Anda di halaman 1dari 16

FISIOLOGI ENDOKRIN

Kelenjar endokrin mensekresi berbagai macam hormon ke dalam darah, yang dapat bekerja
pada letak yang jauh (endokrin), dekat dengan sumber hormon (parakrin), di sumber produksi
hormon (autokrin), atau bahkan di dalam sumbernya (intrakrin) untuk mencetuskan sebuah respon
fisiologis. Sistem saraf pusat (SSP) melalui hypothalamic-releasing factor dan peptida yang
diproduksi oleh otak dan sistem imun (kortisol, sitokin, dan interleukin) juga memodulasi sistem
endokrin untuk meregulasi kadar hormon (Hillier dan Stoelting, 2006).

Mekanisme kerja hormon


Hormon berikatan dengan membrane dan reseptor-reseptor inti untuk mencetuskan respon
selular tertentu atau yang luas. Ikatan reseptor pada membrane (peptide dan katekolamin)
menginisiasi transduksi sinyal melalui berbagai enzim seperti adenylate cyclase, tyrosine kinase,
dan serine kinase. Ikatan pada reseptor inti (steroid dan vitamin D) mampu meregulasi ekspresi
gen di sitoplasma dan nucleus untuk memproduksi berbagai protein dan enzim intraselular yang
spesifik. Dalam tubuh manusia ada tujuh kelenjar endokrin yang penting, yaitu hipofisis, tiroid,
paratiroid, kelenjar adrenalin (anak ginjal), pankreas, ovarium, dan testis (Hillier dan Stoelting,
2006).

Hipotalamus dan Kelenjar Pituitari


Hipotalamus terletak pada dasar otak dan di atas kelenjar pituitari. Berbagai tipe
rangsangan (cahaya, suhu, reseptor adrenergik dan dopaminergik, sinyal nyeri, emosi, dan sensasi
olfaktori mampu menstimulasi hipotalamus untuk mensekresi hormon-hormon hipotalamik
(releasing dan inhibitorik). Dengan kata lain hipotalamus mengumpulkan data dan bekerja sebagai
pusat koordinasi akan informasi dan menghubungkannya dengan sistem saraf pusat dan sistem
endokrin terhadap lingkungan (Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).
Hormon-hormon yang berasal dari hipotalamus berasal dari hipotalamus dan mengkontrol sekresi
melalui pituitari anterior. Hormon ini berjalan melalui jaringan pembuluh darah portal
hipotalamik-hipofisis untuk berinteraksi dengan reseptor membrane sel di pituitari anterior,
menyebabkan peningkatan konsentrasi intraselular ion kalsium dan cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Sekresi hipotalamus dan pituitari bersifat pulsatil dan dipengaruhi pada
ritme biologis (pelepasan sirkadian dari adrenocorticotrophic hormon (ACTH), human growth
hormon (HGH), dan siklus bulanan dari gonadotropin pada wanita (Hillier dan Stoelting, 2006).
Kelenjar pituitari terletak di sela tursika pada dasar otak dan berhubungan dengan hipotalamus
melalui tangkai pituitari. Secara fisiologis, kelenjar ini berada di luar sawar darah otak dan dibagi
menjadi pituitari anterior (adenohipofisis) dan pituitari posterior (neurohipofisis). Pituitari anterior
mensintesis, menyimpan, dan mensekresi enam hormon tropik. ACTH, prolaktin, dan HGH
merupakan polipeptida; thyroid-stimulating hormon (TSH), luteinizing hormon (LH), dan follicle-
stimulating hormon (FSH) merupakan kelompok glikoprotein. Pituitari anterior juga mensekresi
β-lipotropin yang mengandung sekuens asam amino dari beberapa endorphin yang berikatan
dengan reseptor opioid. Pituitari anterior menyimpan dan mensekresi dua hormon (arginine
vasopressin/AVP/ADH dan oksitosin). Keduanya disintesis di hipotalamus dan dikirim (melalui
akson) menuju pituitari posterior (Hillier dan Stoelting, 2006).

Pituitari Anterior
Growth Hormon (Somatotropin)
Merupakan hormon yang paling dominan pada pituitari anterior. GH menstimulasi
pertumbuhan semua jaringan pada tubuh dan membangkitkan efek metabolik yang kuat. Efek yang
paling menonjol adalah stimulasi pertumbuhan linear tulang yang merupakan respon GH pada
lempeng kartilago epifisis pada tulang panjang. Sekresi berlebihan dari GH sebelum penutupan
epifisis mengakibatkan gigantisme, sedangkan jika terjadi setelah penutupan epifisis
mengakibatkan akromegali. Efek metabolik dari GH termasuk peningkatan sintesis protein (efek
anabolik), peningkatan mobilisasi asam lemak bebas (efek ketogenik), antagonisme insulin
(diabetogenik) dan retensi garam serta air. Banyak aktivitas GH memerlukan pembentukan peptide
somatomedin (Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).
Pelepasan (GHRH) dan inhibisi (somatostatin), fungsi fisiologis, dan berbagai medikasi dapat
meregulasi sekresi GH. Ansietas dan stress perioperatif dapat mencetuskan pelepasan GH.
Konsentrasi GH pada plasma meningkat selama tidur fisiologis. Obat-obatan juga dapat
memengaruhi sekresi GH, contohnya seperti pemberian dosis tinggi kortikosteroid jangka panjang
dapat mensupresi sekresi GH yang menyebabkan perlambatan proses pertumbuhan pada anak-
anak (Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).
Prolaktin
Prolaktin memiliki aktivitas metabolik yang kecil tetapi berperan dalam pertumbuhan dan
perkembangan payudara saat fase persiapan meyusui. Kehamilan menstimulasi pelepasan
prolactin; dopamine menghambat pelepasan prolactin. Ansietas perioperatif juga dapat
meningkatkan konsentrasi prolactin pada plasma. Sekresi prolactin juga dapat muncul akibat
respon hisapan ASI mampu menghambat fungsi ovarium dan menghasilkan KB alamiah selama
periode menyusui (Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).

Gonadotropin
LH dan FSH merupakan kelompok gonadotropin yang berperan dalam maturase pubertas
dan sekresi dari hormon seks steroid oleh gonad dari masing-masing jenis kelamin. Hormon-
hormon ini berikatan dengan reseptor pada sel membrane di ovarium atau testis untuk
menstimulasi sintesis cAMP (Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).

Adrenocorticotrophic hormon
ACTH meregulasi sekresi dari korteks adrenal, khususnya kortisol, dan menstimulasi
formasi kolesterol di korteks adrenal. Kolesterol adalah pondasi dari sintesis berbagai
kortikosteroid. Sekresi ACTH merespon kuat terhadap rangsangan stress dibawah control dari
corticotropin-releasing hormon/CRH dari hipotalamus, begitu pula dengan mekanisme negative
feedback dari konsentrasi kolesterol plasma. Kecepatan sekresi CRH dan ACTH tinggi pada pagi
hari dan rendah pada senja hari. Variasi diurnal ini menyebabkan konsentrasi kortisol plasma yang
tinggi (~20 µg/dL) dan paling rendah (~5 µg/dL) pada sekitar tengah malam. Insisi pembedahan,
reversal dari anestesi, dan nyeri paskaoperasi menstimulasi pelepasan ACTH (Hillier dan
Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).
Ketika tidak ada ACTH, korteks adrenal mulai atrofi, tetapi zona glomerulosa yang
mensekresi aldosterone merupakan bagian yang paling tidak terpengaruh. Hipophysectomy
berdampak kecil pada ketidakseimbangan elektrolit karena pelepasan kontinu dari aldosterone dari
korteks adrenal. Perubahan pigmen yang mengiringi beberapa penyakit endokrin lebih
menggambarkan perubahan konsentrasi plasma dari ACTH, memunculkan efek stimulasi
melanosit dari hormon ini. Contohnya, warna pucat merupakan patognomonik dari
hipopituarisme. Sebaliknya hiperpigmentasi pada pasien dengan insufisiensi adrenal dari penyakit
kelenjar adrenal primer menggambarkan konsentrasi tinggi dari ACTH yang beredar di plasma
(Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).
Pemberian kortikosteroid jangka panjang menekan CRH dan menyebabkan atrofi dari aksis
hypothalamic-pituitari axis. Beberapa bulan diperlukan untuk mengembalikan aksis ini seperti
sedia kala setelah pengaruh supresinya berkurang. Pada pasien ini, tindakan dengan tingkat stress
tinggi selama periode perioperatif dapat mencetuskan hipotensi berat yang dapat mengancam
nyawa. Oleh karena itu sering diberikan suplementasi kortikosteroid pada pasien yang berisiko
memiliki supresi HPA axis (Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).

Thyroid-Stimulating Hormon
TSH mempercepat semua tahap proses pembentukan hormon tiroid, termasuk ambilan
awal dari iodide ke dalam kelenjar tiroid. TSH menyebabkan proteolysis dari tiroglobulin di
folikel-folikel sel tiroid untuk dilepaskan ke dalam sirkulasi. Sekresi TSH dari pituitari anterior
dikontrol oleh thyrotropin-releasing hormon dari hipotalamus bersamaan dengan sistem negative
feedback jalur ini. Stimulasi persarafan simpatis dan kortikosteroid dapat menekan sekresi TSH
dan menghilangkan aktivitas dari kelenjar tiroid. TRH tersebar luas di sistem saraf pusat dan
merupakan analeptic yang poten. TRH menstimulasi laju napas, menyebabkan tremor, dan
mengurangi waktu tidur (Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).
Stimulator tiroid kerja panjang merupakan antibody immunoglobulin A yang berikatan
dengan situs reseptor pada sel tiroid. Pengikatan ini dapat menyerupai efek TSH dan berperan
dalam hipertiroidisme, dan pasien dengan hipertiroidisme sering ditemukan konsentrasi protein ini
yang tinggi di dalam plasma. Hipothyroidism dengan peningkatan konsentrasi TSH di plasma
mengindikasikan adanya defek primer pada kelenjar tiroid (hipotiroidisme primer) dan pituitari
anterior berusaha menstimulasi keluaran hormonal dengan melepas TSH (Hillier dan Stoelting,
2006; Sherwood, 2015).

Pituitari Posterior
Arginine Vasopressine
Fungsi dari AVP antara lain vasokonstriksi, retensi air, dan sekresi kortikotropin.
Penurunan dari volume darah, peningkatan osmolalitas plasma dan penurunan tekanan arterial
dapat menstimulasi pelepasan AVP. Dengan hidrasi dan volume darah yang cukup sebelum
induksi anestesi, urine output di jaga dengan cara menekan pelepasan AVP yang diakibatkan oleh
stimulus nyeri atau kekurangan cairan sebelum pembedahan. Konsentrasi AVP di plasma sebagai
respon dari penurunan akut volume cairan eksraselular dapat menimbulkan efek vasopressor direk
pada arteriol dan berkontribusi sebagai maintenance dari tekanan darah. Administrasi morfin atau
opioid lain, tanpa adanya stimulus nyeri tidak mencetuskan pelepasan AVP. Ethanol menghambat
sekresi AVP. (Treschan dan Jurgen, 2006; Sherwood, 2015).
Ada tiga tipe reseptor AVP: V1, V2, dan V3. Stimulasi reseptor V1 (ditemukan pada otot
polos vascular) menyebabkan vasokonstriksi. AVP digunakan sebagai vasopressor pada keadaan
hipotensi intraoperative, sepsis, dan resusitasi jantung paru. Aktivasi reseptor V2 yang terletak di
sel-sel ductus kolektivus pada ginjal meningkatkan reabsorpsi dari air. AVP ditransportasi melalui
darah ke dalam ginjal dan berikatan dengan reseptor pada sisi kapiler dari tubulus distal renal dan
ductus kolektivus dari renal medularis. Interaksi reseptor-hormon menghasilkan formasi besar
cAMP, memasukkan aquaporin-2 ke dalam dinding ductus kolektivus sebagai jalan keluar air
untuk mengurangi osmolalitas. Hipokalemia, hiperkalsemia, kortisol, dan lithium dapat
memengaruhi sensitivitas ginjal terhadap AVP. AVP yang berikatan dengan reseptor V3 pada
adenohipofisis untuk melepaskan kortikotropin, menjelaskan bahwa hormon ini memengaruhi
respon stress (Treschan dan Jurgen, 2006; Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).
Destruksi saraf di sekitar supraoptik dan nucleus paraventricular dari hipotalamus akibat
pembedahan, trauma, iskemia serebri, atau keganasan pada pituitari menyebabkan penurunan
pelepasan vasopressin yang mampu mengakibatkan diabetes insipidus. Jika pituitari posterior
sendiri rusak, serat yang terpotong pada bagian batang pituitari dapat melanjutkan mensekresi
AVP. Diabetes insipidus akibat kekurangan pelepasan vasopressin selama pembedahan pituitari
biasanya bersifat sementara. Sekresi berlebihan dari AVP mengakibatkan retensi air dan
hiponatremi hipoosmolar dapat disebabkan karena trauma kepala, tumor intracranial, meningitis,
atau infeksi paru. (Treschan dan Jurgen, 2006; Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).

Oksitosin
Penghisapan payudara dan stimulus pada serviks maupun pelebaran vagina dapat
menstimulasi sekresi oksitosin. Oksitosin mengeluarkan susu dari kelenjar air susu melalui
kontraksi dari myoepitelium kelenjar tersebut. Oksitosin berikatan dengan protein G pada
permukaan myosit uterus untuk mencetuskan pelepasan kalsium dari reticulum sarkoplasma,
menunjukkan sebuah efek kontraksi pada uterus kehamilan. Oksitosin juga bersifat augmentasi
terhadap potensial aksi otot polos uterus. Jumlah besar oksitosin yang beredar menyebabkan
kontraksi uterus yang bertahan lama yang berfungsi dalam hemostasis postpartum. Aktivitas
oksitosin hanya sebesar 0.5% hingga 1% dibandingkan aktivitas antidiuretic dari AVP dan dapat
tersekresi secara mendadak dan sendiri tanpa disertai pelepasan AVP. (Treschan dan Jurgen, 2006;
Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).

Kelenjar Tiroid
Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan fasia prevertebralis. Di
dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus, pembuluh darah besar dan saraf. Kelenjar tiroid
melekat pada trakea dan fascia pretrakealis dan melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan belakang
kelenjar tiroid, tetapi letak dan jumlah kelenjar ini dapat bervariasi. Arteri karotis komunis, vena
jugularis interna dan nervus vagus terletak bersama dalam suatu sarung tertutup di latero dorsal
tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus
simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan prevertebralis (Guyton dan Hall,
2016; Sherwood, 2015).
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber antara lain arteri karotis superior
kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri dan kedua arteri tiroidea inferior kanan
dan kiri, cabang arteri brakhialis. Kadang kala dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari trunkus
brakiosefalika. Sistem vena terdiri atas vena tiroidea superior yang berjalan bersama arteri, vena
tiroidea media di sebelah lateral dan vena tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang
mensarafi laring dengan pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus
laringeus superior (Guyton dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).

Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang kemudian
berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik yang diserap dari
saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40
kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4 yang
dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4
kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian
mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat
tiroid Thyroid Binding Globulin (TBG) atau prealbumin pengikat albumin Thyroxine Binding
Prealbumine (TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid Stimulating Hormon (TSH) memegang
peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior
kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai umpan balik negatif sangat penting dalam proses
pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel parafolikular
yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolisme kalsium, yaitu
menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang (Guyton dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid yaitu Thyroid
Stimulating Hormon (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. Kelenjar ini secara
langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang
bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan terhadap sekresi
hormon pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing Hormon (TRH) dari hipotalamus (Guyton
& Hall, 2016).
Sebenarnya hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak langsung
oleh hormon tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu:
(Sherwood, 2015)
1. Efek pada laju metabolism
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh secara keseluruhan. Hormon
ini adalah regulator terpenting bagi tingkat konsumsi O2 dan pengeluaran energi tubuh
pada keadaan istirahat.
2. Efek kalorigenik
Peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan produksi panas.
3. Efek pada metabolisme perantara
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang terlibat dalam
metabolisme bahan bakar. Efek hormon tiroid pada bahan bakar metabolik bersifat
multifaset, hormon ini tidak saja mempengaruhi sintesis dan penguraian karbohidrat, lemak
dan protein, tetapi banyak sedikitnya jumlah hormon juga dapat menginduksi efek yang
bertentangan.
4. Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin), zat perantara kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis dan hormon
dari medula adrenal.
5. Efek pada sistem kardiovaskuler
Hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi jantung sehingga
curah jantung meningkat.
6. Efek pada pertumbuhan
Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi hormonpertumbuhan, tetapi juga mendorong
efek hormon pertumbuhan (somatomedin) pada sintesis protein struktural baru dan
pertumbuhan rangka.
7. Efek pada sistem saraf
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf terutama Sistem
Saraf Pusat (SSP). Hormon tiroid juga sangat penting untuk aktivitas normal SSP pada
orang dewasa.

Kelenjar Paratiroid
Kelenjar Paratiroid adalah sebuah kelenjar endokrin dileher yang memproduksi hormon
paratiroid. Manusia biasanya mempunyai empat kelenjar paratiroid, yang biasanya terdapat
dibagian belakang daripada kelenjar tiroid atau kelenjar yang dekat dengan kelenjar tiroid,
sehingga disebut dengan kelenjar “Paratiroid”, atau dikasus yang langka, didalam kelenjar tiroid
itu sendiri atau didalam dada. Hormon paratiroid mengontrol jumlah kalsium didarah dan didalam
tulang. Hormon paratiroid bisa menurun sangat rendah pada pasien post operasi pada
pengangkatan kelenjar tiroid karena ikut terangkatnya kelenjar paratiroid yang akibatnya adalah
penurunan kadar kalsium dalam darah hipokalsemia. Hormon paratiroid mengakibatkan
peningkatan reabsorpsi kalsium dari tulang, peningkatan reabsorpsi diginjal, peningkatan absorpsi
kalsium disaluran cerna oleh vitamin D. Namun peningkatan hormon paratiroid juga
mengakibatkan penurunan kadar fosfat dalam darah, karena hormon ini meningkatkan sekresi
dalam darah (Guyton dan Hall, 2016).
Kelenjar paratiroid tumbuh dari jaringan endoderm, yaitu sulcus pharyngeus ketiga dan
keempat. Kelenjar paratiroid yang berasal dari sulcus pharyngeus keempat cenderung bersatu dengan
kutub atas kelenjar tiroid yang membentuk kelenjar paratiroid dibagian kranial. Kelenjar yang
berasal dari sulcus pharyngeus ketiga merupakan kelenjar paratiroid bagian kaudal, yang kadang
menyatu dengan kutub bawah tiroid. Akan tetapi, sering kali posisinya sangat bervariasi. Kelenjar
paratiroid bagian kaudal ini bisa dijumpai pada posterolateral kutub bawah kelenjar tiroid, atau
didalam timus, bahkan berada dimediastinum. Kelenjar paratiroid kadang kala dijumpai di dalam
parenkim kelenjar tiroid (Guyton dan Hall, 2016).
Secara normal ada empat buah kelenjar paratiroid pada manusia, yang terletak tepat
dibelakang kelenjar tiroid, dua tertanam di kutub superior kelenjar tiroid dan dua di kutub
inferiornya. Namun, letak masing-masing paratiroid dan jumlahnya dapat cukup bervariasi,
jaringan paratiroid kadang-kadang ditemukan di mediastinum. Setiap kelenjar paratiroid
panjangnya kira-kira 6 milimeter, lebar 3 milimeter, dan tebalnya dua millimeter dan memiliki
gambaran makroskopik lemak coklat kehitaman (Guyton dan Hall, 2016).
Kelenjar paratiroid orang dewasa terutama mengandung sel utama (chief cell) yang
mengandung apparatus Golgi yang mencolok plus retikulum endoplasma dan granula sekretorik
yang mensintesis dan mensekresi hormon paratiroid (PTH). Sel oksifil yang lebih sedikit namun
lebih besar mengandung granula oksifil dan sejumlah besar mitokondria dalam sitoplasmanya.
Pada manusia, sebelum pubertas hanya sedikit dijumpai, dan setelah itu jumlah sel ini meningkat
seiring usia, tetapi pada sebagian besar binatang dan manusia muda, sel oksifil ini tidak ditemukan.
Fungsi sel oksifil masih belum jelas, sel-sel ini mungkin merupakan modifikasi atau sisa sel utama
yang tidak lagi mensekresi sejumlah hormon (Ganong, 2003; Guyton dan Hall, 2016; Sherwood,
2015).

Fisiologi
Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid (parathiroid hormon, PTH) yang
bersama-sama dengan Vit D3, dan kalsitonin mengatur kadar kalsium dalam darah. Sintesis PTH
dikendalikan oleh kadar kalsium plasma, yaitu dihambat sintesisnya bila kadar kalsium tinggi dan
dirangsang bila kadar kalsium rendah. PTH akan merangsang reabsorbsi kalsium pada tubulus
ginjal, meningkatkan absorbsi kalsium pada usus halus, sebaliknya menghambat reabsorbsi fosfat
dan melepaskan kalsium dari tulang. Jadi PTH akan aktif bekerja pada tiga titik sasaran utama
dalam mengendalikan homeostasis kalsium yaitu di ginjal, tulang dan usus. (Guyton dan Hall,
2016).
Kelenjar adrenal
Corticotropin Releasing Hormon (CRH) merupakan regulator hipotalamus utama dalam
pelepasan ACTH (Adrenocorticotropic releasing hormon). CRH terutama disintesis di
parvoselular hipotalamus tetapi juga disintesis di dalam neuron magnoseluler dari nukleus
paraventrikuler (NPV). Neuron CRH dari NPV menerima jaras aferen adrenergik dari nukleus
traktus solitarius, locus coeruleus, dan medula ventrolateral. CRH disekresikan kedalam sirkulasi
portal hipofisis dan mengikat diri pada ikatan reseptor CRH tipe 1 (CRH-R1) di hipofisis anterior
untuk menstimulasi transkripsi pro-opiomelanocortin (POMC) melalui proses yang melibatkan
aktivasi adenilatsiklase (Ganong, 2003; Guyton dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).
Aksis hipotalamus-hipofisis adrenal juga diatur oleh irama biologis yang dihasilkan oleh
interaksi kompleks genetik dari pemicu sirkardian endogen dan lingkungan. ACTH disekresi
secara pulsatil dengan irama sirkardian yang menyebabkan kadar tertinggi saat bangun pagi dan
menurun sepanjang hari, sehingga mencapai titik terendah pada saat malam hari. Pengatur Aksis
HPA lainnya adalah stres, merupakan komponen utama dari CRH dan sistem autonom locus
coeruleus-norepinephrine yang merupakan pemicu bagi aksis tersebut (Ganong, 2003; Guyton dan
Hall, 2016; Sherwood, 2015).
Adapun fungsi CRH adalah menstimulasi transkripsi gen POMC secara invivo dan invitro
sebagai respon dari stres dan adrenalektomi. ACTH yang disintesis didalam hipofisis anterior
sebagai bagian besar dari prekursor POMC241-aminoacid adalah hormon utama dalam
memproses biosintesis dan sekresi glukokortikoid adrenal. Angiotensin-II, aktivin, inhibin, dan
sitokin (TNF-β dan leptin) bersinergi dengan menghambat ACTH dari korteks adrenal (Ganong,
2003; Guyton dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).
Aspek penting lainnya dari regulasi aksis HPA adalah kontrol umpan balik negatif yang
dilakukan oleh glukokortikoid yang menghambat ekspresi basal dari CRH dan sintesis dan sekresi
AVP mRNA di hipotalamus dan juga menghambat transkripsi gen POMC di hipofisis anterior.
Efek glukokortikoid diperoleh dengan mengaktivasi reseptor sitosol yang termasuk kelompok
reseptor nuklear kortikosteroid tipe 1 atau mineralokortikoid dan glukokortikoid tipe 2. Beberapa
mekanisme lainnya paling banyak melibatkan regulasi secara transkripsi ekspresi gen (Ganong,
2003; Guyton dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).
Salah satu faktor terpenting pengaturan akses dari glukokortikoid endogen ke reseptornya
adalah melalui metabolisme lokal dari steroid didalam sel target oleh enzim 11β-
hidroksikortikosteroid dehidrogenase (11 β-HSD), sebuah fenomena yang kadang-kadang
ditentukan oleh metabolisme prereseptor. Kortisol/kortikosteron bertanggung jawab untuk
memelihara homeostasis garam dan air, kontrol tekanan darah, dan mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein, lemak, dan tulang. Kortisol juga pengatur utama dari sistem pertahanan tubuh
dan proses inflamasi yang memerlukan banyak proses yang berkaitan dengan pertahanan host.
Disisi lain terapi glukokortikoid jangka panjang dan lama menimbulkan kerusakan besar bagi
tubuh (Ganong, 2003; Guyton dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).
Aktivasi aksis HPA oleh stres merupakan regulasi penting pada kebanyakan mamalia untuk
mempertahankan homeostasis dari beberapa jenis ancaman terhadap dirinya. Pada keadaan stres,
aksis HPA dikendalikan oleh CRH, pensekresi utama ACTH, juga AVP dan oksitosin tetapi
merupakan pensekresi lemah ACTH. Neuropeptida tersebut menginduksi pelepasan ACTH dari
hipofisis anterior, sehingga memicu pelepasan glukokortikoid dari kelenjar adrenal (Ganong,
2003; Guyton dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).

Penurunan pemakaian glukosa selular


Kortisol juga menyebabkan penurunan kecepatan pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh.
Walaupun penyebab penurunan ini tidak diketahui, sebagian ahli fisiologi percaya bahwa pada
suatu tempat yang terletak diantara tempat masuknya glukosa kedalam sel dan tempat pecahnya
kortisol yang terakhir, secara langsung memperlambat kecepatan pemakaian glukosa. Dugaan
mekanisme ini didasari pada pengamatan yang menunjukkan bahwa glukokortikoid menekan
proses oksidasi nikotinamid-adenin dinukleotida (NADH) untuk membentuk NAD+. Oleh karena
NADH harus dioksidasi agar menimbulkan glikolisis, efek ini dapat berperan dalam mengurangi
pemakaian glukosa oleh sel (Guyton dan Hall, 2016).

Metabolisme protein
Berkurangnya asam amino yang diangkut ke sel-sel ekstrahepatik akan mengurangi
konsentrasi asam amino intraseluler dan akibatnya akan mengurangi sintesis protein. Namun
proses katabolisme protein yang terjadi didalam sel terus melepaskan asam amino dari protein
yang sudah ada, dan asam amino ini akan berdifusi keluar dari sel-sel tubuh untuk meningkatkan
konsentrasi asam amino dalam plasma. Kortisol memiliki efek seperti (1) peningkatan kecepatan
deaminasi asam amino oleh hati, (2) peningkatan sintesis asam amino oleh hati, (3) peningkatan
pembentukan protein plasma oleh hati, dan (4) peningkatan perubahan asam amino menjadi
glukosa-yaitu meningkatkan glukoneogenesis (Guyton dan Hall, 2016).

Metabolisme lemak
Pada kelenjar adiposa terlihat efek yang dominan berupa peningkatan lipolisis dengan
melepaskan gliserol dan asam lemak bebas. Efek tersebut merupakan stimulasi lipolisis secara
langsung oleh glukokortikoid, tetapi hal ini juga diakibatkan oleh penurunanan ambilan glukosa
oleh efek glukokortikoid yang bertindak sebagai hormon lipolisis (Ganong, 2003; Guyton dan
Hall, 2016).
Walaupun hormon glukokortikoid bertindak sebagai hormon lipolisis, tetapi dapat
bertindak juga sebagai deposisi lemak yang merupakan manifestasi klasik sebagai kelebihan
hormon glukokortikoid. Kejadian yang berlawanan ini mungkin disebabkan oleh peningkatan
nafsu makan yang disebabkan oleh kelebihan kadar steroid dan juga oleh efek lipogenik akibat
hiperinsulinemia yang terjadi pada keadaan tersebut (Guyton dan Hall, 2016).

Adaptasi terhadap stres


Segala jenis stres merupaksan rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol.
Meskipun peran persis kortisol dalam adaptasi stres belum diketahui namun penjelasan spekulatif
dan masuk akal adalah sebagai berikut. Manusia primitif atau hewan yang terluka atau menghadapi
situasi yang mengancam nyawa harus bertahan tanpa makan. Pergeseran dari penyimpanan protein
dan lemak ke peningkatan simpanan karbohidrat dan ketersediaan glukosa darah yang ditimbulkan
oleh kortisol akan membantu melindungi otak dari malnutrisi selama periode puasa terpaksa
tersebut. Karena itu terjadi peningkatan cadangan glukosa, asam amino, dan asam lemak yang
dapat digunakan sesuai kebutuhan (Udelsman R, Goldstein DS, Loariaus DL, et al. 1987;
Sherwood 2015).

Efek glukokortikoid sebagai anti-inflamasi dan anti-alergi


Glukokortikoid menghambat respon inflamasi pada jaringan yang rusak. Glukokortikoid
juga menekan terjadinya manifestasi alergi karena pelepasan histamin dari sel mast dan basofil.
Kedua efek tersebut mememerlukan kadar glukokortikoid disirkulasi yang tinggi. Pengurangan
inflamasi lokal terjadi akibat penurunan pelepasan enzim fosfolipase A2 oleh hormon tersebut.
Hal ini mengakibatkan pengurangan pelepasan asam arakidonat dari jaringan fosfolipid dan
sebagai konsekuensinya adalah penurunan pembentukan leukosit, tromboksan, prostaglandin, dan
prostasiklin (Ganong, 2003; Guyton dan Hall, 2016).

Pengaturan sekresi glukokortikoid


Sekresi kortisol oleh korteks adrenal diatur oleh sistem umpan balik negatif yang
melibatkan hipotalamus dan hipofisis anterior. ACTH dari hipofisis anterior merangsang korteks
aadrenal untuk mengeluarkan kortisol. ACTH berasal dari sebuah molekul prekursor besar,
propriomelanokortin, yang diproduksi oleh reticulum endoplasma sel-sel penghasil ACTH
hipofisis anterior. Sebelum sekresi, prekursor besar ini dipotong menjadi ACTH dan dan beberapa
peptida lain yang aktif secara biologis, yaitu, melanocyte-stimulating hormon (MSH) dan suatu
bahan mirip-morfin, β-endorfin (Sherwood, 2015).
Karena bersifat tropik bagi zona fasikulata dan zona retikularis, maka ACTH merangsang
pertumbuhan dan sekresi kedua lapisan dalam korteks ini. Jika ACTH tidak terdapat dalam jumlah
memadai maka lapisan-lapisan ini akan menciut dan sekresi kortisol merosot drastis. Sel penghasil
ACTH selanjutnya, hanya mengeluarkan produknya atas perintah corticotropin-releasing hormon
(CRH) dari hipotalamus. (Sherwood, 2015)

Ritme sirkardian dari sekresi glukokortikoid


Kecepatan sekresi CRH, ACTH, kortisol semuanya tinggi pada awal pagi hari, tetapi
rendah pada akhir sore hari, kadar kortisol plasma berkisar antara kadar paling tinggi kira-kira 20
𝜇g/dL, satu jam sebelum matahari terbit dipagi hari dan paling rendah kira-kira 5 𝜇g/dL, sekitar
tengah malam. Efek ini dihasilkan dari perubahan siklus sinyal dari hipotalamus selama 24 jam
yang menimbulkan sekresi kortisol. Bila seseorang mengubah kebiasaan tidur sehari-harinya,
maka akan timbul perubahan siklus ini juga (Ganong, 2003; Guyton dan Hall, 2016).

Kelenjar Pankreas
Hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pancreas mempermudah gerakan glukosa
dari darah menuju ke sel – sel tubuh menembus membrane sel. Tubuh mengambil kelebihan
glukosa dengan cara mensekresikan insulin untuk menyeimbangkannya pada kadar normal.
Sebaliknya glukagon bekerja secara berlawanan terhadap insulin. Glukagon berfungsi mengubah
glikogen menjadi glukosa sehingga kadar glukosa naik. Karena tubuh tidak mendapatkan asupan
glukosa ketika berpuasa, maka tubuh mensekresikan glukagon untuk menyeimbangkan
kekurangan glukosa tersebut (Ganong, 2003; Guyton dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).
Peningkatan glukosa darah diatas nilai normal (sekitar 90mg/100ml pada manusia)
merangsang pankreas untuk mensekresi insulin, yang memicu sel –sel targetnya untuk mengambil
kelebihan glukosa dari darah. Ketika kelebihan itu telah dikeluarkan atau ketika konsentrasi
glukosa turun dibawah titik pasang, maka pancreas akan merespons dengan cara mensekresikan
glukagon, yang mempengaruhi hati untuk menaikkan kadar glukosa darah (Ganong, 2003; Guyton
dan Hall, 2016; Sherwood, 2015).

Ovarium
Merupakan kelenjar kelamin wanita yang berfungsi menghasilkan sel telur, hormon
estrogen dan hormon progesterone. Sekresi estrogen dihasilkan oleh folikel de Graaf dan
dirangsang oleh FSH. Hormon estrogen berfungsi menimbulkan dan mempertahankan tanda –
tanda kelamin sekunder pada wanita, misalnya perkembangan pinggul, payudara, serta kulit
menjadi halus. Hormon progesteron dihasilkan oleh korpus luteum dan dirangsang oleh LH.
Progesteron berfungsi mempersiapkan dinding uterus agar dapat menerima sel telur yang sudah
dibuahi. Siklus hormonal yang memengaruhi siklus menstruasi yaitu: (Ganong, 2003; Guyton dan
Hall, 2016; Sherwood, 2015).
 FSH-RH (follicle stimulating hormon releasing hormon) yang dikeluarkan
hipotalamus untuk merangsang hipofisis mengeluarkan FSH.
 LH-RH (luteinizing hormon releasing hormon) yang dikeluarkan hipotalamus
untuk merangsang hipofisis mengeluarkan LH.
 PIH (prolactine inhibiting hormon) yang menghambat hipofisis untuk
mengeluarkan prolaktin.
Pada setiap siklus menstruasi, FSH yang dikeluarkan oleh hipofisis merangsang
perkembangan folikel-folikel di dalam ovarium (indung telur). Pada umumnya hanya 1 folikel
yang terangsang namun dapat perkembangan dapat menjadi lebih dari 1, dan folikel tersebut
berkembang menjadi folikel de graaf yang membuat estrogen. Estrogen ini menekan produksi
FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon yang kedua yaitu LH. Produksi hormon LH
maupun FSH berada di bawah pengaruh releasing hormons yang disalurkan hipotalamus ke
hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap hipotalamus
(Guyton dan Hall, 2016).
Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan
dari folikel de graaf yang mengandung estrogen. Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dari
endometrium. Di bawah pengaruh LH, folikel de graaf menjadi matang sampai terjadi ovulasi.
Setelah ovulasi terjadi, dibentuklah korpus rubrum yang akan menjadi korpus luteum, di bawah
pengaruh hormon LH dan LTH (luteotrophic hormons, suatu hormon gonadotropik). Korpus
luteum menghasilkan progesteron yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kelenjar endometrium.
Bila tidak ada pembuahan maka korpus luteum berdegenerasi dan mengakibatkan penurunan kadar
estrogen dan progesteron. Penurunan kadar hormon ini menyebabkan degenerasi, perdarahan, dan
pelepasan dari endometrium. Proses ini disebut haid atau menstruasi. Apabila terdapat pembuahan
dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut dipertahankan (Ganong, 2003; Guyton dan Hall,
2016; Sherwood, 2015).

Testis
Testis pada mammalia terdiri dari tubulus yang dilapisi oleh sel – sel benih (sel germinal),
tubulus ini dikenal dengan tubulus seminiferus. Testis mensekresikan hormon testosterone yang
berfungsi merangsang pematangan sperma (spermatogenesisi) dan pembentukan tanda – tanda
kelamin pria, misalnya pertumbuhan kumis, janggut, bulu dada, jakun, dan membesarnya suara.
Sekresi hormon tersebut dirangsang oleh ICTH yang dihasilkan oleh hipofisis bagian anterior.
Sewaktu pubertas, hipofisis anterior memproduksi gonadotropin, yaitu hormon FSH dan LH.
Sekresi kedua hormon ini dipengaruhi oleh GnRF (Gonadotropin Releasing Factor) yang berasal
dari hipotalamus (Hillier dan Stoelting, 2006; Sherwood, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Ganong, WF. (2003). Review of Medical Physiology. 21st ed. New York, NY: Lange Medical
Books/McGraw Hill; 2003.

Hall, J. and Guyton, A. (2016). Guyton and Hall textbook of medical physiology. Philadelphia,
PA: Elsevier.

Hillier S, Stoelting RK. (2006). Pharmacology & physiology in anesthetic practice. Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins.

Sherwood, L. (2015). Human physiology: from cells to sistems. Pacific Grove, Calif, Brooks/Cole.

Treschan T, Jurgen P. (2006). The vasopressin sistem: physiology and clinical strategies.
Anesthesiology. 105:599–612.

Udelsman R, Goldstein DS, Loariaus DL, et al. (1987). Catecholamine glucocorticoid interactions
during surgical stress. J Surg Res. 43:539–545.

Anda mungkin juga menyukai