Anda di halaman 1dari 12

MANAJEMEN PERPAJAKAN

“TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PPH PASAL 21”

Oleh:
Anisa Nurul Margiani 17/414038/EE/07203
Hanifiyatun Fahmi 17/414047/EE/07212
Linda Fatmala 17/414052/EE/07217

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONONIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2018
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PPh PASAL 21

1. KOMPENSASI KARYAWAN : TUNAI vs NATURA


Karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan dan pemberi kerja lain akan
menerima imbal hasil dari jasa yang ia diberikan, berupa kompensasi.
Kompensasi yang diberikan oleh pemberi kerja dapat berupa gaji, upah,
honorarium, bonus, tunjangan, seperti dana pensiun dan tanggungan biaya
kesehatan, sampai pemberian fasilitas yang biasa kita kenal dengan biaya
kenikmatan atau natura.
Pemberi kerja tentu ingin memaksimalkan keuntungan yang mereka
terima, dengan memaksimalkan biaya yang bisa mereka bebankan sebagai
pengurang penghasilan, agar pajak yang mereka bayarkan semakin sedikit. Di lain
pihak, pemberi kerja juga ingin memacu motivasi karyawannya agar dapat bekerja
secara produktif dengan memberikan kompensasi tambahan, disamping
kompensasi pokok yang mereka berikan.
Dalam hal ini, pemberi kerja harus memperhitungkan dengan cermat
kebijakan yang akan mereka pilih. Idealnya tentu mereka ingin agar dapat
memberikan kompensasi tambahan, dan biayanya dibebankan. Maka dari itu,
sebagai bagian dari tax planning, pemberi kerja dapat mempertimbangkan cara
pemberian kompensasi tersebut.
Natura, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “barang
yang sebenarnya, bukan dalam bentuk uang. Sedangkan menurut Surat Edaran
Dirjan Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984 tentang pengertian kenikmatan dalam
bentuk natura (seri PPh Pasal 21-02), kenikmatan dalam bentuk natura adalah
setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau karyawati
dan atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Didalam UU
PPh Nomor 36 Tahun 2008, istilah natura dapat dilihat dalam beberapa
pasal, diantaranya pasal 4 ayat 3 huruf d dan pasal 9 ayat 1.
Natura mengandung konsep taxable dan deductible. Artinya, natura dapat
dibebankan sebagaimana kompensasi pokok, sejauh natura yang diberikan dan
pemberiannya sesuai dengan ketentuan perpajakan. Natura yang dapat
dikurangkan sebagai beban bagi perusahaan (PMK N0.83/PMK.03/2009, PER
51/PJ/2009 dan Pasal 9 ayat 1 huruf e UU No. 36 Tahun 2008 adalah natura yang
1. Berupa pemberian makanan dan minuman bagi seluruh pegawai,
2. Natura yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan didaerah
tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan didaerah tersebut,
3. Natura yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai
sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan yang
mengharuskannya.
Penerapan tax planning dalam PPh pasal 21, antara lain dengan cara
1. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenai pajak bersifat final,
diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam
bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kinds), karena pengeluaran tersebut
tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya untuk
kesejahteraan pegawai diberikan dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa
dibiayakan (mengurangi profit).
2. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final,
memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura atau
kenikmatan merupakan salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif
maksimum PPh pasal 21. Pilihan pemberian dalam bentuk kenimatan/natura
atau dalam bentuk tunjangan tidak mempengaruhi PPh Badan karena
pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh final. Tetapi untuk tujuan
komersial, baik pemberiaan dalam natura, kenikmatan, atau dalam bentuk
tunjangan tetap, bisa menjadi pengurang penghasilan bruto untuk menghitung
prnghasilan netto.
3. Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenai pajak bersifat final,
contohnya perusahaan jasa kontruksi, maka efisiensi PPh Pasal 21 karyawan
dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan
karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang bukan merupakan objek
pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif
maksimum PPh pasal 21, selain itu pengeluaran untuk pemberian natura atau
kenimatan tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh badan. Contoh,
pemberian makanan dan minuman bagi seluruh pegawai dan penyediaan bus
antar jemput pegawai, kedua hal tersebut dapat dibiayakan tetapi tidak
menambah PPh Pasal 21 karena tidak menambah pendapatan dalam
perhitungan PPh pasal 21 karyawan

2. METODE PERHITUNGAN PPh PASAL 21

Dalam perhitungan pajak penghasilan (PPh Pasal 21) ada 3 metode yang bisa
digunakan, yaitu:
1. Gross method
adalah metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah
pajak penghasilannya. Perusahaan hanya berkewajiban memungut dari pegawai
dan melaporkan/menyetor ke kantor pajak atas jumlah yang telah dipotong dari
pegawai.
2. Net method
merupakan pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak
karyawannya atau dalam hal ini jumlah PPh pasal 21 yang terhutang akan
ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang
diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh pasal 21 karena
perusahanlah yang menanggung biaya/beban PPh pasal 21. Perhitungan PPh Pasal
21 tidak dilakukan dengan gross-up. PPh pasal 21 yang ditanggung perusahaan
tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak
dimasukan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.
3. Gross up method
Adalah metode dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak sama besarnya
dengan PPh pasal 21 yang di potong atas gaji karyawan. Metode ini menimbulkan
beban bagi perusahaan yang tidak menimbulkan koreksi positif dan rekonsiliasi
fiskal, sehingga pajak terhutang perusahaan lebih efisien atau dengan kata lain
penerapan metode ini menimbulkan perlakuan fiskal atas beban yang timbul bagi
pemberi penghasilan atau perusahaan merupakan biaya yang dapat menjadi
pengurang penghasilan (deductable) maka ini dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto perusahaan sehingga dapat mengefisienkan (menghemat) besarnya jumlah
pembayaran pajak penghasilan perusahaan. Bagi kayawan pemberian tunjangan
ini diakui sebagai tambahan penghasilan (taxable) yang kemudian jumlah pajak
penghasilan yang dipotong jumlahnya sama besar dengan tunjangan yang
diterima, sehingga take home pay jumlahnya sama dengan apabila menerapkan
metode net dan kewajiban PPh pasal 21 juga terpenuhi. Penggunaan metode gross
up adalah untuk memuaskan dan meningkatkan motivasi karyawan. Dengan
menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh Pasal 21
ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Dengan demikian karyawan merasa lebih
diperhatikan. Meningkatkan motivasi dan kepuasan karyawan akan meningkatkan
produktivitas mereka. Semua metode ini diperbolekan Undang-Undang dan
Peraturan Perpajakan. Jadi tinggal pilih mau menggunakan metode yang mana,
yang paling efisien bagi perusahaan dan menguntungkan karyawan.

Secara matematis untuk menghitung PPh Pasal 21 Metode Gross Up yaitu:

Lapisan 1 : untuk PKP 0 - Rp. 50.000.000


Pajak = 1/0,95 (PKP x 5%)
Lapisan 2 : untuk PKP Rp. 50.000.000 – Rp. 250.000.000
Pajak = 1/0,85 (PKP x 15%) – Rp. 5.000.000
Lapisan 3 : untuk PKP Rp. 250.000.000 – Rp. 500.000.000
Pajak = 1,075 (PKP x 25/100) – Rp. 30.000.000
Lapisan 4 : untuk PKP di atas Rp. 500.000.000
Pajak = 1/0,70 (PKP x 35%) – Rp. 55.000.000

Contoh
Tuan Amir , pegawai Tetap PT. ABC dengan status TK/0 mendapatkan gaji
Rp.120.000.000/tahun, Perusahaan memberikan tunjangan JKK 0,89%, JKM
0,30% sedangkan untuk tunjangan JHT sebesar 2% ditanggung sendiri oleh
karyawan PTKP Rp. 36.000.000 , perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai
berikut:
Penerimaan
Gaji (setahun) 120.000.000
JKK ( 0,89 % ) 1.068.000
JKM ( 0,30 % ) 360.000
Jumlah 121.428.000
Pengurang
Biaya Jabatan 5% 6.000.000
JHT 2% 2.400.000
Jumlah 8.400.000

Penghasilan Netto 113.028.000

PTKP K/0 36.000.000


PKP 77.028.000
PPh terhutang Lapisan ke-2 (PKP x 15%) - 5.000.000
0,85

Tunjangan Pajak = (77.028.000 x 15%) - 5.000.000


0,85
Tunjangan Pajak 7.710.824

Pembuktian
Penerimaan
Gaji (setahun) 120.000.000
Tunjangan Pajak 7.710.824
JKK ( 0,89 % ) 1.068.000
JKM ( 0,30 % ) 360.000
Jumlah 129.138.824

Pengurang
Biaya Jabatan 5% 6.000.000
JHT 2% 2.400.000
Jumlah 8.400.000

Penghasilan Netto 120.738.824

PTKP K/0 36.000.000


PKP 84.738.824

PPh terhutang
5% X 50.000.000 2.500.000
15% X 32.599.070 5.210.824
Pajak terhutang 7.710.824
Tabel Perbandingan Karyawan Dengan Penerapan Metode Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21
Keterangan Net Method Gross Method Gross up Method

Gaji (setahun) 120.000.000 120.000.000 120.000.000


Tunjangan Pajak 7.710.824
JKK ( 0,89 % ) 1.068.000 1.068.000 1.068.000
JKM ( 0,30 % ) 360.000 360.000 360.000
Jumlah 121.428.000 121.428.000 129.138.824

Pengurang
Biaya Jabatan 5% 6.000.000 6.000.000 6.000.000
JHT 2% 2.400.000 2.400.000 2.400.000
Jumlah 8.400.000 8.400.000 8.400.000

Penghasilan Netto 113.028.000 113.028.000 120.738.824

PTKP K/0 36.000.000 36.000.000 36.000.000


PKP 77.028.000 77.028.000 84.738.824

PPh teruhutang
5% X 50.000.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000
15% X 32.599.070 4.889.861 4.889.861 5.210.824
Pajak terhutang 7.389.861 7.389.861 7.710.824

Penghasilan yang
121.428.000 114.038.140 121.428.000
diterima karyawan

Jumlah dikeluarkan
128.817.861 121.428.000 129.138.824
oleh perusahaan

Berdasarkan hasil perhitungan, dengan menggunakan net method dan gross


method jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 atas karyawan tidak berbeda yaitu Rp
Rp. 7.389.861. Namun, karyawan akan menerima take home pay lebih besar jika
menerapkan net method (PPH Pasal 21 ditanggung oleh pemberi kerja) Rp.
121.428.000 dibanding gross method (PPH Pasal 21 ditanggung oleh karyawan,
pemberi kerja hanya sebagai pemotong dan penyetor) Rp. 114.038.140. Jumlah
PPh Pasal 21 atas karyawan berbeda jika menggunakan gross-up-method menjadi
Rp. 7.710.824, selisih Rp. 320.963 lebih tinggi dibanding kedua metode
sebelumnya. Dari sudut pandang karyawan, metode gross-up menjadikan
besarnya penghasilan bruto bertambah atas tunjangan pajak (bersifat taxable)
yang diperhitungkan dengan rumus gross-up sedangkan take home pay sama
dengan net method Rp. 121.428.000. karena kewajiban PPh Pasal 21 karyawan
yang dipotong sama besar dengan tunjangan pajak yang diterima. Bagi pihak
perusahaan, apabila menerapkan net method menjadikan jumlah yang dikeluarkan
perusahaan terdiri dari biaya gaji dan biaya PPh Pasal 21 atas karyawan. Namun
besarnya PPh Pasal 21 atas karyawan yang ditanggung akan dikoreksi secara
fiskal positif sebesar Rp. 7.389.861 mengakibatkan tambahan pajak perusahaan.
Apabila menggunakan metode gross tidak ada pengaruh yang terjadi pada
perusahaan karena perusahaan hanya memotong, memungut, melapor dan
kemudian menyetorkan kepada negara, jumlah yang dikeluarkan oleh perusahaan
sebesar total biaya gaji untuk karyawan. Berbeda apabila menerapkan metode
gross-up, jumlah yang dikeluarkan perusahaan memang besar diantara ketiga
metode tersebut yaitu Rp. 129.138.824, namun tunjangan pajak Rp. 7.710.824
yang dikeluarkan perusahaan merupakan deductable expenses sehingga tidak akan
dikoreksi fiskal positif. Hal tersebut menyebabkan laba sebelum pajak perusahaan
lebih kecil, selanjutnya terjadi penghematan pajak perusahaan.

3. Konsep Taxable dan Deductible Terkait Dengan Unsur-Unsur Biaya


Konsep taxable dan deductible adalah konsep yang menjelaskan tentang
pos-pos yang dapat/tidak dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan
objek pajak penghasilan) dan pos-pos yang dapat/tidak dapat dibiayakan
(pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya: jika pada pihak pemberi
kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan
bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian imbalan, penghasilan tersebut
bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat
dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).
Konsep taxable dan deductible merupakan konsep dasar yang lazim
diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan dengan
mengubah atau menkonversikan penghasilan yang merupakan objek pajak
menjadi penghasilan yang bukan objek pajak, atau sebaliknya mengubah biaya
yang tidak boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan
konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat perubahan dan konversi
tersebut. Apakah perubahan jumlah pajak terhutang akan menjadi lebih besar,
lebih kecil, atau sama dengan jumlah pajak terhutang akibat koreksi fiskal,
tentunya harus dipertimbangan mana yang lebih baik menguntungkan perusahaan.
Jika kondisi perusahaan baik dan perusahaan menghasilkan laba besar, maka salah
satu alternatif yang direkomendasikan adalah mengkaji mana yang lebih
menguntungkan antara memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk
tunjangan (uang) atau dalam natura (benefit in kind)

Berikut konsep taxable- deductible mengenai imbalan (natura/uang)


Perlakuan Biaya Bagi Perlakuan PPh Pasal 21
Jenis Imbalan
Perusahaan/Pemberi Kerja Bagi Penerima
Imbalan dalam
Deductible
bentuk uang Taxable
Imbalan dalam
Non Deductible Non Taxable
bentuk natura

Berikut ini penjabaran pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in
kind) kepada para pegawai:
PT. ABC menyediakan dokter dan obat-obatan dengan cuma-cuma untuk
pemeliharaan kesehatan pegawainya.
Sebelum taxplaning: berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan,
benefit in kind (seperti biaya berobat kedokter dan obat) itu bukan merupakan
objek penghasilan (non taxable) sehingga tidak dikenai pajak. Sebaliknya, dari
sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya, secara komersial
pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
perusahaan, tetapi secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e. UU PPh) merupakan biaya
yang tidak boleh dikurangkan (non deductible) sehingga harus dilakukan koreksi
fiskal.
Konsekuensinya: karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan, maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak menimbulkan
tambahan pajak (PPh Badan).
Sesudah tax planning: Dengan mengubah pemberian dalam bentuk
natura/kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang),
maka secara fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan tersebut
merupakan penghasilan yang dikenai pajak (taxable) dan dilain pihak,
berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan bruti perusahaan (deductible).
Solusi yang diajurkan: untuk menghindari koreksi fiskal, perusahaan
memberikan tunjangan kesehatan (tunai) sebagai pengganti, dari pada
menyediakan dokter dan memberikan obat dengan cuma-cuma, yang hanya akan
menambah penghasilan pegawai yang akan dipajaki (taxable). Dan bagi
perusahaan jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh dikurangkan
(deductible).
Ditinjau dari segi komersil, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti
pemborosan atau inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan
kesehatan (tunai), namun harus pula di perhatikan bahwa kebijakan itu akan
berdampak pada laba sebelum pajaknya menjadi lebih kecil dan selanjutnya beban
PPh Badan yang terhutang pun akan menjadi lebih kecil. Namun yang lebih
penting untuk diperhatikan adalah bahwa strategi perpajakan bukanlah satu-
satunya alat pengambil keputusan, jangan sampai strategi perpajakan ini
menghambat strategi komersial lainnya tetapi harus saling sinergis untuk
mencapai tujuan perusahaan.

4. Rekonsiliasi Objek PPh Pasal 21 dengan Unsur - Unsur Biaya


Untuk meyakinkan bahwa atas seluruh objek PPh pasal 21 telah dipotong
pajaknya, perlu dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan, baik yang
berasal dari akun neraca maupun akun biaya. Jika perhitungan PPh Pasal 21
dilakukan oleh bagian SDM, maka rekonsiliasi juga harus dilakukan untuk data
SDM (seperti payroll), dengan data yang ada dibagian akuntansi/keuangan
(seperti data ledger/buku besar). Rekonsiliasi ini sangat berguna dalam rangka
pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh objek PPh Pasal 21
telah dipotong PPh-nya. Hal semacam ini akan memudahkan wajib pajak ketika
diperiksa oleh petugas pajak nantinya.
Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip
umum, yaitu taxability-deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable
income (penghasilan yang menjadi objek PPh), diperusahaan menjadi deductible
expense (biaya), dan sebaliknya jika bagi karyawan merupakan non taxable
income ( penghasilan yang bukan objek PPh) maka diperusahaan menjadi non
deductible expense (bukan biaya). Perlakuan ini bergantung pada kebijakan yang
ditempuh oleh perusahaan. Dengan prinsip tersebut, senantiasa akan terdapat
pihak yang dikenai pajak, apakah bagi karyawan dalam bentuk PPh Pasal 21, atau
di perusahaan dalam bentuk PPh Badan. Namun demikian, terdapat beberapa
penyimpangan dari prinsip umum tersebut yang diatur secara khusus oleh
ketentuan perpajakan. Misalnya terdapat pembayaran kepada karyawan yang
bersifat non taxable, tetapi bagi perusahaan tetap merupakan deductible expense,
atau terdapat pembayaan kepada karyawan yang bersifat taxable, tetapi
diperusahaan bersifat non deductible expense.
Secara singkat Prosedur yang perlu ditempuh untuk ekualisasi adalah
1. Akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 21 , khususnya yang terkait
dengan pegawai tetap dikelompokan dalam satu akun
2. Setiap transaksiyang masih terkait dengan objek PPh Pasal 21 diberi kode
khusus pada deskripsinya. Ini untuk memudahkan proses ekualisasi pada
akhir tahun sebelum SPT PPh Pasal 21 Masa Desember dilaporkan ke
kantor pajak.
3. Pada akhir tahun, seluruh objek PPh Pasal 21 yang tersebar di akun –akun
biaya menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan
dengan penghitungan PPh Pasal 21 Masa Desember
4. Jika masih terdapat selisih yang disebabkan oleh penghasilan pegawai
tetap, maka teliti akun yang menampung iuran, dan pastikan bahwa iuran
JHT tidak termasuk dalam objek PPh Pasal 21.
5. Jika selisih disebabkan dari penghasilan selain pegawai tetap, maka teliti
kelompok penghasilan yang belum dipotong Pajaknya.
Terkait dengan biaya terdapat perbedaan pengakuan yang disebabkan oleh
penggunaan pedoman penyusunan laporan antara penyusunan laporan menurut
SAK dan UU Perpajakan. Perbedaan ini terbagi menjadi dua jenis yaitu Beda
Tetap dan Beda Waktu
Beda Tetap yaitu perbedaan pengakuan baik biaya ataupun pendapatan oleh wajib
pajak yang untuk pengakuan tersebut tidak diakui oleh perpajakan.dalam hal ini
terkait biaya karyawan, maka pemberian dalam bentuk natura (diluar ketetapan
perpajakan) yang oleh perusahaan telah dibiayakan harus dikeluarkan dari unsur
biaya. Hal ini dikarenakan biaya tersebut tidak boleh diperlakukan sebagai
pengurang pendapatan perusahaan.
Beda Waktu yaitu perbedaan antara laba akuntansi dan penghasilan kena pajak
yang disebabkan oleh ketentuan perpajakan dan memberikan pengaruh dalam
jangka waktu tertentu sehingga pengaruh terhadap laba akuntansi dan penghasilan
kena pajak akhirnya menjadi sama. Contoh: Pemberian bonus, bila menggunakan
metode akrual harus dibebankan sebagai biaya karena merupakan penghasilan
karyawan, meskipun baru sebagian bonus tersebut diterima.

Referensi:
Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan, Ikatan Akuntan Indonesia
http://www.nusahati.com/2012/12/sekilas-perencanaan-pajak-pph-pasal-21/.
online. Diakses 11 April 2018

Anda mungkin juga menyukai