Anda di halaman 1dari 33

BAB III

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP SIKLUS AIR

3.1 Siklus Air


Siklus air merupakan suatu kumpulan dari hubungan kompleks yang
menggambarkan sirkulasi dan transformasi air di alam pada bagian-bagian
yang berbeda. Pada seluruh sistem di alam secara umum ada 3 (tiga) bagian
yang berbeda yaitu atmosfer, hidrosfer dan litosfer (Chow, 1988)
Hidrologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari peristiwa/
perilaku, siklus, gerakan distribusi air, sifat fisik, kimia, baik di atmosfer,
permukaan maupun didalam tanah serta reaksinya dengan lingkungan dan
hubunganya dengan makhluk hidup. Definisi dari siklus air adalah suatu
proses yang berjalan terus-menerus (continue) perjalanan air yang dimulai
dari laut diangkat keatmosfer, turun kebumi dan kembali ke laut (Mulyana
dan Wangsadipura, 2004) (Gambar 3.1)

Gambar 3.1 Siklus Hidrologi (Johnson, 2003)

14
15

Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi ini relatif tetap dari masa
ke masa. Air di bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa
yang berlangsung secara terus menerus, dimana kita tidak tahu kapan dan
darimana awalnya dan kapan akan berakhir.
Air menguap dari permukaan samudera akibat adanya energi matahari,
laju dan jumlah penguapan bervariasi, dimana yang terbesar terjadi di dekat
ekuator karena radiasi dari matahari cenderung lebih kuat. Uap air adalah
murni karena waktu dibawa naik ke atmosfer kandungan garam ditinggalkan.
Uap air yang dihasilkan dibawa udara yang bergerak. Dalam kondisi yang
memungkinkan uap tersebut mengalami kondensasi dan membentuk butir-
butir air yang pada giliranya terjadi di samudera maupun di darat dan sebagian
lagi mengalami penguapan kembali sebelum mencapai ke permukaan bumi.
Presipitasi yang terjadi di bumi menyebar ke berbagai arah dengan
beberapa cara. Sebagian akan tertahan sementara di bumi sebagai salju, atau
genangan air yang dikenal dengan simpanan air atau depresi. Sebagian air
hujan atau lelehan salju akan mengalir ke saluran atau sungai. Hal ini disebut
sebagai aliran permukaan. Jika permukaan tanah porous, sebagian air akan
meresap kedalam tanah melalui peristiwa yang disebut dengan infiltrasi.
Sebagian lagi akan kembali ke atmosfer melalui penguapan dan transpirasi
oleh tanaman.
Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan yang tersimpan
dalam zona jenuh air. Batas zona jenuh air disebut dengan muka air tanah
(water table). Air yang tersimpan dalam zona jenuh air disebut dengan air
tanah. Air tanah ini bergerak sebagai aliran air tanah melalui batuan atau
lapisam tanah sampai akhirnya keluar sebagai mata air/spring atau sebagai
rembesan ke danau, sungai, waduk atau ke laut. Air yang mengalir dalam
saluran atau sungai apat berasal dari air permukaan atau dari air tanah yang
merembes di dasar sungai. Kontribusi air tanah pada aliran sungai disebut
dengan aliran dasar (base flow). Semenara total aliran permukaan disebut
debit (run off). Air yang tersimpan di waduk, danau dan sungai disebut dengan
air permukaan (surface water).
16

3.1.1 Evapotranspirasi
Evaporasi adalah proses pemindahan air dari keadaan cair menjadi uap
yang bergerak dari permukaan tanah dan air ke udara, sedangkan transpirasi
adalah proses dimana tanaman melepaskan uap air keudara sebagai uap
melalui metabolisme tanaman. Proses evaporasi dan transpirasi saling
berkaitan, sehingga dinamakan dengan evapotranspirasi. Evapotranspirasi
bisa diartikan sebagai hilangnya air dari lahan dan permukaan air dari suatu
daerah pengaliran sungai akibat kombinasi proses evaporasi dan transpirasi.
Semua jenis tanaman memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya.
Masing-masing tanaman berbeda kebutuhan airnya, hanya sebagian kecil air
yang tertinggal dalam tubuh tumbuhan, sebagian besar akan diserap melalui
akar-akar dan dahan-dahan dan ditranspirasikan lewat daun. Dalam kondisi
dilapangan tidak mudah untuk membedakan antara evaporsi dan transpirasi
jika tanahnya tertutup oleh tumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
evaporasi adalah sebagai berikut:
a. Radiasi matahari
Evaporasi merupakan konversi air kedalam uap air proses ini berjalan
terus hampir tanpa berhenti di siang hari. Perubahan dari keadaan cair
menjadi gas ini memerlukan energi berupa panas untuk evaporasi. Proses
tersebut akan sangat aktif jika ada penyinaran matahari langsung. Awan
merupakan penghalang radiasi matahari dan menghambat proses
evaporasi.
b. Angin
Jika air menguap ke atmosfer maka lapisan batas antara permukaan tanah
dan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses penguapan berhenti.
Agar proses tersebut dapat berjalan terus, lapisan jenuh harus diganti
dengan udara kering. Pergantian itu hanya akan terjadi jika ada angin,
yang mengeser uap air, jadi kecepatan angin memegang peranan penting
dalam proses evaporasi.
17

c. Kelembaban relatif
Faktor lain yang mempengaruhi evaporasi adalah kelembaban relatif
udara. Jika kelembaban relatif ini naik maka kemampuan udara untuk
menyerap air akan berkurang sehingga laju evaporasinya menurun.
Penggatian lapisan udara pada batas tanah dan udara yang sama
kelembaban relatifnya tidak akan menolong dan memperbesar laju
evaporasinya.
d. Suhu
Energi sangat diperlukan agar evaporasi berjalan terus. Jika suhu udara
dan tanah cukup tinggi maka proses evaporasi berjalan lebih cepat jika
dibandingkan dengan saat suhu udara dan tanah rendah dengan energi
panas yang tidak tersedia. Kemampuan udara untuk menyerap uap air
akan naik jika suhunya naik, maka suhu udara mempunyai efek ganda
terhadap besarnya evaporasi dengan mempengaruhi kemampuan udara
menyerap uap air dan mempengaruhi suhu tanah yang akan mempercepat
penguapan.

3.1.2 Presipitasi
Triatmodjo (2009) menjelaskan bahwa presipitasi adalah turunya air
dari atmosfer ke permukaan bumi yang bisa berupa hujan, hujan salju, kabut,
embun, dan hujan es. Di Indonesia presipitasi yang paling banyak terjadi
adalah hujan. Hujan merupakan komponen terpenting dalam analisis
hidrologi. Hujan yang turun merupakan sumber utama yang akan melimpas
ke sungai. Jumlah dan sebaran hujan yang terjadi dicatat dalam suatu alat
penakar hujan yang diletakkan ditempat-tempat tertentu.
Data hujan dapat diperoleh dari stasiun pengamatan hujan yang dimiliki
oleh instansi yang membutuhkan data hujan. instansi tersebut diantaranya
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Dinas Pengairan, Dinas Pertanian,
dan Instansi Pengelola Bandara. Jumlah Hujan selalu dinyatakan dengan
kedalaman hujan yang diukur dalam mm atau cm dengan kurun waktu tertentu
seperti jam, hari, bulan, dan tahun. Hujan kecil memiliki intensitas <3
18

mm/jam, hujan sedang 3 – 10 mm/jam dan hujan deras >10 mm/jam.


Kedalaman hujan dapat diukur dengan alat yang bekerja secara manual atau
otomatis.
Menurut Suripin (2004), karakter hujan yang perlu ditinjau dalam
analisis dan perencanaan hidrologi meliputi:
a. Intensitas (I), adalah laju hujan yaitu tinggi air persatuan waktu, misalnya
mm/menit, mm/jam, mm/hari
b. Lama waktu/durasi (t), adalah panjang waktu dimana hujan turun dalam
menit atau jam
c. Tinggi hujan (d), adalah jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama
durasi hujan dan dinyatakan dalam ketebalan air diatas permukaan datar,
dalam mm
d. Frekuensi adalah frekuensi kejadian dan biasanya dinyatakan dengan kala
ulang return period (T), misalnya sekali dalam 2 tahun
e. Luas adalah luas grografis sebaran hujan

3.1.3 Proses Limpasan (Run off)


Menurut Asdak (1955) limpasan air tanah (Run off) adalah bagian dari
curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju sungai, waduk dan
lautan. Sebelum air dapat melimpas diatas permukaan tanah, curah hujan
terlebih dahulu harus memenuhi keperluan air untuk evaporasi, intersepsi,
infiltrasi dan berbagai bentuk cadangan tanah (surface detentions) dan bentuk
penampungan air lainya. Proses limpasan terjadi jika jumlah curah hujan
melampaui laju infiltrasi air kedalam tanah.
Daya infiltrasi menentukan besarnya air hujan yang dapat diserap
kedalam tanah. Sekali air hujan tersebut masuk kedalam tanah maka tidak
akan dapat diuapkan kembali dan tetap akan berada dibawah permukaan tanah
yang akan mengalir sebagai air tanah. Aliran air tanah sangat lambat, semakin
besar daya infiltrasi maka mengakibatkan limpasan permukaan semakin besar
sehingga debit puncaknya akan lebih kecil (Soemarto, 1995).
19

Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan secara umum dapat


dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu faktor meteorologi dan
karakteristik daerah tangkapan saluran atau daerah aliran sungai (DAS).
Faktor meteorologi yang berpengaruh pada limpasan terutama adalah
karakteristik hujan, yang meliputi intensitas hujan, durasi hujan, dan distribusi
curah hujan. Sedangkan karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada
aliran permukaan meliputi luas dan bentuk DAS, topografi, dan tata guna
lahan (Asdak, 1955).
Pemakaian metode rasional untuk menghitung debit puncak yang
ditimbulkan paling sering digunakan dalam perencanaan drainase perkotaan.
Beberapa parameter hidrologi yang diperhitungkan adalah intensitas hujan,
durasi hujan, frekuensi hujan, luas DAS, kehilangan air dan konsentrasi
aliran. Metode rasional didasrkan pada persamaan berikut:
𝑄 = 0,278 𝐶𝐼𝐴 (3.1)
Dengan
Q : debit puncak (m3/detik)
I : intensitas hujan (mm/jam)
A : luas daerah tangkapan (km2)
C : koefisien aliran yang tergantung pada permukaan lahan

Tabel 3.1 Koefisien Run Off (C) (Asdak, 1955)


No Tipe Area Koefisien Run Off
1 Pegunungan yang curam 0,50 – 0,75
2 Tanah yang bergelombang dan hutan 0,45 – 0,60
3 Dataran yang ditanami 0,75 – 0,90
4 Atap yang tidak tembus air 0,75 – 0,90
5 Perkerasan aspal, beton 0,80 – 0,90
6 Tanah padat sulit diresapi 0,40 – 0,55
7 Tanah agak mudah dirsapi 0,05 – 0,35
8 Taman/lapangan terbuka 0,05 – 0,25
9 Kebun 0,05 – 0,20
10 Perumahan tidak begitu rapat (20 rumah/ha) 0,25 – 0,40
11 Perumahan kerapatan sedang (21-60 rumah/ha) 0,40 – 0,70
12 Perumahan rapat (60-160 rumah/ha) 0,70 – 0,80
13 Daerah rekreasi 0,20 – 0,30
14 Daerah industri 0,80 – 0,90
15 Daerah 0,90 – 0,95
20

3.1.4 Infiltrasi
Infiltrasi dapat dartikan sebagai proses masuknya air kedalam tanah
melalui permukaan tanah. Umumnya infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi
vertikal, yaitu gerakan kebawah dari permukaan tanah (Jury dan Horton,
2004). Menurut Asdak (1955) ketika air hujan jatuh kepermukaan tanah atau
lapisan permukaan, sebagian air tertahan di cekungan-cekungan, sebagian air
mengalir sebagai limpasan (run off) dan sebagian lainya meresap kedalam
tanah. Saat hujan mencapai permukaan lahan maka akan terdapat bagian
hujan yang mengisi ruang kosong (void) dalam tanah yang terisi udara sampai
mencapai kapasitas lapang (field capacity) dan berikutnya bergerak kebawah
secara gravitasi akibat berat sendiri dan bergerak terus kebawah (perlokasi)
kedalam daerah jenuh (saturated zone) yang terdapat dibawah permukaan air
(phreatic). Air yang berada pada lapisan air tanah jenuh dapat pula bergerak
kesegala arah kesamping dan keatas dengan gaya kapiler atau dengan batuan
penyerapan oleh tanaman melalui tudung akar.
Proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah disebut dengan
infiltrasi, sedangkan laju laju infiltrasi (ft) adalah jumlah air yang meresap ke
dalam tanah dalam waktu tertentu. Sedangkan kapasitas infiltrasi adalah laju
infiltrasi maksimum air meresap ke dalam tanah (Haridjaja dkk., 1991).
Perlokasi merupakan proses kelanjutan perjalanan air tersebut ketanah yang
lebih dalam. Dengan kata lain infiltrasi adalah perjalanan air kedalam tanah
sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air kearah lateral) dan gravitasi (gerakan
air kearah vertikal). Setelah keadaan jenuh pada lapisan tanah bagian bagian
atas terlampaui, sebagian dari air tersebut mengalir ketanah yang lebih dalam
sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perlokasi.
Besarnya laju infiltrasi atau perlokasi dinyatakan dalam mm/hari, laju
infiltrasi/perlokasi ditentukan oleh:
a. Jumlah air yang tersedia dipermukaan
b. Sifat permukaan tanah
c. Kemampuan tanah untuk mengosongkan air diatas permukaan tanah.
21

Dari ketiga unsur di atas, ketersediaan air (kelembaban tanah) adalah


yang terpenting, karena akan menentukan besarnya tekanan potensial pada
permukaan tanah. Laju infiltrasi tertinggi dicapai saat air pertama kali masuk
kedalam tanah dan menurun dengan bertambahnya waktu (Philip, 1969). Pada
awal infiltrasi, air yang meresap ke dalam tanah mengisi kekurangan kadar
air tanah. Setelah kadar air tanah mencapai kadar air kapasitas lapang, maka
kelebihan air akan mengalir ke bawah menjadi cadangan air tanah
(groundwater) (Jury dan Horton, 2004). Laju infiltrasi diklasifikasikan
menjadi tujuh kelas oleh (Kohnke, 1968) berdasarkan nilai laju infiltrasi
konstan (Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Klasifikasi Laju Infiltrasi Tanah menurut (Kohnke,1968)


No Kelas Laju infiltrasi (mm/jam)
1 Sangat lambat 1
2 Lambat 1–5
3 Sedang – lambat 5 – 20
4 Sedang 20 – 65
5 Sedang – cepat 65 – 125
6 Cepat 125 – 250
7 Sangat cepat >250

Infiltrasi merupakan bagian dari siklus hidrologi yang mempunyai


peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan
ketersediaan air. Pada tanah-tanah yang memiliki kapasitas infiltrasi tanah
yang rendah, sebagian besar curah hujan berubah menjadi aliran permukaan
dan hanya sebagian kecil air hujan yang masuk ke dalam tanah melalui
permukaan tanah. Akibatnya jumlah air yang menjadi simpanan air tanah
menurun. Infiltrasi juga dapat dimanfaatkan untuk pertimbangan perkiraan
potensi kekeringan, aliran permukaan, erosi dan pertimbangan kegiatan-
kegiatan tertentu (Haridjaya dkk., 1991).
Proses infiltrasi mengakibatkan sebagian air hujan masuk ke dalam
tanah sehingga mengurangi air limpasan permukaan (run off). Dengan
berkurangnya air limpasan permukaan, potensi banjir dapat dihindari atau
semakin diminimalisir jika lahannya memiliki kapasitas infiltrasi tanah yang
besar. Infiltrasi juga berperan dalam proses pengisian reservoir air tanah.
22

Reservoir air tanah dapat dimanfaatkan oleh vegetasi dan fauna tanah serta
mempengaruhi ketersediaan aliran sungai di musim kemarau. Pengamatan
infiltrasi di lapangan dapat dilakukan dengan membuat simulasi peresapan air
oleh tanah. Simulasi ini dibantu dengan peralatan tertentu. Salah satu
peralatan yang dapat digunakan adalah double ring infiltrometer
(infiltrometer cincin konsentrik) (Seyhan, 1990). Alat tersebut terdiri dari dua
metal silinder yang berbeda ukuran. Kedua silinder dipasang pada tanah dan
diisi dengan air untuk kemudian diamati penurunan tinggi muka air pada tiap
waktu tertentu (Brady dan Weil, 2008). Dari pengolahan data penurunan
ketinggian muka air dan waktu pengamatan dapat diperoleh laju infiltrasi.
A. Faktor yang mempengaruhi laju infiltrasi
Laju infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kedalaman
genangan dan tebal lapisan jenuh, kelembaban tanah, pemadatan oleh hujan,
tanaman penutup, intensitas hujan dan sifat-sifat fisik tanah.
a. Kedalaman genangan dan tebal lapisan jenuh
Air yang tergenang diatas permukaan tanah akan terinfiltrasi kedalam
tanah, yang menyebabkan suatu lapisan dibawah permukaan tanah menjadi
jenuh air (Gambar 3.2). Apabila tebal dari lapisan jenuh air adalah L, dapat
dianggap bahwa air mengalir kebawah melalui sejumlah tabung kecil. Aliran
melalui lapisan tersebut serupa dengan aliran melalui pipa.

Gambar 3.2 Genangan pada permukaan tanah (Triatmojo, 2008)

Kedalaman genangan diatas permukaan tanah (D) memberikan tinggi


tekanan pada ujung atas tabung, sehingga tinggi tekanan total yang
23

menyebabkan aliran adalah D + L. Tahanan terhadap aliran yang diberikan


tanah adalah sebanding dengan tebal lapis jenuh air L. Pada awal hujan
dimana L adalah kecil dibanding D, tinggi tekanan adalah besar dibanding
tahanan terhadap aliran, sehingga air masuk kedalam tanah dengan cepat.
Sejalan dengan waktu, L betambah panjang sampai melebihi D, sehingga
tahanan terhadap aliran semakin besar. Pada kondisi tersebut kecepatan
infiltrasi berkurang apabila L lebih besar daripada D, perubahan L
mempunyai pengaruh yang hampir sama dengan gaya tekanan dan hambatan,
sehingga laju infiltrasi hampir konstan.
b. Penyumbatan oleh butiran halus
Ketika hujan jatuh diatas tanah, butir tanah mengalami pemadatan oleh
butiran halus. Ketika hujan turun da infiltrasi terjadi, butiran halus tersebut
terbawa masuk kedalam tanah, dengan mengisi pori-pori tanah sehingga
mengurangi kapasitas infiltrasi.
c. Pemampatan oleh partikel-partikel curah/butiran hujan
Ketika hujan jatuh diatas tanah, butir tanah mengalami pemadatan oleh
butiran air hujan. Pemadatan tersebut mengurangi pori-pori tanah yang
berbutir halus (seperti lempung), sehingga dapat mengurangi kapasitas
infiltrasi. Untuk tanah pasir pengaruh tersebut sangat kecil.
d. Tanaman penutup
Banyaknya tanaman yang menutupi permukaan tanah, seperti rumput atau
hutan dapat menaikkan kapasitas infiltrasi tanah tersebut. Dengan adanya
tanaman penutup air hujan tidak dapat memampatkan tanah, dan juga akan
terbentuk lapisan humus yang dapat menjadi tempat hidup serangga. Apabila
terjadi hujan lapisan humus mengembang dan lubang-lubang yang dibuat
serangga akan menjadi sangat permeabel. Kapasitas infiltrasinya bisa jauh
lebih besar daripada tanah yang tanpa penutup tanaman.
e. Pemampatan oleh kegiatan pembangunan.
Pada daerah pemukiman yang telah dilakukan pembangunan
menyebabkan permeabilitas tanah menjadi berkurang karena terjadinya
24

pemadatan pada tanah. Sehingga laju infiltrasi/perlokasi pada daerah tersebut


sangat rendah
f. Kelembaban tanah
Jumlah kadar air tanah mempengaruhi kapasitas infiltrasi, ketika air jatuh
pada tanah kering, permukaan atas tanah tersebut menjadi basah, sedangkan
bagian bawahnya relatif masih kering. Dengan demikian terdapat perbedaan
yang besar dari gaya kapiler antara permukaan atas tanah dengan yang ada
dibawahnya. Karena adanya perbedaan tersebut maka terjadi gaya kapiler
yang bekerja bersama-sama dengan gaya berat, sehingga air bergerak
kebawah (infiltrasi) dengan cepat. Dengan bertambahnya waktu, permukaan
bawah tanah menjadi basah sehingga perbedaan gaya kapiler berkurang, dan
infiltrasi berkurang.
g. Topografi
Kondisi topografi juga mempengaruhi infiltrasi. Pada lahan dengan
kemiringan besar, aliran permukaan mempunyai kecepatan lebar sehingga air
kekurangan waktu untuk infiltrasi. Akibatnya sebagian besar air hujan
menjadi aliran permukaan. Sebaliknya, pada lahan yang datar air menggenang
sehingga mempunyai waktu cukup banyak untuk infiltrasi
h. Intensitas hujan
Intesitas hujan jika berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi, jika
intensitas curah hujan/lebih kecil dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi
aktual adalah sama dengan intensitas hujan lebih besar dari kapasitas
infiltrasi, maka laju infiltrasi aktual sama dengan kapasitas infiltrasi.

3.2 Neraca Air


Untuk mengetahui ketersediaan air di suatu daerah dapat diketahui
dengan berbagai cara, salah satunya dengan perhitungan neraca air. Neraca
air diperkirakan dan dihitung berdasarkan persamaan mass balance yaitu
perbandingan dari data keberadaan air (input) dan pemakaian air yang
dilakukan penduduk untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari (output).
25

Besar potensi air tanah dapat dihitung berdasarkan besar debit


infiltrasi yang dihitung melalui pendekatan empiris dengan menggunakan
persamaan dari (F folliot, 1980 dalam Bonita dan Mardyanto, 2005). Neraca
air dapat dinyatakan sebagai persamaan berikut:
𝑅 = (𝑃 + 𝐸𝑇). 𝐴𝑖. (1 − 𝐶𝑟𝑜) (3.2)
Dimana:
P : presipitasi / curah hujan (m/th)
R : debit air hujan yang meresap kedalam tanah (m3/tahun)/ infiltrasi
ET : evapotranspirasi (m/th)
Ai : luas lahan (m2)
1-Cro : 1- koefisien run off

3.3 Hubungan Sifat Batuan Dengan Air Tanah


Sifat batuan yang mempengaruhi keberadaan air tanah adalah porositas
dan permeabilitas. Porositas adalah perbandingan antara isi ruang antar butir
dengan total isi suatu material. Sedangkan permeabilitas adalah kemampuan
suatu lapisan batuan untuk dapat dilalui suatu cairan
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑟𝑜𝑛𝑔𝑔𝑎 (𝑝𝑜𝑟𝑖)
Porositas (𝑛) = 𝑥 100% (3.3)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

Gambar 3.3 Jenis porositas pada batuan (Johnson, 2003)

Porositas merupakan bagian tanah yang tidak ditempati oleh padatan


tanah, baik bahan mineral maupun bahan organik (Baver, 1959). Sedangkan
menurut Soepardi (1983) porositas merupakan bagian tanah yang ditempati
air dan udara. Ruang pori tanah terdiri dari ruang diantara partikel pasir, debu,
dan liat diantara agregat-agregat tanah (Sitorus dkk., 1983). Terdapat dua tipe
porositas pada suatu batuan, yaitu porositas primer dan porositas sekunder
26

(Gambar 3.3). Porositas primer berupa ruang antar butir yang terbentuk pada
saat pengendapan sedimen sedangkan porositas sekunder berupa rekahan
yang terbentuk setelah pengendapan sedimen.
Permeabilitas tanah merupakan sifat bahan berpori yang memungkinkan
aliran rembesan yang berupa air mengalir melewati rongga pori yang
menyebabkan tanah bersifat permeable. Koefisien permeabilitas tanah
tergantung pada beberapa faktor yaitu kekentalan cairan, distribusi ukuran
pori, distribusi ukuran butiran, angka pori, kekerasan permukaan butiran
tanah dan derajat kejenuhan tanah. Karena nilai koefisien permeabilitas tanah
sama dengan laju infiltrasi tanah maka semakin permeable sifat tanah akan
semakin besar laju infiltrasi pada tanah. Berikut adalah koefisien
permeabilitas umumnya.

Tabel 3.3 Harga Koefisien Permeabilitas Tanah (Verruijt, 1970)


No Jenis Tanah K (Cm/s)
1 Lepung >10-9
2 Lempung Berasir 10-9 – 10-8
3 Lepung Berlanau 10-8 – 10-7
4 Lanau 10-8 – 10-7
5 Pasir Sangat Halus 10-6 – 10-5
6 Pasir Halus 10-5 – 10-4
7 Pasir Kasar 10-4 – 10-3
8 Pasir Berkerikil 10-3 – 10-2
9 Kerikil >10-2

Permeabilitas tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai


berikut:
a. Besar kecilnya ukuran pori-pori tanah
b. Gradasi tanah (pembagian dan ukuran butir-butir tanah) dan
kepadatanya
c. Kadar air yaitu berat jenis dan kekentalanya
d. Kadar udara diantara butir-butir padat

3.4 Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan didefinisikan sebagai setiap bentuk intervensi
manusia terhadap lahan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Arsyad (2006) kebutuhan tersebut termasuk kebutuhan primer
27

maupun kebutuhan sekunder, atau dalam istilah lain yaitu kebutuhan sandang,
pangan, dan papan. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan kedalam
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian.
penggunaan lahan pertanian meliputi hutan, sawah, lading, perkebunan dan
lainya. Penggunaan lahan non pertanian seperti pemukiman, industri, dan
perkantoran.

3.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian


Faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian
menjadi non pertanian menurut (Iwan, BPN 2004) antara lain:
1. Faktor Kependudukan, Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah
meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan
fasilitas umum lainnya. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian
antara lain pembangunan real estate, kawasan industri, kawasan
perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang memerlukan lahan yang luas,
sebagian diantaranya berasal dari lahan pertanian. Untuk kegiatan
tersebut umumnya lahan yang dipilih terkonsentrasi di perkotaan dan
wilayah di sekitarnya (sub urban area).
2. Faktor ekonomi, Tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor
non pertanian dibandingkan sektor pertanian dan rendahnya intensitas
untuk bertani disebabkan oleh tingginya produksi, sementara harga hasil
pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu, karena faktor
kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha
atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan, mencari pekerjaan non
pertanian, atau lainnya), seringkali membuat petani tidak mempunyai
pilihan selain menjual sebagian lahan pertaniannya.
3. Faktor sosial budaya, keberadaan hukum waris yang menyebabkan
terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas
minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang yang menimbulkan
kekurangan air untuk pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida secara
28

berlebihan yang berdampak pada peningkatan serangan hama tertentu


akibat musnahnya predator alami dari hama yang bersangkutan, serta
pencemaran air irigasi, rusaknya lingkungan pertanian sekitar pantai
mengakibatkan terjadinya instrusi air laut ke daratan yang berpotensi
meracuni tanaman.
5. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor
menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang kurang memperhatikan
kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional yang sebenarnya
penting bagi masyarakat secara keseluruhan.
6. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law
Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.

3.4.2 Dampak Pengalihan Fungsi Lahan terhadap Air Tanah


Sutmaatmadja (1997) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya
disebut sebagai konversi lahan yaitu peralihan penggunaan ahan tertentu
menjadi penggunaan lahan lainya atau berubahnya lahan dari fungsinya
semula menjadi fungsi lain. Hal ini terjadi akibat terbatasnya lahan sehingga
menyebabkan berkurangnya luas lahan lain. Perubahan fungsi lahan juga
dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian/seluruh kawasan lahan
dari fungsinya semula sepeti yang direncanakan menjadi fungsi lahan lain.
Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak
dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, yaitu keperluan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya
dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan metu kehidupan
yang lebih baik
29

Gambar 3.4 Perubahan fungsi lahan kota New York dari hutan menjadi perkotaan
(National Geograpic, 2009)

Sudadi dkk. (1991) menjelaskan bahwa secara umum penggunaan lahan


akan mempengaruhi karakteristik aliran sungai, total air permukaan, kualitas
air dan sifat hidrologi yang bersangkutan. Berkurangnya kawasan bervegetasi
dan meningkatnya area terbangun, menyebabkan kecenderungan naiknya
koefisien run off, yang berkaitan erat dengan meningkatnya debit maksimum
sungai dan menurunya debit minimum sungai, selanjutnya fenomena yang
kerap terjadi adalah banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Pada batas tertentu alih fungsi lahan juga dapat mempengaruhi kondisi
kualitas airtanah, pembalakan hutan, perubahan dari satu jenis vegetasi hutan
menjadi jenis vegetasi hutan lainya, perladangan berpindah, atau perubahan
tataguna lahan menjadi areal pertanian atau padang rumput adalah contoh-
contoh kegiatan yang sering dijumpai pada negara berkembang. Terjadinya
perubahan tata guna lahan dapat mempengaruhi besar kecilnya hasil air
(Asdak, 1955)
Menurut Arsyad (2006) vegetasi mempengaruhi siklus hidrologi
melalui pengaruhnya terhadap air hujan yang jatuh dari atmosfer ke
permukaan bumi, ketanah dan batuan di bawahnya. Pengaruh vegetasi
terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam intersepsi air hujan,
30

mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak hujan dan


aliran permukaan, pengaruh akar, bahan organik sisa-sisa tumbuhan yang
jatuh dipermukaan tanah, dan kegiatan kegiatan biologi yang berhubungan
dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur
porositas tanah, dan transpirasi yang mengakibatkan berkurangnya
kandungan air tanah (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Dampak alih fungsi lahan hutan terhadap siklus hidrologi (smarth
growth, 2017)

Pengalihan fungsi lahan hutan menjadi lahan terbangun dapat


mengakibatkan berbagai permasalahan antara lain:
1. Berkurangnya curah hujan suatu wilayah yang luasan tutupan
hutannya berkurang secara signifikan
2. Meningkatnya debit puncak aliran sungai dibandingkan kondisi
sebelum hutan dialihfungsikan, meskipun dengan kondisi curah
hujan yang relatif tetap. Hal ini merupakan salah satu pemicu
terjadinya banjir
3. Terjadinya kekeringan atau menurunnya debit sungai saat musim
kemarau dibandingkan kondisi awal sebelum hutan dikonversi
4. Meningkatnya erosi dan sedimentasi
5. Meningkatnya frekuensi kejadian longsor terutama longsor
dangkal (shallow slide)
Para ahli menyatakan bahwa hutan tropis, jika dibandingkan dengan
penggunaan lahan lain seperti area pertanian maupun peternakan,
menghasilkan evapotranspirasi yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan
31

tingginya kelembaban atmosfer sehingga peluang terbentuknya awan dan


hujan makin besar. Untuk kawasan Asia Tenggara, konversi hutan secara total
menjadi semak atau padang rumput akan menurunkan curah hujan rata-rata
sebanyak 8%. Namun untuk daerah yang lebih banyak dipengaruhi oleh iklim
laut, perubahan tutupan hutan efeknya tidak sebesar efek perubahan suhu
permukaan air laut (Bruijnzeel, 2004).
Dengan berkurangnya tutupan hutan, hasil air tahunan cenderung
meningkat karena tidak ada air yang dilepaskan melalui transpirasi. Jika
tutupan hutan yang dikonversi tidak terlalu besar, jumlah air yang disimpan
masih dapat dilepaskan sepanjang tahun secara kontinyu sebagai aliran dasar.
Sebaliknya, jika hutan dikonversi secara besar-besaran atau secara total,
jumlah air yang tersimpan sebagai air tanah sangat minim jumlahnya sehingga
pada saat musim kemarau suplai air ke alur sungai atau mata air sangat
terbatas. Beberapa penelitian telah menghasilkan kesimpulan yang
mendukung pernyataan diatas. Penelitian yang pernah dilakukan Bruijnzeel
pada tahun 1999 menunjukkan adanya pengurangan tutupan hutan lebih dari
33%, secara signifikan akan meningkatkan aliran tahunan selama 3 tahun
pertama. Peningkatan ini berkisar dari 145 hingga 820 mm/tahun, tergantung
curah hujan tahunannya. Peningkatan hasil air ini secara proporsional sesuai
dengan biomassa hutan yang dikeluarkan, sehingga perubahan hasil air lebih
banyak mencerminkan perubahan transpirasi dan sedikit perubahan aliran
permukaan (runoff). Secara umum, hutan hujan tropis yang kondisi
penutupannya masih baik akan menginfiltrasikan 80 – 95% curah hujan ke
dalam tanah, dan jika kelembaban tanah tidak terbatas, 1000 mm diataranya
akan dikeluarkan lagi melalui proses transpirasi, sedangkan sisanya akan
dikeluarkan secara perlahan pada alur sungai sebagai aliran dasar.
Adanya alih fungsi hutan seringkali dirasakan dampaknya di musim
kemarau dengan minimnya atau hilangnya debit mata air atau debit air sungai.
Pembukaan tutupan hutan yang biasanya diikuti dengan pemadatan
permukaan tanah oleh alat-alat berat, pembangunan sarana jalan, gedung, atau
infrastruktur lain, atau pengalihan fungsi menjadi area pertanian, perkebunan
32

atau hutan tanaman tanpa tindakan konservasi yang memadai akan


menurunkan kemampuan tanah menginfiltrasi air hujan (Gambar 3.6).
Akibatnya di saat musim hujan daerah tangkapan air akan menghasilkan
limpasan permukaan yang lebih besar, sedangkan simpanan air tanah sebagai
pemasok mata air dan aliran dasar akan menurun.

(a)

(b)

(c)
Gambar 3.6 Ilustrasi perubahan pengisian air tanah akibat alih fungsi lahan (a)
hutan, (b) perkebunan, (c) perkotaan (Farhan, 2014)
33

3.5 Metode Konservasi


Berdasarkan Permen ESDM No.2 (2017) konservasi air tanah diartikan
sebagai upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan sifat dan
fungsi air tanah agar senantiasa tersedia baik dalam kualitas dan kuantitas
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada saat
waktu sekarang maupun yang akan datang sehingga diharapkan tidak akan
terjadi adanya krisis air tanah nantinya. Usaha konservasi air tanah dapat
dilakukan melalui beberapa cara seperti :
a. Perlindungan dan pelestarian air tanah, dengan menjaga daya dukung
akuifer dan fungsi daerah imbuhan air tanah serta memulihkan kondisi
dan lingkungan air tanah pada zona kritis dan zona rusak
b. Pengawetan air tanah, ditujukan untuk menjaga keberadaan dan
kesinambungan ketersediaan air tanah yaitu dengan cara penghematan
dalam pemakaian air tanah, meningkatkan kapasitas resapan air dan
pengendalian dalam penggunaan air tanah
c. Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran, digunakan untuk
mempertahankan dan memulihkan kualitas air tanah sesuai dengan
kondisi alaminya yaitu dengan cara mencegah pencemaran air tanah,
menanggulangi pencemaran air tanah serta memulihkan kualitas air
tanah yang telah tercemar serta menutup setiap sumur gali atau sumur
bor yang kualitas air tanahnya telah tercemar.
d. Pengendalian daya rusak air, baik terhadap intrusi air laut/asin serta
kemungkinan terjadinya amblesan tanah dengan cara mengurangi
pengguna air tanah yang melampaui daya dukung akuifer sehingga tidak
terjadi penurunan muka air tanah.
Terkait dengan penggunaan air tanah, pengendalian besaran debit air
tanah termasuk pelarangan pengambilan air tanah pada wilayah-wilayah
tertentu untuk izin pengambilan air tanah (Gambar 3.7) harus didasarkan pada
konsep pengelolaan air tanah yang berbasis konservasi. Izin pengambilan air
tanah yang diberikan oleh gubernur, terutama izin pengusahaan air tanah
harus melalui tahapan pemberian rekomendasi teknis yang menggunakan peta
34

zona konservasi air tanah pada suatu CAT sebagai landasan utama.
Penyusunan peta zona konservasi air tanah ini menjadi tugas Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Provinsi melalui dinas yang membidangi air tanah,
sesuai dengan kewenangan pengelolaan pada cekungan air tanahnya.
Cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas Negara menjadi wewenang
Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ESDM dan cekungan air tanah
dalam wilayah provinsi menjadi wewenang Dinas Provinsi yang membidangi
air tanah (Dinas ESDM Provinsi).

Gambar 3.7 Contoh pembagian kawasan lindung air tanah dan implikasnya (Heru dan
Doni, 2008)

Dalam Permen ESDM No.2 (2017) menyebutkan bahwa zona


konservasi air tanah merupakan perangkat penting dalam pengelolaan air
tanah dan terkait langsung dengan pemberian izin pengambilan air tanah.
Faktor utama dalam penyusunan peta zona konservasi air tanah ini adalah
tingkat kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah, yang merupakan
gambaran keseimbangan antara jumlah ketersediaan air tanah dan
penggunaannya. Apabila jumlah pengambilan air tanah lebih besar daripada
jumlah ketersediaannya, akan terjadi kerusakan kondisi dan lingkungan air
35

tanah tersebut. Sehingga, dasar pertimbangan yang digunakan dalam


menentukan kerusakan kondisi dan lingkungan air tanah tersebut meliputi:
a. Jumlah pengambilan air tanah
b. Penurunan muka air tanah
c. Perubahan kualitas air tanah dan/atau
d. Dampak negatif terhadap lingkungan seperti amblesan tanah
Pencemaran air tanah karena migrasi zat pencemar, penyusupan air laut
ke dalam air tanah tawar, dan kekeringan yang disebabkan oleh migrasi air
tanah dari sistem akuifer tidak tertekan ke dalam sistem akuifer tertekan. Zona
konservasi air tanah dibedakan menjadi:
a. Zona perlindungan air tanah yang meliputi daerah imbuhan air tanah
dan zona perlindungan mata air
b. Zona pemanfaatan air tanah yang terdiri dari zona aman, rawan, kritis,
dan rusak.

3.5.1 Konservasi tanah dan air


Menurut suripin (2004) metode konservasi tanah dan air dapat
digolongkan kedalam tiga golongan utama yaitu:
A. Metode Vegetatif
Penggunaan lahan dan tumbuhan, atau bagian tumbuhan atau sisa-sisa
tanaman dengan sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi laju erosi
dengan mengurangi daya rusak yang jatuh dan jumlah daya rusak aliran
permukaan. Konservasi tanah dan air secara vegetatif ini fungsinya antara
lain:
a. Mengurangi daya rusak butiran hujan yang jatuh akibat intersepsi butiran
hujan oleh dedaunan tanaman atau tajuk tanaman
b. Pengurangan volume aliran permukaan akibat peningkatan kapasitas
infiltrasi perakaran tanaman dan peambahan bahan organik
c. Peningkatan kehilangan air tanah akibat meningkatnya evapotranspirasi,
sehingga tanah cepat lapar air
36

d. Memperlambat aliran permukaan akibat meningkatnya panjang lintasan


aliran permukaan oleh batang-batang tanaman
e. Pengurangan daya rusak aliran permukaan sebagai akibat pengurangan
volume aliran permukaan, dan kecepatan aliran permukaan
Pada metode ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu:
1. Tanaman penutup tanah
Pada dasarnya semua jenis tanaman dapat menutup tanah dengan baik
dapat dikatakan sebagai tanaman penutup tanah, namun demikian
dalam arti yang khusus yang dimaksud dengan tanaman penutup tanah
adalah tanaman yang sengaja ditanam untuk melindungi tanah dari
erosi, menambah bahan organik tanah dan sebagai pelindung tanaman
pokok
2. Pertanaman dalam strip
Adalah metode cocok tanaman dengan beberapa jenis tanaman yang
ditanam berselang seling dalam strip-strip pada sebidang tanah dan
disusun memotong lereng atau garis kontur. Tanaman yang ditanam
biasanya tanaman pangan yang diselingi strip-strip tanaman penutup
yang tumbuh cepat dan rapat untuk pupuk hijau (Gambar 3.8)

Gambar 3.8 Pertanaman dalam strip (Arsyad, 2006)

3. Pertanaman berganda (multiple cropping)


Pertanaman berganda berguna untuk meningkatkan produktivitas
lahan sambil menyediakan proteksi terhadap tanah dan erosi, sistem
37

ini dapat dilakukan baik dengan cara pertanaman beruntun (sequential


cropping), tumpang sari (inter cropping) atau tumpang gilir (relay
cropping)
4. Penggunaan mulsa
Mulsa adalah sisa-sisa tanaman (crop resedues) yang ditebarkan
diatas permukaan tanah. Sedangkan sisa-sisa tanaman tersebut
ditanam dibawah permukaan tanah dinamakan pupuk hijau. Jika sisa-
sisa tanaman tersebut ditumpuk terlebih dahulu disuatu tempat hingga
mengalami humifikasi dinamakan kompos.
5. Penghutanan kembali (reboisasi)
Merupakan cara yang cocok untuk menurunkan erosi dan aliran
permukaan, terutama jika dilakukan pada bagian hulu daerah
tangkapan air untuk mengatur banjir. Secara lebih luas reboisasi dapat
diartikan sebagai usaha untuk memulihkan dan menghutankan
kembali tanah yang mengalami kerusakan fisik, kimia, maupun
biologi baik secara alami maupun oleh ulah manusia. Tanaman yang
digunakan biasanya tanaman yang bisa mencegah erosi, baik dari segi
habitat maupun umur, dan diutamakan tanaman keras yang bernilai
ekonomis baik kayunya maupun hasil samping lainya.
B. Metode Mekanik
Adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah
dan perbuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan
meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Termasuk dalam metode
mekanik dalam konservasi tanah dan air adalah:
1. Pengolahan tanah (tillage)
Adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang ditujukan
untuk menciptakan kondisi tanah yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Tujuan utama pengolahan tanah adalah menyiapkan tempat
tumbuh benih, menggemburkan tanah pada daerah perakaran,
membalikkan tanah sehingga sisa-sisa tanaman terbenam didalam
tanah dan memberantas gulma
38

2. Pengolahan tanah menurut kontur


Pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur dapat
mengurangi laju erosi sampai 50% dibandingkan dengan pembajakan
dan penanaman menurut lereng tanah (up and down) (Gambar 3.9).
Pada pengolahan tanah menurut kontur pembajakan dilakukan
memotong lereng atau mengikuti kontur sehingga terbentuk jalur-jalur
penumpukan dan alur yang sesjajar atau mengikuti garis kontur.
Pengolahan menurut kontur lebih efektif jika diikuti dengan
penanaman menurut kontur juga.

Gambar 3.9 Penanaman menurut kontur (Arsyad, 2006)

3. Guludan (contour bunds)


Guludan adalah tumpukan tanah (galengan) yang dibuat panjang
memotong kemiringan lereng lahan. Fungsi guludan ini adalah untuk
menghambat aliran permukaan, menyimpan air dibagian atasnya dan
untuk memotong Panjang lereng. Tinggi tumpukan tanah berkisar
antara 25-30 cm dengan lebar dasar 25-30 cm. Pada tanah dengan
kepekaan erosi rendah guludan dapat diterapkan pada lahan dengan
kemiringan lahan sampai 6%. Pada lahan yang lebih curam atau
dengan kondisi tanah yang peka terhadap erosi guludan kemungkinan
kurang efektif, dalam hal ini perlu digunakan guludan bersaluran,
disebelah atas guludan dibuat saluran memanjang mengikuti guludan
(Gambar 3.10)
39

Gambar 3.10 Sketsa penampang guludan dan guludan bersaluran (Suripin, 2004)

4. Teras
Adalah timbunan tanah yang dibuat melintang atau memotong
kemiringan lahan, yang berfungsi menangkap aliran permukaan, serta
mengarahkanya ke daerah yang mantap/stabil dengan kecepatan yang
tidak erosif. Dengan demikian memungkinkan terjadinya penyerapan
air dan berkurangnya erosi (Gambar 3.11)

Gambar 3.11 Sketsa pembuatan teras (Suripin, 2004)

5. Saluran pembuang air


Untuk menghindari terkonsentrasinya aliran permukaaan
disembarang tempat, yang akan membahayakan dan merusak tanah
yang dilewatinya maka perlu dibuatkan jalan khusus berupa saluran
40

pembuangan air. Sehingga tujuan utama saluran pembuangan adalah


mengarahkan dan mengalirkan air permukaaan dengan kecepatan
yang tidak erosif kelokasi pembuangan air yang sesuai. untuk itu
saluran pembuangan perlu di design dengan cermat sehingga mampu
menampung debit puncak dengan kala ulang 10 tahunan.
6. Sumur resapan dan kolam resapan
Konsep dasar sumur resapan adalah suatu sistem drainase dimana air
hujan yang jatuh diatap atau lahan kedap air ditampung pada suatu
sistem resapan air. Berbeda dengan cara konvensional dimana air
hujan dibuang/dialirkan kesungai atau kelaut, cara ini mengalirkan air
hujan kedalam sumur resapan yang dibuat dihalaman rumah.
Sedangkan kolam resapan merupakan kolam terbuka yang khusus
dibuat untuk untuk menampung air hujan dan meresapkanya kedalam
tanah. Model kolam ini cocok untuk kawasan dimana air tanahnya
dangkal namun tersedia kawasan yang luas, model ini dapat
dipadukan dengan pertamanan atau hutan kota sehingga memiliki
fungsi ganda yaitu konservasi air dan sekaligus fungsi estetika
(Gambar 3.12)

Gambar 3.12 Kolam resapan (Suripin, 2004)

C. Metode Kimia
Dalam konservasi tanah dan air contohnya adalah penggunaan preparat
kimia berupa bahan alami yang telah diolah, dalam jumlah yang relatif sedikit,
41

untuk meningkatkan stabilitas agregat tanah dan mencegah erosi. Contoh


bahan kimia yang sering digunakan adalah polyacriamide (PAM). PAM
adalah polymer non hydropobic yang mempunyai bagian aktif amide yang
mengikat bagian-bagian -OH pada butir liat melalui oksigen. Yang kemudian
mengikat atom-atom oksigen permukaan liat melalui ikatan hidrogen.

3.5.2 Sumur Resapan


Sumur resapan adalah sumur yang dibuat pada permukaan air tanah
dengan tujuan untuk menampung air hujan agar dapat meresap kedalam tanah
dengan cara menampung air tersebut pada sistem resapan. Berbeda dengan
cara konvensional dimana air hujan dialirkan ke sungai kemudian dialirkan
ke laut, sumur resapan ini dilakukan dengan cara mengalirkan air hujan
kedalam sumur-sumur resapan yang dibuat di halaman rumah. Sumur resapan
ini merupakan sumur kosong dengan kapasitas tampungan yang cukup besar
sebelum air meresap kedalam tanah. Dengan adanya tampungan maka air
hujan memiliki cukup waktu untuk meresap kedalam tanah, sehingga
pengisian tanah menjadi optimal (Suripin, 2004)
Menurut Kusnaedi (2007) sumur resapan adalah salah satu rekayasa
teknis konservasi air tanah berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa
sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu,
kemudian diisi dengan bahan-bahan resapan (pasir, batu dan ijuk) secara
berlapis sampai rata dengan permukaan tanah yang berfungsi sebagai tempat
penampungan dan sekaligus peresapan air kedalam tanah. Pembuatan sumur
resapan, merupakan upaya memberikan imbuhan secara buatan dengan cara
menginjeksikan air hujan sebagai media infiltrasi kedalam tanah yang dapat
diterapkan di kawasan pemukiman, pertokoan, perindustrian, sarana dan
prasarana olahraga serta fasilitas lainya (Gambar 3.13)
42

Gambar 3.13 Ilustrasi pembuatan sumur resapan (BPBD, 2016)

Secara umum sebagai sasaran lokasi pembuatan sumur resapan agar


aliran permukaan menjadi kecil dan peresapan air hujan kedalam tanah
menjadi besar, maka dalam pembuatanya diarahkan pada daerah-daerah yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Kusnaedi, 2007)
a. Suatu daerah yang mempunyai kondisi lapang dengan kemiringan > 15%
b. Suatu daerah yang memiliki tingkat erosi tinggi
c. Suatu daerah yang memiliki daya serap air kedalam tanah tinggi
d. Suatu kawasan industri
Manfaat sumur dari pembuatan sumur resapan anatara lain sebagai berikut:
a. Mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah cadangan air tanah
b. Mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mengurangi dan mencegah
terjadinya genangan air dan banjir
c. Mencegah penurunan tanah (Land subsidence)
d. Mengurangi/menahan intrusi air laut pada daerah pantai
e. Mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah
A. Faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan Lokasi Sumur
Resapan
Sumur resapan yang dibuat harus memenuhi teknis yang baik. Dalam
rencana pembuatan sumur resapan perlu diperhitungkan beberapa faktor
antara lain sebagai berikut (Kusnaedi, 2007):
43

a. Faktor iklim
Iklim merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan
sumur resapan. Faktor yang perlu mendapat perhatian adalah besaranya curah
hujan. Semakin besar curah hujan di suatu wilayah maka semakin besar sumur
resapan yang diperlukan
b. Kondisi air tanah
Pada kondisi permukaan air tanah yang dalam, sumur resapan perlu
dibuat secara besar-besaran karena tanah benr-benar memerlukan suplai air
dari sumur resapan. Sebaliknya pada lahan yang muka air tanahnya dangkal,
sumur resapan kurang efektif karena tidak kan berfungsi dengan baik.
Terlebih pada daerah rawa dan pasang surut, sumur kurang efektif karena
daerah tersebut justru lebih membutuhkan drainase
c. Kondisi tanah
Keadaan tanah sangat berppengaruh pada besar kecilnya daya serap
tanah terhadap air hujan. Dengan demikian kontruksi dari sumur resapan
harus mempertimbangkan sifat fisik tanah. Sifat fisik yang berpengaruh
adalah terhadap besarnya infiltrasi (resapan air tanah) adalah tekstur dan pori-
pori tanah. Tanah berpasir dan porus lebih mampu merembeskan air hujan
dengan cepat, sehingga waktu yang diperlukan air hujan untuk tinggal dalam
sumur resapan lebih singkat jika dibandingkan dengan tanah yang kandungan
lempungnya lebih tinggi.
B. Standarisasi Sumur Resapan
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 03-2453-2002,
dapat diketahui bahwa persyaratan umum yang harus dipenuhi sebuah sumur
resapan untuk lahan pekarangan rumah dalah sebagai berikut:
1. Sumur resapan harus berada pada lahan yang datar, tidak pada lahan
berlereng/curam
2. Sumur resapan harus dijauhkan dari tempat penimbunan sampah, jauh
dari septi tank (minimum 5 m diukur dari tepi) dan berjarak minimum 1
m dari fondasi bangunan.
44

3. Penggalian sumur resapan bisa sampai tanah berpasir atau maksimal 2


m di bawah permukaan air tanah. Kedalaman muka air (water table)
tanah minimum 1,5 m pada musim hujan.
4. Struktur tanah harus mempunyai permeabilitas tanah (kemampuan
tanah untuk menyerap air) lebih besar atau sama dengan 2 cm/jam
(artinya genangan air setinggi 2 cm akan meresap habis kedalam tanah
dalam 1 jam

Tabel 3.4 Jarak minimum sumur resapan dengan bangunan lainya (Cotteral and Norris
dalam suripin, 2004)
No Bangunan/ Obyek yang ada Jarak minimum dengan sumur
resapan (m)
1 Bangunan/Rumah 3,0
2 Batas pemilikan lahan/kapling 1,5
3 Sumur untuk air minum 10,0
4 Septitank 10,0
5 Aliran air (sungai) 30,0
6 Pipa air minum 3,0
7 Jalan umum 1,5
8 Pohon besar 3,0

Menurut Sunjoto (1988) dalam Suripin (2004), volume dan efisiensi


sumur resapan dapat dihitung berdasarkan keseimbangan air yang dapat
masuk kedalam sumur dan air yang meresap kedalam tanah dituliskan denga
rumus sebagai berikut.
Perhitungan muka air dalam sumur
𝑄 −𝐹𝐾𝑇
𝐻= {1 − ( )} (3.4)
𝐹𝐾 𝜋𝑅 2

Dimana:
H : tinggi muka air dalam sumur (m)
Q : debit air masuk (m3/jam)
F : faktor geometric (m)
K : koefisien permeabilitas tanah (m/jam)
R : radius sumur (m)

C. Bentuk dan Kontruksi Sumur Resapan


Bentuk dan ukuran kontruksi sumur resapan sesuai dengan SNI No. 03-
2459-1991 yang dikeluarkan oleh Departemen Kimpraswil adalah berbentuk
segiempat atau silinder dengan ukuran minimal diameter 0,8 m dan
45

maksimum 1,4 m dengan kedalaman disesuaikan dengan kontruksi sumur.


Data teknis sumur resapan yang dikeluarkan oleh PU Cipta Karya adalah:
1. Ukuran maksimum diameter 1,4 m
2. Ukuran pipa masuk diameter 110 mm
3. Ukuran pipa pelimpah 110 mm
4. Ukuran kedalaman 1,5 sampai dengan 3 m
5. Dinding dibuat dari pasangan bata atau batako dari campuran 1
semen: 4 pasir tanpa plester
6. Rongga sumur resapan diisi dengan batu kosong 20/20 setebal 40
cm
7. Penutup sumur resapan dari plat beton tebal 10 cm dengan campuran
1 semen : 2 pasir : 3 kerikil
D. Cara Membangun Sumur Resapan
Setelah mengetahui tempat yang sesuai dan juga bentuk kontruksi
bangunan sumur, maka selanjutnya adalah bagaimana cara membangun
sumur resapan. Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
membuat sumur resapan air:
1. Menggali tanah berbentuk silinder dengan diameter antara 80 cm sampai
140 cm dan berkedalaman 1,5 m sampai 3 m. Penggalian tersebut tidak
boleh melebihi permukaan air tanah.
2. Menyusun batu di bagian dinding sumur, pemasangan batu tersebut tanpa
plesteran agar air dapat merembes secara baik ke dalam tanah. Langkah
ini tergantung struktur pada tanahnya. Jika struktur tanah labil, maka perlu
dibangun dinding sumur untuk memperkuat tanah, tapi jika struktur tanah
stabil maka tidak perlu mengerjakan langkah ini.
3. Membuat saluran pemasukan menggunakan pipa paralon dengan ukuran
diameter pipa yaitu 110 mm. Saluran tersebut bertujuan untuk
mengalirkan air hujan dari talang ke dalam sumur resapan.
4. Membuat pipa pembuangan dari sumur menuju ke parit atau bak
penampungan. Pembuatan pipa pembuangan bertujuan untuk membuang
limpahan air ke parit atau menampungnya ke dalam bak sebagai
46

persediaan air ketika musim kemarau. Ketinggian pipa pembuangan tidak


boleh lebih rendah dari muka air tanah.
5. Mengisi dasar sumur dengan batu yang telah dibelah setebal 20 cm sampai
40cm lalu melapisi batuan tersebut dengan ijuk setebal 5 cm sampai 10
cm. Pembuatan lapisan batu dan ijuk di dasar sumur bertujuan untuk
menyaring air yang masuk ke dalam sumur agar kebersihan air tanah tetap
terjaga.
6. Menutup bagian atas sumur, Penutupan bagian atas sumur dapat
menggunakan plat beton setebal 10 cm yang kemudian ditutupi dengan
tanah

Anda mungkin juga menyukai