Anda di halaman 1dari 80

PERBEDAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING

BERBANTU CONCEPT MAP DENGAN MODEL KONVENSIONAL


TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS SISWA KELAS XI IPA
SMA NEGERI 5 SURAKARTA

SKRIPSI
Oleh:
TRI WAHYUNI
K4310084

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertada tangan di bawah ini

Nama : Tri Wahyuni


NIM : K4310084
Jurusan/Program studi : PMIPA/ Pendidikan Biologi

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PERBEDAAN MODEL GUIDED


DISCOVERY LEARNING BERBANTU CONCEPT MAP DENGAN MODEL
KONVENSIONAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS
SISWA KELAS XI IPA SMA NEGERI 5 SURAKARTA” ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dibuktikan skrpsi ini hasil jiplakan, saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, September 2014


Yang membuat pernyataan

Tri Wahyuni

ii
PERBEDAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING
BERBANTU CONCEPT MAP DENGAN MODEL KONVENSIONAL
TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS SISWA KELAS XI IPA
SMA NEGERI 5 SURAKARTA

Oleh:
TRI WAHYUNI
K4310084

Skripsi
diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
September 2014

iii
PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji


Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, September 2014

Pembimbing I Pembimbing II

Murni Ramli, S.P., M.Si.,Ed.D Umi Fatmawati, S.Pd.,M.Si


NIK. 19710714 201302 01 NIP. 19841210 200812 2 001

iv
PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi salah satu persyaratan mendaptkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari :
Tanggal :

Tim Penguji Skripsi


Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Puguh Karyanto, S.Si., M.Si, Ph.D

Sekertaris : Nurmiyati, S,Pd., M.Si

Anggota I : Murni Ramli, S.P., M.Si.,Ed.D

Anggota II : Umi Fatmawati, S.Pd.,M.Si

Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.


NIP 196007271987021001

v
ABSTRAK

Tri Wahyuni. K4310084. PERBEDAAN MODEL GUIDED DISCOVERY


LEARNING BERBANTU CONCEPT MAP DENGAN MODEL
KONVENSIONAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS
SISWA KELAS XI IPA SMA NEGERI 5 SURAKARTA. Skripsi, Surakarta:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret. September 2014.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan model Guided Discovery
Learning berbantu Concept Map dengan model konvensional terhadap kemampuan
berpikir analitis siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta.
Penelitian ini merupakan Quasi Experimental Research dengan desain
penelitian Post-test Only with Non-equivalent Groups. Populasi penelitian adalah
seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta tahun ajaran 2013/2014, yang
terbagi dalam 4 kelas. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian
adalah cluster random sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes
dan non tes. Metode tes dalam bentuk uraian (essay) untuk mengukur kemampuan
berpikir analitis, sedangkan metode non tes terdiri dari teknik dokumentasi, observasi
dan angket. Uji hipotesis menggunakan t-test dibantu SPSS versi 16.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan penerapan model
Guided Discovery Learning berbantu Concept map terhadap kemampuan berpikir
analitis siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarata. Model Guided Discovery
Learning berbantu Concept Map berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir
analitis.

Kata kunci : Guided Discovery Learning, Concept Map, Kemampuan Berpikir


Analitis

vi
ABSTRACT

Tri Wahyuni. K4310084. THE DIFFERENTS OF ANALYTICAL THINKING


SKLLS OF STUDENTS BETWEEN GUIDED DISCOVERY LEARNING
MODEL COMBINED WITH CONCEPT MAP AND CONVENTIONAL
MODEL AT GRADE XI IPA SMA NEGERI 5 SURAKARTA. Thesis,
Surakarta: Education Faculty. Sebelas Maret University Surakarta.September 2014.
The research aimed to determine differences of analitycal thinking skill between
students instructed with Guided Discovery Learning assisted Concept Map and students
instructed with conventional model.
A quasy-experimental research with Post-test research design Only with Non-
Equivalent Groups had been done to measure dependent variable. The population was all
students of grade XI Science SMAN 5 Surakarta academic year 2013/2014, which is divided
into 4 classes. The sampling technique used in the study was a cluster random sampling. Data
collection techniques using tests and non-test methods. The dependent variable, i.e. analytical
thinking skills was measured with an essay test, while the non-test method had been used for
recording a learning process, student responses, and interview. All data are normal and
homogenous, and had been analyzed with t-test.
The results showed that there were difference effects of Guided Discovery Learning
combined with Concept map on analytical thinking skills of Grade XI students, at SMAN 5
Surakarta. Guided Discovery Learning Model assisted by Concept Map gave a positive
effect.

Keywords: Guided Discovery Learning, Concept Map, Analytical Thinking Skills

vii
MOTTO

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS.28:77)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.


(Q. S. Al Insyiroh: 5)

Perhatikanlah orang yang berada dibawahmu dan jangan kamu perhatikan orang
yang berada di atasmu, karena yang demikian itu lebih pantas, agar kamu semua
tidak menganggap remeh nikmat Allah yang diturunkan kepadamu.
(HR. Bukhori dan Muslim)

Selalu bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah swt berikan.
(Penulis)

viii
PERSEMBAHAN

Dalam naungan ridhlo Allah SWT, sebagai ungkapan rasa syukurku kepada-Mu.
Kupersembahkan karya ini untuk:

 Almh ibuku yang sudah berada disisi Allah SWT


 Bapakku yang senantiasa mencurahkan doa, cinta dan pengorbanannya
 Kakakku (Mbak Eni, Mas Doni, Mba Siti dan Mas Agus) dan Pipup terimakasih buat
dukungannya
 Bu Murni dan Bu Umi , terima kasih atas bimbingan dan nasehatnya…
 Bu nina, terimakasih sudah banyak membantu, memberi nasihat dan mendengarkan
curhatan saya.
 Pak Maridi an Bu DP , terimakasih sudah mau menjadi validator saya…
 Ndutt… terimakasih atas support dan doanya
 Rina, Ratri, Fitri, Ana, Dian, Ulya, Ima, Intan, mami dan Tari … terimakasih atas
persahabatan yang indah ini, aku sayang kalian..
 Teman-teman satu bimbingan (Mba Heni, Puput, Yudha, Amal,
Ariska,Qodar,Yakin)…Semangat kawan, jalan kita masih panjang…
 Teman-teman kos Puri Sanvina (Putri, Rini,Sutri, Windy dan Eka) terimakasih sudah
selalu ada buat saya…
 Anak-anak kasti yang sering mengajak saya ke lapangan POK
 Anak-anak Pantai, dengan modal nekat kita pasti bisa !!
 Teman-teman P . Bio’10 atas kebersamaan yang tak terlupakan, P.Bio 2010 JOSS
 Almamater .

ix
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang, yang memberi kedamaian hati dan inspirasi. Atas rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ” PERBEDAAN MODEL
GUIDED DISCOVERY LEARNING BERBANTU CONCEPT MAP DENGAN
MODEL KONVENSIONAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR
ANALITIS SISWA KELAS XI IPA SMA NEGERI 5 SURAKARTA”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar
sarjana pada program Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Fakultas Pendidikan dan Keguruan Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Selama pembuatan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret


Surakarta, yang telah memberi ijin dan kesempatan dalam penyusunan skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ketua Program Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
4. Murni Ramli, S.P., M.Si., Ed.D, selaku Pembimbing I yang selalu memberikan
bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan penyusunan skripsi.
5. Umi Fatmawati, S.Pd., M.Si, selaku Pembimbing II yang selalu memberikan
bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan penyusunan skripsi.
6. Sajidan, S.Pd,.M.Pd selaku Kepala SMA Negeri 5 Surakarta yang telah memberi
ijin dalam penelitian.
7. Nina Tedja S, S.Pd selaku guru mata pelajaran biologi yang telah memberi
bimbingan dan bantuan selama penelitian.

x
8. Siswa SMA Negeri 5 Surakarta yang telah bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini.
9. Berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
mungkin disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna karena


keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semuanya.

Surakarta, September 2014

Penulis

xi
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... ii
HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ v
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ vi
HALAMAN MOTTO .................................................................................... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... ix
KATA PENGANTAR ................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian....................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ........................ 7
1. Kemampuan Berpikir Analitis .............................................. 7
2. Teori Belajar .......................................................................... 10
3. Model Guided Discovery Learning ....................................... 12
4. Concept Map ......................................................................... 16
B. Kerangka Berpikir ....................................................................... 18
C. Hipotesis ...................................................................................... 22

xii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 23
1. Temapat Penelitian ................................................................ 23
2. Waktu Penelitian ................................................................... 23
B. Desain Penelitian ......................................................................... 24
C. Populasi dan Sampel ................................................................... 26
1. Populasi ................................................................................. 26
2. Sampel ................................................................................... 26
D. Teknik Pengambilan Sampel ....................................................... 26
E. Pengumpulan Data ...................................................................... 29
1. Variabel Penelitian ................................................................ 29
2. Teknik Pengumpuulan Data .................................................. 30
F. Validasi Instrumen Penelitian ..................................................... 32
1. Pengujian Validitas ............................................................... 33
G. Analisis Data ............................................................................... 34
1. Uji Prasyarat .......................................................................... 35
2. Uji Hipotesis.......................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ............................................................................ 37
B. Pengujian Prasyarat Analisis...................................................... 43
C. Pengujian Hipotesis ................................................................... 45
D. Pembahasan Hasil Analisis Data ............................................... 46
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan...................................................................................... 56
B. Implikasi ...................................................................................... 56
C. Saran ............................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 58
LAMPIRAN ................................................................................................... 64

xiii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Sintak Model Discovery Learning .................................................................
12 12
Tabel 2.2. Perbandingan Model Guided Discovery Learning ........................... 16
Tabel 3.1. Desian penelitian Post-Test Only with Nonequivalent Group........................
24
Tabel 3.2. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Dokumen Hasil Belajar
Kognitif Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ..........................................
28
Tabel 3.3. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Dokumen Hasil Belajar
Kognitif Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ...........................................
28
Tabel 3.4. Rangkuman Hasil Uji t Hasil Belajar Kognitif Kelas Eksperimen
I dan Eksperimen II ........................................................................................
29
Tabel 3.5. Variabel penelitian .........................................................................................
30
Tabel 3.6. Skor Penilaian Angket dengan Menggunakan skala Likert ............................
32
Tabel 3.7. Rangkuman Hasil Try Out Uji Validasi Tes Kemampuan
Berpikir Analitis ........................................................................................................
34
Tabel 4.1 Deskripsi Nilai Kemampuan Berpikir Analitis ..............................................
38
Tabel 4.2 Perbandingan Rata-rata Skor Setiap Aspek Kemampuan
Berpikir Analitis ........................................................................................................
39
Tabel 4.3 Kategori Nilai Kemampuan Berpikir Analitis ................................................
40
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Kemampuan Berpikir Analitis .....................................
43
Tabel 4.5 Hasil Uji Homogenitas Kemampuan Berpikir Analitis ..................................
44
Tabel 4.6 Hasil Uji Perbedaan Pengaruh Model Guided Discovery
Learning berbantu Concept map dengan Model Konvensional
terhadap Kemampuan Berpikir Analitis siswa ...............................................
45

xiv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir .........................................................................................
21
Gambar 3.1. Jadwal Penelitian ...........................................................................................
23
Gambar 3.2. Skema Paradigma Penelitian .........................................................................
25
Gambar 4.1. Nilai Kemampuan Berpikir Analitis Siswa ...................................................
37
Gambar 4.2. Keterkaitan Kemampuan Berpikir Analitis dengan Skor Rata-rata
Concept map ..................................................................................................
40
Gambar 4.3. Keterkaitan Kemampuan Berpikir Analitis dengan Keterampilan 41
dalam Mempresentasikan Hasil Diskusi ........................................................
Gambar 4.4. Keterkaitan Kemampuan Berpikir Analitis dengan Ranah Sikap .................
42

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Silabus ...................................................................................... 64
Lampiran 2. RPP Kelas Perlakuan I.............................................................. 68
Lampiran 3. RPP Kelas Perlakuan II ............................................................ 91
Lampiran 4. LKS Kelas Perlakuan II ............................................................ 121
Lampiran 5. LKS Concept map .................................................................... 160
Lampiran 6. Rubrik Postes ............................................................................ 162
Lampiran 7. Kunci Jawaban Postes .............................................................. 166
Lampiran 8. Soal Postes (Kemampuan Berpikir Analitis) ............................ 169
Lampiran 9. Lembar Obervasi Kelas Eksperimen I ...................................... 172
Lampiran 10. Lembar Observasi Kelas Eksperimen II ................................... 179
Lampiran 11. Kisi-kisi Angket........................................................................ 189
Lampiran 12. Angket ...................................................................................... 191
Lampiran 13. Hasil Try Out Uji Validitas....................................................... 194
Lampiran 14. Nilai Try Out............................................................................. 196
Lampiran 15. Distribusi Nilai Kelas Eksperimen I dan II .............................. 197
Lampiran 16. Nilai Postes Kelas Eksperimen I .............................................. 198
Lampiran 17. Nilai Postes Kelas Eksperimen II ............................................. 200
Lampiran 18. Skor Concept map .................................................................... 202
Lampiran 19. Skor Angket .............................................................................. 203
Lampiran 20. Cocept Map Hasil Karya Siswa ................................................ 205
Lampiran 21. Angket Yang Sudah Diisikan Siswa Kelas Eksperimen II ....... 207
Lampiran 22. Hasil Lembar Observasi Kelas Eksperimen I........................... 209
Lampiran 23. Hasil Lembar Observasi Kelas Eksperimen II ......................... 216
Lampiran 24. Penilaian Ranah Keterampilan ................................................. 223
Lampiran 25. Penilaian Ranah Sikap .............................................................. 224
Lampiran 26. LKS Hasil Diskusi Kelas Eksperimen I ................................... 226

xvi
Lampiran 27. Uji Normalitas Hasil Belajar Kognitif ...................................... 237
Lampiran 28. Uji Homogenitas Hasil Belajar Kognitif .................................. 238
Lampiran 29. T-tes Hasil Belajar Kognitif ..................................................... 240
Lampiran 30. Uji Normalitas Hasil Postes...................................................... 241
Lampiran 31. UJi Homogenitas Hasil Postes.................................................. 242
Lampiran 32. T-tes Hasil Postes .................................................................... 244
Lampiran 33. Surat Ijin Penelitian ................................................................. 245
Lampiran 34. Surat Keterangan Validasi ........................................................ 250
Lampiran 35. Surat Keterangan Selesai Penelitian ......................................... 252
Lampiran 36. Data Observasi.......................................................................... 253
Lampiran 37. Dokumentasi Kelas Eksperimen I ............................................ 256
Lampiran 38. Dokumentasi Kelas Eksperimen I ............................................ 258

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Belajar merupakan proses yang dilakukan untuk mencapai berbagai macam
kompetensi, keterampilan dan sikap. Menurut Nurhadi, dkk. (2004), belajar lebih
bermakna jika anak mengalami yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Jika guru
terbiasa melakukan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengalaminya sendiri, maka siswa akan terbiasa juga melakukan proses berpikir,
salah satunya berpikir analitis. Berpikir analitis merupakan salah satu proses berpikir
yang dikembangkan dalam mata pelajaran biologi. Menurut BSNP (2006), mata
pelajaran biologi dikembangkan melalui kemampuan berpikir analitis, induktif, dan
deduktif untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa sekitar.
Pembelajaran biologi tidak hanya disampaikan secara teoritis melalui hapalan dan
mengingat konsep saja, tetapi juga harus melatih siswa untuk mengembangkan
kemampuan berpikir, salah satunya kemampuan berpikir analitis.
Kemampuan berpikir analitis (analytical thinking skills) merupakan
kemampuan berpikir yang akan mengantarkan siswa ke level berpikir tingkat tinggi
yang sangat berguna untuk memecahkan problema ilmiah sehari-hari dengan
pendekatan yang holistik. Globalisasi pada abad 21 memberikan dampak
permasalahan yang semakin kompleks, sehingga membutuhkan pemecahan masalah
melalui kemampuan berpikir analitis. Martin, dkk. (2013) menyatakan bahwa
kemampuan berpikir analitis yang dilatihkan kepada siswa, menyebabkan siswa
cenderung memandang sebuah persoalan secara kritis. Menurut Anderson &
Krathwohl (2010), kegiatan menganalisis melibatkan proses memecah-mecah materi
menjadi bagian-bagian kecil (differentiating), menghubungkan antarbagian serta
struktur keseluruhan (organizing), dan menarik benang merahnya (attributing).
Kemampuan berpikir analitis yang dilatihkan pada siswa membuat siswa terbiasa
memecahkan masalah yang dihadapi di lingkungan akademik secara kritis.

1
2

Hasil studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS)


tahun 2011 menunjukkan bahwa kemampuan siswa di Indonesia pada bidang Sains
dalam hal menganalisis masalah dan melakukan investigasi, berada pada ranking 38
dari 42 negara dengan skor 386 dari rata-rata skor internasional 500 (IEA, 2011).
Fakta tersebut menunjukan rendahnya pemahaman dan kemampuan analitis sebagian
besar siswa di Indonesia dalam mata pelajaran Sains. Dian (2003) dalam Ristin
(2013) menambahkan kemampuan berpikir analitis yang rendah ditemukan pada lima
Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta yang terlihat dari prestasi belajar Fisika,
dengan hasil 15,31 %. Priadi (2010) juga melaporkan rendahnya kemampuan berpikir
analitis pada mata pelajaran biologi di SMA Negeri 9 Bandar Lampung. Kemampuan
berpikir analitis yang rendah juga ditemukan pada saat observasi di SMA N 5
Surakarta kelas XI IPA tahun ajaran 2013/2014, yang terlihat pada saat siswa
menyusun laporan hasil praktikum. Siswa hanya menulis proses yang dilakukan dan
hasil yang ditemukan, tanpa melakukan analisis yang mendalam. Pembelajaran di
dalam kelas yang menggunakan model konvensional juga kurang mengakomodir
siswa untuk melakukan penyaluran pengetahuan, tetapi lebih pada pengulangan. Oleh
karena itu siswa diminta untuk mendengarkan, mencatat dan menghapal (teacher
centered), bukan menganalisis secara kritis.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69
Tahun 2013, pembelajaran yang efektif menggunakan pola pembelajaran yang
berpusat pada siswa, dan pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif mencari
sendiri pengetahuannya. Pola pembelajaran tersebut akan melatih siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir. Namun, pembelajaran biologi di Indonesia
belum sepenuhnya menggunakan pola pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student centered). Sebagian besar siswa menganggap pembelajaran biologi sebagai
pelajaran menghapal (Rukmana, 2013), sehingga dalam pembelajaran di kelas siswa
cenderung mencatat dan mendengarkan penjelasan dari guru (teacher centered).
Dampaknya akan mempengaruhi cara berpikir siswa yang menjadi tidak berkembang
dan kurang memahami konsep karena siswa lebih sering menghapalkannya.
3

Pemilihan model atau strategi pembelajaran berpengaruh terhadap aktivitas


siswa di dalam kelas. Aktivitas siswa dalam model pembelajaran kovensional yang
hanya mendengarkan dan mencatat penjelasan dari guru kurang mengembangkan
kemampuan berpikir, salah satunya berpikir analitis.
Solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan memperbaiki pembelajaran
yang semula bersifat teacher centered menjadi student centered, dan menggunakan
pendekatan konstruktivisme melalui pembelajaran kontekstual. Pendekatan
kontruktivisme merupakan pendekatan yang lebih berfokus kepada siswa sebagai
pusat dalam proses pembelajaran, sehingga menuntut siswa aktif dalam mengontruksi
pengetahuannya (Hanifah & Suhana, 2012). Pembelajaran kontekstual bertujuan
memotivasi siswa untuk lebih memahami materi dengan cara mengaitkan materi
tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, sehingga siswa memiliki
pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan ke
permasalahan lainnya. Salah satu model pembelajaran yang menggunakan
pendekatan kontruktivisme dan terpusat pada siswa adalah model discovery learning.
Discovery Learning atau pembelajaran penemuan merupakan komponen
penting dari pendekatan konstruktivis modern, karena siswa didorong untuk belajar
sendiri melalui keterlibatan aktif dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip (Slavin, 2011). Model Discovery Learning dalam pelaksanaannya cukup sulit
diterapkan untuk siswa SMA, sehingga diperlukan bimbingan dan bantuan dari guru
untuk mendukung siswa dalam pembelajaran (Veerman, 2003). Bimbingan yang
diberikan kepada siswa pada proses pembelajaran disebut proses guided, sehingga
disebut Guided Discovery Learning (Discovery terbimbing). Dalam pelaksanaannya,
pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning) lebih banyak
diterapkan, karena dengan petunjuk guru siswa akan bekerja lebih terarah dalam
rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Dzaki, 2009). Namun bimbingan guru
bukanlah semacam kaidah yang harus diikuti, tetapi hanya merupakan arahan tentang
prosedur kerja yang diperlukan. Selain itu menurut Prince & Felder (2006) jika tidak
dengan bimbingan guru maka konsep yang didapat dikhawatirkan kurang luas, dan
4

tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dengan memperhatikan kondisi tersebut,


maka model Guided Discovery Learning dianggap sebagai salah satu model yang
cocok untuk mengembangkan kemampuan berpikir analitis. Model Guided Discovery
Learning melatih siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep dengan
memberikan permasalahan yang harus dipecahkan siswa melalui pendekatan analitis.
Menurut Veermans (2006), Guided Discovery Learning merupakan suatu
model pembelajaran berpusat pada pelajar (siswa), dan menekankan pada
pemahaman diri yang dicapai melalui penyelidikan aktif. Sesuai dengan hasil
penelitian Balim (2009) ada perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen yang
menggunakan model Guided Discovery Learning dengan kelas kontrol yang
menggunakan model pembelajaran tradisional terhadap prestasi akademik siswa pada
mata pelajaran sains di level SMP. Siswa yang memiliki prestasi akademik tinggi
cenderung lebih memahami konsep, demikian juga siswa dengan prestasi akademik
sedang atau rendah dapat terbantu dalam pemahaman konsep dengan menerapkan
model Guided Discovery Learning. Pembentukan konsep didapat melalui serangkaian
kegiatan dalam model Guided Discovery Learning, dan pada setiap kegiatan tersebut,
siswa dituntut untuk berpikir analitis. Dengan demikian, siswa yang mempunyai
kemampuan berpikir analitis tinggi cenderung mendapatkan prestasi akademik yang
lebih baik.
Selain itu untuk lebih membantu siswa dalam pemahaman konsep, maka
dapat digunakan peta konsep atau Concept map. Menurut Zwaal & Otting, (2012)
Concept map adalah alat grafis untuk menguraikan pengetahuan yang sudah
didapatkan melalui pembelajaran sebelumnya, yang berguna untuk mendukung
kegiatan pemecahan masalah dan memahami suatu konsep. Concept map yang
digunakan dalam pembelajaran menurut Suprijono (2013) mendorong siswa untuk
lebih menguatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap bahan-bahan yang telah
dibacanya melalui hubungan antarkonsep dan membuat pembelajaran lebih bermakna
Permasalahan yang telah diuraikan di atas seperti rendahnya kemampuan
berpikir analitis siswa yang disebabkan karena pembelajaran biologi di Indonesia
5

masih belum sepenuhnya berpusat pada siswa, Biologi dianggap sebagai pelajaran
menghapal, sehingga siswa hanya mendengarkan dan mencatat penjelasan guru.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki model
pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontruktivisme.
Tindakan untuk menguji hipotesis di atas adalah dengan melakukan suatu
penelitian untuk menerapkan model Guided Discovery Learning disertai Concept
map terhadap kemampuan berpikir analitis. Model pembelajaran tersebut diterapkan
melalui serangkaian kegiatan investigasi dan penemuan sehingga siswa dituntut aktif
dalam pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian dengan
judul “Perbedaan Model Guided Discovery Learning Berbantu Concept map dengan
Model Konvensional Terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Siswa Kelas XI IPA
SMA Negeri 5 Surakarta”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dicari jawabannya melalui penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan model Guided Discovery Learning berbantu Concept
map dengan model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis siswa
kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta?
2. Bagaimana pengaruh model Guided Discovery Learning berbantu Concept map
terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5
Surakarta?
3. Bagaimana tingkatan aspek kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA SMA
Negeri 5 Surakarta yang menerapkan model Guided Discovery Learning berbantu
Concept map?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui perbedaan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map
dengan model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI
IPA SMA Negeri 5 Surakarta.
6

2. Menganalisis bagaimana pengaruh model model Guided Discovery Learning


berbantu Concept map terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA
SMA Negeri 5 Surakarta.
3. Menganalisis aspek kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA SMA Negeri
5 Surakarta yang menerapkan model Guided Discovery Learning berbantu
Concept map.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Memperkuat teori yang sudah ada mengenai efektivitas penggunaan model
pembelajaran Guided Discovery Learning berbantu Concept map dalam
peningkatan kemampuan berpikir analitis. Serta dapat memberikan sumbangan
pada dunia pendidikan dalam pembelajaran biologi terutama dalam penerapan
model pembelajaran dengan pendekatan ilmiah.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, pembelajaran yang dipergunakan dalam penelitian dapat
memberikan suasana belajar dapat membangkitkan keingintahuan siswa
dengan memotivasi mereka terus bekerja sampai mereka menemukan
jawaban, membantu siswa memahami masalah sekitarnya, lebih
menyenangkan, dan meningkatkan kemampuan berpikir analitisnya.
b. Bagi guru, hasil penelitian dapat menjadi masukan dalam memilih model
pembelajaran biologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
berpikir siswa.
c. Bagi sekolah, hasil penelitian dapat memberikan solusi terhadap kendala
pelaksanaan pembelajaran biologi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori Dan Penelitian Yang Relevan


1. Kemampuan Berpikir Analitis
a. Pengertian Kemampuan Berpikir Analitis
Bloom (1956) dalam Parjono & Wardaya (2009) menggolongkan
kemampuan-kemampuan ranah kognitif secara hirarkis, berdasarkan perilaku
hasil belajar yang terkait dengan kemampuan internal dan kata-kata kerja
operasional. Secara hirarki ada enam jenis perilaku kognitif menurut
Taksonomi Bloom yang terevisi, yaitu ;
1) Pengetahuan, mencakup pengetahuan ingatan tentang sesuatu yang telah
dipelajari dan tersimpan dalam ingatan; 2) Pemahaman, mencakup
kemampuan mengungkap arti dan makna tentang sesuatu yang dipelajari; 3)
Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk
menghadapi yang nyata dan baru; 4) Analisis, mencakup kemampuan
merinci suatu informasi ke dalam elemen-elemen yang lebih kecil dengan
maksud untuk memperjelas makna; 5) Evaluasi, membuat pertimbangan
berdasarkan kriteria dan standar; 6) Mencipta, memasang unsur-unsur untuk
membuat kesatuan yang fungsional.

Tiga level kognitif terendah dalam Taksonomi Bloom adalah


pegetahuan, pemahaman dan aplikasi yang juga disebut “lower-order thinking
skills”, sedangkan tiga level kognitif tertinggi adalah analisis, evaluasi dan
mencipta yang dianggap sebagai “higher-order thinking skills”. Tentu saja
dibutuhkan penanganan yang berbeda untuk mengajarkan kemampuan tersebut.
Kemampuan berpikir analitis menurut Bloom (1956) merupakan suatu
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang berguna untuk memecahkan
berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari (Uno & Koni,
2012). Sedangkan Hanafiah & Suhana (2012) mengatakan bahwa “Kemampuan
berpikir analitis merupakan kemampuan untuk menguraikan, mengidentifikasi
dan mempersatukan bagian yang terpisah, menghubungkan antarbagian guna

7
8

membangun suatu keseluruhan”, sehingga siswa diharapkan menunjukkan


hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan
tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari.
Levin & Lieberman (2010) menambahkan bahwa “A thorough
examination of prevalent trends indicates that cultivating analytical skills
constitutes an essential feature of science education”, yang artinya sebuah
pemeriksaan menyeluruh dari tren umum menunjukkan bahwa kemampuan
berpikir analitis merupakan fitur penting bagi pendidikan sains. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir analitis merupakan
kemampuan yang penting dalam pendidikan sains yang menuntut siswa untuk
dapat memecahkan suatu komponen permasalahan atau fakta, mengidentifikasi
setiap komponen, serta menghubungkan antarkomponen tersebut. Dalam hal ini
siswa berlatih mengembangkan kemampuan logikanya.
b. Aspek Kemampuan Berpikir Analitis
Kemampuan berpikir analitis meliputi proses-proses kognitif, yaitu
membedakan, mengorganisasikan dan mengatribusikan. Secara rinci aspek
kemampuan berpikir analitis tersebut diuraikan oleh Anderson & Krathwohl
(2010) sebagai berkut :
1) Membedakan (Differentiating)
Membedakan melibatkan proses memilih-milih bagian yang relevan
atau penting dari sebuah struktur. Membedakan terjadi, ketika siswa
membedakan informasi antara yang relevan dan tidak relevan dan antara
informasi yang penting dan tidak penting, kemudian baru memperhatikan
mana informasi yang relevan dan penting. Kemampuan untuk membedakan
dapat diukur dengan soal-soal jawaban singkat atau pilihan.
2) Mengorganisasi (Organizing)
Mengorganisasi melibatkan proses mengidentifikasi elemen-elemen
komunikasi atau situasi dan proses mengenali bagaimana elemen-elemen
9

tersebut membentuk sebuah struktur yang koheren. Siswa melakukan


kemampuan mengorganisasi dengan cara membangun hubungan-hubungan
yang sistematis dan koheren antarpotongan informasi. Mengorganisasi
melibatkan proses menyusun sebuah struktur, misalnya garis besar, tabel,
matriks atau struktur organisasi. Jika siswa yang mempunyai kemampuan
mengorganisasi, diberikan suatu deskripsi tentang sebuah masalah, maka
dapat mengidentifikasikan hubungan-hubungan yang sistematis dan koheren
di antara komponen-komponen yang relevan.
3) Mengatribusikan (Attributing)
Mengatribusikan melibatkan proses menentukan sudut pandang,
pendapat, nilai, atau tujuan di balik komunikasi, maka siswa sudah mampu
mengatribusikan. Proses yang terlibat dalam mengatribusikan adalah
dekonstruksi yang di dalamnya siswa menentukan tujuan dari masalah yang
diberikan oleh guru. Ketika siswa diberi masalah, lalu mereka dapat
menentukan tujuan atau sudut pandang penulisan, maka siswa memiliki
kemampuan mengatribusikan yang baik. Mengatribusikan dapat diukur
dengan memberikan materi tulisan atau lisan, kemudian meminta siswa
untuk membuat deskripsi tentang sudut padang, pendapat dan tujuan
penulisan atau pembicara.
Penelitian yang relevan terkait kemampuan berpikir analitis pada
pembelajaran dilakukan oleh Erlina (2014) yang melakukan penelitian tentang
penerapan model Guided Discovery Learning untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis pada mata pelajaran Biologi SMA kelas XII Medan. Penelitian
tersebut memberikan hasil bahwa penerapan model Guided Discovery Learning
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Berpikir kritis berkaitan
dengan aktivitas “tingkat tinggi” seperti kemampuan dalam memecahakan
masalah, menetapkan keputusan, berpikir analitis, berpikir kreatif, dan
mengambil kesimpulan secara logis (Nickerson, 1998). Jika siswa memiliki
10

kemampuan berpikir kritis yang tinggi maka siswa juga memliki kemampuan
berpikir analitis yang tinggi. Bruner (1960) dalam Takaya (2008) juga
mengungkapan bahwa pemikiran intuitis dan analitis dapat menunjang kegiatan
Discovery Learning di dalam kelas.
2. Teori Belajar
a. Teori Belajar Vygotsky
Teori belajar Vygotsky sering disebut sebagai teori konstruktivisme
sosial, adalah ide penting dari Vygotsky yang mengatakan bahwa pemberian
bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan secara
bertahap mengurangi bantuan tersebut, serta memberikan kesempatan kepada
anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah anak dapat melakukannya. Konsep tersebut disebut scaffolding (Dahar,
2006). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep atau
kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Pengetahuan harus dikonstruksi
manusia sehingga dapat memberi makna melalui pengalaman nyata
(Baharuddin & Wahyuni, 2010). Artinya dalam belajar dan pembelajaran,
pengetahuan bukan harus diterima tetapi dibangun secara bertahap. Menurut
Riyanto (2012), implikasi dari pendekatan kontruktivisme dalam pembelajaran
adalah
1) Memusatkan perhatian berpikir atau proses mental anak tidak sekedar pada
hasilnya.
2) Mengutamakan keterlibatan aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran di
dalam kelas kontruktivis
3) Discovery learning
4) Pendekatan kontruktivisme dalam pembelajaran menerapkan scaffolding.
Pembelajaran konstruktivisme dapat diterapkan melalui model Guided
Discovery Learning, karena dengan menerapkan sintak-sintak Guided
Discovery Learning siswa dapat mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Siswa
11

melakukan serangkaian kegiatan penemuan sendiri yang membuat siswa lebih


paham dan menyimpan konsep-konsep temuan tersebut dalam memori jangka
panjang. Selain itu adanya pembentukan kelompok dalam model Guided
Discovery Learning memunculkan scaffolding di antara siswa. Melalui
kelompok, siswa mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan. Setiap
siswa memberikan pendapat atas permasalahan yang diberikan dan
memecahkan permasalahan tersebut.
b. Teori Belajar Bruner
Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh
adalah model dari Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (Discovery
learning). Dasar dari teori Bruner adalah anak harus berperan secara akatif saat
belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar dengan menemukan (Discovery
learning) melatih siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarinya
dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir anak
(Suryono & Hariyanto, 2011). Bruner mengatakan bahwa proses belajar
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang dia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005)
Melalui model Guided Discovery Learning siswa dapat menemukan
konsep mengenai sistem imun dengan cara mengamati, bertanya kepada ahli,
mengaji literatur dan berdiskusi dengan teman. Siswa menyususn rumusan
masalah, hipotesis, melakukan kajian literatur serta membuat kesimpulan.
Semua tahap dalam proses pembelajaran dengan model Guided Discovery
Learning tersebut mempermudah siswa menemukan konsep baru dari
pembelajaran yang berlangsung.
12

3. Model Guided Discovery Learning


a. Pengertian Discovery Learning
Discovery Learning atau pembelajaran penemuan merupakan
komponen penting dari pendekatan konstruktivis, karena siswa didorong untuk
belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dalam menemukan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip (Slavin, 2011). Guru bertugas mendorong siswa untuk
memperoleh pengalaman dengan cara membaca literatur atau melakukan
eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri prinsip-
prinsipnya. Sintak model Discovery Learning sebagaimana disajikan dalam
Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sintak Model Discovery Learning


Fase Keterangan
Fase 1 : Orientation Siswa membangun konsep pertama kali dengan
mengeksplorasi masalah, mengidentifikasikan
variabel dalam masalah, dan menghubungkan
masalah yang dihadapi dengan pengetahuan
sebelumnya.
Fase 2: Hypothesis generation Siswa mengajukan hipotesis, yaitu pernyataan
(statement) sebagai jawaban sementara atas
pertanyaan yang diajukan
Fase 3 : Hypothesis testing Siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan
(collection) berbagai informasi yang relevan,
membaca literatur, melakukan uji coba sendiri
dan lain-lain
Fase 4 : Conclusion Siwa meninjau kembali hipotesis dengan
mencocokkan fakta-fakta yang telah diperoleh
melalui pengajuan hipotesis. Siswa memutuskan
fakta yang sepaham dengan prediksi / hipotesis
kemudian menyimpulkan
Fase 5 : Regulation Siswa dan guru mengevaluasi kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan
Sumber : Veermans (2003)
13

Jerome Bruner mengemukakan bahwa prinsip atau konsep yang


ditemukan dalam model Discovery Learning didapat melalui belajar induktif.
Belajar induktif menekankan siswa mempelajari konsep melalui permasalahan
yang kongkrit kemudian mendefinisikan dan mencoba untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut (Suprijono, 2013). Mengonstruksi konsep melalui
penyelesaian kasus membuat siswa lebih aktif untuk mencari informasi sendiri,
sehingga mereka terbiasa untuk berpikir tingkat tinggi. Siswa yang terbiasa
berpikir tingkat tinggi lebih mudah menemukan konsep, karena mereka dapat
menganalisis dan memanipulasi informasi untuk dapat menemukan konsep
tersebut.
b. Pengertian Guided Discovery Learning
Schank dan Cleary (1994) mengusulkan lima desain dari Discovery
Learning, yaitu:
1) Case-based learning ( pembelajaran berbasis kasus)
2) Incidental learning (pembelajaran insidental)
3) Learning by exploring/ conversing (belajar dengan mengeksplorasi/
berbincang-bincang)
4) Learning by reflection (pembelajaran dengan refleksi)
5) Simulation-based learning (pembelajaran berbasis simulasi).
(Castronova, 2002)
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah case-based
learning. Schank & Cleary (1994) mengatakan bahwa case-based learning
adalah bagian dari Discovery Learning melalui penggunaan cerita atau sketsa
(kasus) yang berisi informasi, sehingga siswa harus memeriksa dan
menganalisis kasus tersebut dengan tujuan dapat memahami konsep-konsep
dasar mengenai kasus tersebut dan dapat mengambil suatu keputusan dari kasus
tersebut (Castronova, 2002).
14

Pelaksanaan model Discovery Learning merupakan salah satu model


yang cukup sulit untuk siswa, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan
bimbingan dan bantuan dari guru untuk mendukung siswa dalam pembelajaran
(Veerman, 2003). Bantuan yang diberikan dapat berupa arahan, petunjuk atau
bimbingan. Petunjuk yang diberikan kepada siswa pada proses pembelajaran
disebut proses guided, sehingga pelaksanaan model Discovery Learning dengan
bimbingan disebut Guided Discovery Learning (Discovery terbimbing).
Pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning) lebih banyak
diterapkan, karena lebih efektif dan efisien dalam mendukung proses kognitif
siswa atau memudahkan siswa memahami konsep (Kirschner et al, 2004).
Selain itu menurut Prince & Felder (2006), jika tidak dengan bimbingan guru,
maka konsep yang didapat dikhawatirkan sedikit dan tidak sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Tugas guru dalam Guided Discovery Learning adalah mengemukakan
masalah, memberikan pengarahan mengenai pemecahan masalah dan
membimbing siswa untuk mencatat data. Guru juga memberikan beberapa
petunjuk kepada siswa untuk membantu siswa menghindari jalan buntu. Guru
memberi pertanyaan yang membutuhkan pemecahan-pemecahan, serta
meningkatkan kemampuan siswa untuk mengemukakan dan menguji hipotesis
secara kritis. Guru semaksimal mungkin untuk tidak memberikan materi secara
langsung guna memberikan kesempatan kerja kepada siswanya
Menurut Alfieri, dkk. (2011), Guided Discovery Learning membuat
pembelajaran lebih bermakna, karena dalam pembelajaran siswa berupaya
memahami informasi yang disajikan dengan memilih informasi yang relevan,
mengorganisasi informasi dan mengintegrasikan dengan pengetahuan yang
sudah didapat. Guided Discovery Learning membuat siswanya belajar
pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berpikir,
karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi (Slavin, 2011).
15

Selain itu siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep dan fakta ilmiah
melalui percobaan dengan mengamati dan menuliskan data yang dihasilkan ke
dalam Lembar Kerja Siswa (LKS) serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
ada dalam LKS. Siswa menemukan konsep-konsep berdasarkan data yang
diperoleh dan membandingkannya dengan teori yang terdapat dalam buku
pelajaran. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat mengembangkan
keterampilan berpikirnya dengan menemukan sendiri konsep-konsep dari
materi yang diajarkan dan pemahaman konsep siswa lebih bersifat permanen
atau tidak mudah hilang dari ingatan.
Penelitian yang relevan terkait penerapan Guided Discovery Learning
dilakukan oleh Effendi (2012), yang membuktikan adanya pegaruh temuan
terbimbing untuk meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan
masalah (problem solving skill) pada mata pelajaran Matematika. Penelitian
tersebut memberikan hasil bahwa kemampuan representasi dan pemecahan
masalah pada kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Kegiatan
pemecahan masalah selalu melibatkan kemampuan kognitif salah satunya
berpikir analitis, yang menuntut siswa untuk menemukan data-data yang
relevan, menggolongkannya serta menarik kesimpulan dari data yang diperoleh.
Oleh karena itu Guided Discovery Learning atau temuan terbimbing dapat
melatih siswa untuk berpikir analitis melalui serangkaian kegiatan dalam
pemecahan masalah (problem solving).

c. Perbandingan Model Guided Discovery Learning dengan Model


Konvensional
Setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Berikut ini disajikan kelebihan dan kekurangan model Guided Discovery
Learning dan Model Konvensional dalam Tabel 2.2.
16

Tabel 2.2.Perbandingan Model Guided Discovery Learning dengan Model


Konvensional
Model Kelebihan Kekurangan
Guided Discovery 1) Membangkitkan keingintahuan 1) Tidak dapat digunakan di
Learning siswa dengan memotivasi kelas yang besar
mereka terus bekerja sampai 2) Siswa harus berani dan
mereka menemukan jawaban berkeinginan untuk
2) Siswa juga mempelajari mengetahui keadaan sekitar
kemampuan penyelesaian dengan baik
masalah dan pemikiran kritis 3) Untuk materi tertentu waktu
secara mandiri yang tersita lebih lama
3) Membangkitkan kegairahan 4) Tidak semua siswa dapat
siswa untuk belajar mengikuti pelajaran dengan
4) Siswa mendapatkan cara ini (Roestiyah, 2008)
pengetahuan yang lebih
bermakna, sehingga dapat
tersimpan kokoh atau mendalam
dalam jiwa siswa (Slavin ,2011)
Konvensional 1) Hemat dalam penggunaan 1) Hanya menghasilkan ingatan
waktu dan alat jangka pendek bagi siswa
2) Mampu membangkitkan minat 2) Kegiatan lebih berpusat pada
dan antusias siswa guru sehingga anak pasif
3) Membantu siswa untuk 3) Metode ceramah cenderung
mengembangkan kemampuan menempatkan posisi siswa
mendengarnya. sebagi pendengar dan
4) Mampu menyampaikan pencatat.
pengetahuan yang belum pernah 4) Keterbatasan kemamuan
diketahui siswa pada tingkat rendah
(Gulo, 2008) (Yamin, 2008)

4. Concept Map
a. Pengertian Concept Map
Concept map adalah teknik berupa alat grafis untuk menguraikan
pengetahuan yang sudah didapatkan melalui pembelajaran sebelumnya, yang
berguna untuk mendukung kegiatan pemecahan masalah dan memahami suatu
konsep (Zwaal & Otting, 2012). Peta konsep atau Concept Map menurut
Johnstone & Otis (2006) terdiri dari konsep kunci yang biasanya terletak di
17

tengah dan dikelilingi oleh konsep-konsep (pendukung) yang terkait erat dan
dihubungkan oleh garis atau beberapa kata-kata penghubung. Oleh karena itu
Concept map merupakan bentuk dua dimensi dari pengetahuan yang terdiri dari
konsep-konsep, dihubungkan oleh garis dan tersusun secara sistematis.

b. Manfaat Concept Map


Concept map yang digunakan dalam pembelajaran menurut Suprijono
(2013) mendorong siswa untuk lebih menguatkan pengetahuan dan pemahaman
terhadap bahan-bahan yang telah dibacanya melalui hubungan antarkonsep dan
membuat pembelajaran lebih bermakna. Siswa dapat membangun keterkaitan
antara berbagai konsep bahan pembelajaran secara individual maupun secara
berkelompok. Siswa lebih terampil dalam menggali pengetahuan awal yang
sudah dimiliki dan memperoleh pengetahuan baru sesuai pengalaman
belajarnya (Riyanto, 2012). Concept map juga membantu meningkatkan daya
ingat siswa dalam belajar sehingga pembelajaran lebih efektif dan efiseien.
Siswa belajar dengan merangkum informasi yang banyak ke dalam konsep-
konsep utama yang saling berhubungan ke dalam sebuah diagram yang
mencakup keseluruhan konsep yang dipelajari.
Penerapan Concept map dapat membangun pemahaman yang bersifat
konseptual, dan dengan demikian siswa dapat mencapai hasil belajar kognitif
atas, yaitu berpikir kreatif. Terkait pembelajaran dengan Concept map
dilaporkan bahwa pembelajaran kontekstual dengan peta konsep dapat
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi para siswa SMP (Tindangen,
2006). Dilaporkan pula bahwa pembelajaran kontekstual dengan Concept map
pada siswa berkemampuan awal tinggi berpengaruh paling baik meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Chotimah (2004) dalam Corebima (2011)
melalui PTK telah melaporkan juga bahwa Concept map dapat digunakan untuk
18

meningkatkan kemampuan berpikir dan hasil belajar siswa SMA, serta


meningkatkan persentase ketuntasan belajar.

c. Langkah-langkah membuat Concept Map


Arends (2000) dalam Trianto (2007) memaparkan langkah-langkah
dalam membuat peta konsep, sebagai berikut:
1) Mengidentifikasikan ide pokok atau prinsip yang melingkupi sejumlah
konsep; 2) Mengidentifikasikan ide-ide sekunder yang menunjang ide
utama; 3) Menempatkan ide-ide ide utama di tengah atau puncak peta
tersebut; 4) Mengelompokan ide-ide sekunder di sekeliling ide utama yang
secara visual menunjukkan hubungan ide-ide tersebut dengan ide utama.
Menurut Johnstone & Otis (2006), dalam pembuatan Concept map,
struktur yang disarankan adalah menempatkan konsep kunci di tengah halaman
dan mengelilingi konsep kunci dengan konsep-konsep yang terkait erat, lalu
dihubungkan oleh garis dan beberapa kata-kata untuk menghubungkan konsep-
konsep yang terkait. Proses ini diulangi dengan masing-masing cabang baru
dan seterusnya sampai 'Gambaran' dari struktur pengetahuan dan pemahaman
terungkap. Concept map telah digunakan dalam berbagai proses pembelajaran
seperti perencanaan, penelitian, pencatatan, revisi, masalah memecahkan dan
bahkan untuk penilaian

B. Kerangka Berpikir

Pembelajaran Biologi di Indonesia belum sepenuhnya menggunakan pola


pembelajaran yang berpusat pada siswa. Sebagian besar siswa menganggap biologi
sebagai pelajaran menghapal. Berdasarkan hasil observasi di SMA N 5 Surakarta
kelas XI IPA menunjukkan bahwa pembelajaran Biologi kurang mengakomodir
siswa untuk melakukan penyaluran pengetahuan, tetapi lebih pada pengulangan
sehingga siswa diminta untuk mendengarkan, mencatat dan menghapal (teacher
19

centered) bukan menganalisis secara kritis. Hal tersebut mengakibatkan kemampuan


berpikir analitis siswa menjadi rendah. Temuan lain juga menunjukkan kurangnya
kemampuan berpikir analitis siswa, yaitu pada laporan praktik yang dibuat siswa.
Pada bagian pembahasan siswa hanya membahas hasilnya saja tanpa menganalisis
sebab dan akibat dari fenomena yang ditemukan. Dalam kenyataanya pemerintah
menginginkan pembelajaran yang efektif menggunakan pola pembelajaran yang
berpusat pada siswa (student centered) dan pembelajaran yang menuntut siswa untuk
aktif mencari sendiri pengetahuannya. Selain itu pembelajaran biologi dikembangkan
melalui kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif untuk menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan peristiwa sekitar, sehingga melatih siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir. Pemilihan model atau strategi pembelajaran
berpengaruh terhadap aktivitas siswa di dalam kelas. Aktivitas siswa yang hanya
mendengarkan dan mencatat penjelasan dari guru kurang mengembangkan
kemampuan berpikir, salah satunya berpikir analitis.
Solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan memperbaiki pembelajaran
yang semula bersifat teacher centered menjadi student centered, dan menggunakan
pendekatan konstruktivisme melalui pembelajaran kontekstual. Salah satu model
pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontruktivisme dan terpusat pada siswa
adalah model Discovery learning.
Penerapan model Disovery Learning pada siswa cukup sulit ,sehingga perlu
adanya bimbingan (guided) atau arahan dari guru, oleh karena itu Guided Discovery
Learning lebih banyak diterapkan dalam pembelajaran pada tingkat SMA. Petunjuk
yang diberikan guru membuat siswa bekerja lebih terarah untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai. Jika guru tidak memberikan bimbingan sama sekali
pada siswa maka konsep yang didapat dikhawatirkan sedikit dan tidak sesuai dengan
tujuan pembelajaran
Berdasarkan kondisi tersebut maka model Guided Discovery Learning
dianggap sebagai salah satu model yang cocok untuk mengembangkan kemampuan
20

berpikir analitis. Selain itu untuk lebih membantu siswa dalam pemahaman konsep,
maka dapat digunakan peta konsep atau Concept map. Untuk menguji bagaimana
perbedaan dampak perlakuan model Guided Discovery Learning berbantu Concept
map, dilakukan penelitian dengan menerapkan model Guided Discovery Learning
berbantu Concept map terhadap kemampuan berpikir analitis siswa pada
matapelajaran biologi di kelas XI IPA SMA N 5 Surakarta.
Guided Discovery Learning berbantu Concept map dapat meningkatkan
kemampuan berpikir analitis siswa, karena setiap komponen dari kemampuan
berpikir analitis yang terdiri dari membedakan, mengorganisasi dan mengatribusikan
dapat dilatihkan di setiap sintak dari Guided Discovery Learning yang terdiri dari
orientation, hypothesis generation, hypothesis testing, conclution, dan regulation.
Sementara Concept map yang dilatihkan pada sintak regulation melatihkan siswa
mencari keterkaitan konsep-konsep pada materi yang dipelajarinya melalui analisis
fakta dan konsep yang ada.
21

IDEAL FAKTA

Pembelajaran yang efektif Pembelajaran biologi di


menggunakan pola pembelajaran Indonesia belum sepenuhnya
yang berpusat pada siswa dan menggunakan pola
pembelajaran yang menuntut siswa pembelajaran yang berpusat
untuk aktif mencari sendiri pada siswa (student centered).
pengetahuannya. Pola Sebagian besar siswa
pembelajaran tersebut akan melatih menganggap pembelajaran
siswa untuk mengembangkan biologi sebagai pelajaran yang
kemampuan berpikir (Peraturan menghapal (Rukmana, 2013),
Mentri Pendidikan dan sehingga dalam pembelajaran di
Kebudayaan Nomor 69,2013) kelas siswa cenderung mencatat
dan mendengarkan penjelasan
dari guru (teacher centered).

Masalah

Kemampuan Berpikir
Analitis Rendah

Model Guided Discovery Learning


berbantu Concept map

Hypothesis Hypothesis Regulation + Concept


Orientation Conclusion
generation testing map

Kemapuan Berikir Analitis

1) Membedakan 2) Mengorganisasikan 3) Mengorganisasi

Kemampuan Berpikir Analitis dapat


Diberdayakan

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir


22

C. HIPOTESIS
Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan maka
dapat disusun hipotesis penelitian, yaitu terdapat perbedaan pengaruh model Guided
Discovery Learning berbantu Concept map dengan model konvensional terhadap
kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 5 Surakarta yang beralamat di
Jalan Letjen Sutoyo 18 Solo pada siswa kelas XI IPA tahun pelajaran 2013/2014.

2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2013/2014,
yaitu bulan November 2013 – Agustus 2014. Pelaksanaan penelitian melalui tiga
tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data serta
penulisan laporan atau skripsi. Jadwal waktu penelitian ditampilkan dalam Gambar
3.1.

Tahap Kegiatan Penelitian Bulan ke- (dalam tahun 2013/2014)


11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
1. Persiapan Permohonan pembimbing
Konsultasi judul
Pelaksanaan tes
kemampuan analisis
Konsultasi proposal
Konsultasi instrument
Seminar proposal
2. Pelaksanaan Mengurus perijinan
penelitian
Pelaksanaan penelitian
Konsultasi Bab I , II dan
III
3. Pengolahan Pengolahan data hasil
data dan penelitian dan penulisan
penulisan skripsi
skripsi

Gambar 3.1. Jadwal Penelitian

23
24

B. Desain Penelitian
Penelitian dilaksanakan menggunakan metode kuantitatif, yaitu hubungan
variabel dengan objek yang diteliti lebih bersifat sebab dan akibat (Sugiyono, 2013).
Variabel independen adalah model Guided Discovery Learning berbantu Concept
map dan model pembelajaran konvensional. Variabel dependen adalah kemampuan
berpikir analitis siswa. Selanjutnya dicari perbedaan pengaruh model Guided
Discovery Learning berbantu Concept map dan model pembelajaran konvensional
terhadap kemampuan berpikir analitis.
Penelitian menggunakan desain Quasi Experimental Research karena
pengendalian variabel yang terkait subjek penelitian tidak dapat dilakukan
sepenuhnya (Zainal, 2011). Post-test Only with Non-equivalent Groups, karena
penelitian menggunakan dua kelas, yaitu kelas pertama sebagai kelas eksperimen I,
dan kelas kedua sebagai kelas eksperimen II.
Kelas eksperimen I merupakan kelas yang diberi perlakuan dengan
menerapkan model pembelajaran konvensional, sedangkan kelas eksperimen II
adalah kelas pembanding yang menerapkan model Guided Discovery Learning
berbantu Concept map. Selanjutnya kedua kelas tersebut diberi post-test dengan tipe
soal C4 untuk mengukur kemampuan berpikir analitis siswanya dengan indikator
kemampuan berpikir analitis, yaitu membedakan, mengorganisasikan dan
mengatribusikan (Lampiran 6,7 dan 8). Berikut akan disajikan desain penelitian Post-
Test Only with Nonequivalent Group (Tabel 3.1. )

Tabel 3.1. Desain penelitian Post-Test Only with Nonequivalent Group


Kelas Treatment Post-test
Eksperimen I X1 Y
Eksperimen II X2 Y
25

Keterangan :
X1: Perlakuan yang diberikan dengan penerapan model pembelajaran konvensional
X2: Perlakuan yang diberikan dengan penerapan model Guided Discovery Learning
berbantu Concept map
Y : Tes akhir untuk mengetahui kemampuan berpikir analitis

Hasil penelitian kemudian diolah dan dianalisis sehingga dapat diketahui


apakah terdapat perbedaan penerapan model Guided Discovery Learning berbantu
Concept map dengan model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis
siswa kelas XI IPA di SMA Negeri 5 Surakarta.
Keterkaitan antara variabel independen yang berupa model pembelajaran
(Guided Discovery Learning berbantu Concept Map dan Konvensional) dengan
variabel dependen yang berupa kemampuan berpikir analitis tertuang dalam
paradigma penelitian (Gambar 3.2).

X1 Y X1Y

X2 Y X2Y

Gambar 3.2. Skema Paradigma Penelitian


Keterangan :
X = Model pembelajaran.
X1 = Model pembelajaran konvensional.
X2 = Model Guided Discovery Learning berbantu Concept map.
Y = Kemampuan berpikir analitis siswa.
X1Y = Kemampuan berpikir analitis siswa yang menggunakan model
pembelajaran konvensional.
26

X2Y = Kemampuan berpikir analitis siswa yang menggunakan model Guided


Discovery Learning berbantu Concept map.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruan objek atau subjek yang diteliti, baik berupa
orang, benda, kejadian, nilai, maupun hal-hal yang terjadi (Zainal, 2011). Populasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA
Negeri 5 Surakarta tahun ajaran 2013/2014, yang terbagi dalam 4 kelas. Kelas XI
IPA 1 sampai 3 terdiri dari 26 siswa, dan XI IPA 4 terdiri dari 25 siswa. Jumlah
total populasi adalah 103 siswa.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakterstik yang dimiliki oleh
populasi (Sugiyono, 2013). Jumlah populasi yang besar dan keterbatasan peneliti
menyebabkan perlunya mengambil sampel yang akan diujicoba dari populasi
tersebut. Pengambilan sampel harus benar, dan mampu merepresentasikan atau
dapat mewakili populasi. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah dua
rombel kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta tahun ajaran 2013/2014, yaitu kelas
XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen I yang terdiri dari 26 siswa dan XI IPA 3
sebagai kelas eksperimen II yang terdiri dari 26 siswa.

D. Teknik Pengambilan Sampel


Sampel yang digunakan dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan
teknik cluster random sampling yang dipakai oleh peneliti apabila di dalam populasi
terdapat kelas-kelas yang mempunyai ciri khas (Arikunto, 2005). Untuk menentukan
sampel yang akan digunakan sebagai sumber data, maka pengambilan sampel
dilakukan berdasarkan populasi yang telah ditetapkan. Teknik cluster random
27

sampling termasuk dalam teknik probability sampling karena memberikan peluang


yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota
sampel. Artinya, setiap kelas dalam semua rombel kelas XI, memiliki peluang yang
sama untuk terpilih sebagai kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II. Penelitian
menggunakan kelas XI IPA yang terdiri dari 4 kelas, dan setiap kelas mendapat
peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Sebelum pengambilan sampel
dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian homogen dan normal. Pengujian
dengan menggunakan uji normalitas dan homogenitas menggunakan data sekunder
berupa dokumentasi hasil belajar ranah kognitif dari nilai ulangan harian. Kelas-kelas
dalam populasi diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov (α=0,05) untuk mengetahui
apakah populasi memiliki distribusi yang normal, sedangkan untuk mengetahui
populasi bersifat homogen atau tidak, digunakan uji Levene’s (α=0,05).
Penelitian menggunakan kelas XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen I dan
kelas XI IPA 3 sebagai kelas eksperimen II. Kelas eksperimen I dan eksperimen II
kemudian diuji keseimbangan dengan menggunakan uji t (t-test). Syarat dari t-test
adalah data berdistribusi normal dan homogen. Uji normalitas telah dilakukan pada
kelas dalam populasi dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (α=0,05)
dengan bantuan program SPSS 16. H0 menyatakan bahwa sampel berasal dari
populasi yang berdistribusi normal dan H1 menyatakan bahwa sampel tidak berasal
dari populasi yang berdistribusi normal. Keputusan uji dinyatakan bahwa H0 diterima
jika KShitung < KStabel dan Sig. > 0,050. Hasil pengolahan data sekunder menunjukkan
bahwa setiap kelas dalam populasi kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta memiliki
nilai KShitung < KStabel dan Sig. > 0,050 pada setiap kelas sehingga menunjukkan
distribusi yang normal untuk nilai hasil belajar kelas eksperimen I dan eksperimen II.
Hasil uji normalitas untuk kelas eksperimen I dan eksperimen II dapat dilihat pada
Tabel 3.2.
28

Tabel 3.2.Rangkuman Hasil Uji Normalitas Dokumen Hasil Belajar Kognitif Kelas
Eksperimen I dan Eksperimen II
Kolmogorov-Smirnov KStabel Hasil Keputusan
Ranah Kelas
Statistic N Sig.
Hasil XI IPA 2 0,259 Normal.
0,178 26 0,381 Sig. > 0,05
belajar (Eksperimen I)
XI IPA 3 0,259 Normal
0,095 26 0,973 Sig. > 0,05
(Eksperimen II)

Pengolahan data tersebut menunjukkan bahwa nilai KShitung < KStabel pada
kelas eksperimen I dan eksperimen II sehingga H0 diterima dan dapat dinyatakan
bahwa data hasil belajar tersebut berdistribusi normal. Data kemudian diuji kembali
dengan uji Levene’s (α=0,05) dengan bantuan program SPSS 16 untuk mengetahui
apakah populasi bersifat homogen. H0 dinyatakan bahwa setiap kelas memiliki
variansi yang sama (homogen). H1 dinyatakan bahwa setiap kelas tidak memiliki
variansi yang sama. Keputusan uji dinyatakan jika Flevene’s < Ftabel(α, df1, df2) dan Sig. >
0,050 (Pramesti, 2011) maka H0 diterima. Hasil uji homogenitas disajikan dalam
Tabel 3.3

Tabel 3.3.Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Dokumen Hasil Belajar Kognitif Kelas
Eksperimen I dan Eksperimen II
Levene’s
Ranah df1 df2 Statistic (F) F(0.05;1,50) Sig. Keterangan Keputusan
Hasil Belajar 1 50 0,046 4,034 0,832 F< F (0.05;1,50) H0 diterima

Hasil uji Levene’s menunjukkan bahwa Flevene’s < Ftabel(α, df1, df2) untuk data
hasil belajar kognitif sehingga kedua kelas memiliki varians yang tidak berbeda nyata
(homogen). Jika data dinyatakan homogen, maka uji hipotesis dengan uji-t
dilanjutkan untuk mengetahui keseimbangan kedua kelas. H0 dinyatakan sebagai
29

setiap kelas memiliki rata-rata yang tidak berbeda nyata. H1 dinyatakan bahwa setiap
kelas memiliki rata-rata yang berbeda nyata. Hasil uji-t dapat dilihat pada Tabel 3.4
berikut ini.

Tabel 3.4.Rangkuman Hasil Uji t Hasil Belajar Kognitif Kelas Eksperimen I dan
Eksperimen II
Uji t t tabel Keterangan Keputusan
Ranah
T df Sig.
Hasil belajar 1,677 thitung < ttabel H0 diterima
1,405 50 0,166
Kognitif

Hasil uji-t menunjukkan thitung < ttabel sehingga H0 diterima. Maka antara
kelas eksperimen I dan eksperimen II memiliki rata-rata yang tidak berbeda nyata.

E. Pengumpulan Data
1. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini dipaparkan pada
Tabel 3.5. Variabel independen yang digunakan adalah Guided Discovery
Learning berbantu Concept map dengan instrumennya berupa lembar observasi
untuk mengukur keterlaksanaan sintak Guided Discovery Learning berbantu
Concept map pada kelas eksperimen II dan keterlaksanaan sintak model
pembelajaran konvensional pada kelas eksperimen I. Angket untuk mengetahui
respon siswa terhadap pembelajaran Guided Discovery Learning berbantu Concept
map. Sedangkan variabel dependennya, yaitu kemampuan berpikir analitis siswa
dengan instrumen berupa postes, dengan soal yang menggunakan aspek berpikir
analitis menurut Anderson & Krathwohl (2010).
30

Tabel 3.5. Variabel Penelitian


No Variabel Defini Operasional Instrumen Sumber Jenis data
data
1. Variabel - Keterlaksanaan - Lembar - Observer Nominal
independen : sintak Guided observasi
Guided Discovery
Discovery Learning berbantu
Learning Concept map pada
berbantu kelas eksperimen
Concept map II dan
dan Model keterlaksanaan
Konvensional sintak model
konvensional pada
eksperimen I
- Respon siswa - Angket - Siswa Ordinal
terhadap respon
pembelajaran siswa
Guided Discovery terhadap
Learning berbantu Guided
Concept map Discovery
Learning

2. Variabel - Membedakan Postes Nilai postes Interval


dependen : - Mengorganisasi siswa yang
Kemampuan - Mengatribusikan menjadi
berpikir analitis (Anderson & sampel
siswa Krathwohl, penelitian
2010)

2. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah
sebagai berikut:
a. Metode Tes
Tes yang digunakan dalam penelitian bertujuan untuk mengukur
kemampuan berpikir analitis siswa melalui pemberian tes tertulis dalam bentuk
uraian /essay. Jawaban yang diberikan oleh responden dalan tes essay atau tes
tertulis adalah uraian kalimat yang disusunnya sendiri (Margono, 2010).
31

Instrumen tes essay yang telah dibuat oleh peneliti akan diberikan pada
kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II. Pembuatan instrumen tes dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1) Instrumen tes dibuat berdasarkan kisi-kisi tes kemampuan berpikir analitis
menurut Anderson & Krathwohl (2010), kompetensi inti, kompetensi dasar,
dan indikator materi yang diajarkan berdasarkan Kurikulum 2013.
2) Instrumen tes yang telah dibuat sebelum diujicobakan, telah divalidasi oleh
tim pakar. Berdasarkan hasil validasi isi dan konstruk yang dilakukan oleh
validator pakar, selanjutnya, instrumen tes diujicobakan, lalu tingkat
kevalidannya dianalisis secara statistik.
b. Metode Nontes
1) Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi yang dipakai dalam penelitian adalah
mengumpulkan data melalui dokumen yang berasal dari sekolah tentang nilai
ulangan harian yang akan digunakan untuk menentukan kelas yang akan
digunakan dalam penelitian, setelah pengujian normalitas dan homogenitas.
Adapun dokumentasi selama penelitian adalah kegiatan peristiwa, kejadian,
respon siswa dan guru dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan
foto dokumentasi.
2) Teknik Observasi
Teknik observasi pada penelitian dibuat dalam bentuk Lembar
Observasi yang bertujuan untuk mengontrol ketercapaian sintak Guided
Discovery Learning berbantu Concept map dalam pembelajaran.
3) Angket
Angket dibuat peneliti untuk mengetahui respon siswa secara subjektif
terhadap penerapan Guided Discovery Learning berbantu Concept map dalam
pembelajaran. Cara menyusun angket dimulai dengan analisis variabel,
membuat kisi-kisi dan menyusun pertanyaan. Responden mengisi angket
32

dengan memilih jawaban yang dianggapnya sesuai dengan cara memberikan


tanda cek (√) pada pilihan yang disediakan. Alternatif jawaban dalam angket
ditransformasikan dalam bentuk simbol kuantitatif agar menghasilkan data
interval sehingga setiap alternatif jawaban mempunyai skor tersendiri. Skor
penilaian yang dipakai peneliti menggunakan skala Likert yang disajikan dalam
Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Skor Penilaian Angket dengan Menggunakan Skala Likert


Pernyataan Sangat Setuju Tidak Tidak Sangat
Sikap Setuju Berpendapat Setuju Tidak
Setuju
Pernyataan 5 4 3 2 1
positif
Pernyataan 1 2 3 4 5
negative
Sumber: Sudjana (2009)

F. Validasi Instrumen Penelitian


Peneliti menggunakan instrumen yang disusun sendiri sehingga instrumen
harus diuji validitasnya. Tujuan dari uji coba instrumen adalah diperolehnya
informasi mengenai kualitas instrumen yang digunakan. Instrumen yang berkualitas
harus memenuhi sekurang-kurangnya tingkat kevalidan dan reliabilitasnya (Arikunto,
2005). Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya diukur, sedangkan instrumen yang reliabel adalah
instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan
menghasilkan data yang sama.
Instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal.
Validitas internal dikembangkan menurut teori yang relevan, sedangkan validitas
33

eksternal (try out) dikembangkan dari fakta empiris. Instrumen penelitian yang akan
diuji validitasnya adalah RPP, Lembar Observasi, soal tes dan angket. Berikut akan
dikemukakan cara pengujian validitas instrumen yang akan digunakan dalam
penelitian :
1. Pengujian Validitas
Instrumen yang mempunyai validitas internal atau rasional, adalah bila
kriteria yang ada dalam instrumen secara rasional atau teoritis telah
mencerminkan apa yang diukur. Variabel internal berkaitan dengan ketepatan
mengidentifikasi variabel eksperimen. Tujuan validitas internal adalah untuk
menentukan apakah faktor-faktor yang dimodifikasi benar-benar memberikan
pengaruh pada subjek/objek yang diteliti, dan apakah variabel yang diobservasi
benar-benar tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak dikontrol.
Validitas internal instrumen berupa tes harus memenuhi validitas
konstruk (construct validity) dan validitas isi (content validity), sedangkan untuk
instrumen nontes untuk mengukur sikap, cukup memenuhi validitas konstruk.
Untuk menguji validitas konstruk, dapat digunakan pendapat para ahli (judgement
experts), yaitu setelah instrumen dibuat sesuai dengan aspek-aspek yang yang
akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, selanjutnya dikonsultasikan
dengan ahli.
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa instrumen yang berbentuk
tes menggunakan pengujian validitas isi dengan membandingkan antara isi
instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Pengujian validitas
konstruk dan isi dapat dibantu dengan menggunakan kisi-kisi instrumen.
Setelah dilakukan pengujian validitas isi dan konstruk oleh ahli, maka
dilanjutkan dengan validitas eksternal, yaitu uji coba (try out) instrumen. Try out
dilakukan pada sampel dari populasi penelitian untuk mengukur validitas
instrumen yang berbentuk tes kemampuan berpikir analitis. Validitas butir soal
34

dihitung dengan menggunakan rumus koefisien Product moment, dengan rumus


sebagai berikut:

N  xy   x  y 
rxy =
{N  x   x  }{ N  y 2   y  }
2 2 2

Keterangan:
rxy : koefisien korelasi antara x dan y
N : cacah subyek yang dikenai tes
x : skor untuk butir ke-i
y : skor total dari subyek uji coba (Arikunto, 2005)

Jika rxy < rtabel, maka korelasi tidak signifikan sehigga item pertanyaan
dikatakan tidak valid (invalid). Sebaliknya jika rxy >rtabel item pertanyaan
dikatakan valid. Hasil rangkuman try out uji validitas tes kemampuan berpikir
analitis dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut.

Tabel 3.7. Rangkuman Hasil Try Out Uji Validitas Tes Kemampuan Berpikir
Analitis
Instrumen Penelitian Jumlah Item Soal Keputusan Uji Validitas
Valid Invalid
Tes Kemampuan 8 7 1
Berpikir Analitis

Berdasarkan Tabel 3.6 di atas dapat diketahui bahwa hasil perhitungan


uji validitas tes kemampuan berpikir analitis menunjukkan terdapat 1 item soal
yang invalid dan 7 item soal valid.

G. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari beberapa uji, yaitu
uji prasyarat dan uji hipotesis.
35

1. Uji Prasyarat
Sebelum menguji hipotesis, harus dilakukan uji prasyarat untuk
menentukan statistik uji hipotesis yang akan digunakan. Umumnya uji prasyarat
yang digunakan untuk uji komparasi dua sampel adalah uji normalitas dan uji
homegenitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diambil
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Perhitungan uji normalitas
menggunakan Kolmogorov-Smirnov (α = 0,050 ) dengan dibantu program SPSS
16. H0 dinyatakan bahwa data berdistribusi normal. H1 dinyatakan bahwa data
tidak berdistribusi normal. Jika nilai sig. dari uji normalitas lebih besar dari α (
sig. > 0,050) dan KShitung < KStabel maka H0 diterima sehingga dapat dikatakan
bahwa data terdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas untuk mengetahui apakah kedua kelas sampel yang


dipilih tidak mempunyai perbedaan variansi atau dapat dikatakan homogen.
Perhitungan homogenitas data kemampuan berpikir analitis menggunakan uji
Levene’s (α = 0,050 ) dengan bantuan program SPSS 16. H0 dinyatakan bahwa
setiap kelas memiliki variansi yang sama (homogen). H1 dinyatakan bahwa setiap
kelas tidak memiliki variansi yang sama. Keputusan uji adalah jika nilai Fhitung
lebih kecil dari Ftabel (Fhitung < Ftabel) dan sig. > 0,050 maka H0 diterima sehingga
dapat dikatakan bahwa data homogen (Sudarmanto, 2005). Data yang diharapkan
adalah data dengan variansi homogen.
2. Uji Hipotesis
Hipotesis nol (H0) dalam penelitian adalah tidak terdapat perbedaan
penerapan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map dengan
model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA
SMA Negeri 5 Surakarta, sedangkan H1 dinyatakan bahwa terdapat perbedaan
36

penerapan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map dengan


model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA
SMA Negeri 5 Surakarta.
Uji hipotesis menggunakan t-test dengan bantuan program SPSS 16. Uji
hipotesis adalah uji generalisasi rata-rata data dua sampel yang independen atau
perbandingan kelas eksperimen I dan eksperimen II yang dipilih secara random
atau acak (Sugiyono, 2011).
Krieria yang digunakan dalam pengambilan keputusan hipotesis adalah
tingkat signifikansi (α), yaitu 0,050. H0 ditolak jika nilai thitung lebih besar dari ttabel
(thitung>ttabel) dan sig. < 0,05 dan sebaliknya jika nilai thitung lebih kecil dari ttabel
(thitung<ttabel) dan nilai sig. > 0,05 maka H0 diterima (Budiyono, 2009) .
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Deskripsi Data Kemampuan Berpikir Analitis pada Materi Sistem Imun


Kemampuan berpikir analitis siswa diukur melalui pemberian tes tertulis
dalam bentuk uraian (essay). Jawaban yang diberikan oleh responden dalan tes
essay atau tes tertulis yang merupakan uraian kalimat yang disusunnya sendiri
sehingga dapat diketahui sejauh mana kemampuan berpikir analitisnya. Tes untuk
mengukur kemampuan berpikir analitis diberikan pada akhir pembelajaran pada
kelas eksperimen I dan eksperimen II. Kelas eksperimen II (XI IPA 3)
menggunakan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map dan
pembelajaran konvensional pada kelas eksperimen I (XI IPA 2). Nilai kemampuan
berpikir analitis siswa disajikan dalam Gambar 4.1.

12

10

8
Frekuensi

6
Eksperimen I
4 Eksperimen II

0
52-57 58-63 64-69 70-75 76-81 82-87 88-93
Interval Kelas

Gambar. 4.1. Nilai Kemampuan Berpikir Analitis Siswa

37
38

Tabel 4.1. Deskripsi Nilai Kemampuan Berpikir Analitis


Interval Kelas Kelas Eksperimen I Kelas Eksperimen II
Jumlah 26 26
Mean 78,15 84
StDev 1,0398E 8,83
Variance 108,135 78
Minimum 52,00 55,00
Median 81,00 86,00
Maximum 91,00 93,00
Range 39,00 38,00

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata postes kemampuan berpikir


analitis pada kelas eksperimen II lebih tinggi dari pada kelas eksperimen I. Nilai
varian kelas eksperimen I 108,135 dan kelas eksperimen II 78. Nilai maksimum
dan minimum kelas eksperimen I adalah 91,00 dan 52,00 sedangkan kelas
eksperimen II adalah 93,00 dan 55,00. Nilai tengah atau median kelas eksperimen
I adalah 81 dan kelas eksperimen II 86.
Postes yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir analitis
terdiri dari 7 soal, yang kesemuanya mengandung aspek kemampuan berpikir
analitis menurut Anderson & Krathwohl (2010). Setiap jawaban siswa dari postes
dinilai sesuai dengan skor yang ada pada rubrik penilaian soal (Lampiran 6).
Perbandingan kemampuan berpikir analitis pada kelas eksperimen I dan
eksperimen II dapat dilihat dari pencapaian skor setiap aspek. Perbandingan
ketercapaian setiap aspek kemampuan berpikir analitis pada kelas kontrol dan
eksperimen dapat dilihat pada Tabel 4.2.
39

Tabel 4.2. Perbandingan Rata-Rata Skor Setiap Aspek Kemampuan Berpikir


Analitis
Aspek No soal Skor Kelas Kelas
maksimal Eksperimen Eksperimen II
setiap soal I
Membedakan 1,3,4,6 4 3,19 3,32
Mengorganisasikan 2,7 4 3,27 3,38
Mengatribusikan 5 4 2,62 3,44
Total 28 21,92 23,48

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pencapaian skor setiap aspek kemampuan


berpikir analitis pada kelas eksperimen II lebih tinggi daripada kelas eksperimen I.
Aspek membedakan pada kelas eksperimen II memperoleh rata-rata skor sebesar
3,32, sedangkan pada kelas eksperimen I sebesar 3,19. Pada aspek
mengorganisasikan, kelas eksperimen II mendapatkan skor sebesar 3,38 dan kelas
eksperimen I sebesar 3,27. Aspek yang terakhir, yaitu mengatribusikan, kelas
eksperimen II mendapatkan skor 3,44 dan kelas eksperimen I sebesar 2,62. Rata-
rata skor aspek kemampuan berpikir analitis pada kelas eksperimen II yang paling
tinggi adalah pada aspek mengatribusikan.
Berdasarkan nilai kemampuan berpikir analitis kelas eksperimen II dapat
dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kategori dengan nilai berpikir analitis rendah,
menengah dan tinggi. Kategori kemampuan berpikir analitis rendah, yaitu siswa
yang mendapatkan nilai kemampuan berpikir analitis antara 55 sampai 68,
sedangkan kategori kemampuan berpikir analitis menengah interval nilainya, yaitu
antara 69 sampai 81. Kategori kemampuan berpikir analitis tinggi mempunyai
interval nilai antara 82 sampai 93, selengkapnya tersaji dalam Tabel 4.3.
40

Tabel 4.3. Kategori Nilai Kemampuan Berpikir Analitis


Kategori Kemampuan Berpikir Analitis Range Skor Nilai Kemampuan Berpikir
Analitis
Rendah 55-68
Sedang 69-81
Tinggi 82-93

2. Deskripsi Data Tambahan


Data postes kemampuan berpikir analitis di atas termasuk dalam data
utama, sedangkan data tambahan yang dapat mendukung kemampuan analitis
adalah data skor rata-rata Concept map, ranah keterampilan dan ranah sikap.
a. Skor Rata-Rata Concept map
Pada kelas eksperimen II, terdapat kaitan antara Concept map dengan
kemampuan berpikir analitis. Pengukuran terhadap Concept map berdasarkan
skala Likers dengan 4 indikator (Lampiran 3). Keterkaitan antara kemampuan
berpikir analitis dengan Concept map disajikan dalam Gambar 4.2.

3.6
3.55 3,53
3,5
3.5
Skor Concept Map

3.45
3.4
3.35
3.3 Rendah 55-68
3,25
3.25 Sedang 69-81
3.2 Tinggi 82-93
3.15
3.1
55-68 69-81 82-93
Rendah Sedang Tinggi
Kategori Kemampuan Berpikir Analitis

Keterangan : skor Concept map adalah 1-4


Gambar 4.2. Keterkaitan Kemampuan Berpikir Analitis dengan Skor Rata-
Rata Concept map.
41

Kategori yang memiliki kemampuan berpikir analitis tinggi pada


interval 82-94 mendapatkan skor untuk Concept map tinggi, yaitu 3,53 dari
skor maksimal 4. Demikian juga pada kategori yang memiliki nilai kemampuan
berpikir analitis rendah, skor untuk Concept map lebih kecil daripada kelompok
yang memiliki kemampuan berpikir analitis tinggi.
b. Skor Rata-Rata Ranah Keterampilan
Ranah keterampilan pada kelas eksperimen II mengukur tentang
keterampilan dalam mempresentasikan hasil diskusi tentang berbagai
permasalahan sistem imun. Kegiatan mempresentasikan dinilai dengan lembar
observasi unjuk kerja yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Keterkaitan antara kemampuan berpikir analitis dengan keterampilan dalam
mempresentasikan hasil diskusi disajikan dalam Gambar 4.3.

3.5 3,2
3
Skor Rata-Rata Kemampuan

3
Mempresentasikan

2.5
2
2
Rendah 55-68
1.5
Sedang 69-81
1
Tinggi 82-93
0.5

0
55-68 69-81 82-93
Rendah Sedang Tinggi
Kategori Kemampuan Berpikir Analitis

Gambar 4.3. Keterkaitan Kemampuan Berpikir Analitis dengan Keterampilan


dalam Mempresentasikan Hasil Diskusi
42

Kategori kemampuan berpikir analitis tinggi pada interval 82-94


mendapatkan skor rata-rata keterampilan mempresentasikan yang lebih tinggi,
yaitu 3,2 dari skor maksimal 4. Sementara pada kategoriyang memiliki nilai
kemampuan berpikir analitis rendah, skor keterampilan mempresentasikan data
lebih kecil daripada kelompok yang memiliki kemampuan berpikir analitis
tinggi.
c. Skor Rata-Rata Ranah Sikap
Ranah sikap pada kelas eksperimen II mengukur tentang sikap aktif
dalam kegiatan diskusi kelas, menghargai pendapat pada saat diskusi dan
mampu bekerja sama dengan anggota lain dalam menyelesaikan tugas. Berikut
ini akan disajikan keterkaitan antara ranah sikap dengan kemampuan berpikir
analitis dalam Gambar 4.4.

4.00
3,59
3.50 3,43 3,24
Skor Rata-Rata Ranah Sikap

3,17 3,14
3.00 2,75 2,67 Kategori
2,62 Kemampuan
2.50 2,17 Berpikir Analitis :
2.00
Rendah 55-68
1.50
Sedang 69-81
1.00
Tinggi 82-93
0.50
0.00
Aktif Menghargai Bekerjasama
pendapat
Ranah Sikap

Gambar 4.4. Keterkaitan Kemampuan Berpikir Analitis dengan Ranah Sikap


43

Berdasarkan gambar di atas, skor rata-rata sikap aktif pada kelompok


yang mempunyai kemampuan berpikir analitis tinggi (interval 82-94)
mendapatkan skor yang tinggi juga. Demikian juga pada skor rata-rata sikap
menghargai pendapat dan bekerjasama mendapatka skor yang lebih tinggi pada
kelompok kemampuan berikir analitis tinggi.

B. Pengujian Persyaratan Analisis


Sebelum melakukan analisis uji t, terlebih dahulu perlu dilakukan pengujian
prasyarat, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui data berasal dari populasi
yang berdistribusi normal atau tidak pada kelas eksperimen I maupun kelas
eksperimen II. H0 menyatakan bahwa sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal dan H1 menyatakan bahwa sampel tidak berasal dari populasi
yang berdistribusi normal. Perhitungan uji normalitas menggunakan Kolmogorov-
Smirnov (α = 0,050 ) dengan dibantu program SPSS 16. Jika nilai sig. dari uji
normalitas lebih besar dari α ( sig. > 0,050) dan KShitung < KStabel maka H0 diterima,
sehingga dapat dikatakan bahwa data terdistribusi normal. Hasil uji normalitas
kemampuan berpikir analitis dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan selengkapnya pada
Lampiran 30.

Tabel 4.4. Hasil Uji Normalitas Kemampuan Berpikir Analitis


Uji Kelas Kolmogorov- KStabel N Sig. Hasil
Normali Smirnov Keterangan Keputusan
tas
Kemam Eksperi 0,224 0,270 26 0,146 Sig.>0.050 Normal
puan men I
Berpikir Eksperim 0,154 0,270 26 0,568 Sig.>0.050 Normal
Analitis en II
44

Hasil uji normalitas kemampuan berpikir analitis pada Tabel 4.4


menunjukkan bahwa nilai Sig.>0,05 dan nilai KShitung < KStabel pada kelas
eksperimen I maupun kelas eksperimen II, sehingga H0 diterima dan dapat
dinyatakan bahwa hasil kemampuan berpikir analitis berdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas
Data yang homogen berarti data antara kelas eksperimen I dan
eksperimen II mempunyai variansi yang sama atau homogen. Perhitungan
homogenitas data kemampuan berpikir analitis menggunakan uji Levene’s (α =
0,050 ) dengan bantuan program SPSS 16. H0 menyatakan bahwa setiap kelas
memiliki variansi yang sama (homogen). H1 menyatakan bahwa setiap kelas tidak
memiliki variansi yang sama. Keputusan uji adalah jika nilai Fhitung lebih kecil
daripada Ftabel (Fhitung < Ftabel) dan sig. > 0,050 maka H0 diterima sehingga dapat
dikatakan bahwa data homogen (Sudarmanto, 2005). Hasil uji homogenitas
kemampuan berpikir analitis dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan selengkapnya pada
Lampiran 31.

Tabel 4.5. Hasil Uji Homogenitas Kemampuan Berpikir Analitis


Levene’s
Uji
df1 df2 Statistic F(0.05;1,50) Sig. Keterangan Keputusan
Homogenitas
(Fhitung)

Kemampuan 4,034 F< F (0.05;1,50) H0 diterima


1 50 0,977 0,328
Berpikir
Analitis

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai Fhitung lebih kecil dari Ftabel (Fhitung <
Ftabel) dan sig. > 0,050, maka dapat diambil keputusan bahwa H0 diterima yang
berarti bahwa semua sampel mempunyai variansi yang sama atau homogen.
45

C. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t (t-test).


Persyaratan uji-t adalah sampel populasi harus terdistribusi normal dan memiliki
variansi yang sama. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan
hipotesis adalah tingkat signifikansi (α)=0,050. H0 ditolak jika nilai thitung lebih
besar dari ttabel (thitung>ttabel) dan sig. < 0.05 dan sebaliknya jika nilai thitung lebih
kecil dari ttabel (thitung<ttabel) dan nilai sig. > 0,05 maka H0 diterima (Budiyono,
2009).
Hipotesis nol (H0) dalam penelitian adalah tidak terdapat perbedaan
penerapan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map dengan
model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA
SMA Negeri 5 Surakarta, sedangkan H1 dinyatakan bahwa terdapat perbedaan
penerapan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map dengan
model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA
SMA Negeri 5 Surakarta.
Hasil uji hipotesis menunjukkan terdapat perbedaan penerapan model
Guided Discovery Learning berbantu Concept map dengan model konvensional
terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5
Surakarta dapat disajikan secara ringkas pada Tabel 4.6 dan selengkapnya pada
Lampiran 32.

Tabel 4.6. Hasil Uji Perbedaan Pengaruh Model Guided Discovery Learning
berbantu Concept map dengan Model Konvensional terhadap
Kemampuan Berpikir Analitis siswa
Variabel thitung ttabel df Sig. Keputusan Uji
Kemampuan 2,185 1,676 50 0,034 H0 ditolak, atau
Berpikir Analitis terdapat
perbedaan
46

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai thitung lebih besar dari ttabel
(thitung>ttabel) dan sig. < 0,05 sehingga H0 ditolak. Maka uji hipotesis yang didapat
adalah terdapat perbedaan penerapan model Guided Discovery Learning berbantu
Concept map dengan model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis
siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta. Deskripsi data menunjukkan rata-
rata nilai postes kelas eksperimen II yang menerapkan model Guided Discovery
Learning berbantu Concept map lebih tinggi dibandingkan kelas eksperimen I
yang menerapkan model konvensional.

D. Pembahasan Hasil Analisis Data


1. Penerapan Model Guided Discovery Learning berbantu Concept map terhadap
Kemampuan Berpikir Analitis Siswa
Hasil analisis data pada uji hipotesis dengan t-test menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan penerapan model Guided Discovery Learning berbantu
Concept map dengan model konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis
siswa kelas XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta. Perbedaan kemampuan berpikir
analitis dapat diketahui dari rata-rata nilai tes kemampuan berpikir analitis, yaitu
kelas eksperimen II lebih tinggi (84) dibandingkan kelas eksperimen I (78,15).
Pembelajaran pada kelas eksperimen II menggunakan model Guided Discovery
Learning berbantu Concept map dan kelas eksperimen I menggunakan model
konvensional dengan ceramah, diskusi dan tanya jawab, sehingga penerapan
model Guided Discovery Learning berbantu Concept map dapat memberikan hasil
yang lebih baik terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA SMA
Negeri 5 Surakarta.
Sejalan dengan hasil penelitian oleh Siribunnam and Tayraukham (2009),
yang membandingkan 3 model pembelajaran, yaitu siklus belajar 7-E, KWL dan
Konvensional pada mata pelajaran Kimia SMA. Siklus belajar 7-E (Elicit ,
Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate dan Extend) merupakan model
pembelajaran yang paling berpengaruh dalam melatihkan kemampuan berpikir
47

analitis. 7-E merupakan salah satu model pembelajaran dengan


pendekatan konstruktivis, yang menuntut siswa menemukan sendiri konsep-konsep
karena model 7-E berbasis discovery-inquiry. KWL (Know-Want-Learn)
merupakan suatu strategi yang dapat membuat anak berpikir tentang apa yang
diketahui suatu topik, dan apa yang ingin diketahui tentang topik. Hasil penelitian
menunjukan bahwa siswa yang belajar dengan menggunakan siklus belajar 7-E,
KWL dan konvensional memiliki kemampuan berpikir analitis yang berbeda.
Siswa yang belajar menggunakan siklus belajar 7-E memiliki kemampuan berpikir
analitis yang tinggi. Hal tersebut karena diduga model tersebut menuntut siswa
membangun pengetahuan sendiri terutama selama fase eksplorasi dan elaborasi.
Pembelajaran pada kelas eksperimen II dan kelas eksperimen I disusun
dalam Rencana Pembelajaran (RPP) yang secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 2 dan 3. Materi yang dipelajari oleh siswa adalah sistem imun. Materi
sistem imun terdiri dari 3 sub pokok bahasan, yaitu sub pokok bahasan pertama
membahas tentang sistem kekebalan tubuh, sub pokok bahasan kedua membahas
tentang imunisasi, dan sub pokok bahasan ketiga membahas tentang kelainan dan
penyakit pada sistem kekebalan tubuh.
Penerapan model Guided Discovery Learning pada kelas eksperimen II
menggunakan pendekatan case-based learning, yaitu pembelajaran yang dilakukan
melalui penggunaan cerita atau kasus yang berisi informasi sehingga siswa harus
memeriksa kasus dan mempelajari lebih dalam kasus tersebut (Castronova, 2002).
Hal yang dipelajari mulai dari yang umum sampai yang khusus, sehingga sub
pokok bahasan pada pertemuan pertama dan kedua dimulai dengan menyajikan
suatu kasus kelainan dan penyakit pada sistem kekebalan tubuh, dengan disajikan
suatu kasus maka siswa akan menemukan konsep-konsep tentang sistem
kekebalan tubuh. Contohnya pada pertemuan pertama, terdapat kasus peradangan
(inflamasi), dan dari kasus tersebut siswa akan mencari dan menemukan
pengertian dari peradangan, komponen yang berperan dalam peristiwa peradangan
serta mengetahui proses terjadinya peradangan. Seperti halnya pada pertemuan
48

pertama dan kedua, pada pertemuan ketiga juga disajikan suatu kasus terlebih
dahulu tentang imunisasi sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep terkait
imunisasi. Jika siswa sudah dapat menemukan konsep sendiri, siswa dapat
menganalisis kasus-kasus tentang sistem kekebalan tubuh. Pandangan ini sesuai
dengan pernyataan Center for Research on Learning and Teaching Universitas of
Michigan, bahwa cased-based learning membuat siswa mengembangkan
keterampilan berpikir analitis dan dapat menilai secara reflektif dengan membaca
dan mendiskusikannya. Case-based learning merupakan salah satu desain dari
Discovery Learning (Castronova, 2002).
Jerome Bruner mengemukakan prinsip atau konsep yang akan ditemukan
dalam model Discovery Learning melalui belajar induktif. Belajar induktif
menekankan siswa untuk mempelajari konsep melalui permasalahan yang kongkrit
kemudian mendefinisikan dan mencoba untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut (Suprijono, 2013). Mengontruksi konsep melalui penyelesaian kasus akan
membuat siswa lebih aktif untuk mencari informasi sendiri, sehingga siswa akan
terbiasa untuk berpikir tingkat tinggi. Siswa yang terbiasa berpikir tingkat tinggi
akan lebih mudah mengkontruksi konsep, karena mereka harus menganalisis dan
memanipulasi informasi untuk dapat menemukan konsep tersebut.
Pembelajaran kelas eksperimen II terdiri dari 3 pertemuan, dengan
mengulang sintak Guided discovery learning berbantu Concept map sebanyak 2
kali. Pada pertemuan pertama dan kedua dipelajari tentang penyakit dan kelainan
sistem kekebalan tubuh, komponen yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh
serta mekanisme sistem kekebalan tubuh. Pertemuan ketiga membahas imunisasi,
yaitu manfaat dan jenisnya. Agar siswa lebih mudah dalam menemukan konsep-
konsep dari kasus tersebut maka kegiatan pembelajaran dibantu dengan LKS
(Lembar Kerja Siswa). LKS berisi beberapa kegiatan yang dapat membantu siswa
mulai dari merumuskan masalah, menyusun hipotesis sampai membuat
kesimpulan dalam bentuk Concept map. LKS dapat dilihat secara lengkap pada
Lampiran 4.
49

Selama kegiatan pembelajaran berlangsung keterlaksanaan sintaks


dikontrol melalui lembar observasi. Hasil dari keseluruhan observasi terhadap
keterlaksanaan sintak menunjukkan bahwa model Guided Discovery Learning
berbantu Concept map telah terlaksana dengan baik karena guru dan siswa telah
melaksanakan pembelajaran sesuai dengan sintak Guided Discovery Learning
berbantu Concept map.
Penerapan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map
pada kelas eksperimen II dapat memfasilitasi siswa dalam mengembangkan
kemampuan berpikir analitis yang mendukung pembelajaran biologi. Hal ini tidak
ditemukan pada kelas eksperimen I yang menggunakan model konvensional
dengan metode ceramah, diskusi dan tanya jawab. Aktivitas siswa di kelas
kebanyakan mencatat informasi dari guru dan menjawab jika ditanya oleh guru.
Siswa lebih pasif jika dibandingkan dengan kelas eksperimen II ketika
pembelajaran berlangsung, sehingga siswa kurang terbiasa membangun konsep.
Hal tersebut memberikan dampak kemampuan berpikir analitis siswa pada kelas
eksperimen I kurang berkembang. Pengetahuan seharus dikonstruksi sehingga
dapat memberi makna melalui pengalaman nyata dan dapat mengembangkan
kemampuan berpikirnya (Baharuddin & Wahyuni, 2010) .
Effendi (2012) menambahkan penerapan temuan terbimbing untuk
meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah (problem solving
skill) pada mata pelajaran Matematika. Penelitian tersebut memberikan hasil
bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah pada kelas eksperimen
lebih baik daripada kelas kontrol. Siswa memiliki sikap positif terhadap
matematika dan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing. Oleh karena
itu Guided Discovery Learning dapat melatih siswa dalam memecahkan suatu
masalah. Kegiatan pemecahan masalah selalu melibatkan kemampuan kognitif
salah satunya berpikir analitis, yang menuntut siswa untuk menemukan data-data
yang relevan, menggolongkannya serta menarik kesimpulan dari data yang
diperoleh. Oleh karena itu Guided Discovery Learning atau temuan terbimbing
50

dapat melatih siswa untuk berpikir analitis melalui serangkaian kegiatan dalam
pemecahan masalah (problem solving).
Pelaksanaan pembelajaran model Guided Discovery Learning berbantu
Concept map memberikan respon positif pada siswa terhadap penerapan model
tersebut. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil angket kepuasan siswa terhadap
penerapan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map. Angket
kepuasan siswa terhadap penerapan model Guided Discovery Learning berbantu
Concept map secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 21. Siswa secara
keseluruhan memberikan respon positif terhadap penerapan model Guided
Discovery Learning berbantu Concept map pada materi sistem kekebalan tubuh.
Respon positif siswa diketahui dari sikap setuju yang ditunjukkan pada semua
indikator yang ada pada angket. Siswa menyatakan setuju megenai penerapan
model Guided Discovery Learning berbantu Concept map pada materi sistem
kekebalan tubuh. Siswa juga menyatakan setuju jika belajar dengan mencari
sendiri infomasi atau pengetahuan akan membuat mereka lebih paham dan dapat
meningkatkan kemampuan menganalisis pada materi sistem kekebalan tubuh.
Materi sistem kekebalan tubuh merupakan materi yang komplek dan abstrak bagi
siswa, sehingga membutuhkan kemampuan berpikir analitis untuk dapat
memahaminya.
2. Keterkaitan antara Sintak Guided Discovery Learning dengan Aspek
Kemampuan Berpikir Analitis
Jonassen & Hung (2008) menyatakan bahwa kemampuan analisis
dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah baik yang kompleks terstruktur maupun
tidak terstruktur. Dalam menyelesaikan masalah siswa dituntut menggabungkan
konsep yang sudah diperoleh dan mengkonstruksi pengetahuan barunya.
Anderson & Krathwohl (2010) membagi kemampuan berpikir analitis menjadi 3
aspek, yaitu membedakan, mengorganisasi, mengatribusikan. Tujuan-tujuan yang
diklasifikasikan dalam menganalisis mencakup belajar untuk menentukan
potongan-potongan informasi yang relevan atau penting (membedakan),
51

menentukan cara-cara untuk menata potongan-potongan informasi tersebut


(mengorganisasikan), dan menentukan tujuan di balik informasi itu
(mengatribusikan). Setiap aspek kemampuan berpikir analitis tertuang dalam
setiap tahapan/sintak dari Guided Discovery Learning berbantu Concept map.
Tahap pertama dari sintak Guided Discovery Learning adalah orientation.
orientation mengakomodir kemampuan berpikir analitis pada aspek membedakan,
karena ketika siswa menonton gambar dan video, siswa di dalam pikirannya akan
membedaan informasi antara yang relevan dan tidak relevan serta antara yang
penting dan tidak penting terkait gambar dan video tersebut. Kemudian baru
memperhatikan mana informasi yang relevan dan penting, sehingga siswa dapat
memberikan pernyataan terkait gambar dan video tersebut melalui kegiatan
mengeksplorasi masalah. Aktivitas dan hasil pada tahap orientation dapat
dipergunakan sebagai masukan untuk proses selanjutnya, yaitu tahap Hypothesis
generation yang menghasilkan rumusan masalah dan hipotesis.
Tahap kedua adalah hypothesis generation, yang mengakomodir
kemampuan berpikir analitis pada aspek mengorganisasikan, karena ketika siswa
mulai menyusun rumusan masalah siswa mulai memikirkan jawaban sementara
dari permasalahan tersebut. Jawaban sementara yang dibuat oleh siswa didapat
melalui kegiatan mengidentifikasikkan antarhubungan yang sistematis dan
koheren dari rumusan masalah sehingga tersusunlah suatu hipotesis.
Tahap ketiga adalah hypothesis testing, yang mengakomodir kemampuan
berpikir analitis pada aspek mengorganisasikan. Siswa diberi kesempatan untuk
membuktikan hipotesis dengan cara mengumpulkan (collection) berbagai
informasi yang relevan dan membaca literatur tentang sistem kekebalan tubuh.
Informasi yang didaptkan oleh siswa kemudian dihubungkan dengan rumusan
masalah dan hipotesis awal yang dibuat oleh siswa. Hal tersebut menandakan
bahwa tahap hypothesis testing mengakomodir kemampuan berpikir analitis pada
aspek mengorganisasikan.
52

Tahap keempat adalah conclusion yang mengakomodir kemampuan


berpikir analitis pada aspek mengatribusikan. Siswa mengolah dan mentabulasikan
data hasil kajian literatur pada LKS, menganalisis hasil kajian literatur sehingga
siswa dapat memberikan pendapat atau menentukan tujuan di balik kasus yang
diberikan guru kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pengambilan kesimpulan.
Tahap kelima adalah regulation, yang mengakomodir kemampuan
berpikir analitis pada aspek mengatribusikan, karena ketika siswa
mempresentasikan dan menjawab pertanyaan pada saat tahap regulation siswa
dapat menentukan sudut pandang, pendapat, nilai, atau tujuan, sehingga siswa
sudah mampu mengatribusikan. Pada tahap ini siswa diminta menyimpulkan
kegiatan pembelajaran dengan membuat Concept map secara individu tentang
kasus yang dibahas dalam kegiatan kelas.
Hasil postes kemampuan berpikir analitis yang terdiri dari tiga aspek pada
kelas eksperimen II menunjukkan bahwa aspek mengatribusikan memiliki rata-rata
skor yang paling tinggi. Seharusnya aspek yang paling tinggi pencapaian skornya
adalah aspek membedakan. Hal tersebut mungkin dikarenakan siswa belum
terbiasa membangun konsep melalui kegiatan membedakan dan
mengorganisasikan. Siswa lebih terbiasa menghapal konsep sehingga aspek
mengatribusikan menjadi yang paling tinggi. Berdasarkan teori membedakan
mempunyai tingkatan paling rendah di antara kedua aspek yang lainnya, yaitu
mengorganisasikan dan mengatribusikan, karena membedakan melibatkan proses
memilah-milih bagian-bagian yang relevan atau penting dari sebuah struktur.
Jonassen & Hung (2008) menyatakan bahwa kemampuan analisis sangat
dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah baik yang kompleks terstruktur maupun
tidak terstruktur. Dalam menyelesaikan masalah siswa dituntut menggabungkan
konsep yang sudah diperoleh dan mengkonstruksi pengetahuan barunya.
3. Peran Concept map terhadap Kemampuan Berpikir Analitis
Siswa diminta membuat Concept map secara individu pada kertas HVS
yang diberikan guru pada kelas eksperimen II. Pertemuan kedua siswa diajari cara
53

membuat Concept map oleh guru, sedangkan pada pertemuan ketiga siswa
langsung membuat Concept map tanpa mendapat bantuan guru. Concept map yang
dilatihkan pada sintak regulation akan melatihkan siswa mencari keterkaitan
konsep-konsep pada materi yang dipelajarinya melalui analisis fakta dan konsep
yang ada.
Concept map dibuat dengan menuliskan konsep kunci di tengah
kemudian mengelilingi konsep kunci dengan konsep-konsep yang terkait erat dan
menghubungkan konsep-konsep tersebut dengan garis. Concept map hasil buatan
siswa sangat variatif dan menggunakan warna yang beragam (Lampiran 20).
Concept map tiap siswa tersebut kemudian diberi skor untuk mengetahui sejauh
mana pemahaman dan kemampuan siswa dalam pembelajaran. Indikator penilaian
Concept map meliputi membuat peta konsep dengan cabang yang banyak
(minimal terdapat cabang primer, sekunder, dan tersier), data yang disajikan
dalam peta konsep tepat, runtut dalam menyusunnya/terorganisasi dan semua
kata-kata terhubung secara akurat
Concept map terdapat kaitan antara Concept map dengan kemampuan
berpikir analitis. Kelompok yang memiliki kemampuan berpikir analitis tinggi
mendapatkan skor untuk Concept map juga tinggi. Demikian juga pada kelompok
yang memiliki nilai kemampuan berpikir analitis rendah, skor untuk Concept map
lebih kecil daripada kelompok yang memiliki kemampuan berpikir analitis tinggi.
Ghanizadeh (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa concept map
memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan berpikir analitis termasuk didalam kemampuan berpikir kritis karena,
orang yang berpikir kritis akan dapat menganalisis hal-hal yang ingin
diketahuinya, selain itu Zvacek (2013) dalam penelitiannya juga menyimpulkan
bahwa Concept map dapat melatihkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa
SMP di Portugal. Tiga level kognitif tertinggi dalam Taksonomi Bloom adalah
analisis, evaluasi dan mencipta yang dianggap sebagai “higher-order thinking
54

skills”, sehingga Concept map dapat mengakomodir kemampuan berpikir analitis


siswa.
4. Keterkaitan Guided Discovery Learning berbantu Concept Map dengan Ranah
Keterampilan dan Sikap
Ranah keterampilan dan sikap pada kelas eksperimen II menunjukan
adanya keterkaitan dengan kemampuan berpikir analitis. Kelompok yang memiliki
kemampuan berpikir analitis tinggi mendapatkan skor yang tinggi juga dalam
ranah keterampilan dan sikap.
Ranah keterampilan pada kelas eksperimen II mengukur tentang
keterampilan dalam mempresentasikan hasil diskusi tentang berbagai
permasalahan sistem imun. Hal ini terlihat dari lembar observasi unjuk kerja di
kelas eksperimen II menunjukan skor rata-rata kemampuan mempresentasikan
untuk kategori kemampuan berpikir analitis tinggi adalah 3,2, sedang 3 dan rendah
2. Siswa memilki kemampuan berpikir analitis yang tinggi maka akan memilki
keterampilan mempresentasikan yang tinggi juga.
Ranah sikap pada kelas eksperimen II mengukur tentang sikap aktif
dalam kegiatan diskusi kelas, menghargai pendapat pada saat diskusi dan mampu
bekerja sama dengan anggota lain dalam menyelesaikan tugas. Sama halnya
dengan ranah keterampilan, ranah sikap juga memberiakan pengaruh yang positif
pada kemampuan analitis. Hal tersebut terlihat dari hasil lembar pengamatan sikap
di kelas eksperimen II menunjukan skor untuk ranah sikap aktif pada kategori
kemampuan berpikir analitis tinggi mendapatkan skor 2,75, sedang 2,62 dan
rendah 2,17. Sikap menghargai mendapat pada kategori kemampuan berpikir
analitis tinggi mendapatkan skor rata-rata 3,59, sedang 3,43 dan rendah 3,17
sedangkan sikap bekerjasama pada kategori kemampuan berpikir analitis tinggi
mendapatkan skor rata-rata 3,24, sedang 3,14 dan rendah 2,67, sehingga siswa
yang memilki kemampuan berpikir analitis yang tinggi maka akan memilki sor
ranah sikap yang tinggi juga.
55

Aktivitas siswa sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan


berpikir mereka. Semakin banyak porsi siswa untuk aktif menemukan konsep
dalam pembelajaran maka maka semakin tinggi pula kemampuan menganalisis
pengetahuan yang mereka peroleh. Keterlibatan siswa dalam menemukan
pengetahuan mereka sendiri menjadi pokok penting dalam mengasah kemampuan
berpikir analitis.
5. Keterbatasan Penelitian
Penerapan Guided Discovery Learning berbantu Concept map pada kelas
eksperimen II dalam pelaksanaannya terdapat kendala, yaitu waktu. Kurangnya waktu
dalam pertemuan yang ketiga pada sintak regulation memberikan dampak tidak
semua kelompok dapat mempresentasikan hasil diskusi, hanya beberapa perwakilan
kelompok, sehingga banyak siswa yang merasa kurang puas karena ada yang tidak
dapat mempresentasikan hasil diskusinya. Roestiyah (2008) juga menyebutkan bahwa
salah satu kekurangan Guided Discovery Learning adalah untuk materi tertentu
waktu yang tersita lebih lama, sehingga harus pandai membagi waktu pada setiap
sintak.
Penerapan model Guided Discovery Learning menuntut keahlian guru yang
cukup tinggi. Kegiatan guru membimbing siswa untuk mengembangkan pemahaman
pada awalnya sulit, tetapi ketika sudah terbiasa dan terbangun pemahaman yang
berasal dari model Guided Discovery Learning, maka prosesnya akan berjalan lebih
mudah dan berdampak positif bagi kemampuan berpikir siswa (Eggen & Kauchak,
2012).
Kemampuan berpikir analitis tidak serta merta dapat dilatihan dalam sekali
pertemuan saja pada siswa, tetapi harus melewati proses yang cukup panjang untuk
melatihkan dan membiasakan siswa berpikir analitis. Guru harus selalu membiasakan
siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir analitis pada pembelajaran agar
siswa terbiasa dan dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitisnya. Sekolah juga
harus mengupayakan agar pembelajaran di dalam kelas lebih menyenangkan dan
melatihkan kemampuan berpikir analitis siswa.
BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
penerapan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map dengan model
konvensional terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas XI IPA SMA Negeri
5 Surakarata. Penerapan model Guided Discovery Learning berbantu Concept map
memberikan hasil yang lebih baik terhadap kemampuan berpikir analitis siswa kelas
XI IPA SMA Negeri 5 Surakarta. Aspek kemampuan berpikir analitis, yaitu aspek
mengatribusikan lebih terlatihkan dalam kelas eksperimen II yang menggunakan
model Guided Discovery Learning berbantu Concept map.

B. Implikasi

1. Implikasi Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis dapat dijadikan sebagai bahan kajian
dan referensi pada penelitian lebih lanjut mengenai model Guided Discovery
Learning, Concept map dan kemampuan berpikir analitis siswa.
2. Implikasi Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan guru dalam
memberi pembelajaran biologi, yaitu dengan menerapkan model Guided
Discovery Learning sebagai model pembelajaran yang dapat melatih siswa untuk
menemukan sendiri konsep-konsep dengan memberikan permasalahan yang harus
dipecahkan siswa melalui pendekatan analitis sehingga dapat melatih siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir analitis.

56
57

C. Saran
1. Guru diharapkan untuk dapat :
a. Melatihkan kegiatan pembelajaran penemuan dalam pelajaran biologi agar
siswa aktif mencari sendiri konsep-konsep yang dipelajarinya sehingga dapat
terlatihnya kemampuan berpikir analitis, mengingat biologi merupakan mata
pelajaran yang dikembangkan melalui kemampuan berpikir analitis, induktif,
dan deduktif untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa
sekitar.
b. Menerapkan model pembelajaran yang menuntut siswa dapat mengkontruksi
sendiri konsep-konsep yang dipelajarinya sehingga terlatihnya kemampuan
berpikir analitis.
2. Peneliti
Penelitian ini terbatas menguji model Guided discovery Learning
berbantu Concept map pada 2 kelas sehingga perlu penelitian yang lebih lanjut
mengenai penerapan model Guided discovery Learning dengan teknik
pembentukan konsep yang lain terhadap kemampuan berpikir analitis.
DAFTAR PUSTAKA
Alfieri, dkk. (2011). Does Discovery-Based Instruction Enhance Learning ?. Journal
of Educational Psychology, 103(1), 1-18. Diperoleh 2 Febuari 2014,
dari https://apa.org/pubs/journals/features/edu-103-1-1.pdf.

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2010). Kerangka Landasan Untuk


Pembelajaran, Pengajaran, Dan Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, S. (2005). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Baharuddin, H., & Wahyuni, E. N. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran.


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Balım, A. G. (2009). The Effects of Discovery Learning on Students’ Success


and Inquiry Learning Skills. Egitim Arastirmalari-Eurasian Journal of
Educational Research, 35(1), 1-20. Diperoleh 2 Febuari 2014, dari
http://wiki.astrowish.net/images/e/e1/QCY520_Desmond_J1.pdf.

BSNP. (2006). Standar Isi untuk Satuan Pendididkan Dasar dan Menengah. Jakarta:
DEPDIKBUD.

Budiningsih, A .(2005). Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka cipta.

Budiyono. (2009). Statistika untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press.

Castronova, J. A. (2002). Discovery Learning for the 21st Century: What is it and how
does it compare to traditional learning in effectiveness in the 21st Century?.
Action Research Exchange, 1(1), 1-12. Diperoleh 12 Januari 2014 dari
http://choiron.valdosta.edu/are/Litreviews/vol11no1/castronova_lit.

Corebima, AD. (2011). Berdayakan Kemampuan Berpikir Dan Kemampuan


Metakognitif Selama Pembelajaran. Diperoleh tanggal 11 Januari 2014, dari
http://harvemoningka.blogspot.com/2011/12/berdayakan-kemampuan-
berpikir-dan.html.

Dahar, R. W., (2006). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga.

Davenport, T.H., Jeanne, G.H., David, W .D., Alvin, L.J. (2001). Data to Knowledge
to Results: Building An Analitytic Capability. California Management
Review, 43(2), 117-138. Diperoleh 2 Mei 2014 dari
https://onestart.iu.edu/confluenceprd/download/attachments/52527751/T.Dave
nport,+CMR,+2001.pdf.

58
59

Dzaki, M. F. (2009). Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Guided Discovery


Learning). Diperoleh 10 Januari 2014 dari
http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/model-pembelajaran-
penemuan-terbimbing.html.

Effendi, L. A. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan


Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan
Masalah Matematis Siswa SMP. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia,
13(2), 1-10. Diperoleh 12 Januari 2014, dari
http://jurnal.upi.edu/file/Leo_Adhar.pdf.

Eggen, P., & Kauchak, D. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran Mengjarkan
Konten dan Keterampilan Berpikir. Jakarta: PT Indeks.

Erlina, A. (2014). Pengaruh Strategi Pembelajaran Inkuiri dan Discovery Learning


terhadap Kemamuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Biologi Siswa pada
Topik Bioteknologi di MAN 1 Padangsidimpuan. Skripsi diterbitkan. Medan:
Universitas Negeri Medan.

Ghanizadeh, A. (2011). Cocept Maps: Assessment tools of L2 Reading


Comprehensin. Australia: Lambert.

Gulo, W. (2002). Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT Grasindo.

Hanifah, N., & Cucu, S. (2012). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Refika
Aditama.

IEA. (2011). TIMSS 2011 Result in Science. Diperoleh 23 Januari 2014 dari
http://timssandpirls.bc.ed/timss2011/international-result-science.html.

Johnstone, A. H., & Otis, K. H. (2006). Concept mapping in problem based learning;
a cautionary tale. Chemistry Education Research and Practice, 7(2). 84-95.
Diperoleh 12 Januari 2014, dari http://www.rsc.org/images/Johnstone-
Otis%20paper%20final_tcm18-52109.pdf.

Jonassen, D. H. and Hung, W. (2011). All Problems are not Equal:


Implications for Problem-Based Learning. The Interdisciplinary Journal of
Problem-based Learning, 2(2), 6-28. Diperoleh 5 Mei 2014, dari
http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED543910.pdf.

Kirschner., Sweller, J., & Card, R. (2004). Why Unguided Learning Does Not
Work:An Anlysis of The Failure of Discovery Learning, Problem Based
Learning Experientasl Learning and Inquiry Based Learning. Netherlands:
Educational Psychologist. 1(1), 1-48. Diperoleh pada 5 Mei 2014 dari
60

http://Analysis_of_the_failure_of_Discovery_PBL_Experiental_Inquiry_Lear
ning/.

Levin, I., & Lieberman, E. (2010). Developing Analytical and Synthetic Thinking in
Technology Education. Diperoleh 12 Januari 2014, dari
http://muse.tau.ac.il/publications/75.pdf.

Martin, A., Supramono, E., & Y, C. I. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran


Masalah Berbasis Konsep dan Kemampuan Analisis terhadap Prestasi
Belajar Fisika Siswa Kelas XI SMA Brawijaya Smart School Malang.
Diperoleh 2 Januari 2014, dari http://jurnal-
online.um.ac.id/data/artikel/artikel7AB1AE3A7F0D773B4FF04EE47BB70C
8F1.pdf.

Margono. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nuangchalerm, P. & Benjaporn Thammasena. (2009). Cognitive Development,


Analytical Thinking and Learning Satisfaction of Second Grade Students
Learned through Inquiry-based Learning. Asian Social Science, 5(10), 82-87.
Diperoleh 2 Mei 2014, dari
http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/view/3528.

Nurhadi, Yasin, & Burhan. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya


dalam KBK. Malang: UM Press.

Pardjono, & Wardaya. (2009). Peningkatan Kemampuan Analisis, Sintesis dan


Evaluasi Melalui Pembelajaran Problem Solving. Cakrawala Pendidikan,
28(3). 257-269. Diperoleh 12 Januari 2013, dari
http://eprints.uny.ac.id/3500/1/05Atikel_CP_PardjonoWARDAYA_EDIT.pdf

Priadi, M.A. (2010). Pembelajaran Biologi Model PBL Menggunakan Eksperimen


Laboratorium dan Lapangan Ditinjau dari Kemampuan Berpikir Analitis dan
Sikap Peduli Lingkungan. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.

Prince, M.J & Felder, M.R. (2006). Inductive Teaching and Learning Methods:
Definition, Comparisons, and Research Bases. J.Engr. Education, 95(2). 123-
138. Diperoleh tanggal 12 Januari 2014, dari
http://www4.ncsu.edu/unity/lockers/users/f/felder/public/Papers/InductiveTea
ching.pdf.

Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 69


Tahun 2013. Menteri pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonsia. Jakarta.
61

Restiyorini, E.P. (2007). Inovasi Pembelajaran dengan Penggunaan Macromedia


Flash untuk Peningkatan Penguasaan konsep Biologi Melalui Metode STAD
Di SMA Islam 1 Surakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.

Riduwan. (2004). Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung : Alfabeta.

Ristin, C. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle Dilengkapi


Handout terhadap kemampuan analisis siswa materi elastisitas kelas XI
SMA Negeri 1 Lasem. Skripsi diterbitkan. IKIP PGRI Semarang.

Riyanto, Y. (2012). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta : Kencana.

Roestiyah. (2008). Strategi Belajar mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Rukmana, H. (2013). Penerapan Model Guided Inquiry disertai Teknik Roundhouse


Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI IPA.
Skripsi tidak Diterbitkan: FKIP UNS.

Rustaman, N. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Universitas


Pendidikan Indonesia.

Siribunnam, R and Sombat T. (2009). Effects of 7-E, KWL and Conventional


Instruction on Analytical Thinking, Learning Achievement and Attitudes
toward Chemistry Learning. Journal of Social Sciences 5(4): 279-282.
Diperoleh 14 Januari 2014 dari
http://thescipub.com/abstract/10.3844/jssp.2009.279.282.

Slavin, R. E. (2011). Educational Psyhicology : Theory into Practice. Prentice Hall:


Engelwood (liff).

Sudarmanto, G. (2005). Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Sudjana, N. (2009). Penelitian Hasil Proses Belajar. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Sugiyono. (2013). Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D. Bandung: Alfabeta.

Suprijono, A. (2013). Cooperatif Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Surabaya:


Pustaka Pelajar.
62

Suradi. (2003). Memfasilitasi Aktivitas Siswa dalam Belajar Matematika melalui


Pembelajaran Kooperatif STAD (Suatu Alternatif Pembelajaran dengan
Pendekatan Contextual Problem). Laporan Penelitian PTK Ditjen DIKTI.

Suryono & Hariyanto. (2011) Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja .

Takaya, K. (2008). Jerome Bruner’s Theory of Education: From Early Bruner to


Later Bruner. Interchange, 39(1), 1-19. Diperoleh 30 September 2014 pada
http://ocw.metu.edu.tr/pluginfile.php/8931/mod_resource/content/1/7su.pdf.

Tindangen, M. (2006). Implementasi Pembelajaran Kontekstual dengan Peta Konsep


pada Siswa dengan Kemampuan awal Berbeda serta Pengaruhnya Terhadap
Hasil Belajar Kognitif dan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Sains SMP.
Disertasi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.

Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik.


Jakarta : Prestasi Pustaka.

Uno, H. B., & Koni, S. (2012). Assesment Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Veermans, K. (2003). Intellegent Support For Discovery Learning. Netherland:


Twente University Press.

Veermans, K, Van Joolingen, W., & De Jong, T. (2006). Use of Heuristics to


Facilitate Scientific Discovery Learning In a Simulation Learning
Environment in a Physics Domain . Journal of Science Education , 341-361.
Diperoleh 20 Mei 2014 dari
http://mkoehler.educ.msu.edu/OtherPages/Courses/CEP_909_FA02/Readings/
iceut10-05.pdf.

Wena, M. (2010). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tindakan


Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Yamin, M. (2008). Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat satuan Pendidikan.


Jakarta: Gaung Persada Press.

Zainal, A. (2011). Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Zwaal , W., & Otting,H. (2012). The Impact of Concept Mapping on the Process of
Problem-based Learning. Interdisciplinary Journal of Problem-based
Learning, 6(1). 104-128. Diperoleh 10 Januari 2014 dari
http://dx.doi.org/10.7771/1541-5015.1314.
63

Zvacek,S.M., Maria,T.R., Maria F. C.(2013). Concept Mapping for Higher Order


Thinking. International Journal of Engineering Pedagogy, 3(1), 6-10.
Diperoleh 10 Mei 2014 dari http://online-journals.org/i-jep/issue/view/169.

Anda mungkin juga menyukai