PENDAHULUAN
Pada kasus ini akan dibahas tentang penatalaksanaan dari bidang anestesi
berupa teknik general anestesi pada eksisi celle pada meningocelle.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERSIAPAN PRAANESTESI
Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah
kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan
pembedahan, baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Pada kasus elektif biasanya dilakukan satu
sampai dua hari sebelum operasi sedangkan pada kasus darurat dilakukan
lebih singkat. Adapun tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk
mempersiapkan mental dan fisik secara optimal, merencanakan dan
memilih teknik serta obat – obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien, serta menentukan status fisik pasien dengan klasifikasi
ASA (American Society Anesthesiology), antara lain (Morgan, 2013) :
2
B. PREMEDIKASI ANESTESI
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
C. ANESTESI UMUM
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri.
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya
persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain
hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri
atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP
secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat
dikontrol(Munaf, 2008). Obat anastesi umum dapat diberikan secara
inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara
inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di
antaranya adalah N2O, halotan, isofluran, desfluran, sevofluran. Obat
anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu barbiturat,
benzodiazepin dan beberapa obat khusus seperti ketamin, etomidate serta
propofol. (Morgan, 2015).
3
Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi
obat-obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang
terdiri dari:
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin
(misalnya, midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk
mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental
(Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan
4
b. Kekurangan
- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya
terkait.
- Mual: 10-40 %
- Sakit tenggorokan: 25 %
- Nyeri Insisional: 30 %
5
2. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal
Sifat anestesi umum yang ideal adalah:
1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik
2) cepat mencapai anestesi yang dalam
3) batas keamanan lebar
4) tidak bersifat toksis.
Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara
langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau
tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi
dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar
obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).
3. Anestesi Inhalasi
a. Minimum Alveolar Concentration (MAC)
Adalah konsentrasi alveolar dari agen anestesi inhalasi yang
dapat mencegah pergerakan dari 50% pasien pada stimulus
standar ( contoh, insisi pembedahan). MAC merupakan ukuran
yang berguna karena mencerminkan tekanan parsial otak,
menyediakan perbandingan dari potensi antara agen, dan
menyediakan standar untuk evaluasi eksperimen (Tabel 3).
Meskipun demikian, harus diingat bahwa MAC merupakan
nilai median dengan kegunaan terbatas dalam mengatur pasien,
khususnya selama perubahan konsentrasi alveolar secara cepat,
salah satunya pada saat induksi.
6
Tabel 1. Properti Agen Inhalasi
7
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi MAC
8
dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta
pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang
diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya
hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat
selama anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan
vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008).
ii. Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat
menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas
terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2.
Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi
spasme bronkus (Munaf, 2008).
iii. Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang
menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008).
iv. Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke
ginjal disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf,
2008). e. Hati Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).
v. Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna
dalam manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta)
(Munaf, 2008). Metabolisme Sebanyak 80% hilang melalui gas
yang dihembuskan, 20% melalui metabolisme di hati.
Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf,
2008). Keuntungan dan Kerugian potensi anestesi umum kuat,
induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas tidak ada,
serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan kerugiannya
adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard
terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran
9
darah serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial (Munaf, 2008).
b. Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak
karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat
dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial
(Munaf, 2008).
c. Efek samping/Toksisitas
1) Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien
yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas,
wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode
waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler;
uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat
juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).
2) Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot
rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum,
hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen
yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari
retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).
2. Isofluran
a. Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada
dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan
sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap
katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh
vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang
berlebihan (Munaf, 2008).
10
2) Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia
ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas
(Munaf, 2008).
3) Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal
rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun
(Munaf, 2008).
4) Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen
metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk
bedah saraf (Munaf, 2008).
b. Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan
pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf, 2008).
c. Keuntungan dan Kerugian Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak
bersifat aritmogenik, tekanan ntrakranial tidak meningkat,
bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan napas
sedang (Munaf, 2008).
3. Desfluran
Struktur desflurane sangat mirip dengan isoflurane. Bahkan, satu-
satunya perbedaannya adalah substitusi atom klorin pada isoflurane
menjadi atom fluorin pada desflurane. Perubahan kecil ini memiliki efek
mendalam pada sifat fisik obat. Misalnya, karena tekanan uap desflurane
pada 20°C adalah 681 mm Hg, di dataran tinggi (misalnya, Denver,
Colorado) desflurane mendidih pada suhu kamar. Masalah ini
mengharuskan pengembangan alat penguap khusus desflurane.
Selanjutnya, kelarutan rendah desflurane dalam darah dan jaringan tubuh
menyebabkan induksi yang sangat cepat dan munculnya anestesi. Oleh
karena itu, konsentrasi alveolar dari desflurane di percaya jauh lebih cepat
11
daripada agen volatile lainnya, yang membuat tim anestesi melakukan
kontrol ketat atas tingkat anestesinya.
4. Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu
menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya
cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2
dan untuk pemeliharaan umum (Munaf, 2008).
Tabel 3. Obat Sevofluran
Obat Aritmia Sensitivitas Curah Tekanan Refleks Toksisitas
terhadap jantung Darah Respirasi pada
katekolamin Hepar
Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +++
Enfluran ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +
Isofluran -- -- ↓ ↓ ↑(stimulasi --
awal)
Sevofluran -- -- -- -- -- --
Nitrogen -- -- -- -- -- --
oksida
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Tabel 4. Farmakologi Klinis Anestesi Inhalasi
12
4. Anestesi Intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk
induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan
dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi. Karena
anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus
dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996)).
a. Agen Anestesi Intravena
a) Barbiturat
Mendepresi sistem aktivasi retikular pada batang otak yang
mengontrol berbagai fungsi vital, termasuk kesadaran.
13
b) Benzodiazepin
Adalah obat yang memiliki efek sedatif.
Tabel 6. Penggunaan dan Dosis Benzodiazepin
14
Tabel 7. Penggunaan dan Dosis Ketamin, Etomidate, Propofol
15
D. ANESTESI PEDIATRI
16
Tabel 9. Perbedaan sistem pulmonal orang dewasa dengan anak-anak
Alveoli yang sedikit dan lebih Jumlah alveoli pada usia 6 tahun 13
kecil kali lebih banyak dibanding bayi baru
lahir
17
b. Bayi mempunyai refleks baroreseptor yang immatur dan
kemampuan kompensasi yang terbatas hanya dengan cara
meningkatkan denyut jantung (HR). Itu sebabnya bayi lebih rentan
terhadap efek depresi jantung anestetik volitile.
c. Bayi dan infan mempunyai tonus vagus yang lebih tinggi sehingga
cenderung bradikardi. Tiga penyebab utama bradikardia adalah
hipoksia, stimulasi vagus (laringoskopi), dan anestetik volatile
(mudah menguap).
Tabel 10. Tanda-tanda vital yang normal pada anak-anak
2. Perbedaan farmakologi
Perbedaan farmakologi obat-obat anestetik yang sering digunakan
pada anak-anak di sebabkan oleh :
a. Konsentrasi alveolar minimal (MAC) zat-zat volatile lebih tinggi
pada anak-anak dibanding dewasa. MAC tertinggi adalah pada
infan 1-6 bulan. Bayi prematur dan neonatus mempunyai MAC
yang rendah
b. Anak-anak mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap efek
disritmik epinefrin pada anestesi umum dengan zat-zat volatile
18
c. Anak-anak pada umumnya mempunyai keperluan obat (mg/kg)
yang lebih tinggi karena mempunyai distribusi volume yang lebih
besar (lebih banyak lemak, lebih banyak cairan tubuh)
d. Opioid sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada anak-anak yang
berusia < 1 tahun, yang lebih sensitif terhadap efek depresan
pernapasan
19
20
Tabel 12. Nilai MAC pada pediatri
21
pada anak sebesar 1 : 1.000. Sehingga puasa pre operatif pada anak
disusun sebagai berikut :
- Makan padat 4-8 jam sebelum operasi
- PASI 6 jam sebelum operasi
- ASI 4 jam sebelum operasi
- Air putih 2 jam sebelum operasi
b. Premedikasi
Anak-anak sering mengalami rasa takut dan gelisah yang sangat
besar saat mereka terpisah dari orang tua mereka dan saat induksi anestesi.
Premedikasi dianjurkan oleh Vetter pada anak-anak yang berusia 2-6
tahun dan belum pernah menjalani pembedahan atau tidak menerima
tuntunan dan pemahaman perioperatif atau yang gagal berinteraksi positif
dengan layanan perawatan kesehatan saat perioperatif. Telah banyak
ditemukan perubahan tingkah laku yang negatif pasca operasi pada anak-
anak yang gelisah selama induksi.
Tabel 13. Medikasi Preoperatif Yang Sering Digunakan Dan Cara Pemberiannya
c. Teknik induksi
i. Induksi inhalasi
Pilihan inhalasi adalah sevofluran dan halotan karena tidak
beraroma tajam dan tidak mengiritasi jalan napas. Desfluran dan
22
isofluran tidak digunakan untuk induksi karena beraroma kuat
sehingga insidensi cough, hold breathing dan laringospasme
meningkat.
1. Steal Induction
Digunakan saat anak telah tidur. Induksi anestesi
dilakukan dengan menggunakan sungkup yang agak jauh
dari muka anak, kemudian konsentrasi halotan atau
sevofluran ditingkatkan secara bertahap. Tujuan hal ini
adalah untuk menginduksi anestesi tanpa membangunakan
si anak.
Berikan N2O : O2 (70% : 30%) karena tidak
beraroma. Dekatkan cuff pada airway anak. Setelah tenang,
berikan sevofluran incremental tambahan 0,5% tiap 3-5
tarikan napas.
Efek negatif sevofluran membuat agistasi dan
eksitasi post operatif. Dapat dikurangi dengan penambahan
N2O saat induksi satau pemberian fentanyl 1-1,5
mcg/kgBB 15-20 menit sebelum operasi berakhir.
Sedangkan efek negatif halotan adalah lambatnya ekskresi
obat serta mendeprsi miokard yang dapat dilihat dari klinis
pasien yaitu, bradikardi, hipotensi dan aritmia.
2. Single breath induction
Biasanya diberikan pada anak usia 5-10 tahun. Pada
teknik ini pasien diminta menarik napas sedalam-dalamnya
dan tahan napas beberapa saat. Kemudian menghembuskan
napas panjang sampai seolah tidak ada udara di paru. Lalu
tempelkan face mask dengan agen inhalasi konsentrasi
tinggi, minta pasien untuk tarik napas sedalam-dalamnya,
setelah itu bernapas normal. Induksi akan tercapai dalam
waktu 30-49 detik.
23
ii. Induksi intravena
Digunakan pada seorang anak yang telah dipasangi infus
atau pada anak-anak yang berusia > 10 tahun. Medikasi yang
biasanya digunakan pada anak-anak adalah tiopental 5-6 mg/kg;
propofol 2-3 mg/kg; dan ketamin 1-2 mg/kg. Agar prosedur tidak
traumatik, krim EMLA (campuran anestesi lokal yang
eutektos/mudah larut) diusapkan paling kurang 90 menit sebelum
infus IV dipasang.
d. Monitoring operasi
i. Monitor vital sign ( tekanan darah, saturasi, suhu serta
EKG)
Monitoring suhu penting untuk mendeteksi hipo/hipertermi
iatrogenik. Selama operasi hipotermi dapat dicegah dengan
:
- Suhu kamar operasi > 26 oC
- Gas inspirasi dihangatkan
- Cairan intravena dihangatkan
- Selimut dan lampu penghangat
ii. Alarm monitor harus disesuaikan setting usia
iii. Pulse oxymetri dan capnograph
Sebaiknya pulse oxymetri di tangan kanan atau lobus
telinga untuk mendeteksi saturasi oksigen predultal
iv. Elektroda ekg harus lebih kecil
v. Manset sesuai ukuran usia
vi. Stetoskop prekordial untuk memonitor denyut jantung,
kualitas bunyi jantung, patensi jalan napas.
vii. Kadar glukosa
24
ii. Estimasi defisit cairan (EFD) sebaiknya dihitung dan
diganti dengan cara :
1. EFD = pemeliharaan x jam sejak asupan oral
terakhir
2. ½ EFD + pemeliharaan diberikan pada jam pertama
3. ¼ EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-2
4. ¼ EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-3
Seluruh EFD sebaiknya diganti pada kasus-kasus
besar. Untuk kasus kecil, 10-20 ml/kg solusi garam yang
ditakar dengan atau tanpa glukosa biasanya sudah adekuat.
iii. Stress operastif (SO) diperhitungkan dengan cara berikut :
1. Kecil : 2cc /kgBB /jam
2. Sedang : 4cc /kgBB /jam
3. Besar : 6cc /kgBB /jam
iv. Estimasi volume darah (EBV) dan Allowable Blood Loss
(ABL) sebaiknya dihitung pada setiap kasus.
ABL = ( Hct sekarang – Hct target ) x EBV x 3%
Dimana ABL = kehilangan darah, EBV = estimasi
volume darah, px = pasien, dan hct =hematokrit. Nilai
hematokrit terendah bervariasi antara tiap individu.
Transfusi darah biasanya dipertimbangkan saat hematorkit
kurang dari 21-25%. Jika terdapat masalah pada tanda-
tanda vital, transfusi darah perlu diberikan lebih dini.
Sebagai contoh, seorang infan berusia 4 bulan
dijadwalkan untuk rekonstruksi kraniofasial dengan
perkiraan lama operasi 2 jam. Bayi sehat, dengan asupan
oral terakhir diperoleh 6 jam sebelum tiba di ruang operasi.
BB = 6 kg, hct preoperatif = 33%, nilai hct target = 30%.
Pemeliharaan : BB x 4 ml/jam = 24 ml/jam
EFD : pemeliharaan x 6 kg = 144 ml
SO (Sedang) : BB x 4ml x lama operasi = 48 ml/jam
25
EBV : BB x 80 ml/kg = 480 ml
ABL : (33-30) x 480 x 3% = 43,2 ml
Neonatus 85- 90
Infants 80
12 – 18 bulan 4,0
2 tahun 4,5
26
Laryngeal mask airway (LMA)
27
6. Respon sistemik terhadap kehilangan darah
Anak-anak yang sehat telah berkompensasi terhadap kehilangan
volume akut sebesar 30-40% sebelum terjadi perubahan tekanan darah.
Indikator awal yang paling jelas pada syok hipovolemik yang
terkompensasi pada anak-anak adalah takikardi persisten, vasokonstriksi
kutaneus, dan penurunan tekanan darah.
28
nyeri yang adekuat (seperti berfungsinya blok kaudal pada pasien).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian cairan
intravena dan penghentian asupan oral. Jika muntah menetap,
metoklopramid, droperidol, atau ondansetron dapat dicoba. Jika
muntah tidak teratasi, pasien sebaiknya diobservasi.
Tabel 18. Faktor-faktor yang Meningkatkan Insidensi Mual dan Muntah Pasca
Operasi
b. Masalah pernapasan
Utamanya laringospasme dan stridor lebih sering
ditemukan pada anak-anak dibanding pada orang dewasa.
Penatalaksanaan laringo-spasme antara lain : oksigen bertekanan
positif, maneuver Fink (jaw thrust yang nyeri), suksinilkolin, dan
intubasi ulang jika perlu. Stridor biasanya ditangani dengan
oksigen yang dihumidifikasi (dilembabkan), steroid, dan epinefrin
rasemik.
29
E. SPINA BIFIDA
Spina bifida adalah kelainan neural tube ( neural tube defect ) yang
terjadi akibat kegagalan neural tube untuk menutup dengan sempurna.
Angka kejadian 1 per 1000 kelahiran. Spina bifida terdiri dari sebuah
hiatus yang biasanya terletak dalam vertebra lumbosakralis, dan lewat
hiatus ini menonjol sakus meningus sehingga terbentuk meningokel. Jika
sakus tersebut juga berisi medulla spinalis, anomali tersebut dinamakan
meningomielokel. Dengan adanya rakiskisis total, medulla spinalis
tergambar sebagai pita jaringan yang berwarna merah serta menyerupai
spons dan terletak dalam suatu sulkus yang dalam. Dalam keadaan ini,
bayi segera meninggal saat lahir.
Pada kasus-kasus lainnya, defek yang terjadi mungkin sangat
ringan seperti spina bifida okulta. Malformasi yang menyertai, khususnya
hidrosefalus, anansefalus dan clubfoot umum terdapat. Jika bagian otak
mengalami protrusion ke dalam sakus, terjadi meningoensefalokel.
Pada kasus defek neural tube aperta, kadar alfa feto protein
mendekati pertengahan kehamilan mungkin tinggi tidak seperti biasanya
baik dalam plasma maternal maupun dalam cairan amnion. Beberapa
program skrining dapat dilakukan pada ibu-ibu hamil, yaitu pemeriksaan
skrining alfa feto protein serum maternal untuk mengetahui adanya defek
neural tube dan bisa juga dilakukan penelitian sitogenetik terhadap sel-sel
janin yang diperoleh melalui amniosintesis atau pengambilan sampel vili
korialis dari wanita yang hamil pada usia diatas 35 tahun.
Program ini menimbulkan banyak permasalahan sosial, etis,
ekonomi serta hukum, diluar permasalahan stigmata psikologis yang
kemungkinan timbul setelah seseorang mengetahui kalau dirinya
membawa “ gen yang jelek. “ Hal yang sama pentingnya dengan
keberhasilan program skrining tersebut adalah program penyuluhan
intensif bagi orang-orang yang menjalani tes. Program skrining neonatal
juga merupakan program yang populer dan banyak dilakukan di negara
30
bagian Amerika yang memiliki undang-undang bagi pemeriksaan skrining
neonatus untuk menemukan kelainan tertentu.
a. Definisi
Spina bifida berarti terbelahnya arcus vertebrae dan bisa
melibatkan jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Spina bifida disebut
juga myelodisplasia, yaitu suatu keadaan dimana ada perkembangan
abnormal pada tulang belakang, spinal cord, saraf-saraf sekitar dan
kantung yang berisa cairan yang mengitari spinal cord. Kelainan ini
menyebabkan pembentukan struktur yang berkembang di luar tubuh.
b. Klasifikasi
Ada berbagai jenis spina bifida. antara lain :
1. Spina bifida okulta
Menunjukkan suatu cacat yang lengkung-lengkung
vertebranya dibungkus oleh kulit yang biasanya tidak mengenai
jaringan saraf yang ada di bawahnya. Cacat ini terjadi di daerah
lumbosakral ( L4 – S1 ) dan biasanya ditandai dengan plak
rambut yang yang menutupi daerah yang cacat. Kecacatan ini
disebabkan karena tidak menyatunya lengkung-lengkung
vertebra ( defek terjadi hanya pada kolumna vertebralis ) dan
terjadi pada sekitar 10% kelahiran
2. Spina bifida kistika
Adalah suatu defek neural tube berat dimana jaringan saraf
dan atau meningens menonjol melewati sebuah cacat lengkung
vertebra dan kulit sehingga membentuk sebuah kantong mirip
kista. Kebanyakan terletak di daerah lumbosakral dan
mengakibatkan gangguan neurologis, tetapi biasanya tidak
disertai dengan keterbelakangan mental.
3. Spina bifida dengan meningokel
Pada beberapa kasus hanya meningens saja yang berisi
cairan saja yang menonjol melalui daerah cacat. Meningokel
31
merupakan bentuk spina bifida dimana cairan yang ada di
kantong terlihat dari luar ( daerah belakang ), tetapi kantong
tersebut tidak berisi spinal cord atau saraf.
4. Spina bifida dengan meningomielokel
Merupakan bentuk spina bifida dimana jaringan saraf ikut
di dalam kantong tersebut. Bayi yang terkena akan mengalami
paralisa di bagian bawah.
5. Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis
Merupakan bentuk spina bifida berat dimana lipatan-lipatan
saraf gagal naik di sepanjang daerah torakal bawah dan
lumbosakral dan tetap sebagai masa jaringan saraf yang pipih.
Kelainan-kelainan di atas biasanya timbul di daerah cervical
dan atau lumbar dan dapat menyebabkan gangguan neurologis
pada ekstremitas bawah dan gangguan kandung kemih. Defek
neural tube ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan kadar alfa
feto protein ( AFP ) pada sirkulasi fetus setelah perkembangan
empat minggu.
32
menutup, tulang belakang juga tidak menutup akan menyebabkan
terjadinya spina bifida.
d. Stadium perkembangan
1. 21 hari : neural groove dan dimulainya pembentukan neural tube
2. 25 hari : penutupan neural groove kecuali bagian akhir anterior dan
posterior
3. 30 hari : neuropores menutup, pengenalan fore, mid dan hind brain.
Diferensiasi 3 lapis neural tube
33
4. 5 minggu : pembentukan otak dan pembentukan lensa mata
5. 6 minggu : dimulainya perkembangan cerebellum
6. 7 minggu : corpus striatum dan thalamus, bertemunya komponen
glandula pituitary
7. 8 minggu : meningens, diferensiasi cortex cerebral - 3 – 4 bulan :
otak mulai menyerupai otak dewasa, terbentuknya corpus calosum
dan konmponen yang lain
8. 4 bulan-lahir : timbulnya cerebral sulkus dan gyrus, myelinisasi
dimulai.
e. Etiologi
Bahan – bahan teratogen yang dapat menyebabkan terjadinya defek
neural tube adalah :
1. Carbamazepine
2. Valproic acid
3. Defisiensi folic acid
4. Sulfonamide
34
Seorang wanita yang mengkonsumsi valproic acid selama
kehamilan mempunyai resiko kemungkinan melahirkan bayi dengan defek
neural tube sebesar 1-2%, maka dari itu seorang wanita hamil yang
mengkonsumsi obat-obat anti epilepsi selama kehamilannya disarankan
untuk melakukan pemeriksaan AFP prenatal rutin. Faktor maternal lain
yang dapat menyebabkan defek neural tube meliputi :
1. Riwayat keluarga dengan defek neural tube
2. Penggunaan obat-obat anti kejang
3. Overweight berat
4. Demam tinggi pada awal kehamilan
5. Diabetes mellitus
f. Patogenesis
Defek neural tube disini yang dimaksud adalah karena kegagalan
pembentukan mesoderm dan neurorectoderm. Defek embriologi primer
pada semua defek neural tube adalah kegagalan penutupan neural tube,
mempengaruhi neural dan struktur kutaneus ectodermal. Hal ini terjadi
pada hari ke 17 - 30 kehamilan. Selama kehamilan , otak, tulang belakang
manusia bermula dari sel yang datar, yang kemudian membentuk silinder
yang disebut neural tube. Jika bagian tersebut gagal menutup atau terdapat
daerah yang terbuka yang disebut cacat neural tube terbuka. Daerah yang
terbuka itu kemungkinan 80% terpapar atau 20% tertutup tulang atau kulit.
90% dari kasus yang terjadi bukanlah faktor genetik / keturunan tetapi
sebagian besar terjadi dari kombinasi faktor lingkungan dan gen dari
kedua orang tuanya.
g. Diagnosa
Defek neural tube dapat dideteksi dengan pemeriksaan AFP ( alfa
feto protein) pada cairan amnion atau AFP yang diperiksa dari darah ibu
hamil. AFP adalah protein serum utama yang terdapat pada awal
kehidupan embrio dan 90% dari total globulin serum dari fetus. AFP dapat
35
mencegah rejeksi dari fetal imun dan pertama kali dibuat di yolk sac dan
kemudian di sistem gastro intestinal dan hepar fetus. Dimulai dari sirkulasi
darah fetus menuju traktus urinarius kemudian diekskresi ke dalam cairan
amnion. AFP juga dapat bocor ke dalam cairan amnion melalui defek
neural tube yang terbuka seperti pada anencephaly dan myelomeningocele,
dimana sirkulasi darah fetus berhubungan langsung dengan cairan amnion.
Langkah pertama dari prenatal skrining adalah pemeriksaan serum
AFP pada ibu hamil antara minggu ke 15 dan 18 kehamilan. Seseorang
dikatakan beresiko secara spesifik berdasarkan perbandingan usia
kehamilan dan level AFP. Misalnya, pada usia kehamilan 20 minggu
konsentrasi AFP serum pada ibu hamil lebih tinggi dari 1.000 ng/mL
mempunyai indikasi terjadinya defek neural tube terbuka. Kadar AFP
serum normal pada ibu hamil biasanya lebih rendah dari 500 ng/mL.
Penentuan ketepatan usia kehamilan sangatlah penting karena level
AFP mempunyai hubungan yang spesifik dengan usia kehamilan dan
dapat meningkat mencapai puncak pada fetus normal pada kehamilan 12-
15 minggu. Pemeriksaan AFP melalui cairan amnion merupakan
pemeriksaan yang akurat, terutama pada usia kehamilan 15-20 minggu dan
dapat mendeteksi kurang lebih 98% pada semua defek neural tube yang
terbuka. Defek neural tube juga dapat dideteksi dengan USG. Beberapa
kelainan fetus lain yang dapat dideteksi dari peningkatan AFP meliputi :
1. Anencephaly
2. Spina bifida kistika
3. Encephalocele
4. Omphalocele
5. Turner syndrome
6. Gastroschisis
7. Oligohydrmnions
8. Sacrococcygeal teratoma
9. Kelainan ginjal polikistik
10. Kematian janin intra uteri
11. Obstruksi traktus urinarius
36
h. Terapi
Pembedahan
i. Pencegahan
Penggunaan suplemen Folic acid 400 micrograms ( 0,4 mg ) / hari
sebelum hamil dan 800 micrograms / hari selama kehamilan. Penggunaan
suplemen folic acid ini penting untuk menurunkan resiko terjadinya defek
neural tube seperti spina bifida. Folic acid ( folinic acid, folacin,
pteroyglutamic acid ) terdiri dari bagianbagian pteridin, asam para
aminobenzoat dan asam glutamat. Dari penelitian terbukti bahwa yang
memiliki arti biologik adalah gugus PABA dan gugus asam glutamat.
PmGA bersama-sama dengan konjugat yang mengandung lebih dari satu
asam glutamat, membentuk satu kelompok zat yang dikenal sebagai folat.
Folat terdapat dalam hampir setiap jenis makanan dengan kadar tertinggi
dalam hati, ragi dan daun hijau yang segar. Folat mudah rusak dengan
pengolahan ( pemasakan ) makanan. Dipandang dari sudut biologik,
defisiensi folat terutama akan memperlihatkan gangguan pertumbuhan
akibat gangguan pembentukan nukleotida purin dan pirimidin. Gangguan
ini akan menyebabkan kegagalan sintesis DNA dan hambatan mitosis sel.
37
F. MENINGOCELLE
a. Definisi
Meningokel adalah satu dari tiga jenis kelainan bawaan
spina bifida. Meningokel adalah meningens yang menonjol melalui
vertebrata yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi
cairan dibawah kulit. Angka kejadiannya 3 dari 1000 kelahiran.
Meningokel adalah penonjolan dari pembungkus medulla
spinalis melalui spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada
permukaan. Pembengkakan kistis ini ditutupi oleh kulit yang
sangat tipis. Pada kasus tertentu kelainan ini dapat dikoreksi
dengan pembedahan. Pembedahan terdiri dari insisi meningokel
dan penutupan durameter. Kemudian kulit diatas cacat ditutup.
Hidrosefalus kemungkinan merupakan komplikasi yang
memerlukan drainase.
Meningokel merupakan kelainan kongenital SSP yang
paling sering terjadi. Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel
biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah torakal sebelah
atas.Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap
dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf). Tidak
terdapat gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan menjadi
normal sesudah operasi
Meningokel adalah penyakit kongenital dari kelainan
embriologis yang disebut neural tube defect (NTD) yaitu adanya
defek pada penutupan spina yang berhubungan dengan
pertumbuhan yang abnormalnya korda spinalis atau penutupannya.
b. Etiologi/penyebab
Penyebab spesifik dari meningokel atau belum diketahui.
Banyak factor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat
dalam terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat
minggu setelah konsepsi. Hal-hal berikut ini telah ditetapkan
38
sebagai faktor penyebab, yaitu kadar vitamin maternal rendah,
termasuk asam folat, mengonsumsi klomifen dan asam valfroat
serta hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50%
defek tuba neural dapat dicegah jika wanita bersangkutan
meminum vitamin-vitamin prakonsepsi, termasuk asam folat.
Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting
ialah defek tabung neural yang terjadi pada 3-4 per 100.000 lahir
hidup. Bermacam-macam penyebab yang berat menentukan
morbiditas dan mortalitas, tetapi banyak dari abnormalitas ini
mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat dideteksi
pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan.
Penonjolan dari korda spinalis dan meningens
menyebabkan kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf,
sehingga terjadi penurunan atau gangguan fungsi pada bagian
tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau bagian bawahnya.
39
d. Deteksi prenatal
Terdapat kemungkinan untuk menentukan adanya beberapa
NTD terbuka selama masa prenatal. Pemindaian ultrasonografi
pada uterus dan peningkatan konsentrasi alfafetoprotein (AFP),
suatu gamma, globulin yang spesifik pada fetus, dalam cairan
amnion mengindikasikan adanya anensefali atau mielomeningokel.
Waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan diagnostic ini
adalah pada usia gestasi 16 dan 18 minggu, sebelum konsentrasi
AFP yang normalnya menurun, dan pada saat yang tepat untuk
melakukan aborsi terapeutik. Pengambilan sampel virus koronik
(chorionic villus sampling, CVS) juga merupakan pemeriksaan
untuk diagnostik NTD pada masa prenatal.
Prosedur diagnostic di atas direkomendasikan untuk semua
ibu yang telah melahirkan anak dengan gangguan ini dan
pemeriksaan ditawarkan bagi semua wanita hamil. Selain itu,
rencana kelahiran dengan seksio sesarea dapat menurunkan
disfungsi motorik.
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan fisik. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani
pemeriksaan darah yang disebut triple screen. Tes ini merupakan
tes penyaringan untuk spina bifida, sindrom down, dan kelainan
bawaan lainnya.
Sebanyak 85% wanita yang mengandung bayi spina bifida,
akan memiliki kadar serum alfa feto protein yang tinggi. Tes ini
memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya
positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat
diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan
adanya spina bifida. Kadang dilakukan amniosentesis.
40
Setelah bayi lahir dilakukan pemeriksaan rontgen tulang
belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan, pemeriksaan
USG tulang belakang bias menunjukkan adanya kelainan pada
korda spinalis maupun vertebrata, serta pemeriksaan CT-Scan atau
MRI tulang belakang kadang-kadang dilakukan untuk menentukan
lokasi dan lokasi kelainan.
f. Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan awal meningokel adalah
mengurangi kerusakan saraf, meminimalkan komplikasi (misalnya
infeksi), serta membantu keluarga dalam menghadapi kelainan ini.
Pembedahan dilakukan pada periode neonatal untuk
mencegah rupture. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal
dan shunt LCS pada bayi hidrosefalus dilakukan pada saat
kelahiran. Pencangkokan kulit diperlakukan bila lesinya besar.
Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis.
Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga
dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati dn mencegah
meningitis, infeksi saluran kemih dan lainnya diberikan antibiotic.
Untuk membantu memperlancar aliran kemih bias dilakukan
penekanan lembut diatas kandung kemih. Pada kasus yang berat
kadang harus dilakukan pemasangan kateter. Diet kaya serat dan
program pelatihan buang air besar bisa membantu memperbaiki
fungsi saluran pencernaan.
Untuk mengatasi gejala muskulo skeletal (otot dan
kerangka tubuh) perlu campur tangan dari ortopedi (bedah tulang)
maupun terapi fisik. Keleinan saraf lainnya diobati sesuai dengan
jenis dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi. Kadang-kadang
dilakukan pembedahan VP shunt untuk memperbaiki hidrosefalus
41
Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan, dapat
mengurangi kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan
defek korda spinalis.
Penatalaksanaan:
1. Sebelum dioperasi, bayi dimasukkan kedalam
incubator dengan kondisi tanpa baju.
2. Bayi dalam posisi telungkup atau tidurjika
kantungnya besar untuk mencegah infeksi.
3. Berkolaborasi dengan dokter anak, ahli bedah dan
ahli ortopedi, dan ahli urologi, terutama untuk
tidakan pembedahan, dengan sebelumnya
melakukan informed consent
Lakukan pengamatan dengan cermat terhadap adanya
tanda-tanda hidrosefalus (dengan mengukur lingkar kepala setiap
hari) setelah dilakukan pembedahan atau juga kemungkinan
terjadinya meningitis (lemah, tidak mau minum, mudah
terangsang, kejang dan ubun-ubun akan besar menonjol). Selain
itu, perhatikan pula banyak tidaknya gerakan tungkai dan kaki,
retensi urin dan kerusakan kulit akibat iritasi urin dan feses.
g. Pencegahan
Risiko dapat dikurangi dengan mengonsumsi asam folat.
Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi
sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat
dini. Kepada wanita yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk
mengonsumsi asam folat sebanyak 0.4 mg/hari. Kebutuhan asam
folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari.
42
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Identitas
Nama : An. AFN
Usia : 1,5 tahun
Berat badan : 9 kg
Tinggi badan : 70 cm
IMT : 18.3
Alamat : Guwo, Kemusu, Boyolali
Tanggal Masuk : 12 Desember 2016
Tanggal Pemeriksaan : 16 Desember 2016
No. Rekam Medis : 0136xxxx
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Benjolan diatas hidung
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS. Dr. Moewardi Surakarta diantar oleh
keluarganya dengan benjolan diatas hidung. Benjolan berukuran
sebesar bola ping pong, tidak nyeri, konsistensi lunak, permukaan
halus. Benjolan dihidung pasien telah ada sejak lahir dengan ukuran
sebesar kelereng yang seiring pertumbuhan semakin membesar. Dari
hasil autoanamnesis dengan ibu pasien, pasien tidak kejang, batuk,
pilek, maupun demam. Buang air kecil dan buang air besar dalam
batas normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi VP Shunt pada tanggal 17 November 2016
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami keluhan yang serupa.
43
5. Riwayat Kehamilan
Pasien jarang memeriksakan kehamilan.
Kesan: kehamilan sulit dievaluasi
6. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu usia 21 tahun dengan usia kehamilan 39
minggu secara spontan. Proses persalinan dibantu oleh dokter. Pasien
lahir dengan berat badan lahir 3000 gram dan panjang badan 36 cm,
langsung menangis kuat, gerak aktif, dan tidak biru.
Kesan: kelahiran dalam batas normal.
7. Riwayat Imunisasi
0 bulan : Hepatitis B0
1 bulan : BCG, Polio 1
2 bulan : Pentabio 1, Polio 2
3 bulan : Pentabio 2, Polio 3
Kesimpulan : imunisasi lengkap sesuai usia saat ini menurut
Kemenkes 2008.
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
44
Pasien tinggal di rumah bersama orangtua pasien serta nenek dan
kakek. Biaya pemeriksaan dan pengobatan pasien ditanggung oleh
BPJS.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital TD : 90/40 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 30 x/menit
S : 37,3 C
BB : 9 kg
TB : 70 cm
3. Status generalis :
a. Kepala : Normosefali, deformitas (-)
b. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
c. Hidung : Terdapat benjolan di hidung dengan diameter ± 4
cm , patensi (+/+), nafas cuping hidung (-), sekret
(-)
d. Mulut : Buka mulut sulit dievaluasi, malampati sulit
dievaluasi
e. Telinga : Pendengaran baik (+) secret (-)
f. Leher : Thyromental distance < 6 jari, gerak leher bebas
g. Tenggorok : Hiperemis (-), detritus (-), uvula di tengah.
h. Thorax : Retraksi (-)
Paru I: Pengembangan dada kanan = kiri
P: Sonor-sonor
45
Jantung I : Ictus cordis tidak tampak
_ _ _ _
- - – –
4. Pemeriksaan status neurologis
a. Tingkat kesadaran : E4V5M6
b. Tanda meningeal : sulit dievaluasi
c. Nervi craniales
N. II, III : pupil isokor 2mm/2mm, refleks cahaya
direk/ indirek (+)
N. III, IV, VI : doll eye phenomenon tidak intak
N. V, IX, X, XII : tertawa, menangis, menghisap dan
menelan (+)
N. VII : tidak ada kelainan
N. VIII : menoleh saat di panggil (+)
5. Pemeriksaan neuromuskular
a. Head lag : (-) d. Sucking reflex : (+)
b. Frog leg posture : (-) e. Search reflex : (+)
c. Palmar grasp reflex : (+) f. Stepping reflex : (+)
g. Reflex Parachute : (+)
46
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
47
b. Pemeriksaan Lab (Tanggal 12 dan 14 Desember 2016)
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 10.7 g/dl 10.5 - 12.9
Hematokrit 33 % 35 – 41
Leukosit 11.4 ribu/ul 5.5 – 17.0
Trombosit 265 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.10 juta/ul 4.10 - 5.30
HEMOSTASIS
PT 14.0 detik 10.0-15.0
APTT 33.3 detik 20.0-40.0
INR 1.150 -
KIMIA KLINIK
GDS 94 mg/dl 60 – 100
Ureum 8 mg/dl <48
Albumin 4.4 g/dl 3.8-5.4
Kreatinin 0.2 mg/dl 0.3-0.7
ELEKTROLIT
Natrium
136 mmol/L 132 – 145
darah
Kalium darah 3.8 mmol/L 3.1- 5.1
Klorida
101 mmol/L 98-106
darah
HbsAg
HbsAg Nonreaktif Non reaktif
Kesimpulan :
Pasien anak perempuan, usia 1,5 tahun datang dengan keluhan
utama benjolan diatas hidung. Benjolan berukuran sebesar bola ping
pong, tidak nyeri, konsistensi lunak, permukaan halus. Benjolan dihidung
pasien telah ada sejak lahir dengan ukuran sebesar kelereng yang seiring
pertumbuhan semakin membesar. Tindakan yang akan dilakukan adalah
eksisi celle. Pasien dengan status fisik ASA I. Rencana general anestesi
intubasi oral respirasi kontrol.
48
B. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis orang tua pasien ( + )
b. Injeksi dexamethason 1 mg malam hari dan pagi sebelum operasi
c. Puasa 6 jam sebelum operasi
d. Pasang IV line dengan cairan D5 ½ NS 36 tpm mikro
e. Post op sedia PICU
f. Penyediaan darah 1 PRC
2. Jenis Anestesi : General anestesi
3. Teknik Anestesi : Anestesi intravena dan ihalasi
4. Analgesi inhalasi : Sevofluran 2 – 2.5 vol%
5. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin.
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar
2. Di ruang operasi
a. Jam 11.30 dilakukan premedikasi midazolam 0,5 mg ( 0,05 mg/kgbb ),
SA 0.1 mg ( 0.01 mg/kgbb ), fentanyl 10 mcg ( 1 mcg/kgBB ),
ondansentron 1 mg ( 0.1 mg/KgBB ).
b. Jam 11.35 pasien masuk kamar operasi, diposisikan tidur terlentang,
dilakukan pemasangan manset pediatri, stetoskop prekordial, monitor
49
EKG dan saturasi, serta infus Ringer Fundin. Kemudian dilakukan
induksi dengan menambah fentanyl 2 mcg/kgBB sebagai analgetik
prevemtif intubasi, thiopental 50 mg ( 5 mg/KgBB), menggunakan
oksigen murni 6 lpm. Fasilitasi intubasi dengan pelumpuh otot
vecuronium 1 mg ( 0.1 mg/KgBB ) setelah ventilasi terkuasai.
Dilakukan intubasi dengan ETT 3,5 cuff. Pemeliharaan anestesi selama
operasi dengan O2 : Airbar = 50% : 50 %, sevofluran 2 – 2.5 vol%,
fentanyl 1mcg/kgBB/jam ( syringe pump ).
c. Jam 11.50 operasi dimulai dan tanda vital dimonitor tiap 5 menit.
d. Jam 12.55 operasi selesai pasien dipindah ke ruang recovery
50
Perhitungan Kebutuhan Transfusi
11.33 100/50 123 36,7 98% Masuk ruang operasi terpasang infuse
Ringer Fundin. Injeksi fentanyl 18
mcg, thiopental 50 mg, oksigen murni
6 lpm, vecuronium 1 mg ( Induksi )
11.40 90/50 128 36,6 100% Dilakukan intubasi dengan ETT 3,5
cuff.
51
Tabel Monitoring Pasca Anestesi
52
BAB IV
PEMBAHASAN
53
terpasang VP Shunt dengan tip terproyeksi di crus posterior ventrikel lateralis
kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang di atas dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami meningocelle
riwayat pemasangan VP Shunt dengan status fisik diklasifikasikan sebagai ASA I
dimana pasien sehat dan tidak mempunyai penyakit sistemik. Menigocelle adalah
penonjolan dari pembungkus medulla spinalis tanpa disertai spinal cord atau saraf
melalui spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan. Maka pasien
datang karena adanya benjolan tanpa disertai keluhan gangguan saraf.
Meningocelle biasanya di sertai komplikasi berupa hidrosfelaus. Sehingga perlu
dilakukan operasi pemasangan VP Shunt untuk menurunkan tekanan intra kranial
serta mengurangi cairan serebrospinal yang terdapat di meningocelle.
Meningocelle pada pasien ini kemungkinan terjadi karena kurangnya
konsumsi asam folat selama masa kehamilan yang dimana ibu pasien jarang
memeriksakan kandungan ke layanan kesehatan setempat sehingga permasalahan
semasa kehamilan sulit dievaluasi.
Pada pasien direncanakan untuk operasi elektif eksisi celle dengan teknik
general anestesi intubasi oral. Teknik ini dipilih karena dapat memfasilitasi
kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan dan sirkulasi serta dapat diberikan
tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang, dosis anestesi dapat disesuaikan
dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak terduga.
Sebelum dilakukan operasi, pasien dipersiapkan terlebih dahulu. Terutama
pada pasien ini yang merupakan pasien anak dimana terdapat banyak perbedaan
dibandingkan pasien dewasa seperti anatomi, fisiologi dan farmakologi. Pesiapan
yang dilakukan meliputi alat dan obat premedikasi serta induksi. Alat yang perlu
dipersiapakan yaitu berbagai ukuran cuff serta ETT dimana terdapat benjolan
dihidung pasien yang berpotensi terjadi kesulitan dalam managemen airway. Obat
untuk premedikasi yang digunakan adalah midazolam 0,5 mg (0,05 mg/kgbb),
Sulfas Atropin 0.1 mg (0.01 mg/kgbb) yang berfungsi menurunkan insiden
hipotensi selama induksi karena fisiologi pediatri heart rate dependent cardiac
output sehingga dijaga agar tidak terjadi bradikardi selama pembiusan, fentanyl
54
10 mcg (1 mcg/kgBB), ondansentron 1 mg (0.1 mg/KgBB ) berfungsi mencegah
muntah sehingga dapat menurunkan risiko aspirasi. Sedangkan obat induksi
menggunakan fentanyl 2 mcg/kgBB sebagai analgetik preventif intubasi,
thiopental 50 mg ( 5 mg/KgBB) serta menggunakan oksigen murni 6 lpm.
Fasilitasi intubasi dengan pelumpuh otot vecuronium 1 mg (0.1 mg/KgBB) yang
bekerja lama pada pediatri. Setelah ventilasi terkuasai, dilakukan intubasi dengan
ETT 3,5 cuff. Pemeliharaan anestesi selama operasi dengan O2 : Airbar = 50% :
50 %, sevofluran 2 – 2.5 vol% yang bersifat non irritating dan tidak beraroma,
fentanyl 1mcg/kgBB/jam (syringe pump).
Monitoring selama anestesi pada pasien pediatri berbeda dengan dewasa.
Sebelum dilakukan monitoring, alarm monitor disesuaikan setting usia, memasang
manset pediatri dan stetoskop prekordial untuk memonitor denyut jantung,
kualitas bunyi jantung serta patensi jalan napas, menggunakan elektroda yang
lebih kecil, memasang pulse oxymetri pada kaki kanan. Monitoring pediatri
meliputi monitor vital sign (tekanan darah, saturasi, suhu serta EKG), monitoring
suhu penting untuk mendeteksi hipotermia dimana pasien pediatri mudah jatuh
dalam kondisi hipotermi sehingga suhu kamar operasi di atur > 26 oC, gas
inspirasi dihangatkan, cairan intravena dihangatkan, diberikan selimut dan lampu
penghangat.
Operasi berlangsung selama 2 jam dan tidak terdapat kendala maupun
kesulitan sepanjang operasi. Selama operasi tekanan darah sekitar 80/40 mmHg –
100/50 mmHg (MAP 50 – 65), denyut jantung 120 – 130 x/menit, saturasi O2
98% – 100%, perdarahan ± 65 cc, produksi urin 35 cc. Cairan durante op pasien
yaitu maintenance 36cc/ jam dan cairan stress operasi 36cc/jam. Cairan pengganti
puasa dianggap tercukupi karena telah terpasang infuse sejak dari bangsal.
Sehingga kebutuhan cairan pasien per jam adalah 72cc. Penggantian cairan pada
pasien menggunakan cairan kristaloid Ringer Fundin. Ringer Fundin merupakan
cairan isotonis yang komposisi nya menyerupai plasma manusia dan dapat di
metabolisme pada semua organ serta otot dengan konsumsi oksigen yang
minimal. Perhitungan Allowable Blood Loss pada pasien adalah 64,8 ml dan
perdarahan selama operasi ± 65 cc, seharusnya pasien mendapatlan tansfusi darah
55
namun pada saat operasi tidak diberikan transfusi. Ekstubasi pada pasien
dilakukan dalam keadaan sadar, hal ini disebabkam karena pada pediatri nilai
FRC (Functional Residual Capacity) menurun yang apabila dilakukan ekstubasi
dalam akan terjadi desaturasi dan meningkatkan risiko terjadinya apneu.
Post operasi pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar dalam keadaan aktif
menangis, posisi terlentang, diberikan O2 1 liter/menit, dan tanda-tanda vital
dimonitoring tiap 5 menit. Setelah kondisi pasien stabil baik, dipindahkan ke
PICU.
56
BAB V
KESIMPULAN
57
DAFTAR PUSTAKA
58
Bifida. The Internet Journal of Pediatricsand Neonatology.
Rudolph’s pediatrics,2006. penyakit anak , Ed 20, vol 3 jakarta : EGC 2006
Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D., 2006. Prevention of postoperative nausea and
vomiting by metoclopramide combined with dexamethasone: randomized
double blind multicenter trial. BMJ.;1 – 6.
59