Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh:
dr. Desi Megafini
I. IDENTITAS PENDERITA
a. Nama : Tn. M
b. Usia : 73 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan :-
f. Status : Menikah
g. Tanggal masuk RS : 3 Maret 2018
II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama: nyeri perut
b. RPS :
± 7 hari yang lalu SMRS pasien mengeluh nyeri perut. Nyeri dirasakan di bagian ulu
hati, terasa lebih sakit setelah makan dan keluhan berkurang bila minum obat. Pasien tidak
langsung berobat ke dokter, tetapi memanggil tukang pijat untuk dipijat di bagian perut
namun ± 1 hari SMRS nyeri perut dirasakan tiba-tiba memberat dirasa seperti ditusuk-
tusuk dan terus-menerus, awalnya nyeri dirasakan di bagian ulu hati kemudian menjalar ke
seluruh bagian perut. Perut terasa keras dan nyeri hebat bila ditekan. Keluhan dirasa lebih
ringan dalam posisi tidur miring dan diperberat jika pasien bergerak atau batuk, tidak
membaik dengan pemberian obat. Pasien juga mengeluh mual namun tidak muntah. Pasien
tidak dapat BAB dan buang angin selama 7 hari.
c. RPD :
Riwaat gastritis : diakui
Riwayat darah tinggi : diakui
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat batu saluran kemih : disangkal
Riwayat Trauma abdomen : disangkal
d. RPK :
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien bekerja sebagai penjaga masjid. Pasien tinggal bersama dengana istri dan anaknya.
Pasien tidak mengkonsumsi alkohol, rokok maupun kopi. Menurut anak pasien, pasien
sering telat makan karena mengurus pekerjaannya sebagai penjaga masjid.
f. Riwayat Pengobatan :
Menurut anak pasien, pasien sering mengkonsumsi obat rematik yang dibeli sendiri oleh
pasien di apotik. Pasien mengkonsumsi obat untuk menghilangkan rasa nyeri di sendi-
sendi kaki dan tangan, pasien telah mengkonsumsi obat tersebut sekitar 6 bulan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit berat
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 84 x / menit
RR : 20 x /menit
T : 36,6°C
1. Status Interna
Kepala : kesan mesocephal, Deformitas (-)
Mata : Corpus alienum (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
edem palpebra (-/-), hematoma palpebra inferior (-/-)
peflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek (+/+)
pupil isokor (D: 3mm/3mm), raccoon eyes (-/-).
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), jejas (-),
rhinorea (-/-)
Telinga : jejas (-), othorea (-/-), battle sign (-/-)
Mulut : Lembab (+), sianosis (-), perdarahan (-)
Leher : Tiroid (Normal), Jejas (-), deviasi trakea (-),
deformitas (-), pembengkakan (-), JVP (Normal)
Thorax :
Paru
Paru depan Paru belakang
Inspeksi
Statis Normochest, simetris, Normochest, simetris,
kelainan kulit (-/-), sudut kelainan kulit (-/-)
arcus costa dalam batas
normal, ICS dalam batas
normal
Dinamis Pengembangan pernafasan Pengembangan pernapasan
paru normal paru normal
Palpasi Simetris (N/N), Nyeri tekan Simetris (N/N), Nyeri
(-/-), ICS dalam batas tekan (-/-), ICS dalam
normal, taktil fremitus sulit batas normal, taktil
dinilai fremitus sulit dinilai
Perkusi
Kanan Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Kiri Sonor seluruh lapang paru. Sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi Suara dasar vesicular, Ronki Suara dasar vesicular,
(+/+), Wheezing (-/-) Ronki(+/+),Wheezing (-/-)
Tampak anterior paru Tampak posterior paru
SD : vesikuler SD : vesikuler
ST : Ronki (+), wheezing (-) ST: Ronki (+), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V 1-2 cm ke arah medial midclavikula
sinistra, thrill (-), pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal (-),
sternal lift (-)
Perkusi :
batas atas : ICS II linea parasternal sinistra
pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinsitra
batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
kiri bawah : ICS V 1-2 cm ke arah medial midclavikula
sinistra
Konfigurasi jantung (dalam batas normal)
Auskultasi : regular, Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV (-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi, warna sama seperti kulit di sekitar
Ekstremitas
Superior Inferior
Warna kulit Tampak pucat / Sama dengan
sama dengan sekitar / sama
sekitar dengan sekitar
Vulnus laserasi -/- -/-
2. Status Lokalis
Inspeksi : Distensi, warna sama seperti kulit di sekitar
Auskultasi : Bising usus (-)
Perkusi : Hipertimpani, pekak hati menghilang, nyeri perkusi
Palpasi : Nyeri tekan (+) disemua lapang abdomen, defans muskuler
(+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
IGD/ 3 Maret 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Leukosit 20.99 ribu/ul 5.00-10.00
Eritrosit 4.59 juta/ul 4.50-5.50
Hb 12.3 g/dl 13.0-16.0
Hematokrit 39.6 % 40-48
MCV 86 Fl 82 – 92
MCH 27 Pg 27 – 31
MCHC 31 g/Dl 32 – 36
Trombosit 437 10^3/ul 150-400
RDW-SD 50.9 Fl 35-45
GDS 131 Mg/Dl 70 – 140
Elektrolit
Natrium (Na) 135.40 Mmol/L 135.37–145.00
Kalium (K) 5.49 Mmol/L 3.48 – 5.50
Klorida (Cl) 102.30 Mmol/L 96.00 – 106.00
R. Cempaka/ 3 Maret 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Masa Perdarahan 3.00 menit 1.00 – 6.00
Masa Pembekuan 13.00 menit 9.00 – 15.00
d-Dimer 1.30 Mg/L 0.00 – 0.50
Kimia Klinik
Ureum Darah 129.00 Mg/Dl 14.98 – 38.52
Kreatinin Darah 4.3 Mg/Dl 0.8 – 1.5
Albumin 2.4 g/L 3.4 – 5.0
c. Rhontgen Thorax PA
d. Foto BNO Abdomen
V. RESUME
I. Subjektif
Nyeri perut sejak 7 hari SMRS. Nyeri di seluruh bagian perut, mual (+), muntah(-).
Pasien tidak bisa BAB dan buang angin sejak 7 hari SMRS.
RPD: Hipertensi
RPO: Konsumsi obat reumatik
II. Objektif
Keadaan Umum : tampak sangat kesakitan
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 84 x / menit
RR : 20 x /menit
T : 36,6°C
Status Lokalis
Inspeksi : Distensi, warna sama seperti kulit di sekitar
Auskultasi : Bising usus (-)
Perkusi : Hipertimpani, pekak hati menghilang
Palpasi : Nyeri tekan (+) disemua lapang abdomen, defans muskuler
(+)
Pemeriksaan Laboratorium
VI. DIAGNOSIS
Peritonitis Generalisata et causa Suspek Perforasi Gaster
VII. DIAGNOSIS BANDING
- Appendisitis Perforasi
- Perforasi Usus
VIII. PENATALAKSANAAN
IGD
- IVFD Asering/ 12 jam
- Dulcolax supp II
- Inj. Omeprazol I
Medikamentosa Non Medikamentosa
- Ceftriaxon 2x2 gr - Pasang NGT
- Metronidazol 3x500 mg - Pasang DC
- Omeprazol 2x40 mg - Pro Laparotomi Eksplorasi
- Profenid supp 3x1 CITO
IX. FOLLOW UP
Tanggal 3 Maret 2018 (Ruang Cempaka)
S Nyeri perut, tidak dapat BAB dan buang angin. Mual (+)
O KU : tampak sakit berat, compos mentis
TD : 120/90 mmHg P : 20 x/m
N : 72 x/m S : 36.7oC
Abdomen
I : distensi
A : bising usus (-)
P : nyeri tekan dan nyeri lepas pada seluruh abdomen, defans
muscular (+)
P : hipertimpani, pekak hepar hilang
A Peritonitis generalisata e.c Susp. Perforasi gaster
P Terapi
- Yal
- Asering/12 jam
- Ondansentron 2x 8 mg Inj
- Ceftriaxon 1x2 gr Inj
- Laxadin syr 2x2 cth
- Aminofluid/12 jam
- Cek AGD, CKMB, elektrolit, EKG
- Pasang NGT & DC
- Rhontgen thorax, Foto abdomen 3 posisi
- Ceftriaxon 2x2 gr
- Metronidazol 3x500 mg
- Omeprazol 2x40 mg
- Profenid supp 3x1
II. EPIDEMIOLOGI
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang pasti
diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan
peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik. Penyebab umum dari
peritonitis sekunder, antara lain appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum
(gaster atau duodenum), perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus, atau
keganasan, dan strangulasi dari usus halus.
III. ETIOLOGI
1. Peritonitis primer (spontaneous)
Peritonitis primer merupakan peradangan pada peritoneum yang
penyebabnya berasal dari ekstraperitoneal dan umumnya dari hematogenous
dissemination. Misalnya akibat tuberkulosa atau pneumonia yang bakterinya tidak
spesifik.
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendisitis,
perforasi gaster (dapat terjadi akibat trauma atau konsumsi OAINS) dan penyakit
ulkus duodenal, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis,
volvulus, kanker serta strangulasi usus halus3.
IV. ANATOMI
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam
tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis dan
peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen. Hubungan peritoneum dan
organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan menjadi, antara lain organ
intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan peritoneum, dan retroperitoneal
(duodenum, kolon asendens, colon desendens, dan rectum) yang tidak terlapisi
maupun terlapisi hanya sebagian peritonum. Peritoneum visceral yang membungkus
atau menunjang organ-organ bersama-sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam
kavitas peritoneum, dikenal dengan istilah ligament peritoneum, omentum atau
mesenterium.
Mesenterium merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi
peritoneum karena suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan
dinding posterior abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).
Ligamen peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan
organ satu dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior). Berbeda dengan ligamen
peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan peritoneum
(karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan
adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic ligament, gastrosplenic
ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser omentum terdiri dari
hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen yang
mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen, sedangkan peritoneum
visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai
saraf otonom pada organ visceral tersebut1.
Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi
apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal.
Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada
reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di
satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi.
Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga
menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum.
Refleks inilah yang menyebabkan hiperkontraksi lokal (muscle guarding) dan perut
papan (rigidity of abdominal wall).
Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan
refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral
peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari
tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium, periumbilikal, dan suprapubik.
V. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,
tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta edema seluruh organ intra peritoneal dan udem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai
di epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum akibat peritonitis generalisata.
Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.
Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di
perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.
Kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,
adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat
asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan udem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
nekrosis atau gangren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
VI. DIAGNOSIS
1. Manifestasi klinis
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis adalah nyeri
perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah dengan adanya
pergerakan.
Mayoritas pasien cenderung diam terlentang di tempat tidur dengan sedikit
menekuk lutut untuk mengurangi nyeri perut (karena maneuver tersebut
mengurangi tekanan pada dinding abdomen). Adanya anoreksia, mual, dan
muntah, tidak dapat buang air besar dan buang angin seringkali pula ditemukan,
namun bervariasi tergantung etiologi dari peritonitis. Anamnesis harus pula
mencari kemungkinan sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus
ditanyakan mengenai riwayat penyakit sekarang (riwayat dispepsia kronis
mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease
atau divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat
demam lebih dari 1 minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas untuk
tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah inguinal
(inguinalis atau femoralis) harus dicurigai kemungkinan adanya strangulasi,
sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun
mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan temuan
tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan
dengan cara yang sama seperti pemeriksaan fisik lainnya yaitu dengan:
1. inspeksi
pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak tampak karena
dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri akibat perangsangan peritoneum.
Distensi perut
2. palpasi
nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif
3. Auskultasi
Suara bising usus menurun sampai menghilang
4. Perkusi
hipertimpani akibat dari perut yang kembung , redup hepar hilang, akibat
perforasi usus yang berisi udara sehingga udara akan mengisi rongga peritoneal, pada
perkusi hepar terjadi perubahan suara redup menjadi timpani
Pada rectal touche akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus
sfingter ani menurun dan ampula recti berisi udara.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left yaitu
peningkatan sel batang (PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti
peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan
pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan adanya asidosis
metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis dari traktus
urinarius. Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologi seperti x-ray dapat
berguna (free air under diafragma yang terlihat pada posisi tegak pada perforasi
ulkus peptikum, tetapi jarang pada etiologi lainnya).
Pemeriksaan CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda
penanganan pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis).
Apabila diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan diagnostik
peritoneal lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum, ditemukannya hasil
yang positif (>500 leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.
VII. PENATALAKSANAAN
Pendekatan utama pada pasien peritonitisr, antara lain koreksi etiologi (terutama
dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan terapi suportif
(resusitasi). Tindakan pembedahan tidak hanya dapat mengoreksi etiologi peritonitis,
tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.
Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi
cairan untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang
memperparah disfungsi organ.
Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif serta bakteri
anaerob (walaupun secara umum perforasi traktus gastrointestinal atas lebih mengarah
ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan kolon lebih mengarah ke
polimikrobial aerob dan anaerob).
Beberapa pilihan regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain
gabungan dari golongan penicillin/β-lactamase inhibitor (ticarcilin 4x1 gram
intravena), atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x750 mg intravena), atau
sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole
3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk ICU diberikan meropenem 3x 1gram
intravena)11.
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal
dan hitung jenis batang < 3%12. Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu
untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65 mmHg, dan
urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara 8-
12mmHg)5.
Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien
ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan. Pada pasien penurunan
kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari kontaminasi
(koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan mencegah sepsis.
Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar eksplorasi
rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.
VIII. PROGNOSIS
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari di bawah 10% -
40%. Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang tinggi adalah etiologi
penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum
penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien. Tingkat mortalitas di bawah 10%
ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus atau appendisitis, pasien usia muda,
kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini.
I. KOMPLIKASI
1. Infeksi luka operasi
2. Ileus Paralitik
3. Syok septik
Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan
manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia gram
negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (septikemia berat),
takikardi, dan kolaps sirkuler.15 Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-
hal berikut:
- Hilangnya tonus vasomotor
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Depresi miokardial
- Pemakaian leukosit dan trombosit
- Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin, dan
prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
- Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler
BAB III
ANALISA KASUS
Dari hasil anamnesa didapatkan keluhan utama nyeri perut di ulu hati yanng dirasakan
7 hari SMRS, berdasarkan pembagian 6 kuadran pada regio abdomen. Keluhan yang dirasa di
daerah ulu hati dapat berasal dari organ yang ada di regio epigastrium tersebut, yaitu
esofagus, gaster, pankreas, kandung empedu. Selanjutnya dari anamnesa didapatkan riwayat
penyakit dahulu pasien yaitu gastritis dan riwayat konsumsi obat rematik selama 6 bulan
yang di beli sendiri oleh pasien dari apotik. Adanya riwayat tersebut menunjukan bahwa
keluhan nyeri ulu hati berasal dari organ gaster, dapat diakibatkan oleh OAINS yang
menghambat sintesis prostaglandin khususnya PGE2 yang bersifat protektor bagi mukosa
lambung: hambatan sintesis progtaglandin didahului oleh hambatan aktivitas COX mukosa
gaster, yaitu COX-1 dan COX-2 masing-masing unsur tersebut memiliki karakteristik
berbeda berdasarkan struktur dan distrbusi jaringan COX-1 yang berada pada lambung,
trombosit, ginjal, dan sel endotelial, memiliki peran penting dalam mempertahankan
integritas fungsi ginjal, agregasi trombosit, dan integritas mukosa gastrointestinal. Sementara
itu, COX-2 yang diinduksi oleh rangsangan inflamasi terekspresi pada makrofag, leukosit,
fibroblas, dan sel sinovial.5 Pada jaringan inflamasi, OAINS memiliki efek menguntungkan
melalui penghambatan COX-2 dan efek toksik melalui penghambatan COX-1 yang dapat
menyebabkan ulserasi mukosa gastrointestinal dan disfungsi ginjal. Prostaglandin akan
meningkatkan gradien pH sesuai dengan kemampuan proteksinya. Zona alkali pada
permukaan mu-kosa akan mencegah asam mencapai permukaan mukosa. Prostaglandin juga
memegang peranan penting dalam regenerasi sel epitel lambung. Jika kerja prostaglandin ini
di hambat maka saat rintangan praepitel dapat ditembus maka akan terjadin kerusakan epitel
lambung yang dapat berlanjut menjadi ulkus bahkan perforasi. Gastropati akibat OAINS
sangat tinggi angka kejadiannya dengan faktor resiko usia >60 tahun, dalam kasus ini pasien
berusia 73 tahun.
Selanjutnya 1 hari SMRS pasien mengeluh nyeri tiba-tiba dirasakan memberat dan
menjalar ke seluruh bagian perut, nyeri lebih memberat jika pasien bergerak atau batuk dan
mengeluh mual. Dengan adanya keluhan tersebut dapat menunjukan kemungkinan ulkus
gaster yang sudah berlanjut menjadi perforasi gaster, apabila terjadi perforasi, asam lambung
dapat mencapai rongga peritoneum dan terjadilah peritonitis kimiawi dimana asam lambung
merangsang peritoneum sehingga menimbulkan keluhan nyeri yang diperberat jika bergerak.
Pasien juga mengeluh tidak bisa buang air besar dan buang angin selama 7 hari yang
mengindikasikan adanya gangguan pasase usus yang dapat di akibatkan oleh peritonitis yang
tidak dapat terlokalisir lalu mengganggu peristaltik usus sehigga terjadi ileus paralitik.
Untuk dapat lebih menegakan diagnosis maka dilakukan pemeriksaan fisik, dari
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan:
Keadaan Umum: sakit berat
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 84x/ menit
Suhu : 36,6 0C
Pernafasan : 20x/ menit
Status Lokalis :
Inspeksi : Distensi, warna sama seperti kulit di sekitar
Auskultasi : Bising usus (-)
Perkusi : Hipertimpani, pekak hati menghilang
Palpasi : Nyeri tekan (+) disemua lapang abdomen, defans muskuler
(+)
1. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung dan
Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004. Hal. 541-59.
2. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif., Suprohalta.,
Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas Kedokteran UI, Media
Aesculapius, Jakarta : 2000
3. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis proses- proses
penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006
4. Gosal,Fandy.dkk: Patofosiologi Penanganan Gatropati OAINS. Artikel
Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan, Manado: 2012