Anda di halaman 1dari 3

Nama : Bq Lina Septi Danasari

NIM : 101311133088
Kelas : IKMB 2013

TUGAS SOSIO-ANTROPOLOGI KESEHATAN

Kebudayaan (1980 : 193) menggunakan perspektif antropologi mengartikan


kebudayaan kebudayaan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan ekologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.

Disini dapat dilihat bahwa adanya kemungkinan pengaruh dari lingkungan terhadap
kebudayaan. Untuk banyak ahli antropologi, lingkungan hanya dilihat sebagai faktor yang
mempunyai pengaruh yang membatasi kebudayaan sehingga lingkungan hanya dilihat sebagai
sesuatu yang tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap kebudayaan.

Julian Steward adalah salah seorang yang mula-mula menyarankan pengkajian tentang
ekologi kebudayaan yaitu analisa mengenai hubungan antara suatu kebudayaan alam dengan
sekitarnya atau lingkungannya. Steward merasa bahwa penjelasan untuk beberapa aspek – aspek
variasi – variasi kebudayaan dapat dicari dalam adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya.
Aspek-aspek ekologi budaya :

a. Teknologi eksploitasi sumber daya alam

b. Populasi penduduk

c. Ekonomi dan organisasi sosial

Namun Steward juga mengatakan bahwa ekologi kebudayaan harus dipisahkan dari
ekologi biologi (yaitu pengkajian terhadap hubungan antara organisme dengan lingkungannya).

Sedangkan menurut Andrew P. Vadya dan Roy A. Rappaport ingin menggabungkan


prinsip-prinsip ekologi biologi ke dalam studi ekologi kebudayaan agar menjadi satu ilmu
tentang ekologi. Jadi lingkungan, termasuk lingkungan fisik dan sosial, berpengaruh terhadap
perkembangan dari kebudayaan.

Contoh kongkritnya antara lain sebagai beriktu :

1. Upacara pesta babi pada orang-orang Tsembaga yang hidup di pedalaman


Irian.
Pada masyarakat Tsembaga, mereka memelihara babi – babi yang dipakai
untuk memenuhi beberapa fungsi yang berguna. Meskipun babi jarang dimakan,
namun babi itu “menjaga” keberhasilan halaman karena memakan sampah-sampah
dan karena tanah untuk perkebunan dikorek-korek oleh babi, maka pengolahan tanah
itu dibantu persiapannya. Jadi babi yang membutuhkan pemeliharaan yang minimal
ini berguna sebagai “pembersih sampah” dan juga sebagai mesin “pengolah tanah”.
Tetapi berbagai masalah timbul jika jumlah babi menjadi terlalu banyak. Sering kali
sisa makanan, sampah dan kotoran tidak cukup lagi sehingga harus ditambah
makanannya yang diambil dari jatah makanan manusia. Demikianlah untuk
mengatasi masalah kelebihan ternak babi maka rupanya orang – orang Tsembaga
telah mengembangkan serentetan upacara yang rumit dan penyembelihan sejumlah
besar babi yang kelebihan merupakan unsur yang penting dalam upacara itu. Daging
babi tersebut akan dibagikan kepada teman-teman dan nenek moyang mereka. Orang
Tsembaga percaya bahwa nenek moyang mereka akan mengaruniai mereka dengan
kekuatan, keberanian, sebagai balasan persembahan daging babi tersebut. Jadi suatu
praktek kebudayaan (upacara pesta babi), dapat dilihat sebagai adaptasi terhadap
faktor lingkungan yang menghasilkan babi secara berlebihan; pesta-pesta demikian
juga dapat mengurangi konflik dalam masyarakat.

2. Tradisi makam keluarga pada warga desa Cibanteng, Bogor.

Sebenarnya di daerah tersebut terdapat tempat pemakaman umum, namun


mayoritas penduduk asli Cibanteng memilih untuk memakamkan keluarganya yang
telah meninggal di makam keluarga yang berada di sekitar rumahnya. Setelah
dilakukan wawancara, diketahui bahwa tidak semua penduduk di daerah Cibanteng
mempunyai makam keluarga, hanya penduduk asli lah yang rata-rata mempunyai
makam keluarga. Banyak alasan mengapa mereka mempunyai makam keluarga
antara lain karena makam tersebut sudah menjadi tradisi dari jaman dulu, alasan lain
yaitu karena mereka memang mempunyai lahan di sekitar rumah untuk membuat
makam. Hal ini termasuk dalam ekologi budaya karena pada dasarnya terdapat
adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya. Adanya pola dalam pemukiman,
dimana penduduk asli mempunyai lahan untuk makam khusus keluarga pribadi
namun pada masyarakat pendatang tidak demikian, mereka tidak mempunyai makam
keluarga disebabkan karena para pendatang tidak mempunyai lahan sendiri,
kebanyakan dari mereka hanya tinggal di kontrakan. Masyarakat yang demikian
memakamkan keluarganya di tempak pemakaman umum.
DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, 2005, Pengantar Antropologi, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya.

Basrowi, 2005, Pengantar Sosiologi, Bogor : Ghalia Indonesia.

Dwidjoseputro, 1994, Ekologi Manusia dengan Lingkungannya, Jakarta : PT. Gelora Aksara
Pratama.

Ihromi T.O (ed.) , 2006, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Agustiani,Winda. “Makalah Pola Adaptasi Ekologi” (2012, 3 Juni). Diperoleh 10 November


2013 dari http://windaagustiani.blogspot.com/2012/06/makalah-pola-adaptasi-ekologi.html

Anda mungkin juga menyukai