahwa sistem yang terdesentralisasi cenderung
membuat program mitigasi dan adaptasi iklim terhambat untuk beberapa

alasan, antara lain: sifatnya yang sangat birokratis dan sedikit membuka cela
bagi keterlibatan masyarakat serta tidak mampu mengakomodasi program yang
sifatnya intranasional seperti, perubahan iklim

Untuk Indonesia sendiri, perubahan iklim menjadi penting ketika Sustainable


Development Goals (SDGs) memasukkan perubahan iklim sebagai salah satu isu
strategis SDGs di negara-negara berkembang pada tahun 2015. Hal ini melegitimasi
isu perubahan iklim sebagai agenda penting dalam RPJM Indonesia hingga ke

80
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

tingkat daerah. Hingga saat ini strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
menjadi strategi penting guna mengurangi resiko bencana akibat perubahan iklim
di berbagai daerah yang rentan.

Sejak tahun 2007, pemerintah Indonesia telah mengembangkan dua rencana


aksi nasional (RAN-GRK) dan daerah (RAD-GRK) sebagai peta jalan penurunan
emisi gas rumah kaca sesuai dengan anjuran IPCCC. Hal ini berdampak positif bagi
citra Indonesia di panggung politik lingkungan internasional serta Indonesia juga
mampu menarik dana internasional yang signifikan untuk mengembangkan dan
melaksanakan program RAN GRK dan RAD-GRK. Indonesia telah menurunkan
beberapa kebijakan dan undang-undang terkait perubahan iklim namun
hasilnya belum signifikan karena Indonesia masih menghasilkan emisi yang
mengkhawatirkan, seperti kebakaran hutan di Sumatera Utara tahun 2015. Maka
tidak heran ketika pemerintah Indonesia juga mendapat kritik atas permasalahan
kebakaran hutan, yang telah membuat komitmen perubahan iklim Indonesia
sebagai agenda politik yang oportunistik dan tidak realistis.

RAN-GRK dan RAD-GRK dikembangkan berdasarkan pendekatan


desentralisasi, serta belum memenuhi pendekatan tata kelola multilevel seperti
yang dianjurkan oleh UNFCCC dan dicontohkan dalam tata kelola perubahan
iklim di sejumlah wilayah di Eropa. Desentralisasi telah menciptakan faktor
tambahan yang terbukti bermasalah bagi tata kelola iklim yang sukses di
Indonesia, dan salah satu contohnya dapat dilihat pada penerapan kebijakan
iklim di Sumatera Utara. Hambatan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, antara
lain: (1) Sistem desentralisasi tidak mendukung pendanaan yang tidak sesuai
dengan kebijakan pemerintah pusat, padahal banyaknya kegiatan perubahan
iklim di daerah membutuhkan pendanaan khusus dan berbeda dari daerah
lainnya; (2) Desentralisasi telah menciptakan situasi yang lebih kompleks di mana
koordinasi antara banyak pusat kekuasaan dan otoritas menjadi lebih sulit. Hal
ini juga berdampak pada perencanaan koordinasi dan konsistensi; (3) Oleh karena
karakteristik distribusi tanggung jawab tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas
masyarakat lokal secara teknis dan distribusi otoritas yang lebih besar di tingkat
lokal juga tidak disertai dengan pengembangan keterampilan teknis yang sesuai di
tingkat lokal untuk melaksanakan tugas yang diperlukan seperti pencatatan emisi
gas rumah kaca yang akurat.

81
RIFKA SIBARANI

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A, dan E. Ostrom. “Collective Action, Property Rights, and Decentralization


in Resource Use in India and Nepal.” Politics & Society No. 4 (2001): 485-514
Ampaire, Edidah L., Laurence Jassogne, Happy Providence, Mariola Acosta,
Jennifer Twyman, Leigh Winowiecki, dan Piet van Asten. “Institutional
challenges to climate change adaptation: A case study on policy action gaps
in Uganda.” Environmental Science and Policy Vol. 75, (2017): 81-90.
Andrea, Ciampani. “Social Europe as a Multilevel Governance: The Italian
Perspective.” Directory of Open Access Journals, Journal of Mediterranean
Knowledge, Vol 1, Iss 1, Pp 65-77 (2016)
Bache, I, dan Matthew Flinders. Multi-level governance. Cheltenham: Edward Elgar
Pub. Ltd, 2015
BAPPENAS, Laporan Dua Tahun Pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK, http://
ranradgrk.bappenas.go.id/rangrk/admincms/downloads/publications/
Laporan_Dua_Tahun_Pelaksanaan_RAN-GRK_RAD-GRK.pdf,
Benz, A, dan B Eberlein. “The Europeanization of regional policies: patterns of
multi-level governance.” Journal of European Public Policy, Vol. 6, No. 2 (1999):
329-348
Börzel, T., dan Risse, TH. Who is afraid of a European federation? How to
constitutionalize a multi-level governance system? di dalam What Kind of
Constitution for What Kind of Polity? Responses to Joschka Fischer, edited by
Joerges C, Mény Y, Weiler JHH European University Institute: Florence, 2000
BPS, Banyaknya Desa / Kelurahan Menurut Keberadaan Keluarga Pengguna Listrik dan
Sumber Penerangan Jalan Utama Desa. September 2015, https://www.bps.
go.id/linkTabelStatis/view/id/1759, diakses pada 20 Juli 2017
Brockhaus, M., & H. Kambiré, Decentralization: A window of opportunity for
successful adaptation to climate change?” Adapting to Climate Change (2009):
399-416
Brondizio ES, Ostrom E, Young OR. Connectivity and the governance of multi-
level social-ecological systems: the role of social capital. Annual Review of
Environment and Resources ,34,1, (2009), hal. 253–278. DOI: 10.1146/annurev.
environ.020708.10070

82
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekua-
saan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for Internation-
alForestry Research (CIFOR), 2006)
Colin MacAndrews, “Politics of the Environment in Indonesia”, Asian Survey, Vol.
34, No. 4: 369 (1994), hal 373-380
Coopenergy, Rhine-Neckar Metropolitan Region-Promotion of the Covenant of Mayors,
https://goo.gl/KgorCy, diakses pada 20 Juli 2017
Coopenergy, Southeast Sweden – Sustainable Energy Community of 5 municipalities
in Kalmar County, https://goo.gl/GjwSNw, diakses pada 20 Juli 2017
Departemen Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Pelaksanaan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca (GRK) di Provinsi Sumatera Utara, http://lcs-rnet.org, diakses
pada 15 Mei 2017
E. Ampaire, L. Jassogne, H. Providence, M. Acosta, J. Twyman, L. Winowiecki, dan
P. Asten, “Institutional challenges to climate change adaptation: A case study
on policy action gaps in Uganda”. Environmental Science & Policy, Vol. 75: 81-90
Eyre, N. “Decentralization of governance in the low-carbon transition” di dalam
Handbook on Energy and Climate Change, diedit oleh Roger Fouquet, 581-597.
Edward Elgar, 2013
Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear
Safety, Climate Action Plan 2050: Principles and goals of the German’s government
climate policy, https://goo.gl/Br5ydC, diakses pada 15 Juli 2017
Fitzgibbon, J., dan Mensah, K. O. “Climate Change as a Wicked Problem”. SAGE
Open, Vol.2, No. 2 (2012): 1-14
Grundmann, R. “Climate change as a wicked social problem”. Nature Geoscience,
Vol 9, No. 8 (2016): 562-563
Jakarta Post, Norway Slams Slow REDD+ Project Progress. Febuari 4, 2016. http://
www.thejakartapost.com/news/2016/02/04/norway-slams-slow-redd-
project-progress.html, diakses 20 Mei 2017
Jänicke, M. “The Ambivalence of Environmental Governance” di dalam
Environmental Governance in Europe, edited by Meuleman, L., Niestroy, I.,
Hey, Chr. RMNO: Den Haag, 2003
Jänicke, M., Schreurs, M., & Töpfer, K, The Potential of Multi-Level Global Climate
Governance, https://goo.gl/XLiz8v, diakses 15 Mei 2017

83
RIFKA SIBARANI

Johnson, C. A., Toly, N. J., & Schroeder, H. (n.d.). The Urban climate challenge:
Rethinking the role of cities in the global climate regime. London: Routledge
Jordan A, van Asselt H, Berkhout F, Huitema D, Rayner T. “Understanding the
paradoxes of multilevel governing: climate change policy in the European
Union”. Global Environmental Politics 12(2), (2012), hal. 43–66. DOI:10.1162/
GLEP_a_00108.
Kern K, Bulkeley H. (2009). Cities, Europeanization and multi-level governance:
governing climate change through transnational municipal networks.
JCMS: Journal of Common Market Studies 47(2): 309–332. DOI:10.1111
/j.1468-5965.2009.00806. x.00806. x.
Kern, K. (2010.). Climate governance in the European Union multilevel
system: The role of cities. Multilevel Environmental Governance, 111-130.
doi:10.4337/9780857939258.00016
Kirsten Jörgensen, Anu Jogesh, dan Arabinda Mishra. “Multi-level climate
governance and the role of the subnational level.” Journal of Integrative
Environmental Sciences no. 4, (2015)
Koski, C., & Siulagi, A. (2016, 04). Environmental Harm or Natural Hazard?
Problem Identification and Adaptation in U.S. Municipal Climate Action
Plans. Review of Policy Research, 33(3), 270-290. doi:10.1111/ropr.12173
L. Hooghe dan G. Marks, “Types of Multi-Level Governance”, European Integration
onlineOnline Papers (EIoP), Vol. 5, No. 11, (2011): 4-6
Larson, A. M., & Soto, F. (2008, 11). Decentralization of Natural Resource Governance
Regimes. Annual Review of Environment and Resources, 33(1), 213-239. DOI:
10.1146/annurev.environ.33.020607.095522
Levin, K., Cashore, B., Bernstein, S., & Auld, G. (2009, 02). Playing it forward: Path
dependency, progressive incrementalism, and the “Super Wicked” problem
of global climate change. IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, 6(50), doi:10.1088/1755-1307/6/0/502002
M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance – the Model
and Its Current Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017):
hal 110-111
Marks, G. “Structural policy and multi-level governance in the EC”. di dalam The
State of the European Community vol. 2: The Maastricht Debates and Beyond,
Cafruny AW, Rosenthal G (eds). Lynne Reiner: Boulder, CO, 2003

84
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Minang, Peter Akong, Meine Van Noordwijk, Lalisa A. Duguma, Dieudonne


Alemagi, Trong Hoan Do, Florence Bernard, Putra Agung, et al. “REDD+
Readiness Progress Across Countries: Time for Reconsideration.” Climate
Policy 14, no. 6 (2014): 685-708.
Multilevel Constitutionalism for Multilevel Governance of Public Goods: Methodology
Problems in International Law. Vol. 2017. Beaverton: Ringgold Inc, 2017
Naomi Klein, Climate change is a global emergency. Stop waiting for politicians to
sound the alarm. September 20, 2014. https://www.theguardian.com/
commentisfree/2014/sep/20/climate-change-global-emergency-alarm,
diakses 25 juli 2017
Naomi Klein, We’re out of time on climate change. And Hillary Clinton helped get us
here. April 7, 2016. https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/
apr/07/out-of-time-climate-change-hillary-clinton, diakses 25 Juli 2017
Rabe, Barry. “Contested Federalism and American Climate Policy.” Publius: The
Journal of Federalism 41, no. 3. (Juni, 2011)Political Science Complete: 494-521.
Salahuddin, M. The UNFCCC in the REDD: Compliance through transnational legal
process in decentralised Indonesia: A thesis submitted for the degree of Doctor of
Philosophy at the University of Otago, Dunedin, New Zealand, 2013
Scharpf, FW. “Introduction: the problem-solving capacity of multi-level
governance”. Journal of European Public Policy 4(4), (1997): 520–538.
DOI:10.1080/135017697344046
Schreurs MA, Tiberghien Y. “Multi-level reinforcement: explaining European
Union leadership in climate change mitigation”. Global Environmental Poli-
tics, 7,4, (2007), hal: 19–46. DOI:10.1162/glep.2007.7.4.19
Sovacool, K. An International Comparison of Four Polycentric Approaches to
Climate and Energy Governance, Energy Policy, Vol. 39 (6), (2011): 3832–3844.
Steurer, Reinhard, and Clar, Christoph. “Is decentralisation always good for climate
change mitigation? How federalism has complicated the greening of building
policies in Austria”. Policy Sciences, 48(1), (2014): 85-107. doi:10.1007/s11077-
014-9206-5
Sun, J., & Yang, K. “The Wicked Problem of Climate Change: A New Approach
Based on Social Mess and Fragmentation”. Sustainability, 8(12), (2016): hal:
1-14. doi:10.3390/su8121312

85
RIFKA SIBARANI

Weibust, I. What is multilevel environmental governance? When does it work? Multilevel


Environmental Governance, (n.d.): 249-270. doi:10.4337/9780857939258.00022
World Bank, Indonesia Climate Change Development Policy Project, http://projects.
worldbank.org/P120313/indonesia-climate-change-development-policy-
project?lang=en, diakses 30 Maret 201
Yang, Anastasia L., Mark D. A. Rounsevell, and Claire Haggett. “Multilevel
Governance, Decentralization and Environmental Prioritization: How is it
working in rural development policy in Scotland?” Environmental Policy &
Governance 25, Environment Complete, no. 6, (2015): 399-411. DOI:10.1002/
eet.1690
Zeemering, E. S. What are the challenges of multilevel governance for urban
sustainability? Evidence from Ottawa and Canada’s national capital region.
Canadian Public Administration, 59(2), (2016): 204-223. doi:10.1111/capa.12167

86
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Signifikansi Pendekatan Kehati-hatian Dalam Pengaturan


Organisme Transgenik di Indonesia

Wahyu Yun Santoso1, Sunarto2, Edhi Martono3, Harry Supriyono4

Abstrak
Status megabiodiversity yang melekat pada Indonesia memberikan potensi
besar akan pemanfaatan dan komersialisasi sumber daya alam hayati, yang salah
satunya adalah sumber daya genetik. Tulisan ini hendak memaparkan penggunaan
pendekatan kehati-hatian dalam pengaturan sumberdaya genetik. Utamanya
membahas secara normatif pentingnya penerapan pendekatan kehati-hatian
dalam pengaturan organisme transgenik di Indonesia. Pembahasan paper diawali
dengan mendeskripsikan konsep pendekatan kehati-hatian, terutama dari sudut
pandang CBD; konsep pengelolaan sumberdaya genetik Indonesia dan isu krusial
yang ada; serta penerapan pendekatan kehati-hatian untuk pengaturan organisme
transgenik di Indonesia.

Kata kunci: biodiversitas, sumberdaya genetik, bioteknologi, pendekatan


kehati-hatian.

Abstract
The “Megabiodiversity” status adhere to the massive potency of Indonesian natural
resources is having consequences in the management of natural resources, as well as its
protection and preservation. One of the element of genetic resources is living modified

1 Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


2 Profesor Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
3 Profesor Ilmu Penyakit dan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
4 Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

87
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

organisms or transgenic organism. This paper discusses normatively the importance of


precautionary approach in the genetic resources policy in Indonesia. The discussion in this
paper is outlined with the description of the precautionary approach concept, particularly
from CBD perspective; management of genetic resources in Indonesia and its crucial issues;
and the implementation of precautionary approach for regulating transgenic organisms in
Indonesia.

Keywords: biodiversity, genetic resources, biotechnology, precautionary approach.

I. Pendahuluan

Sebagai “megabodiversity country”, keanekaragaman hayati merupakan aset


penting bagi bangsa Indonesia, dan untuk dunia. Ratifikasi the Nagoya Protocol on
Access and Benefit Sharing5 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013, menjadi
bagian integral dari kerangka pengaturan Nasional tentang keanekaragaman
hayati yang sekaligus mempertegas arti penting valuasi akan sumberdaya genetik.
Hal ini menjadi signifikan saat potensi bioprospeksi6 berbanding lurus dengan
risiko pencurian biodiversitas (biopiracy) kekayaan Indonesia.7

5 Nama lengkap dan resmi Protokol Nagoya adalah The Nagoya Protocol on Access to Genetic
Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Con-
vention on Biological Diversity.
6 Bioprospeksi atau bioprospecting secara mudah dapat dikatakan sebagai eksplorasi atas
keanekaragaman hayati baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan maupun untuk komer-
sil.Tidak ada definisi yang diterima secara internasional tentang bioprospeksi, namun
dari pendapat secara umum yang dapat dirangkum, bioprospeksi merupakan upaya pen-
elusuran atau penelitian dalam ranah biodiversitas, dan upaya pengambilan sampel dari
organisme biologis untuk kepentingan riset pengetahuan maupun komersial. Memang
menjadi sulit untuk membedakan antara riset terhadap sumberdaya genetik yang murni di-
tujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dengan riset yang dilakukan untuk aktivitas
komersial. Karena seringnya penelitian untuk aktivitas komersial pun dilakukan dengan
menggandeng institusi riset sebagai mitranya, dan demikian sebaliknya.
7 Biopiracy merupakan praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat
tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat. Salah satu kasus biopirasi yang jelas isu
maupun kronologisnya pernah terjadi pada awal tahun 2012. Saat itu Peneliti LIPI terlibat
penemuan spesies baru tawon Megalara garuda dalam proyek kerjasama dengan Univer-
sity of California, Davis. Namun, ternyata dalam publikasi tentang temuan spesies tersebut
tidak disebutkan peneliti Indonesia maupun wilayah Indonesia sebagai tempat diketemu-
kannya spesies baru tersebut. (http://sains.kompas.com/read/2012/05/04/08175361/
LIPI.Akan.Selidiki-.Praktik.Biopiracy).

88
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Salah satu prinsip yang telah diadopsi di dalam pengaturan hukum


keanekaragaman hayati adalah “precautionary approach” atau pendekatan kehati-
hatian.8 Pendekatan kehati-hatian menjadi prinsip utama yang perlu diterapkan
dalam pengaturan kebijakan terkait penerapan teknologi yang berkembang
cepat. Dengan loncatan kuantum yang terjadi di dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, setiap hari penemuan-penemuan baru sangat dimungkinkan untuk
ditemukan dan memberi pengaruh signifikan dalam kehidupan. Namun demikian,
bukti-bukti ilmiah (scientific evidence) yang ada seringnya bersifat tidak lengkap
(incomplete) dan tidak pasti (uncertain).9 Penggunaan yang bijak, berhati-hati, serta
bertanggungjawab dari keberadaan bukti-bukti ilmiah yang menjadi pangkal dari
kemajuan teknologi inilah, termasuk bioteknologi, yang utama untuk diperhatikan
sebagai suatu langkah kehati-hatian.10

Pendekatan kehati-hatian menegaskan bahwa dalam hal terdapat aras ilmiah


yang cukup beralasan untuk mempercayai atau menduga bahwa suatu produk
atau prosesnya tidak aman, produk atau proses tersebut tidak semestinya/diijinkan
untuk diteruskan hingga ada bukti meyakinkan bahwa risiko yang ada cukup
kecil atau berbanding jauh dengan kemanfaatannya.11 Pendekatan kehati-hatian
juga dapat diterapkan pada suatu teknologi yang sudah ada ketika ditemukan
satu bukti yang menunjukkan kenyataan bahwa teknologi tersebut (ternyata) lebih
berbahaya dampaknya daripada yang diperkirakan sebelumnya. Contoh yang
mudah dikenali pada konsep terakhir ini dapat meliputi bahaya rokok, CGCs, gas
rumah kaca (greenhouse gasses), dan sekaligus produk rekayasa genetik.

Pada konteks ini, ketika risiko yang muncul kemudian diperkirakan lebih
berbahaya dari sebelumnya, diperlukan suatu penelitian terpadu untuk mencari
solusi atau upaya pencegahan dan penanganan dampaknya, dan untuk sementara

8 Konsep pendekatan kehati-hatian tercantum dalam Prinsip 15 Rio Declaration on the Environ-
ment and Development 1992 serta di dalam pembukaan (preamble) dari United Nations Conven-
tion on the Biological Diversity 1992 yang diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1994.
9 Sekurangnya tiga poin ini yang menjadi alasan di dalam riwayat penerapan pendekatan
kehati-hatian. Lihat Phillipe Sands, Principles of International Environmental Law: Second Edi-
tion, (UK: Cambridge University Press, 2003), hlm.269-270.
10 Peter T Saunders, Use and Abuse of Precautionary Approach. (Article on the ISIS submission
to US Advisory Committee on International Economic Policy (ACIEP) Biotech. Working
Group, July 13, 2000, hlm. 11.
11 Prinsip 15 Rio Declaration, sebagaimana dijelaskan oleh Per Sandin, The Precautionary Prin-
ciple: From Theory to Practice (Stockholm: Mistra, 2002), hlm.5

89
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

penggunaan teknologi tersebut semestinya dibatasi atau dihentikan untuk mengurangi


ketergantungan. Lebih lanjut, jika ternyata bahaya yang ada dianggap cukup serius,
prinsip kehati-hatian menekankan perlunya untuk menarik semua produk dan
melarang penggunaannya atau melakukan moratorium untuk sementara waktu.12

Meskipun demikian, pendekatan kehatian-hatian tidak mengharuskan


kepada pelaku usaha untuk menyediakan dan menunjukkan bukti-bukti yang
mutlak tentang risiko dan tingkat keamanan dari produk atau proses baru dalam
skema produksi mereka. Memang, ini akan menjadi satu permintaan yang tidak
mungkin dilaksanakan karena akan mematikan penemuan teknologi. Karena pada
prinsipnya, pendekatan kehati-hatian justru ditujukan untuk keadaan-keadaan
ketika tidak terdapat kepastian ilmiah yang mutlak.

Secara konseptual, pendekatan kehati-hatian menjadi terobosan kebijakan


yang dapat diterapkan untuk melakukan upaya konservasi dan perlindungan
keanekaragaman hayati. Paper ini memaparkan secara singkat tentang konsep
dan penerapan pendekatan kehati-hatian dalam kaitannya dengan perlindungan
keanekaragaman hayati dari komersialisasi genetik di Indonesia.

II. Biodiversitas dan Konsep Pendekatan Kehati-hatian

Pendekatan kehati-hatian menjadi sangat penting dan mendesak saat


dihadapkan pada situasi ketika terdapat pem-biar-an atau tidak cukupnya
informasi untuk menangani suatu akibat atau dampak dari sesuatu teknologi
atau invensi. Frank Knight, seorang ekonom dari University of Chicago, pada
masa-masa awal pembahasan tentang pendekatan kehati-hatian berpendapat
bahwa ketidakpastian (uncertainty) terutama yang “tidak terukur” (unmeasurable
uncertainty) merupakan suatu hal yang umum dalam pengambilan kebijakan
ekonomi.13 Knightian uncertainty,14 berlawanan dengan risiko yang merupakan

12 Peter T Saunders (2000). Op. Cit.


13 Knight dalam karya klasiknya di tahun 1921, Risk, Uncertainty, and Profit, membedakan an-
tara risiko, sebagai sebuah kesempatan, dan ketidakpastian, sebagai kemungkinan yang
tidak terukur. Menurut Knight, pembedaan itu penting karena risiko dapat dihitung dan
dicegah atau dialihkan, sementara ketidakpastian merupakan jalan masuk dari kesem-
patan-kesempatan bisnis untuk menghasilkan keuntungan. Lihat David Cowan, Frank H.
Knight. Great Thinkers in Economics (London: Palgrave Macmillan, 2016), hlm.27.
14 Ibid. Istilah Knightian Uncertainty ini ada dalam pembahasan Chapter 2. Knightian Uncer-

90
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

ketidakpastian namun dapat diperkirakan (measurable or probabilistic uncertainty),


yang menyebutkan bahwa perkiraan atau kemungkinan-kemungkinan tersebut
dapat dilekatkan pada suatu peristiwa tertentu dan sekaligus dapat dihitung
melalui ukuran-ukuran tertentu upaya penanganannya. Teori ini pula yang
mendasari bahwa kerangka pikir yang tepat dapat diterapkan untuk menganalisa
suatu ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty).

Ekonom umumnya berpikiran dan mencoba untuk mengelola ekosistem dan


keanekaragaman hayati dalam suatu langkah kebijakan yang seoptimal mungkin,
meskipun kompleksitas dari permasalahan yang ada di alam tidak memungkinkan
optimasi hasil pada pencapaiannya.15 Pada tataran inilah, pemikiran untuk
menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati yang ada, akan lebih tepat
untuk menggunakan pendekatan safety rules atau peraturan-peraturan pengaman,
yang dalam penerapannya diharapkan dapat mencegah proses kepunahan dari
satu atau sekelompok spesies.

The Cartagena Protocol on Biosafety,16 sebuah perjanjian internasional yang


mengatur tentang tata cara perpindahan lintas batas (transboundary movement),
penanganan, dan penggunaan dari living modified organisms (LMOs), adalah salah
satu produk hukum yang menekankan perlunya precautionary approach. Article 1
the Cartagena Protocol secara terang menekankan alasannya:

In accordance with the precautionary approach, contained in Principle 15 of the


Rio Declaration on Environment and Development, the objective of the Protocol
is to contribute to ensuring an adequate level of protection in the field of the safe
transfer, handling and use of living modified organisms resulting from modern
biotechnology that may have adverse effects on the conservation and sustainable
use of biological diversity, taking also into account risks to human health, and
specifically focusing on transboundary movements.17

“Sesuai dengan pendekatan kehati-hatian, termuat dalam Prinsip 15 Deklarasi


Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan, tujuan dari Protokol ini adalah
tainty hlm 27-55.
15 Gaskell, G. et.al., Europeans and Biotechnology in 2005: Pattern and Trends, Eurobarometer 64.
3 (Brussels: European Commission D-G Research, 2006). Hlm 5
16 Protokol untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati yang ditandatangani di Cartagena pada
tahun 2000.
17 Pasal 1 Protokol Cartagena, lihat pada https://bch.cbd.int/protocol

91
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

untuk memberikan dan menjamin level perlindungan yang memadai dalam hal
perpindahan yang aman, penanganan, dan penggunaan dari organisme hidup
modifikasi genetika yang dihasilkan dari bioteknologi modern, yang dapat
memiliki dampak merugikan bagi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan
biodiversitas, pertimbangan kesehatan manusia, dan secara khusus difokuskan
pada perpindahan lintas batas”.

Tujuan utama dari penerapan pendekatan kehati-hatian ini untuk menjamin


adanya level perlindungan yang cukup dan layak dalam perpindahan, penanganan,
serta penggunaan dari LMOs atau dalam terjemah resminya, Organisme Hasil
Modifikasi Genetika (OHMG). Aplikasi OHMG terbukti menawarkan prospek
yang positif untuk kesehatan manusia dan hewan yang lebih baik, peningkatan
kualitas pangan, maupun juga dalam perlindungan lingkungan. Tanpa terkecuali,
perhatian terhadap dampak dari aplikasi rekayasa genetika ini, terutama untuk
Tanaman Pangan Rekayasa Genetika (TPRG) juga cukup tinggi di beberapa
kalangan seperti konsumer, petani, masyarakat tradisional/adat, serta organisasi-
organisasi lingkungan di seluruh dunia yang meningkat sejak akhir 1980an.18
Perhatian ini terutama difokuskan pada keseluruhan dampak yang mungkin
timbul pada lingkungan, kesehatan, maupun kehidupan masyarakat di area
pedesaan yang masih alami karena adanya komersialisasi genetik atas pangan dan
pakan yang dihasilkan melalui rekayasa genetika ini.

Pendekatan kehati-hatian muncul dalam rumusan Prinsip 15 Deklarasi Rio19


yang dinyatakan bahwa:

“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely
applied by States according to their capabilities. Where are threats of serious or
irreversible damage, lack of full scientifc certainty shall not be used as a reason for
postponing cost-efective measures to prevent environment degradation”.20

“Dalam rangka melindungi lingkungan, pendekatan kehati-hatian semestinya


diterapkan secara menyeluruh oleh Negara sesuai dengan kemampuan masing-

18 INSIST, Politik Pangan: Perlu Perubahan Paradigma. (Yogyakarta: Penerbit INSIST, 2008), hlm 38.
19 Deklarasi Rio merupakan kesepakatan berisikan 25 prinsip yang dihasilkan dalam The Unit-
ed Nation Conference on Environment and Development yang berlangsung pada Tahun 1992 di
Rio de Janeiro Brazil.
20 Prinsip 15 Rio Declaration.

92
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

masing. Bahwa adanya ancaman bahaya yang serius atau kerusakan yang tidak
dapat diperbaiki, kurangnya kepastian ilmiah yang memadai semestinya tidak
menjadi alasan untuk menunda langkah-langkah yang efektif untuk mencegah
penurunan kualitas lingkungan”.

Dalam penerapannya, prinsip 15 Deklarasi Rio ini menekankan bahwa


pendekatan kehati-hatian wajib untuk diterapkan dalam hal analisis risiko atas
suatu kegiatan atau introdusir substansi tertentu menunjukkan adanya ancaman
bahaya atau dampak yang cukup besar yang mungkin ditimbulkan, sementara jika
didasarkan pada pembuktian terlebih dahulu dapat menjadi penghalang untuk
pengambilan keputusan yang bersifat segera.

Per Sandin memberikan penafsiran atas konsep pendekatan kehati-hatian


melalui 4 aspek:21

a. adanya threats atau ancaman karena suatu kegiatan yang berpotensi bahaya
(potentially dangerous action);
b. ketidakpastian ilmiah (before scientific proof established);
c. adanya tindakan untuk membatasi, mengatur, atau mencegah; dan
d. sifat wajib dari tindakan tersebut (mandatory).

Adapun dari sekian rumusan yang ada tentang penerapan pendekatan kehati-
hatian, secara umum batasan pengertiannya mengerucut pada tiga hal, yaitu: sifat
ancaman kerusakan lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan
(irreversible); terdapat ketidakpastian ilmiah (scientifc uncertainty); dan perlunya
preventif, mencakup upaya pencegahan hingga biaya-biaya yang mendukung
penanganan secara efektif (cost efectiveness).22

Pendekatan kehati-hatian dalam perkembangannya tidak hanya menjadi


sekedar pendekatan umum terkait perlindungan lingkungan dan kesehatan,
namun juga menjadi dasar pengaturan tentang risiko hingga sebuah pola kebijakan
terkait riset keilmuan dan perdagangan.23 Beberapa versi yang berbeda dari prinsip
21 Per Sandin, Dimensions of the Precautionary Principle, (Human and Ecological Risk Assessment:
An International Journal, Vol 5 No. 5 1999), hlm. 889-907, DOI:10.1080/10807039991289185
hlm.890-891
22 Philippe Sands, (2003). Op. Cit. Hlm. 269-271.
23 Kriebel, D., Tickner, J., Epstein, P., Lemons, J., Levins, R., Loechler, E. L., et al., The Precaution-
ary Principle in Environmental Science. (Environmental Health Perspectives, 2001 Vol 109),
hlm. 871–876

93
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

ini juga bermunculan dari aspek pendekatan ekosentris hingga antroposentris,


maupun dari aspek penghindaran risiko atau penanganan risiko yang ada.24
Bahkan beberapa pendapat membuat pembedaan dari aspek preskriptif atau
petunjuk-petunjuk umum tentang prinsip pendekatan kehati-hatian dan aspek
argumentatif atau alasan-alasan dibalik prinsip tersebut.25

Pada konteks ini, pendekatan kehati-hatian dapat digunakan sebagai satu


opsi untuk mengelola risiko pada saat risiko tersebut telah diidentifikasi melalui
analisis untung-rugi dan risiko (risk-cost-benefit analyses). Pada saat penerapannya,
baik risiko maupun kemanfaatannya perlu diidentifikasi dan perkiraan atas
risiko yang ada perlu dinilai berbasis pada bukti-bukti statistik serta dipantau
secara berkala sebelum diputuskan hasilnya.26 Meskipun, terdapat satu kritisi dari
Levidow yang mempertanyakan kegunaan dari kriteria efektivitas biaya ini karena
ketika pendekatan ini diterapkan, justru semakin menegaskan bahwa berarti
pengetahuan yang ada cukup tersedia untuk memperkirakan tingkat bahaya yang
potensial sehingga memungkinkan adanya penilaian risiko berbasis efektivitas
biaya tersebut.27

Pada situasi yang dipengaruhi oleh ketidakpastian dan kompleksitas,


tidaklah mungkin untuk mendapat bukti ilmiah yang meyakinkan dan konklusif
dari dampak negatifnya. Pada titik singgung inilah, pendekatan kehati-hatian
menjadi sangat substantif karena pada saat terjadi ketidakpastian ilmiah,
maupun perdebatan ilmiah tentang relevansi produk/teknologi dengan dampak
negatifnya, risiko terhadap lingkungan atau kesehatan dapat menjadi isu minor
yang dipertimbangkan, sehingga prinsip kehati-kehatian perlu diutamakan.28

Lebih lanjut, pada tataran preskriptif, pendekatan kehati-hatian semestinya


menjadi dasar dari setiap aktivitas usaha/kegiatan yang dapat menimbulkan

24 C Weiss, Defining Precaution. (Environment, 2007, Vol 49. No. 8), hlm. 36–39.
25 P. Sandin, The Precautionary Principle and the Concept of Precaution. (Environmental Values,
2006 No. 13), hlm. 461–467.
26 M. Karlsson, The Precautionary Principle, Swedish Chemicals Policy and Sustainable Development.
(Journal of Risk Research, 2006, No. 9), hlm. 337–360
27 L. Levidow, Precautionary Uncertainty: Regulating GM Crops in Europe. (Social Studies of Sci-
ence, 2001, No. 31), hlm. 842–874.
28 Anne Ingeborg Myhr & T. Traavik, Sustainable Development and Norwegian Genetic Engineering
Regulations: Applications, Impacts and Challenges. (Journal of Agricultural and Environmental
Ethics, 2003, No. 16), hlm. 317–335

94
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

risiko bahaya atau dampak negatif. Ketika sebuah aktivitas usaha berpotensi
menimbulkan ancaman bahaya pada kesehatan manusia atau lingkungan,
pendekatan kehati-hatian wajib diterapkan meskipun penyebab dari ancaman
bahaya maupun kausalitasnya tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.29

Pendekatan kehati-hatian secara khusus difokuskan untuk mengetahui dan


mengatasi problem kenihilan data pada saat pengambilan keputusan (problem
of incertitude in decision-making).30 Karena secara tradisional, metode kuantitatif
seperti instrumen statistik atau prediksi tingkat kesalahan dapat memetakan
ketidakpastian dan variabel yang ada, namun tidak semua aspek uncertainty
dapat dijangkau melalui metode ini.31 Berbasis pada pendekatan sumber serta
tipe ketidakpastian, terdapat pembedaan antara (a) linguistic uncertainty dan (b)
incertitude.32 Linguistic uncertainty lebih dimaksudkan karena ketidakpastian yang
diawali dari ketidakpastian data awal, atau secara mudah dari aspek bahasa saja
sudah uncertain. Sedangkan incertitude lebih menekankan pada situasi terdapatnya
kekurangan kepahaman ilmiah atau tidak lengkapnya deskripsi dari suatu
peristiwa, sehingga dasar untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan lain
yang relevan juga tidak cukup kuat.33

Poin yang tertera pada bahasan di atas cukup krusial karena uncertainty
atau ketidakpastian, terlebih pada komersialisasi genetik, dapat terjadi karena (i)
novelty atau kebaruan dari aktivitas penerapannya bioteknologi,34 atau (ii) tidak
lengkapnya deskripsi dari mekanisme atau proses yang ada. Lebih lengkapnya,
terkait dengan OHMG, ketidakpastian menjadi sangat relevan jika dikaitkan pada
aspek-aspek sebagai berikut:35

29 Anne Ingeborg Myhr, A Precautionary Approach to Genetically Modified Organisms: Challenges


and Implications for Policy and Science, (Journal of Agriculture and Environment Ethics, 2010,
23:501–525). Hlm. 504
30 Ibid.
31 Ibid. Hlm. 506
32 Ibid. Hlm.510
33 Ibid. Hlm. 511-512
34 Bioteknologi berkembang sangat cepat, yang mana meninggalkan gap yang cukup lebar
dengan kesiapan hukum dan kesiapan – penerimaan masyarakat. Pengembangan di dalam
bioteknologi dilakukan pada level sel, yang mana, tingkat kebaruan sangat terbuka, meski
untuk satu obyek yang sama.
35 Anne Ingeborg Myhr, (2010). op. cit. hlm. 516

95
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

a. Adanya perubahan substantif pada OHMG atau produk turunannya. Struktur


DNA dari organisme yang dimodifikasi merupakan struktur yang kompleks,
sehingga implikasinya ekspresi genetis yang dibawa dapat jadi menimbulkan
efek yang tidak diduga sebelumnya.

b. Efek sekunder yang timbul dari introduksi gen termodifikasi di lapangan.


Beberapa contoh yang ada menunjukkan bahwa introdusir gen baru di
lapangan sangat rentan dalam menimbulkan hama baru.

c. Adanya perubahan pada interaksi alam dan respon lingkungan (daya


dukungnya). Introdusir OHMG jelas akan menimbulkan interaksi dengan
organisme lain, sehingga kondisi lingkungan yang berbeda, termasuk karena
adanya perubahan iklim, dapat mempengaruhi tingkat persistensi dari OHMG
itu sendiri.

III. Konsep Pendekatan Kehati-hatian dalam Pengaturan Organisme


Transgenik36

Basis perdebatan umum yang sering terjadi, pada pendukung mengklaim


bahwa organisme transgenik, yang terutama nampak pada tanaman pangan
dan produk pakan hasil rekayasa genetika, dibutuhkan Dunia untuk mengatasi
ancaman kelaparan; kurangnya ketersediaan pangan; kemiskinan di masa depan;
dampak perubahan iklim; hingga pada alasan bahwa selain aman, TPRG dapat
meningkatkan produksi pertanian.37 Pada sisi yang berseberangan, terutama
organisasi non pemerintah (ornop) merasa bahwa isu risiko yang ada jauh lebih
besar, dan sekaligus adanya skeptisme bahwa motivasi produsen yang senyatanya
hanya untuk mencapai kepentingan ekonomi semata.38

36 Isitlah transgenik yang berasal dari trans-genetic, merupakan istilah populer yang disemat-
kan pada OHMG. Istilah OHMG sendiri merupakan istilah legal formal yang diadopsi oleh
Indonesia untuk menterjemahkan LMOs yang tercantum dalam Protocol Cartagena.
37 Gaskell, et.al, (2006).Op. Cit. Hlm. 8
38 Ibid. Di Indonesia, ornop memberi perhatian dalam organisme transgenik memiliki kecend-
erungan yang sama, yaitu skeptisme dan sekaligus “penolakan” terhadap produk transge-
nik. Memang yang menjadi permasalahan adalah isu ini masih menjadi isu minor di negara
berkembang seperti Indonesia.

96
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Pada konteks negara maju seperti di Amerika maupun di Eropa, publik


memahami adanya keberadaan OHMG ini dan berbagi perhatian yang sama
terkait aspek sosio-ekonomis serta aspek biodiversitas.39 Beberapa riset yang
dilaksanakan oleh komunitas-komunitas sosial, seperti komunitas konsumen di
Amerika, mengisi diskursus ini dengan isu risiko dari OHMG,40 sementara para
ilmuwan justru berbeda pandangan tentang ada tidaknya risiko nyata dari dampak
yang merugikan terhadap kesehatan dan lingkungan.41

Penilaian risiko atas TPRG selama ini telah menghasilkan produk-produk


kebijakan yang berbeda tergantung pada apakah institusi pengambil kebijakan terkait
memiliki dan memahami cukup bukti ilmiah sebagaimana halnya ketidakpastian
ilmiah yang ada. Hal ini berpengaruh pada munculnya dua kubu yang sama-sama
kuat, pertama yang mendukung signifikansi dari bukti ilmiah mengingat risiko
yang mungkin ditimbulkan, serta yang kedua lebih mendukung didasari atas poin
kemanfaatan yang ada. Terutamanya, poin pembahasan utama ada pada peran dari
pendekatan kehati-hatian ini dalam penilaian risiko serta proses manajemen dari
komersialisasi genetika yang terkadang menimbulkan kontroversi.42

Penerapan pendekatan kehati-hatian juga mengharuskan adanya pengetahuan


atau bukti ilmiah minimal untuk dapat mengalaskan signifikasi dari pencegahan
bahaya atau ancaman bahaya tersebut. Bukti ilmiah minimal ini juga perlu
didokumentasikan dengan metodologi ilmiah sebelum prinsip kehati-hatian dapat
diterapkan. Sehingga dapat dikatakan, bahwa dalam hal bahaya atau ancaman
bahaya tersebut murni sebatas hipotesis atau imajinasi semata, dengan ketiadaan
indikasi ilmiah apapun terkait potensi bahayanya, pendekatan kehati-hatian tidak
dapat diterapkan.43

39 Perbedaan tingkat kepahaman publik sangat berbeda antara negara maju dengan negara
berkembang. Isu ini juga menjadi alasan mendesaknya suatu konsep besar dalam kerangka
pengaturan OHMG di Indonesia.
40 I. De Melo-Martin & Z. Meghani, Beyond Risk. (EMBO Reports, 2008 No. 9), hlm. 302–308.
Dapat diunduh pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/journals/118/
41 Dalam tulisannya, Andow menyinggung tentang perubahan aspek dalam penilaian risiko
atas tanaman transgenik. Utamanya diperluas dari sekedar non-target species, hingga ke
local environment. Perluasan dalam environmental assessment ini sendiri menimbulkan di
antara akademisi. Lihat D. A Andow & C Zwahlen, Assessing Environmental Risks of Trans-
genic Plants. (Ecological Letters, 2006, 9: 196–214), hlm. 197-198.
42 Anne Ingeborg Myhr, (2010). Op. Cit. Hlm. 505
43 Ibid.

97
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

Meskipun demikian, kriteria apa yang dapat diterima sebagai bukti ilmiah
untuk dasar penerapan precautionary approach ini belum dibedakan dan didefinisikan
secara tegas. Sebagai contoh pada Pasal 15 ayat (1) Protokol Cartagena disebutkan
bahwa:

“Risk assessments undertaken pursuant to this Protocol shall be carried out


in a scientifically sound manner… Such risk assessments shall be based, at a
minimum, on information provided in accordance with Article 8 and other
available scientific evidence in order to identify and evaluate the possible adverse
effects of living modified organisms on the conservation and sustainable use of
biological diversity, taking also into account risks to human health”. 44

“Penilaian risiko berdasarkan Protokol ini harus dilakukan dengan tata


cara yang tepat secara ilmiah… Penilaian risiko tersebut harus dilandaskan,
sekurangnya, pada informasi yang tersedia sesuai dengan Pasal 8 dan bukti ilmiah
lain yang tersedia untuk mengidentifikasi dan menilai potensi dampak merugikan
dari organisme hidup modifikasi genetika pada konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan biodiversitas, dan mempertimbangkan risiko pada kesehatan
manusia”.

Bagaimana menerjemahkan “available scientific evidence” atau “bukti ilmiah


yang tersedia” akan tergantung pada pengalaman keilmuan yang dimiliki oleh
para ahli yang di dalam suatu negara. Salah satu contoh kasus yang pernah
terjadi di Uni Eropa dapat menjadi satu rujukan yang bagus dalam memahami
konteks penerapan pendekatan kehati-hatian ini. Bahwa setelah adopsi dari
the EU Directive 90/220 pada tahun 1990, perselisihan serius terjadi antara the
European Council dengan otoritas-otoritas nasional berkaitan dengan bukti-bukti
ilmiah yang diperlukan dalam penerapan precautionary measures.45 Perselisihan
ini berujung pada dua putusan penting terkait dengan penggunaan OHMG dan
pelepasannya di Uni Eropa. Pertama, Dewan Menteri dari the European Council
menyetujui adanya moratorium komersialisasi genetik dari OHMG pada bulan
Juni 1999. Kedua, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan baru dalam “membaca”

44 Article 15 (1) the Cartagena Protocol on Biosafety


45 EEA: European Environment Agency. Late Lessons from Early Warnings: The Precautionary
Principle 1896–2000, (Brussell; 2002) http://reports.eea.eu.int/environmental_issue_re-
port_2001_22/

98
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Directive 90/220/EEC.46 Peraturan baru yang telah direvisi sekaligus menggantikan


peraturan yang lama, EU Directive 2001/18/EC,47 yang secara tegas memasukkan
precautionary principle pada pasalnya dan menambahkan persyaratan yang lebih
ketat untuk persetujuan OHMG. Sebagai tambahan pada tahun 2000, the European
Commission mengeluarkan satu communication paper yang menjelaskan pendekatan-
pendekatan apa yang diperlukan dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, yang
menegaskan bahwa kebijakan lingkungan di Eropa juga didasarkan dari prinsip
tersebut sebagaimana dinyatakan pada Pasal 174 (2) Piagam Uni Eropa.48

Permintaan atas adanya “available scientific evidence” juga menimbulkan


ambiguitas pada redaksional Protokol Cartagena itu sendiri, terutama jika
diperbandingkan dengan yang dinyatakan pada Pasal 10:

“Lack of scientific certainty due to insufficient relevant scientific information


and knowledge regarding the extent of the potential adverse effects of a living
modified organism on the conservation and sustainable use of biological diversity
in the Party of import, taking also into account risks to human health, shall not
prevent that Party from taking a decision, as appropriate, with regard to the
import of the living modified organism in question as referred to in paragraph 3
above, in order to avoid or minimize such potential adverse effects”.49

“kurangnya kepastian ilmiah dikarenakan tidak cukupnya informasi ilmiah


dan pengetahuan yang relevan mengenai tingkat potensi dampak merugikan
dari organisme hidup modifikasi genetika pada konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan biodiversitas dari Negara importir, dan mempertimbangkan risiko
terhadap kesehatan manusia, tidak membatasi Negara untuk membuat putusan,
sewajarnya, terkait impor tersebut, untuk menghindari atau mengurangi potensi
dampak merugikan”.

Pasal ini memberikan penegasan bahwa sangat dimungkinkan adanya


ketidakcukupan informasi ilmiah yang relevan terkait dengan dampak negatif

46 Ibid.
47 CEC, European Council Directive 2001/18/EC, http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/
TXT/?uri=celex%3A32001L0018
48 CEC, Communication From the Commission on the Precautionary Principle, 2000, http://europa.
eu.int/comm/dgs/health_consumer/library/pub/pub07_en.pdf
49 Article 10 the Cartagena Protocol on Biosafety

99
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

yang potensial, yang sekaligus merefleksikan sebuah kesadaran bahwa tidak cukup
hanya pada kuantitas dari informasi ilmiah saja, tapi juga kualitas informasi ilmiah
yang perlu diperhatikan dalam penilaian suatu risiko. Penafsiran dalam Pasal 10
Protokol Cartagena ini juga nampak pada komunikasi EC tentang prinsip kehati-
hatian50 dan laporan dari UNESCO51 yang sama-sama menekankan pentingnya
kuantitas dan kualitas dari informasi ilmiah. Pada konteks ini, penerapan
pendekatan kehati-hatian tidak hanya ditentukan oleh jumlah informasi yang ada,
namun juga macam kepahaman ilmiah yang sudah diketahui tentang suatu risiko
bahaya dan adakah kekurangan dari informasi tersebut.

Dari dokumen komunikasi EC, prinsip pendekatan kehati-hatian perlu


diterapkan pada saat terdapat dasar pertimbangan yang beralasan (reasonable ground
for concern) dan oleh karena itu dapat melegitimasi putusan-putusan dan tindakan-
tindakan yang diambil, terutama pada saat kepahaman ilmiah tentang dampak
negatif yang ada hanya dimiliki oleh sebagian atau jumlahnya sangat terbatas.
Sedangkan pada versi Laporan UNESCO, kondisi untuk dapat menerapkan
prinsip kehati-hatian adalah adanya bahaya yang secara ilmiah masuk akal tetapi
memiliki ketidak pastian (harm that is scientifically plausible but uncertain). Sehingga,
dapat dikatakan bahwa kedua versi penafsiran dari precautionary approach dari
dokumen-dokumen tersebut mengakui bahwa prinsip kehati-hatian dapat
diterapkan pada saat terdapat kemungkinan timbulnya dampak negatif yang tidak
dapat diperkirakan waktunya, atau dengan bahasa mudahnya: dampak negatif
secara ilmiah masuk akal untuk terjadi, tapi keterkaitan antara aktivitas usaha
dengan dampak yang ada belum cukup buktinya.

Meskipun pada tataran teoretis dan regulatif sudah cukup jelas dan tegas,
pada kenyataan di lapangan, peran prinsip kehati-hatian ini dalam penilaian risiko
dan pengelolaan OHMG menjadi satu obyek perdebatan dan kontroversi publik
yang sangat panas. Dari pihak yang menolak, beralasan bahwa penerapan prinsip
kehati-hatian menambah beban penaatan hukum dalam penggunaan OHMG,
sehingga mengurangi kemanfaatan inovasi, membatasai pemanfaatannya secara

50 Ibid.
51 UNESCO COMEST, The Precautionary Principle, (Paris, 2005) http://unesdoc.unesco.org/
images/0013/001395/139578e.pdf

100
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

global, dan sekaligus menjadi disinsentif untuk meningkatkan penelitian di aspek


bioteknologi.52

Pendapat lain juga menyatakan bahwa tidak ada satupun definisi dari prinsip
kehati-hatian yang menjelaskan secara spesifik dari intervensi yang diperlukan
serta tidak memperhatikan aspek keseimbangan antara risiko dengan manfaat
yang ada,53 sebagaimana juga kurangnya pendekatan untuk identifikasi risiko
yang muncul dari kebijakan pajak impor yang ada dan kemungkinan menjadi
penghambat bisnis dalam hal prinsip kehati-hatian diterapkan.54 Lebih lanjut
lagi, prinsip kehati-hatian semestinya tidak diterapkan pada proses pengambilan
keputusan (decision-making) karena adanya metode ilmiah kredibel (sound scientific
methods) yang menawarkan dasar yang sangat tepat dan hati-hati dalam pemberian
informasi ke pengambil keputusan.55

Sementara di sisi lain, pendukung prinsip kehati-hatian termotivasi untuk


meningkatkan prosedur keamanan yang kompetitif dengan penerapan prinsip ini,
sekaligus memberi penegasan antara kepentingan lingkungan dan kepentingan
bisnis dalam pengambilan keputusan. Meskipun sebenarnya rerata kritikan
terhadap prinsip kehati-hatian ini hanya didasarkan pada misinterpretasi semata,56
karena pada dasarnya ketiadaan kepastian dan sekaligus rasionalitas ilmiah-lah
yang menjadi alasan penerapan prinsip ini.57 Sementara semestinya hal yang lebih
layak untuk diperdebatkan bukan pada bagaimana menerapkan prinsip kehati-
hatian, karena sangat teknis, tetapi lebih ke pada saat dan pada batasan apa
pendekatan kehati-hatian diperlukan.58

52 J. Morris, The Relationships Between Risk Analysis and the Precautionary Principle. (Toxicology,
2002) hlm 181–182.
53 C. Weiss, (2007). Op. Cit. Hlm. 36-39.
54 J. D Graham, & J. B Wiener. The Precautionary Principle and Risk-Risk Tradeoffs: A Comment.
(Journal of Risk Research, 2008 No. 11), hlm. 465–474
55 D. M.,Byrd & R. Cothern, Introduction to Risk Analysis. A Systematic Approach to Science-Based
Decision Making. (Rockville US: MD Government Institutes, 2000). Hlm. 25-27.
56 P. Sandin., (2006). Op.Cit.Hlm 465
57 Starling,, Risk, Precaution and Science: Towards a More Constructive Policy Debate. (EMBO Re-
ports, 2007, Edition 8), hlm. 309–315.
58 Wickson, F., Gillund, F. and Myhr, A. I. Treating Nanoparticles with Precaution: The Impor-
tance of Recognising Qualitative Uncertainty in Scientific Risk Assessment. dalam K. Kjølberg, F.
Wickson (Eds.). Nano Meets Macro, Social Perspectives on Nanoscience and Nanotechnology. (US:
Stanford Publishing., 2010), hlm. 176-179

101
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

Secara khusus, pendekatan kehati-hatian untuk OHMG memerlukan


“pandangan” baru terhadap ilmu pengetahuan yang menyokong penilaian risiko
dan manajemen dalam penggunaan dan pelepasan OHMG. Hal ini menekankan
bahwa perlu adanya identifikasi piranti-piranti praktis untuk dapat mendisain
penelitian yang berorientasi pada pendekatan kehati-hatian dan sekaligus
mengeksplorasi pentingnya bukti ilmiah yang berbasis kehati-hatian ini dalam
pengambilan putusan dan kebijakan.59 Hal ini sekaligus memerlukan pandangan
kritis mengenai seberapa mungkin (reliable) data yang dapat didapatkan, dan
apakah data tersebut dapat mewakili ketercukupan dari permasalahan yang
sedang diinvestigasi untuk mengurangi insiden yang mungkin timbul akibat
dampak negatif yang terjadi setelah adanya komersialisasi genetik.60

IV. Isu Krusial dalam Pengaturan Organisme Transgenik di Indonesia

Implementasi pendekatan kehati-hatian meminta adanya tanggungjawab dari


para pihak (pengekspor) untuk menunjukkan bahwa OHMG yang bersangkutan
aman. Sehingga, pada penerapannya, rerata Negara mengaplikasikan pendekatan
kehati-hatian secara kasuistis (case-by-case) dan bertahap (step-by-step). Prosedur
kasuistis meminta adanya evaluasi ilmiah wajib dari setiap notifikasi adanya
OHMG. Sedangkan prosedur bertahap memfasilitasi adanya perkembangan
yang progresif dari OHMG dengan mengevaluasi dampak lingkungan yang ada
dari proses pelepasan OHMG. Tujuan dari penerapan kedua prosedur ini adalah
untuk membentuk praktik pembelajaran yang memungkinkan baik pengekspor
maupun otoritas negara untuk mengumpulkan informasi ilmiah yang diperlukan.
Sebagai tambahan, di Uni Eropa, pengekspor juga harus menyerahkan dokumen
tentang program pemantauan (monitoring program) yang berisikan tentang rencana
pemantauan lingkungan yang akan diterapkan setelah komersialisasi OHMG
tersebut dilakukan.61

59 Anne Ingeborg Myhr, (2010). Op. Cit. Hlm. 516


60 Nielsen, K. M., & Myhr, A. I. Understanding the Uncertainties Arising from Technological Inven-
tions in Complex Biological Systems: The Case of GMOs. dalam T. Traavik & L. C. Lim (Eds.),
Biosafety Frst: Holistic Approaches to Risk and Uncertainty in Genetic Engineering and Genetically
Modified Organisms. (Trondheim: Tapir Academic Press, 2007). hlm. 107–123.
61 CEC. Ibid.

102
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Satu hal yang cukup menjadi hambatan dalam penerapan pendekatan kehati-
hatian ini adalah menentukan beban pembuktian dan sekaligus beban tanggung
jawab dari masing-masing pihak. Sebagai contoh, bagaimana dapat diyakinkan
bahwa pengembang OHMG telah mengikuti prioritas prosedur penelitian
yang ketat untuk mencegah dan mendeteksi adanya efek berbahaya?62 Pada
perkembangan saat ini, penerapan tanggung jawab (liability) atau jaminan finansial
berbarengan dengan persetujuan bersyarat dan uji coba skala luas dapat menjadi
sarana untuk menjamin adanya tanggung jawab dari pengembang OHMG.
Pembebanan tanggung jawab juga dapat ditambah dengan penilaian keamanan
OHMG oleh tim ahli, yang mengharuskan pengembang OHMG untuk melakukan
uji coba dan menunjukkan hasilnya ke komite ahli, atau mengharuskan untuk
melakukan uji coba pada lembaga akademis yang terakreditasi.63

Selain itu, sebagaimana tertuang dalam pembahasan sebelumnya, salah satu


isu krusial dalam penerapan pendekatan kehati-hatian ini adalah kemungkinan
adanya ketidakcukupan informasi ilmiah yang relevan terkait dengan dampak
negatif yang potensial. Kuantitas dan kualitas informasi ilmiah mengenai OHRG
di Indonesia masih menjadi akses eksklusif sedikit pihak saja. Sementara untuk
informasi publik masih kurang ketersediaannya.

Mengingat keunikan dari OHMG dan sekaligus keanekaragaman hayati itu


sendiri, tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang ada, dapat jadi sangat tinggi dan
bervariasi. Praktik baik yang ada pada pengaturan kewajiban dan tanggungjawab
pelaku usaha untuk berhati-hati dalam pemanfaatan OHMG di Eropa disinggung di
atas sebagai konsep rujukan. Indonesia menaruh perhatian terhadap bioteknologi
melalui dukungan peraturan diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika Peraturan Pemerintah
ini dibuat atas dasar pendekatan kehati-hatian dan mengacu pada Protokol
Cartagena tentang Keamanan Hayati yang telah diratifikasi Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol On
Biosafety To The Convention On Biological Diversity. Penerapan protokol keamanan
hayati yang tertuang di dalam Protokol Cartagena dilakukan Balai Kliring
Keamanan Hayati (BKKH) yang merupakan perangkat dari Komisi Keamanan

62 Anne Ingeborg Myhr, 2010. Op. Cit. Hlm. 510


63 Ibid.

103
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

Hayati.BKKH digunakan untuk memfasilitasi konsultasi publik terhadap hasil


pengkajian OHMG.

Keamanan hayati OHMG dimaksudkan bahwa OHMG bersangkutan


tidak mengganggu, merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia,
keanekaragaman hayati, dan lingkungan. Sesuai dengan amanat dari Protokol
Cartagena, terdapat tiga uji keamanan hayati yang harus ditempuh oleh suatu
OHMG sebelum dapat diperkenalkan ke pasar (komersialisasi) yaitu uji keamanan
lingkungan, uji keamanan pangan, dan uji keamanan pakan.

Sementara, dari aspek pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan


lingkungan hidup, penilaian risiko lingkungan menjadi salah satu solusi yang
dapat diterapkan sesuai prinsip pendekatan kehati-hatian ini. Sebagaimana
diamanatkan di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut dengan UU Nomor 32 Tahun
2009), bahwa dalam beberapa usaha/kegiatan yang memiliki uncertainty tinggi
dalam dampaknya, perlu menambahkan satu kajian risiko lingkungan selain
kewajiban kajian dampak lingkungan yang diperlukan.64

Kajian penilaian risiko didasarkan pada informasi ilmiah dan dilakukan


oleh tim ahli. Di dalam kajian ini juga terdapat strategi manajemen risiko yang
berisikan program manajemen risiko sebagai instrumen untuk minimalisir atau
mencegah risiko. Penilaian risiko ini bertujuan untuk menyediakan basis ilmiah
yang memadai sebagai dasar pengambilan keputusan, tanpa harus ditujukan
untuk mendapatkan pengetahuan sebanyak mungkin untuk mengesampingkan
semua ketidakpastian yang ada.

Pasal 1 Protokol Cartagena memberi pengkhususan bahwa keseluruhan


agenda dari adopsi protokol tersebut adalah untuk melindungi dan melestarikan
keanekaragaman hayati berbasis pada pendekatan kehati-hatian. Meskipun
pertanyaan utama mengenai apa yang dapat dikategorikan sebagai bahaya atau
ancaman bahaya tetap muncul, kerangka pengaturan tetap diperlukan dikarenakan

64 Pasal 47 UUPPLH mensyaratkan bahwa untuk kegiatan/usaha yang berpotensi meimbul-


kan dampak penting bagi lingkungan, ancaman terhadap ekosistem, kehidupan, kesehatan,
dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan. Di dalam penjelasan
pasalnya disebutkan anallisis ini dilakukan dalam prosedur yang antara lain digunakan
untuk mengkaji pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik

104
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

pemahaman terhadap bahaya dan ancaman bahaya serta nilai dari biodiversitas
harus didasarkan pada konteks biologi dan sekaligus etis.

Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tetap harus dapat membuat


kebijakan atau peraturan didasarkan pada informasi ilmiah yang tersedia.
Sehingga, seberapapun bentuk kebijakan/regulasi dari Pemerintah bahwa suatu
komersialisasi genetik tidak dimungkinkan pelaksanaannya, tetap didasarkan pada
suatu kerangka legal khusus yang telah mempertimbangkan ilmu pengetahuan,
etika, aspek sosio-kultural, pertimbangan ekonomi, keindahan, maupun kriteria
lain yang diperlukan.65 Isu inilah yang menjadi tugas rumah berkepanjangan dari
pemerintah. Komersialisasi produk transgenik perlu dipersiapkan dengan baik,
baik dalam peredarannya maupun penanganan risiko yang mungkin ditimbulkan.

Pemerintah pada konteks ini perlu menempatkan dirinya sebagai pihak yang
bertugas untuk menerjemahkan informasi tentang ketidakpastian melalui artikulasi
dari pertimbangan-pertimbangan normatif sehingga dapat menghasilkan satu
pilihan kebijakan dan proteksi yang dibutuhkan.66 Dengan catatan bahwa jaminan
atas kuantitas dan kualitas informasi, sebagaimana jaminan atas akses informasi
bagi publik diakomodasi dengan baik oleh Pemerintah.

V. Kesimpulan

Penerapan pendekatan kehati-hatian dalam rangka proteksi terhadap


komersialisasi sumber daya genetika pada dasarnya telah dilakukan sesuai amanat
dari Protokol Cartagena. UU Nomor 32 Tahun 2009 pun sudah memasukkan
prinsip kehati-kehatian sebagai prinsip dasar dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Meskipun demikian, dalam mempersiapkan tahapan rilis
komersil TPRG yang telah dimulai dengan izin peredaran pangan beberapa produk

65 Dengan adanya ego sektoral yang masih cukup tinggi, perlu suatu keterpaduan dari as-
pek sistem regulasi dan peraturan sehingga kajian penilaian risiko dan strategi manajemen
terhadap komersialisasi genetika didasarkan pada satu kerangka spesifik, yang meliputi
standar-standar normatif dan pertimbangan tentang pengaruhnya terhadap lingkungan.
66 R. Von Schomberg,. The Precautionary Principle and its Normative Challenges. dalam Chapter
2 dari E. Fisher, et al. (Eds.), Implementing the Precautionary Principle: Perspetives and
Prospects. (UK: Cheltenham, 2006), hlm. 19–42

105
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

pertanian hasil rekayasa genetika,67 masih diperlukan fasilitasi untuk diskusi yang
lebih luas untuk dapat memetakan implikasi sosial, etis, dan legal dari aspek-aspek
risiko yang mungkin timbul dari introdusir OHMG maupun bentuk komersialisasi
genetika lainnya.

Untuk menjembatani diskursus terkait aspek risiko dari OHMG ini, perlu
adanya identifikasi terhadap (i) ancaman terhadap keanekaragaman hayati seperti
apa yang dianggap dapat diterima (acceptable) atau tidak, (ii) instrumen apa yang
diperlukan untuk mencapai level perlindungan yang diharapkan, (iii) adakah
dan data dasar apa yang dapat diterapkan sebagai pembanding dari bahaya atau
ancaman bahaya yang diperkirakan, (iv) capaian normatif yang dituju untuk
mengukur dampak dari OHMG, dan (v) implikasi sosio-kultural yang semestinya
dihindari.

Diskursus ini juga perlu memasukkan informasi perkembangan rekayasa


genetika sekarang dan rencana strategisnya di masa depan, sehingga dapat
dihindari adanya kesenjangan yang cukup tinggi, antara kesiapan normatif dengan
aplikasi bioteknologi di lapangan. Terlebih dengan adanya perkembangan terbaru
dalam rejim hukum perlindungan keanekaragaman hayati, yaitu Protokol Nagoya
tentang Access and Benefit Sharing serta Supplementary Protocol Nagoya-Kuala Lumpur
tentang Redress and Liability,68 Pemerintah dihadapkan pada tuntutan legal framework
yang tepat untuk menghadapi perkembangan teknologi yang cepat. Konsep
“shared benefits, shared responsibility” inilah yang harus dikembangkan sekaligus
dilegalkan, sehingga pemanfaatan bioteknologi oleh semua stakeholders dapat
dilakukan secara baik dan dalam koridor tepat yang memungkinkan pemanfaatan
secara bertanggungjawab. Beberapa hal yang harus dilakukan meliputi:

1. Menyediakan mekanisme penilaian risiko yang tidak hanya memberikan


analisis yang akurat dari risiko dan ketidakpastian yang ada, tetapi juga
transparan dalam hal batasan kepahaman ilmiah yang telah dimiliki.

2. Membuka kesempatan diskusi yang luas tanpa menutup kemungkinan kritik-


kritik ilmiah.
67 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014. Buletin Konsumsi Pangan Volume 5 No. 1
Tahun 2014, hlm. 10
68 Pembahasan terpisah tentang NKL Supplementary Protocol ini dapat dilihat pada Santoso,
Wahyu Yun, 2016, Bridging the Implementation of Nagoya-Kualalumpur Supplementary Protocol
on Liability and Redress in Indonesia. Indonesian Law Review Vol. 6 No. 1 June 2016.

106
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

3. Perlunya penekanan pada pendekatan yang bersifat interdisipliner dalam


kajian untuk memetakan ketidakpastian ilmiah dari introdusir produk
bioteknologi, terutama yang terkait dengan keanekaragaman hayati.

4. Membuka peluang partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan,


sehingga dapat dicapai adanya kesepakatan yang kokoh tentang ketidakpastian
ilmiah yang ada, dan sekaligus dapat memetakan kemanfaatan yang terbaik.

107
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

DAFTAR PUSTAKA

Andow, D. A., & Zwahlen, C. 2006. Assessing Environmental Risks of Transgenic


Plants. Ecological Letters, 9, 196–214
Byrd, D. M., & Cothern, R. 2000, Introduction to Risk Analysis. A Systematic Approach
to Science-Based Decision Making. Rockville, MD, USA: Government Institutes.
CEC. European Council Directive 2001/18/EC. http://www.europa.eu.int/com-
mm/ food/fs/sc/scp/out31_en.htm
CEC. Communication From the Commission on the Precautionary Principle. 2000. http://
europa.eu.int/comm/dgs/health_consumer/library/pub/pub07_en.pdf
Cowan, David, 2016, Frank H. Knight. Great Thinkers in Economics. London: Palgrave
Macmillan,.

De Melo-Martin, I., & Meghani, Z., 2008. Beyond Risk. EMBO Reports, 9, 302–308.

EEA: European Environment Agency. 2002. Late Lessons from Early Warnings: The
Precautionary Principle 1896–2000, http://reports.eea.eu.int/environmen-
tal_issue_ report_2001_22/

Gaskell, G. et.al., 2006. Europeans and Biotechnology in 2005: Pattern and Trends, Eu-
robarometer 64. 3, Brussels: European Commission D-G Research.

Graham, J. D., & Wiener, J. B. 2008, The Precautionary Principle and Risk-Risk Trad-
eoffs: A Comment. Journal of Risk Research, 11, 465–474
Insist. 2008, Politik Pangan: Perlu Perubahan Paradigma. Yogyakarta: Penerbit INSIST,
Karlsson, M., 2006. The Precautionary Principle, Swedish Chemicals Policy and Sustain-
able Development. Journal of Risk Research (2006), 9, 337–360
Kriebel, D., Tickner, J., Epstein, P., Lemons, J., Levins, R., Loechler, E. L., et al., 2001.
The Precautionary Principle in Environmental Science. Environmental Health
Perspectives, 109, 871–876
Levidow, L. 2001, Precautionary Uncertainty: Regulating GM Crops in Europe. Social
Studies of Science, 31, 842–874.
Morris, J. 2002, The Relationships Between Risk Analysis and the Precautionary Prin-
ciple. Toxicology, 181–182, 127–130

108
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Myhr, A. I., & Traavik, T. 2003, Sustainable Development and Norwegian Genetic En-
gineering Regulations: Applications, Impacts and Challenges. Journal of Agricul-
tural and Environmental Ethics, 16, 317–335
Myhr, Anne Ingeborg, 2010. A Precautionary Approach to Genetically Modified Organ-
isms: Challenges and Implications for Policy and Science, Journal of Agriculture
and Environment Ethics (2010) 23:501–525.
Nielsen, K. M., & Myhr, A. I. 2007. Understanding the Uncertainties Arising from Tech-
nological Inventions in Complex Biological Systems: The Case of GMOs. dalam
T. Traavik & L. C. Lim (Eds.), Biosafety Frst: Holistic Approaches to Risk and
Uncertainty in Genetic Engineering and Genetically Modified Organisms. Trond-
heim: Tapir Academic Press.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014. Buletin Konsumsi Pangan Vol-
ume 5 No. 1 Tahun 2014.
Rio Declaration on the Environment and Development 1992
Sands, Phillipe, 2003, Principles of International Environmental Law: Second Edition,
UK: Cambridge University Press,
Saunders, Peter T., 2000. Use and Abuse of Precautionary Approach. Article on the ISIS
submission to US Advisory Committee on International Economic Policy
(ACIEP) Biotech. Working Group, July 13, 2000.
Sandin, Per. 1999, Dimensions of the Precautionary Principle, Human and Eco-
logical Risk Assessment: An International Journal, 5:5, 889-907,
DOI:10.1080/10807039991289185
----------, 2002, The Precautionary Principle: From Theory to Practice, Stockholm: Mis-
tra,
----------, 2004. The Precautionary Principle and the Concept of Precaution. Environmen-
tal Values, 13, 461–475.
The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing
of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity.
The United Nations Convention on the Biological Diversity 1992
UNESCO COMEST. 2005. The Precautionary Principle, http://unesdoc.unesco.org/
images/ 0012/001395/139578e.pdf
Weiss, C. 2007. Defining Precaution. Environment, 49.8, 36–39.

109
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...

Wickson, F., Gillund, F. and Myhr, A. I. 2010, Treating Nanoparticles with Precaution:
The Importance of Recognising Qualitative Uncertainty in Scientific Risk Assess-
ment. dalam K. Kjølberg, F. Wickson (Eds.). 2010, Nano Meets Macro, Social
Perspectives on Nanoscience and Nanotechnology. Pan Stanford Publishing.
Von Schomberg, R. 2006, The Precautionary Principle and its Normative Challenges.
dalam Chapter 2 dari E. Fisher, et al. (Eds.), 2006, Implementing the Precaution-
ary Principle: Perspetives and Prospects. UK: Cheltenham.

110
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Peradilan Internasional dan Diplomasi dalam Sengketa


Lingkungan Hidup Maritim

Oleh: Andreas Pramudianto1

Abstrak
Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/PCA)
baru-baru ini untuk penyelesaian sengketa maritim di Laut China Selatan antara
China (Tiongkok) dengan Filipina telah menunjukan bahwa semakin pentingnya
penyelesaian sengketa melalui badan peradilan internasional. Walaupun putusan
ini sulit untuk dieksekusi, namun peran peradilan internasional tetap menjadi
pilihan yang penting di masa mendatang. Di sisi lain jalur diplomasi masih tetap
dilakukan baik sebelum sengketa, masa sengketa maupun berakhirnya sengketa.
Sengketa maritim terkait lingkungan hidup yang selama ini disidangkan dan
diputuskan di beberapa peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional
(International Court of Justice/ICJ), Studi ini mencoba untuk mendeskripsikan kasus
lingkungan hidup maritim melalui jalur diplomasi dan peradilan internasional
sehingga mampu memberikan hasil yang bermanfaat bagi pengembangan hukum
dan hubungan internasional. Kesimpulan menunjukan bahwa diplomasi dan
putusan peradilan internasional telah memberikan dasar dan petunjuk hukum
bagi negara-negara dan aktor bukan negara dalam hubungan internasional.

Kata kunci : Lingkungan hidup maritim; diplomasi; peradilan internasional;


putusan arbitrase Laut China Selatan; amicus curiae.

1 Penulis merupakan Dosen di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL-UI) ,


serta Peneliti di Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Sekolah Ilmu Ling-
kungan Universitas Indonesia (PPSML SIL-UI),

111
ANDREAS PRAMUDIANTO

Abstract
The Permanent Court of Arbitration (PCA) decision for maritime dispute resolution
in the South China Sea between China and the Philippines has shown that the importance
of dispute resolution through the international judiciary. Although this decision is difficult
to execute, the role of international justice remains an important choice in the future. On
the other hand the diplomatic pathway is still done well before, at the time or the end of the
dispute. The related environmental maritime disputes that have been tried and decided in
several international courts such as the International Court of Justice (ICJ), This study
attempts to describe maritime environmental cases through international diplomatic and
judicial channels so as to provide useful outcomes for the development of international law
and international relations. A provisional conclusion shows that international judicial and
diplomacy have provided the legal basis and legal guidance.

Keywords: maritime environment; diplomacy; international justice; South


China Sea arbitration; amicus curiae.

I. Pendahuluan

Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/


PCA) di Den Haag, Belanda pada 12 Juli 2016 salah satunya menegaskan bahwa
Cina (Tiongkok) tidak mempunyai bukti sejarah kepemilikan dan kekuasaan atas
perairan yang dipersengketakan oleh Filipina di Laut Cina Selatan. Di sisi lain
putusan PCA juga menegaskan bahwa tindakan Tiongkok dalam membangun
dermaga telah menimbulkan kerusakan terumbu karang dan gangguan terhadap
habitat serta satwa langka di sekitar perairan tersebut. Namun Mahkamah Arbitrase
Permanen (PCA) ternyata tidak memiliki jurisdiksi atau kewenangan untuk
memaksakan Tiongkok dalam menerapkan putusan itu. Di sisi lain, kemenangan
Filipina dalam sengketa Laut Cina Selatan ini dapat mempengaruhi pihak lain yang
juga mengklaim sebagian perairan Laut Cina Selatan, seperti Taiwan, Vietnam,
Malaysia dan Brunei untuk melakukan tindakan yang sama2. Di sisi lain, putusan

2 Pengaruh putusan PCA ini mulai dirasakan baru-baru ini dimana Philipina mengganti
nama Laut China Selatan menjadi Laut Filipina Barat (Philipina) dan Indonesia mengganti
menjadi Laut Natuna Utara (Indonesia) yang kemudian diprotes oleh China, dalam http://
ekonomi.kompas.com/read/2017/07/16/113255326/beijing-protes-indonesia-ubah-laut-
china-selatan-jadi-laut-natuna, diunduh pada 28 Juli 2017.

112
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

ini ternyata mampu meredakan ketegangan antara China dengan Filipina yang
awalnya bersikeras akan menggunakan senjata. Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup internasional terkait maritim (international environmental maritime dispute
resolution) merupakan salah satu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih
dalam dalam studi hukum internasional maupun hubungan internasional.

Selama ini, tidak semua perkara yang masuk ke Peradilan internasional,


berhubungan dengan lingkungan hidup dan maritim. Namun demikian, dalam
prakteknya muncul beberapa kasus yang diproses dalam peradilan internasional
terkait lingkungan hidup maritim. Untuk menangani permasalahan atas kasus
yang masuk, maka diperlukan berbagai cara seperti yang dilakukan Mahkamah
Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang telah menerima perkara yang
berhubungan dengan lingkungan hidup walaupun tidak berhubungan dengan
maritim yaitu Case Concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v Australia)
dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Dua kasus ini agak berbeda
dan memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan kasus sebelumnya.
Sebagai awal untuk menangani kasus ini, maka berdasarkan pertimbangan Pasal
26 Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk the Chamber of Environmental
Dispute pada 19 Juli 1993.3 Kamar sengketa ini diharapkan menjadi bahan dasar
untuk menangani sengketa lingkungan hidup baik di daratan maupun di lautan.
Namun amat disayangkan, kamar sengketa ini terhenti dan dibubarkan walaupun
kasus ini tetap berjalan.

Melalui artikel yang sangat terbatas ini berbagai cara penyelesaian sengketa
maritim telah dilakukan dan dalam prakteknya telah mampu memberikan
peredaan ketegangan (détente) dalam hubungan internasional bagi negara-negara
bersengketa maupun negara-negara sekitarnya. Pada artikel ini akan dijelaskan
mengenai sengketa maritim lintas batas negara (transboundary) yang dimunculkan
oleh negara-negara bersengketa melalui sengketa secara damai baik jalur diplomasi
maupun pendayagunaan beberapa badan peradilan internasional. Beberapa kasus
untuk pembelajaran yang dibangun dalam artikel ini diantaranya kasus Behring Sea

3 ICJ Communique 93/20, 19 Juli 1993. Kamar Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
(Chamber of Environmental Disputte Settlement) terdiri atas 7 orang hakim yaitu Schwebel,
Bedjaoui, Evensen, Shahabudeen, Weeramantry, Ranjeva dan Herczegh. Tugas dari kamar
ini akan berlaku efektif sejak tanggal 6 Agustus 1993 seperti dalam Sands, P. 1993. Greening
International Law, Earthscan Publications Ltd, London. hlm xix dan hlm. 171.

113
ANDREAS PRAMUDIANTO

Fur (1893), kasus the Trial Smelter (1941), kasus the Corfu Chanel (1948) kasus The
Sunrise Artic (2013), kasus Laut China Selatan (2016) dan beberapa kasus lainnya
yang bermanfaat bagi pengembangan hukum internasional khususnya hukum
lingkungan internasional.

II. Kajian Teoritik Penyelesaian Sengketa Maritim

Hukum internasional memiliki sumber yang terpenting seperti tercantum


dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional (ICJ) terutama terkait dalam
penyelesaian sengketa internasional. Sumber hukum internasional seperti
perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum
umum, putusan hakim serta doktrin menjadi dasar dalam memutuskan sengketa
yang diajukan kepada Mahkamah Internasional (ICJ). Sengketa internasional
(dispute settlement) dapat terbagi dalam bentuk legal dan non legal.4 Di sisi lain,
tidak semua aktor atau entitas internasional boleh bersengketa dalam peradilan
internasional tertentu. Karena itu hukum internasional mengenal subjek hukum
internasional yaitu negara, individu, organisasi internasional dan beberapa
yang lain seperti Vatikan, Palang Merah internasional dan kaum pemberontak.5
Subjek hukum internasional dalam hal tertentu boleh berperkara dalam peradilan
internasional seperti di Mahkamah Internasional (ICJ), Mahkamah Hukum
Laut (ITLOS), Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC). Sementara itu untuk
perusahaan multinasional (Multinational Corporation/MNC) maupun Organisasi
Non Pemerintah (Non Governmental Organization/NGO) sebagai entitas bukan
subjek hukum internasional tidak memiliki hak untuk mengajukan perkaranya
(legal standing) di beberapa peradilan internasional.6

Karena itu sumber hukum internasional dan subjek hukum internasional


menjadi sangat penting dalam memahami penyelesaian sengketa internasional.
Menurut beberapa ahli hukum internasional, penyelesaian sengketa dapat

4 Anton, Donald K et al, International Law : Cases and Materials, Oxford University Press,
2005, hlm 41.
5 Ibid
6 Pernyataan ini ditegaskan dalam Pasal 26 Statuta Mahkamah Internasional dimana hanya
negara yang boleh berperkara di hadapan Mahkamah.

114
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

digolongkan dalam 2 kategori yaitu :7

a. Penyelesaian sengketa secara damai


Para pihak yang terlibat sengketa bermufakat untuk mencari penyelesaian
secara bersahabat.

b. Penyelesaian sengketa secara paksa


Pemecahannya ditempuh secara paksa atau dengan kekerasan.

Untuk kategori mengenai penyelesaian sengketa di bidang lingkungan


hidup maritim, umumnya dilakukan secara damai dan jarang dilakukan dengan
kekerasan. Sedangkan, penyelesaian sengketa secara paksa dengan kekerasan
dapat terjadi berkaitan dengan masalah perebutan sumberdaya alam atau sengketa
lainnya yang mengakibatkan tindakan paksaan oleh suatu negara kepada negara
lainnya.8 Dalam tulisan ini umumnya dibahas penyelesaian sengketa secara damai.

Merrilss mendefinisikan sengketa sebagai perselisihan mengenai fakta, hukum


atau politik dimana tuntutan atau pernyataan suatu pihak ditolak, dituntut balik
atau diingkari oleh pihak lain.9 Dalam sengketa internasional dapat dikatakan ada,
bila perselisihan seperti ini yang melibatkan pemerintah, lembaga, badan hukum
atau individu dalam bagian dunia yang berlainan. Dari definisi diatas nampak
bahwa tidak hanya persoalan hukum, akan tetapi juga politik memainkan peran
penting dimana diplomasi merupakan salah satu alat politik yang penting. Selain
itu, adanya perbedaan pendapat serta kepentingan juga merupakan masalah
utama yang menyebabkan timbulnya perselisihan. Dalam Behring Sea Fur Case
(1893) Inggris berpendapat bahwa tindakan Amerika Serikat yang telah membeli
Alaska berdasarkan perjanjian tahun 1867 antara Rusia dengan Amerika Serikat
sehingga memperluas jurisdiksinya ternyata telah menimbulkan kerusakan pada

7 JG Starke, Introduction to International Law diterjemahkan oleh Sumitro L.S. Danuredjo, Pen-
gantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta: 1989, hal.171. Bandingkan
dengan karya J.L. Brier ly, atau para pengarang Indonesia seperti Wiryono Projodikoro, Ali
Sostroamidjoyo.
8 Misalnya dalam kasus peledakan senjata nuklir oleh Perancis dimana Australia merasa
dirugikan karena wilayah udaranya tercemar. Australia kemudian melakukan tindakan
boikot terhadap barang-barang Perancis. Hal ini merupakan salah satu penggunaan secara
paksa terhadap penyelesaian sengketa. Lihat selanjutnya Starke, op.cit., hlm 203.
9 J.G. Merrills. International Disuputte Settllement disadur oleh Achmad Faudzan, Penyelesaian
Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung: 1986, hlm 1.

115
ANDREAS PRAMUDIANTO

kapal Inggris10. Tetapi Amerika Serikat menyatakan bahwa jurisdiksi itu diperluas
untuk melindungi anjing laut dari perburuan kapal-kapal Inggris. Selain itu
sengketa dapat timbul karena diperlukan penegasan hak jurisdiksi khususnya kata
Pacific Ocean seperti pada perjanjian tahun 1825 antara Inggris dengan Russia. 11

Dalam kerangka mencapai kesepakatan untuk diselesaikan melalui jalur


arbitrase dan pembentukan perjanjian internasional, maka jalur diplomasi juga
dilakukan oleh pemerintah Inggris kepada pemerintah Amerika Serikat. Hal ini
dibuktikan melalui surat menyurat diplomatik antara Lord Salisbury ke Sekretriat
Negara Amerika Serikat (US Secretary of State).12 Cooper berpendapat bahwa sengketa
lingkungan hidup internasional timbul ketika adanya suatu konflik kepentingan
antara dua negara atau lebih (atau orang-orang dalam negara) mengenai perubahan
dan kondisi (baik kualitatif maupun kuantitatif) lingkungan hidup fisik.13 Dari
pendapat Cooper ini masalah utama terletak pada perubahan lingkungan hidup
yang dapat mengganggu negara lain atau orang-orang di dalam suatu negara.
Dalam Nuclear Test Case (1974) (Australia v. Perancis) (Selandia Baru v. Perancis)
tindakan Perancis yang melakukan uji coba senjata nuklir di wilayah kepulauan
Pasifik telah digugat oleh Australia dan Selandia Baru dengan alasan bahwa telah
terjadi perubahan lingkungan hidup dimana tes nuklir ini menyebabkan jatuhnya
debu radioaktif baik di daratan maupun lautan di kedua negara ini.

Dari pendapat-pendapat diatas dapat diketahui bahwa pada prinsipnya


sengketa internasional timbul karena adanya konflik diantara pihak-pihak. Suatu
aktivitas yang terjadi di suatu negara kadang-kadang menimbulkan gangguan
pada negara lain.14 Hal ini tentu saja menimbulkan konflik bagi negara lain jika
10 Foster, John W. Results of the Bering Sea Arbitration, The North American Review, Vol. 161.
No. 469, 2013, hlm. 702.
11 Diedit dari Parry and Grant. Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publi-
cation, 1986, hlm. 42.
12 Cairo AR Robb, et al. International Environmental Law Report, Volume 1, Cambridge Uni-
versity Press, 1999, hlm. 50-53
13 Cooper, Catherine. A. 1986. The Management of International Environmental Disputes in the Con-
text of Canada-United States Relations : A Survey and Evaluation of Techniques and Mechanisms
dalam Canadian Year Book of International Law Vol 24 Januari 1987, hlm. 247-313.
14 Mengenai masalah ini telah dinyatakan dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockhlom 1972 dan
Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992 yang menyatakan :
“ States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of in-
ternational law, the soverign right to exploit their own resources pursuant to their own envi-
ronmnet and development policies , and the responsibility to ensure that activities within their
jurisdiction or control do not cause damage to the environmnet of other States or of areas beyond

116
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

tidak segera diselesaikan. Sebagai contoh dalam The Trial Smelter Case (1941) (USA
v Canada), suatu pabrik peleburan tembaga (smelter) di Trial, British Colombia,
Kanada telah menimbulkan pencemaran udara dan merusak tanaman serta
menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk yang berada di 7 wilayah
negara bagian Washington (Amerika Serikat) sehingga menimbulkan konflik antar
negara. Timbulnya konflik ini dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi dan
arbitrase yang pada intinya harus disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Diplomasi ditempuh diantaranya melalui surat diplomatik15 dan proses negosiasi
yang akhirnya disepakati oleh Amerika Serikat dan Kanada melalui pembentukan
arbitrasi yang akhirnya pada 15 April 1935 ditandatangani Convention for the Final
Settlement of the Difficulties Arising throught the Complaints of Damage Done in the
States of Washington by Fumes Discharged from the Smelter of the Consolidated Mining
and Smelting Company, Trial British Columbia. Banyak model penyelesaian sengketa
internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek. Tahun 1907
pernah ditandatangani Hague Convention on the Pacific Settlement of International
Disputes. Mengenai penyelesaian sengketa secara damai, Starke membagi menjadi
4 model yaitu :16

a. Arbitrasi
b. Penyelesaian yudisial
c. Perundingan, jasa-jasa baik, perantaraan, pendamaian atau penyelidikan.
d. Penyelesaian di bawah PBB

Sedangkan Akehurst membagi menjadi 3 model yaitu non-judicial methods of


settlement, setllement of disputes under the United Nations Charter, arbitration and
judicial setllement.17 Berbeda dengan Merrills yang membagi menjadi beberapa cara
the limits of national jurisdiction”.
(Negara-negara, sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional,
mempunyai kedaulatan untuk memanfaatkan sumberdaya alam mereka sesuai den-
gan kebijakan di bidang lingkungan hidup dan pembangunan dan berkewajiban pula
agar kegiatan yang berada dalam wilayah dan wewenangnya tidak akan menyebabkan
timbulnya kerusakan terhadap lingkungan hidup di negara lain dan di wilayah di luar
batas yurisdiksi nasionalnya).
Prinsip ini kemudian tegaskan dalam Pasal 3 Konvensi Keanekeragaman Hayati 1992.
15 Surat WR Castle kepada William Phillips (US Departement State) tertanggal 20 Agustus 1927
dalam Keith A Muray.1972. The Trial Smelter Case : International Air Pollution in the Co-
lumbia Valley dalam http : www. ojs.library.ubc.ca , hlm. 74
16 Starke, J.G., op.cit., hlm 172.
17 Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, 4th ed., George Allen & Unwin
(Publishers) Ltd, London: 1989, hlm 201.

117
ANDREAS PRAMUDIANTO

yaitu : negosiasi, mediasi, penyelidikan, konsiliasi, arbitrasi, pengadilan dunia,


konvensi hukum laut, PBB dan organisasi regional.18

Dalam penyelesaian kasus lingkungan hidup telah ada dokumen yang


bersifat soft law sebagai patokan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup. 19
Dokumen ini merupakan hasil KTT Rio 1992 yaitu Deklarasi mengenai Lingkungan
dan Pembangunan atau disebut Deklarasi Rio 1992. Prinsip 26 menyatakan :

“States shall resolve all their environment disputes peacefully and by appropriate
means in accordance with the Charter of the United Nations.”

(Negara-negara hendaknya menyelesaikan perselisihan di bidang


lingkungan hidup secara damai dan melalui cara yang baik sesuai dengan
Piagam PBB).

Berkaitan dengan prinsip diatas, penyelesaian sengketa lingkungan hidup


maritim paling tidak berpedoman pada Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa
(Charter of United Nations) khususnya Bab VI yang mengatur mengenai masalah
penyelesaian pertikaian secara damai. Mengenai cara yang digunakan untuk
menyelesaikan sengketa Pasal 33 (1) Piagam PBB menyatakan :

“ Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung


terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan
keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan
perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian
menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional,
atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.”

Sehingga berdasarkan pasal diatas, Perserikatan Bangsa-bangsa menggunakan


beberapa model atau cara penyelesaian sengketa yaitu : a) perundingan ; b)
penyelidikan ; c) Mediasi ; d) Konsiliasi ; e) Arbitrasi ; f) Hukum internasional
regional ; g) Pengaturan badan-badan regional ; h) Cara lainnya yang dipilih para
pihak.

18 Merrills kemudian membagi lagi menjadi dua kelompok yaitu penyelesaian diplomatik
yang terdiri dari negosiasi, mediasi, penyelidikan, konsiliasi dan penyelesaian hukum yang
terdiri dari arbitrasi dan penyelesaian yudisial. Merrills. op.cit., hlm. 72.
19 Mengenai masalah soft law baca selanjutnya Andreas Pramudianto, Soft Law Dalam Perkem-
bangan Hukum Lingkungan Internasional dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIII No. 4
Oktober 1995.

118
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

III. Penyelesian Sengketa Melalui Jalur di Luar Peradilan

Penyelesaian sengketa di luar peradilan sering disebut sebagai Alternative


Dispute Resolution (ADR). Dalam ADR salah satunya adalah negosiasi dimana
juga melekat dengan diplomasi seperti dinyatakan diplomacy as “the conduct of
international relations by negotiation.20 Dengan demikian penyelesaian sengketa
diluar pengadilan dalam artikel ini juga termasuk jalur diplomasi. 21
Melalui
jalur diplomasi ini terjadi proses diplomasi terlebih dahulu sebelum kasus dapat
diselesaikan dan bahkan jika kasus dapat diselesaikan maka tidak perlu harus ke
pengadilan internasional seperti Mahkamah Internasional (ICJ) atau Mahkamah
Hukum Laut Internasional (ITLOS).

Kedudukan dan peran diplomasi dalam bersengketa dapat berpengaruh pada


keterlibatan suatu negara untuk bersengketa di pengadilan. Proses diplomasi
dapat terjadi pada saat sengketa kemungkinan akan terjadi (pre-existing dispute),
sengketa muncul (pactum de compromittendo), sengketa sedang berjalan (on going
dispute), sengketa berakhir (final dispute) dan pasca sengketa (post-dispute). Sebagai
contoh dalam perkara Sipadan-Ligitan Case (Indonesia v Malaysia) diplomasi
untuk membuat special agreement untuk menyelesaikan kasus ini ke Mahkamah
internasional (ICJ) dilakukan pertemuan diplomatik tahun 1991-1994 melalui
Joint Working Group (JWG) yang akhirnya sepakat untuk ditandatangani di Kuala
Lumpur, Malaysia pada 31 Mei 1997. Contoh lain pada saat sengketa muncul
maka surat Wakil Menteri Luar Negeri Albania telah dibaca oleh Mahkamah
Internasional sebagai pernyataan kesepakatan yang mengikat dan tunduk pada
jurisdiksi untuk menyelesaikan sengketanya dalam Corfu Chanel Case (1949) (UK v
Albania)22. Tindakan diplomasi oleh Albania ini disebut sebagai tindakan memenuhi

20 Oxford English Dictionary dalam Jonsson, Crister dan Karin Aggestam. “Diplomacy and
Conflict Resolution”, Prepared for the NISA conference on “Power, Vision and Order in World
Politics”, Odense, 23-25 May, 2007.
21 Lihat Huala Adolf, 2004, Umunadi, Ejiwoke Kennedy, 2011, http://www.unwater-
coursesconvention.org/the-convention/,
22 Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa, Tanpa Penerbit”. Diakses melalui http://blog.
ub.ac.id/devitrirahayu/files/2012/03/3-HUKUM-PENYELESAIAN-SENGKETA-INTER-
NASIONAL1.pdf

119
ANDREAS PRAMUDIANTO

doktrin forum prorogatum. Pentingnya diplomasi akan menentukan keberhasilan


di kemudian hari dalam proses penyelesaian sengketa. Hal ini dilakukan dengan
jalur penyelesaian sengketa secara damai melalui diplomasi untuk menentukan
status kepemilikan pulau Palmas (Miangas) serta menentukan siapa dan darimana
arbitrator akan dipilih, merupakan proses diplomasi yang harus dilakukan
antara pemerintah Amerika Serikat dan Ratu Belanda agar tercapai hasil yang
memuaskan para pihak. Acta Compromis akhirnya disepakati dan ditandatangani
pada 23 Januari 1925 dimana Presiden Konfederasi Swiss akan ditunjuk dalam
memilih arbitrator.23 Sengketa akhirnya diputus oleh Permanent Court of Justice
(PCA) melalui Hakim Tunggal Max Huber pada 4 April 1928 yang dianggap
sebagai putusan terbaik.

Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan diantaranya terdiri atas :

a. Arbitrasi (Perwasitan)
Arbitrasi adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga
(badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela
untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat
final dan mengikat.24 Beberapa istilah yang hampir mirip dan bermakna sama
diantaranya Tribunal Claim dan Panel. Penyelesaian sengketa melalui arbitrasi
sudah dikenal dalam sejarah hukum internasional.25 Setelah dua abad lebih
jarang digunakan, Amerika Serikat dan Inggris melalui Traktat Jay tahun 1794
memperkenalkan kembali cara arbitrase dengan pembentukan 3 komisi gabungan
yang dipimpin oleh seorang wasit (arbitator).26 Keberhasilan lembaga ini dalam
menyelesaikan Alabama Claims Award (1872) telah membangkitkan kembali
berbagai lembaga arbitrasi. Arbitrasi dapat dibentuk dengan mendasarkan pada
penyerahan penyelesaian sengketa kepada pihak-pihak tertentu yang disebut

23 Lihat Louis Henkin, International Law: Cases and Materials, St. Paul: West Publ., 3rd.ed., 1991
dan D.J. Harris, Cases and Materials on International Law , London: Sweet and Maxwell,
4th.ed., 1991, hlm. 173 dan 182.
24 Definisi ini dinyatakan oleh Huala Adolf (2004) dan lebih menekankan pada sifat hukum
internasional publik.
25 Lembaga arbitrasi sudah dikenal pada zaman Yunani Kuno. Pada saat itu banyak kasus-ka-
sus yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup seperti sengketa-sengketa mengenai
sumber-sumber perairan, hak-hak atas sungai sudah ditangani melalui lembaga arbitrasi.
Lihat Nussbaum dan Sam Suhaedi, Sedjarah Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung: 1969,
Hlm 9.
26 Lihat selanjutnya Starke., op.cit., hlm 171-173.

120
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

sebagai arbitrator. Arbitrator ini dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang
bersengketa. Penunjukan suatu komisi atau perorangan dari warga negara masing-
masing pihak ditambah dengan pihak netral merupakan cara yang umum dipakai.
Dapat juga dibentuk arbitrator tunggal yang berasal dari negara netral. Beberapa
contoh kasus yang menggunakan arbitrasi dalam sengketa lingkungan hidup
maritim adalah Behring Sea Arbitration (1893) (USA v Great Britain), Palma (Miangas)
Case (US v. Netherland).

b. Negosiasi
Jika timbul kasus antar negara, maka wakil-wakil diplomatik atau lembaga
pemerintah yang berkepentingan dipertemukan dalam suatu perundingan. Jika
negara yang bersengketa menolak untuk melakukan perundingan atau pertemuan
dalam satu meja, maka negosiasi dapat mengalami kegagalan atau gagal sama
sekali. Resiko kegagalan melalui negosiasi sangat besar karena biasanya hanya
melibatkan negara-negara yang bersengketa dan tidak melibatkan pihak ketiga.
Dalam Fisheries Jurisdiction Case, Mahkamah Internasional telah menyatakan
bahwa negosiasi merupakan metode yang cocok untuk menerapkannya dalam
kasus ini. 27

c. Mediasi
Jika negosiasi mengalami kegagalan maka dapat dilakukan mediasi. Mediasi
umumnya melibatkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator. Namun
hal ini tergantung dari kemauan pihak-pihak yang bersengketa melalui suatu
persetujuan tertentu. Mediator biasanya bertindak lebih aktif dengan menawarkan
atau mengajukan proposal pada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam kasus
Indus Water Case (India v Pakistan) tentang sengketa pengalihan arus sungai Indus,
International Bank for Reconstructure and Development (IBRD\World Bank) pernah
memainkan peran sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa perairan Indus
di tahun 1961.28

d. Badan-badan internasional
Badan-badan internasional seperti badan-badan PBB dan Masyarakat Eropa,
aktif terlibat dalam penyelesaian sengketa yang menyangkut masalah lingkungan
hidup maritim. Bahkan kadang-kadang badan ini menjembatani sengketa yang

27 Sands, P, op.cit., hlm 164.


28 Merrills, op.cit., hlm 29.

121
ANDREAS PRAMUDIANTO

timbul diantara negara-negara. Seperti kasus perairan Indus dimana peran IBRD/
World Bank cukup efektif dalam menjembatani masalah yang timbul antara Pakistan
dan India. Dalam Chorfu Channel Case, Dewan Keamanan awalnya menempuh
proses diplomatik diantaranya memanggil Albania yang kemudian membentuk
komite untuk penyelidikan bukti-bukti mengenai timbulnya sengketa tersebut
melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 19 (1947) tertanggal 27 Februari
1947.29 Setelah melalui jalur diplomatik yang gagal dicapai kesepakatan, maka
akhirnya melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S 324 tertanggal 9 April
1947 meminta kepada Albania dan Inggris untuk segera menyelesaikan kasusnya
melalui Mahkamah Internasional (ICJ).30

Apabila penyelesaian sengketa gagal dilakukan melalui jalur diplomatik


diatas, maka sengketa dapat dibawa ke pengadilan internasional.

IV. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Peradilan

Selama ini ada beberapa keputusan para hakim yang dijadikan pedoman
dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup maritim diantaranya the Corfu
Chanel Case, 1948 (United Kingdom v. Albania), Anglo Norwegian Fisheries Case (UK
v. Norway), 1951, Case 3 : Southern Bluefin Tuna Case (New Zealand v. Japan) Case 4 :
Southern Bluefin Tuna Case (Australia v. Japan), Gulf of Maine Case (USA v. Canada)
1984, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan: New Zealand intervening), 2010 dan
beberapa kasus lainnya. Walaupun bukan merupakan kasus lingkungan hidup an
sich, akan tetapi dapat diterapkan dalam penyelesaian persoalan lingkungan hidup
maritim khususnya kasus yang menyangkut lintas batas negara atau pengelolaan
sumberdaya alam di lingkungan laut.

Dalam mekanisme peradilan internasional yang berkembang saat ini ada


beberapa sengketa yang melalui Mahkamah Internasional (ICJ), peradilan yang
dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tertentu seperti ITLOS, badan
peradilan ad hoc seperti arbitrase ataupun bentuk peradilan lainnya. Karena itu

29 “The Corfu Channel Incidents”, https://undocs.org/S/RES/19(1947), diunduh pada 28 Juli


2017
30 Ibid.

122
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

masing-masing putusan peradilan memiliki konsekuensi hukum yang berbeda


terutama dalam hal keterikatannya. Namun demikian keputusan para hakim ini
tetap akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan hukum internasional
dan dalam hubungan internasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 Statuta
Mahkamah Internasional yang menegaskan :

”d) Sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 59, keputusan para


hakim dan ajaran-ajaran dari para ahli hukum yang tercakup di berbagai
negara, sebagai bahan pelengkap untuk penentuan peraturan-peraturan
hukum.”

Beberapa contoh putusan hakim baik dalam perkara yang diadili melalui
badan peradilan internasional maupun pengadilan nasional :

A. Putusan Badan Peradilan Internasional (Sand: 2015)

A.1. Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

Sebenarnya sudah sejak dahulu kala sebelum menjadi Mahkamah


Internasional (International Court of Justice atau ICJ), kasus lingkungan
hidup khususnya sumberdaya alam dalam arti luas pernah ditangani oleh
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent International Court of Justice/
PICJ). Contohnya dalam penyelesaian kasus pengelolaan sumberdaya air di
antara negara-negara yang berkepentingan telah diterima dua kasus yaitu
Diversion of the Waters from the River Meuse Case (Netherland v. Belgium) 1937
dan Territorial Jurisdiction of the International Commission of the River Oder Case
(United Kingdom v. Poland) 1929.

Mahkamah Internasional (ICJ) juga telah beberapa kali menangani sen-


gketa yang secara tidak langsung bersinggungan juga dengan persoalan mar-
itim diantaranya putusan Corfu Chanel Case, 1948 (United Kingdom v. Albania),
Anglo Norwegian Fisheries Case (UK v. Norway), 1951, Maritime Delimitation in
the Caribbean Sea and the Pacific Ocean (Costa Rica v. Nicaragua), 2014, Alleged
Violations of Sovereign Rights and Maritime Spaces in the Caribbean Sea (Nicaragua
v. Colombia), 2013, Maritime Delimitation in the Indian Ocean (Somalia v. Kenya),
2015, Case concerning Sovereignty over Pedra Branca/Pulau Batu Puteh, Middle
Rocks and South Ledge (Malaysia/Singapore), 2008, Whaling in the Antarctic (Aus-
tralia v. Japan: New Zealand intervening), 2010, Question of the Delimitation of the

123
ANDREAS PRAMUDIANTO

Continental Shelf between Nicaragua and Colombia beyond 200 nautical miles from
the Nicaraguan Coast (Nicaragua v. Colombia), 2013 Maritime Delimitation in the
Black Sea (Romania v. Ukraine), 2004, Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau
Sipadan (Indonesia/Malaysia), 1998 Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia)
1997, Fisheries Jurisdiction (Spain v. Canada) 1995 Oil Platforms (Islamic Republic
of Iran v. United States of America), 1992 Continental Shelf (Libyan Arab Jamahiri-
ya/Malta), 1982, Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area
(Canada/United States of America), 1981 Continental Shelf (Tunisia/Libyan Arab
Jamahiriya), 1978, Aegean Sea Continental Shelf (Greece v. Turkey), 1976, Fisher-
ies Jurisdiction (Federal Republic of Germany v. Iceland) 1972 Fisheries Jurisdiction
(United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland v. Iceland), 1972, North
Sea Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Netherlands) 1967, North Sea
Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Denmark), 1967 Antarctica (United
Kingdom v. Chile), 1955, Antarctica (United Kingdom v. Argentina), 1955

Beberapa diantaranya bersinggungan dengan lingkungan hidup mari-


tim, namun umumnya kasus-kasus tersebut sangat erat persoalannya dengan
masalah perbatasan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati maupun
non hayati. Dalam kasus perebutan wilayah perairan yang kaya akan sumber-
daya perikanan telah diselesaikan dua kasus yang terkenal yaitu Anglo-Nor-
wegian Fisheries Case (United Kingdom v. Norway)(1951) dan Fisheries Jurisdiction
(UK v. Iceland v. Federal Republic Germany) (1974). Untuk Gulf of Maine Case
(USA v. Canada) 1984, Mahkamah Internasional juga memperhatikan adanya
sumberdaya alam yang ada melekat dalam batas-batas geografis. Kasus ini
mengenai masalah perbatasan antara Amerika Serikat dan Kanada. Penyele-
saian kasus ini diajukan melalui cara ke pengadilan internasional yaitu Mah-
kamah Internasional. Dalam sengketa ini untuk pertama kalinya Mahkamah
Internasional membentuk Kamar Penyelesaian Sengketa (Chamber of Disputte
Settlement) berdasarkan pasal 26 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (ICJ
Statute). Persoalan pokok yang diajukan adalah mengenai penetapan perba-
tasan tunggal (single maritime boundary) yang digunakan. Batas Kanada yang
diajukan adalah equidistance line tapi Amerika Serikat menginginkan bahwa
perbatasan tergantung dari keadaan yang relevan di wilayah tersebut. Selain
itu menurut Kanada, Teluk Maine beserta wilayah yang berdekatan termasuk

124
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

bagian penting karena memunyai hubungan yang kompleks dan memiliki


proses biologis yang penting. Juga wilayah ini merupakan eksosistem laut
yang penting di wilayah utara. Di lain pihak, Amerika Serikat menyatakan
bahwa wilayah ini memiliki karakteristik berdasarkan 3 prinsip rezim ekolo-
gi. Dalam hal ini ternyata Teluk Maine juga membentuk komunitas flora dan
funa dalam semua siklus jaring makanan dari yang terkecil hingga ikan yang
terbesar.

Dalam kasus-kasus perbatasan yang menyangkut landas kontinen yang


kaya akan sumberdaya alam non hayati Mahkamah Internasional juga telah
menerima dan menyelesaikan beberapa kasus seperti North Sea Continental
Shelf (1969), Continental Shelf (Libyian Arab Jamahiriya v. Malta) (1985) dan
Continental Shelf ( Tunisia v. Libya) (1982). Mahkamah Internasional sebagai
badan peradilan utama di dunia, memiliki kebebasan untuk mendorong
berkembangnya hukum internasional secara progresif sesuai Pasal 13 Piagam
PBB (Charter of the United Nations).

A.2. Putusan Mahkamah Internasional Hukum Laut (International


Tribunal Law of the Sea/ITLOS)

Mahkamah Hukum Laut Internasional (ITLOS) didirikan berdasarkan


United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Terdiri
dari 21 Hakim dan menangani berbagai kasus terkait hukum laut yang dimu-
lai sejak tahun 1997. Kasus pertama yang diputuskan adalah Case No. 1 dan
2 : the M/V ”Saiga” Case yang diajukan oleh Saint Vincent dan Grenadines v.
Guena sejak 13 November 1997 hingga diputuskan pada 4 Desember 1997.
Beberapa kasus yang diputuskan terkait dengan lingkungan hidup maritim
diantaranya Case No. 10 : The MOX Plant Case (Ireland v. United Kingdom) tahun
2001, Case No. 12 : Concerning Land Reclamation by Singapore in and Around the
Straits of Johor, (Malaysia v Singapore) tahun 2003, Case No.7 : Concerning the
Conservation and Sustainable Exploitation of Swordfish Stocks in the South-Eastern
Pacific Ocean (Chile v. European Union) tahun 2009, Case No. 17 : Responsibilities
and Obligations of States Sponsoring Persons and Entities with Respect to Activi-
ties in the Area, (Advisory Opinion/AO) oleh International Sea Bad Authority (ISA)
tahun 2011, Case No. 21 : Request for an Advisory Opinion submitted by the Sub-
Regional Fisheries Commission (SRFC) (Advisory Opinion/AO) oleh Sub-Regional

125
ANDREAS PRAMUDIANTO

Fisheries Commission (SRFC) tahun 2015. Case No. 22 : The “Artic Sunrise” Case
(Kingdom of the Netherlands v. Russian Federation) tahun 2013.

Putusan ITLOS dalam Advisory Opinion on Responsibilities and Obligations


on States in the Area tahun 2011 juga telah memperkuat prinsip-prinsip hukum
internasional yang sedang berkembang seperti prinsip Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) yang merupakan Prinsip 17 Deklarasi Rio
tahun 1992. Sedangkan prinsip pertukaran informasi juga disinggung dalam
The MOX Plant Case (Ireland v. United Kingdom) tahun 2001. Pada sengketa
The Artic Sunrise (Kingdom of the Netherlands v. Russia Federation) tahun 2013,
Greenpeace sebagai NGO Internasional telah bertindak untuk pertama kalinya
di peradilan internasional sebagai teman pengadilan (amicus curiae) pada
peradilan Mahkamah Arbitrase (PCA) dan Mahkamah Hukum Laut (ITLOS)
walaupun akhirnya ditolak.31

A.3. Putusan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal


Court/ICC)
Statuta Roma (1998) sebagai dasar pendirian Mahkamah Pidana
Internasional (ICC) menegaskan bahwa kejahatan perang (war crime) juga
berhubungan dengan lingkungan hidup yang hal ini tercantum dalam Pasal
8 (2) bagian (b) (iv),(v),(ix),(xvi),(xvii) dan (xviii). Dua kasus yang sedikit
menyinggung persoalan lingkungan hidup seperti : Situation in Darfur, Sudan
Case (ICC-02/05) dimana Presiden Sudan, Omar Al Bashir melakukan tindakan
genocide, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk
kejahatan terhadap masyarakt yang memiliki sumur dan air yang kemudian
diracuni oleh tentara Presiden Sudan. Dalam kasus lainnya yaitu Kasus
Kejahatan Perang yang dilakukan oleh Presiden Irak, Sadam Hussein (Irak War
Crime Case), dimana dalam Pre-elimenary Examination (2013) dinyatakan bahwa :

“65. Impact of crimes may be as sessed in light of, inter alia, the sufferings
endured by the victims and their increased vulnerability; the terror
subsequently instilled,or the social, economic and environmental damage
inflicted on the affected communities

31 “International Tribunal Law of the Sea Year 2013 : List of cases No : 22” dalam https://www.
itlos.org/fileadmin/itlos/documents/cases/case_no.22/Order/C22_Ord_22_11_2013_
orig_Eng.pdf dan PCA Case No. 2014-02 dalam http://www.pcacases.com/web/sendAt-
tach/1325 , diunduh pada 28 Juli 2017

126
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Dalam Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba (2016) menegaskan bahwa para


pejabat yang menentukan komando/perintah serta bawahannya dibawah
Pasal 28 ICC merupakan peran kunci dari pertanggungjawaban dan ini
merupakan prinsip atas perintah dapat dipertanggungjawabkan the principle
of responsible command yang mana mengakhiri kekebalannya dan dapat
bertindak untuk membantu mencegah kejahatan.32

A.4. Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of


Arbitration/PCA)33
Sebagai salah satu badan peradilan internasional yang akhir-akhir ini
populer, Mahkamah Arbitrase Permanen (The Permanent Court of Arbitration/
PCA) berdiri tahun 1899 dan berkedudukan di Den Haag, Negeri Belanda.
Dalam aktifitasnya yang berkembang terus, PCA telah menerima berbagai jasa
penyelesaian sengketa internasional di luar makna arbitrase seperti konsiliasi,
fact-finding commission atau inquiry (komisi penyelidik), jasa baik dan mediasi.34
Perkembangan secara keorganisasian dan prosedural dalam proses peradilan
dimana Mahkamah Arbitrase Permanen (The Permanent Court of Arbitration/
PCA) pada tahun 2002 telah berhasil mengadopsi aturan tambahan (optional
rules/OR) yang disebut Optional Rules for Arbitration of Disputes Relating to
Natural Resources and/or the Environment dan tahun 2011 Optional Rules for
Arbitration of Disputes Relating to Outer Space Activities dimana lingkungan
hidup menjadi bagian penting dalam OR ini. PCA pernah menangani kasus
yang kemudian dihubungkan dengan persoalan lingkungan hidup seperti
dalam Iron Rhine (Ijzeren Rijn) Railway Case (Belgium v. Netherland) yang
diputuskan tahun 2005.

Pada 23 April 2013, Timor-Leste mengajukan sengketa melawan


Pemerintah Australia berdasarkan Traktat Laut Timur (Timor Sea Treaty) 20
Mei 2002 berdasarkan Paragraph (b) of Annex B Pasal 23. Sengketa ini mengenai
intepretasi perjanjian internasional terutama terkait dengan pemanfaatan
sumberdaya alam di laut Timor. Kasus ini kemudian diregistrasi dengan nomor

32 Sebagian tulisan ini diambil dari Andreas Pramudianto, Hukum Lingkungan Internasional, CV
Rajawali: Jakarta, 2017, hlm. 181-182
33 Ibid, hlm. 183-184.
34 .
Optional Rules for Arbitrating Disputes between Two States tertanggal 20 Oktober 1992.

127
ANDREAS PRAMUDIANTO

PCA Case No. 2013-14 : Arbitration under the Timor Sea Treaty (Timor Leste v.
Australia). Berdasarkan Annex VII UNCLOS 1982, 4 Oktober 2013, Pemerintah
Kerajaan Belanda mengajukan sengketa melawan Pemerintah Federasi Russia
mengenai sengketa kapal Greenpeace “Artic Sunrise”. Sengketa berkenaan
dengan penumpang, perampasan dan penahanan awak kapal maupun kapal
milik Greenpeace oleh pemerintah Russia pada waktu ditangkap di Zona
Ekonomi Ekslusif. Sengketa kemudian diajukan ke Mahkamah Arbitrase
Permanen (PCA) dengan registrasi PCA Case No. 2014-02 : The Artic Sunrise
Arbitration (Netherlands v. Russia).

Dalam sengketa Laut Cina Selatan atau In the Matter of South China Sea
Arbitration, PCA Case No. 2013-19 12 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen
telah memutuskan perkara ini yang walaupun perkara ini menyangkut
masalah kemananan, namun salah satu putusannya juga menyinggung
masalah lingkungan hidup maritim khususnya terumbu karang yang rusak
akibat pembangunan pelabuhan di pulau dan karang Laut Cina Selatan.
Seperti dinyatakan dalam putusannya :

1178…..China has aggravated the Parties’ dispute with respect to the


protection and preservation of the marine environment by causing
irreparable harm to the coral reef habitat at Cuarteron Reef, Fiery
Cross Reef, Gaven Reef (North), Johnson Reef, Hughes Reef, Subi Reef,
and Mischief Reef. The Tribunal has already found that China has
seriously violated its obligation to preserve and protect the marine
environment in the South China Sea…….In practical terms, neither
this decision nor any action that either Party may take in response can
undo the permanent damage that has been done to the coral reef habitats of
the South China Sea……

A.5. Peradilan Arbitrase Lainnya


Badan Arbitrase di luar PCA memang sudah ada yang berkembang
hingga saat ini diantaranya diantaranya Sweden`s Arbitration Institute yang
didirikan tahun 1917, International Chamber of Commerce (ICC) yang didirikan
di Paris, Perancis tahun 1923. Walaupun The Trial Smelter Case (1941) yang
merupakan kasus yang ditangani melalui peran arbitrasi yang dibentuk
Amerika Serikat dan Kanada bukan merupakan kasus lingkungan hidup

128
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

maritim, namun keputusan badan arbitrase ini ternyata telah mempengaruhi


terbentuknya Prinsip 21 Deklarasi Stockholm tahun 1972 yang juga dijadikan
dasar dalam beberapa pasal di UNCLOS 1982 seperti Bab XII, Bagian 1 Pasal
193. Sedangkan dalam Behring Sea Fur Arbitration (USA v Great Britania) tahun
1893 dimana keputusan arbitrasi ini telah mempengaruhi pembentukan
Treaty for the Preservation and Protection of Fur Seals tahun 1911. Peradilan
arbitrase lainnya dibentuk juga oleh World Bank melalui International Center
for Settlement for Investment Disputes (ICSID) yang menangani kasus Methanex
Corporation v.United States of America pada tahun 2001 yang membuat terobosan
dengan membuka intervensi dan partisipasi diluar pihak bersengketa sebagai
Amici Curiae.35 Dalam kasus lainnya Azinian, Davitian and Baca v. Mexico (1998)
dan Waste Management v. Mexico (2004) merupakan kasus yang berhubungan
dengan limbah bahan berbahaya dan beracun yang diputuskan oleh ICSID.
Dalam kasus kapal laut Rainbow Warrior milik Greenpeace yang dibom oleh
Agen Rahasia Perancis, disepakati juga diselesaikan melalui arbitrase
Sekretariat Jenderal PBB yang ditandatangani di Paris, Perancis pada 9 Juli
1986. 36

A.6. Putusan Badan Peradilan Regional


Badan peradilan regional telah terbentuk di berbagai benua atau
region tertentu. Terbentuknya didasarkan pada organisasi regional ataupun
kebutuhan negara-negara di regional tersebut. Organisasi yang cukup kuat
secara regional seperti Uni Eropa dengan keberadaan Mahkamah Eropa
(European Court of Justce/ECJ) telah menjadi contoh di banyak benua, Model
Mahkamah Eropa ini telah menjadi model terbentuknya East African Court of
Justice pada Masyarakat Afrika Timur (East African Community) dan Andean
Tribunal of Justice, pada Andean Community.37 NAFTA/UNCITRAL juga
membentuk badan peradilan melalui arbitrase dalam Ethyl Corporation v.

35 Rebasti, E dan Luisa Vieruci. “A Legal Status for NGO in Contemporary International Law?”
Paper in Workshop Legal for NGO in Contemporary International Law : A Contributuon to the
Debate on “Non State Actors” and Public International Law at the Beginning of the Twenty-First
Century, European University Institute (EUI) of Florence on 15-16 November 2002.
36 http://legal.un.org/riaa/cases/vol_XX/215-284.pdf. Lihat juga Andreas Pramudiantio loc.
cit.
37 Borzel, Tanja A dan Thomas Risse. The Oxford Handbook Comparative Regionalism, Ox-
ford University Press, 2016, hlm. 545. Lihat juga Andreas Pramudianto, loc.cit.

129
ANDREAS PRAMUDIANTO

Canada (1999) yang mendorong agar para pihak taat pada aturan lingkungan
hidup (compliance regulation) domestik. Dalam S.D Mayers.Inc v. Canada
sengketa antara Amerika Serikat dengan Kanada mengenai pembuangan
limbah PCB berdasarkan Basel Convention 1989 juga telah diputuskan.38

A.7. Putusan Badan Peradilan Khusus39


Beberapa badan peradilan khusus telah berhasil dibentuk seperti
Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Right/ECHR),
Mahkamah Hak Asasi Antar Amerika (The Inter American Court of Human Right/
IACHR). Di Afrika keberadaan peradilan khusus Hak Asasi Manusia yaitu
Mahkamah Afrika mengenai Hak Asasi Manusia dan Rakyat (African Court
on Human and Peoples Right/ACHPR) dan bersama peradilan tidak tetap yaitu
Mahkamah Afrika (African Court of Justice /ACJ) akan digabungkan menjadi
Mahkamah Keadilan Afrika dan Hak Asasi Manusia (African Court of Justice
and Human Right/ACJHR) berdasarkan keputusan KTT Uni Afrika (Africa
Union) di tahun 2008. IACHR dalam salah satu kasusnya telah memperjelas
hubungan antara lingkungan hidup dengan hak asasi manusia seperti dalam
kasus The Yanomami Indians case, resolution no 12/85 case no 7615 Brazil, 5 Maret
1985. Sementara itu dalam kasus Lopez v.Ostar Case tahun 1994 (application no.
16798/90) ECHR telah menegaskan bahwa terdapat pengertian perluasan pasal
8 yang berlaku dalam hukum lingkungan internasional regional yaitu European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom tahun
1953 yang tidak hanya persoalan hak asasi manusia semata akan tetapi juga
menyangkut sumber pencemar (pollution resources) yang dapat melanggar hak
asasi individu dan keluarga khususnya hak untuk mendapatkan kesehatan.

A.8. Putusan Badan Peradilan Lainnya(WTO)40


Beberapa Peradilan Internasional lainnya dibentuk dalam kerangka
organisasi internasional atau perjanjian internasional yang juga bersifat
khusus. Bentuk badan peradilan atau badan penyelesaian sengketa tersebut
sesungguhnya lebih tepat disebut quasi-pengadilan dikarenakan bukan
pengadilan sesungguhnya. Jika pihak-pihak bersengketa, maka akan diadili

38 Andreas Pramudianto, op.cit., hlm. 185


39 Ibid., hlm. 185-186.
40 Ibid., hlm. 186-187.

130
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

oleh badan tersebut dan putusannya dapat bersifat mengikat. Sebelum


WTO terbentuk yaitu GATT pernah menyelesaikan sengketa yang timbul
antara Amerika Serikat dan Mexico mengenai metode penangkapan ikan
tuna. Sengketa ini menerapkan cara penyelesaian melalui peraturan badan
internasional yaitu General Agreement Tariff and Trade (GATT). Peristiwa
ini bermula dari tindakan pemerintah Amerika Serikat yang melarang
impor ikan tuna yang berasal dari Mexico. Hal ini merugikan Mexico yang
kemudian gugatan diajukan melalui GATT Disputte Pannel I. Dalam sidang
tersebut Amerika Serikat menyatakan bahwa negaranya memiliki alasan
kuat yaitu pelarangan atas penangkapan ikan tuna yang dilakukan melalui
jaring nelayan Mexico ternyata juga telah membunuh anak ikan lumba-lumba
(dolphin) yang dilindungi berdasarkan Mamalia Protection Act 1972. Namun
tindakan ini menurut Mexico merupakan upaya terselubung Amerika Serikat
dengan menggunakan masalah lingkungan hidup menjadi alat perdagangan.
Dari hasil kasus ini nampak bahwa kaitan antara perdagangan dan lingkungan
hidup semakin erat. Sementara ini GATT menunda keputusannya.

Kasus dalam World Trade Organization (WTO) sekarang ini seperti dalam
WTO Appellate Body yang pernah menangani sengketa perdagangan terkait
lingkungan hidup maritim seperti dalam putusannya United States – Import
Prohibition of Certain Shrim and Shrimp Product (1998) antara USA dengan
negara-negara Asia.

B. Putusan Badan Pengadilan Nasional41

Beberapa negara telah membentuk badan peradilan khusus untuk menangani


perkara lingkungan hidup seperti National Environmental Tribunal di Pakistan,
National Environmental Appellete Authority (NEAA) di India, Environmental
National Dispute Resolution Commission di Korea, Environmental National Dispute
Coordination Commission di Jepang.42 Putusan pengadilan nasional dapat menjadi
bahan pertimbangan untuk dapat dibentuknya perangkat hukum internasional
khususnya perjanjian internasional, sehingga putusan badan peradilan nasional

41 Ibid
42 “Asian Judges : Green Court and Tribunal, and Environmental Justice” dalam Law and
Policy Reform Brief No. 1 April 2010 dalam https://www.adb.org/sites/default/files/
publication/27654/2010-brief-01-asian-judges.pdf, diunduh pada 28 Juli 2017

131
ANDREAS PRAMUDIANTO

juga merupakan sumber hukum khususnya hukum lingkungan internasional.


Dalam kasus-kasus pencemaran minyak di laut, banyak permasalahan
tanggungjawab lingkungan (environmental liability) serta ganti rugi (compensation)
seperti diamanatkan dalam Deklarasi Stockholm 1972, untuk dikembangkan
dalam hukum nasional. Kasus-kasus pencemaran minyak yang masuk peradilan
nasional seperti kasus karamnya kapal tanker Argo Merchant tahun 1976 yang
kemduain disidangkan dalam US District Court tahun 1980 dan beberapa kasus
sesudahnya seperti Olympic Games (1976), Sanswena (1976) dan Daphne (1976)
yang kemudian mendorong diperbaharuinya ketentuan dalam Marine Pollution
Convention (MARPOL) 1973/1978.

Dalam Kasus Patmos mengenai pencemaran minyak yang menyebabkan


kerusakan lingkungan di pantai Italia. Kasus ini diselesaikan dengan cara
mengajukan perkara pada pengadilan nasional. Peristiwa ini bermula pada 21
Maret 1985 dimana suatu kapal tanker berbendera Yunani “Patmos” bertubrukan
dengan kapal tanker berbendera Spanyol “Castillo de Monte Aragon”. Akibat
tubrukan ini sekitar 1300 ton dari total 80.000 ton minyak yang dibawa “Patmos”
tumpah di laut yang kemudian tumpahan ini mencapai pantai Sisilia. Gugatan
diajukan oleh pemerintah Italia ke pengadilan Messina dengan alasan adanya
kerusakan ekologis dengan berdasar pada Civil Liability Convention dan Fund
Convention. Pada tanggal 30 Juli 1986 pengadilan menolak gugatan pemerintah
Italia yang diwakili Kementerian Perdagangan Laut dengan alasan kerusakan
ekologis tidak terbukti terjadi pada pantai Italia. Gugatan banding diajukan pada
30 Maret 1989 dan pengadilan banding Messina mengakui kalim yang diajukan
pemerintah Italia.

Contoh yang terkenal adalah hasil putusan pengadilan Amerika Serikat


melalui putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (US Supreme Court) dalam
kasus New Jersey v. City of New York tahun 1931 (283 US.473) mengenai pencemaran
pantai dan laut teritorial akibat pembuangan limbah kota. Hasil putusan ini menjadi
sumber hukum penting dalam pembentukan Geneva Convention of the High Seas
1958 khususnya mengenai pencemaran pantai. (Kiss:1976). Beberapa kasus lainnya
seperti Japan Whalling Association v. American Cetacean Society (1986), Defender of
Wildlife, Inc v. Endangered Species Scientific Authority (1981), Environmental Defense
Fund v. Massey (2010) merupakan contoh kasus lingkungan hidup maritim.

132
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Dengan demikian putusan pengadilan internasional seperti penerapan


perjanjian internasional dalam hukum nasional dapat menjadi pembelajaran
penting seperti dinyatakan oleh Wirth (1999) dalam Pramudianto (2017) yang
menegaskan :

“The little-taught Japan Whaling case, concerning domestic implementation of


the Whaling Convention, is an excellent example of the way in which legal and
policy considerations unique to foreign relations may generate conflicts with
domestic statutory mandates”.

V. Penutup

Kesimpulan dari artikel ini telah menunjukan bahwa diplomasi dan putusan
peradilan internasional mampu memberikan dasar hukum dan petunjuk hukum
bagi negara-negara dan aktor bukan negara dalam hubungan internasional. Salah
satu putusan peradilan internasional khususnya Permanent Court Arbitration (PCA)
Case No. 2013-19 in the matter of the South China Sea Arbitration (The Republic of Philipines
v. The People Republic of China) telah memperkuat status hukum internasional
suatu ekosistem khususnya perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang di
wilayah Laut China Selatan. Selain itu penegakan prinsip-prinsip perlindungan
lingkungan hidup maritim juga menjadi penting. Di sisi lain, pentingnya
pengembangan kelembagaan dalam hukum internasional juga perlu diperhatikan.
Pembentukan kelembagaan untuk penyelesaian sengketa seperti komisi bersama
(joint commission) atau semacam komisi penyelidik (Security Council sub committee)
menjadi penting dalam penyelesaian kasus the Trial Smelter Case (1941) dan the
Corfu Chanel Case (1948). Dalam International Tribunal Law of the Sea (ITLOS) Case
No. 22 : The “Artic Sunrise” Case (Kingdom of the Netherlands v. Russian Federation)
tahun 2013 berperannya Greenpeace sebagai salah satu NGO internasional yang
merupakan entitas bukan subjek hukum internasional bertindak sebagai amicus
curiae di peradilan internasional (ITLOS dan PCA) menjadi sangat penting dalam
kerangka pengembangan hukum internasional khususnya hukum lingkungan
internasional. Walaupun dalam dua peradilan ini, Greenpeace telah ditolak,
namun akan menjadi pembelajaran di kemudian hari. Berbagai kasus lingkungan

133
ANDREAS PRAMUDIANTO

hidup maritim tersebut yang muncul sesungguhnya tidak terlepas dalam berbagai
kepentingan khususnya kepentingan nasional yang dapat berbenturan dengan
kepentingan nasional lainnya atau bahkan kepentingan global internasional.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kementerian Luar Negeri Cina dalam kasus
Laut China Selatan yang mengatakan bahwa negara Tiongkok adalah yang
pertama kali menemukan dan mengeksploitasi pulau-pulau di Laut Cina Selatan,
“sehingga memiliki kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan”. Pernyataan
ini tentu menjadi alasan sengketa bagi negara lain yang memiliki kepentingan
yang sama, sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan dapat menimbulkan
tindakan kekerasan yang sesungguhnya tidak menyelesaikan sengketa, bahkan
menimbulkan masalah baru. Karena itu penyelesaian sengketa maritim melalui
diplomasi dan peradilan internasional menjadi sangat penting dalam kerangka
peredaan ketegangan (détente) hubungan bilateral, regional maupun multilateral.

134
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Akehurst, Michael. 1983. A Modern Introduction to International Law, 4th


Edition,George Allen & Unwin (Publishers) Ltd.
Anton, Donald K et al. 2005. International Law : Cases and Materials, Oxford
University Press,
Ball, Simon & Stuart Bell. 1992. Environmental Law, Blackstone Press Limited, London.
Borzel, Tanja A dan Thomas Risse.2016. The Oxford Handbook Comparative
Regionalism, Oxford University Press.
D.J. Harris, Cases and Materials on International Law , London: Sweet and Maxwell,
4th.ed., 1991
Henkin, Louis. 1991. International Law: Cases and Materials, St. Paul: West Publ.,
3rd.ed., 1991
Merrills, J.G. 1986. Penyelesaian Sengketa Internasional diterjemahkan oleh Achmad
Faudzan, Tarsito, Bandung.
Nussbaum, Arthur dan Sam Suhaedi. 1969. Sedjarah Hukum Internasional, Bina
Cipta, Bandung.
Pramudianto, Andreas. 2017. Hukum Lingkungan Internasional, Penerbit CV
Rajawali, Jakarta.
___________________.2008. Diplomasi Lingkungan, Penerbit UI Press, Jakarta.
Rasjid, Abdul. 1985. Upaya Penyelesaian Sengketa Antar Negara melalui Mahkamah
Internasional, PT Bina Ilmu, Surabaya.
Sands, Phillipe. 1993. Greening International Law, Earthscan Publication, London.
Starke, J.G. 1989. Pengantar Hukum Internasional diterjemahkan oleh Sumitro LS
Danuredjo, Aksara Persada Indonesia, Jakarta.

II. Makalah

Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa, Tanpa Penerbit. Diakses


melalui http://blog.ub.ac.id/devitrirahayu/files/2012/03/3-HUKUM-
PENYELESAIAN-SENGKETA-INTERNASIONAL1.pdf

135
ANDREAS PRAMUDIANTO

Rebasti, E dan Luisa Vieruci. 2002. A Legal Status for NGO in Contemporary
International Law ? Paper in Workshop Legal for NGO in Contemporary
International Law : A Contributuon to the Debate on “Non State Actors”
and Public International Law at the Beginning of the Twenty-First Century,
European University Institute (EUI) of Florence on 15-16 November 2002.
Cooper, Catherine A. 1986. The Management of International Environmental Dispute
in the Context of Canada-United States Relations : A Survey and Evaluation of
Techniques and Mechanisms dalam Canadian Year Book of International Law,
University of British Columbia Press.
Desai, Bharat. 1993. The Bhopal Gas Leak Disaster Litigation: An Overview dalam Asian
Year Book of International Law, Martinus Nijhoff, Amsterdam.
Jonsson, Crister dan Karin Aggestam. 2007. Diplomacy and Conflict Resolution,
Prepared for the NISA conference on “Power, Vision and Order in World
Politics”, Odense
Keith A Muray.1972. The Trial Smelter Case : International Air Pollution in the
Columbia Valley dalam http : www. ojs.library.ubc.ca
Ospina, E Valencia.1993. The International Court of Justice and International
Environmental Law dalam Asian Year Book of International Law, Martinus
Nijhoff, Amsterdam.
Pramudianto, A. 1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional
dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIII Nomor 4 Oktober 1995.
____________1998. Penyelesaian Sengketa Dalam hukum Lingkungan Internasional.
Dalam Majalah hukum Pro Justitia Tahun XVI No.2 April 1998.
______________2006. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Dalam Perjanjian
Internasional Bidang Pengelolaan B3 dan Limbah B3 dalam Jurnal
Lingkungan dan Pembangunan Volume 26 Nomor 1 Tahun 2006.

III. Dokumen lainnya

UNEP. 1991. Register of International Treaties & Other Agreements in the Field of the
Environment, UNEP, Nairobi.
____________. 1986. Statuta Mahkamah Internasional, Penerbit United Nations
Information Center (UNIC)

136
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

ICJ Communique 93/20, 19 Juli 1993


The Corfu Channel Incidents dalam https://undocs.org/S/RES/19(1947)
The Corfu Channel Incidents dalam https://undocs.org/S/RES/22(1947
International Tribunal Law of the Sea Year 2013 : List of cases No : 22 dalam https://
www.itlos.org/fileadmin/itlos/documents/cases/case_no.22/Order/C22_
Ord_22_11_2013_orig_Eng.pdf
PCA Case No. 2014-02 dalam http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1325
Asian Judges : Green Court and Tribunal, and Environmental Justice dalam Law
and Policy Reform Brief No. 1 April 2010 dalam https://www.adb.org/
sites/default/files/publication/27654/2010-brief-01-asian-judges.pdf
http://legal.un.org/riaa/cases/vol_XX/215-284.pdf
https ://www.PCA.org/cases/list
http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=2
https://www.itlos.org/cases/list-of-cases/
http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/16/113255326/beijing-protes-
indonesia-ubah-laut-china-selatan-jadi-laut-natuna

137
138
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Ulasan Peraturan

Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang


Rencana Umum Energi Nasional

Grita Anindarini Widyaningsih1

I. Pendahuluan

Pada 13 Maret 2017, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana
Umum Energi Nasional (selanjutnya disebut “Perpres RUEN”) diundangkan.2
Diundangkannya Perpres RUEN ini merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah
Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional.3 Secara keseluruhan,
baik RUEN maupun Kebijakan Energi Nasional ini merupakan amanat dari UU
No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi, yang pembentukannya bertujuan untuk dapat
memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan, berkeadilan dan
optimal dalam rangka mencapai ketahanan energi nasional. Nantinya, rencana
yang ada di Perpres RUEN tersebut akan dijadikan acuan dalam penyusunan
Rencana Umum Energi Daerah (RUED) untuk dapat memenuhi kebutuhan
energi di daerah masing-masing secara berkelanjutan, berkeadilan dan optimal
dalam rangka mencapai ketahanan energi di daerah dan sesuai dengan tujuan
pengelolaan energi secara nasional.4

Secara garis besar, Perpres RUEN ini disusun oleh Pemerintah dan ditetapkan
oleh Dewan Energi Nasional untuk jangka waktu sampai dengan tahun 2050 yang

1 Penulis adalah Asisten Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law.


2 Presiden RI (a), Peraturan Presiden tentang Rencana Umum Energi Nasional, Perpres No. 22
Tahun 2017, LN No. 43 Tahun 2017.
3 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014,
LN No. 300 Tahun 2014, TLN No. 5609.
4 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Policy Paper Keselarasan Kebijakan Energi Nasi-
onal Dengan Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Daerah. Jakarta : 2012,
hlm. 23.

139
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

memuat: a) Pendahuluan, kondisi energi nasional saat ini dan ekspektasi masa
mendatang ; b) Visi, misi, tujuan dan sasaran energi nasional ; c) Kebijakan dan
strategi pengelolaan energi nasional; serta d) Penutup. Adapun Perpres RUEN ini
memiliki fungsi sebagai landasan untuk penyusunan rencana-rencana yang lebih
teknis ke depannya, seperti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik oleh PLN,
rencana penyusunan APBN/APBD oleh Kementerian, Lembaga dan Pemerintah
Daerah terkait, pedoman Kementerian dan Lembaga untuk menyusun rencana
strategis, hingga pedoman Pemerintah Provinsi untuk menyusun Rencana Umum
Energi Daerah Provinsi (RUED-P).5 Mengingat luasnya pembahasan dalam Perpres
RUEN, maka khusus untuk ulasan peraturan perundang-undangan ini, Penulis
akan membatasi pembahasan kepada kebijakan dan strategi pengelolaan energi
nasional serta isu-isu terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang tercantum dalam Perpres RUEN.

II. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Energi Nasional Pasca Perpres


No. 22 Tahun 2017

Pada peraturan induknya, PP No. 79 Tahun 2014 terkait Kebijakan Energi


Nasional, dua arah kebijakan pengelolaan energi nasional telah ditetapkan, yakni
kebijakan utama dan kebijakan pendukung. Lebih jauh, dalam peraturan tersebut
pengelolaan energi nasional diutamakan untuk memenuhi kebutuhan energi
nasional.6 Adanya prioritas ini ditujukan untuk mencapai tujuan utama Kebijakan
Energi Nasional 2050 yaitu Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional. Disamping
kebijakan utama tersebut, pengelolaan energi nasional juga ditujukan untuk
berbagai kebijakan pendukung. Beberapa diantaranya adalah untuk lingkungan
hidup dan keselamatan, penelitian serta pengembangan dan penerapan teknologi
energi, hingga kelembagaan dan pendanaan.7 Untuk dapat mencapai tujuan

5 Humas Sekretariat Kabinet, “RUEN, Rencana Umum Energi Nasional”, http://setkab.go.id/


ruen-rencana-umum-energi-nasional/, diunduh pada 21 Agustus 2017.
6 Indonesia (a), op.cit., ps. 3 ayat (2). Lebih lanjut dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa ke-
bijakan utama untuk kebijakan energi nasional meliputi: a) Ketersediaan energi untuk ke-
butuhan nasional ; b) Prioritas pengembangan energi ; c) Pemanfaatan sumber daya energi
nasional ; dan d) Cadangan energi nasional.
7 Ibid., ps. 3 ayat (3).

140
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

tersebut, Perpres RUEN mendetailkan bahwa prioritas pengembangan energi


Indonesia kedepannya harus didasarkan pada prinsip berikut: 1) Memaksimalkan
penggunaan energi terbarukan dengan memperhatikan tingkat keekonomian ;
2) Meminimalkan penggunaan minyak bumi ; 3) Mengoptimalkan pemanfaatan
gas bumi dan energi baru ; serta 4) Menggunakan batubara sebagai andalan
pasokan energi nasional. Berikut adalah penjabaran lebih lanjut terkait prioritas
pengembangan energi ini.8

II.1. Memaksimalkan Penggunaan Energi Terbarukan

Pada dasarnya, inisiatif untuk mengembangkan Energi Baru dan


Terbarukan (“EBT”) telah ada sejak dulu namun memang pemanfaatan
dan pengembangannya yang belum maksimal. Setidaknya hingga saat ini,
pemanfaatan EBT baru mencapai sekitar 2% dari total potensi EBT yang ada.9
Adapun sebab rendahnya pemanfaatan dan pengembangan EBT ini terjadi
antara lain karena: a) Belum maksimalnya pelaksanaan kebijakan harga ; b)
Ketidakjelasan subsidi EBT pada sisi pembeli (off-taker) ; c) Regulasi yang
belum dapat menarik investasi; d) Belum adanya insentif bagi pengembangan
EBT; e) Minimnya ketersediaan instrumen pembiayaan yang sesuai dengan
kebutuhan investasi; f) Proses perizinan yag rumit; hingga g) permasalahan
lahan dan tata ruang.10 Menghadapi hal ini, RUEN-pun mengamanatkan
untuk mengoptimalkan pengembangan EBT ke depannya. Bahwa setidaknya
rencana pengembangan EBT ke depannya adalah paling sedikit 23% dari total
bauran energi primer pada tahun 2025 dan paling sedikit 31% dari total bauran
energi primer pada tahun 2050.11

Terdapat berbagai sumber EBT yang telah diatur dalam Perpres RUEN yang
untuk kedepannya diharapkan dapat dikembangkan di Indonesia, diantaranya
adalah panas bumi, tenaga air, minihidro dan mikrohidro, bioenergi, tenaga
suya, bayu atau angin, serta arus, gelombang, dan perbedaan suhu lapisan
laut. Pada dasarnya, pengembangan EBT ini tidak hanya diproyeksikan untuk
pembangkit, namun juga EBT ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai

8 Presiden RI (a), op.cit., Lampiran I., hlm. 36-38.


9 Ibid., Lampiran I, hlm. 20
10 Ibid.,Lampiran I, hlm. 13
11 Ibid., Lampiran I, hlm. 20

141
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

energi yang digunakan secara langsung oleh sektor pengguna. Khusus untuk
rencana pembangunan pembangkit tenaga EBT, berikut adalah tabel rencana
pemodelan pembangunan pembangkit tenaga EBT di Indonesia:

Jenis Energi Terpasang Target Target


(per 2016) Tahun 2025 Tahun 2050
Panas Bumi 1.653,5 7.241,5 17.546,0
Air 4.871,7 17.986,7 38.000,0
Minihidro dan 230,5 3.000,0 7.000,0
mikrohidro
Bioenergi 1.801,6 5.500,0 26.000,0
Surya 107,8 6.500,0 45.000,0
Angin 3,9 1.800,0 28.000,0
Energi Terbarukan 809,8 3.125,0 6.100,0
lainnya1
Tabel 1 : Pemodelan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia (satuan: MW)2

Sekilas memang terlihat target untuk pemodelan pengembangan


pembangkit EBT tersebut terkesan ambisius. Namun, untuk mencapai target
tersebut, secara umum di dalam Perpres RUEN tersebut telah ditetapkan
beberapa langkah untuk mengejar pembangunan pembangkit EBT ini, yakni:12

1) Membentuk badan usaha EBT tersendiri yang ditugasi Pemerintah untuk


mengembangkan, memanfaatkan, dan/atau membeli EBT;
2) Menerapkan dan menyempurnakan feed in tariff dari pembangkit EBT
keada badan usaha ketenagalistrikan yang berlaku selama harga listrik
EBT lebih tinggi dari harga listrik dari sumber energi primer lainnya;
3) Menyusun pedoman pemberian subsidi energi oleh Pemerintah Daerah
yang anggarannya dialokasikan dalam APBD;
4) Menganggarkan pembangunan infrastruktur EBT secara berkelanjutan
untuk desa-desa yang tidak akan terlistriki dalam jangka panjang;
5) Menugaskan lembaga pembiayaan infrastruktur nasional untuk
membiayai proyek pembangunan EBT; serta

1 Ibid., lampiran I hlm. 63, bahwa yang dimaksud dengan energi terbarukan lainnya adalah
PLTD dengan campuran bioenergy, PLT Arus Laut, PLT Gelombang Laut, serta PLT Energi
Panas Laut (Ocean Thermal Energy).
2 Disarikan dan dirangkum oleh Penulis dari Lampiran I, hlm. 63-64
12 Ibid., lampiran I hlm. 66.

142
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

6) Mengembangkan sistem tenaga listrik kecil berbasis EBT untuk


penyediaan listrik di wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh
perluasan jaringan (grid).

II.2. Meminimalkan Penggunaan Minyak Bumi

Menyadari bahwa cadangan sumber daya minyak bumi nasional yang


semakin menipis, Perpres RUEN menetapkan kebijakan untuk pengurangan
penggunaan minyak bumi serta mengurangi ketergantungan terhadap impor.13
Adapun kedepannya diharapkan penggunaan minyak bumi dalam bauran
energi primer adalah sebesar 24,7% pada tahun 2025 dan semakin menurun
menjadi 19,5% pada tahun 2050. Selain itu, berkaitan dengan impor, diharapkan
pada tahun 2025 sudah tidak ada lagi impor BBM. Hal ini merupakan sebuah
pekerjaan rumah yang cukup berat mengingat saat ini porsi impor BBM nasional
masih sekitar 52%14 dan butuh program yang ekstra untuk mewujudkan
pengurangan tersebut. Secara khusus, Perpres RUEN juga menawarkan upaya
untuk pengurangan ketergantungan impor ini, yakni dengan peningkatan
kapasitas kilang melalui pembangunan kilang baru dan revitalisasi kilang
minyak yang telah ada serta diversifikasi ke bahan bakar lain.15

Secara garis besar kecenderungan produksi minyak bumi domestik


diperkirakan menurun karena tambahan produksi dari lapangan baru belum
dapat mengimbangi penurunan produksi dari lapangan lama. Adapun tingkat
penurunan ini rata-rata sekitar 6% per tahun. Adanya penurunan ini tentu
dikhawatirkan akan menjadi penghambat dalam pemenuhan kebutuhan
minyak dalam negeri. Untuk itu, Perpres RUEN memperkirakan tambahan
produksi akan diperoleh dari penemuan cadangan baru dan kegiatan
enhanced oil recovery (EOR).16 Hal ini semata-mata juga dilakukan untuk dapat
13 Ibid., lampiran I hlm. 36.
14 Ibid., lampiran I hlm. 40.
15 Ibid., Lampiran I hlm. 40
16 Ibid., Lampiran I hlm. 42. Adapun perkiraan ini dilakukan dengan asumsi : a) pada tahun
2016 rasio pemulihan cadangan mencapai 60% dan terus meningkat hingga mencapai 100%
pada tahun 2025; b) Dalam jangka waktu 5 tahun, 6,4% dari setiap penemuan cadangan baru
dapat diproduksikan dengan tetap mempertimbangkan tingkat penurunan sebesar 10% ;
dan c) Kegiatan EOR mulai produksi tahun 2020 dengan jumlah cadangan yang bisa dipuli-
hkan sampai tahun 2050 sebesar 2,5 miliar barel dengan asumsi penurunan produksi sebesar
10%. Lebih lanjut yang dimaksud dengan Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah penggunaan
teknik yang berbeda yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan produksi minyak men-

143
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

memastikan produksi minyak bumi tidak kurang dari 567,7 ribu BOPD pada
tahun 2025.

II.3. Mengoptimalkan Pemanfaatan Gas Bumi dan Energi Baru

Dalam RUEN ini juga dijelaskan terkait dengan fokus Pemerintah untuk
mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi demi kebutuhan dalam negeri.
Nantinya, gas bumi ini diharapkan dapat dipergunakan untuk bahan bakar
pembangkit tenaga listrik, transportasi, rumah tangga, dan bahan baku
industri. Selain itu, pemanfaatan energi baru juga diprioritaskan. Adapun
yang dimaksud dengan energi baru di sini adalah gasifikasi batubara, batubara
tercairkan, gas metana batubara, serta hidrogen.17 Pemerintah melihat bahwa
energi baru ini memiliki potensi yang cukup besar namun sayangnya hingga
saat ini masih belum dikembangkan.

Terkait dengan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri


ini, Negara tetap bergantung kepada produksi gas bumi dalam negeri dan
impor LPG sebagai pemenuhannya. Untuk produksi gas bumi dalam negeri,
nantinya akan dimanfaatkan untuk menghasilkan energi final berupa listrik,
LPG, dan dimethyl Ether (campuran LPG). Di samping itu, untuk hasil
impor LPG nantinya akan langsung dimanfaatkan untuk sektor industri,
transportasi, rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya oleh para end-user.18
Adanya impor gas alam ini dibutuhkan karena Pemerintah memperkirakan
bahwa pada tahun 2020, Indonesia berpotensi mengalami defisit gas dan
akan terus meningkat hingga tahun 2050.19 Secara garis besar, pada tahun
2020 kebutuhan gas bumi dalam negeri akan mencapai 6.037,8 MMSCFD,
sementara kemampuan berproduksi diperkirakan hanya 5.732,0 MMSCFD.
Adapun kejadian defisit ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 2050.

tah dari sumur. Pada dasarnya, metode yang dipergunakan adalah dengan thermal, bahan
kimia, serta penggunaan gas. Dikutip dari: “Enhanced Oil Recovery (EOR)”, https://www.
petropedia.com/definition/202/enhanced-oil-recovery-eor, diunduh pada 23 Agustus 2017.
17 Ibid., Lampiran I hlm. 36
18 Ibid., Lampiran I hlm. 48.
19 Ibid., Lampiran I hlm. 51. Adapun dalam keterangannya diperkirakan bahwa pada tahun
2020 Indonesia akan mengalami defisit pasokan gas bumi sebesar 401,8 MMSCFD dan akan
meningkat hingga 20.201,0 MMSCFD pada tahun 2050. Adapun angka ini diperhitungkan
dengan membandingkan kebutuhan gas bumi dalam negeri dan committed production pada
tahun berjalan. Angka ini tidak termasuk kebutuhan impor LPG.

144
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Selain itu, demand terkait LPG-pun terus meningkat. Pada 2017 diperkirakan
permintaan mencapai 7,3 juta ton dan akan terus meningkat hingga 13,2 juta
ton pada 2050.20

Untuk mencapai sasaran pengembangan energi gas bumi tersebut,


beberapa kegiatan yang dicanangkan akan dilakukan diantaranya:21 a)
Memastikan produksi gas bumi menjadi tidak kurang dari 6.700 juta
MMSCFD pada tahun 2025 ; b) Menyelesaikan kebijakan harga gas bumi
dengan membentuk badan penyangga gas nasional ; c) Meningkatkan rasio
pemulihan cadangan gas bumi hingga mencapai 100% pada tahun 2025,
dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi secara masif menjadi tiga kali
lipat ; d) Mempercepat penyelesaian proyek gas bumi ; e) Mempercepat
penyelesaian pembangunan infrastruktur gas bumi ; f) Mengendalikan impor
LPG menjadi di bawah 50% dari kebutuhan gas nasional pada tahun 2050 ;
hingga g) menetapkan harga gas yang kompetitif untuk konsumen dalam
negeri untuk meningkatkan nilai tambah.

Terkait dengan pengembangan energi baru, hal ini belum terlalu banyak
dibahas secara detail di dalam RUEN ini. Namun, beberapa hal yang telah
dibahas pemanfaatannya adalah Pemerintah memiliki strategi untuk
melakukan komersialisasi menara bor purwarupa (prototype rig) untuk coal
bed methane (CBM) yang telah dibuat dengan target 2 unit per tahun, dalam
rangka meningkatkan dan mengefisienkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
CBM.22 Selain itu, untuk pengembangan coal liquefaction (batubara tercairkan),
nampaknya hingga saat ini masih dalam tahap pengembangan awal. Dalam
RUEN dijelaskan bahwa Pemerintah masih mengarahkan untuk adanya
penyusunan peta jalan dan kebijakan pengembangan sumber energi batubara
berbentuk cair tersebut. Di samping itu, perlu adanya pengembangan
teknologi produksi dan penggunaan bahan bakar sintetis dan hidrogen
untuk transportasi serta arahan untuk mempercepat pengembangan batubara
tercairkan sebagai bahan bakar cair.23

20 Ibid., Lampiran I hlm. 52.


21 Ibid., Lampiran I hlm. 54 - 56.
22 Ibid., Lampiran II, hlm. 10.
23 Ibid., Lampiran II, hlm. 45.

145
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

II.4. Menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional

Pemerintah menyadari bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya


batubara yang cukup besar. Untuk itu, Pemerintah tetap memprioritaskan
sumber energi primer ini sebagai pasokan energi nasional. Namun, dalam
Perpres RUEN sendiri, batubara diupayakan untuk dapat digunakan sebagai
pilihan “terakhir” untuk pemenuhan kekurangan kebutuhan dalam negeri
setelah memaksimalkan penggunaan energi terbarukan, meminimalkan
penggunaan minyak bumi, dan mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan
energi baru.24 Pemerintah juga mengupayakan untuk mengolah batubara
tersebut dengan menggunakan teknologi bersih yang ramah lingkungan.

Secara garis besar, Pemerintah Indonesia mencanangkan untuk mengurangi


ketergantungan terhadap batubara hingga hanya 30,0% (119,8 MTOE) pada
tahun 2025 dan 25,3% (255,9 MTOE) pada tahun 2050. Selain itu, Pemerintah
juga mencanangkan untuk mengendalikan produksi batubara mulai tahun
2019 hingga sebesar 400 juta ton – kecuali kebutuhan domestik melebihi 400
juta ton. Selain itu, ekspor batubara juga akan dihentikan paling lambat pada
tahun 2046.25 Dalam kaitannya untuk mengendalikan produksi batubara
tersebut, Pemerintah akan melakukan moratorium pemberian Izin Usaha
Pertambangan dan Izin Usaha Petambangan Khusus batubara di hutan alam
primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung,
hutan produksi, dan area penggunaan lain.26 Namun sayangnya, belum
dijelaskan bagaimana tahap moratorium ini dilakukan.

Adapun Pemerintah juga menyadari bahwa batubara hingga saat ini


masih menjadi tumpuan untuk sektor kelistrikan. Mengingat pembangunan
PLTU Batubara hingga saat ini menjadi salah satu sumber emisi terbesar di
Indonesia27, hal ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri mengingat komitmen
Indonesia untuk dapat mengambil cara-cara strategis dalam mengurangi
emisi gas rumah kaca. Menanggapi hal itu, Pemerintah akan mewajibkan
pemanfaatan teknologi energi batubara yang ramah lingkungan (Clean Coal
24 Ibid., Lampiran I hlm. 37
25 Ibid., Lampiran I, hlm. 59.
26 Ibid., Lampiran I, hlm. 60.
27 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Data Inventory Emisi GRK Sektor Energi, (Ke-
menterian ESDM, Jakarta: 2016), hlm. v.

146
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Technology) dan efisiensi tinggi (Ultra Super Critical) secara bertahap.28 Namun
sayangnya kembali, tidak dijelaskan bagaimana tahap untuk penerapan
teknologi CCT dan USC tersebut.

III. Isu Terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam RUEN

Dalam perjalanannya, pengelolaan energi tidak pernah terlepas dari isu


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini juga telah dijabarkan
secara cukup detail dalam RUEN ini. Pada dasarnya, indikator lingkungan hidup
merupakan salah satu dasar dalam penyusunan proyeksi permodelan kebutuhan
dan pasokan energi jangka panjang. Adapun dalam indikator lingkungan hidup
tersebut, indikator yang digunakan adalah jumlah emisi gas rumah kaca, emisi
gas rumah kaca per kapita, dan emisi gas rumah kaca per PDB29. Berdasarkan data
yang dihimpun, emisi GRK di Indonesia dari sektor energi meningkat dari 433,5
juta ton CO2 pada 2013 menjadi 464,4 juta ton CO2 pada 201430. Sebagian besar
sumber emisi GRK tersebut berasal dari pembangkit listrik (33%), diikuti oleh
industri (30%), transportasi (29%), dan sektor lainnya (8%).31 Besarnya emisi ini
disebabkan karena penggunaan energi fosil batubara di sektor pembangkit dan
industri, serta BBM pada sektor transportasi. Adanya pertumbuhan emisi CO2 ini
relatif meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan PDB. Hal ini berarti
sebagian besar emisi CO2 berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi yang
tidak disertai dengan efisiensi emisi CO2.

Melihat permasalahan dalam indikator tersebut, Perpres RUEN telah


menetapkan bahwa isu lingkungan hidup termasuk dalam kebijakan pendukung
dalam pengelolaan energi nasional. Berbagai program dan kegiatan-pun dilancarkan
untuk mendukung pengelolaan tersebut. Adapun program dan kegiatan ini
dilakukan lintas-lembaga dengan menunjuk satu kementerian terkait sebagai
koordinator pelaksananya. Berikut adalah beberapa strategi/program tersebut:

28 Ibid.
29 Ibid., Lampiran I, hlm. 21.
30 Ibid.
31 Ibid., Lampiran I, hlm. 22.

147
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

III.1. Pengendalian emisi gas rumah kaca dari sektor energi

Berkiatan dengan program ini, terdapat dua Kementerian yang


menjadi koordinator yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(“Kementerian ESDM”) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(“KLHK”). Adapun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Kementerian
ESDM ditugaskan untuk dapat melaksanakan konservasi energi di sisi suplai
energi serta mewajibkan pemanfaatan teknologi energi batubara yang ramah
lingkungan (Clean Coal Technology) dan efisiensi tinggi (Ultra Super Critical)
secara bertahap. Selain itu, KLHK difokuskan untuk dapat melaksanakan
Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional – Gas Rumah
Kaca (“RAN GRK”)32 secara konsisten untuk mendukung program ini. Secara
koordinatif, Kementerian ESDM dan KLHK juga memiliki tugas untuk dapat
memperhatikan reklamasi lahan pasca tambang batubara serta melaksanakan
program audit dan manajemen energi.33 Keseluruhan kegiatan ini nantinya
akan dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian/Lembaga, kecuali
untuk kegiatan melaksanakan konservasi energi di sisi suplai energi,
yang nantinya akan diatur tersendiri dalam Permen ESDM terkait dengan
konservasi energi.

Sedikit menelisik ke belakang, Indonesia sendiri memang berkomitmen


untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca, termasuk dari sektor energi.
Komitmen ini tertuang dalam Paris Agreement, yang mana telah diratifikasi
oleh Indonesia melalui UU No. 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris
Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change
(Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Perubahan Iklim). Di dalam persetujuan tersebut, Indonesia bersama
negara-negara di dunia berkomitmen untuk mengurangi kenaikan suhu
di dunia hingga 2 derajat celcius pada tahun 2020 mendatang. Lebih lanjut,
Indonesia juga tengah merancang Nationally Determined Contribution yang

32 Presiden RI (b), Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011, ps. 1 ayat (1), yang untuk selanjutnya dijelaskan bahwa
RAN-GRK adalah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan meru-
pakan sebuah dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara
langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pem-
bangunan nasional
33 Presiden RI (a), op.cit., Lampiran II, Hlm. 70.

148
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

menggambarkan bagaimana peningkatan aksi dan kondisi yang mendukung


selama periode 2015-2019 yang akan berkontribusi dalam upaya untuk
mencegah kenaikan temperatur global tersebut.34 Dari sektor energi sendiri,
diharapkan dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi di Indonesia sebesar
11% dari total NDC apabila dibandingkan dengan sektor lainnya, seperti
limbah, Instalasi Pengontrol Polusi Udara (“IPPU”), pertanian, dan kehutanan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi


Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi – Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral menyampaikan bahwa di sektor energi sendiri, Indonesia
berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai NDC pada
tahun 2030.35 Pihak Kementerian ESDM juga telah menyiapkan rencana
aksi untuk memenuhi hal ini. Beberapa diantaranya adalah menggencarkan
pembangunan pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, menggalakkan
reklamasi pasca tambang, penggunaan biodiesel untuk transportasi,
penerapan managemen energi di industri dan bagunan komersial, hingga
penerapan standard/label pada peralatan rumah tangga dan industri. Selain
itu, menyikapi masih diandalkannya PLTU Batubara untuk elektrifikasi
di Indonesia, Rida menegaskan bahwa pihaknya akan mewajibkan bagi
pemanfaatan teknologi CCT dan USC untuk PLTU yang baru.36

III.2. Penyediaan energi dan pemanfaatan energi yang berwawasan lingkungan

Dalam strategi ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta


Kementerian Perindustrian akan menjadi koordinator dalam pelaksanaannya.
Adapun strategi ini untuk selanjutnya dibagi menjadi tiga program, yakni:37

1) Pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan dampak lingkungan hidup;


2) Pengurangan dan penggunaan kembali produksi limbah, serta
mengekstrak unsur yang masih bisa dimanfaatkan ; serta

34 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, First Nationally Determined Contribution


Republic of Indonesia, Jakarta, hlm. 2.
35 Disampaikan oleh Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konser-
vasi Energi – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam acara Parallel Session
Seminar “Indonesia NDC: Progress dan Tindak Lanjut” Pada Jum’at, 4 Agustus 2017 di Ke-
menterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
36 Ibid.
37 Presiden RI (a), op.cit., Lampiran 2, hlm. 72.

149
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

3) Peningkatan koordinasi dan layanan perizinan dalam kawasan hutan.

Terkait dengan strategi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan


dampak lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
bertanggung jawab untuk mengintegrasikan kebijakan lingkungan mencakup
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemulihan, pengawasan, dan
penegakan hukum. Sayangnya, dalam kegiatan ini tidak dijelaskan secara
lebih konkrit bagaimana tindak lanjutnya.

Terkait dengan strategi pengurangan dan penggunaan kembali produksi


limbah, serta mengekstrak unsur yang masih bisa dimanfaatkan, beberapa
kegiatan yang akan dilakukan adalah mendorong peningkatan penggunaan
teknologi energi yang ramah lingkungan berdasarkan prinsip 3R (reuse, reduce,
and recycle), memanfaatkan limbah produk energi secara berkelanjutan, serta
memanfaatkan gas buang untuk listrik dan proses termal di industri.38

Terkait dengan peningkatan koordinasi dan layanan perizinan dalam


kawasan hutan adalah memfasilitasi proses layanan penerbitan izin
pemanfaatan kawasan hutan untuk pengusahaan tenaga air, panas bumi,
migas dan batubara termasuk sarana dan prasarana, dan instalasi pembangkit,
transmisi dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan
– serta moratorium pemberian izin usaha pertambangan dan izin usaha
pertambangan khusus batubara di hutan alam primer dan lahan gambut
yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area
penggunaan lain.39

IV. Rekomendasi

Pada dasarnya, Perpres RUEN telah memberikan penjelasan yang detail dalam
hal rencana pengelolaan energi di tingkat nasional. Namun, hal yang perlu untuk
diperhatikan lebih lanjut adalah bagaimana Perpres RUEN ini kemudian dapat
diimplementasikan dan disinergiskan dengan peraturan pelaksananya. Sebagai
contoh, ketika Perpres RUEN telah memandatkan untuk membatasi penggunaan

38 Ibid.
39 Ibid., hlm. 73.

150
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

tenaga batubara hingga 30% pada tahun 2025, namun justru di RUPTL PLN 2017-
2026 ditetapkan bahwa PLTU batubara akan mendominasi jenis pembangkit
yang akan dibangun, yaitu mencapai 41%.40 Pada contoh lain, Perpres RUEN juga
mengamanatkan bahwa paling sedikit pembangunan pembangkit listrik tenaga
EBT adalah 23% dari total pembangkit di Indonesia pada tahun 2025. Namun,
ketika merujuk kepada RUPTL PLN 2017-2026, pembangunan pembangkit tenaga
EBT diperkirakan paling besar 22%. Bahkan, RUPTL PLN juga telah memberikan
rencana cadangan apabila target 22% tersebut tidak terpenuhi, yakni dengan
pengembangan pembangkit listrik dengan gas.

Perlu untuk diperhatikan bahwa seharusnya adanya Perpres RUEN ini


dijadikan sebagai dasar untuk pembentukan peraturan teknis yang lebih
“ambisius” atau setidak-tidaknya dapat sama targetnya dengan yang telah
dicanangkan dalam Perpres RUEN tersebut. Sangat disayangkan apabila Perpres
RUEN ini kemudian tidak ditindaklanjuti dengan peraturan teknis yang sejalan.
Untuk itu rasanya diperlukan peninjauan ulang terhadap RUPTL PLN 2017-2026
agar dapat menyesuaikan dengan Perpres RUEN yang berlaku. Disamping dengan
RUPTL PLN, peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mengawal
pembentukan RUED-Provinsi yang merupakan pengejawantahan dari Perpres
RUEN tersebut. Harapannya, dengan adanya pengawalan ini dapat menjaga agar
amanat-amanat yang telah tercantum dalam Perpres RUEN dapat ditindaklanjuti
dengan sejalan dalam RUED di daerah terkait.

40 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Min-
eral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) Tahun 2017 s/d 2026, Kepmen ESDM No. 1415 K/20/MEM/2017, hlm. VI-3.

151
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Policy Paper Keselarasan Kebijakan En-


ergi Nasional Dengan Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Umum En-
ergi Daerah. Jakarta : Bappenas, 2012.
Humas Sekretariat Kabinet, “RUEN, Rencana Umum Energi Nasional”, http://setk-
ab.go.id/ruen-rencana-umum-energi-nasional/, diunduh pada 21 Agustus
2017.
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun
2014, LN No. 300 Tahun 2014, TLN No. 5609.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Data Inventory Emisi GRK Sektor
Energi, Jakarta: Kementerian ESDM, 2016
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, First Nationally Determined Con-
tribution Republic of Indonesia. Jakarta: KLHK, 2016.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT.
Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2017 s/d 2026. Kepmen ESDM No.
1415 K/20/MEM/2017.
Presiden RI, Peraturan Presiden tentang Rencana Umum Energi Nasional, Perpres No.
22 Tahun 2017. LN No. 43 Tahun 2017.
_______________.
Peraturan Presiden tnetnag Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011.

152
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Anotasi Putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung


Mengenai Izin Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Batubara (PLTU-B) 1 x 1.000 MW a/n PT Cirebon Energi Persada

Margaretha Quina1

Identitas Perkara
Hari/Tanggal Putusan 19 April 2017
Tempat Pemantauan PTUN Bandung
No. Perkara 124/G/2016/PTUN.BDG
Perkara / Kasus Izin Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara
(PLTU-B) 1 x 1.000 MW a/n PT Cirebon Energi Persada
Penggugat Dusmad, dkk.
Tergugat / Turut Tergugat BPMPT Provinsi Jawa Barat
Majelis Hakim/ Hakim Hakim Ketua: Sutiyono, S.H., M.H.
Tunggal* Hakim Anggota:
1. Dewi Asinah, S.H.
2. Jusak, S.H.
Panitera Pengganti Retno Widyati, S.H.

I. Kasus Posisi

Perkara ini menguji objek Keputusan Tata Usaha Negara berupa Izin
Lingkungan yang diberikan oleh BPMPT Provinsi Jawa Barat kepada PT Cirebon
Energi Persada untuk konstruksi dan operasi PLTU-B 1 x 1.000 MW (“Objek TUN”).
Lebih dari 90 hari setelah penerbitan Objek TUN, 6 (enam) orang warga yang
bertempat tinggal di sekitar lokasi pembangunan PLTU-B Cirebon 1 x 1.000 MW
dan merasa dirugikan atas penerbitan Izin Lingkungan ini (selanjutnya disebut
“Dusmad, dkk”) mengajukan gugatan tata usaha negara ke PTUN Bandung.

1 Penulis adalah Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law

153
MARGARETHA QUINA

Para penggugat adalah Dusmad (72 tahun), Kasneri (64 tahun), Casmina (62
tahun), Sarnen (46 tahun), Surip (40 tahun) dan Warya (39 tahun), kesemuanya
bertempat tinggal di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten
Cirebon. Para penggugat bekerja sebagai pencari rebon dan ikan, dengan wilayah
kerja di area yang akan dibangun jetty PLTU-B, sehingga mata pencahariannya
akan hilang atau setidak-tidaknya berkurang. Selain itu, para penggugat
mendalilkan diri sebagai warga terdampak berdasarkan pelingkungan dampak
lingkungan PLTU-B Cirebon 1 x 1.000 MW. Mendalilkan tidak adanya transparansi
dan partisipasi penerbitan Objek TUN in casu, Dusmad, dkk. menyatakan tidak
mengetahui bahwa BPMPT Jawa Barat telah menerbitkan Objek TUN pada 11 Mei
2016, dan baru mengetahui terbitnya Objek TUN in casu beserta dampaknya dari
WALHI Jawa Barat pada 28 September 2016. Selanjutnya, para penggugat baru
mengajukan gugatan pada 6 Desember 2016.

II. Dasar Gugatan

Para Penggugat mendalilkan bahwa Objek TUN in casu bertentangan dengan


peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”), sebagaimana diatur dalam Pasal
53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lebih spesifik, dasar-dasar gugatan adalah
sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Pertama, pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 yang meliputi daerah


Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu bertentangan dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun 2011 – 2031. Peraturan
Daerah Kabupaten Cirebon No. 17 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Cirebon
Tahun 2011 – 2031 mengatur bahwa pembangunan PLTU direncanakan hanya
di Kecamatan Astanajapura saja. Penggugat juga mengutip asas, tujuan serta
kewenangan dalam penataan ruang (pasal 2, 3 dan 11 UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang); serta kewajiban dan sanksi administratif dan sanksi
pidana atas pelanggaran tata ruang (pasal 61, 62 dan 69 UU Penataan Ruang)
dalam menunjukkan bahwa Izin Lingkungan yang diberikan bertentangan dengan
ketentuan penataan ruang yang berlaku, dalam hal ini RTRW Kabupaten Cirebon

154
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

2011 – 2031. Selain itu, para penggugat menunjukkan keterkaitan hukum antara
proses penerbitan Izin Lingkungan, termasuk di dalamnya penilaian AMDAL,
dengan tata ruang, dengan menujukkan kewajiban hukum dalam penilaian
dokumen lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan dan PermenLH No. 8 Tahun 2013 tentang Tata Laksana
Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin
Lingkungan. Selain kewajiban untuk memastikan kegiatan dan/atau usaha yang
dinilai sesuai dengan tata ruang (Pasal 4 ayat (3) PP Izin Lingkungan; Pasal 15 huruf
a PermenLH No. 8 Tahun 2013), penggugat juga menunjukkan bahwa PermenLH
No. 8 Tahun 2013 memberikan arahan eksplisit untuk “tidak memproses lebih
lanjut” dokumen Kerangka Acuan ANDAL yang tidak sesuai RTRW.

Kedua, para penggugat mendalilkan pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon


2 dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya para penggugat.
Para penggugat mendalilkan bahwa kewajiban konsultasi mengenai Kerangka
Acuan Amdal, pengumuman permohonan Izin Lingkungan, pembahasan Andal,
dan juga pengumuman penerbitan Izin Lingkungan tidak dilakukan oleh Tergugat
sesuai dengan ketentuan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan
PermenLH No. 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

Ketiga, para penggugat mendalilkan pemberian Izin Lingkungan PLTU


Cirebon 2 didasarkan pada dokumen Amdal yang cacat substantif. Cacatnya
substansi Amdal PLTU Cirebon 2 ini meliputi tiga hal utama, yakni: (a) Rona awal
lingkungan hidup tidak valid dan representatif. Penggugat menunjuk metode
pengujian kualitas udara ambien yang dilakukan oleh penyusun AMDAL, dimana
pengujian kualitas udara ambien di lokasi direncanakannya PLTU Cirebon 2 x
1.000 MW dilakukan dalam periode satu minggu saja, padahal untuk memperoleh
data yang valid dan representatif penyusun AMDAL harus melakukan pengujian
kualitas udara setidaknya selama satu tahun; (b) Prakiraan besaran dan sifat
penting dampak tidak valid dan representatif. Penggugat mendalilkan penilaian
Amdal tidak mempertimbangkan kontribusi particulate matter 2.5 (PM 2.5) terhadap
dampak penurunan kualitas udara ambien. Padahal parameter ini erat kaitannya
dengan dampak penurunan kesehatan masyarakat; (c) Bagian evaluasi secara
holistik dalam Amdal disusun tidak berdasarkan standar yang ada. Penggugat

155
MARGARETHA QUINA

mendalilkan bagian evaluasi secara holistik dalam Amdal PLTU Cirebon 2 tidak
menjelaskan bentuk hubungan keterkaitan dan interaksi dampak penting hipotetik
beserta karakteristiknya, sebagaimana diharuskan oleh peraturan. Dalam menguji
ketiga hal ini, penggugat membandingkan isi AMDAL dengan materi muatan
AMDAL yang diwajibkan dalam PP No. 27 Tahun 2012 dan pedoman penilaian
AMDAL dalam PermenLH No. 8 Tahun 2013.

Keempat, penggugat mendalilkan pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon


2 tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Penggugat mengkonstruksikan ketidaklengkapan data rona awal sebagai kegagalan
Tergugat dalam mempertimbangkan kualitas udara ambien yang sudah buruk di
area PLTU Cirebon 2 x 1.000 MW akan dibangun. Selain itu, Tergugat juga tidak
mempertimbangkan adanya PLTU Tanjung Jati A dengan kapasitas 2x660 MW yang
jaraknya hanya 2 km dari area PLTU Cirebon 2. Menurut penggugat, pemberian
Izin Lingkungan oleh Tergugat kepada PLTu Cirebon 2 berpotensi mengakibatkan
terlampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Berdasarkan pada empat dalil utama tersebut, para penggugat memohon


PTUN Bandung untuk menyatakan Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 batal atau
tidak sah sekaligus memerintahkan Kepala BPMP Provinsi Jawa Barat untuk
mencabut Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2.

III. Catatan Hukum atas Pertimbangan PTUN Bandung

Terdapat isu prosedural dan substantif yang menarik dari putusan PTUN
Bandung dalam perkara ini. Dalam aspek prosedural, pertimbangan hakim yang
perlu dicermati adalah mengenai kedudukan hukum dan batas waktu pengajuan
gugatan. Dalam aspek substantif, menarik menyoroti pertimbangan hakim
mengenai penerapan rencana tata ruang wilayah.

(a) Kedudukan Hukum Penggugat

Majelis Hakim menerima kedudukan hukum (legal standing) para penggugat


sebagai “masyarakat yang kepentingannya terdampak / terkena pengaruh”
Objek TUN in casu. Menariknya, Majelis memiliki pertimbangan sendiri dalam
menentukan bahwa Para Penggugat memiliki kepentingan hukum. Dalam

156
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

argumentasinya, Para Penggugat cenderung mengarah pada kepentingan hukum


yang terkait dengan hilangnya mata pencaharian Para Penggugat, dimana “recana
pembangunan PLTU II 1 x 1.000 MW akan berpotensi memperburuk sumber
pendapatan” Para Penggugat. Kepentingan ekonomi ini disanggah Tergugat
sebagai tidak cukup berkaitan dengan keberadaan Objek TUN in casu. Namun,
perdebatan mengenai kepentingan ekonomi ini tidak menjadi dasar pertimbangan
Majelis, dan secara aktif berdasarkan pemeriksaan ahli dan saksi Majelis
mendasarkan adanya kepentingan hukum Para Penggugat berdasarkan hak atas
lingkungan yang baik dan sehat.

Majelis dalam pertimbangannya menghubungkan hak tergugat sebagai warga


negara untuk hidup sejahtera lahir/batin dan berhak menikmati lingkungan
hidup yang sehat dengan merujuk Pasal 51 UU PTUN jo. Pasal 62 ayat (2) UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(“UU PPLH”). Dalam pertimbangannya, Majelis menghubungkan hak substantif
tersebut dengan hak atas informasi yang transparan dan pelibatan masyarakat
yang mekanismenya diatur secara detail dalam peraturan turunan UU PPLH.
Selain itu, menariknya, Majelis Hakim menghubungkan wilayah tempat para
penggugat melakukan aktivitas mata pencahariannya, yaitu mencari rebon dan
ikan, dengan pelingkungan dampak AMDAL. Majelis menilai, karena lokasi
pembangunan PLTU-B mencakup wilayah di mana para penggugat mencari rebon
dan ikan, para penggugat termasuk masyarakat yang kepentingannya terdampak
atau terkena pengaruh Objek TUN in casu. Menurut Majelis, dengan demikian
“para Penggugat memiliki kedudukan hukum dalam proses penerbitan AMDAL;
dan karena dalam AMDAL Penggugat memiliki kedudukan hukum, maka mutatis
mutandis, para penggugat memiliki hubungan hukum dengan objek sengketa a
quo, sehingga dapat dikualifisir memiliki kepentingan atas KTUN in casu.”

(b) Batas Waktu Pengajuan Gugatan

Hal lain yang cukup menarik dari sisi prosedural adalah diterimanya gugatan
penggugat sekalipun telah melebihi 90 (sembilan puluh) hari dari waktu penerbitan
Objek TUN in casu. Dalam gugatannya, Penggugat mengargumentasikan bahwa
penghitungan waktu pengajuan gugatan tidak diatur secara limitatif, dan bagi
Para Penggugat, yang merupakan pihak yang tidak dituju oleh KTUN, aturan yang
berlaku adalah penghitungan “secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya

157
MARGARETHA QUINA

dirugikan oleh KTUN dan mengetahui adanya keputusan tersebut,” sebagaimana


diatur dalam SEMA No. 2 Tahun 1991. Lebih lanjut, Penggugat mendalilkan bahwa
Para Penggugat, yang semuanya adalah masyarakat awam, baru mengetahui
Objek TUN in casu pada tanggal 22 September 2016 karena tertutupnya proses
perizinan. Dengan demikian, gugatan diajukan kurang dari 90 (sembilan puluh)
hari sejak diketahuinya Objek TUN in casu oleh Para Penggugat. Dalil ini dibantah
oleh Tergugat yang berargumen bahwa selayaknya penghitungan dilakukan sejak
Objek TUN in casu diumumkan, mengingat Tergugat telah menempuh mekanisme
pengumuman sesuai peraturan.

Dalam perkara ini, Majelis menerapkan interpretasi batasan waktu 90 hari


secara luas. Merujuk Indroharto, Majelis mempertimbangkan tiga teori dalam
menghitung saat dimulainya penghitungan batas waktu mengajukan gugatan
(90 hari), yaitu teori penerimaan, teori publikasi dan teori pengetahuan. Menurut
Majelis, dalam perkara ini, yang berlaku adalah teori pengetahuan, yaitu bagi
pihak ketiga yang namanya tidak dituju/tercantum, penghitungan secara
kasuistis, berdasarkan pengetahuan mereka berdasarkan KTUN dimaksud
“merasa kepentingannya dirugikan, dan mengetahui keputusan tersebut.” Majelis
mempertimbangkan fakta bahwa sekalipun Objek TUN telah diumumkan dalam
beberapa media, pengetahuan mengenai keberadaan Objek TUN in casu didapatkan
para penggugat dari WALHI, yang mengetahui KTUN in casu dari website JBIC
pada 22 September 2016; dan memberitahukannya kepada salah satu warga (M.
Anwar) yang kemudian memberitahukan kepada warga pada 28 September 2016.
Dengan demikian, Majelis berpendapat bahwa waktu dihitungnya tenggat waktu
90 hari adalah sejak 28 September 2016, yaitu saat para penggugat betul-betul
mengetahui Objek TUN in casu, dan dengan demikian pengajuan gugatan pada 6
Desember 2016 masih dalam tenggat waktu 90 hari.

(c) Penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah

Di sisi lain, dalam kasus ini juga terdapat pertimbangan substantif yang baik
dan patut diapresiasi penerapannya dalam hal penegakan penataan ruang. Dari
semua dalil substantif Penggugat, satu-satunya yang kemudian dipertimbangkan
Majelis dalam memutus perkara ini adalah perihal pelanggaran atas Rencana
Tata Ruang Wilayah. Terhadap dalil Penggugat sebagaimana telah diuraikan di
atas, Tergugat membantah dengan menyatakan bahwa pembangunan PLTU-B

158
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Cirebon 2 x 1.000 MW “telah dikoordinasikan dengan Badan Koordinasi Penataan


Ruang Daerah (“BKPRD”) Kabupaten Cirebon untuk diusulkan di dalam revisi
perubahan RTRW Kabupaten Cirebon tahun 2011-2031.” Selain itu, Tergugat juga
menyatakan bahwa BKPRD Cirebon telah menyatakan “usulan tersebut akan
dijadikan pertimbangan BKPRD dalam menyusun peninjauan kembali RTRW
Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031” dan “telah diakomodir ke dalam Rencana
Revisi RTRW Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031.” Tergugat juga mendalilkan
bahwa karena pembangunan PLTU-B Cirebon II 1 x 1.000 MW merupakan Proyek
Strategis Nasional, maka berdasarkan Perpres No. 3 Tahun 2016 proyek tersebut
“Gubernur atau Bupati/Walikota […] memberikan perizinan dan non-perizinan
yang diperlukan” dan dapat menjadi dasar hukum pembangunan PLTU-B Cirebon
II 1 x 1.000 MW sekalipun tidak ada dalam RTRW Kabupaten Cirebon. Untuk
mendukung argumennya, Tergugat menyitir hierarki perundang-undangan,
dimana Peraturan Presiden lebih tinggi dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pertimbangannya, Majelis menyatakan bahwa “Penerbitan Objek


TUN in casu mengandung kesalahan / kekeliruan yuridis, sehingga mutatis
mutandis cacat yuridis; karena gagal mematuhi persyaratan tata ruang.” Dalam
menyimpulkan hal ini, Majelis menginterpretasikan penataan ruang secara
menyeluruh, mempertimbangkan keterkaitan antara penataan ruang wilayah
Nasional, Provinsi, Kab/Kota yang seharusnya “dilakukan secara berjenjang dan
komplementer, saling melengkapi, bersinergi dan tidak terjadi tumpang tindih.”
Dengan dasar ini, Majelis menyatakan bahwa batu uji kesesuaian tata ruang adalah
RTRW Kabupaten, dan menolak dalil tergugat bahwa pembangunan PLTU-B
Cirebon 2 x 1.000 MW telah sesuai RTRW Provinsi Jawa Barat dan telah mendapatkan
rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kab. Cirebon.
Merujuk Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (“UU Penataan
Ruang”), menurut Majelis, “RTRW Kab/Kota-lah yang menjadi dasar penerbitan
perizinan lokasi dan administrasi pertanahan; dan ketentuan tersebut menghendaki
RTRW Kab/Kota sebagai pengaturan lebih rinci dari RTRW Provinsi.” Majelis
cukup ketat dalam menafsirkan kesesuaian kegiatan dan/atau usaha dengan
RTRW, dimana Majelis tidak hanya melihat pada aspek prosedural berdasarkan
rekomendasi penilaian studi AMDAL, RKL-RPL yang memutuskan AMDAL layak
dan sesuai dengan tata ruang. Dalam pertimbangannya, Majelis menilai bahwa

159
MARGARETHA QUINA

rekomendasi AMDAL secara substantif telah salah karena “pada faktanya” tapak
lokasi pembangunan tidak hanya berada di Kecamatan Astanajapura, namun juga
di Kecamatan Mundu yang tidak tercantum peruntukannya untuk pembangunan
PLTU-B di RTRW Kabupaten Cirebon 2011 – 2031 dan hanya dialokasikan untuk
jaringan transmisi. Jika mengikuti logika ini, maka Majelis menuntut pemberi izin
untuk menilai AMDAL dengan sangat cermat – tidak hanya melihat formalitas
rekomendasi penilaian AMDAL atau bahkan izin pemanfaatan ruang yang terkait,
tetapi betul-betul memeriksa fakta tapak lokasi kegiatan dan/atau usaha.

Pertimbangan hakim dalam menafsirkan kesesuaian kegiatan dan/atau usaha


dengan RTRW yang berlaku ini dapat memberikan pedoman bagi interpretasi
kesesuaian suatu kegiatan dan/atau usaha dengan tata ruang dalam hal terjadi
kesenjangan atau tumpang tindih penataan ruang pada level Kabupaten/Kota,
Provinsi dan Nasional. Lebih jauh, Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan
yang cukup penting dalam hubungan antara Izin Lingkungan dengan penataan
ruang. Menurut Majelis, “Oleh karena Kepala BLHD telah salah secara substantif
dalam memberikan rekomendasi AMDAL, secara de facti AMDAL dan Izin
Lingkungan mengandung kesalahan atau kekeliruan yuridis, mutatis mutandis
cacat yuridis.” Hal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam PP Izin Lingkungan
dan PermenLH No. 8 Tahun 2013, yang menghendaki KA-ANDAL tidak dinilai
dalam hal tapak kegiatan dan/atau usaha tidak sesuai dengan tata ruang.

Atas dasar hal-hal di atas, Majelis menganggap bahwa Tergugat secara mutatis
mutandis melanggar AUPB, khususnya bahwa pembuat KTUN harus bertindak
berdasarkan ketentuan perundang-undangan, asas kepatutan dan asas kepastian
hukum.

IV. Penutup

Secara umum, terdapat tiga pertimbangan hakim yang cukup penting dan
tepat dalam perkara ini, yang dapat digunakan dalam menalar perkara-perkara
mendatang yang serupa. Pertama, dalam kaitannya dengan kedudukan hukum,
masyarakat terdampak memiliki kepentingan/nilai yang dilindungi berdasarkan
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta kedudukannya dalam

160
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

pelingkupan AMDAL. Kedua, dalam menilai batas waktu pengajuan perkara


oleh masyarakat terdampak, penggunaan teori penerimaan dimungkinkan,
dimana penghitungan dilakukan secara kasuistis ketika pihak ketiga yang tidak
dituju “merasa kepentingannya dirugikan, dan mengetahui keputusan tersebut.”
Lebih jauh lagi, dalam hal Para Penggugat tidak mengetahui Objek Sengketa,
dapat digunakan pendekatan mekanisme pemberian informasi sebagai tolok
ukur penerimaan informasi. Ketiga, dalam hal penerapan rencana tata ruang
wilayah, penataan ruang harus “dilakukan secara berjenjang dan komplementer,
saling melengkapi, bersinergi dan tidak terjadi tumpang tindih.” Majelis menolak
legitimasi pembangunan suatu kegiatan dan/atau usaha yang tidak tercantum
dalam RTRW Kabupaten sekalipun kegiatan dan/atau usaha tersebut merupakan
Proyek Strategis Nasional dan telah dikoordinasikan dengan BKPRD. Selain itu,
dalam kaitannya dalam penerbitan Objek KTUN in casu, Majelis juga menegaskan
hubungan antara Izin Lingkungan dan tata ruang, dengan mengutip ketentuan
bahwa Kerangka Acuan AMDAL seharusnya tidak dinilai apabila kegiatan dan/
atau usaha bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah, dalam hal ini RTRW
Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa Majelis tidak mempertimbangkan tiga dalil
substantif lain yang diajukan para penggugat, yaitu perihal pelibatan masyarakat,
cacat substantif dalam dokumen lingkungan hidup yang mendasari penerbitan
Objek TUN in casu, serta tidak dipertimbangkannya daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dalam penerbitan izin lingkungan.

Tanpa dipertimbangkannya hal-hal tersebut, konsekuensi hukum dari


putusan ini terhadap Objek TUN terbatas pada aspek kesesuaian Izin Lingkungan
dengan RTRW, dimana perbaikan KTUN secara dimungkinkan apabila secara
formil-prosedur dan materiil usaha dan/atau kegiatan telah sesuai dengan RTRW.
Akan tetapi, masih terbuka kemungkinan hal-hal yang belum dipertimbangkan
tersebut diuji kembali dalam perkara TUN, termasuk dipertimbangkan dalam
perkara banding yang sekarang sedang berlangsung.

161
162
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

P e d o m a n P e n u l i s a n

J
urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan
yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum
lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara
Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan
permasalahan tata kelola sumber daya alam.

Tema dan Topik

JHLI Volume 4 Issue 2, Desember 2017, memuat tulisan yang mengangkat tema
umum hukum dan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam sektor apapun.

Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema


tersebut adalah: (1) Pencemaran air, udara, tanah dan bahan beracun berbahaya
(B3); (2) Pengelolaan sampah; Perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman
hayati; (4) Tata kelola hutan dan lahan; (5) Perlindungan dan pengelolaan sumber
daya alam laut; (6) Kesehatan lingkungan dan hak asasi manusia; (7) Keadilan
lingkungan; (8) Tata ruang dan lingkungan hidup; dan lain-lain.

Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:

1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan


dalam tataran norma?

2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplemen-


tasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?

3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan


hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?

*) Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk


mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa
saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.

ix
PEDOMAN PENULISAN

Prosedur Pengiriman**

Untuk Vol. 4 Issue 2 (Desember 2017), Penulis diharapkan mengirimkan abstrak


sebelum 30 September 2017 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi
asal; (3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis
yang naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 30
November 2017.

Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik


maupun melalui pos. Pengiriman melalui surat elektronik ditujukan ke jurnal@
icel.or.id dengan di-cc ke margaretha.quina@icel.or.id. Pengiriman melalui pos
disertai dengan tulisan “Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia” di sudut kiri atas
amplop, ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)


Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
DKI Jakarta

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan


dengan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti
ICEL. Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima.

Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh


Redaksi, yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi
yang terdiri dari para peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat
akan diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan
diberikan notifikasi dan merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang Redaksi
dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan substansi maupun teknis
terhadap tulisannya.

Persyaratan Formil

1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.

x
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017

Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil


dan kesimpulan;

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif;

3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin


kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times
New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraph,
dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata (tidak termasuk abstrak, catatan
kaki, daftar pustaka);

4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka;

5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya


namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai
keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki;

6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;

7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau


catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam
poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.

8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk


memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote)
mengikuti ketentuan:

a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge


University Press, 2007), hlm. 342 – 344;

b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-


5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;

c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der


Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),
hlm. 7;

d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15


Januari 2014;

xi
PEDOMAN PENULISAN

e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,


http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:

a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge:


Cambridge University Press.

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water


Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd
Conference of the International Association for Water Law (AIDA).
Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.

c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil


Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of
British Columbia Press.

d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi:


Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi,
Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15


Januari 2014.

g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://


www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk
Abstrak yang diterima.

9. Identitas penulis meliputi:

a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis)

b. Asal institusi penulis

c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor

telepon, handphone dan fax, serta alamat e-mail

**) Tidak berlaku bagi Penulis dengan Undangan

xii

Anda mungkin juga menyukai