Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

Dokter berkewajiban mempertahankan hidup dan mengurangi penderitaan


pasiennya. Dalam bidang ilmu anestesiologi hal tersebut dipelajari lebih
mendalam. Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan kedokteran meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan
pasien yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan
intensif pasien gawat darurat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.

Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya


persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain
hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas
golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum
dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Anestesi umum
memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.

Meningokel adalah penonjolan dari pembungkus medulla spinalis melalui


spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan. Pembengkakan kistis
ini ditutupi oleh kulit yang sangat tipis. Pada kasus tertentu kelainan ini dapat
dikoreksi dengan pembedahan. Pembedahan terdiri dari insisi meningokel dan
penutupan dura meter. Dalam proses bedah dibutuhkan tindakan anestesi
agartidak terasa nyeri saat pembedahan berkurang, Anestesi yang ideal adalah
tercapainya trias anestesi yaitu hipnotik/sedasi, analgesi dan relaksasi otot.

Pada kasus ini akan dibahas tentang penatalaksanaan dari bidang anestesi
berupa teknik general anestesi pada eksisi celle pada meningocelle.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PERSIAPAN PRAANESTESI
Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah
kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan
pembedahan, baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Pada kasus elektif biasanya dilakukan satu
sampai dua hari sebelum operasi sedangkan pada kasus darurat dilakukan
lebih singkat. Adapun tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk
mempersiapkan mental dan fisik secara optimal, merencanakan dan
memilih teknik serta obat – obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien, serta menentukan status fisik pasien dengan klasifikasi
ASA (American Society Anesthesiology), antara lain (Morgan, 2013) :

 ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat


 ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan (tidak ada
keterbatasan aktivitas harian )
 ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat (
aktivitas harian terbatas)
 ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya.
 ASA 5 : Pasien sekarat yang tidak diharapkan untuk bertahan
hidup tanpa operasi
 ASA 6 : Pasien yang telah meninggal dengan pengambilan organ
yang bertujuan untuk didonorkan
 ASA E : Jika prosedur emergensi maka menggunakan “E”

2
B. PREMEDIKASI ANESTESI
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :

1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.


2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. Memberikan analgesia, misal pethidin
5. Mencegah mual dan muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
dan hiosin

C. ANESTESI UMUM
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri.
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya
persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain
hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri
atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP
secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat
dikontrol(Munaf, 2008). Obat anastesi umum dapat diberikan secara
inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara
inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di
antaranya adalah N2O, halotan, isofluran, desfluran, sevofluran. Obat
anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu barbiturat,
benzodiazepin dan beberapa obat khusus seperti ketamin, etomidate serta
propofol. (Morgan, 2015).

3
Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi
obat-obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang
terdiri dari:
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin
(misalnya, midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk
mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental
(Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan

1. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum


Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor
yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi
yang optimal sesuai. Atribut anestesi umum meliputi :
a. Keuntungan
- Mengurangi kesadaran dan ingatan intraoperatif pasien.

- Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka


waktu yang lama.

- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan,


dan sirkulasi.

- Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen


anestesi lokal.

- Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi


terlentang.

- Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang


tak terduga.

- Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversibel.

4
b. Kekurangan
- Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya
terkait.

- Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum


operasi.

- Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan


intervensi aktif.

- Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual


atau muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan
tertunda kembali ke fungsi mental yang normal.

- Terkait dengan malignant hyperthermia, kejadian langka,


dimana kondisi otot terhadap paparan beberapa agen anestesi
umum dapat menghasilkan peningkatan suhu akut dan
berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia.
Dengan kemajuan modern di obat-obatan, teknologi
pemantauan, dan sistem keamanan, serta penyedia anestesi yang
berpendidikan tinggi, risiko yang disebabkan oleh anestesi kepada
pasien yang menjalani operasi rutin sangat kecil. Kematian
disebabkan anestesi umum dikatakan terjadi pada tingkat kurang
dari 1:100.000. Komplikasi minor terjadi pada tingkat yang dapat
diprediksi, bahkan pada pasien yang sebelumnya dalam keadaan
sehat. Frekuensi gejala yang terkait anestesi selama 24 jam pertama
setelah operasi rawat jalan adalah sebagai berikut (Press, 2013):
- Muntah: 10-20 %

- Mual: 10-40 %

- Sakit tenggorokan: 25 %

- Nyeri Insisional: 30 %

5
2. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal
Sifat anestesi umum yang ideal adalah:
1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik
2) cepat mencapai anestesi yang dalam
3) batas keamanan lebar
4) tidak bersifat toksis.
Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara
langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau
tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi
dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar
obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).

3. Anestesi Inhalasi
a. Minimum Alveolar Concentration (MAC)
Adalah konsentrasi alveolar dari agen anestesi inhalasi yang
dapat mencegah pergerakan dari 50% pasien pada stimulus
standar ( contoh, insisi pembedahan). MAC merupakan ukuran
yang berguna karena mencerminkan tekanan parsial otak,
menyediakan perbandingan dari potensi antara agen, dan
menyediakan standar untuk evaluasi eksperimen (Tabel 3).
Meskipun demikian, harus diingat bahwa MAC merupakan
nilai median dengan kegunaan terbatas dalam mengatur pasien,
khususnya selama perubahan konsentrasi alveolar secara cepat,
salah satunya pada saat induksi.

6
Tabel 1. Properti Agen Inhalasi

MAC dapat diubah oleh beberapa variabel psikologi dan


farmakologi (Tabel 4). Salah satu yang paling terlihat adalah
penurunan 6% MAC per usia dekade, tanpa memperhatikan
anestesi yang mudah menguap. MAC relatif tidak dipengaruhi
oleh spesies, seks ataupun durasi pemberian anestesi.

7
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi MAC

b. Agen anestesi inhalasi


1. N2O
Nitrous oxide (N2O; gas tertawa) tidak berwarna dan tidak
berbau dasarnya. Meskipun noneksplosif dan nonflammable,
nitrous oksida mampu seperti oksigen mendukung pembakaran.
Berbeda dengan agen volatile poten, nitrous oksida merupakan gas
pada suhu kamar dan tekanan lingkungan. Agen ini dapat disimpan
sebagai cairan di bawah tekanan karena temperatur kritis terletak di
atas suhu kamar.
2. Halotan
a. Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
i. Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan
otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal

8
dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta
pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang
diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya
hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat
selama anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan
vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008).
ii. Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat
menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas
terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2.
Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi
spasme bronkus (Munaf, 2008).
iii. Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang
menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008).
iv. Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke
ginjal disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf,
2008). e. Hati Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).
v. Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna
dalam manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta)
(Munaf, 2008). Metabolisme Sebanyak 80% hilang melalui gas
yang dihembuskan, 20% melalui metabolisme di hati.
Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf,
2008). Keuntungan dan Kerugian potensi anestesi umum kuat,
induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas tidak ada,
serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan kerugiannya
adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard
terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran

9
darah serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial (Munaf, 2008).
b. Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak
karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat
dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial
(Munaf, 2008).
c. Efek samping/Toksisitas
1) Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien
yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas,
wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode
waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler;
uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat
juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).
2) Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot
rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum,
hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen
yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari
retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).
2. Isofluran
a. Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada
dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan
sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap
katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh
vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang
berlebihan (Munaf, 2008).

10
2) Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia
ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas
(Munaf, 2008).
3) Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal
rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun
(Munaf, 2008).
4) Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen
metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk
bedah saraf (Munaf, 2008).
b. Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan
pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf, 2008).
c. Keuntungan dan Kerugian Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak
bersifat aritmogenik, tekanan ntrakranial tidak meningkat,
bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan napas
sedang (Munaf, 2008).
3. Desfluran
Struktur desflurane sangat mirip dengan isoflurane. Bahkan, satu-
satunya perbedaannya adalah substitusi atom klorin pada isoflurane
menjadi atom fluorin pada desflurane. Perubahan kecil ini memiliki efek
mendalam pada sifat fisik obat. Misalnya, karena tekanan uap desflurane
pada 20°C adalah 681 mm Hg, di dataran tinggi (misalnya, Denver,
Colorado) desflurane mendidih pada suhu kamar. Masalah ini
mengharuskan pengembangan alat penguap khusus desflurane.
Selanjutnya, kelarutan rendah desflurane dalam darah dan jaringan tubuh
menyebabkan induksi yang sangat cepat dan munculnya anestesi. Oleh
karena itu, konsentrasi alveolar dari desflurane di percaya jauh lebih cepat

11
daripada agen volatile lainnya, yang membuat tim anestesi melakukan
kontrol ketat atas tingkat anestesinya.
4. Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu
menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya
cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2
dan untuk pemeliharaan umum (Munaf, 2008).
Tabel 3. Obat Sevofluran
Obat Aritmia Sensitivitas Curah Tekanan Refleks Toksisitas
terhadap jantung Darah Respirasi pada
katekolamin Hepar
Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +++
Enfluran ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +
Isofluran -- -- ↓ ↓ ↑(stimulasi --
awal)
Sevofluran -- -- -- -- -- --
Nitrogen -- -- -- -- -- --
oksida
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Tabel 4. Farmakologi Klinis Anestesi Inhalasi

12
4. Anestesi Intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk
induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan
dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi. Karena
anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus
dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996)).
a. Agen Anestesi Intravena
a) Barbiturat
Mendepresi sistem aktivasi retikular pada batang otak yang
mengontrol berbagai fungsi vital, termasuk kesadaran.

Tabel 5. Cara Penggunaan dan Dosis Barbiturat

13
b) Benzodiazepin
Adalah obat yang memiliki efek sedatif.
Tabel 6. Penggunaan dan Dosis Benzodiazepin

c) Obat khusus (Ketamin, etomidate, propofol)


i. Ketamin
Obat ini menimbulkan kondisi anestesi disosiatif,
yang ditandai dengan katatonia, amnesia, dan analgesik,
dengan atau tanpa hilang kesadaran (hypnosis).
ii. Etomidate
Etomidate menekan sistem pengaktif retikuler dan
meniru efek penghambatan GABA. Secara khusus,
etomidate, khususnya R (+) isomer muncul untuk mengikat
subunit dari GABA A reseptor, meningkatkan afinitas
reseptor untuk GABA. Tidak seperti barbiturat, etomidate
mungkin memiliki efek disinhibitory pada bagian sistem
saraf yang mengontrol aktivitas motorik ekstrapiramidal.
iii. Propofol
Obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan
karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan
mual-mual. Propofol menghambat transmisi neuron yang
dihantarkan oleh GABA.

14
Tabel 7. Penggunaan dan Dosis Ketamin, Etomidate, Propofol

15
D. ANESTESI PEDIATRI

Ilmu anestesi pediatrik memiliki kekhususan dalam aspek anatomi, fisiologi,


psikologi yang berbeda dari pasien dewasa, sehingga memerlukan teknik dan peralatan
anestesi tersendiri.

Tabel 8. Perbedaan jalan napas orang dewasa dan anak-anak

JALAN NAPAS INFAN SIGNIFIKANSI

Pernapasan hidung yang Infan bernapas hanya melalui hidung


obligat, nares sempit yang mudah tersumbat oleh sekresi

Lidah yang besar Dapat menyumbat jalan napas dan


membuat laringoskopi dan intubasi
lebih sulit

Oksiput yang besar Sniffing positon tercapai dengan


mengganjal bahunya

Glottis terletak pada C3 bayi Laring terletak lebih anterior;


yang prematur, C3-C4 bayi penekanan krikoid sering dapat
baru lahir, dan C5 dewasa membantu visualisasi

Laring dan trakhea berbentuk Bagian tersempit trakhea adalah


seperti corong krikoid; pasien sebaiknya
dipasangkan ETT berukuran < 30 cm
H2O untuk mencegah tekanan yang
berlebihan pada mukosa trakhea,
barotrauma

Pita vokalis lebih miring ke Insersi ETT mungkin lebih sulit


anterior

16
Tabel 9. Perbedaan sistem pulmonal orang dewasa dengan anak-anak

SISTEM PULMONAL SIGNIFIKANSI


ANAK-ANAK

Alveoli yang sedikit dan lebih Jumlah alveoli pada usia 6 tahun 13
kecil kali lebih banyak dibanding bayi baru
lahir

Kemampuan pengembangan Kecenderungan kollaps jalan napas


lebih kecil lebih besar
Kurang elastis

Resistensi jalan napas lebih Tenaga untuk bernapas lebih besar


besar dan penyakit lebih rentan menyerang
Jalan napas lebih kecil saluran napas yang kecil

Iga-iga lebih horizontal, lebih Mekanisme kerja dinding dada tidak


lunak, dan mengandung lebih efisien
banyak kartilago

Mengadung otot tipe-1 (yang Bayi lebih mudah lelah


sangat oksidatif) yang lebih
sedikit

Kapasitas total paru (TLC) Desaturasi terjadi lebih cepat


kurang, RR dan metabolik lebih
cepat

Volume akhir lebih besar Ventilasi ruang rugi lebih tinggi

1. Perbedaan sistem kardiovaskuler pada anak-anak dengan dewasa


a. Bayi baru lahir tidak mempu meningkatkan curah jantungnya (CO)
dengan cara meningkatkan kontraktilitasnya; CO hanya dapat
ditingkatkan dengan cara meningkatkan denyut jantung (HR)

17
b. Bayi mempunyai refleks baroreseptor yang immatur dan
kemampuan kompensasi yang terbatas hanya dengan cara
meningkatkan denyut jantung (HR). Itu sebabnya bayi lebih rentan
terhadap efek depresi jantung anestetik volitile.
c. Bayi dan infan mempunyai tonus vagus yang lebih tinggi sehingga
cenderung bradikardi. Tiga penyebab utama bradikardia adalah
hipoksia, stimulasi vagus (laringoskopi), dan anestetik volatile
(mudah menguap).
Tabel 10. Tanda-tanda vital yang normal pada anak-anak

2. Perbedaan farmakologi
Perbedaan farmakologi obat-obat anestetik yang sering digunakan
pada anak-anak di sebabkan oleh :
a. Konsentrasi alveolar minimal (MAC) zat-zat volatile lebih tinggi
pada anak-anak dibanding dewasa. MAC tertinggi adalah pada
infan 1-6 bulan. Bayi prematur dan neonatus mempunyai MAC
yang rendah
b. Anak-anak mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap efek
disritmik epinefrin pada anestesi umum dengan zat-zat volatile

18
c. Anak-anak pada umumnya mempunyai keperluan obat (mg/kg)
yang lebih tinggi karena mempunyai distribusi volume yang lebih
besar (lebih banyak lemak, lebih banyak cairan tubuh)
d. Opioid sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada anak-anak yang
berusia < 1 tahun, yang lebih sensitif terhadap efek depresan
pernapasan

Tabel 11. Dosis Obat Pediatri

19
20
Tabel 12. Nilai MAC pada pediatri

3. Tekhnik Anestesi Pediatri


a. Pre Operatif
Kecemasan pada anak lebih besar karena rasa khawatir
akan nyeri dan berpisah dari orang tua. Sehingga pengenalan
proses operasi dan anestesi dengan menjelaskan dalam cara yang
dimengerti anak. Sebelum operasi dilaksanakan perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui kondisi yang dipertimbangkan
untuk dapat menunda operasi seperti batuk pilek dimana adanya
febris, dahak atau mukus yang purulen dan adanya infeksi saluran
napas bawah yang di tandai dengan rhonki (+), upper respiratory
infection selama kurun waktu 2-4 minggu sebelum operasi terkait
peningkatan risiko hiperaktifitas airway dan komplikasi
pulmonary.
Puasa pre operatif anak berbeda dengan dewasa dimana
anak lebih mudah dehidrasi dan lebih sulit untuk dilakukannya
pembatasan cairan pre opertif serta pH lambung yang rendah
(<2,5) dan volume residual yang tinggi. Insiden terjadinya aspirasi

21
pada anak sebesar 1 : 1.000. Sehingga puasa pre operatif pada anak
disusun sebagai berikut :
- Makan padat 4-8 jam sebelum operasi
- PASI 6 jam sebelum operasi
- ASI 4 jam sebelum operasi
- Air putih 2 jam sebelum operasi
b. Premedikasi
Anak-anak sering mengalami rasa takut dan gelisah yang sangat
besar saat mereka terpisah dari orang tua mereka dan saat induksi anestesi.
Premedikasi dianjurkan oleh Vetter pada anak-anak yang berusia 2-6
tahun dan belum pernah menjalani pembedahan atau tidak menerima
tuntunan dan pemahaman perioperatif atau yang gagal berinteraksi positif
dengan layanan perawatan kesehatan saat perioperatif. Telah banyak
ditemukan perubahan tingkah laku yang negatif pasca operasi pada anak-
anak yang gelisah selama induksi.

Tabel 13. Medikasi Preoperatif Yang Sering Digunakan Dan Cara Pemberiannya

Cara Per Oral Intramuskular Intravena


Pemberian
Midazolam 0,3-0,5 mg/kgBB 0,1-0,15 mg/kgBB 0,05 mg/ kgBB
Maksimal 15 mg Maksimal 10 mg
Atropine 0,05 mg/kgBB 0,02 mg/kgBB 0,01-0,02 mg/kgBB
Ketamin - - 0,5 -1 mg/ kgBB
(sedasi)
Fentanyl - - 1-2 mcg/kgBB
Ondansentron - - 0,1 mg/kgBB
Dexamethasone - - 0,1-0,5 mg/kgBB

c. Teknik induksi
i. Induksi inhalasi
Pilihan inhalasi adalah sevofluran dan halotan karena tidak
beraroma tajam dan tidak mengiritasi jalan napas. Desfluran dan

22
isofluran tidak digunakan untuk induksi karena beraroma kuat
sehingga insidensi cough, hold breathing dan laringospasme
meningkat.

1. Steal Induction
Digunakan saat anak telah tidur. Induksi anestesi
dilakukan dengan menggunakan sungkup yang agak jauh
dari muka anak, kemudian konsentrasi halotan atau
sevofluran ditingkatkan secara bertahap. Tujuan hal ini
adalah untuk menginduksi anestesi tanpa membangunakan
si anak.
Berikan N2O : O2 (70% : 30%) karena tidak
beraroma. Dekatkan cuff pada airway anak. Setelah tenang,
berikan sevofluran incremental tambahan 0,5% tiap 3-5
tarikan napas.
Efek negatif sevofluran membuat agistasi dan
eksitasi post operatif. Dapat dikurangi dengan penambahan
N2O saat induksi satau pemberian fentanyl 1-1,5
mcg/kgBB 15-20 menit sebelum operasi berakhir.
Sedangkan efek negatif halotan adalah lambatnya ekskresi
obat serta mendeprsi miokard yang dapat dilihat dari klinis
pasien yaitu, bradikardi, hipotensi dan aritmia.
2. Single breath induction
Biasanya diberikan pada anak usia 5-10 tahun. Pada
teknik ini pasien diminta menarik napas sedalam-dalamnya
dan tahan napas beberapa saat. Kemudian menghembuskan
napas panjang sampai seolah tidak ada udara di paru. Lalu
tempelkan face mask dengan agen inhalasi konsentrasi
tinggi, minta pasien untuk tarik napas sedalam-dalamnya,
setelah itu bernapas normal. Induksi akan tercapai dalam
waktu 30-49 detik.

23
ii. Induksi intravena
Digunakan pada seorang anak yang telah dipasangi infus
atau pada anak-anak yang berusia > 10 tahun. Medikasi yang
biasanya digunakan pada anak-anak adalah tiopental 5-6 mg/kg;
propofol 2-3 mg/kg; dan ketamin 1-2 mg/kg. Agar prosedur tidak
traumatik, krim EMLA (campuran anestesi lokal yang
eutektos/mudah larut) diusapkan paling kurang 90 menit sebelum
infus IV dipasang.

d. Monitoring operasi
i. Monitor vital sign ( tekanan darah, saturasi, suhu serta
EKG)
Monitoring suhu penting untuk mendeteksi hipo/hipertermi
iatrogenik. Selama operasi hipotermi dapat dicegah dengan
:
- Suhu kamar operasi > 26 oC
- Gas inspirasi dihangatkan
- Cairan intravena dihangatkan
- Selimut dan lampu penghangat
ii. Alarm monitor harus disesuaikan setting usia
iii. Pulse oxymetri dan capnograph
Sebaiknya pulse oxymetri di tangan kanan atau lobus
telinga untuk mendeteksi saturasi oksigen predultal
iv. Elektroda ekg harus lebih kecil
v. Manset sesuai ukuran usia
vi. Stetoskop prekordial untuk memonitor denyut jantung,
kualitas bunyi jantung, patensi jalan napas.
vii. Kadar glukosa

e. Kebutuhan cairan perioperatif pada anak-anak


i. Pemeliharaan diperhitungkan dengan cara berikut :
1. Infan < 10 kg : 4 ml/kg/jam
2. 10-20 kg : 40 + 2 ml/lg/jam setiap < 10
kg
3. Anak-anak > 20 kg : 60 + 1 ml / kg / jam setiap >
20 kg

24
ii. Estimasi defisit cairan (EFD) sebaiknya dihitung dan
diganti dengan cara :
1. EFD = pemeliharaan x jam sejak asupan oral
terakhir
2. ½ EFD + pemeliharaan diberikan pada jam pertama
3. ¼ EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-2
4. ¼ EFD + pemelihataan diberikan pada jam ke-3
Seluruh EFD sebaiknya diganti pada kasus-kasus
besar. Untuk kasus kecil, 10-20 ml/kg solusi garam yang
ditakar dengan atau tanpa glukosa biasanya sudah adekuat.
iii. Stress operastif (SO) diperhitungkan dengan cara berikut :
1. Kecil : 2cc /kgBB /jam
2. Sedang : 4cc /kgBB /jam
3. Besar : 6cc /kgBB /jam
iv. Estimasi volume darah (EBV) dan Allowable Blood Loss
(ABL) sebaiknya dihitung pada setiap kasus.
ABL = ( Hct sekarang – Hct target ) x EBV x 3%
Dimana ABL = kehilangan darah, EBV = estimasi
volume darah, px = pasien, dan hct =hematokrit. Nilai
hematokrit terendah bervariasi antara tiap individu.
Transfusi darah biasanya dipertimbangkan saat hematorkit
kurang dari 21-25%. Jika terdapat masalah pada tanda-
tanda vital, transfusi darah perlu diberikan lebih dini.
Sebagai contoh, seorang infan berusia 4 bulan
dijadwalkan untuk rekonstruksi kraniofasial dengan
perkiraan lama operasi 2 jam. Bayi sehat, dengan asupan
oral terakhir diperoleh 6 jam sebelum tiba di ruang operasi.
BB = 6 kg, hct preoperatif = 33%, nilai hct target = 30%.
Pemeliharaan : BB x 4 ml/jam = 24 ml/jam
EFD : pemeliharaan x 6 kg = 144 ml
SO (Sedang) : BB x 4ml x lama operasi = 48 ml/jam

25
EBV : BB x 80 ml/kg = 480 ml
ABL : (33-30) x 480 x 3% = 43,2 ml

Tabel 14. Nilai EBV pada anak-anak

USIA EBV (ml/kg)

Neonatus Prematur 100

Neonatus 85- 90

Infants 80

4. Endtracheal Tube (ETT)


ETT yang ber-cuff dapat diguanakan pada anak-anak. Tentu saja
cuff tersebut mengambil tempat sehingga membatasi ukuran ETT. Namun,
Khine dkk., telah memperlihatkan bahwa pipa yang ber-cuff telah sukses
digunakan bahkan pada neonatus tanpa peningkatan komplikasi.

Tabel 15. Ukuran ETT pada Anak

USIA Ukuran Diameter Interna (mm)

Bayi baru lahir 3,0 – 3.5

Bayi baru lahir – 12 bulan 3,5 – 4,0

12 – 18 bulan 4,0

2 tahun 4,5

 ETT setengah nomor di atas dan setengah di bawah harus


disiapkan
 Kebocoran di sekitar ETT sebaiknya kurang dari 30 cm H2O
 ETT sebaiknya dipasang pada kedalaman sekitar 3 kali dari
diameter internanya.

26
Laryngeal mask airway (LMA)

LMA dapat sangat bermanfaat pada pediatrik. Alat ini dapat


membantu pada jalan napas sulit, baik sebagai teknik tunggal, maupun
digunakan bersama-sama dengan ETT.

Tabel 16. Ukuran LMA pada Anak

Berat Badan Anak Ukuran LMA


Neonatus sampai 5 kg 1
Infan 5-10 kg 1½
Anak-anak 10-2 kg 2
Anak-anak 20-30 kg 2½
Anak-anak/dewasa muda > 30 kg 3

5. Cairan pengganti apa yang paling sering digunakan pada anak-anak


Garam natrium yang ditakar (BSS) seperti RL dengan glukosa
(D5RL) atau tanpa glukosa (RL) direkomendasikan dalam hal ini. Pada
bayi yang lahir baik, terlihat bahwa hipoglikemia dapat terjadi pada anak
sehat yang menjalani prosedur invasif jika tidak digunakan cairan yang
mengandung glukosa. Namun ditemukan adanya hiperglikemia yang
terjadi pada mayoritas anak-anak yang telah diberikan solusi yang
mengandung glukosa 5%. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan
cairan yang mengandung glukosa 1% atau 2,5%. Yang lain masih
menggunakan solusi glukosa 5% untuk pemeliharaan, namun
direkomendasikan bukan BSS yang mengandung non-glukosa untuk third
space atau kehilangan darah. Pada operasi mayor, sangat penting untuk
memeriksa kadar glukosa secara berseri dan untuk menghindari hiper- atau
hipoglikemia.

27
6. Respon sistemik terhadap kehilangan darah
Anak-anak yang sehat telah berkompensasi terhadap kehilangan
volume akut sebesar 30-40% sebelum terjadi perubahan tekanan darah.
Indikator awal yang paling jelas pada syok hipovolemik yang
terkompensasi pada anak-anak adalah takikardi persisten, vasokonstriksi
kutaneus, dan penurunan tekanan darah.

Tabel 17. Respon Sistemik terhadap Kehilangan Darah pada Anak

Sistem Kehilangan Kehilangan Darah Kehilangan


Organ Darah <25 % 25-40% Darah > 45%
Jantung Nadi lemah dan HR meningkat Penurunan TD,
cepat, HR peningkatan HR ,
meningkat bradikardi
mengindikasikan
kehilangan darah
yang berat dan
mengarah ke
kollaps sirkulasi
SSP Lesu, bingung, Perubahan LOC, Komatous
cengeng kurang berespon
terhadap nyeri
Kulit Kedinginan, Sianotik, Pucat, dingin
berkeringat penurunan
pengisian kapiler ,
ekstremitas dingin
Ginjal Penurunan UOP UOP minimal UOP minimal
HR = denyut jantung, TD = tekanan darah, LOC = tingkat
kesadaran, UOP = produksi urine

7. Komplikasi pasca operasi


a. Mual dan muntah
Merupakan penyebab tersering dari tertundanya waktu
keluar pasien. Terapi terbaik untuk mual dan muntah post-operatif
adalah dengan pencegahan. Menghindari opiod akan mungurangi
insidensi mual dan muntah post-operatif sepanjang ada penghilang

28
nyeri yang adekuat (seperti berfungsinya blok kaudal pada pasien).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian cairan
intravena dan penghentian asupan oral. Jika muntah menetap,
metoklopramid, droperidol, atau ondansetron dapat dicoba. Jika
muntah tidak teratasi, pasien sebaiknya diobservasi.

Tabel 18. Faktor-faktor yang Meningkatkan Insidensi Mual dan Muntah Pasca
Operasi

Faktor Pasien Faktor Pembedahan/Anestesi


Pasien berusia > 6 tahun Lama pembedahan > 20 menit
Riwayat mual dan muntah Bedah mata
sebelumnya Tonsilektomi/adenoidektomi
Riwayat motion sickness Pemberian narkotik
Mual pre-operatif Nitrous Oksida
Sangat gelisah saat preoperatif

b. Masalah pernapasan
Utamanya laringospasme dan stridor lebih sering
ditemukan pada anak-anak dibanding pada orang dewasa.
Penatalaksanaan laringo-spasme antara lain : oksigen bertekanan
positif, maneuver Fink (jaw thrust yang nyeri), suksinilkolin, dan
intubasi ulang jika perlu. Stridor biasanya ditangani dengan
oksigen yang dihumidifikasi (dilembabkan), steroid, dan epinefrin
rasemik.

29
E. SPINA BIFIDA
Spina bifida adalah kelainan neural tube ( neural tube defect ) yang
terjadi akibat kegagalan neural tube untuk menutup dengan sempurna.
Angka kejadian 1 per 1000 kelahiran. Spina bifida terdiri dari sebuah
hiatus yang biasanya terletak dalam vertebra lumbosakralis, dan lewat
hiatus ini menonjol sakus meningus sehingga terbentuk meningokel. Jika
sakus tersebut juga berisi medulla spinalis, anomali tersebut dinamakan
meningomielokel. Dengan adanya rakiskisis total, medulla spinalis
tergambar sebagai pita jaringan yang berwarna merah serta menyerupai
spons dan terletak dalam suatu sulkus yang dalam. Dalam keadaan ini,
bayi segera meninggal saat lahir.
Pada kasus-kasus lainnya, defek yang terjadi mungkin sangat
ringan seperti spina bifida okulta. Malformasi yang menyertai, khususnya
hidrosefalus, anansefalus dan clubfoot umum terdapat. Jika bagian otak
mengalami protrusion ke dalam sakus, terjadi meningoensefalokel.
Pada kasus defek neural tube aperta, kadar alfa feto protein
mendekati pertengahan kehamilan mungkin tinggi tidak seperti biasanya
baik dalam plasma maternal maupun dalam cairan amnion. Beberapa
program skrining dapat dilakukan pada ibu-ibu hamil, yaitu pemeriksaan
skrining alfa feto protein serum maternal untuk mengetahui adanya defek
neural tube dan bisa juga dilakukan penelitian sitogenetik terhadap sel-sel
janin yang diperoleh melalui amniosintesis atau pengambilan sampel vili
korialis dari wanita yang hamil pada usia diatas 35 tahun.
Program ini menimbulkan banyak permasalahan sosial, etis,
ekonomi serta hukum, diluar permasalahan stigmata psikologis yang
kemungkinan timbul setelah seseorang mengetahui kalau dirinya
membawa “ gen yang jelek. “ Hal yang sama pentingnya dengan
keberhasilan program skrining tersebut adalah program penyuluhan
intensif bagi orang-orang yang menjalani tes. Program skrining neonatal
juga merupakan program yang populer dan banyak dilakukan di negara

30
bagian Amerika yang memiliki undang-undang bagi pemeriksaan skrining
neonatus untuk menemukan kelainan tertentu.
a. Definisi
Spina bifida berarti terbelahnya arcus vertebrae dan bisa
melibatkan jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Spina bifida disebut
juga myelodisplasia, yaitu suatu keadaan dimana ada perkembangan
abnormal pada tulang belakang, spinal cord, saraf-saraf sekitar dan
kantung yang berisa cairan yang mengitari spinal cord. Kelainan ini
menyebabkan pembentukan struktur yang berkembang di luar tubuh.

b. Klasifikasi
Ada berbagai jenis spina bifida. antara lain :
1. Spina bifida okulta
Menunjukkan suatu cacat yang lengkung-lengkung
vertebranya dibungkus oleh kulit yang biasanya tidak mengenai
jaringan saraf yang ada di bawahnya. Cacat ini terjadi di daerah
lumbosakral ( L4 – S1 ) dan biasanya ditandai dengan plak
rambut yang yang menutupi daerah yang cacat. Kecacatan ini
disebabkan karena tidak menyatunya lengkung-lengkung
vertebra ( defek terjadi hanya pada kolumna vertebralis ) dan
terjadi pada sekitar 10% kelahiran
2. Spina bifida kistika
Adalah suatu defek neural tube berat dimana jaringan saraf
dan atau meningens menonjol melewati sebuah cacat lengkung
vertebra dan kulit sehingga membentuk sebuah kantong mirip
kista. Kebanyakan terletak di daerah lumbosakral dan
mengakibatkan gangguan neurologis, tetapi biasanya tidak
disertai dengan keterbelakangan mental.
3. Spina bifida dengan meningokel
Pada beberapa kasus hanya meningens saja yang berisi
cairan saja yang menonjol melalui daerah cacat. Meningokel

31
merupakan bentuk spina bifida dimana cairan yang ada di
kantong terlihat dari luar ( daerah belakang ), tetapi kantong
tersebut tidak berisi spinal cord atau saraf.
4. Spina bifida dengan meningomielokel
Merupakan bentuk spina bifida dimana jaringan saraf ikut
di dalam kantong tersebut. Bayi yang terkena akan mengalami
paralisa di bagian bawah.
5. Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis
Merupakan bentuk spina bifida berat dimana lipatan-lipatan
saraf gagal naik di sepanjang daerah torakal bawah dan
lumbosakral dan tetap sebagai masa jaringan saraf yang pipih.
Kelainan-kelainan di atas biasanya timbul di daerah cervical
dan atau lumbar dan dapat menyebabkan gangguan neurologis
pada ekstremitas bawah dan gangguan kandung kemih. Defek
neural tube ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan kadar alfa
feto protein ( AFP ) pada sirkulasi fetus setelah perkembangan
empat minggu.

c. Pembentukan Neural Tube


Pembentukan system saraf pusat dimulai sejak bulan pertama
perkembangan janin, dimulai dari notocord kemudian terbentuk
neuroectoderm dan berkembang menjadi bentukan seperti pita pipih yang
dinamakan neural plate, kemudian masuk ke dalam ke bagian belakang
embrio yang dinamakan neural groove. Bagian samping dari neural groove
akan melengkung ke atas ( neural fold ) dan menyatu membentuk suatu
tabung yang dinamakan neural tube, penyatuan / fusi dari neural fold
dimulai dari bagian tengah dari embrio dan bergerak ke arah atas ( cranial
) dan bawah ( caudal ). Bagian atas dinamakan anterior ( rostral )
neuropore dan bagian bawah dinamakan posterior ( caudal ) neuropore.
Anterior neuropore menutup pada hari 26 atau sebelumnya pada akhir
minggu ke empat. Jika bagian dari tabung neural ( neural tube ) tidak

32
menutup, tulang belakang juga tidak menutup akan menyebabkan
terjadinya spina bifida.

Gambar 1. Pembentukan Neural Tube

Gambar 2. Defek Neural Tube

d. Stadium perkembangan
1. 21 hari : neural groove dan dimulainya pembentukan neural tube
2. 25 hari : penutupan neural groove kecuali bagian akhir anterior dan
posterior
3. 30 hari : neuropores menutup, pengenalan fore, mid dan hind brain.
Diferensiasi 3 lapis neural tube

33
4. 5 minggu : pembentukan otak dan pembentukan lensa mata
5. 6 minggu : dimulainya perkembangan cerebellum
6. 7 minggu : corpus striatum dan thalamus, bertemunya komponen
glandula pituitary
7. 8 minggu : meningens, diferensiasi cortex cerebral - 3 – 4 bulan :
otak mulai menyerupai otak dewasa, terbentuknya corpus calosum
dan konmponen yang lain
8. 4 bulan-lahir : timbulnya cerebral sulkus dan gyrus, myelinisasi
dimulai.

Gambar 3. Perkembangan Otak

e. Etiologi
Bahan – bahan teratogen yang dapat menyebabkan terjadinya defek
neural tube adalah :
1. Carbamazepine
2. Valproic acid
3. Defisiensi folic acid
4. Sulfonamide

34
Seorang wanita yang mengkonsumsi valproic acid selama
kehamilan mempunyai resiko kemungkinan melahirkan bayi dengan defek
neural tube sebesar 1-2%, maka dari itu seorang wanita hamil yang
mengkonsumsi obat-obat anti epilepsi selama kehamilannya disarankan
untuk melakukan pemeriksaan AFP prenatal rutin. Faktor maternal lain
yang dapat menyebabkan defek neural tube meliputi :
1. Riwayat keluarga dengan defek neural tube
2. Penggunaan obat-obat anti kejang
3. Overweight berat
4. Demam tinggi pada awal kehamilan
5. Diabetes mellitus

f. Patogenesis
Defek neural tube disini yang dimaksud adalah karena kegagalan
pembentukan mesoderm dan neurorectoderm. Defek embriologi primer
pada semua defek neural tube adalah kegagalan penutupan neural tube,
mempengaruhi neural dan struktur kutaneus ectodermal. Hal ini terjadi
pada hari ke 17 - 30 kehamilan. Selama kehamilan , otak, tulang belakang
manusia bermula dari sel yang datar, yang kemudian membentuk silinder
yang disebut neural tube. Jika bagian tersebut gagal menutup atau terdapat
daerah yang terbuka yang disebut cacat neural tube terbuka. Daerah yang
terbuka itu kemungkinan 80% terpapar atau 20% tertutup tulang atau kulit.
90% dari kasus yang terjadi bukanlah faktor genetik / keturunan tetapi
sebagian besar terjadi dari kombinasi faktor lingkungan dan gen dari
kedua orang tuanya.

g. Diagnosa
Defek neural tube dapat dideteksi dengan pemeriksaan AFP ( alfa
feto protein) pada cairan amnion atau AFP yang diperiksa dari darah ibu
hamil. AFP adalah protein serum utama yang terdapat pada awal
kehidupan embrio dan 90% dari total globulin serum dari fetus. AFP dapat

35
mencegah rejeksi dari fetal imun dan pertama kali dibuat di yolk sac dan
kemudian di sistem gastro intestinal dan hepar fetus. Dimulai dari sirkulasi
darah fetus menuju traktus urinarius kemudian diekskresi ke dalam cairan
amnion. AFP juga dapat bocor ke dalam cairan amnion melalui defek
neural tube yang terbuka seperti pada anencephaly dan myelomeningocele,
dimana sirkulasi darah fetus berhubungan langsung dengan cairan amnion.
Langkah pertama dari prenatal skrining adalah pemeriksaan serum
AFP pada ibu hamil antara minggu ke 15 dan 18 kehamilan. Seseorang
dikatakan beresiko secara spesifik berdasarkan perbandingan usia
kehamilan dan level AFP. Misalnya, pada usia kehamilan 20 minggu
konsentrasi AFP serum pada ibu hamil lebih tinggi dari 1.000 ng/mL
mempunyai indikasi terjadinya defek neural tube terbuka. Kadar AFP
serum normal pada ibu hamil biasanya lebih rendah dari 500 ng/mL.
Penentuan ketepatan usia kehamilan sangatlah penting karena level
AFP mempunyai hubungan yang spesifik dengan usia kehamilan dan
dapat meningkat mencapai puncak pada fetus normal pada kehamilan 12-
15 minggu. Pemeriksaan AFP melalui cairan amnion merupakan
pemeriksaan yang akurat, terutama pada usia kehamilan 15-20 minggu dan
dapat mendeteksi kurang lebih 98% pada semua defek neural tube yang
terbuka. Defek neural tube juga dapat dideteksi dengan USG. Beberapa
kelainan fetus lain yang dapat dideteksi dari peningkatan AFP meliputi :
1. Anencephaly
2. Spina bifida kistika
3. Encephalocele
4. Omphalocele
5. Turner syndrome
6. Gastroschisis
7. Oligohydrmnions
8. Sacrococcygeal teratoma
9. Kelainan ginjal polikistik
10. Kematian janin intra uteri
11. Obstruksi traktus urinarius

36
h. Terapi
Pembedahan

i. Pencegahan
Penggunaan suplemen Folic acid 400 micrograms ( 0,4 mg ) / hari
sebelum hamil dan 800 micrograms / hari selama kehamilan. Penggunaan
suplemen folic acid ini penting untuk menurunkan resiko terjadinya defek
neural tube seperti spina bifida. Folic acid ( folinic acid, folacin,
pteroyglutamic acid ) terdiri dari bagianbagian pteridin, asam para
aminobenzoat dan asam glutamat. Dari penelitian terbukti bahwa yang
memiliki arti biologik adalah gugus PABA dan gugus asam glutamat.
PmGA bersama-sama dengan konjugat yang mengandung lebih dari satu
asam glutamat, membentuk satu kelompok zat yang dikenal sebagai folat.
Folat terdapat dalam hampir setiap jenis makanan dengan kadar tertinggi
dalam hati, ragi dan daun hijau yang segar. Folat mudah rusak dengan
pengolahan ( pemasakan ) makanan. Dipandang dari sudut biologik,
defisiensi folat terutama akan memperlihatkan gangguan pertumbuhan
akibat gangguan pembentukan nukleotida purin dan pirimidin. Gangguan
ini akan menyebabkan kegagalan sintesis DNA dan hambatan mitosis sel.

37
F. MENINGOCELLE
a. Definisi
Meningokel adalah satu dari tiga jenis kelainan bawaan
spina bifida. Meningokel adalah meningens yang menonjol melalui
vertebrata yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi
cairan dibawah kulit. Angka kejadiannya 3 dari 1000 kelahiran.
Meningokel adalah penonjolan dari pembungkus medulla
spinalis melalui spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada
permukaan. Pembengkakan kistis ini ditutupi oleh kulit yang
sangat tipis. Pada kasus tertentu kelainan ini dapat dikoreksi
dengan pembedahan. Pembedahan terdiri dari insisi meningokel
dan penutupan durameter. Kemudian kulit diatas cacat ditutup.
Hidrosefalus kemungkinan merupakan komplikasi yang
memerlukan drainase.
Meningokel merupakan kelainan kongenital SSP yang
paling sering terjadi. Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel
biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah torakal sebelah
atas.Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap
dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf). Tidak
terdapat gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan menjadi
normal sesudah operasi
Meningokel adalah penyakit kongenital dari kelainan
embriologis yang disebut neural tube defect (NTD) yaitu adanya
defek pada penutupan spina yang berhubungan dengan
pertumbuhan yang abnormalnya korda spinalis atau penutupannya.

b. Etiologi/penyebab
Penyebab spesifik dari meningokel atau belum diketahui.
Banyak factor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat
dalam terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat
minggu setelah konsepsi. Hal-hal berikut ini telah ditetapkan

38
sebagai faktor penyebab, yaitu kadar vitamin maternal rendah,
termasuk asam folat, mengonsumsi klomifen dan asam valfroat
serta hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50%
defek tuba neural dapat dicegah jika wanita bersangkutan
meminum vitamin-vitamin prakonsepsi, termasuk asam folat.
Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting
ialah defek tabung neural yang terjadi pada 3-4 per 100.000 lahir
hidup. Bermacam-macam penyebab yang berat menentukan
morbiditas dan mortalitas, tetapi banyak dari abnormalitas ini
mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat dideteksi
pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan.
Penonjolan dari korda spinalis dan meningens
menyebabkan kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf,
sehingga terjadi penurunan atau gangguan fungsi pada bagian
tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau bagian bawahnya.

c. Tanda dan gejala


Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya
kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang terkena.
Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala, sedangkan
yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi
oleh korda spinalis atau akar saraf yang terkena.
Gejala pada umumnya berupa penonjolan seperti kantung
dipunggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir.
Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki,
penurunan sensasi, inkontinesia uri maupun inkontinensia tinja.
Korda spinalis yang tekena rentan terhadap infeksi (meningitis).
1) Gangguan persarafan
2) Gangguan mental
3) Gangguan tingkat kesadaran

39
d. Deteksi prenatal
Terdapat kemungkinan untuk menentukan adanya beberapa
NTD terbuka selama masa prenatal. Pemindaian ultrasonografi
pada uterus dan peningkatan konsentrasi alfafetoprotein (AFP),
suatu gamma, globulin yang spesifik pada fetus, dalam cairan
amnion mengindikasikan adanya anensefali atau mielomeningokel.
Waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan diagnostic ini
adalah pada usia gestasi 16 dan 18 minggu, sebelum konsentrasi
AFP yang normalnya menurun, dan pada saat yang tepat untuk
melakukan aborsi terapeutik. Pengambilan sampel virus koronik
(chorionic villus sampling, CVS) juga merupakan pemeriksaan
untuk diagnostik NTD pada masa prenatal.
Prosedur diagnostic di atas direkomendasikan untuk semua
ibu yang telah melahirkan anak dengan gangguan ini dan
pemeriksaan ditawarkan bagi semua wanita hamil. Selain itu,
rencana kelahiran dengan seksio sesarea dapat menurunkan
disfungsi motorik.

e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan fisik. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani
pemeriksaan darah yang disebut triple screen. Tes ini merupakan
tes penyaringan untuk spina bifida, sindrom down, dan kelainan
bawaan lainnya.
Sebanyak 85% wanita yang mengandung bayi spina bifida,
akan memiliki kadar serum alfa feto protein yang tinggi. Tes ini
memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya
positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat
diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan
adanya spina bifida. Kadang dilakukan amniosentesis.

40
Setelah bayi lahir dilakukan pemeriksaan rontgen tulang
belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan, pemeriksaan
USG tulang belakang bias menunjukkan adanya kelainan pada
korda spinalis maupun vertebrata, serta pemeriksaan CT-Scan atau
MRI tulang belakang kadang-kadang dilakukan untuk menentukan
lokasi dan lokasi kelainan.

f. Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan awal meningokel adalah
mengurangi kerusakan saraf, meminimalkan komplikasi (misalnya
infeksi), serta membantu keluarga dalam menghadapi kelainan ini.
Pembedahan dilakukan pada periode neonatal untuk
mencegah rupture. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal
dan shunt LCS pada bayi hidrosefalus dilakukan pada saat
kelahiran. Pencangkokan kulit diperlakukan bila lesinya besar.
Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis.
Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga
dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati dn mencegah
meningitis, infeksi saluran kemih dan lainnya diberikan antibiotic.
Untuk membantu memperlancar aliran kemih bias dilakukan
penekanan lembut diatas kandung kemih. Pada kasus yang berat
kadang harus dilakukan pemasangan kateter. Diet kaya serat dan
program pelatihan buang air besar bisa membantu memperbaiki
fungsi saluran pencernaan.
Untuk mengatasi gejala muskulo skeletal (otot dan
kerangka tubuh) perlu campur tangan dari ortopedi (bedah tulang)
maupun terapi fisik. Keleinan saraf lainnya diobati sesuai dengan
jenis dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi. Kadang-kadang
dilakukan pembedahan VP shunt untuk memperbaiki hidrosefalus

41
Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan, dapat
mengurangi kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan
defek korda spinalis.
Penatalaksanaan:
1. Sebelum dioperasi, bayi dimasukkan kedalam
incubator dengan kondisi tanpa baju.
2. Bayi dalam posisi telungkup atau tidurjika
kantungnya besar untuk mencegah infeksi.
3. Berkolaborasi dengan dokter anak, ahli bedah dan
ahli ortopedi, dan ahli urologi, terutama untuk
tidakan pembedahan, dengan sebelumnya
melakukan informed consent
Lakukan pengamatan dengan cermat terhadap adanya
tanda-tanda hidrosefalus (dengan mengukur lingkar kepala setiap
hari) setelah dilakukan pembedahan atau juga kemungkinan
terjadinya meningitis (lemah, tidak mau minum, mudah
terangsang, kejang dan ubun-ubun akan besar menonjol). Selain
itu, perhatikan pula banyak tidaknya gerakan tungkai dan kaki,
retensi urin dan kerusakan kulit akibat iritasi urin dan feses.

g. Pencegahan
Risiko dapat dikurangi dengan mengonsumsi asam folat.
Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi
sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat
dini. Kepada wanita yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk
mengonsumsi asam folat sebanyak 0.4 mg/hari. Kebutuhan asam
folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari.

42
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Identitas
Nama : An. AFN
Usia : 1,5 tahun
Berat badan : 9 kg
Tinggi badan : 70 cm
IMT : 18.3
Alamat : Guwo, Kemusu, Boyolali
Tanggal Masuk : 12 Desember 2016
Tanggal Pemeriksaan : 16 Desember 2016
No. Rekam Medis : 0136xxxx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Benjolan diatas hidung
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS. Dr. Moewardi Surakarta diantar oleh
keluarganya dengan benjolan diatas hidung. Benjolan berukuran
sebesar bola ping pong, tidak nyeri, konsistensi lunak, permukaan
halus. Benjolan dihidung pasien telah ada sejak lahir dengan ukuran
sebesar kelereng yang seiring pertumbuhan semakin membesar. Dari
hasil autoanamnesis dengan ibu pasien, pasien tidak kejang, batuk,
pilek, maupun demam. Buang air kecil dan buang air besar dalam
batas normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi VP Shunt pada tanggal 17 November 2016
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami keluhan yang serupa.

43
5. Riwayat Kehamilan
Pasien jarang memeriksakan kehamilan.
Kesan: kehamilan sulit dievaluasi
6. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu usia 21 tahun dengan usia kehamilan 39
minggu secara spontan. Proses persalinan dibantu oleh dokter. Pasien
lahir dengan berat badan lahir 3000 gram dan panjang badan 36 cm,
langsung menangis kuat, gerak aktif, dan tidak biru.
Kesan: kelahiran dalam batas normal.
7. Riwayat Imunisasi

0 bulan : Hepatitis B0
1 bulan : BCG, Polio 1
2 bulan : Pentabio 1, Polio 2
3 bulan : Pentabio 2, Polio 3
Kesimpulan : imunisasi lengkap sesuai usia saat ini menurut
Kemenkes 2008.
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

0-3 bulan : menoleh dan tersenyum saat ada suara


3-6 bulan : mengikuti gerakan benda didepan mata
6-9 bulan : mengoceh, dapat membedakan suara
9-12 bulan : belajar makan dan mengunyah, dapat menegakkan
kepala, belajar tengkurap dan duduk
12-18 bulan : belajar berbicara, tertarik dengan benda sekitar
disertai rasa ingin tau
Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia
9. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan. Saat ini pasien
mendapatkan susu formula.
10. Riwayat Sosial Ekonomi

44
Pasien tinggal di rumah bersama orangtua pasien serta nenek dan
kakek. Biaya pemeriksaan dan pengobatan pasien ditanggung oleh
BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital TD : 90/40 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 30 x/menit
S : 37,3 C
BB : 9 kg
TB : 70 cm
3. Status generalis :
a. Kepala : Normosefali, deformitas (-)
b. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
c. Hidung : Terdapat benjolan di hidung dengan diameter ± 4
cm , patensi (+/+), nafas cuping hidung (-), sekret
(-)
d. Mulut : Buka mulut sulit dievaluasi, malampati sulit
dievaluasi
e. Telinga : Pendengaran baik (+) secret (-)
f. Leher : Thyromental distance < 6 jari, gerak leher bebas
g. Tenggorok : Hiperemis (-), detritus (-), uvula di tengah.
h. Thorax : Retraksi (-)
Paru I: Pengembangan dada kanan = kiri

P: Fremitus raba kanan = kiri

P: Sonor-sonor

A: Suara dasar: vesikuler +/+

Suara tambahan : -/-

45
Jantung I : Ictus cordis tidak tampak

P : Ictus cordis tidak kuat angkat

P : Batas jantung kesan tidak melebar

A: Bunyi jantung I-II intensitas normal,

reguler, bising (-)

i. Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal,


Hepar teraba 1 jari dibawah arcus costae, lien tidak
teraba
j. Extremitas : oedem akral dingin
CRT <2detik – – – –

_ _ _ _

- - – –
4. Pemeriksaan status neurologis
a. Tingkat kesadaran : E4V5M6
b. Tanda meningeal : sulit dievaluasi
c. Nervi craniales
N. II, III : pupil isokor 2mm/2mm, refleks cahaya
direk/ indirek (+)
N. III, IV, VI : doll eye phenomenon tidak intak
N. V, IX, X, XII : tertawa, menangis, menghisap dan
menelan (+)
N. VII : tidak ada kelainan
N. VIII : menoleh saat di panggil (+)
5. Pemeriksaan neuromuskular
a. Head lag : (-) d. Sucking reflex : (+)
b. Frog leg posture : (-) e. Search reflex : (+)
c. Palmar grasp reflex : (+) f. Stepping reflex : (+)
g. Reflex Parachute : (+)

46
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Radiologis (Tanggal 14 Desember 2016)

Hasil MSCT Scan kepala dengan reformat 3D tanpa kontras:

- Meningocelle ukuran 3.81 x 4.42 x 4.03 cm dengan defect


sepanjang 1,87 cm di sutura metapica.
- Terpasang VP Shunt dengan tip terproyeksi di crus
posterior ventrikel lateralis kanan.

47
b. Pemeriksaan Lab (Tanggal 12 dan 14 Desember 2016)
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 10.7 g/dl 10.5 - 12.9
Hematokrit 33 % 35 – 41
Leukosit 11.4 ribu/ul 5.5 – 17.0
Trombosit 265 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.10 juta/ul 4.10 - 5.30
HEMOSTASIS
PT 14.0 detik 10.0-15.0
APTT 33.3 detik 20.0-40.0
INR 1.150 -
KIMIA KLINIK
GDS 94 mg/dl 60 – 100
Ureum 8 mg/dl <48
Albumin 4.4 g/dl 3.8-5.4
Kreatinin 0.2 mg/dl 0.3-0.7
ELEKTROLIT
Natrium
136 mmol/L 132 – 145
darah
Kalium darah 3.8 mmol/L 3.1- 5.1
Klorida
101 mmol/L 98-106
darah
HbsAg
HbsAg Nonreaktif Non reaktif

Kesimpulan :
Pasien anak perempuan, usia 1,5 tahun datang dengan keluhan
utama benjolan diatas hidung. Benjolan berukuran sebesar bola ping
pong, tidak nyeri, konsistensi lunak, permukaan halus. Benjolan dihidung
pasien telah ada sejak lahir dengan ukuran sebesar kelereng yang seiring
pertumbuhan semakin membesar. Tindakan yang akan dilakukan adalah
eksisi celle. Pasien dengan status fisik ASA I. Rencana general anestesi
intubasi oral respirasi kontrol.

48
B. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis orang tua pasien ( + )
b. Injeksi dexamethason 1 mg malam hari dan pagi sebelum operasi
c. Puasa 6 jam sebelum operasi
d. Pasang IV line dengan cairan D5 ½ NS 36 tpm mikro
e. Post op sedia PICU
f. Penyediaan darah 1 PRC
2. Jenis Anestesi : General anestesi
3. Teknik Anestesi : Anestesi intravena dan ihalasi
4. Analgesi inhalasi : Sevofluran 2 – 2.5 vol%
5. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin.
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar

C. TATA LAKSANA ANESTESI


1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas pasien
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital dan keadaan umum
c. Lama puasa >6 jam
d. Cek obat-obatan dan alat anestesi
e. Posisi terlentang
f. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
g. Infus Ringer Fundin 36 tpm mikro

2. Di ruang operasi
a. Jam 11.30 dilakukan premedikasi midazolam 0,5 mg ( 0,05 mg/kgbb ),
SA 0.1 mg ( 0.01 mg/kgbb ), fentanyl 10 mcg ( 1 mcg/kgBB ),
ondansentron 1 mg ( 0.1 mg/KgBB ).
b. Jam 11.35 pasien masuk kamar operasi, diposisikan tidur terlentang,
dilakukan pemasangan manset pediatri, stetoskop prekordial, monitor

49
EKG dan saturasi, serta infus Ringer Fundin. Kemudian dilakukan
induksi dengan menambah fentanyl 2 mcg/kgBB sebagai analgetik
prevemtif intubasi, thiopental 50 mg ( 5 mg/KgBB), menggunakan
oksigen murni 6 lpm. Fasilitasi intubasi dengan pelumpuh otot
vecuronium 1 mg ( 0.1 mg/KgBB ) setelah ventilasi terkuasai.
Dilakukan intubasi dengan ETT 3,5 cuff. Pemeliharaan anestesi selama
operasi dengan O2 : Airbar = 50% : 50 %, sevofluran 2 – 2.5 vol%,
fentanyl 1mcg/kgBB/jam ( syringe pump ).
c. Jam 11.50 operasi dimulai dan tanda vital dimonitor tiap 5 menit.
d. Jam 12.55 operasi selesai pasien dipindah ke ruang recovery

3. Hemodinamik Durante Operasi


Operasi berlangsung selama 2 jam di mulai pukul 10.50 wib –
12.55 wib. Selama operasi tekanan darah sekitar 80/40 mmHg – 100/50
mmHg ( MAP 50 – 65 ), denyut jantung 120 – 130 x/menit, saturasi O2
98% – 100%, perdarahan ± 65 cc, produksi urin 35 cc.
a. Perhitungan Balance Cairan:
1. Pemeliharaan : 4 ml X 9 kg = 36 ml/jam
2. Stress operasi sedang : 4 ml X 9 kg = 36 ml/jam
3. Pengganti puasa dianggap tercukupi karena telah
terpasang infuse sejak dari bangsal

Sehingga cairan yang diberikan adalah 72 ml/jam.

Tabel Keseimbangan Cairan

Input Output Total


Kristaloid koloid darah Kebutuhan Darah urin
Jam Ringer - - 72 cc 45 cc 25 cc +18 cc
I Fundin
250 cc
Jam Ringer - - 72 cc 20 cc 10 cc +10 cc
II Fundin
150 cc

50
Perhitungan Kebutuhan Transfusi

4. Estimated Blood Volume


EBV = 80 ml/kgbb x 9 kg = 720 ml
5. Allowable Blood Loss
ABL = (Hct sekarang – Hct target) x 3% x EBV
= (33-30) x 3% x 720
= 64.8 ml

Tabel Monitoring Selama Anestesi

Jam Tensi Nadi Suhu SaO2 Keterangan

11.30 Injeksi Midazolam 0,5 mg, SA 0.1


mg, fentanyl 10 mcg, ondansentron 1
mg ( Premedikasi di tempat transit
pasien )

11.33 100/50 123 36,7 98% Masuk ruang operasi terpasang infuse
Ringer Fundin. Injeksi fentanyl 18
mcg, thiopental 50 mg, oksigen murni
6 lpm, vecuronium 1 mg ( Induksi )

11.40 90/50 128 36,6 100% Dilakukan intubasi dengan ETT 3,5
cuff.

12.55 90/60 127 36,8 100% Operasi Selesai, pindah ke RR

13.00 90/50 130 36,5 100% Ekstubasi dalam keadaan sadar

4. Di ruang pulih sadar


a. Jam 13.10 : pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar dalam keadaan
aktif menangis, posisi terlentang, diberikan O2 1 liter/menit, dan
tanda-tanda vital dimonitoring tiap 5 menit.
b. Jam 13.30 : pasien stabil baik, dipindahkan ke PICU

51
Tabel Monitoring Pasca Anestesi

Jam Tensi Nadi RR Suhu Keterangan

13.15 80/60 140 27 36,6 O2 1 L/menit, monitoring tanda vital

13.20 80/50 135 24 36,5

13.35 90/60 138 26 36,7

13.40 90/60 135 23 36,8 Pasien dipindah ke PICU

D. INSTRUKSI PASCA ANESTESI


a. Pasien dirawat dalam posisi supine, oksigen 2 liter/menit, kontrol
tanda vital tiap 5 menit. Infus D5 ¼ NS 37,5 ml/jam. Injeksi
metamizole 10 mg/kgbb/6jam.
b. Medikasi sesuai bagian Anak dan Bedah Saraf

52
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien ini, dilakukan alloanamnesis kepada orang tua pasien.Hasil


anamnesis didapatkan benjolan diatas hidung. Benjolan berukuran sebesar bola
ping pong, tidak nyeri, konsistensi lunak, permukaan halus. Benjolan dihidung
pasien telah ada sejak lahir dengan ukuran sebesar kelereng yang seiring
pertumbuhan semakin membesar. Dari hasil alloanamnesis dengan ibu pasien,
pasien tidak kejang, batuk, pilek, maupun demam. Buang air kecil dan buang air
besar dalam batas normal. Terdapat riwayat pemasangan VP Shunt pada pasien
yang dilakukan pada bulan November 2015. Pada keluarga pasien tidak terdapat
anggota keluarga yang mengalami sakit serupa dengan pasien. Riwayat kehamilan
sulit dievaluasi karena pasien jarang memeriksakan kehamilan, kelahiran dalam
batas normal, imunisasi lengkap menurut Kemenkes 2008, pertumbuhan dan
perkembangan sesuai usia. Pasien mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan
saat ini pasien mendapatkan susu formula.
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesan gizi baik. Dari
pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 90/40 mmHg, nadi 120x/menit,
frekuensi nafas 30 x/menit, suhu 37,3oC.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan benjolan di hidung dengan
diameter ± 4 cm, tidak nyeri, konsistensi lunak, permukaan halus. Pemeriksaan
mulut untuk menilai malampati sulit dilakukan. Pemeriksaan status neurologis
tidak terdapat kelainan atau defisit neurologis. Pada pemeriksaan neuromuskular
tidak terdapat kelainan.
Selain dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan uji
laboratorium dengan menggunakan sample darah pasien serta MSCT Scan Kepala
tanpa kontras. Hasil uji laboratorium normal, tidak ada kelainanan. Hasil
pemeriksaan MSCT Scan Kepala tanpa kontras tampak meningocelle ukuran 3.81
x 4.42 x 4.03 cm dengan defect sepanjang 1,87 cm di sutura metapica dan

53
terpasang VP Shunt dengan tip terproyeksi di crus posterior ventrikel lateralis
kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang di atas dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami meningocelle
riwayat pemasangan VP Shunt dengan status fisik diklasifikasikan sebagai ASA I
dimana pasien sehat dan tidak mempunyai penyakit sistemik. Menigocelle adalah
penonjolan dari pembungkus medulla spinalis tanpa disertai spinal cord atau saraf
melalui spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan. Maka pasien
datang karena adanya benjolan tanpa disertai keluhan gangguan saraf.
Meningocelle biasanya di sertai komplikasi berupa hidrosfelaus. Sehingga perlu
dilakukan operasi pemasangan VP Shunt untuk menurunkan tekanan intra kranial
serta mengurangi cairan serebrospinal yang terdapat di meningocelle.
Meningocelle pada pasien ini kemungkinan terjadi karena kurangnya
konsumsi asam folat selama masa kehamilan yang dimana ibu pasien jarang
memeriksakan kandungan ke layanan kesehatan setempat sehingga permasalahan
semasa kehamilan sulit dievaluasi.
Pada pasien direncanakan untuk operasi elektif eksisi celle dengan teknik
general anestesi intubasi oral. Teknik ini dipilih karena dapat memfasilitasi
kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan dan sirkulasi serta dapat diberikan
tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang, dosis anestesi dapat disesuaikan
dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak terduga.
Sebelum dilakukan operasi, pasien dipersiapkan terlebih dahulu. Terutama
pada pasien ini yang merupakan pasien anak dimana terdapat banyak perbedaan
dibandingkan pasien dewasa seperti anatomi, fisiologi dan farmakologi. Pesiapan
yang dilakukan meliputi alat dan obat premedikasi serta induksi. Alat yang perlu
dipersiapakan yaitu berbagai ukuran cuff serta ETT dimana terdapat benjolan
dihidung pasien yang berpotensi terjadi kesulitan dalam managemen airway. Obat
untuk premedikasi yang digunakan adalah midazolam 0,5 mg (0,05 mg/kgbb),
Sulfas Atropin 0.1 mg (0.01 mg/kgbb) yang berfungsi menurunkan insiden
hipotensi selama induksi karena fisiologi pediatri heart rate dependent cardiac
output sehingga dijaga agar tidak terjadi bradikardi selama pembiusan, fentanyl

54
10 mcg (1 mcg/kgBB), ondansentron 1 mg (0.1 mg/KgBB ) berfungsi mencegah
muntah sehingga dapat menurunkan risiko aspirasi. Sedangkan obat induksi
menggunakan fentanyl 2 mcg/kgBB sebagai analgetik preventif intubasi,
thiopental 50 mg ( 5 mg/KgBB) serta menggunakan oksigen murni 6 lpm.
Fasilitasi intubasi dengan pelumpuh otot vecuronium 1 mg (0.1 mg/KgBB) yang
bekerja lama pada pediatri. Setelah ventilasi terkuasai, dilakukan intubasi dengan
ETT 3,5 cuff. Pemeliharaan anestesi selama operasi dengan O2 : Airbar = 50% :
50 %, sevofluran 2 – 2.5 vol% yang bersifat non irritating dan tidak beraroma,
fentanyl 1mcg/kgBB/jam (syringe pump).
Monitoring selama anestesi pada pasien pediatri berbeda dengan dewasa.
Sebelum dilakukan monitoring, alarm monitor disesuaikan setting usia, memasang
manset pediatri dan stetoskop prekordial untuk memonitor denyut jantung,
kualitas bunyi jantung serta patensi jalan napas, menggunakan elektroda yang
lebih kecil, memasang pulse oxymetri pada kaki kanan. Monitoring pediatri
meliputi monitor vital sign (tekanan darah, saturasi, suhu serta EKG), monitoring
suhu penting untuk mendeteksi hipotermia dimana pasien pediatri mudah jatuh
dalam kondisi hipotermi sehingga suhu kamar operasi di atur > 26 oC, gas
inspirasi dihangatkan, cairan intravena dihangatkan, diberikan selimut dan lampu
penghangat.
Operasi berlangsung selama 2 jam dan tidak terdapat kendala maupun
kesulitan sepanjang operasi. Selama operasi tekanan darah sekitar 80/40 mmHg –
100/50 mmHg (MAP 50 – 65), denyut jantung 120 – 130 x/menit, saturasi O2
98% – 100%, perdarahan ± 65 cc, produksi urin 35 cc. Cairan durante op pasien
yaitu maintenance 36cc/ jam dan cairan stress operasi 36cc/jam. Cairan pengganti
puasa dianggap tercukupi karena telah terpasang infuse sejak dari bangsal.
Sehingga kebutuhan cairan pasien per jam adalah 72cc. Penggantian cairan pada
pasien menggunakan cairan kristaloid Ringer Fundin. Ringer Fundin merupakan
cairan isotonis yang komposisi nya menyerupai plasma manusia dan dapat di
metabolisme pada semua organ serta otot dengan konsumsi oksigen yang
minimal. Perhitungan Allowable Blood Loss pada pasien adalah 64,8 ml dan
perdarahan selama operasi ± 65 cc, seharusnya pasien mendapatlan tansfusi darah

55
namun pada saat operasi tidak diberikan transfusi. Ekstubasi pada pasien
dilakukan dalam keadaan sadar, hal ini disebabkam karena pada pediatri nilai
FRC (Functional Residual Capacity) menurun yang apabila dilakukan ekstubasi
dalam akan terjadi desaturasi dan meningkatkan risiko terjadinya apneu.
Post operasi pasien dipindahkan ke ruang pulih sadar dalam keadaan aktif
menangis, posisi terlentang, diberikan O2 1 liter/menit, dan tanda-tanda vital
dimonitoring tiap 5 menit. Setelah kondisi pasien stabil baik, dipindahkan ke
PICU.

56
BAB V

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul
sehingga dapat mengantisipasinya. Pada makalah ini disajikan kasus
penatalaksanaan anestesi general pada pasien anak perempuan, usia 1,5 tahun,
status fisik ASA I. Dengan diagnosis Meningocele. Untuk mencapai hasil
maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan pre operatif yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi
dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung,
tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan
operasinya. Selama di ruang pulih sadar juga tidak terjadi hal yang memerlukan
penanganan serius.

57
DAFTAR PUSTAKA

Arvin, Behrman Kliegman.2006. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Ed.15, Vol.3,


Jakarta: EGC 2006
Beck, F., Moffat, D.B., Davies, D.P. 1985. Human Embryology.
Calvey TN, Williams NE., 1982. Principles and practice of pharmacology for
anaesthetists. London; Blackwell Scientific Publications; 159-84.
Campbell., 1995. Anesthesia. Blackwell scientific publication.
Cunningham, MacDonald, Gant. 1995. Obstetri Williams
Kurtzweil Paula., 1999. How folatecan help prevent birth defects. Article FDA
Consumer, Diambil 13 Desember 2016, dari
http;//www.fda.gov/Fdac/features/796fol.html7. Sadler, T.W. 2000.
EmbriologiKedokteran Langman.
Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi.
Edisi 4.Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC
Maddali MM, Mathew J, Fahr J, Zarroug AW., 2003. Postoperative nausea and
vomiting in diagnostic gynaecological laparoscopic procedures:
Comparison of the efficacy of the combination of dexamethasone and
metoclopramide with that of dexamethasone and ondansetron. J Postgrad
Med 49:302–6.
Mangku & Senapathi. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT.
Indeks. Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang:
EGC.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj., 2006. Clinical Anesthesiology. 4th ed.
New York: Mcgraw-Hill Companies.
Mohamed H. Rahman, Jane Beattie., 2004. Post Operative Nausea and Vomiting.
The Pharmaceutical Journal. 273 : 786-8.
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.
Obstetrics williams,2006. ilmu kebidanan, Ed. 21, vol 2, Jakarta : EGC
Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC. Oxford
University Press, 2011., Concise Medical Dictionary. 9th ed. UK: Market
House Books Ltd. Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K.,
2007. Pharmacology. 5th ed. UK: Churchill Livingstone
Pantanowitz Liron, Sur Monalisa.2004. Malformations Associated With Spina

58
Bifida. The Internet Journal of Pediatricsand Neonatology.
Rudolph’s pediatrics,2006. penyakit anak , Ed 20, vol 3 jakarta : EGC 2006
Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D., 2006. Prevention of postoperative nausea and
vomiting by metoclopramide combined with dexamethasone: randomized
double blind multicenter trial. BMJ.;1 – 6.

59

Anda mungkin juga menyukai