Anda di halaman 1dari 2

PERJANJIAN penghindaran pajak berganda (P3B) atau dalam bahasa Inggris disebut tax

treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara mengenai hak-hak pemajakan
masing-masing negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan
berganda dan upaya penghindaran pajak.

Martin Hearson (2016) menyatakan pada prinsipnya tax treaty ditujukan untuk
menentukan alokasi hak pemajakan yang timbul dari suatu transaksi yang terjadi di antara
negara sumber dan negara domisili. Pengertian dari negara sumber adalah negara tempat
sumber penghasilan berasal, sedangkan negara domisili adalah negara tempat wajib
pajak berdomisili.

Secara sederhana, perjanjian pajak internasional ini memiliki peran untuk mengatur
batasan penerapan ketentuan pajak domestik masing-masing negara berdasarkan hukum
kebiasaan internasional dan tax treaty yang telah ditetapkan.

Sementara itu, Vienna Convention on the Law of Treaties mendefinisikan ‘treaty’ sebagai
perjanjian internasional yang ditetapkan antarnegara dalam bentuk tertulis dan diatur
dalam hukum internasional, baik yang berwujud instrumen tunggal atau lebih dalam
desain spesifik.

Tax treaty digunakan sebagai salah satu sumber hukum dalam perpajakan internasional
selain dari peraturan perpajakan domestik. Penentuan aspek perpajakan tersebut
dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan
sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.

Secara sederhana, perjanjian pajak internasional ini memiliki peran untuk mengatur
batasan penerapan ketentuan pajak domestik masing-masing negara berdasarkan hukum
kebiasaan internasional dan tax treaty yang telah ditetapkan.

Sementara itu, Vienna Convention on the Law of Treaties mendefinisikan ‘treaty’ sebagai
perjanjian internasional yang ditetapkan antarnegara dalam bentuk tertulis dan diatur
dalam hukum internasional, baik yang berwujud instrumen tunggal atau lebih dalam
desain spesifik.

Tax treaty digunakan sebagai salah satu sumber hukum dalam perpajakan internasional
selain dari peraturan perpajakan domestik. Penentuan aspek perpajakan tersebut
dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan
sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.

Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang hampir sama sebagai bagian dari
konvensi internasional, di mana setiap negara yang terlibat dapat menyusun tax
treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara
internasional. Saat ini, terdapat dua model treaty yang sering dijadikan acuan yaitu OECD
Model dan UN Model.

Tax treaty merupakan perjanjian yang bersifat lex specialis terhadap ketentuan PPh (lex
generalis). Artinya, kedudukan P3B berada di atas ketentuan PPh. Kendati demikian, perlu
diketahui bahwa tax treaty ini tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang
mengadakan tax treaty.

Tax treaty akan dianggap sebagai sumber hukum suatu negara apabila telah melalui
proses ratifikasi atau pengesahan. Di banyak negara, proses ratifikasi tax treaty harus
melalui persetujuan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Kemudian apabila tax
treaty tersebut telah diratifikasi maka harus diberitahukan kepada negara mitranya.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
proses ratifikasi tax treaty tidak melalui persetujuan oleh DPR, tetapi cukup dilakukan
dengan penerbitan Keputusan Presiden yang kemudian diberitahukan kepada DPR.

Indonesia memiliki sejarah panjang mengenai tax treaty, aturan tax treaty pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1934, yaitu pada saat pemerintahan Hindia Belanda. Pada
tahun 1970, Indonesia pertama kali melakukan penandatangan tax treaty dengan 4
negara yaitu Kanada, Inggris, Belgia dan Belanda. Hingga saat ini, Indonesia telah
memiliki 65 tax treaty (P3B) dengan negara lain.

Adapun, objek pajak yang tercantum dalam tax treaty pada umumnya terdiri atas 15 jenis
penghasilan, yaitu:

1. penghasilan dari harta tetap atau barang tak bergerak (income from immovable
property)
2. penghasilan dari usaha (business income atau business profit)
3. penghasilan sari usaha perkapalan atau angkutan udara (income from shipping
and air transport)
4. dividen (divident)
5. bunga (interest)
6. royalti (royalty)
7. keuntungan dari penjualan harta (capital gain)
8. penghasilan dari pekerjaan bebas (income from independent personal service)
9. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja (income from dependent
personal service)
10. gaji untuk direktur (director fees)
11. penghasilan seniman, artis dan atlet (income earned by entertainers and athletes)
12. uang pensiun dan jaminan sosial tenaga kerja (pension and social security
payment)
13. penghasilan pejabat pemerintah (income in respect of government service)
14. penghasilan pelajar dan peserta pelatihan (income received by students and
apprentices)
15. penghasilan lain-lain (other income)

Selain itu, di antara pasal dalam model tax treaty, terdapat ketentuan internasional yang
berlaku khusus, yaitu ketentuan mengenai pajak atas penghasilan pejabat diplomatik dan
konsulat, baik dalam OECD Model (Pasal 28) maupun UN Model (Pasal 27).

Namun, berbeda dengan kedua model tersebut, ASEAN Model telah memiliki pasal yang
secara khusus mengatur pemajakan atas penghasilan yang diterima dosen dan peneliti,
yaitu melalui Pasal 21.

Untuk pemahaman lebih mendalam mengenai konsep tax treaty dan ketentuan dalam
setiap pasalnya, silakan membaca rangkaian artikelnya di sini. (Amu

Anda mungkin juga menyukai