ISSUE 1
SEPTEMBER 2017
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
J urnal H ukum
L ingkungan I ndonesia
Volume 4 Issue 1, September 2017
ISSN: 2355-1350
i
J urnal H ukum L ingkungan I ndonesia
Vol. 4 Issue 1 / September / 2017
ISSN: 2355-1350
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: jurnal@icel.or.id
Diterbitkan oleh:
I ndonesian C enter for E nvironmental L aw (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331
DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.
ii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Dewan Penasehat
Dr. Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.
Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.
Redaktur Pelaksana
Grita Anindarini, S.H.
Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Raynaldo G. Sembiring, S.H.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Astrid Debora, S.H.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Ohiongyi Marino, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Isna Fatimah, S.H.
Rino Subagyo, S.H. Rayhan Dudayev, S.H.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Wenni Adzkia, S.H.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Fajri Fadhillah, S.H.
Feby Ivalerina, S.H., LL.M. Kemala Nababan, S.H.
Dyah Paramitha, S.H., LL.M. Shafira Anindia Alif Hexagraha, S.H.
Rika Fajrini, S.H., M.H.
Mitra Bebestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.
iii
iv
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
P e n g a n t a r R e d a k s i
T
antangan yang dihadapi pengarus-utamaan kebijakan lingkungan
tidak dapat semata diidentifikasi melalui seberapa banyak isu
lingkungan dalam komposisi kebijakan publik atau menyeimbangkan
dominasi pembangunan industrial dengan narasi pembangunan berkelanjutan.
Sebelum mengawal translasi kehendak politik, tugas besar dalam menjaga
harmonisasi berbagai elemen dalam lingkungan hidup saat ini adalah memastikan
bahwa medium hukum dan kebijakan lingkungan hidup bebas dari patologi
berpikir yang dapat meruntuhkan upaya-upaya konservatif maupun restoratif di
tengah laju kerusakan lingkungan yang harus dapat senantiasa diantisipasi.1
1 Michael M’Gonigle and Louise Takeda, The Liberal Limits of Environmental Law: A Green Legal
Critique, 30 Pace Environmental Law Review, 2003, pp. 1005-1115, hlm. 1005.
2 Andreas Philippopoulos-Mihalopoulos, Absent Environments: Theorising Environmental Law
and the City, (New York: Routledge, 2007), hlm. 24-25.
3 Paradigma ini ditawarkan sebagai basis dari proposal Green Legal Theory yang ditulis oleh
Michael M’Gonigle dan Louise Takeda, Op.Cit, hlm. 1113. Selain Green Legal Theory, perkem-
bangan studi hukum lingkungan juga ditopang oleh studi multidisiplin hukum (legal multi-
disciplinary) sebagaimana yang ditulis dalam Michael G. Faure dan Nicole Niessen (ed.), En-
vironmental Law in Development: Lessons from The Indonesia Experience, (Massachusetts: Edward
Elgar Publishing, Inc., 2006), hlm. 4-6.
v
Adanya paradoks tidak serta merta meniadakan area persinggungan. Hukum
lingkungan hendaknya selalu berupaya menjaga continuum yaitu menyeimbangkan
produk kekuasaan dengan terus melakukan katalisasi upaya emansipatoris melalui
kebijakan dan hukum lingkungan itu sendiri. Demikian, idealnya diharapkan
perubahan dapat terwujud secara efektif karena pewacanaan yang didorong oleh
dua polar kekuasaan tersebut.
Akhir kata, JHLI Vol. 4 Issue 1 (September 2017) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.
vi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
D a f t a r I s i
vii
viii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Abstrak
Aspek yuridis tata kelola pertambangan diformulasi memberikan konstruksi
baru yang solutif bagi kesejahteraan rakyat. Tata kelola pertambangan yang
baik dapat menjadikan Indonesia sebagai superkoridor ekonomi dunia melalui
implementasi konsepsi Indonesia Incorporated. Gagasan ini dicitakan meneguhkan
karakter NKRI sebagai negara hukum berkesejahteraan rakyat dengan
memanfaatkan sumber daya pertambangan. Kajian normatif ini menghadirkan
kewajiban Indonesia yang memakmurkan rakyat dari sektor pertambangan
sedasar Pasal 33 UUD 1945.
1 Penulis adalah Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dan Koor-
dinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
1
SUPARTO WIJOYO
Abstract
Legal aspect of mining governance formulated to give solutive new contraction for
people welfare. Good mining governance can make Indonesia as the super corridor of world
economy through implementation of Indonesia Incorporated concept. This idea was created
to affirm the character of the Unitary State of the Republic of Indonesia as a rule of law
on the welfare of the people by utilizing mining resources. This normative study explains
Indonesia’s obligation to prosper the people from the mining sector under Article 33 of the
1945 Constitution.
I. Pendahuluan
2 Berbagai pemberitaan media massa dapat dirujuk dan dapat dibaca Sukarno, Indonesia
Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial, SK. Seno, Djakarta, 1956, h.
63-67. Ignatius Haryanto dkk (Editor), Kehutanan Indonesia Pasca Soeharto: Reformasi Tanpa
Perubahan, Pustaka Latin, Jakarta, 1998, h. 11-46. Kerry B. Collison, Indonesia Gold, Sid Har-
ta Publishers, Australia, 2002, h. 449-486. Leontine E. Visser dan Amapon Jos Marey, Bakti
Pamong Praja Papua, Kompas, Jakarta, 2008, h. 335-360. Freddy Numberi, Quo Vadis Papua,
PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2013, h. 187-258 Frento T. Suharto, Menambang Kekayaan
Dari Bisnis Emas Tanpa Mengeruk Alam, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014, h. 87-101.
Suparto Wijoyo, Reklamasi itu Kebutuhan Siapa, Forum Keadilan, No. 22, 16 Oktober 2016.
Weekly Sindo, Uji Nyali Freeport, No. 52 Tahun V, 27 Februari-5 Maret 2017.
2
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Konflik kewenangan dan orientasi
ekonomi menyelimuti pengelolaan pertambangan yang tidak menguntungkan
rakyat dengan penegakan hukum (lingkungan) yang sangat lemah.3
3
SUPARTO WIJOYO
Setiap masyarakat di dunia modern sedang menghadapi problem rumit dan tidak
ada solusi yang sederhana dan universal. Tetapi banyak di antara problem ini
memiliki akar yang sama. Ilmu, teknologi dan ekonomi telah diperlakukan oleh
masyarakat modern ini sebagai tujuan itu sendiri, bukannya sebagai sarana
penting untuk meningkatkan kesejahteraan.
5 Suparto Wijoyo, Tak Lelah Dirundung Bencana, Jawa Pos, 28 Desember 2016. Suparto Wijoyo,
Negara Hukum Dalam Daulat Kuasa, Jawa Pos, 14 Januari 2017.
6 Diolah dari pemikiran James Canton, The Extreme Future, Alvabet, Jakarta, 2010, hlm. 68.
7 Daniel, Yergin The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World, The Penguin Press,
New York, 2011. George Friedman, The Next 100 years, Anchor Books, New York, 2009. Thomas L.
Friedman, The World Is Flat: Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat, Jakarta, 2006, h. 67-98.
8 James Goldsmith, Perangkap, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996, h.3. Suparto Wijoyo, Me-
nyoal Legitimasi Reklamasi, Kompas, 4 Oktober 2016.
9 Bjorn Hettne, Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Iida, Akira, Paradigm Theory & Policy Making: Reconfiguring The Future, TUTLE, 2004, h. 23-36.
Eric Schlosser,, Command And Control, The Penguin Press, New York, 2013. Nicholas Mousis,,
Guide to European Policies, 6th edition, European Study Service, BP29-B-1330 Rixensart, Belgium,
2000, h. 67-90. Meene van de, Ineke and Benjamin van Rooij, Access to Justice And Legal Empower-
ment: Making the Poor Central in Legal Development Co-operation. Leiden University Press.
4
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
rakyat, meminjam bahasa Alan Gart dirumuskan dalam ranah RDR, yaitu:
Regulation-Deregulation-Reregulation.10 Dengan RDR berarti konsepsi GCG (Good
Corporate Governance) sebagai tuntutan tata kelola pemerintahan modern tetap
berada dalam kerangka welfare state yang tetap bertumpu pada negara hukum
(rechtsstaat) sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Permasalahannya adalah:
bagaimanakah mengimplementasikan konsepsi yuridis Indonesia Incorporated
dalam tata kelola pertambangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat?11
Good Governance
Governance
NEGARA
(State)
10 Gart, Alan, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking, Insurance, and Se-
curities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994. Wijoyo, Suparto, Ilmu Hukum, Airlangga
Universy Press, Surabaya, 2005, h. 37-47.
11 Pengkajian ini juga diinspirasi pembahasan dalam Al Gore, The Future, A Random House
Group Company, 2013. Robert C. Guell,, Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012. Tom
Gorman, The Complete Ideal’s Guides, Economics, Prenada, 2009, 87-90.
5
SUPARTO WIJOYO
State
Private Society
Sector
12 Lihat Algra, N.E., at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999. Ash Garton, Timothy, Free World:
America, Europe and the Surprising Future Of The West, Random House, Inc., New York, 2004,
104-157. Friedmann, W., The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy, Stevens & Sons,
London, 1971., h. 2-5. Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qa-
lam, Yogyakarta, 2001, h. 89-128.
13 Baca Francis E. Rourke, Bureaucracy Politics, and Public Policy, Little, Brownand Company, Bos-
ton, 1976. Geoffrey Samuel,, The Foundations of Legal Reasoning, MAKLU, 1994. Ruud Lubbers,
at.all., Inspiration for Global Governance: The Universal Declaration of Human Rights and the earth
Charter, Kluwer, 2008. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2015.
14 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,
Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, 2000, h. 6-7. Laurence Boulle,, The Law Of Glo-
balization An Introduction, Wolters Kluwer, 2009. Gill, Indermit S., and Todd Pugatch, At the
Frontlines of Development Reflection From the World Bank, The World Bank, D.C., 2005. Soek-
arwo, Meneguhkan Demokrasi Musyawarah Demi Kesejahteraan Rakyat, Orasi Pelantikan, Ge-
dung Negara Grahadi, Surabaya, 2014. Ibid. Jimoh Omo-Fadaka, Development From Within,
Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978, h. 59. Daoed Joesoef, Industrialisasi dan Pembangunan Manusia
Pembangunan, dalam CSIS, Industrialisasi Dalam rangka Pembangunan nasional, Jakarta, 1982, h.
94. A.G. Pringgodigdo, Perjuangan Bangsa Indonesia Menegakkan Pancasila Dalam Masa Penjaja-
han/Pendudukan Jepang, dalam Santiaji Pancasila, h.174.
6
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
15 LAN, op.cit.
7
SUPARTO WIJOYO
Keuangan:
Akuntabilitas Pembiayaan
Society
Ekonomi
Publik
Tata kelola pemerintahan tidak lagi dapat dilihat secara parsial dan tradisional.
Sektor-sektor kehidupan publik yang menyangkut state tidak bisa lagi dilakukan
menurut standar organisasi pemerintahan konvensional, tetapi dengan menerima
kenyataan bahwa negara telah hadir sebagai “korporasi” yang menggerakkan
ekonomi global-nasional-lokal. Pergerakan ekonomi yang saling mempengaruhi ini
menandakan lahirnya public-sector reform dalam kerangka “corporation”, terutama
bidang perekonomian sebagai sektor yang sangat menguasai public-interest (dalam
bahasa Pasal 33 UUD 1945 “... yang menguasai hajat bidup orang banyak ...”).
16 The Civil Service Commission, Thailand, 1999. Sebagai tambahan Suparto Wijoyo, Hukum
Lingkungan di Antara Para Pemalas, AUP, Surabaya, 2012, h. 68-143.
8
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
17 Soekarwo dkk, Pakde Karwo Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana, Prenada Media
Group, Jakarta, 2015, h. 545-580. The Wordlwatch Institute, State Of The World Our Urban Fu-
ture, W.W. Norton & Company, New York-London, 2006, h. 67-98. Kohli, Atul, State-Directed
Development, Political Power and Industrialization in the Global Periphery, Cambridge University
Press, 2004, h. 109-116.
18 Merit E. Janow, at.all., The WTO: Governance, Dispute Settlement & Developing Countries, Juris
Publishing, Inc., 2008. Hwan-Yun Kim, Local Government Finance and Bond Markets, Asian De-
velopment Bank, 2003. Suparto Wijoyo, Otoda Dari Mana Dimulai?, AUP, Surabaya, 2005, 25-63.
19 Joseph E. Pattison, Breaking Boundaries, Peterson’s Book, New Jersey, 1996. Nicholas Moussis,
Guide To European Policies, European Study Service, 2000. Suatu bacaan yang menarik men-
genai hal ini juga adalah Laurence Boulle,, The Law Of Globalization An Introduction, Wolters
Kluwer, 2009, h. 67-90.
20 Robert C. Guell, Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012. Jerald Hage, and Charles H.
Powers, Post-Industrial Lives: Roles and Relationships in the 21st Century, SAGE, London, 1992,
h. 32-57. CHR. Jimmy L. Gaol,, A to Z, Human Capital: Manajemen Sumber Daya Manusia:
Konsep, Teori, Dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik Dan Bisnis, PT. Grasindo,
Jakarta, 2014, h. 76-98. Pakde Karwo, Pintu Gerbang ... op.cit., h. 3-34.
9
SUPARTO WIJOYO
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”.
Tujuan ini mendapatkan landasan ideologis bahwa pencapaiannya harus dipandu
dengan dasar filosofis (philosofische gronslag) Pancasila.
• Negara melakukan
• Negara memainkan fungsi peran sebagai
sebagai penyedia social controller: the power
services to regulate
• Negara • Melakukan kontrol
menyelenggarakan The State as The State as eskpor-impor,
perannya selaku Provider Regulator industrial licensing
social welfare state control, dll
• Menyediakan • Mengoperasikan
perangkat legislatif, sektor ekonomi
The State as The State as tertentu
administratif dan
peradilan untuk Umpire Entrepreneur
• Negara memiliki
mewujudkan keadilan korporasi serta
bagi seluruh pelaku menjamin
ekonomi termasuk negara keseimbangan sektor
publik dan privat
sebagai enterprises
21 Diolah dari pemikiran W. Friedmann, The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy,
Stevens & Sons, London, 1971, h. 24-99.
10
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
PEMBERIAN TERBAIK:
BUSINESS - CUSTOMERS TOTAL OFFERING - PEOPLE - LEADERSHIP
PROCESSES
• Business: profit = revenue - • Total Offering: superior • People: able and motivated
cost product + price + delivery + • Leadership: committed and
• Customers: satisfied or communication consistent
delighted • Processes:effective and efficient
22 Terhadap hal ini sebaiknya dibaca Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 UUD ’45, Muti-
ara, Jakarta, 1980. Mohammad Hatta, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), Kompas, 2015.
Mohammad Hatta, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun: Gagasan & Pemikiran, Kom-
pas, 2015. LP3ES, Karya Lengkap Bung Hatta, Jakarta, 2015, 43-98.
23 Diolah dari pemikiran dan gagasan Straker, David, The Quality Conspiracy, Gower, 1998, h. 12-53.
11
SUPARTO WIJOYO
Pikiran dasar yang ditawarkan David Straker dapat menjadi pedoman yang
dapat digunakan untuk menyelenggarakan tata kelola pertambangan dengan
melakukan “policy change in public sector reforms”.24 GCG yang dibarengi dengan
kemampuan paradigmatik keterpaduan pengelolaan ekonomi negara secara
korporatif yang integral menjadikan model Good Corporate Governance System
sebagai GCG integratif, dimana dominasi keterpaduan menjadi orientasi penting
membangun pertambangan nasional. Interkoneksi antar sektor ekonomi maupun
antar wilayah dibangun dengan komitmen dan konsistensi kepemimpinan yang
mampu memberikan “jalan alternatif” (jalan lain) adanya keterpaduan fungsi-
fungsi negara sebagai provider, regulator, dan korporasi maupun wasit. Pola
pemikiran ini digambarkan sebagai berikut:25
Provider
Leadership:
Entrepreneur committed and Regulator
consistent
Umpire
12
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
13
SUPARTO WIJOYO
Sektor publik
Administrative guidance:
Kepemimpinan yang cerdas
Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)
Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)
Sektor Privat
Administrative guidance:
Kepemimpinan yang cerdas
Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)
Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)
Sektor sosial
Administrative guidance:
Kepemimpinan yang cerdas
Solidaritas kelompok (gotong royong - kesetiakawanan)
Patriotik (kepahlawanan-nasionalisme)
2010. Terutama lagi adalah Timothy Ash Garton,, Free World: America, Europe and the Surprising
Future Of The West, Random House, Inc., New York, 2004. Ahmad Asnawi,, Sejarah Para Filsuf
Dunia: 90 Pemikir Terhebat Paling Berpengaruh di Dunia, Indoliterasi, Yohyakarta, 2014.
30 Declan Hayes, Japan’s Big Bang: The Regulation and Revitalization of the Japanese Economy, Tuttle,
Boston, 2000. Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qalam, Yogya-
karta, 2001. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2003.
Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial Dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, Yogyakarta, 2010.
31 Sayidiman Suryohadiprojo, 2012 dan juga lihat ibid dan M. Harvey Brenner,, Pengaruh Eko-
nomi Terhadap Perlaku Jahat dan Penyelenggaraan Perailan Pidana, CV. Rajawali, Jakarta, 1986. Eka
Budianta, Moral Industri, Laporan dan Renungan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, h. 67-90.
14
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
32 Dapat dibaca A. Appadorai, The Substance of Politics, Ninth Edition, Oxford University Press,
Amen House, London E.C.4, 1961 p. 63. Warren, Leinenweber and Andersen, Our Democary
at Work, Second Edition, Prentice-Hall, INC, Englewood Cliffs, N.J., 1967, p.477-480. United
States Information service, Embassy of the United States ff America, Deklarasi Kemerdekaan,
200 Tahun Undang- Undang Dasar Amerika Serikat, tth. H. 1-6. Philip Selznick, Law, Society, and
Industrial Justic, Russel Sage Foundation, 1969; I.T. Smith and Sir John C. Wood, Industrial
Law, Butterworths, London, 1980; S. Takdir Alisjahbana (Ed), Dasar-dasar Kerisis Semesta dan
Tanggung Jawab Kita, Dian Rakyat, Jakarta, 1984; dan Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dam-
pak Kebudayaannya, Vo. I dan II, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.
15
SUPARTO WIJOYO
Untuk itulah tata kelola pertambangan, meminjam bahasa Alan Gart saatnya
dikonstruksi dalam konsep RDR, yaitu: Regulation-Deregulation-Reregulation.34
RDR ditawarkan mampu memberikan ruang dinamik menata sektor pertambangan
33 Berbagai bahan pemberitaan mengenai data ini dapat diikuti dari beragam media massa sep-
erti: Tempo, “Lobi Emas Freeport-Istana”, 19-25 Oktober 2016. Tempo, Goyang Mundur Setya,
21-27 Desember 2016. Tempo, “Morat Marit Paket Ekonomi”, 11-17 Juli 2016. Times, “Bumi
Meleleh”, 8-14 Juni 2015. Sindo Weekly, “Uji Nyali Freeport”, 5 Maret 2017, dan ikuti pemberi-
taan Koran KOMPAS, Republika sepanjang tahun 2017 ini saja akan dapat diketahui betapa
memburuknya tata kelola pertambangan nasional.
34 Alan Gart, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking, Insurance, and Secu-
rities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994. RDR pada mulanya memang hanya disodorkan
untuk merespon percepatan gerak dunia perbankan, asuransi dan securities industries dengan
pangsa pasarnya yang terus bergerak progresif Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan
Sosial, (Terjemahan Alimandan S.U.), Rieneka Cipta, Jakarta, 1993, h. 409-415, CSIS, op.cit h.
59-117. Jimoh Omo-Fadaka, Development From Within, Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978, h. 59.
16
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
dengan ketepatan pengambilan kebijakan ekonomi pada laju ekspresif GCG (Good
Corporate Governance) dengan pijakan regulasi yang selalu tepat. William Safire
dalam karyanya The Right Word in The Right Place at The Right Time mengajarkan
perlunya legal framework pertambangan yang: tepat kata (perumusannya), tepat
tempat (wilayahnya), dan tepat waktunya.35 Perpaduan konsep “DRD” dan “tiga
ketepatan” dapat digambarkan sebagai berikut:
Negara Kesejahteraan
17
SUPARTO WIJOYO
essence of the problem of the policy of law consists in scientifically justified prediction of the
effect if certain legal enactments are introduce and elaborating principles which will bring
about some desirable effect”. Perputaran pembaruan hukum di sektor pertambangan
dengan RDR yang dikaitkan dengan kebijakan publik perekonomian suatu negara,
dapat dituangkan dalam siklus skematis di bawah ini:
Regulasi
(Formulasi)
Reregulasi Implementasi
(Reformulasi) dan Evaluasi
Implementasi Deregulasi
dan Evaluasi
18
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Negara
Kultur Struktur
Kesejahteraan
Kesejahteraan PERTAMBANGAN
Indonesia Rakyat DALAM
Incorporated Perekonomian PEMBANGUNAN
Berkelanjutan BERKELANJUTAN
Gambar 11: Rute Perwujudan RDR dalam Pertambangan Berkelanjutan Indonesia Incorporated
19
SUPARTO WIJOYO
Inovasi +
Distribusi
Pendapatan yang
Merata (Relasi dan
Infrastruktur)
Kesejahteraan Rakyat
Berkelanjutan (Negara
Kesejahteraan) dari Tata
Kelola Pertambangan
=
Indonesia Incorporated
Pembangunan
Berkelanjutan
(Ekonomi-
Ekologi-Sosial)
+ Demokrasi
yang Bertumpu
RDR
Gambar 12: Implementasi GCG dan Ekonomi Inovasi dalam Tata Kelola Pertambangan
Indonesia Incorporated
20
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
• Struktur Pemerintahan
From Government to
• Kultur masyarakat
Governance and GCG
• Demokrasi ekonomi inovasi di pasar bebas
43 Lihat Tony Evans, Human Rights in The Global Political Economy, Lynne Rienner Publishers, Lon-
don, 2011. Armando Mahler, dan Nurhadi Sabirin, Dari Grasberg Sampai Amamapare, PT. Grame-
dia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Daron Acemoglu, dan James A. Robinson, Mengapa Negara Ga-
gal, Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, PT. Elex Media Komputindo, New York,
2012. N.E. Algra, at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999. Erich Fromm, Akar Kekerasan, Analisis
Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h. 145-256.
21
SUPARTO WIJOYO
• PANCASILA • UUD 45
Ideologi
Tata Kelola Konstitusionalisme
Pertambangan vvv Tata Kelola
(Indonesia ggg vvvv Pertambangan
Incorporated) ggg vvvvvvv (Indonesia
bbbbb Incorporated)
dddd Struktur
Kultur -mmm
vvv Negara yang
• BHINNEKA Tata Kelola • NKRI
diemban Tata Kelola
TUNGGAL IKA Pertambangan
Pertambangan
(Indonesia
(Indonesia
Incorporated)
Incorporated)
22
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
V. Penutup
Kesimpulan:
a. Pertambangan untuk kesejahteraan rakyat adalah amanat konstitusional UUD
1945 yang harus dikelola melalui perumusan legal framework pertambangan
yang: tepat kata (perumusannya), tepat tempat (wilayahnya), dan tepat
waktunya sedasar konsepsi GCG-RDR-Indonesia Incorporated.
b. Pemikiran konseptual dan implementatif tata kelola pertambangan untuk
mewujudkan Indonesia Incorporated yang berorientasi kepada kemakmuran
rakyat sebagaimana dinormakan UUD 1945 mempersyaratkan perlakuan secara
konsisten prinsip-prinsip bekerjanya GCG yang ditopang oleh mekanisme
RDR, SDM dan leadership yang profesional, pemanfaatan Teknologi Informasi
secara fungsional, serta kontrol publik yang demokratis.
Saran:
a. Pengaturan sektor pertambangan harus dirumuskan ulang untuk memperkuat
perekonomian nasional di kancah global dengan orientasi utama tata kelola
tambang bagi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” guna mengembalikan
karakter NKRI sebagai negara (hukum) kesejahteraan.
b. Dalam kerangka Indonesia Incorporated, meminjam kata-kata Peter Senge,44
merekonstruksi regulasi pertambangan sesungguhnya the necessary revolution
untuk melakukan tata kelola yang berkelanjutan dengan menetapkan kebijakan
sesuai pesan utama Pasal 33 UUD 1945: “untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
44 Peter Senge,, at.all., The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations Are Working
Together to Create a SustainableWorld, Nicholas Brealey, London, 2008.
23
SUPARTO WIJOYO
DAFTAR PUSTAKA
Acemoglu, Daron dan James A. Robinson, Mengapa Negara Gagal, Awal Mula
Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, PT. Elex Media Komputindo, New
York, 2012.
Algra, N.E., at., all., Profiel van het Recht, Kluwer, 1999.
Al Gore, The Future, A Random House Group Company, 2013.
Appadorai, A. , The Substance of Politics, Ninth Edition, Oxford University Press,
Amen House, London E.C.4, 1961.
Ash Garton, Timothy, Free World: America, Europe and the Surprising Future Of The
West, Random House, Inc., New York, 2004.
Asnawi, Ahmad, Sejarah Para Filsuf Dunia: 90 Pemikir Terhebat Paling Berpengaruh di
Dunia, Indoliterasi, Yohyakarta, 2014.
Berge Ten, at.all., Verklarendwoordenboek Openbaar Bestuur, Tjeenk Willink, 1992.
Boulle, Laurence, The Law Of Globalization An Introduction, Wolters Kluwer, 2009.
Brenner, M. Harvey, Pengaruh Ekonomi Terhadap Perlaku Jahat dan Penyelenggaraan
Perailan Pidana, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2015.
Budianta, Eka, Moral Industri, Laporan dan Renungan, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1999.
Burnside, Craig (Editor), Fiscal Sustainability in Theory and Practice, The World Bank
Washington D.C., 2005.
Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan,
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997.
Carter, Graydon, What We’ve Lost, Little, Brown, 2004.
Collison, Kerry B., Indonesian Gold, Sid Harta Publishers, Australia, 2012.
Crump, Thomas, How The Industrial Revolution Change The World, Robinson, UK,
2010.
Diamond, Jared, Guns, Germs & Stell, Gramedia, Jakarta, 2013.
--------, Collapse, Gramedia, Jakarta, 2014.
--------, The World Until Yesterday, Gramedia, Jakarta, 2015
Dweck, Carol S., Cara Baru Melihat Dunia Dan Hidup Sukses Tak Berhingga, Serambi
Ilmu Semesta, 2007.
24
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Budi Sulistyo, dkk., MDGs Sebentar Lagi: Sanggupkah Kita Menghapus Kemiskinan Di
Dunia?, Gramedia, Jakaarta, 2010.
E. Visser, Leontine dan Amapon Jos Marey, Bakti Pamong Praja Papua, Kompas,
Jakarta, 2008.
Enschede, CH, J., De Macht Van De Rechtswetenschap: Overheidsbeleiden
Maatschappijwetenschappen, Universitaire PersLeiden, Kluwer-Deventer, 1979.
Evans, Tony, Human Rights in The Global Political Economy, Lynne Rienner
Publishers, London, 2011.
Foucault, Michel, Kegilaan dan Peradaban, Madness and Civilization, Ikon Teralitera,
Yogyakarta, 2002.
Friedman, George, The Next 100 years, Anchor Books, New York, 2009.
Friedman, Thomas L., The World Is Flat: Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat,
Jakarta, 2006.
Friedmann, W., The State And The Rule Of Law in a Mixed Economy, Stevens & Sons,
London, 1971.
Friedmann, Wolfgang Law in a Changing Society, Penguin Books,England, 1972.
Fukuyama, Francis, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qalam,
Yogyakarta, 2001.
--------, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2003.
--------, Trust: Kebajikan Sosial Dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, Yogyakarta,
2010.
--------, Political Order and Political Decay: From The Industrial Revolution To The
Globalization of Democracy, Farrar, Straus and Giroux, New York, 2014.
Fromm, Erich, Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Gaol, CHR. Jimmy L., A to Z, Human Capital: Manajemen Sumber Daya Manusia:
Konsep, Teori, Dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik Dan Bisnis,
PT. Grasindo, Jakarta, 2014.
Gart, Alan, Regulation, Deregulation, Reregulation: The Future of the Banking,
Insurance, and Securities Industries, John Wiley & Sons, Inc, 1994.
Garvey, James, 20 Karya Filsafat Terbesar, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Giddens, Anthony, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1999.
25
SUPARTO WIJOYO
-----------, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Pedati,
Pasuruan.
Gill, Indermit S., and Todd Pugatch, At the Frontlines of Development Reflection From
the World Bank, The World Bank, D.C., 2005.
Goodman, Amy, The axception to the rulers: exposing oily politicians, war profiteers,
andthe medis that love them, Hyperion, New York, 2004.
Goldsmith, James, Perangkap, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996.
Goodall, Chris, Ten Technologies To Fix Energy and Climate, Mixed Sources, London,
2008.
Goldberg, Jonah, Liberal Fascism: The Secret History of the American Left from Mussolini
to the Politics of Meaning, Doubleday, 2007.
Gorman, Tom, The Complete Ideal’s Guides, Economics, Prenada, 2009.
Guell, Robert C., Issues in Economics Today, McGraw-Hill, 2012.
Habermas Jurgen, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu: Rasio dan Rasionalisasi
Masyarakat, Kreasi Wacana,Bantul, 2012.
Hage, Jerald and Charles H. Powers, Post-Industrial Lives: Roles and Relationships in
the 21st Century, SAGE, London, 1992.
Hart, H.L.A., Law LibertyAnd Morality: Hukum, KebeasanDan Moralitas, GENTA
PUBLISHING, PO.BOX 1095 YK-55000, 2000
Hatta, Mohammad, Penjabaran Pasal 33 UUD ’45, Mutiara, Jakarta, 1980.
--------, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), Kompas, 2015.
--------, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun: Gagasan & Pemikiran, Kom-
pas, 2015.
Haryanto, Ignatius dkk (Editor), Kehutanan Indonesia Pasca Soeharto: Reformasi
Tanpa Perubahan, Pustaka Latin, Jakarta, 1998.
H. Lauer, Robert, Perspektif tentang Perubahan Sosial, (Terjemahan Alimandan S.U.),
Rieneka Cipta, Jakarta, 1993.
Hayes, Declan, Japan’s Big Bang: The Regulation and Revitalization of the Japanese
Economy, Tuttle, Boston, 2000.
Hawken, Paul, The Ecology of Commerce: A Declaration of Sustainability, Harper-
Business, New York, 1993.
Heemskerk W.H., Vorm en Wezen, Uitgeverij LEMMA B.W., Utrecht, 1991.
Hegel, G.W.F., Filsafat Sejarah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
26
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Hettne, Bjorn, Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001.
Hoogerwert, A., Ilmu Pemerintahan, Erlangga, Jakarta, 1983.
Jacques Laffont, Jean, Regulation and Development, Cambridge University Press,
UK, 2005.
J. Pierce, JR, Richard, Regulated Industries In A Nutshell, West Publishing CO, 1984.
Janow, Merit E, at.all., The WTO: Governance, Dispute Settlement & Developing
Countries, Juris Publishing, Inc., 2008.
Kaplan, Robert D. The Revenge of Geography, Random House Trade Paperbacks,
New York, 2012.
Kementerian Lingkungan Hidup, Himpunan Hasil-hasil Putusan Pengadilan Tentang
Tindak Pidana Lingkungan, KLH, Jakarta, 2007.
Kim, Hwan-Yun, Local Government Finance and Bond Markets, Asian Development
Bank, 2003.
Kohli, Atul, State-Directed Development, Political Power and Industrialization in the
Global Periphery, Cambridge University Press, 2004.
Kramer, Peter D, Against Depression, Viking Penguin, 2005.
Iida, Akira, Paradigm Theory & Policy Making: Reconfiguring The Future, TUTLE, 2004.
Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, 2000.
LP3ES, Karya Lengkap Bung Hatta, Jakarta, 2015.
Loury, Glenn C., at.,all., Ethnicity, Social Mobility and Public Policy, Cambridge
University Press, 2005.
Lubbers, Ruud, at.all., Inspiration for Global Governance: The Universal Declaration of
Human Rights and the earth Charter, Kluwer, 2008.
Mahler, Armando dan Nurhadi Sabirin, Dari Grasberg Sampai Amamapare, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Mangunwijaya, Y.B., Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Volumen II, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
Marshall, Alfred, Principles of Economics, Macmillan & Co Ltd, London, 1959.
Meadows, Donella, at.all., Batas-Batas Pertumbuhan, Gramedia, Jakarta, 1982.
Meene van de, Ineke and Benjamin van Rooij, Access to Justice And Legal
Empowerment: Making the Poor Central in Legal Development Co-operation.
Leiden University Press.
27
SUPARTO WIJOYO
Mohn, Reihard, An Age of New Possibilities: How Humane Values andan Entrepreneurial
Spirit Will Lead Us into the Future, Crown Publishers, New York, 2004.
Mousis, Nicholas, Guide to European Policies, 6th edition, European Study Service,
BP29-B-1330 Rixensart, Belgium, 2000.
Munggoro, Dani W., dkk., Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di Indonesia,
LATIN, Bogor, 1999.
Numberi, Freddy, Quo Vadis Papua, PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2013.
Omo-Fadaka, Jimoh Development From Within, Dialogue, Vol. 11 No. 2, 1978.
P. Dvorin, Eugene and Robert H. Simmons, Dari Amoral sampai Birokrasi Humanisme,
Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2000.
Pierce, Richard J. JR, Regulated Industries In A Nutshell, West Publishing CO, 1984.
Popper, Karl R., Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001.
Posner, Richard A., Economic Analysis Of Law, Little, Brown and Company, 1992.
Qrebech, Peter, at.all., The Role of Customary Law in Sustainable Development,
Cambridge University Press, 2005.
Rawls, John, A Theory of Justice: Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2011.
Rourke, Francis E., Bureaucracy Politics, and Public Policy, Little, Brownand
Company, Boston, 1976.
Roy, R. Crince Le, Bestuur en Norm, Kluwer-Deventer, 1986.
Safire, William, The Right Word in the Right Place at the Right Time, Simon & Schuster,
New York, 2004.
Sawer, Geoffrey, Law in Society, Oxford at the Clarendum, London. 1973.
Samuel, Geoffrey, The Foundations of Legal Reasoning, MAKLU, 1994.
Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism & Democracy, Pustaka Pelajar, 2003.
Schlosser,Eric, Command And Control, The Penguin Press, New York, 2013.
Selznick, Philip, Law, Society, and Industrial Justice, Russel Sage Foundation, 1969
Senge, Peter, at.all., The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations
Are Working Together to Create a SustainableWorld, Nicholas Brealey, London,
2008.
Schendler, Auden, GETTING Green Done, Hard Truths from the Front Lines of the
Sustainability Revolution, Public Affairs, New York, 2009.
28
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Shrivastava, Aseem and Ashish Kothari, Churning The Earth, Penguin Book, India,
2012.
Smith, T. and Sir John C. Wood, Industrial Law, Butterworths, London, 1980
Soekarwo dkk, Pakde Karwo Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana,
Prenada Media Group, Jakarta, 2015.
--------, dkk, Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Kencana, Prenada Media
Group, Jakarta, 2015.
-------, Administrative Reform: Birokrasi Itu Melayani, Kencana, Prenada Media
Group, Jakarta, 2016.
Straker, David, The Quality Conspiracy, Gower, 1998.
Stein, Peter, Legal Evolution: The Story Of An Idea, Cambridge University Press, 1980.
Suharto, Frento T. Menambang Kekayaan Dari Bisnis Emas Tanpa Mengeruk Alam, PT
Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014.
Sukarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial,
SK. Seno, Djakarta, 1956.
Tantular, Mpu, Kakawin Sutasoma, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, h. 538-539.
Ten, Berge J.B.J.M., Beschermingtegendeoverheid, W.E.J. Tjeenk Willink Zwolle, 1993.
The Wordlwatch Institute, State Of The World Our Urban Future, W.W. Norton &
Company, New York-London, 2006.
Wanggai, Velix V., PembangunanUntuk Semua: Mengelola Pembangunan Regional a la
SBY, Indomultimedia Communication Group, 2012.
Warren, Leinenweber and Andersen, Our Democary at Work, Second Edition,
Prentice-Hall, INC, Englewood Cliffs, N.J., 1967.
Wasserstrom, Richard A., Morality and the Law, Wadsworth Publishing Company,
Inc., Bellmont, California, 1971
W.H., Heemskerk, Vorm en Wezen, Uitgeverij LEMMA B.W., Utrecht, 1991.
Wijoyo, Suparto, Ilmu Hukum, Airlangga Universy Press, Surabaya, 2005.
-------, Reklamasi itu Kebutuhan Siapa, Forum Keadilan, No. 22, 16 Oktober 2016.
-------, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution), AUP,
Surabaya, Cetakan Kedua, 2005.
-------, Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu,
AUP, Surabaya, 2005.
-------, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, AUP, Surabaya, Cetakan
Kedua, 2005.
29
SUPARTO WIJOYO
30
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Abstrak
Pelaksanaan audit kepatuhan terpadu memiliki peran yang strategis dalam
memetakan akar permasalahan, memastikan pelaksanaan kewajiban dan
mendukung proses penegakan hukum khususnya hukum adminsitratif dalam
mencegah kebakaran hutan dan lahan. Persoalannya, sampai saat ini, pendekatan
audit kepatuhan secara terpadu belum dilakukan dan dimanfaatkan secara optimal
oleh pemerintah karena perpindahan kepemimpinan pada tingkat nasional. Untuk
itu, tulisan ini akan membahas beberapa aspek. Pertama, tulisan ini akan membahas
peranan audit kepatuhan terpadu sebagai inovasi. Kedua, penggunaan konsep
pertanggungjawaban korporasi dalam hal kepatuhan pencegahan kebakaran
hutan dan lahan sebagai landasan dalam menentukan ukuran kepatuhan dalam
pelaksanaan audit kepatuhan terpadu. Ketiga, kewenangan pemerintah dalam
pelaksanaan audit kepatuhan terpadu. Keempat, prasyarat efektivitas pelaksanaan
audit kepatuhan. Berdasarkan aspek-aspek maka dapat disimpulkan bahwa apabila
audit kepatuhan terpadu dilaksanakan dengan memenuhi perasyarat maka dapat
menjadi perangkat efektif dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan.
1 Penulis merupakan pegiat dibidang penegakan hukum yang menjadi tim audit kepatuhan
dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan tahun 2014. Pernah bekerja di Satuan
Tugas Presiden Pemberantasan Mafia Hukum, Satuan Tugas Presiden Persiapan Kelem-
bagaan REDD+ dan Badan Pengelola REDD+. Mempunyai ketertarikan diisu penegakan
hukum, sumber daya alam dan pertanggungjawaban pidana korporasi.
31
LAKSO ANINDITO
Abstract
Based on the theory of prevention policy, audit compliance has an important role as
instrument to prevent haze pollution that is caused by forest and land fires. This approach is
potentially used by the government to find roots of the problem of haze pollution related with
forest and land fires, to encourage compliance of object of audit and to get early information
and data for administrative law enforcement. In this paper, audit compliance is elaborated
in four aspects comprehensively. Firstly, the role of audit compliance as instrument of
prevention policy. Secondly, corporate liability and compliance standard to prevent forest
and land fires. Thirdly, legal basis of government to conduct audit compliance. Finally, the
prerequisites to conduct audit compliance effectively. In conclusion, the audit compliance
program has strategist function as an instrument to prevent forest and land fires based on
prevention policy theory as long as the prerequisite are fulfilled.
I. Pendahuluan
Secara umum audit kepatuhan lingkungan hidup (environmental auditing)
didefinisikan sebagai:
2 https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/page_14.
htm diakses pada 24 Juli 2017
3 https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/page_14.
htm diakses pada 24 Juli 2017
32
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
pemerintah.4 Selain itu, audit kepatuhan juga dapat dilakukan secara mandiri oleh
korporasi baik dengan menunjuk pihak ketiga ataupun dilakukan sendiri oleh
korporasi dengan standar pelaksanaan yang sudah ditentukan oleh pemerintah
sebagaimana diterapkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika
Serikat.5 Pada bidang lain, pedoman untuk melakukan audit mandiri dilakukan
pula di Inggris dalam pencegahan tindak pidana korupsi sebagaimana diterapkan
sesuai pedoman prinsip-prinsip adequate procedure yang bahkan dapat digunakan
sebagai pembelaan ketika tindak pidana terjadi.6
33
LAKSO ANINDITO
34
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
12 Anna Coote menggunakan istilah Upstream, Midstream dan Downstream, silahkan lihat A
Coote, The Wisdom of Prevention (London: nef, 2012) hlm.9-11
13 Ian Gough (b),Climate Change and Public Policy Futures, A Report Prepared for the British
Academy, (London : The British Academy, 2011) hlm. 31-34
35
LAKSO ANINDITO
36
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Secara praktek, hasil pelaksanaan audit kepatuhan terpadu pada tahun 2014
yang mampu menggambarkan tingkat kepatuhan kegiatan usaha pada 17 (tujuh
belas) konsesi yang dimiliki 15 (lima belas) korporasi yang pernah terdeteksi
terdapat kebakaran diwilayahnya. (lihat Diagram 1 dan Diagram 2).
37
LAKSO ANINDITO
19 Dari 5 (lima) perusahaan perkebunan yang diaudit, 1 perusahaan tergolong sangat tidak
patuh (18,50 % dari 97 kewajiban) dan 4 (empat) perusahaan tergolong tidak patuh
(antara 23 % sampai 48 % dari 97 kewajiban). Lebih lanjut, Perusahaan Kehutanan :
Dari 12 (tujuh belas) konsesi yang diaudit 1 (satu) konsesi perusahaan tergolong sangat
tidak patuh (7,22% dari 122 kewajiban), 10 (sepuluh) konsesi perusahaan tergolong tidak
patuh (antara 26, 19 % sampai 47, 54 % dari 122 kewajiban) dan 1 (satu) konsesi perusahaan
tergolong kurang patuh (52, 38 % dari 122 kewajiban).
20 Tim Audit Kepatuhan Terpadu, op.cit., hlm. 6-7.
21 Lihat Nick Tilley dan Aiden Sidebottom terkait Theory for Crime Prevention dalam Nick
Tilley dan Aiden Sidebottom (ed). Handbook of Crime Prevention and Community Safety.
(London dan New York: Routledge, 2017) hlm. 8-10
22 Indonesia (a), op.cit., ps. 76 dan ps. 77
38
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
dalam tujuan untuk mendorong kepatuhan sesuai pendapat Albert Reiss Jr., yaitu:
Sesuai pendapat Reis tersebut, bahwa terdapat perbedaan tujuan prinsip dari
penegakan hukum yang berorientasi pada kepatuhan dan efek jera. Kepatuhan
menekankan pada mendorong kepatuhan terhadap hukum dengan menggunakan
sarana untuk mendorong kesesuaian hukum atau dengan mengambil tindakan
untuk mencegah pelanggaran hukum tanpa keharusan menghukum pelaku
melalui penghukuman yang menimbulkan efek jera melalui pemidanaan.
Sedangkan, efek jera menekankan pada mendorong kepatuhan melalui proses
penghukuman terhadap pelaku untuk mencegah kembali terjadinya pelanggaran
hukum. Selain itu, meminimalisir kemungkinan pelaku untuk melakukan
kejahatan.24 Tujuan penegakan hukum yang berorentasi pada kepatuhan adalah
mengutamakan perlindungan lingkungan hidup dengan mendorong kepatuhan
melalui pendekatan penegakan hukum administrasi, sebagaimana diungkapkan
Mas Achmad Santosa, yaitu:
23 Albert J. Reiss Jr., Consequences Of Compliance And Deterrence Models of Law Enforcement
For The Exercise of Police Discretion, Duke University School of Law Journal of Law and Con-
temporary Problems, Volume 47, No.4, (Durham: Duke University School of Law, 1984), hlm.
91-92
24 Brandon C. Welsh dan David D Farrington, Crime Prevention and Public Policy dalam The Ox-
ford Handbook of Prevention. (New York: Oxford University Press, 2011), hlm. 4
39
LAKSO ANINDITO
40
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
41
LAKSO ANINDITO
“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di
areal kerjanya”31
ubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, LN No. 86 Tahun 2004, LN No. 29 Tahun 2004.
29 Ibid., ps. 48 ayat (3)
30 Ibid.
31 Ibid., ps. 49.
42
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
“(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan
dengan cara membakar. (2) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki
sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun.”33
32 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Perkebunan, UU Nomor 39 Tahun 2014, LN No. 308
Tahun 2014, TLN No. 5613.
33 Ibid., ps. 56 ayat (1) dan (2).
34 Ibid., ps. 67 ayat (3).
43
LAKSO ANINDITO
44
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
“The courts here relied on two main premises: (1) legislature were unrestrained
in their ability to proscribe conduct and did not have to require mens rea (a
jurisprudential philosophy known as legal positivism); (2) there was a compelling
need to protect society, particularly minors, against such evils (sex, liquor, etc),
and it was too hard to prove mens rea.
During the first half of the twentieth century, some courts applied these
decisions to newly enacted “regulatory” statutes, such as those prohibiting… (3)
environmental damage”38
45
LAKSO ANINDITO
43 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehu-
tanan Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Permen LHK No. P.32/MenLHK/
Setjen/Jum.1/3/2016, ps. 105.
46
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Instrumen tersebut terdiri dari 12 (dua belas) instrumen yang secara spesifik
ditentukan oleh undang-undang dan 1 (satu) instrumen yang dapat dikembangkan
oleh pemerintah. Instrumen audit kepatuhan terpadu tidak menjadi salah satu
47
LAKSO ANINDITO
instrumen yang secara spesifik disebutkan. Adapun, pengaturan yang ada hanyalah
audit lingkungan hidup. Perbedaannya, pada sisi pelaksana, audit kepatuhan
hanya dapat dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup yang dipekerjakan
oleh perusahaan baik dengan dipilih oleh perusahaan atau dipilih oleh menteri
apabila perusahaan tidak mau melakukan audit kepatuhan.46 Mengenai hal yang
diaudit, terbatas pada cara pandang auditor lingkungan hidup tanpa melihat
aspek lainnya yang terkait kebakaran hutan dan lahan secara komprehensif. Selain
itu, pada beberapa kasus rawan terjadi konflik kepentingan karena dibiayai oleh
perusahaan.
48
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
49
LAKSO ANINDITO
Tim terpadu yang berintegritas dan profesional memiliki fungsi penting dalam
melakukan audit kepatuhan. Untuk memenuhi hal tersebut dibutuhkan pemenuhan
beberapa syarat. Pertama, tim terpadu harus didasarkan dari keterpaduan keahlian
dan kewenangan yang relevan dengan sektor yang mempengaruhi pencegahan
kebakaran hutan dan lahan. Pelibatan ahli dari universitas maupun lembaga
riset yang menguasai bidang ilmunya memiliki fungsi penting untuk dilibatkan
sehingga proses audit kepatuhan dilakukan secara ilmiah dan menggunakan
metode yang tepat. Sebagai contoh, pada audit kepatuhan terpadu tahun 2014,
terdapat ahli yang memahami kebakaran hutan dan lahan, kerusakan tanah dan
hukum lingkungan hidup.54 Lebih lanjut, kewenangan dari Kementerian/Lembaga
54 Sesuai dengan Dokumen Audit Kepatuhan dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan
dan Lahan, ahli yang digunakan antara lain: Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hu-
tan dan lahan, serta Basuki Wasis, ahli kerusakan tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB)
memiliki peran penting dalam membangun instrumen audit sehingga audit dapat dilak-
sanakan sesuai dengan metode ilmiah. Hal tersebut diperkuat dengan tersedianya masukan
pemenuhan sesuai legislasi yang berlaku dari Mas Achmad Santosa yang saat itu sekaligus
50
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Kedua, integritas dan indepedensi pelaku audit. Menjadi hal penting bagi tim
audit untuk menghindarkan diri dari benturan kepentingan (conflict of interest).
Benturan kepentingan tersebut dapat terjadi dari 2 (dua) pendekatan. Pendekatan
pertama adalah pembiayaan. Pembiayaan yang dilaksanakan untuk mendukung
proses audit seharusnya harus bebas dari pembiayaan oleh korporasi dengan
tujuan menghindari konflik kepentingan. Apabila dikarenakan kondisi harus
menggunakan sarana korporasi, seperti pada kondisi audit yang dilakukan melalui
kanal dimana hanya korporasi yang memiliki kapal maka sedapat mungkin biaya
penggunaan kapal tetap dibayarkan oleh tim audit kepatuhan terpadu. Pendekatan
kedua adalah interaksi dengan objek audit kepatuhan dan kepentingan dari
kementerian/lembaga yang terlibat. Sebagai contoh, Kementerian Kehutanan
memiliki kewenangan dalam penerbitan izin dan mempunyai kepentingan dalam
mendorong industri kehutanan untuk dapat meningkatkan produksi. Di sisi lain,
Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan
hukum atas pelanggaran yang terjadi. Untuk itu, menjadi penting untuk melibatkan
Direktorat Jenderal yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum
administratif apabila audit melibatkan Direktorat Jenderal yang mendukung
pelaksanaan produksi dari industri kehutanan. Hal tersebut untuk memastikan
adanya masukan yang berimbang. Pada konteks ahli, pembacaan rekam jejak ahli
yang terlibat menjadi penting khususnya terkait interaksi dengan korporasi. Hal
tersebut untuk memastikan audit dilaksanakan secara berintegritas.
menjabat sebagai pengarah tim audit sekaligus Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Peren-
canaan dan Pengawasan Pembangunan (UKP PPP) dan ahli hukum lingkungan hidup dari
Universitas Indonesia.
51
LAKSO ANINDITO
52
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Presiden Repub-
lik Indonesia; d. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 ten-
tang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; e. Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan; f. Keputusan Direktur Jen-
deral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 48/KPTS/DJ-VI/1997 tentang
Sistem Komando Pemadaman kebakaran Hutan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Pelestarian Alam; g. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestar-
ian Alam No. 243/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk teknis Pencegahan dan Penang-
gulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan Areal Penanggulangan
Lainnya; h. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No. 244/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan;
i. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 245/
KPTS/DJ-VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pemakaian Peralatan Pemadam Kebakaran
Peralatan Pemadam Kebakaran Hutan; j. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hu-
tan dan Pelestarian Alam No. 246/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Pembuatan dan
Pemasangan Rambu-Rambu Kebakaran Hutan; k. Keputusan Direktur Jenderal Perlindun-
gan Hutan dan Pelestarian Alam No. 247/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Standarisasi
Sarana Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan; dan l. Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 248/KPTS/DJ/VI/1994 tentang
Prosedur Tetap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan.
56 Dasar Hukum Kerangka Audit Bidang Perkebunan: a. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan; b. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian
Kerusakan dan atau Pedoman atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; c. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.
16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan; d. Per-
aturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme
Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan/atau Lahan; e Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/
OT.140/3/2011 tentang Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO); f. Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; g. Peraturan Menteri Pertanian No. 47/
Permentan/OT.140/4/2014 tentang Brigade dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan ser-
ta Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun; dan h. Pedoman Pengendalian Kebakaran
Lahan dan Kebun Direktorat Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan
Kementrian Pertanian Tahun 2010.
57 Tim Audit Kepatuhan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, Laporan Audit Kepatuhan
Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, (Jakarta: BP REDD+, 2014).
53
LAKSO ANINDITO
Menjadi hal penting untuk memastikan seluruh aspek tersebut dihitung secara
cermat melalui metode perhitungan yang terukur. Hal tersebut untuk memastikan
terciptanya proses audit yang akuntabel dan adil antar perusahaan yang menjadi
objek audit kepatuhan.
54
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Tabel 1. Contoh Bagian Hasil Perhitungan Pada Pelaksanaan Audit Kepatuhan 201458
Penentuan objek audit memiliki peran penting juga untuk melaksanakan audit
pada objek yang tepat. Hal tersebut untuk mendorong objek audit yang berpotensi
terjadinya kebakaran dikonsesinya untuk patuh. Penentuan objek korporasi dan
pemerintah daerah yang menjadi objek didasarkan pada pembacaan sejarah
tingkat tingginya titik api maupun lokasi terbakar secara aktual. Hal tersebut
untuk memastikan adanya lokasi yang tepat dalam melakukan audit kepatuhan.
VI. Penutup
58 Tim Audit Kepatuhan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, op.cit., hlm. 35.
55
LAKSO ANINDITO
56
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
DAFTAR PUSTAKA
57
LAKSO ANINDITO
Tim Audit Kepatuhan Terpadu. 2014. Ringkasan Eksekutif (Executive Summary) Audit
Kepatuhan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi
Riau. Jakarta: BP REDD+.
Tim Audit Kepatuhan. 2014. Laporan Lengkap Audit Kepatuhan Dalam Rangka
Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Jakarta: BP REDD+.
Helena Varkkey. The Haze Pollutin Problem in Southeast: Palm Oil and Patronage
Asia. (London and New York: Routledge, 2016)
Nick Tilley dan Aiden Sidebottom (eds.). 2017. Handbook of Crime Prevention and
Community Safety. London dan New York: Routledge
https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P508_EAEMS_K3736-Demo/unit1/
page_14.htm diakses pada tanggal 24 Juli 2017
https://www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2014/838/KEKERINGAN-
TAHUN-2014-NORMAL-ATAUKAH-EKSTRIM/1653 diakses pada tanggal
3 Agustus 2017
https://www.epa.gov/compliance/audit-protocols diakses pada tanggal 8 Juni 2017
58
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi
Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara
Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas Dan Fungsi
Kabinet Kerja
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan .
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang
Persyaratan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO)
Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan
Peraturan Menteri Pertanian No. 47/Permentan/OT.140/4/2014 tentang Brigade
dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan serta Pengendalian Kebakaran
Lahan dan Kebun
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/MenLHK/
Setjen/Jum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No. 243/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk teknis Pencegahan dan
Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan
Areal Penanggulangan Lainnya
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 244/
KPTS/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
No.245/KPTS/DJ-VI/1994 tentang Prosedur Tetap Pemakaian Peralatan
Pemadam Kebakaran Peralatan Pemadam Kebakaran Hutan.
59
LAKSO ANINDITO
60
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Rifka Sibarani 1
Abstrak
Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) menyarankan untuk
menggunakan pendekatan multi-level governance (MLG) untuk mengimplementasi
kebijakan perubahan iklim, seperti yang telah diterapkan di Uni Eropa. Indonesia
adalah salah satu negara yang masih menggunakan pendekatan desentralisasi
dalam implementasi kebijakan perubahan iklim dan kondisi ini memiliki tantangan
tersendiri.
61
RIFKA SIBARANI
Abstract
The Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) recommends using the Multi-
Level Governance (MLG) approach to implementing climate change policies, as applied in
the EU. Indonesia is one of the countries that still uses decentralization approach in the
implementation of climate change policy and this condition has its own challenges.
This article uses a literature approach and focuses on government documents, media
reports and academic studies to explore the challenges of climate change governance in
Indonesia by comparing the MLG and the decentralisation approaches and looking the
implementation of RAD-GRK in North Sumatera, Indoensia The findings in this study
indicate that decentralisation is a challenge to climate change policy in Indonesia, which
creates problems, among others, poor coordination in government agencies and there is no
legal requirement for local and municipal governments to provide their emission levels.
I. Pendahuluan
2 J. Fitzgibbon dan K. Mensah, “Climate Change as a Wicked Problem”, SAGE Open, Vol 2,
No. 2 (2012), hal. 2
3 R. Grundmann, R, “Climate change as a wicked social problem”, Nature, Geoscience, Vol 9,
No. (8), (2016), hal. 562
4 J. Fitzgibbon dan K. Mensah, loc. cit., hal. 2
62
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
di tingkat nasional sebesar 21% tanpa bantuan dana internasional, dan 41% dengan
dana internasional, khususnya di bidang kehutanan.5 Terhitung sejak tahun 2011,
misalnya, Indonesia telah meminjam dari Asian Development Bank sebesar $US
100 juta6 dan World Bank sebesar $US 200.000,7 untuk berbagai kegiatan terkait
manajemen penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Namun hingga saat ini
hasilnya masih belum memuaskan, terutama dari program REDD+,8 9 sedangkan
dampak perubahan iklim di Indonesia semakin jelas dan berbahaya.
Perubahan iklim merupakah salah satu isu global yang dibingkai sebagai isu
yang dibedah dengan sistem antar pemerintah yang telah diatur oleh negara-negara
lain memiliki kepentingan bersama (intergovernmental regime). Salah satu hasil dari
sistem ini adalah Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCCC) yang telah
mengeluarkan beragam laporan dan manual untuk diikuti negara-negara anggota
guna menurunkan emisi karbon mereka, termasuk Indonesia. Salah satu anjuran
63
RIFKA SIBARANI
10 Kirsten Jörgensen, Anu Jogesh, dan Arabinda Mishra. “Multi-level climate governance and
the role of the subnational level.” Journal of Integrative Environmental Sciences no. 4, (2015),
hal. 236
11 Kirsten Jörgensen, Barbara Saerbeck, dan Martin Janicke. “The Multi-Level System of Global
Climate Governance - the Model and its Current State.” Environmental Policy and Gover-
nance, 2, 27, (2017), hal. 109
12 Schreurs MA, Tiberghien Y. Multi-level reinforcement: explaining European Union lead-
ership in climate change mitigation. Global Environmental Politics, 7,4, (2007), hal: 19–46.
DOI:10.1162/glep.2007.7.4.19
13 Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan
dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for InternationalForestry Re-
search (CIFOR), 2006), hal.
64
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Jika melihat perkembangan yang signifikan sebagai implikasi dari agenda SDGs
dan NAWA CITA di Indonesia dan data sekunder yang digunakan, maka studi ini
akan terlihat tertinggal waktu. Oleh sebab itu, kedua hal diatas menjadi batasan
dari studi ini. Biarpun demikian, argumen dan data sekunder yang digunakan
dalam studi ini berkontribusi kepada pembelajaran implementasi sebuah
kebijakan yang secara global diakui sulit dengan menganalisis konteks politik
lokal di Indonesia. Penelitian ini disususun untuk memberikan latar belakang
teoritis untuk memahami tentang tantangan tata kelola kebijakan perubahan iklim
di Indonesia. Adapun tujuan ini berusaha dicapai dengan membandingkan dua
pendekatan teoritis, yaitu desentralisasi dan MLG, serta penerapannya di negara-
negara lain untuk kemudian dibandingkan dengan kondisi di Indonesia.
65
RIFKA SIBARANI
MLG merupakan sebuah pendekatan tata kelola yang identik dengan sistem
pemerintahan Uni Eropa yang berawal sejak awal tahun 1990-an.15 Kata kunci yang
penting dari teori dan pendekatn MLG adalah kolaborasi.16 Bache dan Flinders
(2004) menggunakan konsep MLG untuk memahami hubungan timbal balik
dinamis di dalam dan di antara berbagai tingkat pemerintahan dan pemerintahan.17
Meskipun gagasan tentang tata kelola multilevel pada awalnya dikembangkan di
sekitar Uni Eropa, banyak bentuknya telah diterapkan di bidang studi lain seperti
studi negara-negara federal dalam politik komparatif. McCormick berpendapat
bahwa “tata kelola bertingkat adalah sepupu konseptual dari dua konsep lama
lainnya, federalisme dan konfederelisme”.18 MLG juga dapat dipahami sebagai
sebuah sistem pemerintahan polisentrik yang berarti sebuah sistem pemerintahan
yang mana setiap bagian yang terlibat didalamnya tidak melihat sistem tersebut
sebagai tantangan, namun sebagai sebuah inovasi, proses pembelajaran, serta
bauran teknologi untuk mendukung instrumen kebijakan.19
15 Literatur tentang konsep MLG dapat dilihat di Marks, 1993; Scharpf, 1997; Benz and Eber-
lein, 1999; Börzel and Risse, 2000; Hooghe and Marks, 2001; Kern, 2010
16 Coopenergy, What is Multi-Level Governance? http://www.coopenergy.eu/book/what-
multi-level-governance, diakses 25 Juli 2017
17 Kern K, Bulkeley H, “Cities, Europeanization and multi-level governance: governing cli-
mate change through transnational municipal networks”. JCMS: Journal of Common Market
Studies Vol 47, No. 2, hal 309–332.
18 M. Jänicke, M, M. Schreurs, dan K. Töpfer, 2015, The Potential of Multi-Level Global Climate
Governance, https://goo.gl/XLiz8v, diakses 29 Mei 2017
19 Lihat K. Sovacool, “An International Comparison of Four Polycentric Approaches to Climate
and Energy Governance”, Energy Policy, Vol. 39, No. 6 (2015), hal. 3832–3844.
20 L. Hooghe dan G. Marks, “Types of Multi-Level Governance”, European Integration Online
Papers (EIoP), Vol. 5, No. 11, (2011), hal. 4-6
66
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Gambar 1 ‘Model Rio’ dari tata kelola pemerintahan multi-level dan multi-sektor yang
berkelanjutan 22
21 M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance – the Model and Its Cur-
rent Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017), hal 110-111
22 Gambar diambil dari M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance –
the Model and Its Current Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017), hal
110
23 Ibid., hal. 112-114
67
RIFKA SIBARANI
sistem multi-impuls untuk inovasi terkait perubahan iklim. Hal ini menjadikan
MLG sebagai sebuah model yang tidak hanya dapat menangani semua skala tetapi
juga semua kelompok kepentingan terkait dalam tata kelola iklim global. Hal ini
diilustrasikan sebagai berikut:
Anggota tata kelola dan sasaran dan dasar dari pengetahuan iklim
Individu
global (misalnya, laporan IPCC)
Tabel 1 Peran tiap aktor dalam sistem tata kelola MLG menurut Jänicke (2017)
Beberapa contoh implementasi MLG yang sukses dapat dilihat dalam upaya-
upaya pengembangan kebijakan perubahan iklim yang terintegrasi di negara-
negara Eropa. Sebagai contoh, Perjanjian Convenant of Mayors yang dipelopori oleh
para walikota di kawasan Rhine-Neckar Metropolitan dinyatakan sebagai salah
satu contoh penerapan MLG yang sukses dalam kategori tata kelola pemerintahan
yang terstruktur (structured governance). Menurut laporan Coopenergy Eropa,25
68
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
kesuksesan ini dinilai dari keberhasilan para mayor dalam kawasan tersebut
dalam menghasilkan sebuah perjanjian yang mengikat seluruh mayor dalam
kawasan Metropolitan tersebut. Adapun tujuan dari perjanjian ini adalah untuk
mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim serta melibatkan pemangku
kepentingan (dari pihak swasta) dalam menjalan rencana menurunkan emisi kota-
kota mereka–seluruh kegiatan perencanaan dan pertemuan resmi tidak memiliki
anggaran sehingga inisiatif ini dinilai lebih efisien dan efektif.
69
RIFKA SIBARANI
27 Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan
dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for International Forestry Re-
search (CIFOR), 2006), hal. 178
28 Ibid
29 Agrawal, Arun dan Elinor Ostrom. “Collective Action, Property Rights, and Decentraliza-
tion in Resource use in India and Nepal.” Politics & Society 29, no. 4 (2001), hal. 487
30 Steurer, Reinhard, and Christoph Clar. “Is decentralisation always good for climate change
mitigation? How federalism has complicated the greening of building policies in Austria.”
Policy Sciences 48, no. 1 (March 2015): 85-107. Business Source Ultimate, hal. 99-100
31 Rabe, Barry. “Contested Federalism and American Climate Policy.” Publius: The Journal of
Federalism 41, no. 3 (June 2011): 494-521. Political Science Complete, hal. 518
32 E. Ampaire, L. Jassogne, H. Providence, M. Acosta, J. Twyman, L. Winowiecki, dan P. Asten,
“Institutional challenges to climate change adaptation: A case study on policy action gaps in
Uganda”. Environmental Science & Policy, Vol. 75, hal. 88
70
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Selain itu, politik perubahan iklim akan dipengaruhi oleh politik pemerintah
federal, sehingga rentan gagal jika tidak didukung oleh pemerintah federal dan
kekuatan partai politik di belakangnya, walaupun publik mendukung isu, seperti
di Amerika Serikat.34 Kebijakan perubahan iklim Amerika Serikat dibawah
kepemimpinan George Bush, Jr., Barrack Obama, dan Donald Trump mengalami
masa-masa kritis yang akhirnya diperburuk dengan keputusan Donald Trump untuk
menutup Environmental Protection Agency Amerika Serikat, departemen utama di
tingkat federal dan lokal yang berfokus memanajemen urusan perubahan iklim dan
lingkungan di Amerika Serikat.35 Partai Republikan merupakan partai politik terbesar
yang selalu menentang kebijakan perubahan iklim dengan alasan akan merugikan
industri Amerika Serikat. Partai Demokrat juga tidak lebih progresif dari Republikan,
malah figur-figur penting dari Demokrat seperti Barrack Obama dan Hillary Clinton
justru tidak mampu mendorong isu perubahan iklim di partai mereka sendiri.36 37
33 Steurer, R., dan C. Clar,”Is Decentralisation Always Good for Climate Change Mitigation?
How Federalism Has Complicated the Greening of Building Policies in Austria”, Policy Sci-
ences, (2015), Vol. 48, hal. 94
34 Koski, C., dan A. Siulagi, “Environmental harm or natural hazard? Problem identification
and adaptation in U.S. municipal climate action plans.” The Review of Policy Research No.
3: (2016), hal. 270-290
35 http://edition.cnn.com/2017/04/29/politics/trump-epa-cuts-infighting-climate-change/
index.html
36 Naomi Klein, Opinion, We’re out of time on climate change. And Hillary Clinton helped
get us here, https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/apr/07/out-of-time-cli-
mate-change-hillary-clinton, diakses 25 Juli 2017
37 Naomi Klein, Opinion, Climate change is a global emergency. Stop waiting for politicians
to sound the alarm, https://www.theguardian.com/commentisfree/2014/sep/20/climate-
change-global-emergency-alarm, diakses 25 juli 2017
71
RIFKA SIBARANI
Studi ini juga berargumen bahwa kedua dimensi tersebut dapat dicapai
melalui koordinasi dan kesatuan visi yang sama antara pusat dan daerah. Batasan
72
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Indonesia adalah negara kepulauan dengan tiga puluh empat provinsi dimana
berbagai tindakan dan rencana iklim yang berbeda direncanakan dan dilaksanakan
secara berbeda dari satu provinsi dengan provinsi lainnya sebagai implementasi
73
RIFKA SIBARANI
Namun tidak banyak yang bisa dilakukan pada masa itu karena pengaruh
Soeharto dan kroninya yang mengakar hingga pedesaan dan keterlibatan
masyarakat dengan perkembangan politik lingkungan internasional bisa dikatakan
minimal dan tidak signifikan.44 Komitmen internasional yang rendah ini memiliki
implikasi negatif pada politik dan kebijakan lingkungan domestik. Sebaliknya,
jika komitmen internasional yang tinggi akan berdampak positif pada kedua hal
tersebut. Sebagai contoh, Uni Eropa yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap
lingkungan, seperti Jerman4546 dan Belanda, dengan komitmen politik yang tinggi
terhadap politik lingkungan internasional memiliki kebijakan dan partisipasi
masyarakat yang tinggi.47
43 G. Andrew, The floracrats: state-sponsored science and the failure of the Enlightenment in
Indonesia, (Madison, Wis: University of Wisconsin Press, 2011), hal. 75
44 Colin MacAndrews, “Politics of the Environment in Indonesia”, Asian Survey, Vol. 34, No. 4:
369 (1994), hal 373-380
45 Berlin, Jerman, bersiap-siap menghadapi dampak perubahan iklim dengan merancang kota
mereka agar mampu menyerap air dan emisi karbon dengan memperbanyak lahan hijau
dan mendorong masyarakat menanam tanaman yang menyerap air dan emisi karbon. Ren-
cana Aksi Iklim Jerman 2050 (Klimaschutzplan 2050) adalah dokumen kebijakan perlindun-
gan iklim yang disetujui oleh pemerintah Jerman pada tanggal 14 November 2016. Rencana
tersebut menguraikan langkah-langkah yang dengannya Jerman dapat memenuhi berbagai
tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca nasionalnya sampai tahun 2050 dan memberi-
kan komitmen internasionalnya berdasarkan Perjanjian Iklim Paris 2016. Lihat: Nils Zim-
mermann, “Sponge City: Berlin plans for a hotter climate”, Deutsche Welle, http://www.
dw.com/en/sponge-city-berlin-plans-for-a-hotter-climate/a-19420517, diakses pada 15 Ma-
ret 2017
46 Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear Safety,
Climate Action Plan 2050: Principles and goals of the German’s government climate policy,
UNFCCC International, https://unfccc.int/files/focus/long-term_strategies/application/
pdf/161114_climate_action_plan_2050_en_bf.pdf, diakses pada 1 Maret 2017
47 Belanda mengintegrasikan agenda kebijakan iklim domestiknya ke dalam kebijakan luar
negeri sebagai bentuk komitmen Belanda terhadap politik kebijakan iklim internasional.
74
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
COP-13 2007 Bali memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan kebijakan
perubahan iklim di Indonesia. Hasil penting dari COP-13 antara lain dituangkan
dalam Bali Action Plan yang mengatur skema pengurangan emisi dari deforestasi
negara berkembang; pengembangan serta transfer teknologi yang didukung
secara finansial oleh negara-negara maju. Kemudian hasil penting lainnya adalah
keluarnya laporan Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Tidak hanya itu, di tahun 2015 Pengadilan Tinggi Den Haag memenangkan gugatan hukum
masyarakat kota Den Haag terhadap pemerintah kota sebab pemerintah kota dinilai ber-
salah tidak memenuhi tugas dan tanggung jawab mereka memitigasi dampak perubahan
iklim atas kota mereka Inisiatif masyarakat, didukung oleh komitmen politik pemerintah
menciptakan teknologi serta terobosan kebijakan perubahan iklim yang komprehensif dan
Uni Eropa adalah negara kesatuan yang berhasil mewujudkannya. Lihat: Arthur Neslen,
“Dutch government ordered to cut carbon emissions in landmark ruling”, The Guardian,
https://www.theguardian.com/environment/2015/jun/24/dutch-government-ordered-
cut-carbon-emissions-landmark-ruling, diakses pada 3 Maret 2017
48 BAPPENAS, Laporan Dua Tahun Pelaksanaan RAN-GRK dan RAD-GRK, http://ran-
radgrk.bappenas.go.id/rangrk/admincms/downloads/publications/Laporan_Dua_Ta-
hun_Pelaksanaan_RAN-GRK_RAD-GRK.pdf, diakses 12 Febuari 2017
75
RIFKA SIBARANI
76
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
50 Dari beberapa dokumen RAD-GRK, beberapa kegiatan bersifat usulan atau masih meru-
pakan nonfundedactivities terkait dengan belum adanya komitmen dari segi pendanaan
aktifitas.
51 Irfa Ampri, PhD, “Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia”, (makalah disampaikan dalam
Diskusi Publik Kesiapan Indonesia Menghadapi Perundingan Perubahan Iklim Doha, 2012),
hal. 7
77
RIFKA SIBARANI
Komitmen ini secara simbolik memiliki pengaruh yang positif bagi citra
internasional Indonesia karena Sumatera Utara tercatat memiliki permasalahan
kebakaran hutan, perubahan lahan, serta polusi udara dari transportasi dan kegiatan
produksi pabrik yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah
daerah Sumatera Utara mengadaptasi RAD-GRK dan telah sampai pada proses
inventarisasi emisi lokal mereka. Namun proses ini terhenti di tengah jalan ketika
Gubernur Sumatera Utara saat itu menjadi tersangka kasus korupsi. Hingga kini,
belum banyak perkembangan signifikan dari RAD-GRK di Sumatera Utara.
52 BAPPEDA Sumatera Utara, Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Provinsi Sumatra Utara 2010-2020, (Medan: BAPPEDA Sumatera Utara), hal. 6-10
53 BAPPENAS, Satu Tahun RAN-GRK, (Jakarta: BAPPENAS), hal. 23
78
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
keharusan hukum bagi pemerintah daerah dan kota untuk memberikan inventoris
tingkat emisi GRK mereka, sehingga sulit menyusun sebuah RAD-GRK yang
berbasis bukti inventoris emisi rumah kaca; 4) terbatasnya sumber daya manusia
yang mahir dalam perhitungan emisi gas rumah kaca.54
79
RIFKA SIBARANI
Ketiga, lemahnya komitmen politik dari pemerintah (dalam hal ini baik pusat
maupun lokal) yang wujudnya adalah tidak ada keharusan pemerintah kabupaten
untuk menyediakan data persediaan GRK, maka mengumpulkan data emisi dari
tingkat kabupaten merupakan tugas yang sulit. Hal ini berdampak pada kualitas
data inventaris emisi rumah kaca yang kemudian dikumpulkan ke pemerintah
provinsi untuk kemudian diteruskan ke level nasional. Hal ini juga terkait dengan
masalah keempat, yaitu hanya sedikit orang yang mengerti bagaimana melakukan
akuntansi karbon di tingkat kabupaten. Dengan keterbatasan sumber daya
manusia yang memahami pelaksanaan RAD GRK, ada kemungkinan besar gagal
di tingkat kabupaten.
VI. Kesimpulan
Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia yang pertama kali
mengambil inisiatif untuk mengembangkan RAD-GRK pada masa awal inisasinya.
Namun pada perjalanannya, RAD-GRK di Sumatera Utara justru mengalami
stagnansi dan kemunduran. Melalui perspektif MLG, desentralisasi dilihat sebagai
salah satu faktor penyebab kebijakan iklim gagal atau berjalan lambat di suatu
daerah atau negara.
alasan, antara lain: sifatnya yang sangat birokratis dan sedikit membuka cela
bagi keterlibatan masyarakat serta tidak mampu mengakomodasi program yang
sifatnya intranasional seperti, perubahan iklim
80
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
tingkat daerah. Hingga saat ini strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
menjadi strategi penting guna mengurangi resiko bencana akibat perubahan iklim
di berbagai daerah yang rentan.
81
RIFKA SIBARANI
DAFTAR PUSTAKA
82
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Carol J. Pierce Colfer dan Doris Capistrano, eds, Politik Desentralisasi Hutan, Kekua-
saan dan Rakyat Pengalaman di berbagai Negara, (Bogor: Center for Internation-
alForestry Research (CIFOR), 2006)
Colin MacAndrews, “Politics of the Environment in Indonesia”, Asian Survey, Vol.
34, No. 4: 369 (1994), hal 373-380
Coopenergy, Rhine-Neckar Metropolitan Region-Promotion of the Covenant of Mayors,
https://goo.gl/KgorCy, diakses pada 20 Juli 2017
Coopenergy, Southeast Sweden – Sustainable Energy Community of 5 municipalities
in Kalmar County, https://goo.gl/GjwSNw, diakses pada 20 Juli 2017
Departemen Lingkungan Hidup Sumatera Utara, Pelaksanaan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca (GRK) di Provinsi Sumatera Utara, http://lcs-rnet.org, diakses
pada 15 Mei 2017
E. Ampaire, L. Jassogne, H. Providence, M. Acosta, J. Twyman, L. Winowiecki, dan
P. Asten, “Institutional challenges to climate change adaptation: A case study
on policy action gaps in Uganda”. Environmental Science & Policy, Vol. 75: 81-90
Eyre, N. “Decentralization of governance in the low-carbon transition” di dalam
Handbook on Energy and Climate Change, diedit oleh Roger Fouquet, 581-597.
Edward Elgar, 2013
Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear
Safety, Climate Action Plan 2050: Principles and goals of the German’s government
climate policy, https://goo.gl/Br5ydC, diakses pada 15 Juli 2017
Fitzgibbon, J., dan Mensah, K. O. “Climate Change as a Wicked Problem”. SAGE
Open, Vol.2, No. 2 (2012): 1-14
Grundmann, R. “Climate change as a wicked social problem”. Nature Geoscience,
Vol 9, No. 8 (2016): 562-563
Jakarta Post, Norway Slams Slow REDD+ Project Progress. Febuari 4, 2016. http://
www.thejakartapost.com/news/2016/02/04/norway-slams-slow-redd-
project-progress.html, diakses 20 Mei 2017
Jänicke, M. “The Ambivalence of Environmental Governance” di dalam
Environmental Governance in Europe, edited by Meuleman, L., Niestroy, I.,
Hey, Chr. RMNO: Den Haag, 2003
Jänicke, M., Schreurs, M., & Töpfer, K, The Potential of Multi-Level Global Climate
Governance, https://goo.gl/XLiz8v, diakses 15 Mei 2017
83
RIFKA SIBARANI
Johnson, C. A., Toly, N. J., & Schroeder, H. (n.d.). The Urban climate challenge:
Rethinking the role of cities in the global climate regime. London: Routledge
Jordan A, van Asselt H, Berkhout F, Huitema D, Rayner T. “Understanding the
paradoxes of multilevel governing: climate change policy in the European
Union”. Global Environmental Politics 12(2), (2012), hal. 43–66. DOI:10.1162/
GLEP_a_00108.
Kern K, Bulkeley H. (2009). Cities, Europeanization and multi-level governance:
governing climate change through transnational municipal networks.
JCMS: Journal of Common Market Studies 47(2): 309–332. DOI:10.1111
/j.1468-5965.2009.00806. x.00806. x.
Kern, K. (2010.). Climate governance in the European Union multilevel
system: The role of cities. Multilevel Environmental Governance, 111-130.
doi:10.4337/9780857939258.00016
Kirsten Jörgensen, Anu Jogesh, dan Arabinda Mishra. “Multi-level climate
governance and the role of the subnational level.” Journal of Integrative
Environmental Sciences no. 4, (2015)
Koski, C., & Siulagi, A. (2016, 04). Environmental Harm or Natural Hazard?
Problem Identification and Adaptation in U.S. Municipal Climate Action
Plans. Review of Policy Research, 33(3), 270-290. doi:10.1111/ropr.12173
L. Hooghe dan G. Marks, “Types of Multi-Level Governance”, European Integration
onlineOnline Papers (EIoP), Vol. 5, No. 11, (2011): 4-6
Larson, A. M., & Soto, F. (2008, 11). Decentralization of Natural Resource Governance
Regimes. Annual Review of Environment and Resources, 33(1), 213-239. DOI:
10.1146/annurev.environ.33.020607.095522
Levin, K., Cashore, B., Bernstein, S., & Auld, G. (2009, 02). Playing it forward: Path
dependency, progressive incrementalism, and the “Super Wicked” problem
of global climate change. IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, 6(50), doi:10.1088/1755-1307/6/0/502002
M. Jänicke, “The Multi-Level System of Global Climate Governance – the Model
and Its Current Status”, Environmental Policy and Governance, Vol. 27, (2017):
hal 110-111
Marks, G. “Structural policy and multi-level governance in the EC”. di dalam The
State of the European Community vol. 2: The Maastricht Debates and Beyond,
Cafruny AW, Rosenthal G (eds). Lynne Reiner: Boulder, CO, 2003
84
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
85
RIFKA SIBARANI
86
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Abstrak
Status megabiodiversity yang melekat pada Indonesia memberikan potensi
besar akan pemanfaatan dan komersialisasi sumber daya alam hayati, yang salah
satunya adalah sumber daya genetik. Tulisan ini hendak memaparkan penggunaan
pendekatan kehati-hatian dalam pengaturan sumberdaya genetik. Utamanya
membahas secara normatif pentingnya penerapan pendekatan kehati-hatian
dalam pengaturan organisme transgenik di Indonesia. Pembahasan paper diawali
dengan mendeskripsikan konsep pendekatan kehati-hatian, terutama dari sudut
pandang CBD; konsep pengelolaan sumberdaya genetik Indonesia dan isu krusial
yang ada; serta penerapan pendekatan kehati-hatian untuk pengaturan organisme
transgenik di Indonesia.
Abstract
The “Megabiodiversity” status adhere to the massive potency of Indonesian natural
resources is having consequences in the management of natural resources, as well as its
protection and preservation. One of the element of genetic resources is living modified
87
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
I. Pendahuluan
5 Nama lengkap dan resmi Protokol Nagoya adalah The Nagoya Protocol on Access to Genetic
Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Con-
vention on Biological Diversity.
6 Bioprospeksi atau bioprospecting secara mudah dapat dikatakan sebagai eksplorasi atas
keanekaragaman hayati baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan maupun untuk komer-
sil.Tidak ada definisi yang diterima secara internasional tentang bioprospeksi, namun
dari pendapat secara umum yang dapat dirangkum, bioprospeksi merupakan upaya pen-
elusuran atau penelitian dalam ranah biodiversitas, dan upaya pengambilan sampel dari
organisme biologis untuk kepentingan riset pengetahuan maupun komersial. Memang
menjadi sulit untuk membedakan antara riset terhadap sumberdaya genetik yang murni di-
tujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dengan riset yang dilakukan untuk aktivitas
komersial. Karena seringnya penelitian untuk aktivitas komersial pun dilakukan dengan
menggandeng institusi riset sebagai mitranya, dan demikian sebaliknya.
7 Biopiracy merupakan praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat
tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat. Salah satu kasus biopirasi yang jelas isu
maupun kronologisnya pernah terjadi pada awal tahun 2012. Saat itu Peneliti LIPI terlibat
penemuan spesies baru tawon Megalara garuda dalam proyek kerjasama dengan Univer-
sity of California, Davis. Namun, ternyata dalam publikasi tentang temuan spesies tersebut
tidak disebutkan peneliti Indonesia maupun wilayah Indonesia sebagai tempat diketemu-
kannya spesies baru tersebut. (http://sains.kompas.com/read/2012/05/04/08175361/
LIPI.Akan.Selidiki-.Praktik.Biopiracy).
88
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Pada konteks ini, ketika risiko yang muncul kemudian diperkirakan lebih
berbahaya dari sebelumnya, diperlukan suatu penelitian terpadu untuk mencari
solusi atau upaya pencegahan dan penanganan dampaknya, dan untuk sementara
8 Konsep pendekatan kehati-hatian tercantum dalam Prinsip 15 Rio Declaration on the Environ-
ment and Development 1992 serta di dalam pembukaan (preamble) dari United Nations Conven-
tion on the Biological Diversity 1992 yang diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1994.
9 Sekurangnya tiga poin ini yang menjadi alasan di dalam riwayat penerapan pendekatan
kehati-hatian. Lihat Phillipe Sands, Principles of International Environmental Law: Second Edi-
tion, (UK: Cambridge University Press, 2003), hlm.269-270.
10 Peter T Saunders, Use and Abuse of Precautionary Approach. (Article on the ISIS submission
to US Advisory Committee on International Economic Policy (ACIEP) Biotech. Working
Group, July 13, 2000, hlm. 11.
11 Prinsip 15 Rio Declaration, sebagaimana dijelaskan oleh Per Sandin, The Precautionary Prin-
ciple: From Theory to Practice (Stockholm: Mistra, 2002), hlm.5
89
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
90
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
91
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
untuk memberikan dan menjamin level perlindungan yang memadai dalam hal
perpindahan yang aman, penanganan, dan penggunaan dari organisme hidup
modifikasi genetika yang dihasilkan dari bioteknologi modern, yang dapat
memiliki dampak merugikan bagi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan
biodiversitas, pertimbangan kesehatan manusia, dan secara khusus difokuskan
pada perpindahan lintas batas”.
“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely
applied by States according to their capabilities. Where are threats of serious or
irreversible damage, lack of full scientifc certainty shall not be used as a reason for
postponing cost-efective measures to prevent environment degradation”.20
18 INSIST, Politik Pangan: Perlu Perubahan Paradigma. (Yogyakarta: Penerbit INSIST, 2008), hlm 38.
19 Deklarasi Rio merupakan kesepakatan berisikan 25 prinsip yang dihasilkan dalam The Unit-
ed Nation Conference on Environment and Development yang berlangsung pada Tahun 1992 di
Rio de Janeiro Brazil.
20 Prinsip 15 Rio Declaration.
92
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
masing. Bahwa adanya ancaman bahaya yang serius atau kerusakan yang tidak
dapat diperbaiki, kurangnya kepastian ilmiah yang memadai semestinya tidak
menjadi alasan untuk menunda langkah-langkah yang efektif untuk mencegah
penurunan kualitas lingkungan”.
a. adanya threats atau ancaman karena suatu kegiatan yang berpotensi bahaya
(potentially dangerous action);
b. ketidakpastian ilmiah (before scientific proof established);
c. adanya tindakan untuk membatasi, mengatur, atau mencegah; dan
d. sifat wajib dari tindakan tersebut (mandatory).
Adapun dari sekian rumusan yang ada tentang penerapan pendekatan kehati-
hatian, secara umum batasan pengertiannya mengerucut pada tiga hal, yaitu: sifat
ancaman kerusakan lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan
(irreversible); terdapat ketidakpastian ilmiah (scientifc uncertainty); dan perlunya
preventif, mencakup upaya pencegahan hingga biaya-biaya yang mendukung
penanganan secara efektif (cost efectiveness).22
93
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
24 C Weiss, Defining Precaution. (Environment, 2007, Vol 49. No. 8), hlm. 36–39.
25 P. Sandin, The Precautionary Principle and the Concept of Precaution. (Environmental Values,
2006 No. 13), hlm. 461–467.
26 M. Karlsson, The Precautionary Principle, Swedish Chemicals Policy and Sustainable Development.
(Journal of Risk Research, 2006, No. 9), hlm. 337–360
27 L. Levidow, Precautionary Uncertainty: Regulating GM Crops in Europe. (Social Studies of Sci-
ence, 2001, No. 31), hlm. 842–874.
28 Anne Ingeborg Myhr & T. Traavik, Sustainable Development and Norwegian Genetic Engineering
Regulations: Applications, Impacts and Challenges. (Journal of Agricultural and Environmental
Ethics, 2003, No. 16), hlm. 317–335
94
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
risiko bahaya atau dampak negatif. Ketika sebuah aktivitas usaha berpotensi
menimbulkan ancaman bahaya pada kesehatan manusia atau lingkungan,
pendekatan kehati-hatian wajib diterapkan meskipun penyebab dari ancaman
bahaya maupun kausalitasnya tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.29
Poin yang tertera pada bahasan di atas cukup krusial karena uncertainty
atau ketidakpastian, terlebih pada komersialisasi genetik, dapat terjadi karena (i)
novelty atau kebaruan dari aktivitas penerapannya bioteknologi,34 atau (ii) tidak
lengkapnya deskripsi dari mekanisme atau proses yang ada. Lebih lengkapnya,
terkait dengan OHMG, ketidakpastian menjadi sangat relevan jika dikaitkan pada
aspek-aspek sebagai berikut:35
95
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
36 Isitlah transgenik yang berasal dari trans-genetic, merupakan istilah populer yang disemat-
kan pada OHMG. Istilah OHMG sendiri merupakan istilah legal formal yang diadopsi oleh
Indonesia untuk menterjemahkan LMOs yang tercantum dalam Protocol Cartagena.
37 Gaskell, et.al, (2006).Op. Cit. Hlm. 8
38 Ibid. Di Indonesia, ornop memberi perhatian dalam organisme transgenik memiliki kecend-
erungan yang sama, yaitu skeptisme dan sekaligus “penolakan” terhadap produk transge-
nik. Memang yang menjadi permasalahan adalah isu ini masih menjadi isu minor di negara
berkembang seperti Indonesia.
96
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
39 Perbedaan tingkat kepahaman publik sangat berbeda antara negara maju dengan negara
berkembang. Isu ini juga menjadi alasan mendesaknya suatu konsep besar dalam kerangka
pengaturan OHMG di Indonesia.
40 I. De Melo-Martin & Z. Meghani, Beyond Risk. (EMBO Reports, 2008 No. 9), hlm. 302–308.
Dapat diunduh pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/journals/118/
41 Dalam tulisannya, Andow menyinggung tentang perubahan aspek dalam penilaian risiko
atas tanaman transgenik. Utamanya diperluas dari sekedar non-target species, hingga ke
local environment. Perluasan dalam environmental assessment ini sendiri menimbulkan di
antara akademisi. Lihat D. A Andow & C Zwahlen, Assessing Environmental Risks of Trans-
genic Plants. (Ecological Letters, 2006, 9: 196–214), hlm. 197-198.
42 Anne Ingeborg Myhr, (2010). Op. Cit. Hlm. 505
43 Ibid.
97
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
Meskipun demikian, kriteria apa yang dapat diterima sebagai bukti ilmiah
untuk dasar penerapan precautionary approach ini belum dibedakan dan didefinisikan
secara tegas. Sebagai contoh pada Pasal 15 ayat (1) Protokol Cartagena disebutkan
bahwa:
98
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
46 Ibid.
47 CEC, European Council Directive 2001/18/EC, http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/
TXT/?uri=celex%3A32001L0018
48 CEC, Communication From the Commission on the Precautionary Principle, 2000, http://europa.
eu.int/comm/dgs/health_consumer/library/pub/pub07_en.pdf
49 Article 10 the Cartagena Protocol on Biosafety
99
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
yang potensial, yang sekaligus merefleksikan sebuah kesadaran bahwa tidak cukup
hanya pada kuantitas dari informasi ilmiah saja, tapi juga kualitas informasi ilmiah
yang perlu diperhatikan dalam penilaian suatu risiko. Penafsiran dalam Pasal 10
Protokol Cartagena ini juga nampak pada komunikasi EC tentang prinsip kehati-
hatian50 dan laporan dari UNESCO51 yang sama-sama menekankan pentingnya
kuantitas dan kualitas dari informasi ilmiah. Pada konteks ini, penerapan
pendekatan kehati-hatian tidak hanya ditentukan oleh jumlah informasi yang ada,
namun juga macam kepahaman ilmiah yang sudah diketahui tentang suatu risiko
bahaya dan adakah kekurangan dari informasi tersebut.
Meskipun pada tataran teoretis dan regulatif sudah cukup jelas dan tegas,
pada kenyataan di lapangan, peran prinsip kehati-hatian ini dalam penilaian risiko
dan pengelolaan OHMG menjadi satu obyek perdebatan dan kontroversi publik
yang sangat panas. Dari pihak yang menolak, beralasan bahwa penerapan prinsip
kehati-hatian menambah beban penaatan hukum dalam penggunaan OHMG,
sehingga mengurangi kemanfaatan inovasi, membatasai pemanfaatannya secara
50 Ibid.
51 UNESCO COMEST, The Precautionary Principle, (Paris, 2005) http://unesdoc.unesco.org/
images/0013/001395/139578e.pdf
100
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Pendapat lain juga menyatakan bahwa tidak ada satupun definisi dari prinsip
kehati-hatian yang menjelaskan secara spesifik dari intervensi yang diperlukan
serta tidak memperhatikan aspek keseimbangan antara risiko dengan manfaat
yang ada,53 sebagaimana juga kurangnya pendekatan untuk identifikasi risiko
yang muncul dari kebijakan pajak impor yang ada dan kemungkinan menjadi
penghambat bisnis dalam hal prinsip kehati-hatian diterapkan.54 Lebih lanjut
lagi, prinsip kehati-hatian semestinya tidak diterapkan pada proses pengambilan
keputusan (decision-making) karena adanya metode ilmiah kredibel (sound scientific
methods) yang menawarkan dasar yang sangat tepat dan hati-hati dalam pemberian
informasi ke pengambil keputusan.55
52 J. Morris, The Relationships Between Risk Analysis and the Precautionary Principle. (Toxicology,
2002) hlm 181–182.
53 C. Weiss, (2007). Op. Cit. Hlm. 36-39.
54 J. D Graham, & J. B Wiener. The Precautionary Principle and Risk-Risk Tradeoffs: A Comment.
(Journal of Risk Research, 2008 No. 11), hlm. 465–474
55 D. M.,Byrd & R. Cothern, Introduction to Risk Analysis. A Systematic Approach to Science-Based
Decision Making. (Rockville US: MD Government Institutes, 2000). Hlm. 25-27.
56 P. Sandin., (2006). Op.Cit.Hlm 465
57 Starling,, Risk, Precaution and Science: Towards a More Constructive Policy Debate. (EMBO Re-
ports, 2007, Edition 8), hlm. 309–315.
58 Wickson, F., Gillund, F. and Myhr, A. I. Treating Nanoparticles with Precaution: The Impor-
tance of Recognising Qualitative Uncertainty in Scientific Risk Assessment. dalam K. Kjølberg, F.
Wickson (Eds.). Nano Meets Macro, Social Perspectives on Nanoscience and Nanotechnology. (US:
Stanford Publishing., 2010), hlm. 176-179
101
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
102
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Satu hal yang cukup menjadi hambatan dalam penerapan pendekatan kehati-
hatian ini adalah menentukan beban pembuktian dan sekaligus beban tanggung
jawab dari masing-masing pihak. Sebagai contoh, bagaimana dapat diyakinkan
bahwa pengembang OHMG telah mengikuti prioritas prosedur penelitian
yang ketat untuk mencegah dan mendeteksi adanya efek berbahaya?62 Pada
perkembangan saat ini, penerapan tanggung jawab (liability) atau jaminan finansial
berbarengan dengan persetujuan bersyarat dan uji coba skala luas dapat menjadi
sarana untuk menjamin adanya tanggung jawab dari pengembang OHMG.
Pembebanan tanggung jawab juga dapat ditambah dengan penilaian keamanan
OHMG oleh tim ahli, yang mengharuskan pengembang OHMG untuk melakukan
uji coba dan menunjukkan hasilnya ke komite ahli, atau mengharuskan untuk
melakukan uji coba pada lembaga akademis yang terakreditasi.63
103
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
104
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
pemahaman terhadap bahaya dan ancaman bahaya serta nilai dari biodiversitas
harus didasarkan pada konteks biologi dan sekaligus etis.
Pemerintah pada konteks ini perlu menempatkan dirinya sebagai pihak yang
bertugas untuk menerjemahkan informasi tentang ketidakpastian melalui artikulasi
dari pertimbangan-pertimbangan normatif sehingga dapat menghasilkan satu
pilihan kebijakan dan proteksi yang dibutuhkan.66 Dengan catatan bahwa jaminan
atas kuantitas dan kualitas informasi, sebagaimana jaminan atas akses informasi
bagi publik diakomodasi dengan baik oleh Pemerintah.
V. Kesimpulan
65 Dengan adanya ego sektoral yang masih cukup tinggi, perlu suatu keterpaduan dari as-
pek sistem regulasi dan peraturan sehingga kajian penilaian risiko dan strategi manajemen
terhadap komersialisasi genetika didasarkan pada satu kerangka spesifik, yang meliputi
standar-standar normatif dan pertimbangan tentang pengaruhnya terhadap lingkungan.
66 R. Von Schomberg,. The Precautionary Principle and its Normative Challenges. dalam Chapter
2 dari E. Fisher, et al. (Eds.), Implementing the Precautionary Principle: Perspetives and
Prospects. (UK: Cheltenham, 2006), hlm. 19–42
105
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
pertanian hasil rekayasa genetika,67 masih diperlukan fasilitasi untuk diskusi yang
lebih luas untuk dapat memetakan implikasi sosial, etis, dan legal dari aspek-aspek
risiko yang mungkin timbul dari introdusir OHMG maupun bentuk komersialisasi
genetika lainnya.
Untuk menjembatani diskursus terkait aspek risiko dari OHMG ini, perlu
adanya identifikasi terhadap (i) ancaman terhadap keanekaragaman hayati seperti
apa yang dianggap dapat diterima (acceptable) atau tidak, (ii) instrumen apa yang
diperlukan untuk mencapai level perlindungan yang diharapkan, (iii) adakah
dan data dasar apa yang dapat diterapkan sebagai pembanding dari bahaya atau
ancaman bahaya yang diperkirakan, (iv) capaian normatif yang dituju untuk
mengukur dampak dari OHMG, dan (v) implikasi sosio-kultural yang semestinya
dihindari.
106
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
107
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
DAFTAR PUSTAKA
De Melo-Martin, I., & Meghani, Z., 2008. Beyond Risk. EMBO Reports, 9, 302–308.
EEA: European Environment Agency. 2002. Late Lessons from Early Warnings: The
Precautionary Principle 1896–2000, http://reports.eea.eu.int/environmen-
tal_issue_ report_2001_22/
Gaskell, G. et.al., 2006. Europeans and Biotechnology in 2005: Pattern and Trends, Eu-
robarometer 64. 3, Brussels: European Commission D-G Research.
Graham, J. D., & Wiener, J. B. 2008, The Precautionary Principle and Risk-Risk Trad-
eoffs: A Comment. Journal of Risk Research, 11, 465–474
Insist. 2008, Politik Pangan: Perlu Perubahan Paradigma. Yogyakarta: Penerbit INSIST,
Karlsson, M., 2006. The Precautionary Principle, Swedish Chemicals Policy and Sustain-
able Development. Journal of Risk Research (2006), 9, 337–360
Kriebel, D., Tickner, J., Epstein, P., Lemons, J., Levins, R., Loechler, E. L., et al., 2001.
The Precautionary Principle in Environmental Science. Environmental Health
Perspectives, 109, 871–876
Levidow, L. 2001, Precautionary Uncertainty: Regulating GM Crops in Europe. Social
Studies of Science, 31, 842–874.
Morris, J. 2002, The Relationships Between Risk Analysis and the Precautionary Prin-
ciple. Toxicology, 181–182, 127–130
108
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Myhr, A. I., & Traavik, T. 2003, Sustainable Development and Norwegian Genetic En-
gineering Regulations: Applications, Impacts and Challenges. Journal of Agricul-
tural and Environmental Ethics, 16, 317–335
Myhr, Anne Ingeborg, 2010. A Precautionary Approach to Genetically Modified Organ-
isms: Challenges and Implications for Policy and Science, Journal of Agriculture
and Environment Ethics (2010) 23:501–525.
Nielsen, K. M., & Myhr, A. I. 2007. Understanding the Uncertainties Arising from Tech-
nological Inventions in Complex Biological Systems: The Case of GMOs. dalam
T. Traavik & L. C. Lim (Eds.), Biosafety Frst: Holistic Approaches to Risk and
Uncertainty in Genetic Engineering and Genetically Modified Organisms. Trond-
heim: Tapir Academic Press.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014. Buletin Konsumsi Pangan Vol-
ume 5 No. 1 Tahun 2014.
Rio Declaration on the Environment and Development 1992
Sands, Phillipe, 2003, Principles of International Environmental Law: Second Edition,
UK: Cambridge University Press,
Saunders, Peter T., 2000. Use and Abuse of Precautionary Approach. Article on the ISIS
submission to US Advisory Committee on International Economic Policy
(ACIEP) Biotech. Working Group, July 13, 2000.
Sandin, Per. 1999, Dimensions of the Precautionary Principle, Human and Eco-
logical Risk Assessment: An International Journal, 5:5, 889-907,
DOI:10.1080/10807039991289185
----------, 2002, The Precautionary Principle: From Theory to Practice, Stockholm: Mis-
tra,
----------, 2004. The Precautionary Principle and the Concept of Precaution. Environmen-
tal Values, 13, 461–475.
The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing
of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity.
The United Nations Convention on the Biological Diversity 1992
UNESCO COMEST. 2005. The Precautionary Principle, http://unesdoc.unesco.org/
images/ 0012/001395/139578e.pdf
Weiss, C. 2007. Defining Precaution. Environment, 49.8, 36–39.
109
SIGNIFIKANSI PENDEKATAN KEHATI-HATIAN DALAM PENGATURAN ORGANISME...
Wickson, F., Gillund, F. and Myhr, A. I. 2010, Treating Nanoparticles with Precaution:
The Importance of Recognising Qualitative Uncertainty in Scientific Risk Assess-
ment. dalam K. Kjølberg, F. Wickson (Eds.). 2010, Nano Meets Macro, Social
Perspectives on Nanoscience and Nanotechnology. Pan Stanford Publishing.
Von Schomberg, R. 2006, The Precautionary Principle and its Normative Challenges.
dalam Chapter 2 dari E. Fisher, et al. (Eds.), 2006, Implementing the Precaution-
ary Principle: Perspetives and Prospects. UK: Cheltenham.
110
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Abstrak
Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/PCA)
baru-baru ini untuk penyelesaian sengketa maritim di Laut China Selatan antara
China (Tiongkok) dengan Filipina telah menunjukan bahwa semakin pentingnya
penyelesaian sengketa melalui badan peradilan internasional. Walaupun putusan
ini sulit untuk dieksekusi, namun peran peradilan internasional tetap menjadi
pilihan yang penting di masa mendatang. Di sisi lain jalur diplomasi masih tetap
dilakukan baik sebelum sengketa, masa sengketa maupun berakhirnya sengketa.
Sengketa maritim terkait lingkungan hidup yang selama ini disidangkan dan
diputuskan di beberapa peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional
(International Court of Justice/ICJ), Studi ini mencoba untuk mendeskripsikan kasus
lingkungan hidup maritim melalui jalur diplomasi dan peradilan internasional
sehingga mampu memberikan hasil yang bermanfaat bagi pengembangan hukum
dan hubungan internasional. Kesimpulan menunjukan bahwa diplomasi dan
putusan peradilan internasional telah memberikan dasar dan petunjuk hukum
bagi negara-negara dan aktor bukan negara dalam hubungan internasional.
111
ANDREAS PRAMUDIANTO
Abstract
The Permanent Court of Arbitration (PCA) decision for maritime dispute resolution
in the South China Sea between China and the Philippines has shown that the importance
of dispute resolution through the international judiciary. Although this decision is difficult
to execute, the role of international justice remains an important choice in the future. On
the other hand the diplomatic pathway is still done well before, at the time or the end of the
dispute. The related environmental maritime disputes that have been tried and decided in
several international courts such as the International Court of Justice (ICJ), This study
attempts to describe maritime environmental cases through international diplomatic and
judicial channels so as to provide useful outcomes for the development of international law
and international relations. A provisional conclusion shows that international judicial and
diplomacy have provided the legal basis and legal guidance.
I. Pendahuluan
2 Pengaruh putusan PCA ini mulai dirasakan baru-baru ini dimana Philipina mengganti
nama Laut China Selatan menjadi Laut Filipina Barat (Philipina) dan Indonesia mengganti
menjadi Laut Natuna Utara (Indonesia) yang kemudian diprotes oleh China, dalam http://
ekonomi.kompas.com/read/2017/07/16/113255326/beijing-protes-indonesia-ubah-laut-
china-selatan-jadi-laut-natuna, diunduh pada 28 Juli 2017.
112
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
ini ternyata mampu meredakan ketegangan antara China dengan Filipina yang
awalnya bersikeras akan menggunakan senjata. Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup internasional terkait maritim (international environmental maritime dispute
resolution) merupakan salah satu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih
dalam dalam studi hukum internasional maupun hubungan internasional.
Melalui artikel yang sangat terbatas ini berbagai cara penyelesaian sengketa
maritim telah dilakukan dan dalam prakteknya telah mampu memberikan
peredaan ketegangan (détente) dalam hubungan internasional bagi negara-negara
bersengketa maupun negara-negara sekitarnya. Pada artikel ini akan dijelaskan
mengenai sengketa maritim lintas batas negara (transboundary) yang dimunculkan
oleh negara-negara bersengketa melalui sengketa secara damai baik jalur diplomasi
maupun pendayagunaan beberapa badan peradilan internasional. Beberapa kasus
untuk pembelajaran yang dibangun dalam artikel ini diantaranya kasus Behring Sea
3 ICJ Communique 93/20, 19 Juli 1993. Kamar Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
(Chamber of Environmental Disputte Settlement) terdiri atas 7 orang hakim yaitu Schwebel,
Bedjaoui, Evensen, Shahabudeen, Weeramantry, Ranjeva dan Herczegh. Tugas dari kamar
ini akan berlaku efektif sejak tanggal 6 Agustus 1993 seperti dalam Sands, P. 1993. Greening
International Law, Earthscan Publications Ltd, London. hlm xix dan hlm. 171.
113
ANDREAS PRAMUDIANTO
Fur (1893), kasus the Trial Smelter (1941), kasus the Corfu Chanel (1948) kasus The
Sunrise Artic (2013), kasus Laut China Selatan (2016) dan beberapa kasus lainnya
yang bermanfaat bagi pengembangan hukum internasional khususnya hukum
lingkungan internasional.
4 Anton, Donald K et al, International Law : Cases and Materials, Oxford University Press,
2005, hlm 41.
5 Ibid
6 Pernyataan ini ditegaskan dalam Pasal 26 Statuta Mahkamah Internasional dimana hanya
negara yang boleh berperkara di hadapan Mahkamah.
114
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
7 JG Starke, Introduction to International Law diterjemahkan oleh Sumitro L.S. Danuredjo, Pen-
gantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta: 1989, hal.171. Bandingkan
dengan karya J.L. Brier ly, atau para pengarang Indonesia seperti Wiryono Projodikoro, Ali
Sostroamidjoyo.
8 Misalnya dalam kasus peledakan senjata nuklir oleh Perancis dimana Australia merasa
dirugikan karena wilayah udaranya tercemar. Australia kemudian melakukan tindakan
boikot terhadap barang-barang Perancis. Hal ini merupakan salah satu penggunaan secara
paksa terhadap penyelesaian sengketa. Lihat selanjutnya Starke, op.cit., hlm 203.
9 J.G. Merrills. International Disuputte Settllement disadur oleh Achmad Faudzan, Penyelesaian
Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung: 1986, hlm 1.
115
ANDREAS PRAMUDIANTO
kapal Inggris10. Tetapi Amerika Serikat menyatakan bahwa jurisdiksi itu diperluas
untuk melindungi anjing laut dari perburuan kapal-kapal Inggris. Selain itu
sengketa dapat timbul karena diperlukan penegasan hak jurisdiksi khususnya kata
Pacific Ocean seperti pada perjanjian tahun 1825 antara Inggris dengan Russia. 11
116
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
tidak segera diselesaikan. Sebagai contoh dalam The Trial Smelter Case (1941) (USA
v Canada), suatu pabrik peleburan tembaga (smelter) di Trial, British Colombia,
Kanada telah menimbulkan pencemaran udara dan merusak tanaman serta
menimbulkan gangguan kesehatan pada penduduk yang berada di 7 wilayah
negara bagian Washington (Amerika Serikat) sehingga menimbulkan konflik antar
negara. Timbulnya konflik ini dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi dan
arbitrase yang pada intinya harus disepakati oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Diplomasi ditempuh diantaranya melalui surat diplomatik15 dan proses negosiasi
yang akhirnya disepakati oleh Amerika Serikat dan Kanada melalui pembentukan
arbitrasi yang akhirnya pada 15 April 1935 ditandatangani Convention for the Final
Settlement of the Difficulties Arising throught the Complaints of Damage Done in the
States of Washington by Fumes Discharged from the Smelter of the Consolidated Mining
and Smelting Company, Trial British Columbia. Banyak model penyelesaian sengketa
internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek. Tahun 1907
pernah ditandatangani Hague Convention on the Pacific Settlement of International
Disputes. Mengenai penyelesaian sengketa secara damai, Starke membagi menjadi
4 model yaitu :16
a. Arbitrasi
b. Penyelesaian yudisial
c. Perundingan, jasa-jasa baik, perantaraan, pendamaian atau penyelidikan.
d. Penyelesaian di bawah PBB
117
ANDREAS PRAMUDIANTO
“States shall resolve all their environment disputes peacefully and by appropriate
means in accordance with the Charter of the United Nations.”
18 Merrills kemudian membagi lagi menjadi dua kelompok yaitu penyelesaian diplomatik
yang terdiri dari negosiasi, mediasi, penyelidikan, konsiliasi dan penyelesaian hukum yang
terdiri dari arbitrasi dan penyelesaian yudisial. Merrills. op.cit., hlm. 72.
19 Mengenai masalah soft law baca selanjutnya Andreas Pramudianto, Soft Law Dalam Perkem-
bangan Hukum Lingkungan Internasional dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIII No. 4
Oktober 1995.
118
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
20 Oxford English Dictionary dalam Jonsson, Crister dan Karin Aggestam. “Diplomacy and
Conflict Resolution”, Prepared for the NISA conference on “Power, Vision and Order in World
Politics”, Odense, 23-25 May, 2007.
21 Lihat Huala Adolf, 2004, Umunadi, Ejiwoke Kennedy, 2011, http://www.unwater-
coursesconvention.org/the-convention/,
22 Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa, Tanpa Penerbit”. Diakses melalui http://blog.
ub.ac.id/devitrirahayu/files/2012/03/3-HUKUM-PENYELESAIAN-SENGKETA-INTER-
NASIONAL1.pdf
119
ANDREAS PRAMUDIANTO
a. Arbitrasi (Perwasitan)
Arbitrasi adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga
(badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela
untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat
final dan mengikat.24 Beberapa istilah yang hampir mirip dan bermakna sama
diantaranya Tribunal Claim dan Panel. Penyelesaian sengketa melalui arbitrasi
sudah dikenal dalam sejarah hukum internasional.25 Setelah dua abad lebih
jarang digunakan, Amerika Serikat dan Inggris melalui Traktat Jay tahun 1794
memperkenalkan kembali cara arbitrase dengan pembentukan 3 komisi gabungan
yang dipimpin oleh seorang wasit (arbitator).26 Keberhasilan lembaga ini dalam
menyelesaikan Alabama Claims Award (1872) telah membangkitkan kembali
berbagai lembaga arbitrasi. Arbitrasi dapat dibentuk dengan mendasarkan pada
penyerahan penyelesaian sengketa kepada pihak-pihak tertentu yang disebut
23 Lihat Louis Henkin, International Law: Cases and Materials, St. Paul: West Publ., 3rd.ed., 1991
dan D.J. Harris, Cases and Materials on International Law , London: Sweet and Maxwell,
4th.ed., 1991, hlm. 173 dan 182.
24 Definisi ini dinyatakan oleh Huala Adolf (2004) dan lebih menekankan pada sifat hukum
internasional publik.
25 Lembaga arbitrasi sudah dikenal pada zaman Yunani Kuno. Pada saat itu banyak kasus-ka-
sus yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup seperti sengketa-sengketa mengenai
sumber-sumber perairan, hak-hak atas sungai sudah ditangani melalui lembaga arbitrasi.
Lihat Nussbaum dan Sam Suhaedi, Sedjarah Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung: 1969,
Hlm 9.
26 Lihat selanjutnya Starke., op.cit., hlm 171-173.
120
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
sebagai arbitrator. Arbitrator ini dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang
bersengketa. Penunjukan suatu komisi atau perorangan dari warga negara masing-
masing pihak ditambah dengan pihak netral merupakan cara yang umum dipakai.
Dapat juga dibentuk arbitrator tunggal yang berasal dari negara netral. Beberapa
contoh kasus yang menggunakan arbitrasi dalam sengketa lingkungan hidup
maritim adalah Behring Sea Arbitration (1893) (USA v Great Britain), Palma (Miangas)
Case (US v. Netherland).
b. Negosiasi
Jika timbul kasus antar negara, maka wakil-wakil diplomatik atau lembaga
pemerintah yang berkepentingan dipertemukan dalam suatu perundingan. Jika
negara yang bersengketa menolak untuk melakukan perundingan atau pertemuan
dalam satu meja, maka negosiasi dapat mengalami kegagalan atau gagal sama
sekali. Resiko kegagalan melalui negosiasi sangat besar karena biasanya hanya
melibatkan negara-negara yang bersengketa dan tidak melibatkan pihak ketiga.
Dalam Fisheries Jurisdiction Case, Mahkamah Internasional telah menyatakan
bahwa negosiasi merupakan metode yang cocok untuk menerapkannya dalam
kasus ini. 27
c. Mediasi
Jika negosiasi mengalami kegagalan maka dapat dilakukan mediasi. Mediasi
umumnya melibatkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator. Namun
hal ini tergantung dari kemauan pihak-pihak yang bersengketa melalui suatu
persetujuan tertentu. Mediator biasanya bertindak lebih aktif dengan menawarkan
atau mengajukan proposal pada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam kasus
Indus Water Case (India v Pakistan) tentang sengketa pengalihan arus sungai Indus,
International Bank for Reconstructure and Development (IBRD\World Bank) pernah
memainkan peran sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa perairan Indus
di tahun 1961.28
d. Badan-badan internasional
Badan-badan internasional seperti badan-badan PBB dan Masyarakat Eropa,
aktif terlibat dalam penyelesaian sengketa yang menyangkut masalah lingkungan
hidup maritim. Bahkan kadang-kadang badan ini menjembatani sengketa yang
121
ANDREAS PRAMUDIANTO
timbul diantara negara-negara. Seperti kasus perairan Indus dimana peran IBRD/
World Bank cukup efektif dalam menjembatani masalah yang timbul antara Pakistan
dan India. Dalam Chorfu Channel Case, Dewan Keamanan awalnya menempuh
proses diplomatik diantaranya memanggil Albania yang kemudian membentuk
komite untuk penyelidikan bukti-bukti mengenai timbulnya sengketa tersebut
melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 19 (1947) tertanggal 27 Februari
1947.29 Setelah melalui jalur diplomatik yang gagal dicapai kesepakatan, maka
akhirnya melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S 324 tertanggal 9 April
1947 meminta kepada Albania dan Inggris untuk segera menyelesaikan kasusnya
melalui Mahkamah Internasional (ICJ).30
Selama ini ada beberapa keputusan para hakim yang dijadikan pedoman
dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup maritim diantaranya the Corfu
Chanel Case, 1948 (United Kingdom v. Albania), Anglo Norwegian Fisheries Case (UK
v. Norway), 1951, Case 3 : Southern Bluefin Tuna Case (New Zealand v. Japan) Case 4 :
Southern Bluefin Tuna Case (Australia v. Japan), Gulf of Maine Case (USA v. Canada)
1984, Whaling in the Antarctic (Australia v. Japan: New Zealand intervening), 2010 dan
beberapa kasus lainnya. Walaupun bukan merupakan kasus lingkungan hidup an
sich, akan tetapi dapat diterapkan dalam penyelesaian persoalan lingkungan hidup
maritim khususnya kasus yang menyangkut lintas batas negara atau pengelolaan
sumberdaya alam di lingkungan laut.
122
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Beberapa contoh putusan hakim baik dalam perkara yang diadili melalui
badan peradilan internasional maupun pengadilan nasional :
123
ANDREAS PRAMUDIANTO
Continental Shelf between Nicaragua and Colombia beyond 200 nautical miles from
the Nicaraguan Coast (Nicaragua v. Colombia), 2013 Maritime Delimitation in the
Black Sea (Romania v. Ukraine), 2004, Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau
Sipadan (Indonesia/Malaysia), 1998 Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia)
1997, Fisheries Jurisdiction (Spain v. Canada) 1995 Oil Platforms (Islamic Republic
of Iran v. United States of America), 1992 Continental Shelf (Libyan Arab Jamahiri-
ya/Malta), 1982, Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area
(Canada/United States of America), 1981 Continental Shelf (Tunisia/Libyan Arab
Jamahiriya), 1978, Aegean Sea Continental Shelf (Greece v. Turkey), 1976, Fisher-
ies Jurisdiction (Federal Republic of Germany v. Iceland) 1972 Fisheries Jurisdiction
(United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland v. Iceland), 1972, North
Sea Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Netherlands) 1967, North Sea
Continental Shelf (Federal Republic of Germany/Denmark), 1967 Antarctica (United
Kingdom v. Chile), 1955, Antarctica (United Kingdom v. Argentina), 1955
124
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
125
ANDREAS PRAMUDIANTO
Fisheries Commission (SRFC) tahun 2015. Case No. 22 : The “Artic Sunrise” Case
(Kingdom of the Netherlands v. Russian Federation) tahun 2013.
“65. Impact of crimes may be as sessed in light of, inter alia, the sufferings
endured by the victims and their increased vulnerability; the terror
subsequently instilled,or the social, economic and environmental damage
inflicted on the affected communities
31 “International Tribunal Law of the Sea Year 2013 : List of cases No : 22” dalam https://www.
itlos.org/fileadmin/itlos/documents/cases/case_no.22/Order/C22_Ord_22_11_2013_
orig_Eng.pdf dan PCA Case No. 2014-02 dalam http://www.pcacases.com/web/sendAt-
tach/1325 , diunduh pada 28 Juli 2017
126
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
32 Sebagian tulisan ini diambil dari Andreas Pramudianto, Hukum Lingkungan Internasional, CV
Rajawali: Jakarta, 2017, hlm. 181-182
33 Ibid, hlm. 183-184.
34 .
Optional Rules for Arbitrating Disputes between Two States tertanggal 20 Oktober 1992.
127
ANDREAS PRAMUDIANTO
PCA Case No. 2013-14 : Arbitration under the Timor Sea Treaty (Timor Leste v.
Australia). Berdasarkan Annex VII UNCLOS 1982, 4 Oktober 2013, Pemerintah
Kerajaan Belanda mengajukan sengketa melawan Pemerintah Federasi Russia
mengenai sengketa kapal Greenpeace “Artic Sunrise”. Sengketa berkenaan
dengan penumpang, perampasan dan penahanan awak kapal maupun kapal
milik Greenpeace oleh pemerintah Russia pada waktu ditangkap di Zona
Ekonomi Ekslusif. Sengketa kemudian diajukan ke Mahkamah Arbitrase
Permanen (PCA) dengan registrasi PCA Case No. 2014-02 : The Artic Sunrise
Arbitration (Netherlands v. Russia).
Dalam sengketa Laut Cina Selatan atau In the Matter of South China Sea
Arbitration, PCA Case No. 2013-19 12 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen
telah memutuskan perkara ini yang walaupun perkara ini menyangkut
masalah kemananan, namun salah satu putusannya juga menyinggung
masalah lingkungan hidup maritim khususnya terumbu karang yang rusak
akibat pembangunan pelabuhan di pulau dan karang Laut Cina Selatan.
Seperti dinyatakan dalam putusannya :
128
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
35 Rebasti, E dan Luisa Vieruci. “A Legal Status for NGO in Contemporary International Law?”
Paper in Workshop Legal for NGO in Contemporary International Law : A Contributuon to the
Debate on “Non State Actors” and Public International Law at the Beginning of the Twenty-First
Century, European University Institute (EUI) of Florence on 15-16 November 2002.
36 http://legal.un.org/riaa/cases/vol_XX/215-284.pdf. Lihat juga Andreas Pramudiantio loc.
cit.
37 Borzel, Tanja A dan Thomas Risse. The Oxford Handbook Comparative Regionalism, Ox-
ford University Press, 2016, hlm. 545. Lihat juga Andreas Pramudianto, loc.cit.
129
ANDREAS PRAMUDIANTO
Canada (1999) yang mendorong agar para pihak taat pada aturan lingkungan
hidup (compliance regulation) domestik. Dalam S.D Mayers.Inc v. Canada
sengketa antara Amerika Serikat dengan Kanada mengenai pembuangan
limbah PCB berdasarkan Basel Convention 1989 juga telah diputuskan.38
130
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Kasus dalam World Trade Organization (WTO) sekarang ini seperti dalam
WTO Appellate Body yang pernah menangani sengketa perdagangan terkait
lingkungan hidup maritim seperti dalam putusannya United States – Import
Prohibition of Certain Shrim and Shrimp Product (1998) antara USA dengan
negara-negara Asia.
41 Ibid
42 “Asian Judges : Green Court and Tribunal, and Environmental Justice” dalam Law and
Policy Reform Brief No. 1 April 2010 dalam https://www.adb.org/sites/default/files/
publication/27654/2010-brief-01-asian-judges.pdf, diunduh pada 28 Juli 2017
131
ANDREAS PRAMUDIANTO
132
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
V. Penutup
Kesimpulan dari artikel ini telah menunjukan bahwa diplomasi dan putusan
peradilan internasional mampu memberikan dasar hukum dan petunjuk hukum
bagi negara-negara dan aktor bukan negara dalam hubungan internasional. Salah
satu putusan peradilan internasional khususnya Permanent Court Arbitration (PCA)
Case No. 2013-19 in the matter of the South China Sea Arbitration (The Republic of Philipines
v. The People Republic of China) telah memperkuat status hukum internasional
suatu ekosistem khususnya perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang di
wilayah Laut China Selatan. Selain itu penegakan prinsip-prinsip perlindungan
lingkungan hidup maritim juga menjadi penting. Di sisi lain, pentingnya
pengembangan kelembagaan dalam hukum internasional juga perlu diperhatikan.
Pembentukan kelembagaan untuk penyelesaian sengketa seperti komisi bersama
(joint commission) atau semacam komisi penyelidik (Security Council sub committee)
menjadi penting dalam penyelesaian kasus the Trial Smelter Case (1941) dan the
Corfu Chanel Case (1948). Dalam International Tribunal Law of the Sea (ITLOS) Case
No. 22 : The “Artic Sunrise” Case (Kingdom of the Netherlands v. Russian Federation)
tahun 2013 berperannya Greenpeace sebagai salah satu NGO internasional yang
merupakan entitas bukan subjek hukum internasional bertindak sebagai amicus
curiae di peradilan internasional (ITLOS dan PCA) menjadi sangat penting dalam
kerangka pengembangan hukum internasional khususnya hukum lingkungan
internasional. Walaupun dalam dua peradilan ini, Greenpeace telah ditolak,
namun akan menjadi pembelajaran di kemudian hari. Berbagai kasus lingkungan
133
ANDREAS PRAMUDIANTO
hidup maritim tersebut yang muncul sesungguhnya tidak terlepas dalam berbagai
kepentingan khususnya kepentingan nasional yang dapat berbenturan dengan
kepentingan nasional lainnya atau bahkan kepentingan global internasional.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kementerian Luar Negeri Cina dalam kasus
Laut China Selatan yang mengatakan bahwa negara Tiongkok adalah yang
pertama kali menemukan dan mengeksploitasi pulau-pulau di Laut Cina Selatan,
“sehingga memiliki kedaulatan teritorial serta hak dan kepentingan”. Pernyataan
ini tentu menjadi alasan sengketa bagi negara lain yang memiliki kepentingan
yang sama, sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan dapat menimbulkan
tindakan kekerasan yang sesungguhnya tidak menyelesaikan sengketa, bahkan
menimbulkan masalah baru. Karena itu penyelesaian sengketa maritim melalui
diplomasi dan peradilan internasional menjadi sangat penting dalam kerangka
peredaan ketegangan (détente) hubungan bilateral, regional maupun multilateral.
134
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
II. Makalah
135
ANDREAS PRAMUDIANTO
Rebasti, E dan Luisa Vieruci. 2002. A Legal Status for NGO in Contemporary
International Law ? Paper in Workshop Legal for NGO in Contemporary
International Law : A Contributuon to the Debate on “Non State Actors”
and Public International Law at the Beginning of the Twenty-First Century,
European University Institute (EUI) of Florence on 15-16 November 2002.
Cooper, Catherine A. 1986. The Management of International Environmental Dispute
in the Context of Canada-United States Relations : A Survey and Evaluation of
Techniques and Mechanisms dalam Canadian Year Book of International Law,
University of British Columbia Press.
Desai, Bharat. 1993. The Bhopal Gas Leak Disaster Litigation: An Overview dalam Asian
Year Book of International Law, Martinus Nijhoff, Amsterdam.
Jonsson, Crister dan Karin Aggestam. 2007. Diplomacy and Conflict Resolution,
Prepared for the NISA conference on “Power, Vision and Order in World
Politics”, Odense
Keith A Muray.1972. The Trial Smelter Case : International Air Pollution in the
Columbia Valley dalam http : www. ojs.library.ubc.ca
Ospina, E Valencia.1993. The International Court of Justice and International
Environmental Law dalam Asian Year Book of International Law, Martinus
Nijhoff, Amsterdam.
Pramudianto, A. 1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional
dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIII Nomor 4 Oktober 1995.
____________1998. Penyelesaian Sengketa Dalam hukum Lingkungan Internasional.
Dalam Majalah hukum Pro Justitia Tahun XVI No.2 April 1998.
______________2006. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Dalam Perjanjian
Internasional Bidang Pengelolaan B3 dan Limbah B3 dalam Jurnal
Lingkungan dan Pembangunan Volume 26 Nomor 1 Tahun 2006.
UNEP. 1991. Register of International Treaties & Other Agreements in the Field of the
Environment, UNEP, Nairobi.
____________. 1986. Statuta Mahkamah Internasional, Penerbit United Nations
Information Center (UNIC)
136
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
137
138
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Ulasan Peraturan
I. Pendahuluan
Pada 13 Maret 2017, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana
Umum Energi Nasional (selanjutnya disebut “Perpres RUEN”) diundangkan.2
Diundangkannya Perpres RUEN ini merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah
Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional.3 Secara keseluruhan,
baik RUEN maupun Kebijakan Energi Nasional ini merupakan amanat dari UU
No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi, yang pembentukannya bertujuan untuk dapat
memenuhi kebutuhan energi dalam negeri secara berkelanjutan, berkeadilan dan
optimal dalam rangka mencapai ketahanan energi nasional. Nantinya, rencana
yang ada di Perpres RUEN tersebut akan dijadikan acuan dalam penyusunan
Rencana Umum Energi Daerah (RUED) untuk dapat memenuhi kebutuhan
energi di daerah masing-masing secara berkelanjutan, berkeadilan dan optimal
dalam rangka mencapai ketahanan energi di daerah dan sesuai dengan tujuan
pengelolaan energi secara nasional.4
Secara garis besar, Perpres RUEN ini disusun oleh Pemerintah dan ditetapkan
oleh Dewan Energi Nasional untuk jangka waktu sampai dengan tahun 2050 yang
139
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH
memuat: a) Pendahuluan, kondisi energi nasional saat ini dan ekspektasi masa
mendatang ; b) Visi, misi, tujuan dan sasaran energi nasional ; c) Kebijakan dan
strategi pengelolaan energi nasional; serta d) Penutup. Adapun Perpres RUEN ini
memiliki fungsi sebagai landasan untuk penyusunan rencana-rencana yang lebih
teknis ke depannya, seperti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik oleh PLN,
rencana penyusunan APBN/APBD oleh Kementerian, Lembaga dan Pemerintah
Daerah terkait, pedoman Kementerian dan Lembaga untuk menyusun rencana
strategis, hingga pedoman Pemerintah Provinsi untuk menyusun Rencana Umum
Energi Daerah Provinsi (RUED-P).5 Mengingat luasnya pembahasan dalam Perpres
RUEN, maka khusus untuk ulasan peraturan perundang-undangan ini, Penulis
akan membatasi pembahasan kepada kebijakan dan strategi pengelolaan energi
nasional serta isu-isu terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang tercantum dalam Perpres RUEN.
140
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Terdapat berbagai sumber EBT yang telah diatur dalam Perpres RUEN yang
untuk kedepannya diharapkan dapat dikembangkan di Indonesia, diantaranya
adalah panas bumi, tenaga air, minihidro dan mikrohidro, bioenergi, tenaga
suya, bayu atau angin, serta arus, gelombang, dan perbedaan suhu lapisan
laut. Pada dasarnya, pengembangan EBT ini tidak hanya diproyeksikan untuk
pembangkit, namun juga EBT ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai
141
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH
energi yang digunakan secara langsung oleh sektor pengguna. Khusus untuk
rencana pembangunan pembangkit tenaga EBT, berikut adalah tabel rencana
pemodelan pembangunan pembangkit tenaga EBT di Indonesia:
1 Ibid., lampiran I hlm. 63, bahwa yang dimaksud dengan energi terbarukan lainnya adalah
PLTD dengan campuran bioenergy, PLT Arus Laut, PLT Gelombang Laut, serta PLT Energi
Panas Laut (Ocean Thermal Energy).
2 Disarikan dan dirangkum oleh Penulis dari Lampiran I, hlm. 63-64
12 Ibid., lampiran I hlm. 66.
142
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
143
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH
memastikan produksi minyak bumi tidak kurang dari 567,7 ribu BOPD pada
tahun 2025.
Dalam RUEN ini juga dijelaskan terkait dengan fokus Pemerintah untuk
mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi demi kebutuhan dalam negeri.
Nantinya, gas bumi ini diharapkan dapat dipergunakan untuk bahan bakar
pembangkit tenaga listrik, transportasi, rumah tangga, dan bahan baku
industri. Selain itu, pemanfaatan energi baru juga diprioritaskan. Adapun
yang dimaksud dengan energi baru di sini adalah gasifikasi batubara, batubara
tercairkan, gas metana batubara, serta hidrogen.17 Pemerintah melihat bahwa
energi baru ini memiliki potensi yang cukup besar namun sayangnya hingga
saat ini masih belum dikembangkan.
tah dari sumur. Pada dasarnya, metode yang dipergunakan adalah dengan thermal, bahan
kimia, serta penggunaan gas. Dikutip dari: “Enhanced Oil Recovery (EOR)”, https://www.
petropedia.com/definition/202/enhanced-oil-recovery-eor, diunduh pada 23 Agustus 2017.
17 Ibid., Lampiran I hlm. 36
18 Ibid., Lampiran I hlm. 48.
19 Ibid., Lampiran I hlm. 51. Adapun dalam keterangannya diperkirakan bahwa pada tahun
2020 Indonesia akan mengalami defisit pasokan gas bumi sebesar 401,8 MMSCFD dan akan
meningkat hingga 20.201,0 MMSCFD pada tahun 2050. Adapun angka ini diperhitungkan
dengan membandingkan kebutuhan gas bumi dalam negeri dan committed production pada
tahun berjalan. Angka ini tidak termasuk kebutuhan impor LPG.
144
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Selain itu, demand terkait LPG-pun terus meningkat. Pada 2017 diperkirakan
permintaan mencapai 7,3 juta ton dan akan terus meningkat hingga 13,2 juta
ton pada 2050.20
Terkait dengan pengembangan energi baru, hal ini belum terlalu banyak
dibahas secara detail di dalam RUEN ini. Namun, beberapa hal yang telah
dibahas pemanfaatannya adalah Pemerintah memiliki strategi untuk
melakukan komersialisasi menara bor purwarupa (prototype rig) untuk coal
bed methane (CBM) yang telah dibuat dengan target 2 unit per tahun, dalam
rangka meningkatkan dan mengefisienkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
CBM.22 Selain itu, untuk pengembangan coal liquefaction (batubara tercairkan),
nampaknya hingga saat ini masih dalam tahap pengembangan awal. Dalam
RUEN dijelaskan bahwa Pemerintah masih mengarahkan untuk adanya
penyusunan peta jalan dan kebijakan pengembangan sumber energi batubara
berbentuk cair tersebut. Di samping itu, perlu adanya pengembangan
teknologi produksi dan penggunaan bahan bakar sintetis dan hidrogen
untuk transportasi serta arahan untuk mempercepat pengembangan batubara
tercairkan sebagai bahan bakar cair.23
145
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH
146
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Technology) dan efisiensi tinggi (Ultra Super Critical) secara bertahap.28 Namun
sayangnya kembali, tidak dijelaskan bagaimana tahap untuk penerapan
teknologi CCT dan USC tersebut.
III. Isu Terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam RUEN
28 Ibid.
29 Ibid., Lampiran I, hlm. 21.
30 Ibid.
31 Ibid., Lampiran I, hlm. 22.
147
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH
32 Presiden RI (b), Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011, ps. 1 ayat (1), yang untuk selanjutnya dijelaskan bahwa
RAN-GRK adalah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan meru-
pakan sebuah dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara
langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pem-
bangunan nasional
33 Presiden RI (a), op.cit., Lampiran II, Hlm. 70.
148
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
149
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH
IV. Rekomendasi
Pada dasarnya, Perpres RUEN telah memberikan penjelasan yang detail dalam
hal rencana pengelolaan energi di tingkat nasional. Namun, hal yang perlu untuk
diperhatikan lebih lanjut adalah bagaimana Perpres RUEN ini kemudian dapat
diimplementasikan dan disinergiskan dengan peraturan pelaksananya. Sebagai
contoh, ketika Perpres RUEN telah memandatkan untuk membatasi penggunaan
38 Ibid.
39 Ibid., hlm. 73.
150
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
tenaga batubara hingga 30% pada tahun 2025, namun justru di RUPTL PLN 2017-
2026 ditetapkan bahwa PLTU batubara akan mendominasi jenis pembangkit
yang akan dibangun, yaitu mencapai 41%.40 Pada contoh lain, Perpres RUEN juga
mengamanatkan bahwa paling sedikit pembangunan pembangkit listrik tenaga
EBT adalah 23% dari total pembangkit di Indonesia pada tahun 2025. Namun,
ketika merujuk kepada RUPTL PLN 2017-2026, pembangunan pembangkit tenaga
EBT diperkirakan paling besar 22%. Bahkan, RUPTL PLN juga telah memberikan
rencana cadangan apabila target 22% tersebut tidak terpenuhi, yakni dengan
pengembangan pembangkit listrik dengan gas.
40 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Min-
eral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. Perusahaan Listrik Negara
(Persero) Tahun 2017 s/d 2026, Kepmen ESDM No. 1415 K/20/MEM/2017, hlm. VI-3.
151
GRITA ANINDARINI WIDYANINGSIH
DAFTAR PUSTAKA
152
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Anotasi Putusan
Margaretha Quina1
Identitas Perkara
Hari/Tanggal Putusan 19 April 2017
Tempat Pemantauan PTUN Bandung
No. Perkara 124/G/2016/PTUN.BDG
Perkara / Kasus Izin Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara
(PLTU-B) 1 x 1.000 MW a/n PT Cirebon Energi Persada
Penggugat Dusmad, dkk.
Tergugat / Turut Tergugat BPMPT Provinsi Jawa Barat
Majelis Hakim/ Hakim Hakim Ketua: Sutiyono, S.H., M.H.
Tunggal* Hakim Anggota:
1. Dewi Asinah, S.H.
2. Jusak, S.H.
Panitera Pengganti Retno Widyati, S.H.
I. Kasus Posisi
Perkara ini menguji objek Keputusan Tata Usaha Negara berupa Izin
Lingkungan yang diberikan oleh BPMPT Provinsi Jawa Barat kepada PT Cirebon
Energi Persada untuk konstruksi dan operasi PLTU-B 1 x 1.000 MW (“Objek TUN”).
Lebih dari 90 hari setelah penerbitan Objek TUN, 6 (enam) orang warga yang
bertempat tinggal di sekitar lokasi pembangunan PLTU-B Cirebon 1 x 1.000 MW
dan merasa dirugikan atas penerbitan Izin Lingkungan ini (selanjutnya disebut
“Dusmad, dkk”) mengajukan gugatan tata usaha negara ke PTUN Bandung.
153
MARGARETHA QUINA
Para penggugat adalah Dusmad (72 tahun), Kasneri (64 tahun), Casmina (62
tahun), Sarnen (46 tahun), Surip (40 tahun) dan Warya (39 tahun), kesemuanya
bertempat tinggal di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten
Cirebon. Para penggugat bekerja sebagai pencari rebon dan ikan, dengan wilayah
kerja di area yang akan dibangun jetty PLTU-B, sehingga mata pencahariannya
akan hilang atau setidak-tidaknya berkurang. Selain itu, para penggugat
mendalilkan diri sebagai warga terdampak berdasarkan pelingkungan dampak
lingkungan PLTU-B Cirebon 1 x 1.000 MW. Mendalilkan tidak adanya transparansi
dan partisipasi penerbitan Objek TUN in casu, Dusmad, dkk. menyatakan tidak
mengetahui bahwa BPMPT Jawa Barat telah menerbitkan Objek TUN pada 11 Mei
2016, dan baru mengetahui terbitnya Objek TUN in casu beserta dampaknya dari
WALHI Jawa Barat pada 28 September 2016. Selanjutnya, para penggugat baru
mengajukan gugatan pada 6 Desember 2016.
154
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
2011 – 2031. Selain itu, para penggugat menunjukkan keterkaitan hukum antara
proses penerbitan Izin Lingkungan, termasuk di dalamnya penilaian AMDAL,
dengan tata ruang, dengan menujukkan kewajiban hukum dalam penilaian
dokumen lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan dan PermenLH No. 8 Tahun 2013 tentang Tata Laksana
Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin
Lingkungan. Selain kewajiban untuk memastikan kegiatan dan/atau usaha yang
dinilai sesuai dengan tata ruang (Pasal 4 ayat (3) PP Izin Lingkungan; Pasal 15 huruf
a PermenLH No. 8 Tahun 2013), penggugat juga menunjukkan bahwa PermenLH
No. 8 Tahun 2013 memberikan arahan eksplisit untuk “tidak memproses lebih
lanjut” dokumen Kerangka Acuan ANDAL yang tidak sesuai RTRW.
155
MARGARETHA QUINA
mendalilkan bagian evaluasi secara holistik dalam Amdal PLTU Cirebon 2 tidak
menjelaskan bentuk hubungan keterkaitan dan interaksi dampak penting hipotetik
beserta karakteristiknya, sebagaimana diharuskan oleh peraturan. Dalam menguji
ketiga hal ini, penggugat membandingkan isi AMDAL dengan materi muatan
AMDAL yang diwajibkan dalam PP No. 27 Tahun 2012 dan pedoman penilaian
AMDAL dalam PermenLH No. 8 Tahun 2013.
Terdapat isu prosedural dan substantif yang menarik dari putusan PTUN
Bandung dalam perkara ini. Dalam aspek prosedural, pertimbangan hakim yang
perlu dicermati adalah mengenai kedudukan hukum dan batas waktu pengajuan
gugatan. Dalam aspek substantif, menarik menyoroti pertimbangan hakim
mengenai penerapan rencana tata ruang wilayah.
156
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Hal lain yang cukup menarik dari sisi prosedural adalah diterimanya gugatan
penggugat sekalipun telah melebihi 90 (sembilan puluh) hari dari waktu penerbitan
Objek TUN in casu. Dalam gugatannya, Penggugat mengargumentasikan bahwa
penghitungan waktu pengajuan gugatan tidak diatur secara limitatif, dan bagi
Para Penggugat, yang merupakan pihak yang tidak dituju oleh KTUN, aturan yang
berlaku adalah penghitungan “secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya
157
MARGARETHA QUINA
Di sisi lain, dalam kasus ini juga terdapat pertimbangan substantif yang baik
dan patut diapresiasi penerapannya dalam hal penegakan penataan ruang. Dari
semua dalil substantif Penggugat, satu-satunya yang kemudian dipertimbangkan
Majelis dalam memutus perkara ini adalah perihal pelanggaran atas Rencana
Tata Ruang Wilayah. Terhadap dalil Penggugat sebagaimana telah diuraikan di
atas, Tergugat membantah dengan menyatakan bahwa pembangunan PLTU-B
158
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
159
MARGARETHA QUINA
rekomendasi AMDAL secara substantif telah salah karena “pada faktanya” tapak
lokasi pembangunan tidak hanya berada di Kecamatan Astanajapura, namun juga
di Kecamatan Mundu yang tidak tercantum peruntukannya untuk pembangunan
PLTU-B di RTRW Kabupaten Cirebon 2011 – 2031 dan hanya dialokasikan untuk
jaringan transmisi. Jika mengikuti logika ini, maka Majelis menuntut pemberi izin
untuk menilai AMDAL dengan sangat cermat – tidak hanya melihat formalitas
rekomendasi penilaian AMDAL atau bahkan izin pemanfaatan ruang yang terkait,
tetapi betul-betul memeriksa fakta tapak lokasi kegiatan dan/atau usaha.
Atas dasar hal-hal di atas, Majelis menganggap bahwa Tergugat secara mutatis
mutandis melanggar AUPB, khususnya bahwa pembuat KTUN harus bertindak
berdasarkan ketentuan perundang-undangan, asas kepatutan dan asas kepastian
hukum.
IV. Penutup
Secara umum, terdapat tiga pertimbangan hakim yang cukup penting dan
tepat dalam perkara ini, yang dapat digunakan dalam menalar perkara-perkara
mendatang yang serupa. Pertama, dalam kaitannya dengan kedudukan hukum,
masyarakat terdampak memiliki kepentingan/nilai yang dilindungi berdasarkan
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta kedudukannya dalam
160
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa Majelis tidak mempertimbangkan tiga dalil
substantif lain yang diajukan para penggugat, yaitu perihal pelibatan masyarakat,
cacat substantif dalam dokumen lingkungan hidup yang mendasari penerbitan
Objek TUN in casu, serta tidak dipertimbangkannya daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dalam penerbitan izin lingkungan.
161
162
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
P e d o m a n P e n u l i s a n
J
urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan
yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum
lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara
Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan
permasalahan tata kelola sumber daya alam.
JHLI Volume 4 Issue 2, Desember 2017, memuat tulisan yang mengangkat tema
umum hukum dan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam sektor apapun.
Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:
ix
PEDOMAN PENULISAN
Prosedur Pengiriman**
Pemilihan Tulisan
Persyaratan Formil
1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.
x
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 1, SEPTEMBER 2017
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif;
4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka;
6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;
xi
PEDOMAN PENULISAN
Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk
Abstrak yang diterima.
xii