Pembimbing :
Disusun oleh :
112016066
Fetal :
• Gawat janin
• Korioamnionitis
• Janin mati
• IUGR
Pemberian dosis obat haruslah mulai dari dosis terkecil dengan peningkatan setiap 15-30
menit sesuai dengan keperluan untuk menghambat kontraksi uterus. Denyut nadi ibu tidak
boleh lebih dari 130 x/m dan kita harus menyesuaikan dosis tokolitik jika efek samping
timbul.
Ritodrin biasanya diberikan intravena dengan dosis awal 50-100μg/m dan ditingkatkan
50μg/m setiap 15-20 menit sampai kontraksi uterus berhenti, dengan dosis maksimum
350μg/m. Beberapa peneliti telah menggunakan Ritodrin intra muskuler dengan dosis 5-10
mg setiap 2-4 jam. Terapi oral yang dianjurkan adalah 10 mg setiap 2 jam atau 20 mg setiap 4
8
jam selama 24-48 jam dengan dosis tidak boleh melebihi 120 mg/hari.
Dosis Terbutalin dianjurkan 2,5μg/m setiap 20 menit sampai kontraksi uterus berhenti
atau dosis maximum sebanyak 20 μg/m tercapai. Terbutalin dapat diberikan subkutan dengan
dosis 250 μg setiap 3 jam. Terapi oral sudah harus diberikan sebanyak 2,5-5mg setiap 2-4
8
jam paling lambat dalam 24-48 jam.
Setelah ancaman persalinan prematur dapat dihentikan sekurang-kurangnya 1 jam,
tokolitik dapat diturunkan pada interval 20 menit sampai dosis efektif terendah yang dicapai
dan dipelihara selama 12 jam. 30 menit sebelum menghentikan
pemberian terapi intra vena terapi oral sudah harus diberikan dan diulang setiap 2-4 jam
8
salama 24-48 jam.
C. Efek-efek Terhadap Ibu
Efek-efek terhadap ibu dan komplikasi-komplikasi penggunaan terapi β –adrenergik agonis
banyak ditemukan dan lebih sering terjadi daripada efek-efek terhadap fetus maupun
neonatus. Terdapat informasi yang bertentangan apakah efek-efek ini lebih sering terjadi pada
penggunaan ritodrin atau terbutalin. Secara umum, tidak ada perbedaan efek samping antara
Ritodrin dengan terbutalin, kecuali bahwa terbutalin oral menyebabkan perubahan signifikan
pada toleransi glukosa ibu, sedangkan ritodrin oral tidak menimbulkan efek demikian.
Berikut adalah efek-efek maternal akibat terapi tokolitik dengan golongan β- Adrenergik
1,8
agonis :
Fisiologi :
• Agitasi
• Sakit kepala
• Mual
• Muntah
• Demam
• Halusinasi
Metabolik :
• Hiperglisemia
• Diabetik ketoasidosis
• Hiperinsulinemia
• Hiperlaktasidemia
• Hipokalemia
• Hipokalsemia
Jantung :
• Edema pulmonum
• Takikardi
• Palpitasi
• Hipotensi
• Gagal jantung
• Aritmia, dll
Belum ada laporan mengenai efek terhadap APGAR skor. Hal yang paling penting,
follow up jangka panjang pada anak-anak yang terpapar ritodrin tidak menunjukkan efek
15
buruk terhadap pertumbuhan.
Penggunaan klinis beta-adrenergik secara luas selama 45 tahun belum memastikan
15
adanya efek-efek signifikan terhadap fetus dan neonatus.
VI. PERANAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID SEBAGAI TOKOLITIK
Prostaglandin sebagai salah satu pencetus proses persalinan (kontraksi uterus) yang penting
maka para peneliti menganggap bahwa prostaglandin synthetase inhibitor dalam hal ini Obat
Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) dapat digunakan sebagai tokolitik. Salah satu obat-obat
8
golongan ini yang dapat dipakai tokolitik adalah Indomethacin.
A. Farmakokinetik
OAINS bekerja primer sebagai penghambat cyclooxygenase. Indomethacin adalah obat
dari golongan ini yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai tokolitik. Obat ini
9
dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui urin.
Indomethacin secara cepat dapat menembus plasenta, dalam 2 jam kadar dalam darah
bayi 50% dari kadar dalam darah ibu dan akan menjadi sama dalam 6 jam. Waktu paruh
indomethacin pada fetus adalah 14,7 jam yang lebih lama dibanding pada ibu yang hanya 2,2
9
jam, hal inilah yang dapat mengakibatkan gangguan hati ada fetus.
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Indomethacin dapat dapat diberikan peroral atau peranal, dosis yang digunakan sebagai
terapi pada persalinan prematur adalah 150-300 mg/hari, dengan dosis awal adalah 100-200
mg peranal atau 50-100 mg peroral dan kemudian 25-50 mg setiap 4-6 jam. Setelah
pemberian dosis awal kadar optimal dicapai dalam 1-2 jam yang dapat dicapai oleh
9
pemberian dengan cara peranal.
Indomethacin dikontraindikasikan untuk ibu-ibu yang menderita kerusakan ginjal, hati,
9
asma, oligohidramnion, ulkus peptikum dan alergi.
C. Efek-efek Terhadap Ibu
Bila dibandingkan dengan magnesium sulfat atau ritodrin, efek samping maternal
indomethacin lebih minimal dan jarang terjadi. Kemungkinan efek yang paling sering terjadi
adalah iritasi gastrointestinal termasuk mual, sakit lambung, heartburn, dan muntah yang
berkaitan dengan terapi oral obat ini. Antasida dapat membantu bila gejala-gejala ini terjadi.
Akan tetapi, kebanyakan pasien dapat mentoleransi indomethacin oral dan hanya mengalami
9
sedikit efek samping.
Karena aspirin dapat berefek pada perdarahan, Lent dkk meneliti efek pemakaian
indomethacin sebagai tokolitik terhadap sistim koagulasi ibu, dan menyimpulkan bahwa tidak
ada efek terhadap proses koagulasi. Akan tetapi, terjadi perubahan yang menonjol dan
bersifat akut pada masa perdarahan ibu, sehingga meningkatkan resiko terjadinya perdarahan
yang banyak saat persalinan. Bila seorang wanita melahirkan ketika masih dalam terapi obat
tersebut atau jika mempunyai indikasi fetal maupun maternal untuk tindakan operasi, maka
dokter harus memeriksa waktu perdarahan dan mengenali adanya resiko perdarahan.
Walaupun perdarahan postpartum termasuk resiko maternal, efek samping ini jarang terjadi
9
karena kadar obat dalam darah menurun dengan cepat ketika obat dihentikan.
Terapi indomethacin yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi ginajal pada ibu.
Interaksi serius dapat terjadi bila obat diberikan bersama dengan golongan aminoglikosid.
Pemantauan fungsi ginjal dianjurkan bila obat yang potensial nefrotoksik digunakan
bersamaan atau segera setelah penggunaan indomethacin.
Waktu rata-rata pemulihan fungsi ginjal adalah 5 hari. Timbulnya insufisiensi ginjal akut
pada ibu mungkin berhubungan dengan kombinasi antara perubahan aliran darah ginjal
9
dengan adanya restriksi cairan.
Indomethacin yang digunakan bersama-sama β bloker menyebabkan hipertensi yang berat
pada ibu. Bagaimana mekanisme OAINS ini menyebabkan hipertensi tidak diketahui, tetapi
perlu hati-hati dan dihindari pemakaiannya pada wanita-wanita dengan preeklampsi.
Indomethacin juga bersifat antipiretik. Penggunaannya dapat menutupi demam yang timbul
akibat korioamnionitis subklinis. Perdarahan rektal dapat terjadi akibat pemberian berulang
indomethacin suppositoria, terapi oral setelah dosis awal dapat mencegah efek samping
tersebut pada ibu, sedangkan pemberian sacara perrektal dapat mencegah efek samping pada
system gastrointestinal pada ibu. Pemberian indomethacin secara vaginal pada penderita
dengan selaput ketuban yang masih intak sudah dilakukan dan tidak menunjukkan timbulnya
komplikasi. Cara pemberian ini tidak dianjurkan terutama pada pasien dengan pecahnya
ketuban sebelum waktu. Bukti eksperimental pada binatang percobaan menunjukkan bahwa
indomethacin tidak berefek terhadap oksigenasi fetal atau aliran darah fetal-maternal. Perfusi
uteroplasenta juga tidak terganggu, demikian pula tekanan darah dan denyut jantung ibu.
Penggunaan indomethacin selama lebih dari 7 hari, berkaitan dengan timbulnya depresi,
9
pusing, dan psikosis dan sering sakit kepala.
MgSO4 sudah lama dikenal dan dipakai sebagai anti kejang pada penderita preeklamsia
sebagai anti kejang yang juga bersifat sebagai tokolitik. Di Amerika Serikat obat ini dipakai
sebagai obat tokolitik utama karena murah, mudah cara pemakaiannya dan resiko terhadap
sistem kardiovaskuler yang rendah serta hanya menghasilkan efek samping yang minimal
terhadap ibu, janin dan neonatal. Kerugian terbesar yang signifikan dari penggunaan
magnesium sulfat sebagai obat tokolitik adalah harus diberikan secara parenteral. Hall (1959)
pada pengamatannya menemukan terjadinya hambatan kontraksi uterus hampir komplit pada
kadar serum MgSO4 antara 8-10 mEq/l. Rusu (1966) adalah orang pertama yang memakai
MgSO4 sebagai tokolitik dan Kiss dan Szoke (1975) melaporkan penggunaan MgSO4
10
intravena sebagai tokolitik.
A. Farmakokinetik
Jumlah total magnesium dalam tubuh manusia adalah 24gr yang sebagian besar terdapat
pada tulang dan ruang intraseluler dan hanya 1% pada ekstraseluler. Konsentrasi magnesium
pada serum wanita normal berkisar antara 1,83 mEq/l dan turun menjadi 1,39 mEq/l pada
5
wanita hamil.
Magnesium dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal oleh karena itu konsentrasi magnesium
plasma ditentukan oleh jumlah pemberian melalui infus dan kecepatan filtrasi glomerulus.
MgSO4 mempunyai dua cara yang memungkinkannya bekerja sebagai tokolitik yang
pertama peningkatan kadar MgSO menurunkan pelepasan asetilkolin oleh motor and plates
4
pada neuromuskular junction sehingga mencegah masuknya kalsium, cara yang kedua
9
MgSO4 berperan sebagai antagonis kalsium pada sel dan ekstrasel.
refleks patella ada dan tidak ada depresi pernapasan. Refleks patella menghilang pada kadar
10 mEq/l (antara 9-13 mg/dl) dan pada kadar plasma lebih dari 10 mEq/l akan timbul depresi
pernapasan dan henti napas dapat terjadi pada kadar plasma 12 mEq/l atau lebih. MgSO4
sebagai terapi tokolitik dimulai dengan dosis awal 4-6 gr secara intravana yang diberikan
selama 15-30 menit dan diikuti dengan dosis 2-4 gr/jam selama 24 jam selama terapi
tokolitik dilakukan konsentrasi serum ibu biasanya dipelihara antara 4-9 mg/dl.
Untuk meminimalisir atau mencegah terjadinya intoksikasi seperti hal di atas maka
8
perlunya disediakan kalsium glukonas 1 gr sebagai anti dotum dari MgSO4.
A. Farmakokinetik
Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral ataupun
sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah 15-90 menit setelah
pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi dalam plasma dicapai setelah 5
menit pemberian. Lama kerja obat pada pemberian dosis tunggal dapat sampai 6 jam dan
tidak terjadi efek komulatif pada pemberian oral setiap 6 jam. Absorpsi secara oral tergantung
dari keasaman lambung. Nifedipine dimetabolisme di hepar, 70-80% hasil metabolismenya
6
dieksresikan ke ginjal dan sisanya melalui feses.
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Dosis nifedipine untuk terapi pada persalinan prematur pada percobaan klinik bervariasi.
Dosis inisial 30mg per oral atau 30mg ditambah 20mg peroral dalam 90 menit atau 10mg
sublingual setiap 20 menit, dengan diikuti oleh 4 dosis tambahan sebanyak 20mg peroral
setiap 4-8 jam untuk terapi tokolitik. Sebagai dosis perawatan 10-20mg setiap 4-12 jam.
Pemberian nifedipine dikontraindikasikan untuk penderita penyakit hati dan hipotensi.
A. Farmakologi Atosiban
Atosiban ({1-deamino-2-D-Tyr(Oet)-4-Thr-8-Orn}-oxytosin) adalah antagonis reseptor
oksitosin, yang dikembangkan untuk terapi persalinan prematur. Atosiban merupakan
antagonis kompetitif dari oksitosin yang menghambat oksitosin menginduksi terjadinya
kontraksi uterus. Selama persalinan peningkatan respon miometrium terhadap oksitosin
disebabkan banyaknya jumlah reseptor oksitosin di miometrium, dimana konsentrasi reseptor
oksitosin lebih banyak di korpus uteri dibandingkan di segmen bawah rahim atau serviks.
Atosiban memblok kerja oksitosin pada reseptor ini. Rata-rata dosis tetap pasien yang
mendapatkan infus atosiban adalah 442±73 ng/ml (mean ± SD), dengan dosis tetap tersebut
diperoleh 1 jam sesudah infus dimulai. Sesudah terapi infus selesai konsentrasi plasma
9
menurun cepat dengan waktu paruh awal 18 ± 3 menit.
C. Efek Samping
Efek samping yang dilaporkan sampai saat ini dan telah dibandingkan dengan golongan beta
agonis seperti nyeri dada (1% vs 5%), palpitasi (2% vs 16%), takikardi (6% vs 76%),
hipotensi (3% vs 6%), dyspneu (0,3% vs 7%), mual (12% vs 16%), muntah ( 7% vs 22%) dan
sakit kepala (10% vs 19%) serta satu kasus dengan edema pulmonum yang mana wanita
tersebut juga mendapat terapi tokolitik salbutamol selama 7 hari dibandingkan dengan grup β
1-3
agonis terdapat 2 orang yang menderita edema pulmonum.
Insidensi terjadinya efek samping kardiovaskular pada pemakaian atosiban dibandingkan
ritodrin jauh lebih rendah (4% dibanding 84,8%, p<0,001). Rata-rata penurunan nadi pada
pemakaian atosiban, hanya sedikit dan tidak bermakna (dari 88 x/m, menjadi 84 x/m). Pada
pemakaian ritodrin terdapat peningkatan nadi yang nyata pada 6 jam pertama pemberian
tokolitik (dari 87 x/m menjadi 117 x/m), sesudah terapi selesai nadi menurun namun masih
melebihi nadi awal (105 x /m, p<0,0001). Pada pemakaian ritodrin dan atosiban tidak
didapatkan kematian janin, kematian neonatal yang terjadi pada keduanya sama, namun tidak
disebabkan oleh efek dari pemberian obat tetapi akibat imaturitas (<26 minggu). Kejadian
bradikardia dan fetal distress pada kedua kelompok sama, sedangkan denyut jantung janin
pada kelompok atosiban menurun tidak bermakna (dari 142 kali/menit menjadi 138
kali/menit), pada ritodrin meningkat dari 142 kali/menit menjadi 155 kali/menit
2,3
(p<0,0001).
Antagonis oksitosin mempunyai efek inhibisi pada pengeluaran air susu pada hewan
menyusui. Akan tetapi, efek samping pada masa post partum hampir tidak ada karena waktu
paruhnya yang relatif pendek (16,4 + 2,2 menit pada wanita yang tidak hamil) dan sifatnya
yang reversibel. Pengaturan sentral reseptor-reseptor uterus yang berhubungan dengan
paparan jangka panjang terhadap atosiban belum diketahui. Atosiban tidak mengubah
2,3
sensitivitas miometrium kehamilan terhadap oksitosin.
D. Terapi pemeliharaan Atosiban sebagai tokolitik
Terapi pemeliharaan pada atosiban diberikan menggunakan 3 ml pompa infus subkutan,
dengan dosis secara kontinyu 6 mL/jam (30μg/menit). Terapi pemeliharaan dihentikan pada
umur kehamilan 36 minggu, persalinan, atau kemajuan persalinan menimbulkan perlunya
diberikan tokolitik dengan cara lain. Penelitian secara randomisasi buta ganda, pada 517
wanita yang sudah mendapatkan atosiban dan dilanjutkan terapi pemeliharaan pada 252
menerima plasebo dan 281 wanita mendapatkan injeksi atosiban subkutan, didapatkan hasil
timbulnya tanda persalinan preterm kembali pada kelompok yang mendapatkan terapi
atosiban lebih lama muncul dibandingkan plasebo (rata-rata 32,6 hari, dibanding 27,6 hari,
p=0.02). Proporsi pasien yang membutuhkan terapi ulang dengan atosiban intravena lebih
besar pada pasien yang mendapatkan terapi pemeliharaan plasebo. Efek samping pemberian
terapi pemeliharaan dengan atosiban dan plasebo sebanding, kecuali tentang munculnya
2
reaksi pada lokasi suntikan, yang lebih sering terjadi pada kelompok atosiban.
X. KESIMPULAN
Berbagai macam obat telah digunakan untuk menekan kontraksi uterus, termasuk di
dalamnya β agonis, calcium channel blockers, prostaglandin synthetase inhibitor, magnesium
sulfat, antagonis receptor oxytocin yang masing-masing mempunyai keunggulan dan
kekurangan sebagai preparat tokolitik.
Penggunaan terapi tokolitik tidak mengurangi angka kelahiran prematur dan peningkatan
luaran bayi tetapi berfungsi ketika akan merujuk pasien ke tempat rujukan untuk lebih
mendapatkan pelayanan yang sempurn dan untuk pemberian terapi kortikosteroid selama 48
jam untuk pematangan paru.
Selain itu pentingnya pengawasan terhadap ibu selama pemakaian terapi tokolitik untuk
menghindari efek-efek yang dapat timbul baik pada ibu maupun pada bayi.
XI. Daftar Pustaka
1. Groom KM, Bennett PR. Tocolysis for the Treatment of Preterm Labour – A
Clinically Based Review. The Obstetrician & Gynaecologist. 2004.
2. Sulistiari R. Atosiban Sebagai Tokolitik.: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
3. Draycott TJ, Mahmood TA, Fisk N, Marlow N, Tuffnel DJ, Wan Po. Tocolytic Drug
for Women in Preterm Labour: Clinical guidelines no. 1(B), Royal College of
Obstetricians and Gynecologists. 2002.
4. Ganla KM, Shroff SA, Desail S, Bhinde AG.A Prospective Comparison of Nifedipine
and Isoxsuprine for Tocolysis. Nowrosjee Wadia Maternity Hospital, Parel, Mumbai.
Research Article. 2000.
5. Winarta IM, Peranan Antagonis Kalsium Sebagai Tikolitik. Lab/SMF Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK UNUD/RS Sanglah. Denpasar. 2002.
6. Cararach V, Palacio M, Martinez S, Deulofeu P, Sanchez M, Cobo T, Coll O.
Nifedipine versus Ritodrine for Suppression of Preterm Labor Comparison of Their
Efficacy and Secondary Effects. European Journal of Obstetrics & Gynecology and
Reproductive Biology. 2006;127:205-08.
7. Boggess KA. Pathophysiology of Preterm Birth: Emerging Concepts of Maternal
Infection. Clin Perinatol. 2005;32:561-69.
8. Huddleston JF, Ramos LS, Huddleston KW. Acute Management of Preterm Labor.
Clin Perinatol. 2003;30:803-824
9. American Academy of Family Physician. Preterm Labor: Diagnosis and Treatment.
1998
10. American College of Obstetricians and Gynecologist. Physicians Insurance. Preterm
Labor.1995