Laporan Pendahuluan Fraktur
Laporan Pendahuluan Fraktur
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
1.) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
2.) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3.) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
Fraktur
Resiko syok
(hipovolemik)
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus bertambah beratnya sampe fragmen tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah, yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antara fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas extremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ektremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi
satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci)
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. (uji krepitus
dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cedera.
8. Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima
stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium 1 - Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya
kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali.
4. Stadium 4 - Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa
beban yang normal.
5. Stadium 5 - Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan
atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan
tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
9. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a. Inspeksi:
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
1.) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
2.) Fistulae.
3.) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
4.) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
5.) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
6.) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b. Palpasi
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
1.) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal 3 – 5 “
2.) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
3.) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c. Pergerakan terutama lingkup gerak.
Setelah melakukan palpasi, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup
gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan radiografi
a. Foto Rontgen
1.) Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung.
2.) Mengetahui tempat dan type fraktur
3.) Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodic
b. Scan tulang, temogram, scan
CT/MRI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan apabila
kerusakan vaskuler dicurigai
d. Hitung darah lengkap HT mungkin
meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun ( perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
e. Kreatinin : trauma otot
meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat
terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati (Doenges, 1999 :
762 ).
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
4. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
10. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan
bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
Pada suatu kecelakaan kebanyakan syok yang terjadi adalah syok hemoragik.
Syok bisa terjadi bila orang kehilangan darahnya kurang lebih 30% dari volume
darahnya dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Pada fraktur femur tertutup orang dapat
kehilangan darah 1000 -1500 cc.
Empat tanda syok yang dapat terjadi setelah trauma adalah sebagai berikut:
1. Denyut nadi lebih dari 100x/menit.
2. Tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg
3. Wajah dan kuku menjadi pucat dan sianotik.
4. Kulit tangan dan kaki dingin.
Infection protection
a. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan local
b. Monitor hitung granulosit,
WBC
c. Monitor kerentanan terhadap
infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
f. Pertahankan teknik isolasi
k/p
g. Berikan perawatan kulit
pada area epidema
h. Inspeksi kulit dan membrane
mukosa
i. Terhadap kemerahan, panas,
dan drainase
j. Inspeksi kondisi luka/insisi
bedah
k. Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
l. Dorong masukan cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotic sesuai
resep
o. Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
p. Ajarkan cara menghindari
infeksi
q. Laporkan kecurigaan infeksi
Laporkan kultur positif
6 Risiko syok NOC NIC
Syok prevention Syok prevention
(hipovolemik)
Syok management a. Monitor status sirkulasi BP,
berhubungan Kriteria hasil
warna kulit, suhu kulit,
a. Nadi dalam batas
dengan kehilangan
denyut jantung, HR, dan
yang diharapkan
volume darah
b. Irama jantung ritme, nadi perifer, dan
akibat trauma
dalam batas yang kapiler refill
(fraktur) b. Monitor tanda inadekuat
diharapkan
c. Frekunsi napas oksigenasi jaringan
c. Monitor suhu dan pernafasan
dalam batas yang
d. Monitor input dan output
diharapkan e. Pantau nilai labor:
d. Irama pernapasan HB, HT, AGD, dan elektrolit
f. Monitor hemodinamik invasi
dalam batas yang
yang sesuai
diharapkan
g. Monitor tanda dan gejala
e. Natrium serum
asites
dbn
h. Monitor tanda awal syok
f. Kalium serum dbn
i. Tempatkan pasien pada
g. Klorida serum dbn
h. Kalsium serum posisi supine, kaki elevasi
dbn untuk peningkatan preload
i. Magnesium serum
dengan tepat
dbn j. Lihat dan pelihara kepatenan
j. PH darah serum
jalan napas
dbn k. Berikan cairan IV dan atau
Hidrasi
oral yang tepat
Indicator
l. Berikan vasodilator yang
a. Mata cekung tidak
tepat
ditemukan
m. Ajarkan keluarga dan pasien
b. Demam tidak
tentang tanda dan gejala
ditemukan
c. TD dbn datangnya syok
Hematokrit dbn n. Ajarkan keluarga dan pasien
tentang langkah untuk
mengatasi gejala syok
Syok management
a. Monitor fungsi neurologis
b. Monitor fungsi renal (e.g
BUN dan Cr Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan, input,
output
e. Catat gas darah arteri dan
oksigen di jaringan
f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan pemantauan
jalur arteri untuk
meningkatkan akurasi
pembacaan tekanan darah
h. Menggambarkan gas darah
arteri dan memonitor
jaringan oksigenasi
i. Memantau tren dalam
parameter hemodinamik
(misalnya CPV, MAP,
tekanan kapiler
pulmonal/arteri)
j. Memantau factor penentu
pengiriman jaringan oksigen
(misalnya PaO2 kadar
haemoglobin SaO2, CO) jika
ada
Memantau tingkat
karbondioksida sublingual
dan/atau tonometry
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L. J. & Moyet. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 10. Jakarta: EGC.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Lukman, Dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Muskuloskeletal.
Jakarta : Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta : EGC.
Price Sylvia A. & Wilson Lorraine M. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit 2, Edisi 4. Jakarta: EGC.
Smeltzer Suzanne C. & Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.