Imron Rosyadi
Dosen Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Jakarta
e-mail: Imron.Rosyadi@ums.ac.id
Abstrak: Tulisan singkat ini tidak mencoba membahas keempat solusi di atas tetapi hanya
ingin menjelaskan posisi tarjih sebagai metode untuk menyelesaikan suatu dalil atau
pendapat yang tanpak saling bertentangan. Indikator perumusan suatu pendapat dengan
menggunakan metode tarjih adalah pengungkapan pendapat-pendapat dengan argumentasi
masing-masing lalu dari sekalian pendapat itu ditelusuri argument masing-masing. Setelah
itu dipilih argument yang paling kuat di antara argument-argumen yang ada. Dalam studi
ilmu ushul fiqh, tarjih ini merupakan solusi ketiga setelah metode al-jam’u wa taufîq dan
nâsikh wa al-mansûkh. Para ulama usul fiqh telah memberikan berberapa persyaratan
dalam menerapkan tarjih sebagai metode dalam merumuskan suatu masalah atau kasus.
tarjîḥ, yang memiliki arti memberikan antara dua dalil atau lebih yang kontradiktif
penguatan kepada yang lain sehingga setelah terlebih dahulu tidak mungkin untuk
menjadi kuat.1 Menurut Muḥammad Wafâ, dilakukan kompromi (al-jam‘u wa at-taufîq)
tarjîḥ secara bahasa adalah mengunggulkan antara keduanya.
sesuatu dengan lebih condong padanya dan Taʻâruḍ al-adillah itu terjadi pada dua
memenangkannya.2 Adapun secara istilah, atau lebih dalil hukum Islam. Ada tiga tempat
menurut Fakhr ad-Dîn ar-Râzî, seperti yang dimungkinkan terjadinya ta‘âruḍ al-
dikutip oleh asy-Syaukânî, bahwa tarjîḥ adillah, pertama: antara dalil qaṭ‘î dengan
adalah menguatkan salah satu dari dua dalil dalil żannî. Tempat Ta‘âruḍ al-adillah
atau pendapat agar diketahui dalil yang lebih yang pertama ini memang masih menjadi
kuat untuk diamalkan dan dalil yang lainnya perdebatan di kalangan ulama usul fikih.
dibuang (taqwiyah aḥad aṭ-ṭarîqaini ‘alâ al- Mayoritas ulama usul fikih berpendapat
âkhar li yu‘lama fa yu‘mala bih wa yutraka bahwa tidak boleh mempertentangkan dalil
al-âkhar).3 Menurut ‘Alî Ḥasaballah, qaṭ‘î dengan dalil żannî. Menurut ulama
tarjîḥ secara istilah adalah menampakkan ini, selamanya dalil qaṭ‘î itu harus lebih
kelebihan salah satu dari dua dalil yang diutamakan dari dalil żannî. Sebab, dalil
sama dengan sesuatu yang menjadikannya qaṭ‘î itu sifatnya pasti sedangkan żannî
lebih utama untuk dipertimbangkan daripada masih bersifat bisa berubah. Di antara ulama
yang lain.4 Menurut al-Baiḍâwî, tarjîḥ usul fikih yang berpendapat bahwa dalil
adalah menguatkan salah satu dalil dari dua qaṭ‘î harus didahulukan dari dalil żannî
dalil untuk diamalkannya (taqwiyah iḥdâ adalah al-Asnawî. Menurut beliau, tidak
al-amâratain li yu‘mala bihâ).5 Dengan boleh memperhadapkan dalil qaṭ‘î dengan
kata lain, tarjîḥ adalah memilih salah satu dalil żannî, sebab dalil qaṭ‘î selamanya harus
pendapat atau dalil dari dua atau lebih didahulukan dari dalil żannî.
dengan cara menampakkan kelebihan atau Ibn al-Ḥâjib dalam salah satu bukunya:
yang lebih kuat dari yang lainnya untuk Mukhtaṣar, menyatakan bahwa tidak ada
selanjutnya diamalkan. pertentangan antara dalil qaṭ‘î dengan dalil
Dalam konsep usul fikih, tampaknya żannî, sebab dalil żanni akan gugur dengan
dalil-dalil yang hendak di-tarjîḥ ini secara sendirinya jika ada dalil qaṭ‘î. Menurut asy-
lahiriyah dianggap memiliki kontradiksi Syaukânî, pertentangan tidak akan terjadi,
satu dengan lainnya. Kontradiksi (taʻâruḍ bila salah satu dalil bersifat qaṭ‘î dan dalil
al-adillah) ini kebanyakan berangkat dari lainnya bersifat żannî karena dalil żannî
hasil pemahaman atas dalil itu sendiri akan dengan sendirinya menjadi gugur bila
sehingga sebetulnya kontradiksi (taʻâruḍ dihadapkan pada dalil qaṭ‘î. Pandangan yang
al-adillah) itu bersifat lahiriyah semata. sama juga dikemukan oleh al-Âmidî dalam
Meskipun kebanyakan bersifat lahiriyah karyanya al-Iḥkâm. Menurutnya, tidak ada
namun ada juga kontradiksi di antara dalil- pertentangan antara dalil qaṭ‘î dengan dalil
dalil itu secara hakiki. Karena itu, jika żannî, oleh karena itu, tidak boleh dilakukan
menemukan dua dalil yang kontradiktif tarjîḥ antara keduanya. Sebab, kata al-
baik secara lahiriyah maupun hakiki maka Âmidî, tarjîḥ itu dapat dilakukan pada dua
bisa dilakukan penyelesaiannya dengan dalil yang bertentangan tetapi tidak pada
tarjîḥ. Dengan kata lain, tarjîḥ ini dipilih dalil qaṭ‘î dengan dalil żannî karena tidak
sebagai cara untuk melakukan pilihan di mungkin dalil qaṭ‘î dengan dalil yang sahih.6
1
Asy-Syaukânî, Irsyâd Fuḥûl ilâ Taḥqîq min ʻIlm al-Uṣûl (Surabaya: Penerbit Aḥmad Nahban, t.t), hlm. 273.
2
Muḥammad Wafâ, Taʻaruḍ al-Adillah asy-Syarʻiyyah min al-Kitâb wa as-Sunnah wa at-Tarjîḥu Bainahâ, terjemahan
Muslich (Bangil: al-Izzah, 2001), hlm. 179.
3
Asy-Syaukânî, Irsyâd Fuḥûl, hlm. 273.
4
‘Alî Ḥasaballah, Uṣûl at-Tasyrîʻ al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1964), cet. Ke-3, hlm. 322.
5
Al-Asnawî, Syarḥ al-Asnawî Nihâyah al-Saul Syarḥ Minhâj al-Wuṣûl ilâ ʻIlm al-Uṣûl al-Baiḍâwî (Kairo: Maktabah
Muḥammad ‘Alî Ṣabih, t.t), Juz 3, hlm. 155.
Berbeda dengan ahli usul fikih di atas, ar- mungkin terjadi pertentangan antara dua dalil
Râzî berpendapat bahwa ta‘âruḍ al-adillah qaṭ‘î, baik keduanya sama-sama berbentuk
dapat saja terjadi pada dalil qaṭ‘î dengan dalil ʻaqli maupun naqli. Pendapat senada juga
żannî. Hal demikian dapat terjadi kalau yang dikemukakan oleh al-Baidâwî, al-Syairazî,
qaṭ‘î datang lebih dahulu dari dalil żannî Ibn Subkhî dan al-Âmidî.9 Memperhatikan
sehingga sangat dimungkinkan yang datang pendapat-pendapat para ahli usul fikih ini,
kemudian dalam hal ini dalil żannî lebih aṣ-Ṣan‘ânî, salah seorang ahli fikih mazhab
diamalkan dari dalil qaṭ‘î. Hal ini terjadi, Syâfi‘î berkesimpulan bahwa pendapat para
kalau dalil yang bersifat żannî ini memang ahli usul fikih tersebut merupakan pendapat
ada penjelasan kepastian tentang datangnya mayoritas ulama.10
lebih kemudian. Sebaliknya, jika dalil yang Ketiga, ta‘âruḍ al-adillah antara dua
bersifat żannî tersebut tidak ada penjelasan dalil żanni. Ta‘âruḍ al-adillah di sini dapat
yang pasti tentang kedatangannya lebih terjadi karena secara ẓâhir dan hakiki dari dua
kemudian dari dalil yang bersifat qaṭ‘î maka dalil itu sendiri. Untuk terjadinya ta‘âruḍ al-
dalam konteks demikian yang diamalkan atau adillah secara ẓâhir, Asnawî, dalam bukunya
didahulukan adalah dalil yang bersifat qaṭ‘î.7 Syarḥ al-Asnawî, menyatakan bahwa taʻâruḍ
Jika memang adanya kepastian bahwa dalil al-adillah sangat mungkin terjadi antara
yang bersifat żannî datang lebih kemudian dua dalil żannî dalam pandangan seorang
dari dalil qaṭ‘î maka penyelesaiannya tidak mujtahid.11 Senada dengan Asnawî, Ibn al-
melalui tarjîḥ tetapi melalui an-naskh wa al- Subkî menyatakan bahwa ta‘âruḍ al-adillah
mansûkh. antara dua dalil żannî dalam pandangan
Senada dengan ar-Râzî, Kamâl b seorang mujtahid itu memang benar adanya.12
Hammâm, salah satu ulama usul fikih dari Mengomentari adanya ta‘âruḍ al-adillah
mazhab Ḥanafiyyah berpendapat bahwa antara dua dalil żannî, seperti dikemukakan
ta‘âruḍ al-adillah dapat saja terjadi antara oleh para ahli usul fikih tersebut, al-Jalâl al-
dalil qaṭ‘î dengan dalil żannî. Menurut beliau, Dîn al-Maḥallî, berpendapat bahwa taʻâruḍ
sesungguhnya tidak ada persyaratan adanya al-adillah yang demikian itu benar-benar
kesamaan kekuatan dalam dua dalil yang terjadi.13
saling bertentangan. Sebab, pendapat yang Sedangkan terjadinya ta‘âruḍ al-
mensyaratkan adanya kesamaan kekuatan adillah pada dua dalil żannî secara hakiki,
dalam dua dalil yang saling bertolakbelakang masih menjadi silang pendapat para ulama
dari sisi hukumnya itu didasarkan pada usul fikih. Setidaknya, silang pendapat ini
pendapat yang mengatakan bahwa ta‘âruḍ dapat dikelompokkan menjadi dua arus.
al-adillah terjadi secara hakiki. Padahal Arus pertama, pendapat yang mengatakan
ta‘âruḍ al-adillah itu hanya pada dataran bahwa terjadinya pertentangan secara
lahiriyah, di mana diketahui adanya ta‘âruḍ hakiki atas dua dalil żannî adalah benar
al-adillah hanya oleh ulama (mujtahid) saja adanya. Pendapat ini, seperti dilaporkan
buka terjadi secara hakiki.8 oleh Muḥammad Wafâ, dipegangi oleh al-
Kedua, antara dua dalil qaṭ‘î. Âmidî, al-Baqillanî, Abû ‘Alî al-Jubaʻî, Abû
Mungkinkah ada dua dalil qaṭ‘î yang saling Hâsyim, Ibn Hâjib, al-Asnawî, asy-Syaukânî,
bertentangan? Asy-Syaukânî, dalam bukunya al-Mawardî, ar-Rauyanî. Pertentangan itu
Irsyâd al-Fuḥûl, berpendapat bahwa tidak bisa saja terjadi jika kedudukan dua dalil
6
Al-Âmidî, al-Iḥkâm fî Uṣûl al-Aḥkâm, hlm. 242.
7
Ar-Râzî, Al-Maḥsul, Juz 2, hlm. 547-548.
8
Kamâl b Hammâm, al-Taqrîr wa al-Taḥbîr Syarḥ Taḥrîr (Kairo: Maṭbaʻah al-Amîriyah Bulaq, 1316), Juz 3, hlm. 3.
9
Muḥammad Wafâ, Taʻâruḍ al-Adillah, hlm. 41.
10
Aṣ-Ṣanʻânî, Ijâbah as-Sâil Syarḥ Bugyah al-‘Amal, Tahqîq Ḥusain Aḥmad Siyagî dan Ḥasan Muḥammad Maqbûlî (Bei-
rut: Muassasah ar-Risâlah, 1988), hlm. 417.
11
Syarḥ al-Asnawî, Juz 3, hlm. 151.
12
Al-Ibhâj, Syarḥ al-Manhaj, Juz, hlm. 213.
13
Hasyiyah al-Anhâr, Juz 2, hlm. 401.
itu memang sejajar, bukan satu dalil lebih memberikan pedoman kepada para mujtahid
unggul kedudukannya atas dalil yang lain.14 bila menemui dua dalil yang dianggap
Arus kedua, pendapat yang mengatakan kontradiktif yang eksekusinya dilakukan
bahwa pertentangan secara hakiki tidak melalui pilihan tarjîḥ, yaitu dengan syarat-
akan terjadi antara dua dalil żannî. Menurut syarat sebagai berikut:
kelompok ini, seandainya ada dua dalil żannî 1. Dalil-dalil itu sama dalam ketetapan
yang saling bertentangan, maka mungkin (śubût) nya sehingga karena itu tidak ada
para mujtahid dapat mengamalkan kedua- pertentangan yang mengharuskan tarjîḥ
duanya, atau tidak mengamalkan keduanya, antara al-Quran dengan hadis ahad.
atau mengamalkan salah satunya.15 Seperti 2. Dalil-dalil yang bertentangan itu sama-
dilaporkan oleh Muḥammad Wafâ, pendapat sama memiliki kekuatan dari sisi
ini dipegangi oleh Aḥmad dan Abû Ḥasan al- hukumnya.
Kurkhî dan sekelompok ulama Syâfi‘iyyah. 3. Hukum permasalahan harus sama
Mengomentari pendapat-pendapat ini, Ibn serta bersamaan pula waktu, objek dan
Subkî berkesimpulan bahwa pendapat ini seginya. Oleh karena itu, tidak bisa
adalah pendapat yang benar.16 dianggap ada pertentangan sehingga
Ada perbedaan antara dalil al-Quran dan harus dilakukan tarjîḥ, misalnya, antara
as-Sunnah al-Maqbûlah dalam kaitannya larangan berjual beli waktu ażân dengan
dengan pilihan tarjîḥ. Kalau ada dua dalil, kebolehan berjual beli di luar waktu
misalnya ayat al-Quran dengan ayat al- ażân.17
Quran yang saling bertentangan, maka hal
demikian bukan bertentangan secara hakiki Berbeda dengan asy-Syaukânî,
sehingga salah satu yang harus dihilangkan, Muḥammad Wafâ, menyebutkan syarat-
sebab pada al-Quran titik perbedaannya syarat dalam melakukan taʻâruḍ al-adillah
bukan pada hakiki dari ayat tetapi pada sebagai berikut:
pemahaman manusia atas ayat itu sendiri. 1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua
Dengan kata lain, dalil yang kontradiksi dalil tersebut saling bertentangan seperti
ini tidak menyentuh al-Quran karena tidak halal dengan haram, wajib dengan
mungkin Allah berfirman dalam dua hal yang tidak wajib, maka yang dipilih adalah
berbeda. Kalau pun terjadi pada ayat-ayat al- yang meniadakan. Karena bila tidak
Quran, maka kontradiksinya itu bukan secara saling bertentangan, maka tidak ada
lahiriyah karena adanya ragam pemahaman. pertentangan.
Berbeda dengan al-Quran, kontradiksi dapat 2. Objek kedua hukum yang saling
terjadi pada dalil as-Sunnah al-Maqbûlah bertentangan tersebut sama. Adapun
atau pendapat mujtahid, baik secara lahiriyah objeknya berbeda-beda, maka tidak ada
maupun secara hakiki sehingga dapat pertentangan.
dilakukan tarjîḥ padanya. Dalam melakukan 3. Masa atau waktu berlakunya hukum
tarjîḥ kepada hadis, maka yang dilakukan yang saling bertentangan tersebut sama.
adalah pada aspek sanad, matan, maksud, Apabila masa atau waktunya berbeda,
faktor-faktor ekstern dan aspek lainnya. Jadi, maka tidak ada pertentangan.
hadis sangat mungkin dipahami secara lahir 4. Hubungan kedua dalil yang saling
maupun hakikinya saling bertentangan satu bertentangan tersebut sama. Karena
dengan lainnya sehingga dilakukan tarjîḥ mungkin saja dua hukum yang saling
padanya. bertentangan tersebut sama dalam
Asy-Syaukânî dalam bukunya Irsyâd objek dan waktu, namun hubungannya
al-Fuḥûl ilâ Taḥqîq min ʻIlm al-Uṣûl berbeda.
14
Muḥammad Wafâ, Taʻâruḍ al-Adillah, hlm. 47-48. Ibid., hlm. 49-50.
15
Ibid., hlm. 49.
16
Asy-Syaukânî, Irsyâd al-Fuḥûl, hlm. 273.
17
Muḥammad Wafâ, Taʻâruḍ al-adillah, hlm. 68-73.
22Ibid.
23Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Tanya Jawab Agama (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004), Jilid 3, Cet.
III, hlm. 135.
24Ibid.
25Ibid.
Daftar Pustaka
Asy-Syaukânî, Irsyâd Fuḥûl ilâ Taḥqîq min ʻIlm al-Uṣûl (Surabaya: Penerbit Aḥmad Nahban,
t.t).
‘Alî Ḥasaballah, Uṣûl at-Tasyrîʻ al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1964), cet. Ke-3.
Ibrahim Hosen, “Taqlid dan Ijtihad: beberapa Pengertian Dasar”, dalam Budy Munawar-
Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2006).
Kamâl b Hammâm, al-Taqrîr wa al-Taḥbîr Syarḥ Taḥrîr (Kairo: Maṭbaʻah al-Amîriyah
Bulaq, 1316), Juz 3.
Muḥammad Wafâ, Taʻaruḍ al-Adillah asy-Syarʻiyyah min al-Kitâb wa as-Sunnah wa at-
Tarjîḥu Bainahâ, terjemahan Muslich (Bangil: al-Izzah, 2001).
Muhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami (Bandung:
al-Maʻarif, 1993).
Aṣ-Ṣanʻânî, Ijâbah as-Sâil Syarḥ Bugyah al-‘Amal, Tahqîq Ḥusain Aḥmad Siyagî dan Ḥasan
Muḥammad Maqbûlî (Beirut: Muassasah ar-Risâlah, 1988), hlm. 417.
Al-Asnawî, Syarḥ al-Asnawî Nihâyah al-Saul Syarḥ Minhâj al-Wuṣûl ilâ ʻIlm al-Uṣûl al-
Baiḍâwî (Kairo: Maktabah Muḥammad ‘Alî Ṣabih, t.t), Juz 3.
Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Tanya Jawab Agama (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2004), Jilid 3, Cet. III.