Anda di halaman 1dari 7

Bab II

Tinjauan Pustaka

Definisi Berat Badan

Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada
pada tubuh. Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik saat ini untuk mengetahui
keadaan gizi dan tumbuh kembang. Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil
peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, misalnya tulang, otot,
organ tubuh, dan cairan tubuh sehingga dapat diketahui status gizi dan tumbuh kembang,
berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dosis dan makanan yang
diperlukan dalam tindakan pengobatan.

Terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang


cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang
diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. Berat
badan harus selalu dievaluasi dalam konteks riwayat berat badan yang meliputi gaya hidup
maupun status berat badan yang terakhir. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung
dengan rumus berikut:

Menurut rumus metrik:

Berat badan (Kg)

IMT = ----------------------------------------------

[Tinggi badan (m)]2

Secara umum, IMT 25 ke atas membawa arti pada obesitas. Standar baru untuk IMT
telah dipublikasikan pada tahun 1998 mengklasifikasikan BMI di bawah 18,5 sebagai sangat
kurus atau underweight, IMT melebihi 23 sebagai berat badan lebih atau overweight, dan
IMT melebihi 25 sebagai obesitas. IMT yang ideal bagi orang dewasa adalah diantara 18,5
sehingga 22,9. Obesitas dikategorikan pada tiga tingkat: tingkat I (25-29,9), tingkat II (30-
40), dan tingkat III (>40) (CDC, 2002).
Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan
pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Pada akhirnya
diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut: Berat badan
kurang (IMT <18,5), Berat badan normal (IMT 18,5-22,9), Berat badan berlebih (IMT ≥
23,0), beresiko menjadi obesitas (IMT 23,0-24,9), obesitas I (IMT 25,0-29,9), obesitas II
(IMT≥30,0).

Definisi Gula Darah

Glukosa atau gula darah adalah suatu gula monosakarida, merupakan salah satu
karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa
merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen,
ribosa dan deoksiribosa dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid,
dan dalam glikoprotein dan proteoglikan.9 Glukosa merupakan pemecahan dari karbohidrat
kompleks yang mana prosesnya akan dijelaskan pada subtopik karbohidrat.

Kadar Gula Darah


Kadar gula darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat gula darah di dalam
darah. Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam
tubuh.
Menurut kriteria diagnostik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)
2015, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126
mg/dL dan pada uji sewaktu >200 mg/dL. Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi dimana
akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar gula darah
yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah.
Kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum
cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya dan kadar gula darah sewaktu
normal berkisar antara 80-199 mg/dl.

Macam-macam pemeriksaan kadar gula darah:

1. Glukosa darah sewaktu: Pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu sepanjang
hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan dan kondisi tubuh orang tersebut.
2. Glukosa darah puasa: Pemeriksaan glukosa darah puasa adalah pemeriksaan glukosa yang
dilakukan setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam,

3. Gula darah 2 jam post-prandial: Pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan adalah
pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung setelah pasien menyelesaikan makan.

Faktor yang mempengaruhi kadar gula darah

Lingkar pinggang

Merupakan ukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan obesitas


sentral, dengan kriteria untuk Asia Pasifik yaitu > 90 cm untuk pria, dan > 80 cm untuk
wanita. Indeks lingkar pinggang biasa berguna untuk dalam menentukan obesitas sentral dan
komplikasi metabolik yang terkait. Lingkar pinggang berkorelasi kuat dengan obesitas sentral
dan risiko kardiovaskular. Lingkar pinggang terbukti dapat mendeteksi obesitas sentral dan
sindroma metabolik dengan ketepatan yang cukup tinggi dibandingkan indeks massa tubuh
(IMT) dan lingkar panggul. Bila lingkar pinggang dan kadar trigliserida untuk mendeteksi
sindroma metabolik, ditemukan lingkar pinggang > 90 cm dikombinasikan dengan kadar
trigliserida plasma puasa >150 mg/dl dapat mendeteksi penderita sindroma metabolik
sebanyak 80% dari 185 pria subyek penelitian. Hal ini membuktikan bahwa pemeriksaan
lingkar pinggang dapat digunakan sebagai pemeriksaan uji saring yang mudah, murah dan
berguna untuk mendeteksi sindroma metabolik.

Terjadinya peningkatan asam lemak bebas plasma menyebabkan akumulasi lipid


intramioseluler. Metabolit yang dihasilkannya mengakibatkan berkurangnya reseptor insulin.
akumulasi lipid dalam jumlah yang berlebihan di dalam sel beta pankreas dapat menyebabkan
disregulasi sekresi insulin. Disregulasi sekresi insulin amat tergantung waktu, hal ini
menyebabkan sekresi insulin akan meningkat pada akumulasi lipid jangka pendek, tapi
menurun pada akumulasi yang sifatnya menahun. Lebih jauh, kelainan sel beta pankreas
akibat asam lemak bebas menyebabkan terjadinya apoptosis sel ini. Konsekuensi resistensi
insulin akan menimbulkan hiperinsulinemia pada stadium pertama yaitu kompensasi dimana
keadaan normoglikemik masih mampu dipertahankan, dan kedua stadium dekompensasi,
dimana insulin tidak mampu mempertahankan keadaan normoglikemik sedangkan pankreas
masih dalam keadaan hipersekresi sehingga terjadi hiperinsulinemia hiperglikemik. Hal ini
bisa menimbulkan gangguan toleransi glukosa dan bahkan diabetes melitus tipe 2.
( jurnal : Lingkar Pinggang, Kadar GlukosaDarah, Trigliserida dan Tekanan Darah pada Etnis
Minang di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat ) Putri .

Berat badan

Kegemukan merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya peningkatan kadar gula


darah dikarenakan sel-sel beta pulau Langerhans menjadi kurang peka terhadap rangsangan
atau akibat naiknya kadar gula dan kegemukan juga akan menekan jumlah reseptor insulin
pada sel – sel seluruh tubuh .

IMT pada kategori obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi
dengan keluaran energi (energi expenditures) sehingga terjadi kelebihan energi selanjutnya
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan oleh
asupan energi yang tinggi atau keluaran energi yang rendah. Penyebab terjadinya
ketidakseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini masih belum jelas, namun
terjadinya obesitas diakibatkan karena faktor genetik, lingkungan, gaya hidup dan psikis.
Retensi insulin dan gangguan toleransi glukosa pada penderita obesitas akan berpengaruh
pada kadar gula darah.

Menurut hasil penelitian Nur isnaini dan Nur Hikmawati (2012), penelitian IMT
pada warga Aisyiah terdapat 9 orang dengan kategori Obesitas II, 23 orang dengan kategori
obesitas I dan 13 orang dengan BB beresiko. Dari 72 orang yang diperiksa gula darahnya
ditemukan 2 orang dengan kadar gula darah melebihi batas normal (>200mg/dl) yaitu 240
mg/dl dan 210mg/dl serta terdapat 47 responden berada pada rentang pra DM dengan GDS
110-199mg/dl. Hasil Hasil uji statistik pearson didapatkan hasil ρ value = 0,480 dengan nilai
α = 0,05 (ρ value > α) sehingga tidak terdapat hubungan signifikan antara IMT dengan kadar
gula darah (GDS) pada warga aisyiah ranting Karang Talun Kidul. Nilai coefisien corelasi =
0,85 terdapat hubungan tetapi tidak erat antara IMT pada kategori obesitas dan GDS
(>200mg/dl).

Jurnal : pengaruh Indeks Masa Tubuh (IMT) terhadap kadar Gula Darah Sewaktu (GDS) Hasa

Aktivitas fisik

Aktivitas fisik yang dilakukakan oleh seseorang akan mempengaruhi kadar gula
darahnya. Peningkatan penggunaan glukosa oleh otot akan meningkat saat seseorang
melakukan aktivitas fisik yang tinggi. Hal tersebut disebabkan glukosa endogen akan
ditingkatkan untuk menjaga agar kadar gula di dalam darah tetap seimbang. Pada keadaan
normal, keseimbangan kadar gula darah tersebut dapat dicapai oleh berbagai mekanisme dari
sistem saraf, regulasi glukosa dan keadaan hormonal. Teori lain menyebutkan bahwa aktivitas
fisik secara langsung berhubungan dengan kecepatan pemulihan gula darah otot. Saat
aktivitas fisik dilakukan, otot-otot di dalam tubuh akan bereaksi dengan menggunakan
glukosa yang disimpannya sehingga glukosa yang tersimpan akan berkurang. Dalam keadaan
tersebut akan terdapat reaksi otot yang mana otot akan mengambil glukosa di dalam darah
sehingga glukosa di dalam darah menurun dan hal tersebut dapat meningkatkan kontrol gula
darah. Beberapa aktivitas fisik seperti jogging, dilakukan selama 30-40 menit dapat
meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel sebesar 7-20 kali dibandingkan dengan tidak
melakukan aktivitas tersebut.

Keadaan hipoglikemia terjadi apabila tubuh tidak dapat mengkompensasi kebutuhan


glukosa yang tinggi saat melakukan aktivitas fisik yang berlebihan. Sedangkan hiperglikemia
terjadi saat glukosa darah dukungan keluarga, yang mana hal tersebut dapat mempengaruhi
aktivitas fisik

Menurut hasil penelitian Laila Nurayati dan Merryana Adriani (2017) di wilayah
kerja Puskesmas Mulyorejo kota Surabaya sebagian besar mempunyai aktivitas fisik rendah
dengan kadar gula darah puasa tinggi sebanyak 30 orang dengan persentase sebesar 76,9 %.
Hasil uji statistik dengan Spearman’s rho menunjukkan hasil nilai p=0,000 yang mana hasil
tersebut lebih kecil dari alfa (0,01) artinya terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan
kadar gula darah puasa responden penderita Diabetes Melitus tipe 2

Jurnal : (Hubungan Aktifitas Fisik dengan Kadar Gula Darah Puasa Penderita Diabetes Melitus Tipe
2 ) Hasa

Tingkat stress

Keadaan dimana tertekannya keadaan fisik maupun psikologis. Adanya keadaan ini
merupakan suatu keadaan yang sangat mengganjal dalam diri individu karena adanya
perbedaan antara yang diharapkan dengan yang ada. Selain itu, stres adalah keadaan ketika
beban yang dirasakannya terlalu berat dan tidak sama dengan kemampuan yang dimiliki
untuk mengatasi beban yang dialaminya. Fitri, dkk (2012), mengungkapkan stres adalah
suatu keadaan yang muncul akibat ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima
dan kemampuan untuk mengatasinya. Daya tahan stres setiap individu berbeda-beda
tergantung pada keadaan somato psikososial.
Adapun menurut Adler dan Matthews (1994), dari berbagai penelitian telah
membuktikan bahwa stress dapat mempengaruhi kesehatan tidak hanya melalui efek biologis
secara langsung, tetapi juga melalui perubahan prilaku. Salah satu perubahan prilaku di lihat
dari pemilihan makanan yang mempengaruhi perubahan prilaku makan serta selera makan.

Perilaku kecendrungan berubahnya pola makan untuk makan lebih banyak maupun
sedikit pada seseorang yang mengalami stress. Adanya hubungan antara stress dengan
keinginan makan dengan apa yang seorang rasakan Menurut Oliver, Wardle dan Gibson
(2000). Adanya kecendrungan makan lebih banyak makanan manis dan cokelat pada kondisi
stress pada kelompok yang mempunyai kecenderungan untuk makan lebih sedikit pada
kondisi stress. Begitu pula sebaliknya, konsumsi buah, sayur, daging dan ikan diketahui lebih
sedikit atau tidak mengalami perubahan pada jumlah yang dikonsumsi saat seseorang
mengalami stress.

Keadaan stress mempunyai hubungan secara tidak langsung dengan peningkatan


kadar gula darah. Adapun hal ini disebabkan oleh produksi hormone kortisol secara
berlebihan saat seseorang mengalami stress. Adanya prokduksi kortisol yang berlebihan ini
akan menyebabkan seseorang itu mengalami kesulitan untuk tidur, depresi, tekanan darah
menurun, sehingga individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makannya meningkat. Selain
itu, kortisol memain peran yang penting dalam pengaturan distribusi lemak tubuh dan dapat
menyebabkan lipolisis.

Adanya timbunan lemak intraabdominal memiliki resistensi lebih tinggi daripada


lemak perifer sehingga merusak regulasi glukosa tubuh. Kondisi stress yang panjang akan
menyebabkan seseorang itu mempunyai kecenderungan berat badan yang berlebih,dimana
keadaan tersebut merupakan faktor risiko peningkatan kadar gula darah.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Shara Kurnia dan Soedjino S tentang faktor
resiko DM, mereka mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kondisi stress dengan kadar gula darah. Pada studi lain yang di lakukan oleh Nurul Aini dkk
juga memberikan hasil terdapat hubungan antara stress dengan kadar gula darah. Studi yang
dilakukan oleh Fitriyana H tentang perbedaan tingkat kecukupan zat gizi makro (karbohidrat,
lemak, protein, dan air) berdasarkan tingkat stres pada remaja putri penghuni rusunawa
unimus residence mendapatkan hasil analisis dengan menggunakan uji statistik diperoleh
nilai p = 0,271 (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan terdapat efek negatif terhadap tingkat
kecukupan karbohidrat berdasarkan tingkat stres. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa
remaja yang mengalami stress cenderung untuk mengkonsumsi karbohidrat rendah sehingga
tidak mencukupi angka kecukupan karbohidrat yang akhirnya dapat mempengaruhi kadar
gula darah remaja.

Tingkat Pengetahuan

Aini at al, menyatakan setelah dibeerikan edukasi dengan menggunakan metode tatap muka
secara personal responden dapat menerima pesan baik verbal dan non verbal dari peneliti
melaului bahasa tubuh atau eksprsi wajah. Pasien menerima seluruh pesan tubuh dengan baik
saat tatap muka sehingga kekuatan memori jauh lebih kuat. Materi yang disampaikan dengan
tatap muka dan diskusi akan lebih muda dipahami lansia.

Firdaus SA at al, menyatakan hasil penelitian menunjukkan perbedaan rata-rata kadar gula
darah sebelum dan sesudah edukasi. Sesudah diberikan edukasi kadar rata-rata gula darah
lansia menurun dari kadar gula darah sebelum 204,7 mg/dL menjadi 183,9 mg/dL. Penurunan
gula darah tersebut disebabkan karena edukasi yang diberikan dapat meningkatkan
pengetahuan lansia tentang diabetes melitus, meningkatkan motivasi agar hidup sehat
sehingga kadar gula darah nya terkontrol dan mencegah timbulnya komplikasi.

Menurut Notoadmodjo peningkatan pengetahuan sesudah pemberian edukasi dapat


mempengaruhi secara langsung pada perilaku kesehatan individu termasuk dalam perilaku
penatalaksanaan.

Anda mungkin juga menyukai