Anda di halaman 1dari 21

TUGAS

MATA KULIAH HUKUM DAN PERATURAN KELAUTAN PERIKANAN

“SEJARAH HUKUM INTENASIONAL KELAUTAN”

NAMA : KAMAY SAIFUDIN SAIKHUN

NIM : 155080600111009

KELAS : I03

PROGAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
Beberapa Sejarah Hukum Laut :

A. Hukum Laut Rhodia (Laut Tengah)

Rhodes adalah seorang pelaut, yang kuat serta mandiri. Antara 1.000 SM dan 600 SM,
rakyat Rhodes mengembangkan armada komersial yang kuat dan mereka tersebar di
daerah Mediterania, serta mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai barat Italia,
Perancis dan Spanyol. Secara bersamaan, orang-orang Rhodes mengembangkan aturan
hukum untuk menangani perselisihan pengiriman yang disebut kode hukum maritim(Rhodia
Lex). Tidak ada salinan kode hukum maritim pernah ditemukan. Namun hukum maritim
Rhodian bertahan sampai Kekaisaran Romawi, dan diadopsi oleh bangsa Roma.

B. Consolato del Mare (1494)

Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes
mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran
tersebut tidak terlalu besar karena tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan
atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat itu tidak ada pihak lain yang
menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu
seperti danau dalam wilayah Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari
gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan
aman dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut
adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res communis omnium)
sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad
ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del
Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan
perdagangan (perdata).

C. Himpunan Rolles d’oleron (Atlantik)

The Rolls of Oléron atau juga dikenal sebagai “Hukum Oleron” dan “Aturan Oleron”
adalah koleksi penilaian disusun menjadi kode di akhir abad kedua belas melalui suatu
keputusan Eleanor dari Aquitaine, yang digunakan sebagai kode maritim di seluruh Eropa.
Ini adalah sumber Hukum Admiralty Inggris. Sekitar 1160 Eleanor dari Aquitaine pergi di
pulau Oleron untuk keadilan. Dia juga melakukan laporan hukum, yang kemudian
dikodifikasikan untuk mengatur perdagangan maritim. Ini merupakan kode maritim pertama
yang sukses besar. Hal ini secara bertahap berkembang menjadi 24 item ke akhir abad
kedua belas.

D. Sea Code of Wisby

Kode hukum laut yang ditetapkan oleh para pedagang dan penguasa kota megah
Wisbuy. Kota ini adalah ibukota kuno Gothland, sebuah pulau di laut Baltik. Maylne, dalam
koleksi hukum laut, mengatakan bahwa hukum Oleron telah diterjamahkan ke dalam bahasa
Belanda oleh rakyat Wisbuy ntuk penggunaan pantai Belanda. Ketentuan dalam Hukum
Wisby adalah persis sama dengan yang ditemukan di Hukum Oleron. Namun para penulis
utara ini berpura-pura bahwa Hukum Wisby lebih dahulu ada daripada Hukum Oleron atau
dari Consolato del Mare.
E. Hukum Laut Amanna Gappa

Himpunan hukum pelayaran dan perdagangan di Indonesia yang berasal dari Bugis,
Sulawesi Selatan. Dimana dalam hukum laut dan pelayaran Amanna Gappa ini memuat dua
puluh satu pasal, hal ini merupakan penyempurnaan dari Muhammad Ibnu Badwi yang
ditulisnya ketika berada di Gresik.

Amanna Gappa (abad ke-17) dan Undang-Undang Malaka (abad ke-15), menjadi acuan
dan tuntunan para pelayar. Di sini ditentukan antara lain, syarat-syarat menjadi nakhoda.
Raja Gowa pada tahun 1676 mengundang para Matoa (ketua) dan tokoh masyarakat yang
dianggap berpengalaman dalam bidang pelayaran untuk berunding. Mereka membicarakan
aturan-aturan dan tata tertib yang harus dipatuhi dalam pelayaran dan perdagangan.
Perundingan ini dipimpin oleh Amanna Gappa, Matoa Wajo, sehingga disebut hukum laut
Amanna Gappa. Peraturan ini ditulis dengan bahasa Bugis dalam bentuk lontar-lontar.
Tahun 1961 hukum ini masih diterbitkan di Makassar dan masih digunakan oleh para pelaut
Bugis sampai sekarang.Dalam hukum laut yang terdiri yang terdiri dari 21 pasal ini,
beberapa bagian sangat rinci menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dalam pelayaran.
Antara lain, cara berdagang dalam pelayaran, susunan birokrasi di kapal, syarat-syarat
untuk menjadi nakhoda, pembagian petak dalam kapal, serta empat macam orang atau
awak kapal: sawi tetap (kelasi tetap), sawi loga (kelasi bebas), sawi manumpang (kelasi
mnumpang), dan tommanumpang (orang yang menumpang kapal).

Jauh sebelum itu, pada masa bertahtanya Sultan Malaka, Muzzafar Syah (1445-1458)
telah dibuat Undang-Undang Malaka, yang ketentuannya berlaku di sekitar Selat Malaka.
Salah satu bagiannya, ‘Undang-Undang Laut’, memuat empat bagian penting.Bagian
pertama, mengenai peranan nakhoda dan pegawai dalam kapal. Bagian kedua, berkenaan
dengan keselamatan dalam kapal, tugas anak (awak) kapal, penyewaan dan penumpangan
kapal dagang. Ketiga, antara lain mengenai hak nakhoda memiliki barang yang ditemui di
laut. Keempat, menerangkan tentang kuasa nakhoda menghukum orang yang
melawannya.Selain hukum laut yang dibuat para penguasa pelabuhan dan pelayaran,
terdapat pula hukum laut yang dibuat kaum adat dan masih berlaku hingga sekarang.
Hukum laut ini biasanya menyangkut tentang kepemilikan hak atas suatu wilayah, jenis
sumber daya, teknologi, dan tingkat eksploitasi.
Pengertian dari Perjajian Tordesillas

Perjanjian Tordesillas adalah perjanjian yang dibuat antara Portugis dan Spanyol
yang ditandatangani di Tordesillas pada tanggal 7 Juni 1494. Perjanjian Tordesillas dibuat
dengan tujuan untuk menengahi konflik antara Portugis dan Spanyol dalam klaim tanah
yang baru ditemukan. Sebelumnya pada tahun 1943, Paus Alexander VI Perjanjian telah
membuat garis demarkasi untuk memisahkan daerah kekuasaan Portugis dan Spanyol.
Perjanjian Tordesilas dalam bahasa Portugis adalah Tratado de Tordesilhas dan dalam
bahasa Spanyol adalah Tratado de Tordesillas. Perjanjian ini benar-benar diperhatikan
dengan baik oleh kedua pihak, meskipun masih banyak ketidaktahuan mereka mengenai
geografi dunia baru. Namun, perjanjian ini mengabaikan kekuatan-kekuatan Negara-negara
lain di Eropa. Bahkan, kekuatan lain di Eropa tersebut pada umumnya tidak mempedulikan
isi perjanjian itu, terutama yang menjadi protestan setelah Reformasi Protestan.

 Latar Belakang Perjajian Tordesillas

Gambar 1. Pembagian dunia menurut perjanjian Tordesillas

Melalui Perjanjian Tordesillas ini, terjadi pembagian kekuasan antara kerajaan


Portugis dan Spanyol untuk menghindari munculnya perang antara keduanya. Sebelum
perjanjian itu juga terdapat kejadian-kejadian yang melatarbelakanginya. Salah satu
kejadian tersebut adalah penemuan Benua Amerika oleh Columbus.

 Penemuan Benua Amerika oleh Christoper Columbus

Kemunculan perjanjian ini diawali dengan peristiwa penemuan Benua Amerika oleh
Christoper Columbus pada tahun 1492. Columbus adalah seorang penjelajah yang lahir di
Portugis. Namun, pada tahun 1485 setelah kematian istrinya, ia pindah ke Spanyol bersama
anaknya, Diego. Alasan kepindahan Columbus disebabkan penguasa Protugis tidak
memberinya dukungan untuk melakukan pelayaran menuju ke sisi barat Portugal. Setelah
pindah ke Spanyol, ia mendapat dukuang dari raja Spanyol, Ferdinand II dan Isabella. Raja
Spanyol juga memberikan persetujuan untuk menjadikan Columbus sebagai gubernur di
tanah yang ditemukannya.
Gambar 2. Christoper Columbus

Timbal baliknya, Columbus berjanji akan menyebarkan agama Kristen, membawa


pulang remah-rempah, emas, dan perak. Akhirnya, pada tahun 1942 Columbus memulai
penjelajahannya menuju ke arah barat Cina. Dalam pelayarannya itu, ia menemukan
sebuah benua besar yang memisahkan samudra Atlantik dan Pasifik. Benua itu adalah
Amerika bagain Utara dan Selatan. Pada saat itu lebih dikenal dan dijuluki sebagai “New
World” atau “Dunia Baru”.

 Keputusan Kepausan “Papal Bull”

Setelah menemukan Benua Amerika, Christopher Columbus kembali ke Spanyol


pada tahun 1943. Sesampainya di Spanyol, ia kemudian pergi menemui Paus Alexander VI.
Pada saat itu Paus berperan sebagai penengah atau wasit dalam segala hal di Eropa.
Dimana Paus Alexander VI merupakan seorang paus kelahiran Spanyol. Setelah
mendengar kisah penjelajahan Columbus, Paus Alexander VI memahami kebutuhan untuk
membagi tanah yang baru ditemukan itu. Pembagain itu bertujuan untuk mencegah
kebingungan antara pihak Portugis dan Spanyol. Oleh, karena itu akhirnya Paus
menegluarkan “Keputusan Kepausan” atau “Papal Bull”.

Gambar 3. , Paus Alexander VI


Inti dari keputusan Kepausan (Papal Bull) adalah pembagian wilayah kekuasaan
antara Portugis dan Spanyol. Pembagian dilakukan dengan cara dibuatnya garis khayal
yang membentang dari utara sampai selatan. Garis demarkasi atau pemisah ini terletak
sejauh 100 liga (300 mil atau 483 km) dari sebelah barat Kepulauan Cape Verde. Jadi,
tanah yang ditemukan di sebelah barat garis demarkasi menjadi hak Spanyol dan di sebelah
timur menjadi hak Portugis.

 Penandatanganan Perjajian Tordesillas

Raja Potugis merasa tidak puas dengan keputusan tersebut. Akhirnya ia mengajak
raja Ferdinand II dan ratu Isabella berunding mengnai pembagian wilayah tersebut. Hal ini
dikarenkan Portugis juga ingin mendapatkan tanah di Dunia Baru. Sehingga ia meminta
agar garis demarkasi itu di geser sedikit. Negosiasi antara kedua pihak tersebut
dilaksanakan di Tordesillas, Spanyol.

Gambar 4. Penandatanganan Perjajian Tordesillas

Akhirnya perundingan yang diadakan pada tanggal 7 Juni 1494 mecapai kesepakatan.
Hasil dari perundingan itu adalah “Perjanjian Tordesillas”. Pada perjanjian itu disepakati
bahwa garis demarkasi yang ditetapkan Paus digeser sejauh 1.110 mil ke arah barat. Hal itu
menjadikan Portugis mendapat hak atas tanah pada sebagian wilayah di Amerika Selatan.
Wilayah tersebut terdiri dari Brazil dan seluruh wilayah di Samudra Hindia.
 Isi Perjanjian Tordesillas

Gambar 5. Perjajian Tordesillas

Isi Perjanjian Tordesillas adalah pembagian wilayah pelayaran antara Portuigis dan
Spanyol. Melalui perjanjian yang diberlakukan sejak tanggal 4 Juni 1474 ini, Spanyol
akhirnya melakukan pelayaran ke arah barat dari kepulauan Cape Verde. Wilayah pelayaran
itu mencakup daerah Benua Amerika. Hinggaa akhirnya Spanyol mampu belayar hingga
mencapai negara Filipina pada tahun 1521. Sedangkan Portugis melakukan pelayaran ke
arah timur untuk mencari rempah-rempah. Hingga akhirnya Portugis sampai ke Maluku di
tahun yang sama.

 Dampak Perjanjian Tordesillas Bagi Indonesia

Dampak dari Perjanjian Tordesillas bagi Indonesia adalah masuknya Portugis ke Maluku
dengan tujuan menguasai rempah-rempah di daerah tersebut. Portugis berhasil sampai di
Ternate, Maluku Utara pada tahun 1521. Sedangkan, Spanyol pada saat yang sama sudah
berhasil menguasai Tidore. Sehingga, akhirnya terjadi perseteruan diantara keduanya.
Secara geografis kerajaan Ternate terletak disebelah selatan kerajaan Tidore. Letak pulau
Maluku berada di antara Sulawesi dan Papua. Sehingga menjadikan wilayah itu sebagai
lokasi yang strategis dan penting dalam dunai perdagangan.

 Masuknya Portugis dan Spanyol ke Indonesia

Pada saat itu pulau Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar dan
mendapat julukan sebagai “The Spicy Island”. Bahkan komoditas utama perdagangan pada
waktu itu adalah rempah-rempah. Hal ini menyebabkan banyak pedangang dari berbagai
negara datang dengan tujuan untuk menguasai rempah-rempah di sana. Sebelum
kedatangan Potugis dan Spanyol di Maluku, telah berdiri 4 kerajaan Islam. Kerajaan
tersebut adalah Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan. Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang
kolano, yang semuanya bersal dari satu garis keturunan, yaitu Ja’far Sadik. Dia adalah
orang berkebangsaan arab dan merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.

Hingga akhirnya, pada bulan Desember 1511 perwakilan negara Portugis


yang berkedudukan di Malaka mengirimkan 3 kapal ekspedisi pertama menuju ke Maluku.
Kemudian diikuti oleh Antonio de Abreu dan Fransesco Serrao yang tiba di Ternate pada
tahun 1512. Sedangkan bangsa Spanyol tiba di Tidore pada tahun 1521 menggunakan
kapal Victoria dan Trinidad. Sejak saat itu mulai terjadi konflik yang menimbulkan
peperangan antara Portugis dan Spanyol. Akhirnya, pada tahun 1522 Portugis yang
dipimpin oleh Antonio de Brito berhasil mengusir Spanyol dari Tidore. Sejak saat itu akhirnya
Portugis mulia memonopoli perdagangan rempah-rempah di pulau Maluku.

 Perjanjian Zaragoza (1529)

Berdasarkan kejadian itu akhirnya dibuatlah perjanjian Zaragoza yang disepakati di


tahun 1529. Perjanjian itu membagi kembali wilayah penjelajahan mereka. Berdasarkan
perjanjian tersebut Maluku dan tanah-tanah lain di bagian Barat Samudra Pasifik yang
dimiliki oleh Spanyol diserahkan ke tangan Potugis. Spanyol mau melepas klaim atas
Maluku dan memberikannya kepada Portugis dengan ganti sebanyak 350.000 dukat emas.

 Dampak Pendudukan Portugis di Indonesia

Dampak dari pendudukan Potugis di Maluku, masih dapat dirasakan hingga saat ini.
Hal ini dapat dilihat dari kebudayaan di Maluku yang terpengaruh oleh kebudayaan Portugis.
Terdapat beberapa kebudayaan yang ditinggalkan oleh Portugis selama berada di Maluku.

Gambar 6. Gereja peninggalan portugis

Seperti balada-balada keroncong romantis yang dinyanyikan dengan iringan gitar


yang berasal dari kebudayaan Portugis. Terdapat juga beberapa kosa kata Bahasa
Indonesia j yang berasal dari bahasa Portugis. Contohnya adalah pesta, sabun, bendera,
meja, Minggu, dan alin sebaginya.
Pengertian dari “Freedom of The Seas”

 Sejarah lahirnya Konsep Hukum Laut Wilayah dan Laut Bebas

Pada zaman Romawi , penguasaan laut belum menimbulkan persoalan perlintasan laut,
karena kekuatan Romawi sebagai kekuasaan kekaisaran (imperium) masih menguasai Laut
Tengah dan belum ada kerajaan-kerajaan yang mengimbangi kekuatan kekaisaran Romawi
pada waktu itu. Tujuan penguasaan laut oleh kekaisaran Romawi adalah agar semua
manusia dapat menfaatkan laut tanpa ada ancaman dari bajak laut. Konsep ini disebut “Res
Communis omnium” atau hak bersama seluruh umat manusia. Kemudian konsep ini
berkembang menjadi anggapan, bahwa laut tidak ada yang memiliki atau dikenal dengan
istilah “Res Nullius”. Dari sinilah lahir istilah Laut bebas dari penguasaan negara.

Pada masa abad pertengahan imperium Romawi runtuh, maka bermunculanlah negara-
negara yang menuntut sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya, antara lain
Venetia mengklaim Laut Adriatik, Genoa mengklaim laut Liguria dan Pisa mengklaim laut
Thyrrhenia. Klaim negara-negara ini menimbulkan keadaan yang menyebabkan laut tidak
lagi menjadi milik bersama, sehingga diperlukan peraturan untuk menjelaskan kedudukan
hak-hak atas laut menurut hukum.

Pada masa abad pertengahan ini, timbul teori-teori, konsep-konsep, doktrin tentang
penguasaan laut, antara lain :

1) Teori Bartolus yang membagi laut menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :

-. Laut Wilayah, yaitu laut yang berada pada kekuasaan kedaulatan negara pantai.

-. Laut Lepas, yaitu laut bebas dari kekuasaan negara manapun.

2) Konsep Baldus yang membagi laut atas 3 (tiga) penguasaan, yaitu :

-. Pemilikan laut

-. Pemakaian laut

-. Yurisdiksi laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap


kepentingan-kepentingan di laut.

3) Doktrin Laut Tertutup ( Mare Clausum ) dan Laut Bebas ( Mare Liberum )
a. Grotius ( 1609 ) mengemukakan, bahwa

-. Doktrin Mare Liberum berdasarkan asas kebebasan laut (freedom of the seas).
Hal ini dimaksudkan untuk menyangkal politik Portugal dan Spanyol yang
melarang negara lain berlayar ke Timur jauh. Padahal laut harus terbuka bagi
siapapun karena tidak ada yang memiliki. Laut harus bebas digunakan untuk
berlayar (freedom of navigation) dan bebas untuk menangkap ikan.

-. Doktrin Mare Clausum merupakan doktrin yang dianut oleh kerajaan-kerajaan


Portugal, Spanyol, Denmark dan Inggris yang menganggap bahwa laut
sebagai miliknya, sehingga laut tertutup untuk pihak lain (dominio maris).
b. Pontanus mengajukan teori kompromi dari kedua doktrin tersebut, yang
kemudian dikenal dalam hukum laut modern sebagai Laut Teritorial dan Laut
Lepas, yaitu:

-. Laut yang berdekatan dengan pantai merupakan laut kedaulatan negara


pantai tersebut atau disebut laut territorial

-. Laut yan jauh dari pantai suatu negara adalah laut bebas. Namun demikian,
yang menjadi persoalan adalah berapa lebar laut territorial yang dapat
dikuasai oleh negara pantai. Pada permulaan sejarah hukum laut dikenal 3
(tiga) cara penetapan lebar Laut Teritorial, yaitu :

 Ukuran tembakan meriam


 Ukuran pandangan mata
 Ukuran “marine league”

4) Konsep Jarak Tembakan Meriam dan penentuan 3 mil Laut

Teori jarak tembak meriam yang banyak dibicarakan orang, teori ini mengira, bahwa
lebar laut teritorial sejauh 3 mil adalah sama dengan ukuran tembakan meriam, walaupun
ada juga sarjana yang membedakan antara keduanya. Pada abad ke 19 dan 20 konsep
lebar laut territorial yang beralaku secara umum adalah 3 mil atau sama dengan tembakan
meriam. Dan di luar dari itu termasuk laut lepas atau laut bebas. Untuk kepastian hukum
laut, beberapa negara telah mengadakan konprensi kodifikasi Hukum Laut di Den Haag
pada tahun 1930.
Mare Liberum dan De Indis

Dalam abad ke-17 dapat dikatakan telah lahir dua ajaran (doktrin) di bidang hokum laut
internasional, yaitu ajaran Mare Liberium, yang menegaskan bahwa laut tidak bias dimiliki
oleh siapa pun; dan Mare Clausum, yang menyatakan bahwa laut dapat dimiliki. Pendapat
pertama dianut Belanda, dan yang kedua, antara lain, dianut Inggris, Spanyol, dan Portugal.
Kedua ajaran ini pada hakekatnya sama dengan teori res nullius (mare clausum), dan res
communis (mare liberium).

Kedua ajaran ini timbul akibat dari pertentangan Belanda atas penguasaan laut di
dunia oleh Portugal dan Spanyol, serta untutan Inggris atas kawasan Mare Anglicanum.
Pertentangan antara Negara-negara ini terutama antara Belanda dan Inggris
menimbulkan the Battle of books (perang buku).perang buku ini berlangsung kurang lebih 50
tahun dan berakhir dengan terjadinya perang antara Inggris dan Belanda pada tahun 1665.
Perang buku ini umumnya berkisar pada dua teori tersebut.

 Mare Liberum

Sebenarnya, sebelum terbit dan dikembangkannya ajaran Mare Liberum dalam tahun
1609 oleh Grotius, ajran ini telah dianut oleh Negara-negara lain. Selama abad ke-16 Ratu
Inggris, Elizabeth menganut teori ini. Francoise Alfonso Castro dalam bukunya De Potestate
Legis Poenalis, Vasculus Menchaca (1509-1569)di Portugal dalam bukunya Controverslae
Illustris, Alberto Gentilldi Italia dalam bukunya de Jure Belli menganut teori ini.

Gambar 7. Mare Liberum

Di antara penulis penganut teori ini yang paling terkenal adalah Hugo de Groot, yang
menulis pandangannya mengenai kebebasan laut dalam bukunya Mare Liberum yang terbit
tahun 1608 tersebut. Sesuai ajarannya tentang mare liberum, Grotius berpendapat laut tak
dapat dimiliki oleh negara.7 Pendapat ini sejalan dengan konsepsinya mengenai pemilikan
(ownership). Menurutnya, ownership (termasuk laut) hanya dapat terjadi melalui possession,
dan possession hanya bias terjadi melalui pemberian atau melalui occupation.
Occupation atas barang-barang bergerak dapat terjadi melalui hubungan fisik atas
barang tersebut, sedangkan occupation atas benda tidak bergerak dapat terjadi dengan
membangun sesuatu di atasnya (“by power of standing and sitting11). Karena itu pemilikan
hanya dapat terjadi atas barang-barang yang dapat dipegang teguh. Dan untuk dapat
dipegang diteguh benda-benda tersebut harus ada batasnya. Laut adalah sesuatu yang
tidak berbatas, karena itu tidak dapat diokupasi. Selain itu laut itu cair, dan sesuatu yang cair
hanya dapat dimiliki dengan memasukkan ke tempat yang lebi padat (peraliud). Dengan
demikian, tuntutan pemilikan laut berdasarkan penemuan (discovery), penguasaan dalam
jangka waktu lama (prescription) ataupun servitude tak dapat diterima karena semua itu
bukan alas an untuk memperoleh ownership atas laut. Meskipun demikian, Grotius
mengakui bahwa anak laut, inner sea, dan sungai sekalipun cair dapat dimiliki karena ada
batasnya.

 Mare Clausum

Ajaran Grotius mengenai mare liberum sebagaimana disebutkan di atas mendapat


tantangan dari berbagai penulis sejamannya. Mereka antara lain Gentilis, William Welwood,
John Borough, Paulo Sarol, dan John Shelden.9 Tantangan atas ajaran Grotius mencegah
kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-bagian tertentu dari laut bebas pada
waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori mare liberium hanya dalam satu hal,
yaitu kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di laut.

Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John Sheldon. Penentangnya ini
dikemukakan dalam bukunya “Mare Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636).
Menurut Sheldon, okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun, sejarah telah
membuktikan bahwa Negara-negara telah menjalankan kekuasaan mereka atas lautan,
dank arena itu melalui prescription itu dapat dimiliki. Karenanya laut itu bukan mare liberium
tetapi mare clausum. Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tak dapt dimiliki, karena
sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat dimiliki.
Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930

Terdapat banyak dorongan yang menyebabkan negara-negara menghendaki


kekuasaan atas laut yang berbatasan dengan pantainya, yang bersumber pada keinginan
untuk mengamankan kepentingan masing-masing negara. Tercapainya kompromi antara
kecenderungan terhadap perbedaan pendapat dalam pengaturan laut di masa abad
pertengahan. Yang pada jaman itu membagi laut menjadi dua, baik laut yang masing-
masing berada di bawah kedaulatan negara pantai yang dinamakan laut territorial dan laut
lepas yang berstatus bebas. Walaupun demikian pada abad XVIII terbentuk anggapan
bahwa suatu negara mempunyai kedaulatan atas suatu jalur laut sepanjang pantainya
sejauh tembakan meriam atau 3 mil. Ukuran lebar laut territorial 3 mil di ambil karena pada
waktu itu jarak tembakan meriam di perkirakan jauhnya 3 mil. Dan pada saat itu Amerika
serikat negara pertama yang menyatakan lebat laut territorial itu dalam ukuran 3 mil pada
tahun 1793 dalam menghadapi pertikaian Inggris dan Perancis, dalam menentukan perairan
netralnya. Tiidak hanya Amerika, negara-negara maritime seperti Inggris, Kanada dan
negara-negara Eropa lainnya menerima batas laut territorial jauh 3 mil.

Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam mengartikan isi dan arti pengertian


kedaulatan negara pantai dalam laut territorial-nya ini di sebabkan oleh latar belakang
sejarah dari pada masing-masing usaha dalam kekuasaan negara pantai atas laut yag
berbatasan dengan pantainya. Dan banyak negara yang mengklaim bahwa batas laut 3 mil
kurang efektif. Pertimbangan ini juga mengakibatkan dipeluasnya daerah laut yang daerah
yang laut yang jatuh ke bawah yuridiksi negara pantai.

Pada tahun 1930 PBB yang dahulu adalah Liga Bangsa-Bangsa mengadakan suatu
kofrnesi kodifikasi Hukum Internasional yang meliputi tiga permasalahan :
 Kewarganegaraan (Nasionality)
 Perairan Teritorial (territorial waters)
 Tanggung jawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam wilayahnya
terhadap pribadi atau kekayaan orang asing (responsibility of states)

Pada tahun 1899 hingga 1901 diselenggarakan konfrensi perdamaian di Den Haag yang
merupakan usaha pertama dari masyarakat dan bangsa-bangsa untuk melakukan
perumusan yang mengatur tentang hubungan negara dalam bentuk tertulis konfrensi
perdamaian ini di susun dengan konfrensi kodifikasi tahun 1907 menghasilkan konvensi
tentang perang dan netralitas. Setelah berakhirnya perang dunia I dengan melanjutkan
usaha untuk menunjukkan optimis dan kepercayaan anggota akan kemampuan badan-
badan ini, untuk mengusahakan menciptakan perdamaian melalui kodifikasi dari ketentuan
hukum internasional yang berlaku dipilihnya hukum mengenai Laut territorial sebagai salah
satu masalah hukum yang perlu dikodifikasikan menggambarkan keinginan masyarakat
bangsa-bangsa waktu itu untuk memperoleh ketegasan dalam suatu bidang hukum yang
berkembang.
Konfrensi Den Haag tahun 1930 tidak menghasilkan kata sepakat tentang lebar laut
territorial, sehingga seluruh pekerjaan konfrensi mengenai masalah laut tidak dapat di
tuangkan dalam konvensi. Karena berbagai pendapat tentang luas territorial yang
menghasilkan perbedaan pendapat. Walaupun demikian konfrensi gagal untuk mencapai
kata sepakat, namun setidaknya telah tercapai kejelsan mengenai bebrapa persoalan
mengenai hukum tentang territorial yang bila tidak dapat dianggap sebagai kodifikasi dari
hukum kebiasaan yang hingga saat itu berlaku beberapa praktek yang dihasilkan :
 Laut Teritorial
 Hak lintas Damai
 Yuridiksi negara pantai atas kapal-kapal asing di dalam laut territorial
 Hot Persuit.
Konferensi UNCLOS I Tahun 1958

Konferensi PBB pertama tentang hukum laut bertemu di Jenewa dari 24 Februari-29
April 1958. Sebanyak 86 negara yang diwakili pada diskusi. Untuk sebagian besar apa yang
dicapai adalah kodifikasi praktek adat pada waktu itu. Ada upaya untuk berlayar ke dalam air
unchartered (sehingga-untuk-berbicara), tapi sedikit kemajuan telah dibuat.
Ketidakmampuan UNCLOS I untuk menyelesaikan beberapa masalah menjengkelkan,
termasuk khususnya lebar laut teritorial, menyebabkan UNCLOS kedua pada tahun 1960
dan akhirnya pada UNCLOS III, yang berlangsung dari Desember 1973 sampai Desember
1982. Kesepakatan yang dicapai selama UNCLOS I dirangkum dalam empat konvensi
sebagai berikut:

1. Konvensi tentang High Seas


2. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
3. Konvensi tentang Landas Kontinen
4. Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Laut Tinggi.

Konvensi pada High Seas. Konvensi di laut lepas mulai dengan mendefinisikan laut
lepas untuk menjadi, Sementara ini dikotomi mencerminkan pemikiran yang lebih-atau-
kurang tradisional “semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau
dalam perairan pedalaman suatu Negara.” pada saat itu, itu diubah menjadi divisi tripartit
selama UNCLOS III – laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan laut lepas. Konvensi di laut
lepas melanjutkan untuk menentukan kebebasan tertentu itu sudah diambil untuk diberikan:
kebebasan navigasi, kebebasan memancing, kebebasan untuk meletakkan kabel dan pipa
bawah laut, dan kebebasan overflight. Sebuah peringatan penting untuk kebebasan tersebut
adalah ketentuan bahwa Setidaknya dalam kasus hak penangkapan ikan, peringatan ini
ditandai signifikan “mereka harus dilakukan dengan memperhatikan wajar untuk
kepentingan negara lain dalam latihan mereka tentang kebebasan laut lepas.”
keberangkatan dari sudut pandang Grotian bahwa laut lepas adalah res nullius. Peringatan
presaged sudut pandang, kemudian dinyatakan dalam UNCLOS III, bahwa laut lepas adalah
res communis. Setelah artikel dalam konvensi di laut lepas dikodifikasikan praktek-praktek
tradisional yang bersangkutan dengan (1) tanggung jawab terkait dengan tabrakan di laut,
(2) perbudakan, (3) pembajakan, (4) mengejar panas, dan (5) pencemaran.

Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Pasal 1 dari konvensi ini secara
eksplisit menyatakan, “Kedaulatan Negara meluas, melampaui wilayah daratan dan perairan
internal, ke sabuk laut berdekatan dengan pantainya, digambarkan sebagai laut teritorial.”
Meskipun konsensus kodifikasi Den Haag 1.930 Konferensi telah bahwa kedaulatan negara
pesisir diperluas ke wilayah laut, ini adalah kodifikasi pertama konsep ini dalam sebuah
perjanjian internasional. Pasal 3 melanjutkan untuk menentukan dasar dari mana lebar laut
teritorial adalah untuk diukur: “The dasar normal untuk mengukur luasnya laut teritorial
adalah garis air rendah sepanjang pantai seperti yang ditandai pada skala besar grafik resmi
diakui oleh negara pantai “Meskipun demikian mendefinisikan dasar laut teritorial., para
delegasi pada UNCLOS saya tidak dapat mencapai kesepakatan tentang apa yang lebar
laut teritorial harus. Karena masalah ini adalah salah satu motivasi utama untuk UNCLOS I,
kegagalan untuk mencapai kesepakatan tentang masalah ini dianggap sebagai kelemahan
paling mencolok dari konferensi.
Menariknya, konferensi menyepakati konsep zona bersebelahan memperluas luar laut
teritorial di mana sebuah negara pantai memiliki kewenangan untuk mencegah pelanggaran
adat istiadat, fiskal, imigrasi atau peraturan sanitasi dalam wilayahnya atau laut teritorial.
Zona tambahan didefinisikan untuk “tidak melampaui dua belas mil dari garis dasar dari
mana luasnya laut teritorial diukur.” Sebuah zona tambahan sehingga didefinisikan tidak
masuk akal kecuali lebar laut teritorial adalah kurang dari dua belas mil. Pada saat
konferensi Amerika Serikat disukai laut enam mil teritorial, dan konsep ini didukung oleh
negara-negara lain, termasuk Swedia, Ceylon (sekarang Sri Lanka), Italia, dan Inggris.
Kelompok kedua, termasuk India, Meksiko, Columbia, Yugoslavia, dan Uni Soviet disukai
lautan dua belas mil teritorial. Chile, Ekuador, dan Peru, penandatangan Deklarasi Santiago,
berpendapat untuk laut 200 mil teritorial.

Sebuah peringatan penting bagi kedaulatan negara pesisir di laut teritorial adalah hak
istimewa kapal dari semua negara, baik pesisir atau tidak, untuk menikmati hak lintas damai
melalui laut teritorial. Bagian didefinisikan sebagai bersalah jika itu tidak merugikan
kedamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai. Definisi ini agak kabur meninggalkan
lintang tertentu untuk interpretasi. Kapal militer seperti kapal perang dan kapal induk,
misalnya, tidak disebutkan secara eksplisit. Dalam kondisi yang tepat, akan bagian dari
kapal-kapal tersebut dianggap tidak bersalah? Menariknya, konvensi tidak membuat
menyebutkan khusus kapal selam. Kapal selam berhak atas hak lintas damai selama
mereka menavigasi di permukaan dan menunjukkan bendera mereka. Implikasinya akan
tampak bahwa kapal permukaan militer juga akan berhak atas hak lintas damai asalkan
mereka menunjukkan bendera mereka.

 Konvensi tentang Landas Kontinen.

Konvensi ini pada dasarnya mengikuti utama dari Proklamasi Truman dan klaim
selanjutnya Tengah beberapa negara Amerika Latin. Konvensi tersebut mendefinisikan
landas kontinen sebagai “yang berdekatan laut dan bawah tanah dari daerah bawah laut ke
pantai tetapi di luar wilayah laut teritorial, hingga kedalaman 200 meter atau, di luar batas
itu, ke mana kedalaman perairan diatasnya mengakui dari eksploitasi sumber daya alam
dari daerah tersebut “dan” dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah bawah laut yang
sama berdekatan dengan pantai pulau-pulau.

“Menurut konvensi ini, negara pantai hak berdaulat atas landas kontinen untuk tujuan
eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya alamnya. Sumber daya alam didefinisikan untuk
mencakup non-hidup sumber daya, seperti mineral, dan “organisme hidup milik spesies
menetap, yang mengatakan, organisme yang, pada tahap ditebang, baik yang bergerak
pada atau di bawah dasar laut atau tidak bisa bergerak kecuali dalam kontak fisik konstan
dengan dasar laut atau lapisan tanah. “Konvensi secara khusus menyatakan bahwa” hak-
hak Negara pantai atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan
diatasnya sebagai laut lepas, atau bahwa wilayah udara di atas mereka perairan.

“berubah Salah satu elemen merepotkan konvensi di landas kontinen keluar menjadi
masalah spesies menetap. Beberapa tahun setelah adopsi konvensi, perselisihan muncul
antara Perancis dan Brasil mengenai panen lobster di landas kontinen Brasil. Jepang juga
menolak untuk mengakui kepiting sebagai spesies menetap. Masalah spesies menetap
akhirnya menjadi diperdebatkan dengan penciptaan 200 mil zona ekonomi eksklusif oleh
UNCLOS III.
 Konvensi Memancing dan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Laut Tinggi.

Konvensi ini tampaknya didorong oleh dua masalah dasar. Pertama, dengan isu-isu over-
eksploitasi, diharapkan bahwa tekanan dari negara-negara pantai untuk memperpanjang
laut teritorial mereka mungkin berkurang. Kedua, negara-negara yang sudah
menandatangani perjanjian untuk melestarikan saham tertentu ingin perjanjian tersebut
harus diakui dalam konvensi tersebut. Sayangnya konvensi memiliki banyak kekurangan
dan dalam waktu singkat digantikan oleh praktik negara.

Setelah UNCLOS III menjadi sebagian besar usang. Namun demikian, konvensi berisi
beberapa bahasa penting yang mempengaruhi diskusi selama UNCLOS III. Secara khusus,
konvensi didefinisikan konservasi sumber daya hayati laut bebas sebagai “agregat tindakan
render mungkin hasil yang berkelanjutan yang optimal dari sumber daya sehingga dapat
mengamankan pasokan maksimum makanan dan hasil laut lainnya. Program konservasi itu
harus dirumuskan dengan tujuan utama mengamankan pasokan pangan untuk konsumsi
manusia. Seperti halnya dalam konvensi di laut lepas, ketentuan tersebut menandai
keberangkatan yang cukup besar dari sikap Grotian res nullius dan secara implisit mengakui
bahwa sumber daya hayati laut yang tidak habis-habisnya dan memang bahwa penggunaan
cerdas mereka diperlukan beberapa tingkat manajemen konservasi.

Salah satu aspek yang paling sulit dari konvensi adalah mekanisme untuk menyelesaikan
sengketa yang dijelaskan dalam artikel 9-12. Sengketa itu harus diselesaikan melalui
arbitrase mengikat. Kondisi ini mungkin lebih dari apa pun membuat negara-negara besar
nelayan enggan menandatangani konvensi. Masalah yang sulit lainnya adalah kegagalan
konvensi untuk menentukan zona memancing dan kegagalan untuk secara memadai
melindungi sumber hidup dari laut. Masalah zona perikanan baik digambarkan oleh
serangkaian perang cod antara Islandia dan Inggris.

Yang pertama terjadi pada tahun 1958 dan dipicu oleh kegagalan UNCLOS I untuk
mencapai kesepakatan tentang lebar laut teritorial. Tak lama setelah kesimpulan dari
UNCLOS I, Islandia secara sepihak memperluas zona memancing untuk dua belas mil.
Yang kedua terjadi pada 1972-1973 ketika Islandia diperpanjang zona memancing untuk 50
mil. Yang terakhir terjadi antara November 1975 dan Juni 1976, ketika Islandia menyatakan
otoritas atas lautan untuk jarak 200 mil dari garis pantainya. Yang kedua dari perang cod
terjadi tepat sebelum UNCLOS III, dan yang ketiga terjadi selama UNCLOS III.

Meskipun tidak ada orang meninggal dan beberapa tembakan dilepaskan, Islandia pantai
penjaga kapal memotong jaring pukat Inggris, dan ada rammings banyak melibatkan kapal
trawl Islandia dan Inggris dan fregat. Sengketa ini dirujuk ke Mahkamah Internasional (IJC)
oleh Inggris dan Republik Federal Jerman (FRG), namun Islandia menolak mengakui
yurisdiksi Mahkamah Internasional dan tidak ambil bagian dalam proses. Realitas politik dan
konsensus pendapat di UNCLOS III akhirnya diselesaikan sengketa mendukung Islandia,
dan kedua Inggris dan FRG kemudian mendirikan 200 zona memancing mil dari mereka
sendiri. Jelas isu zona memancing adalah isu yang sensitif. Meskipun benar bahwa
konvensi diartikulasikan beberapa tujuan mulia untuk pengelolaan sumber daya hayati laut,
kegagalan yang luar biasa dalam banyak kasus negara untuk mengelola stok ikan secara
berkelanjutan di tahun-tahun berikutnya telah menggarisbawahi kegagalan konvensi untuk
mengidentifikasi mekanisme untuk memfasilitasi pengelolaan sumber daya hayati dengan
cara yang konsisten dengan tujuan konvensi. Pada saat ini hanya 37 negara telah
meratifikasi konvensi tersebut, dan mereka hanya tiga belas secara aktif terlibat dalam
penangkapan ikan. Terutama hilang dari daftar penandatangan adalah Jepang, Indonesia,
Rusia, Peru, Chile, dan India.

Salah satu masalah yang lebih umum UNCLOS I adalah fakta bahwa sayangnya terjadi
selama senja kekuasaan kolonial Eropa. Meskipun di tahun 1958 Prancis telah melepaskan
kontrol atas harta Afrika-nya, Portugal dan Inggris masih mempertahankan imperium
kolonial yang cukup. Akibatnya, hanya 86 negara yang diwakili di UNCLOS I. Sebagai
perbandingan, 137 negara berpartisipasi dalam UNCLOS III. Untuk beberapa UNCLOS
sejauh saya mewakili kodifikasi sikap sebagian besar Eropa tentang hukum laut. Dalam
sepuluh tahun jumlah negara yang berkepentingan dengan hukum laut dan distribusi
geografis mereka telah berubah secara dramatis. Dalam banyak kasus negara-negara yang
baru merdeka memiliki sikap yang agak berbeda tentang hukum laut dari 86 negara yang
berpartisipasi dalam UNCLOS I. Hasilnya telah bahwa UNCLOS I, meskipun tentu sebuah
tonggak penting dalam sejarah hukum laut, memiliki telah sangat banyak dibayangi oleh
kesepakatan yang dicapai selama UNCLOS III.
Konferensi UNCLOS II Tahun 1960

Konferensi PBB kedua pada hukum laut diadakan di Jenewa dari tanggal 17 sampai
April 26, 1960. UNCLOS II secara khusus dipanggil oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk menyelesaikan masalah lebar laut teritorial dan batas perikanan.
Pada saat konferensi dua puluh dua negara mengklaim tiga mil laut teritorial, enam belas
mengklaim laut teritorial antara empat dan dua belas mil, tiga belas mengklaim laut teritorial
dua belas mil, dan dua mengklaim laut teritorial yang lebih luas dari dua belas mil.

Semua proposal yang diajukan ke konvensi berpendapat untuk laut teritorial yang
lebih luas dari tiga mil. Amerika Serikat dan Kanada mengusulkan enam mil laut teritorial
dan zona perikanan dengan memperluas enam mil tambahan. Usulan AS-Kanada gagal
dengan satu suara untuk mendapatkan mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan untuk
diadopsi, dan konferensi akhirnya menyimpulkan tanpa mencapai kesepakatan apapun.
Menyusul kegagalan UNCLOS II, banyak negara mulai bertindak secara sepihak untuk
membangun baik laut yang lebih luas teritorial dan / atau zona perikanan.

Perpanjangan Zona Perikanan Eksklusif AS. Pada tahun 1966, Kongres AS


meloloskan Hukum Publik 89-658, yang diperpanjang AS perikanan zona sembilan mil di
luar tiga mil laut teritorial, pada dasarnya menciptakan zona dua belas mil perikanan di
mana AS dilaksanakan hak yang sama berkaitan dengan perikanan yang itu dilakukan di
wilayah laut. Amerika Serikat memiliki banyak perusahaan. Pada tahun 1960 hanya enam
negara telah mengklaim zona memancing dari dua belas mil. Pada tahun 1971 jumlah
tersebut telah meningkat menjadi dua puluh lima. Montevideo, Lima, dan Domingo Santa
Deklarasi.

Pada tahun 1970 sejumlah negara Amerika Selatan itu mengklaim 200 mil laut
teritorial, dan Nikaragua telah membentuk zona 200 mil perikanan. Dalam dua tahun ke
depan serangkaian tiga pertemuan menghasilkan deklarasi multilateral yang jelas
menunjukkan penolakan hampir universal oleh negara-negara Amerika Selatan doktrin dari
laut teritorial tiga mil. Pada tahun 1970 Uruguay mengundang semua negara Amerika Latin
dengan 200 mil klaim untuk sebuah pertemuan di Montevideo. Pertemuan ini menghasilkan
Deklarasi Montevideo, yang ditandatangani oleh Argentina, Brazil, Chili, Ekuador, El
Salvador, Nikaragua, Panama, Peru, dan Uruguay.

Deklarasi ini mengakui hak negara pantai untuk menetapkan batas maritim yang
tepat sambil menjaga hak-hak negara lain untuk navigasi dan penerbangan. Sebuah
deklarasi serupa juga dikeluarkan kemudian tahun yang sama di Lima dan ditandatangani
oleh Columbia, Republik Dominika, Guatemala, Honduras, dan Meksiko di samping
penandatangan Deklarasi Montevideo. Kedua deklarasi pada dasarnya berusaha (1)
pembentukan posisi regional tentang masalah lebar laut teritorial dan (2) penerimaan
internasional untuk posisi ini. Dua tahun kemudian sepuluh negara Amerika Latin bertemu di
Santa Domingo dan menandatangani deklarasi yang disediakan untuk dua belas mil laut
teritorial dan 200 mil “laut patrimonial”.

Ketidakpuasan negara-negara Amerika Latin dengan tiga mil laut teritorial


dicerminkan oleh perasaan banyak negara Afrika. Pada tahun 1973, misalnya, Tanzania
sepihak memperluas wilayah laut sampai 50 mil. Meskipun ini tindakan tertentu bisa
dirasionalisasi sampai batas tertentu atas dasar masalah keamanan, faktanya adalah bahwa
tahun 1973 Tanzania Proklamasi mencerminkan perasaan banyak negara-negara Afrika
yang baru muncul, yang benar mengakui bahwa mereka telah tidak punya hak suara dalam
penentuan hukum yang masih ada dari kebijakan laut. Mereka menunjuk ke kegagalan
UNCLOS I dan II sebagai pembenaran untuk mengambil tindakan sepihak untuk
memperpanjang laut teritorial mereka.
Konferensi UNCLOS III Tahun 1982

UNCLOS III membahas isu-isu dibeli di konferensi sebelumnya. Lebih dari 160
negara berpartisipasi dalam konvensi 9 tahun, yang akhirnya mulai berlaku pada tanggal 14
November 1994, 21 tahun setelah pertemuan pertama UNCLOS III dan satu tahun setelah
ratifikasi oleh negara keenam puluh. Pertama enam puluh ratifikasi hampir semua negara-
negara berkembang.

Hal utama dari konvensi ini adalah permasalahan maritim zones- laut teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, laut tinggi, wilayah laut-tidur
internasional dan perairan kepulauan. Konvensi juga membuat ketentuan untuk lewatnya
kapal, perlindungan lingkungan laut, kebebasan penelitian ilmiah, dan eksploitasi sumber
daya.Setelah di sahkannya Konferensi ketiga (UNCLOS III) yang sekarang dikenal sebagai
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the
Sea) yang ditandatangani oleh 119 Negara di Teluk Montego Jamaika tanggal 10 Desember
1982. Bagi sebuah Negara UNCLOS 1982 membagi laut menjadi tiga jenis atau zona
maritime yaitu:

1) Laut yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan yaitu ( di laut teritorial, laut
pedalaman)
2) Laut yang bukan merupakan wilayah kedaaulatannya namun negara tersebut
memiliki hak-hak yurisdiksi terhadap aktifitas-altifitas tertentu yaitu ( di zona
tambahan dan zona ekonomi esklusif)
3) Laut yang berada di luar dua di atas ( artinya bukan termasuk wilayah
kedaulatannya dan bukan wilayah yurisdiksi) namun negara tersebut memiliki
kepentingan ( yaitu laut bebas).

Di dalam UNCLOS 1982 selain mengatur mengenai batas-batas maritim juga


mengatur hak-hak dan kewajiban Negara pantai yang yang harus dipatuhi oleh Negara di
Dunia, terhadap Negara pantai dapat menegakkan peraturan perundang-undangannya
seperti yang telah disampaikan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS III)
dalam pasal 73.

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut
atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi
Perserikatan Bangsa ketiga United pada Hukum Laut (UNCLOS III), yang berlangsung dari
tahun 1973 sampai dengan 1982. Hukum Konvensi Laut mendefinisikan hak dan tanggung
jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia, menetapkan pedoman untuk bisnis,
lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam kelautan. Konvensi menyimpulkan pada
tahun 1982 menggantikan tempat 1.958 perjanjian.UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994,
setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian itu. Hingga
saat ini 160 negara dan Uni Eropa telah bergabung dalam Konvensi. Sementara Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi dan PBB
menyediakan dukungan untuk pertemuan negara-negara pihak pada Konvensi, PBB tidak
memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun,
peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional,
Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otoritas Dasar Laut Internasional (yang
terakhir yang dibentuk oleh Konvensi PBB).

Anda mungkin juga menyukai