Anda di halaman 1dari 14

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum


atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan
mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama
atau kepercayaan Ilahiah. Manusia ingin memperoleh keterangan mengenai asal-usul alam
semesta. Manusia bahkan ingin mengenali dirinya sendiri, mengenai eksistensinya,
hakikatnya, tujuan hidupnya, dsb. Hal ini semua membawa manusia kea lam filsafat dan
ilmu. Menurut Rindjin (1987:11) ada tiga faktor yang mendorong dan menjadi sumber
imbulnya filsafat dan ilmu yaitu akal-budi, thauma, dan aporia.

Sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan
manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada
dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran,
yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren,
dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Selanjutnya terkait dengan masalah yang dihadapi oleh manusia (aporia), manusia
tidak bias lepas dari masalah dalam perjalanan hidupnya. Masalah yang dihadapi manusia
bukan hanya dari segi praktis dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dari segi teoritis seperti
apa itu UFO? Benarkah ada makhluk di planet lain? Masalah itu juga dapat dibedakan
menjadi masalah mendasar (fundamental problems) dan masalah yang mendesak (immediate
problems). Munculnya masalah yang tersebut di atasa membawa manusia kea lam filsafat dan
ilmu.

Selain itu, rasa ingin tahu manusia yang sangat besar dan didorong rasa kagum
(thauma) mempengaruhi manusia untuk mempelajari filsafat dan ilmu. Manusia kagum
dengan semua ciptaan Tuhan. Dari kekaguman itu, muncullah rasa ingin tahu terhadap asal-
usul alam semesta. Untuk mengetahu itu manusia terbawa kea lam filsafat dan ilmu.

Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang
bertanya. Objek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan
segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal. Sonny Keraf

1
Filsafat Ilmu
dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir tentang
segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang..

Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat dan
ilmu, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan ilmu
dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat dan ilmu
bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat
dan ilmu pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat
dan ilmu begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan.

B. Batasan Masalah

Batasan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah sejarah filsafat?

2. Bagaimanakah sejarah ilmu?

3. Bagaimanakah arah dan fungsi filsafat dan ilmu?

C. Tujuan

Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui sejarah filsafat.


2. Untuk mengetahui sejarah ilmu.
3. Untuk mengetahui arah dan fungsi filsafat ilmu.

2
Filsafat Ilmu
BAB II

Pembahasan

2.1 Sejarah Filsafat

Berbicara tentang filsafat seringkali perhatian hanya tertuju pada filsafat barat.
Padahal filsafat timur lebih dulu muncul. Bahakan dalam beberapa hal ada persamaannya,
sekalipun tidak terjadi hubungan batin antara filusuf timur dengan barat. Maka dari itu
pembahasan mengenai sejarah filsafat dalam makalah ini dinagi menjadi dua yaitu (a) sejarah
filsafat timur dan (b) sejarah filsafat barat

a. Filsafat Timur

‘Filsafat Timur’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya
di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri
khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Menurut Rindjin
(1987:12) sejarah perkembangan filsafat timur dibedakan menjadi dua yaitu filsafat India dan
filsafat Tiongkok. Filsafat India dibedakan menjadi empat zaman. Zaman yang pertama
adalah zaman weda (±1500-600 SM). Pada zaman ini dikenal adanya weda samhita,
brahmana, upnisad. Zaman yang kedua adalah zaman wiracarita (±600 SM). Pada zaman ini
dikenal dengan adanya budhisme dan bhagawadgita. Selanjutnya, yang ketiga adalah zaman
sutra (±200M). Pada zaman ini dikenal dengan adanya nyaya, waisiseka, sankhya, yoga,
purwa, mimamsa, dan wedanta. Zaman yang terakhir adalah zaman skolastik (±200M). Pada
zaman ini dikenal dengan adanya adwaita, wisistadwaita dan Dwaita. Nama-nama beberapa
filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu,
Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

b. Filsafat Barat

‘Filsafat Barat’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-
universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi
falsafi orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat
mengalami pemutusan rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge,
Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan

3
Filsafat Ilmu
eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh
negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi
sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John Salisbury,
seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon
karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh
filosof Islam pada dinasti Abbasyah. Selanjutnya, sejarah filsafat barat dapat di bedakan
menjadi lima periode. Penjelasan masing-masing periode tersebut adalah sebagai berikut.

Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM

Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang
dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber
kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup adalah ikan dan menusia yang
pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air.
Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya
dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat
dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia
dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam
tubuh manusia. Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal
yang lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato,
Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan lain sebagainya.

Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)


Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja
yang pro kepada gereja, dengan para ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat
mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-
olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan
para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.

Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)


Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang
menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam
ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai
buku inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki,
Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika,

4
Filsafat Ilmu
Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi
ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan
kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun
ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan
penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami
kemundurran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa
orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang
disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius
Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah
belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat
pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat
Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah
Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya
kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris,
tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan
berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan
filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399
SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya
yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat
lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak
belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan
Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya
Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus
mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu Rushd.
Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur,
Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah
5
Filsafat Ilmu
Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya
kedua orang ini bisa menjadi sahabat. Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di
Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran
berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih
dikenal sebagai seorang filosof.

Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik
untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah
memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah
yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa
yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya
Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat
menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan
kurang bernilai. Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama
yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang
berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk
menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali
berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk
mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf
(mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam
karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan
dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961)
menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal
keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan
bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat
dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu
Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd
(Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu
Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang
menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh

6
Filsafat Ilmu
Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah
masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.

Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)


Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami
kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan
terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd
diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa
kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain
dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun
1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis
Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW.
Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari
Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182. Seperti halnya
yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd
dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga
sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal
Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu
Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai
berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang
kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke
dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk
mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin.
Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil terjemahan
Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil
menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian
pertama dari Kitab Anima. Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk
menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah
dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk
mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan

7
Filsafat Ilmu
diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama
Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan
Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada
pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun
1328.

Periode Kelima Filsafat Modern (Abad 17-20 M)


Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan
menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran
bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut
adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia
islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku
Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran
pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan
penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan
dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen
Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung
Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para
ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan
perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk
berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak
berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya
yang berjudul Social Contak.

Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit
dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali
pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan
lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam
untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh
Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab
suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun
tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan

8
Filsafat Ilmu
bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran
empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin,
maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua
pendapat berbeda itu. Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M).
Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang
jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya,
secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini,
maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.

Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang
tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa
“aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan
adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito
ergo sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat
disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan
terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan
terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes
dalam menentukan kebenaran. Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang
percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran. Aliran empririsme nyata dalam
pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun
yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi
merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan
tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang
bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu
sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang
dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan
bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia
yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita
tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun
hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant,

9
Filsafat Ilmu
ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui
sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan
bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi
batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang
tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh
pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat
masa kini. Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalist diwakili Descartes,
Empirist diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain.

2.2 Sejarah Ilmu

Ada lima zaman yang menandai sejarah ilmu. Zaman itu antara lain zaman Pra-
sejarah, zaman Yunani, Zaman Romawi, zaman Abad Pertengahan, dan zaman Modern.
Berikut dijelasakan tiap zaman yang tersebut di atas.

a. Zaman Pra sejarah


Pada zaman pra sejarh manusia sudah mampu mengatasi rintangan menuju
pemenuhan kebutuhannya hidupnya yang semakain berkembang melalui
trikhotominya. Hal ini terbukti mulai dari zaman batu. Pada zaman ini manusia sudah
mempunyai bermacam-macam alat seperti kapak, pisau, dan palu yang terbuat dari
batu atau kayu. Selanjutnya pada zaman batu muda manusia sudah memulai usahanya
dalam bidang pertanian dengan alat-alat seperti cangkul, sabit dan alat menumbuk.
Kemudian berlanjut ke zaman logam. Zaman ini menjadi dasar peningkatan
keterampilan manusia. Demikianlah perkembangan ilmu pada zaman pra-sejarah.
Perkembangan ilmu secara perlahan sejalan dengan perkembangan manusia.
b. Zaman Yunani
Zaman ini menjadi dasar yang sangat kuat untuk kemajuan ilmu. Pada zaman
Yunani ilmu dicari bukan hanya untuk keperluan tetapi sudah dikembangkan secara
sadar. Berbeda dengan zaman sejarah, pada zaman ini sudah dikenal nama-nama
perintis ilmu. Salah satu perintis ilmu dan peletak dasar ilmu adalah Thales dan
Militus (±600M). Ia telah menemukan konsep geometrid dan astronomi. Selain Thales
dan Militus, Phytagoras, Hippocrates, Socrates, Aristoteles, Plato, dan Aristoteles
merupakan perintis ilmu. Semua ilmu yang telah dirintis pada zaman ini merupakan
tanah yang subur dan udara yang segar bagi pertumbuhan ilmu selanjutnya.
10
Filsafat Ilmu
c. Zaman Romawi
Pada zaman ilmu masih berkembang dalam semangat Yunani. Dua nama yang
terkenal dari sekolah aleksandria adalah Ptolemy (±140 M) dan Galen (±130-200).
Ptolemy memiliki sejumlah alat-alat astronomi yang memungkinkan mengukur jarak
bulan dari bumi dan hasilnya pun tidak jauh berbeda dengan sekarang. Sedangkan
Galen memusatkan perhatian pada anatomi dan biologi. Selanjutnya peranan romawi
adalah dalam bidang hukum, administrasi, dan ilmu perang.
d. Zaman Abad Pertengahan
Pada zaman ini perkembangan ilmu di eropa mengalami penghalangan dari
kekuatan monarsi absolout dan gereja yang begitu keras dan ketat. Walaupun ada
penghalang, zaman ini memberikan sumbangan terhadap pekembangan ilmu. Menurut
Mason (dalam Rindjin, 1987:36) ada banyak penemuan pada zaman ini antara lain (1)
water wheel, (2) wind power, (3) new navigational discoveries, (4) paper making dan
printing, (5) gunpowder and firearms.
Walaupun pada zaman ini kemajuan ilmu di eropa mengalami hambatan, di
Arab ilmu mengalami perkembangan terutama pada bidang ilmu kimia, ilmu biologi,
matematika dan astronomi. Kemajuan ilmu dibuktikan antara lain oleh tulisan
Mohamed Ibn Musa Al-Khowarismi (algebra), rhazos (kimia), dan Avicenna
(medicine)
e. Zaman Modern
Pada zaman ini eropa barat mengalami kebangkitan. Persentuhan budaya
dengan dunia timur dan timbulnya pandangan-pandangan baru dalam wujud
humanisme, realism dan ratiolisme menjadi faktor bangkitnya eropa barat. Dengan
bangkitnya eropa barat kembalilah muncul semangat baru untuk mengadakan
penyelidikan dan pengembanagan ilmu. Pada zaman ini karya Plato dan aristoteles
menjadi ajang studi yang menarik. Salah satu penemuan pada zaman ini adalah the
heliocentric theory of the solar system by Copernicus. Ilmuwan yang terkenal pada
zaman ini adalah Copernicus, Kepler, Galileo, Boyle, Descartez dan Newton.
f. Zaman Otomasi
Pada zaman ini perkembangan ilmu pengetahuan ditujukan untuk
kesejahteraan umat manusia guna mengatasi kelesuan sebagai akibat dari perang
dunia II. Pada zaman pemikiran tentang sistem berkembang terus. Kemajuan di
bidang system berpengaruh bukan hanya untuk kepentingan ilmu tetapi juga untuk

11
Filsafat Ilmu
aspek-aspek kehidupan manusia dalam bidang politik, ekonomi, perhubungan, dan
sebagainya. Karena itulah pada zaman ini disebut dengan otomasi.
Otomasi dapat menggantikan sebagaian dari tenaga manusia, peranan kerja
tangan, peranan kerja otaknya dan juga kerja mata dan telinga. Oleh sebab itu otomasi
disebut dengan the exstension of man.

2.3 Arah dan Fungsi Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu bertugas memberikan landasan filosofik untuk minimal
memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan
kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara substansif, menurut Muhadjir
(1998:2) fungsi filsafat ilmu adalah untuk memperoleh pembekalan dari disiplin-
disiplin ilmu masing-masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya,
secara teknis pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa fungsi filsafat ilmu secara mendasar
adalah mengembangkan ilmu sehingga dapat mengoperasionalkan pengembangan
konsep, tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.
Agar mahasiswa berwawasan luas, ada keterbukaan, dan dapat saling
memahami alur pikir ilmiah yang berbeda-beda, maka filsafat ilmu perlu diarahkan ke
pembekalan berbagai wawasan utama yang sampai sekarang tumbuh dominan..
Menurut Muhadjir (1998:2) makna wawasan mencakup arti filosofik, teoritik,
metodologik, sampai teknik operasionl. Tetapi karena telaah ini adalah filsafat ilmu
maka fokus telaahnya adalah wawasan dalam makna filosofik dan akan sangat
berguna, bila terdeskripsikan juga implikasi dan implementasi teorik, dan
metodologiknya.

12
Filsafat Ilmu
Bab II

Penutup

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Sejarah filsafat dapat dibagi menjadi dua yaitu sejarah filsafat timur dan sejarah
filsafat barat. Filsafat timur memiliki ciri khas dekatnya hubungan filsafat dengan
agama. Sejarah filsafat timur dibedakan menjadi dua yaitu filsafat India dan filsafat
Tiongkok. Filsafat India dibedakan menjadi empat zaman. zaman weda (±1500-600
SM), zaman wiracarita (±600 SM). zaman sutra (±200M). zaman skolastik (±200M).
Beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao
Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong. Selanjutnya, filsafat barat’
adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa
dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang
Yunani kuno. Sejarah filsafat barat memiliki lima periode yaitu periode filsafat
Yunani, periode setelah kelahiran Al Masih, periode kejayaan Islam, periode
kebangkitan Eropa, dan periode filsafat Modern
2. Sejarah ilmu dapat dibagi menjadi lima zaman. Zaman itu antara lain zaman Pra-
sejarah, zaman Yunani, Zaman Romawi, zaman Abad Pertengahan, dan zaman
Modern.
3. Arah filsafat dan ilmu adalah wawasan dalam makna filosofik. Selanjutnya, fungsi
filsafat ilmu adalah untuk memperoleh pembekalan dari disiplin-disiplin ilmu masing-
masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis
pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep

B. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah sejarah sangat penting untuk
dipelajari. Dengan mengetahui sejarah bisa diketahui kenapa manusia bisa berada
seperti zaman sekarang. Begitu juga dengan filsafat dan ilmu, perkembangan filsafat
dan ilmu mencapai seperti sekarang tentu ada yang mengawali sehingga bisa
dikembangkan. Hanya dengan mempelajari sejarah tentang filsafat dan ilmu bisa
diketahui awal munculnya filsafat dan ilmu.

13
Filsafat Ilmu
Daftar Pustaka

Muhadjir. 1998. Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif.Yogyakarta:


Rake Sarasin.
Rindjin, Ketut. 1987. Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Bandung: C.V.
Kayumas.

14
Filsafat Ilmu

Anda mungkin juga menyukai