MAJAK
MAJAK
Oleh:
Anisa Nurul Margiani 17/414038/EE/07203
Hanifiyatun Fahmi 17/414047/EE/07212
Linda Fatmala 17/414052/EE/07217
Dalam perhitungan pajak penghasilan (PPh Pasal 21) ada 3 metode yang bisa
digunakan, yaitu:
1. Gross method
adalah metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah
pajak penghasilannya. Perusahaan hanya berkewajiban memungut dari pegawai
dan melaporkan/menyetor ke kantor pajak atas jumlah yang telah dipotong dari
pegawai.
2. Net method
merupakan pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak
karyawannya atau dalam hal ini jumlah PPh pasal 21 yang terhutang akan
ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang
diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh pasal 21 karena
perusahanlah yang menanggung biaya/beban PPh pasal 21. Perhitungan PPh Pasal
21 tidak dilakukan dengan gross-up. PPh pasal 21 yang ditanggung perusahaan
tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak
dimasukan sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.
3. Gross up method
Adalah metode dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak sama besarnya
dengan PPh pasal 21 yang di potong atas gaji karyawan. Metode ini menimbulkan
beban bagi perusahaan yang tidak menimbulkan koreksi positif dan rekonsiliasi
fiskal, sehingga pajak terhutang perusahaan lebih efisien atau dengan kata lain
penerapan metode ini menimbulkan perlakuan fiskal atas beban yang timbul bagi
pemberi penghasilan atau perusahaan merupakan biaya yang dapat menjadi
pengurang penghasilan (deductable) maka ini dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto perusahaan sehingga dapat mengefisienkan (menghemat) besarnya jumlah
pembayaran pajak penghasilan perusahaan. Bagi kayawan pemberian tunjangan
ini diakui sebagai tambahan penghasilan (taxable) yang kemudian jumlah pajak
penghasilan yang dipotong jumlahnya sama besar dengan tunjangan yang
diterima, sehingga take home pay jumlahnya sama dengan apabila menerapkan
metode net dan kewajiban PPh pasal 21 juga terpenuhi. Penggunaan metode gross
up adalah untuk memuaskan dan meningkatkan motivasi karyawan. Dengan
menggunakan metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh Pasal 21
ditanggung seluruhnya oleh perusahaan. Dengan demikian karyawan merasa lebih
diperhatikan. Meningkatkan motivasi dan kepuasan karyawan akan meningkatkan
produktivitas mereka. Semua metode ini diperbolekan Undang-Undang dan
Peraturan Perpajakan. Jadi tinggal pilih mau menggunakan metode yang mana,
yang paling efisien bagi perusahaan dan menguntungkan karyawan.
Contoh
Tuan Amir , pegawai Tetap PT. ABC dengan status TK/0 mendapatkan gaji
Rp.120.000.000/tahun, Perusahaan memberikan tunjangan JKK 0,89%, JKM
0,30% sedangkan untuk tunjangan JHT sebesar 2% ditanggung sendiri oleh
karyawan PTKP Rp. 36.000.000 , perhitungan PPh pasal 21 adalah sebagai
berikut:
Penerimaan
Gaji (setahun) 120.000.000
JKK ( 0,89 % ) 1.068.000
JKM ( 0,30 % ) 360.000
Jumlah 121.428.000
Pengurang
Biaya Jabatan 5% 6.000.000
JHT 2% 2.400.000
Jumlah 8.400.000
Pembuktian
Penerimaan
Gaji (setahun) 120.000.000
Tunjangan Pajak 7.710.824
JKK ( 0,89 % ) 1.068.000
JKM ( 0,30 % ) 360.000
Jumlah 129.138.824
Pengurang
Biaya Jabatan 5% 6.000.000
JHT 2% 2.400.000
Jumlah 8.400.000
PPh terhutang
5% X 50.000.000 2.500.000
15% X 32.599.070 5.210.824
Pajak terhutang 7.710.824
Tabel Perbandingan Karyawan Dengan Penerapan Metode Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21
Keterangan Net Method Gross Method Gross up Method
Pengurang
Biaya Jabatan 5% 6.000.000 6.000.000 6.000.000
JHT 2% 2.400.000 2.400.000 2.400.000
Jumlah 8.400.000 8.400.000 8.400.000
PPh teruhutang
5% X 50.000.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000
15% X 32.599.070 4.889.861 4.889.861 5.210.824
Pajak terhutang 7.389.861 7.389.861 7.710.824
Penghasilan yang
121.428.000 114.038.140 121.428.000
diterima karyawan
Jumlah dikeluarkan
128.817.861 121.428.000 129.138.824
oleh perusahaan
Berikut ini penjabaran pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in
kind) kepada para pegawai:
PT. ABC menyediakan dokter dan obat-obatan dengan cuma-cuma untuk
pemeliharaan kesehatan pegawainya.
Sebelum taxplaning: berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan,
benefit in kind (seperti biaya berobat kedokter dan obat) itu bukan merupakan
objek penghasilan (non taxable) sehingga tidak dikenai pajak. Sebaliknya, dari
sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya, secara komersial
pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
perusahaan, tetapi secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e. UU PPh) merupakan biaya
yang tidak boleh dikurangkan (non deductible) sehingga harus dilakukan koreksi
fiskal.
Konsekuensinya: karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan, maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh Dirjen Pajak menimbulkan
tambahan pajak (PPh Badan).
Sesudah tax planning: Dengan mengubah pemberian dalam bentuk
natura/kenikmatan (seperti dokter dan obat) menjadi tunjangan kesehatan (uang),
maka secara fiskal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan kesehatan tersebut
merupakan penghasilan yang dikenai pajak (taxable) dan dilain pihak,
berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan bruti perusahaan (deductible).
Solusi yang diajurkan: untuk menghindari koreksi fiskal, perusahaan
memberikan tunjangan kesehatan (tunai) sebagai pengganti, dari pada
menyediakan dokter dan memberikan obat dengan cuma-cuma, yang hanya akan
menambah penghasilan pegawai yang akan dipajaki (taxable). Dan bagi
perusahaan jumlah tersebut merupakan biaya yang boleh dikurangkan
(deductible).
Ditinjau dari segi komersil, biaya fiskal yang besar tersebut tampaknya seperti
pemborosan atau inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan
kesehatan (tunai), namun harus pula di perhatikan bahwa kebijakan itu akan
berdampak pada laba sebelum pajaknya menjadi lebih kecil dan selanjutnya beban
PPh Badan yang terhutang pun akan menjadi lebih kecil. Namun yang lebih
penting untuk diperhatikan adalah bahwa strategi perpajakan bukanlah satu-
satunya alat pengambil keputusan, jangan sampai strategi perpajakan ini
menghambat strategi komersial lainnya tetapi harus saling sinergis untuk
mencapai tujuan perusahaan.
Referensi:
Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan, Ikatan Akuntan Indonesia
http://www.nusahati.com/2012/12/sekilas-perencanaan-pajak-pph-pasal-21/.
online. Diakses 11 April 2018