Menyatakan Strategi
Ketenagakerjaan
Nasional untuk
Indonesia
Apa yang Kita Ketahui
dan Apa yang Sebaiknya
kita Lakukan?
Naskah Laporan
Agustus 2008
1
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
2
Ucapan Terima Kasih
Rancangan ini, diminta oleh Departemen Kebijakan Ketenagakerjaan ILO, Jenewa, disiapkan oleh Iyanatul
Islam dan Anis Chowdhury. Tulisan ini diangkat dari makalah pengantar teknis (yang direproduksi di sini
sebagai lampiran teknis dan statistik) dan catatan lapangan yang dikumpulkan oleh Anis Chowdhury dengan
kontribusi tambahan dari Iyanatul Islam. Makalah pengantar teknis dan catatan lapangan tersebut adalah
hasil kunjungan ke Jakarta yang dilakukan oleh Chowdhury di bulan November 2007. Penulis juga berterima
kasih kepada Dr Shafiq Dhanani yang telah membuka akses ke estimasi beragam indikator ketenagakerjaan
yang baru. Estimasi-estimasi tersebut disiapkan dalam rangka peluncuran buku terbaru tentang pasar kerja
Indonesia (dijadwalkan untuk diterbitkan oleh Routledge di awal tahun 2009). Penulis laporan ini adalah
juga pengarang bersama dari Dr. Dhanani.
Untuk menyiapkan laporan ini, kami telah berkonsultasi dengan sejumlah besar pembuat kebijakan
senior yang utama di berbagai departemen dan departemen pemerintah yang bertanggung jawab atas
beragam program dan kebijakan yang terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan pengembangan
pasar kerja. Kami juga telah berkonsultasi dengan sejumlah pemangku kepentingan yang penting, seperti
para pejabat senior asosiasi pengusaha (Apindo), serikat-serikat pekerja, International Labor Organization
dan Bank Dunia. Catatan hasil konsultasi ini terlampir dalam laporan ini.
Berikut adalah daftar lengkap menurut urutan pertemuan-pertemuan kami: Kee Beom Kim (ILO), Tauvik
Muhamad (ILO),Dr. Prasetyo Wijoyo (Wakil Menteri Bidang SDM, Kemiskinan dan UKM, Bappenas), Dr.
Bambang Widanto (Staf Ahli Menteri Bidang SDM dan Kemiskinan, Bappenas), Dr. Komara Djaja (Sekretaris
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi), Pawan Patil (Bank Dunia), Steisianasari Mileiva (Bank Dunia), Djoko
(Kepala Bidang Perencanaan dan Kerjasama Internasional, Sekretaris Jenderal, Departemen Bidang
Pembangunan dan Infrastruktur Daerah), Tati Hendarti (Sekretaris Direktur Jenderal Bidang Pelatihan dan
Pengembangan, Produktivitas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Besar Setyoko (Direktur Jenderal
Bidang Pelatihan dan Pengembangan Produktivitas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Sofjan
Wanandi (Presiden, Asosiasi Pengusaha Indonesia/Apindo), Djimanto (Sekretaris Jenderal, Apindo), Susanto
Joseph (Wakil Sekretaris Jenderal, Apindo), Rekson Silaban (Presiden, KSBSI – Konfederasi Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia), Thamrin Mosii (Presiden, KSPI-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), Yanuar Rizky,
(Presiden OPSI, Serikat Buruh), Timboel Siregar (Sekretaris OPSI), Dr. Sri Moertiningsih (Lembaga Demografi,
UI), Omas (Lembaga Demografi, UI), Beta (Lembaga Demografi, UI), Heidy Passai (Lembaga Demografi, UI),
Dr. Choirul Djamhari (Wakil Menteri Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha), Prijambodo (Asisten
Deputi Bidang Peningkatan Jasa Pembangunan Usaha, Departemen Koperasi dan UKM), Dr. Sudrajat Rasyid
(Wakil Menteri Bidang Kewirausahaan Kaum Muda dan Industri Olah Raga, Kementerian Negara Bidang
Olah Raga dan Pemuda beserta tim-nya), Dr. Tirta Hidayat (Wakil Bidang Ekonomi, Sekretariat Kantor Wakil
Presiden), Rahayubudi (Direktur, Biro Personil & Organisasi, Departemen Perdagangan) Dr. Agus Wahyudi
3
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
(Direktur, Pusat Sumber daya, Lingkungan Hidup, Energi, Litbang, Departemen Perdagangan), Euis Saedah
(Deputi Direktur Kerjasama Internasional, Departemen Perdagangan), Bolormaa Amgaabazar (Bank Dunia,
Program Pengembangan Kecamatan Decentralization Support Facility), Dr. Andin Hadiyanto (Direktur Pusat
Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha, Departemen Perdagangan), Kasan Muhri (Deputi Direktur,
Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan).
Rancangan laporan teknis ini telah dipresentasikan dalam sesi debriefing di kantor ILO Jakarta, yang
dihadiri oleh individu-individu tersebut di atas atau para wakilnya.
Selama analisis teknis, kami dibantu oleh Dr. Hermanto Siregar, Profesor Bidang Ekonomi dari Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan Dr. Iman Sugeman, Dosen Senior Bidang Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor
(IPB). Saudara Zulfan Tadjeoddin, Ph.D. mahasiswa, University of Western Sydney, Australia, adalah asisten
peneliti untuk proyek ini.
4
Daftar Isi
1. Pengantar 7
5
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
6
1. Pengantar
Selama era paska krisis perekonomian Indonesia tumbuh dengan tingkatan cukup baik,1 namun ada
kekhawatiran yang luas akan “pertumbuhan pengangguran”. Menjawab kekhawatiran tersebut, Pemerintah
Indonesia telah berkomitmen untuk memotong tingkat pengangguran nasional yang 10 persen menjadi
separuhnya sampai tahun 2009. Target ini dikaitkan dengan tujuan yang lebih luas dari upaya pengurangan
kemiskinan secara berkelanjutan. Satu studi mengatakan bahwa hal ini akan menghasilkan 50 juta pekerjaan
dalam kurun waktu lima tahun mendatang.2
Hampir tidak diragukan lagi bahwa jumlah pencari kerja yang diproyeksikan berjumlah besar adalah
tantangan ketenagakerjaan bagi Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.3 Menjawab tantangan ini
membutuhkan spesifikasi yang mendalam akan tujuan dan sasaran, pemahaman akan perdebatan yang ada
tentang kondisi pasar kerja Indonesia dan penggunaan kerangka kerja diagnostik yang komprehensif, yang
memungkinkan seseorang untuk mengevaluasi bukti-bukti yang ada, demi menyusun seperangkat kebijakan
dan program yang layak. Pada dasarnya, satu kebutuhannya adalah pendekatan berbasis bukti dalam
pembuatan kebijakan yang dapat menghindari improvisasi kebijakan “sambil jalan” dan pengumuman
kebijakan secara cepat sebagai respon atas tekanan politik jangka pendek.4 Laporan ini berupaya untuk
menggambarkan f itur pendekatan tersebut ketika diterapkan pada pasar kerja Indonesia dan
mengadvokasikan penyebarannya dalam mesin pemerintah.
Upaya sistematis apapun untuk mengembangkan pendekatan berbasis bukti untuk kebutuhan
pembuatan kebijakan perlu dimulai dengan pernyataan tujuan dan sasaran secara jelas. Tujuan apakah yang
harus menjadi fokus pemerintah? Apakah ini semata aspirasi mulia atau pernyataan pragmatis yang bisa
dimonitor dengan sasaran yang sudah siap tersedia?
Penyelesaian isu ini tidaklah sesederhana kelihatannya. Apakah kita harus fokus pada tingkat
pengangguran “terbuka” yang agregat atau pada sekaligus antara pengangguran dan pengangguran
terselubung? Atau haruskah kita fokus pada pengangguran kaum muda? Panduan global terkini tentang
pembangunan – seperti dituangkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium PBB – difokuskan pada
1 Ekonomi tumbuh sekitar 5,5 persen per tahun sejak tahun 2000.
2 G. Sugiyarto (2005) ‘Creating better and more jobs in Indonesia: a blue print for policy action’, ERD Policy Brief No.43, Manila: Asian
Development Bank
3 Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah 1,8 persen per tahun.
4 Pendekatan ini mengangkat literatur “pembuatan kebijakan berbasis bukti” (EPB – evidence-based policy making) yang berasal dari
Inggris di akhir tahun 1990an. Lihat W. Solesbury (2001) ‘Evidence Based Policy: Whence it came and Where it’s Going’, ESRC Centre
for Evidence Based Policy, Queen Mary College London, October. Untuk kritiknya lihat G.Marston and R. Watts (2003) ‘Tampering
with the Evidence: A Critical Appraisal of Evidence-Based Policy-Making’, The Drawing Board: An Australian Review of Public Affairs,
3(3): 143-163. Sumber-sumber literatur EPB dapat ditemukan di www.evidencenetwork.org. Meskipun sulit untuk tidak berargumen
bahwa seseorang tidak bisa mendasarkan nasihat dan keputusan kebijakan pada bukti terbaik yang ada, kita harus sadar akan
kekayaan dan kompleksnya jenis-jenis informasi yang bisa dikumpulkan dan bahwa bukti yang tersedia kerap diperdebatkan oleh
para pakar. Jadi, batas dari literatur EPB harus diakui dan karenanya disarankan agar ada penggunaan bukti yang adil dalam
mengarahkan pengembangan dan implementasi kebijakan.
7
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
implementasi “strategi untuk pekerjaan yang pantas dan produktif bagi kaum muda” karena hal ini akan
mengurangi “kemiskinan antar generasi” dan mengurangi kecenderungan dari kaum muda yang belum
pernah mempunyai pekerjaan dan menganggur untuk menjadi sumber “perilaku anti sosial, kekerasan atau
kejahatan”. 5 Dalam kasus Indonesia, yang adalah penandatangan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG),
tingkat pengangguran kaum muda merupakan keprihatinan besar dan alasan utama adanya perhatian yang
besar pada penciptaan lapangan pekerjaan. Seperti akan terlihat dalam diskusi berikut, para pembuat kebijakan
telah, seperti terungkap dalam tujuan mereka, berkomitmen mengurangi tingkat pengangguran agregat
dalam kerangka waktu tertentu, namun kedalaman statistik dan analisis tujuan dan sasarannya masih
diragukan. Penyelesaian keraguan dan ketidakpastian ini sangat penting dalam strategi penciptaan lapangan
kerja yang kredibel.
Terkait erat dengan tujuan penciptaan lapangan kerja adalah konstruksi analitis dari elastisitas pekerjaan,
yakni, tingkat penciptaan pekerjaan bagi tingkat pertumbuhan PDB tertentu. Memang menggoda untuk
menyarankan agar para pembuat kebijakan berkonsentrasi pada elastisitas pekerjaan karena hal ini mewakili
indikator yang bermanfaat dari pertumbuhan ekonomi yang ramah pekerjaan. Seperti akan dibahas
selanjutnya dalam makalah ini, yang lebih pantas adalah mengumumkan tujuan yang terfokus pada
pertumbuhan berbasis produktivitas yang bisa menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan upah riil.
Namun demikian, selanjutnya akan diutarakan pula, elastisitas pekerjaan - yakni bila informasi yang
disampaikan digunakan dengan bijaksana – dapat menjadi indikator pasar kerja yang bermanfaat dan
memainkan peranan integral dalam menentukan proyeksi pekerjaan.
Sebagai akibat dari kerangka kerja yang terikat pada tujuan kembar penciptaan pekerjaan dan
pertumbuhan upah riil, makalah ini juga mempertanyakan pandangan tentang bahwa “pekerjaan apapun”
adalah lebih baik ketimbang “tidak ada pekerjaan”.
Ada kesadaran yang tumbuh bahwa ‘pengangguran adalah salah satu aspek saja dari pasar kerja yang
kurang berfungsi.’ Ada kebutuhan untuk melangkah menuju ‘definisi yang lebih luas dari pekerjaan yang
layak dan produktif’. Hal ini berarti mempertimbangkan multidimensi dari pasar kerja yang berfungsi buruk,
yang ditandai dengan ‘jam kerja panjang dengan pengaturan kerja yang tidak berkelanjutan dan tidak aman…
produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah, proteksi tenaga kerja dan hak yang berkurang.’
Pemahaman dimensi-dimensi kinerja pasar kerja ini vital untuk memahami ‘kemajuan yang dicapai menuju
tiadanya pengangguran bagi semua’. 6 Dari perspektif Indonesia, ide ‘tiadanya pengangguran bagi semua’
yang mengangkat agenda pekerjaan yang layak dan produktif perlu dinyatakan dengan penegasan yang
baru demi melindungi dari kerangka kerja yang salah yang menyatakan bahwa ‘pekerjaan apapun’ adalah
lebih baik daripada ‘tidak ada pekerjaan’. Pekerjaan yang layak akhirnya merupakan alat yang baik untuk
mengurangi kemiskinan secara berkelanjutan.
Begitu tujuan dan sasaran sudah ditentukan dengan tepat, tahap berikutnya adalah mengembangkan
kerangka diagnosis untuk memahami inti hasil dari pasar kerja. Hipotesa yang berlaku nampaknya bahwa
Indonesia saat ini adalah korban dari peraturan ketenagakerjaan yang kaku dan terlalu murah hati. Hal ini
dianggap paling bertanggung jawab membuat biaya tenaga kerja sangat mahal dan karenanya menjadi
alasan utama mengapa pasar kerja Indonesia saat ini terpuruk. Hipotesa yang disebut ‘cost push’ (tekanan
biaya) terlihat telah memegang status orthodoks. Meskipun beberapa bukti yang dapat diterima telah muncul
mendukung hipotesa ini, bukti macam ini perlu diuji dulu secara empiris. Kita harus hati-hati dengan hipotesa
apapun yang berimplikasi monokausalitas. Meskipun faktor tekanan biaya tentu relevan, bagaimanakah
5 UN (2007) The Millennium Development Goals Report, New York, hal.31. Catatlah bahwa pekerjaan yang layak untuk keseluruhan
warga kini (tahun 2008) telah menjadi target baru di bawah Tujuan Pembangunan Milenium.
6 UN (op.cit)
8
pentingnya faktor tersebut dibandingkan dengan variabel lain seperti pertumbuhan permintaan agregat
dan komposisinya?
Pendekatan bukti untuk pembuatan kebijakan tidak semata berakhir dengan evaluasi bukti yang ada.
Ada lanjutannya yakni penggunaan pengetahuan yang ada untuk memformulasikan kebijakan dan program
yang dapat memfasilitasi para pembuat kebijakan untuk mencapai rangkaian tujuan dan sasaran yang mereka
tentukan. Di sini, isu pentingnya adalah untuk memahami perpaduan yang tepat antara kebijakan makro
ekonomi dan kebijakan sektoral. Apakah kerangka kerja kebijakan makro ekonomi ramah terhadap tenaga
kerja dan membantu tujuan kebijakan yang lain, yang paling penting diantaranya adalah stabilitas harga?
Apakah kebijakan sektoral yang berkaitan dengan sektor formal kondusif untuk penciptaan lapangan kerja?
Berapa kompatibel kebijakan-kebijakan sektoral tersebut dengan kebijakan makro ekonomi? Dalam kasus
Indonesia, ada isu-isu luar biasa berkaitan dengan ketegangan antara stabilitas harga dan penciptaan lapangan
kerja dan besarnya ‘informalisasi’ ekonomi dengan dampak negatifnya bagi upaya pencapaian pekerjaan
yang layak dan produktif bagi semua.
Akhirnya, pendekatan bukti untuk pembuatan kebijakan juga perlu ditinjau dan diperbaharui secara
berkala. Idenya adalah untuk belajar dari pengalaman dan menggunakan pengalaman tersebut untuk terus
melakukan proses pemantauan dan evaluasi demi mendorong akuntabilitas publik dari kebijakan dan program.
Apakah program tertentu, seperti program pekerjaan publik, atau ‘program pasar kerja aktif’, berfungsi
mencapai tujuan-tujuan ini? Apa saja alternatif yang mungkin terlaksana? Dari perspektif Indonesia, konsep
penerapan tinjauan dan pembaharuan secara berkala pada proses pembuatan kebijakan dapat mengarah
pada perbaikan efektivitas kebijakan demi mengatasi tantangan tenaga kerja di negara ini.
Selanjutnya makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 2 secara kritis meninjau tujuan dan sasaran
yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pasar kerja Indonesia. Bagian 3 meninjau
paradigma dominan yakni faktor ‘tekanan biaya’ yang digerakkan oleh peraturan ketenagakerjaan yang
kaku dan murah hati, yang mengarah pada keterpurukan hasil pasar kerja di Indonesia, serta mengusulkan
kerangka kerja diagnostik alternatif untuk membingkai analisa pasar kerja. Bagian 4 dari makalah mengangkat
perdebatan dan diagnosis pasar kerja Indonesia untuk meninjau kebijakan dan program, menyoroti wilayah
yang sudah mengalami kemajuan dan wilayah yang masih perlu diperbaiki. Bagian 5 dari makalah menyajikan
ringkasan hasil utama penemuan dan rekomendasi dan menyimpulkan dengan pernyataan tentang peranan
pemantauan dan evaluasi sebagai alat untuk mengembangkan etos akuntabilitas publik bagi kebijakan dan
program.
9
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
10
2. Tujuan dan Sasaran
Pidato penting yang disampaikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada
bulan Februari 2005 adalah visinya akan strategi ‘triple track’ (tiga jalur) untuk Indonesia berkaitan dengan:
“Selama (lima) tahun ke depan, pemerintahan saya bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi rata-
rata 6.6 persen per tahun tetapi, lebih penting lagi, kami ingin agar pertumbuhan dapat membantu mengurangi
kemiskinan dari 16.6 persen menjadi 8.2 persen dan kami ingin agar pertumbuhan dapat mengurangi
pengangguran (menjadi separuhnya) dari 9.5 persen menjadi 5.1 persen hingga tahun 2009.”7
Pernyataan tujuan yang eksplisit ini merupakan refleksi yang jelas dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Pemerintah Indonesia (RJPM 2005-2009) yang ‘terfokus pada pencapaian tingkat pertumbuhan
rata-rata 6.0 persen per tahun, penciptaan lapangan kerja, ketahanan lingkungan dan pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium (MDG).’8 Memang, kini ada sejumlah besar dokumen yang berkaitan dengan payung
tujuan dan sasaran dengan implikasi langsung maupun tidak langsung bagi pasar kerja Indonesia. Dokumen-
dokumen ini mencakup (selain strategi pembangunan jangka menengah yang sudah disebut):
Keberadaan tujuan dan sasaran eksplisit berkaitan dengan tenaga kerja tidak berarti bahwa mereka
sudah dipilih dengan hati-hati karena kecukupan empiris dan analitis dalam mewakili tujuan inti dari
penciptaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua orang Indonesia yang bisa dan mau bekerja,
serta neksus antara pekerjaan yang layak dan pengentasan kemiskinan. Ada praduga bahwa telah terjadi
peningkatan tajam pengangguran dalam beberapa tahun belakangan ini, dengan beberapa bukti
7 S.B. Yudhoyono (2005) ‘Indonesia: The Challenge of Change’, The Singapore Lecture, Institute for Southesast Asian Studies, 16
Februari. Pada saat pidato disampaikan, usia kepresidenan SBY adalah tiga bulan.
8 M.A. Hasoloan (2006) ‘The Indonesian Labour Market’, Country Report disajikan dalam OECD Form tentang OECD Jobs Strategy.
11
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
pengurangan sejak tahun 2006. Misalnya, data yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
bahwa tingkat pengangguran terbuka agregat meningkat dari 9.9 persen di tahun 2004 menjadi 11.2 persen
di tahun 2005 sebelum membaik menjadi 9.8 persen di bulan Februari 2007. Ini adalah data statistik yang
diandalkan pemerintah untuk menetapkan dan memonitor tujuan dan sasarannya.
Sayangnya, perubahan secara definisi telah membuat tingkat pengangguran agregat menjadi tidak
bisa dibandingkan dengan patokan-patokan sebelum 2001. Kita bisa mendeteksi lompatan pengangguran
yang signifikan antara tahun 2000 dan 2001. Pada 9-10 persen, tingkat pengangguran yang kini dipublikasikan
adalah yang tertinggi di wilayah Asia dan di dunia, dan wajar menjadi sumber keprihatinan pemerintah.
Namun, tingkat pengangguran agregat berkurang menjadi 6 persen – yang akan membawa Indonesia lebih
dekat pada norma regional dan global – ketika perubahan definisional ini dihapuskan untuk memunculkan
data yang konsisten sepanjang waktu. Di sisi lain, kecenderungan-nya tidak terlalu terpengaruhi. Baik seri
pengangguran ’lama’ (yang didasarkan pada definisi konsisten) maupun ’baru’ (yang didasarkan pada
perubahan definisi) mencatat peningkatan pengangguran antara tahun 2001 dan 2005, meskipun tingkat
pertambahannya jelas bervariasi. Kita dapat berargumen bahwa pemerintah tidak akan mengalami
kebingungan analisa jika tetap berpegang pada satu seri data. Namun, ada kekhawatiran yang tersisa. Seri
pengangguran yang ’baru’, tidak seperti pendahulunya, kini mencakup juga orang-orang yang biasanya
tidak dianggap bagian dari stok penganggur. Jadi yang terjadi adalah pembesaran skala pengangguran dan
karenanya juga skala respon pertumbuhan dan intervensi yang terkait, bahwa pemerintah perlu menangani
masalah pengangguran.
Kelihatannya, pada suatu titik, pemerintah Indonesia akan perlu mengambil keputusan strategis tentang
cara menentukan tujuan dan sasaran terkait dengan pengangguran. Apakah perlu tetap bertahan dengan
indeks yang mengikutkan orang-orang yang seharusnya tidak dimasukkan sebagai bagian penganggur,
atau haruskah perhatian diarahkan pada seri alternatif? Melakukan hal ini dapat mengundang reaksi tidak
menyenangkan di mana kritik dapat berkata bahwa pemerintah hanya berupaya untuk meminimalisir masalah
pengangguran. Di sisi lain, karena ketertarikan akan transparansi, akuntabilitas publik yang lebih besar dan
perdebatan publik yang lebih bijak, dapat dikatakan bahwa pemerintah harus berupaya menghasilkan seri
data pengangguran yang konsisten dan digunakan sebagai basis bagi tujuan dan sasaran pasar kerja.
Indeks relatif, seperti tingkat pengangguran agregat, tidak memberikan indikasi apapun tentang besaran
absolut dari pengangguran maupun tingkat penciptaan lapangan kerja secara ex-ante dan ex-post. Di tahun
2006, misalnya, total jumlah penganggur 10,9 juta. Statistik ini, juga data pertumbuhan angkatan kerja,
memungkinkan kita untuk menghitung tingkat penciptaan lapangan kerja secara keseluruhan demi
menurunkan stok penganggur saat ini sekaligus juga menyerap para pekerja baru. Jadi, dalam menentukan
tujuan dan sasaran, Pemerintah Indonesia harus menetapkan sasaran penciptaan lapangan kerja dalam
kerangka waktu tertentu dan bukannya memfokuskan diri pada tingkat pengangguran agregat saja. Fokus
penciptaan lapangan kerja formal adalah lebih relevan, khususnya jika ada sektor informal dan pertanian
yang besar dan punya karakter setengah pengangguran serta pengangguran terselubung.
Dalam menggambarkan tingkat penciptaan lapangan kerja, elastisitas tenaga kerja memainkan suatu
peranan penting karena mereka adalah basis bagi proyeksi pekerjaan. Di sinilah penggunaan teknik statistik
yang tepat menjadi penting. Perkiraan ad-hoc berguna untuk tujuan ilustratif tetapi tidak memadai untuk
kebutuhan pembuatan kebijakan. Perkiraan terkini menggunakan teknik statistik yang terkait menunjukkan
bahwa dengan skenario ‘bisnis seperti biasa’ dengan tingkat pertumbuhan yang ada yakni 5 hingga 6 persen,
pemerintah akan gagal memenuhi target penciptaan lapangan kerja sampai tahun 2009. Misalnya, dengan
pertumbuhan ekonomi 5-6 persen, total stok penganggur akan mencapai 8,2 persen, yang berarti tingkat
pengangguran total 7,3 persen, yang berarti masih lebih dari target yang diumumkan sebesar 5,1 persen.
12
Lebih jauh lagi, sektor manufaktur tidak akan memainkan peranan memimpin proses penciptaan lapangan
kerja. Selama periode waktu yang relevan (2006 hingga 2009), sektor manufaktur diharapkan menambah
lebih dari 200.000 pekerja. Penciptaan lapangan kerja yang signifikan diharapkan terjadi di sektor pertanian,
perdagangan dan konstruksi – semuanya bukanlah sektor-sektor berproduktivitas tinggi.
Perlu ditekankan bahwa, karena sifat perkiraan statistik yang tidak persis dan dengan margin error
yang tidak terhindarkan, para pembuat kebijakan harus menciptakan ‘confidence interval’ (interval kepercayaan)
untuk target-target penciptaan lapangan kerja yang diumumkan kepada publik. Ini berarti penetapan batas
bawah dan batas atas bagi target tersebut. Jika kecenderungan aktual dan proyeksi menunjukkan bahwa
bahkan batas bawah pun tidak terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan untuk melakukan analisis tambahan
dan untuk mengambil tindakan perbaikan.
Ada juga, tambahan lagi, isu tentang apakah para pembuat kebijakan harus menggunakan elastisitas
tenaga kerja sebagai tujuan kebijakan ex-ante. Hal ini lebih problematik karena di luar batas tertentu, elastisitas
tenaga kerja yang tinggi berarti produktivitas yang rendah. Beberapa praktisi kemudian menyarankan,
berdasarkan pengalaman historis dari negara-negara Asia Timur dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang
sukses mengelola fase surplus tenaga kerja, bahwa elastisitas tenaga kerja dalam jarak 0.5 hingga 0.7 mewakili
batas yang baik.9 Meskipun ini saran yang bermanfaat, jelaslah bahwa usulan ini didasarkan pada norma-
norma historis dan bukannya berdasarkan prinsip-prinsip awal. Karena elastisitas tenaga kerja sebenarnya
adalah ukuran tidak langsung dari produktivitas, adalah masuk akal untuk memfokuskan diri pada
pertumbuhan produktivitas sebagai sasaran kebijakan yang luas. Baik dari perspektif analitis maupun normatif,
sebaiknya tujuannya adalah pertumbuhan bermotorkan produktivitas yang berarti kombinasi yang
menguntungkan dari peningkatan pekerjaan dan upah riil.
Jadi, peranan apakah yang tertinggal untuk elastisitas pekerjaan dalam pemantauan pasar kerja? Sumber
terkait dan energi intelektual sebaiknya diperluas untuk menjamin bahwa seseorang dapat memperoleh
elastisitas tenaga kerja yang kredibel secara statistik pada tingkat dis-agregat yang memadai untuk
memunculkan proyeksi pekerjaan yang bisa diandalkan dan untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan yang
dibutuhkan untuk memenuhi sasaran penciptaan lapangan kerja yang sudah diumumkan. Jika ini dipraktikkan
secara berkala, hasilnya adalah kontribusi penting untuk melacak tujuan dan sasaran yang terkait dengan
pasar kerja Indonesia.
Tingkat pengangguran ‘terbuka’ yang agregat demikian juga dengan sasaran penciptaan lapangan
kerja agregat merupakan indikator yang tidak bisa diandalkan untuk penciptaan pekerjaan yang pantas dan
produktif. Lebih banyak perhatian harus diberikan pada isu setengah pengangguran. Survei tenaga kerja
tahunan memungkinkan seseorang untuk memperkirakan insiden diinginkan maupun tidak diinginkan dari
setengah pengangguran. Setengah pengangguran yang diinginkan didefinisikan sebagai mereka yang mau
menerima kerja kurang dari 35 jam seminggu, sementara yang tidak diinginkan adalah mereka yang bekerja
kurang dari 35 jam seminggu meskipun mereka sebenarnya siap untuk bekerja dengan waktu lebih panjang
jika diberikan kesempatan. Ada suatu kecenderungan dalam diskursus publik untuk menggabungkan kedua
jenis setengah pengangguran ini sehingga hasilnya 30,5 persen angkatan kerja di tahun 2006. Sebagai
bagian dari penentuan tujuan dan sasaran bagi pasar kerja, konvensi untuk hanya melaporkan tingkat setengah
pengangguran secara keseluruhan harus dihindari. Fokusnya seharusnya pada insiden setengah pengangguran
9 A.R.Khan (2007) ‘Asian Experience in Growth, Employment and Poverty: An Overview with Special Reference to Recent Case Studies’,
Colombo, UNDP Regional Centre.
13
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
yang tidak diinginkan. Jenis inilah yang menopang penghasilan yang kecil dan produktivitas yang rendah,
sementara underemployment yang diinginkan bisa diartikan sebagai kegiatan yang melengkapi penghasilan
utama.
Statistik yang ada menunjukkan bahwa indeks setengah pengangguran yang tidak diinginkan meningkat
secara moderat dari 13,1 persen di tahun 2004 menjadi 14,4 persen di tahun 2006, bahkan ketika agregat
pengangguran terbuka menurun selama kurun waktu tersebut. Divergensi antara kedua indikator memperkuat
kebutuhan untuk memasukkan insiden setengah pengangguran yang tidak diinginkan – dalam hal besaran
relativ dan absolut – dalam pengumuman pemerintah tentang tujuan dan sasaran bagi tenaga kerja.
Fitur lain yang mengejutkan dari pasar kerja Indonesia adalah jumlah yang lebih besar dari kegiatan
sektor informal – fitur yang kecil kemungkinannya akan muncul dalam tingkat pengangguran agregat. Alasan
standarnya adalah bahwa tanpa skema tunjangan pengangguran yang komprehensif dan berfungsi baik,
hanya sedikit orang mampu untuk terus menganggur secara terbuka dalam jangka waktu yang lama dan
karenanya mereka mencari hidup dengan bekerja di sektor berproduktivitas rendah yakni sektor informal,
bekerja tidak penuh waktu untuk penghasilan yang rendah. Selama krisis finansial 1997 dan setelahnya,
banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan mencari hidup di sektor informal. Bahkan setelah pertumbuhan
ekonomi pulih, hanya ada sedikit bukti bahwa desakan besar informalisasi ekonomi sedang dalam tren
menurun. Bahkan sebenarnya di antara tahun 2002 dan 2006, sektor pekerjaan informal tumbuh 4,5 persen
sementara sektor pekerjaan formal tumbuh 2,2 persen. 10 Di tahun 2006, insiden pekerjaan sektor informal
adalah 63 persen, hanya sedikit lebih rendah daripada batas (kira-kira 65 persen) yang terjadi di saat krisis
finansial.
Perkembangan antara 2006 dan 2007 menunjukkan gambaran yang lebih menjanjikan, di mana pekerjaan
sektor formal tumbuh lebih cepat daripada pekerjaan sektor informal. Masih perlu dilihat apakah ini adalah
kecenderungan jangka panjang atau hanya tahap siklikal jangka pendek.
Singkatnya, kurangnya kemajuan jangka panjang dalam pengurangan setengah pengangguran yang
tidak diinginkan serta besarnya sektor informal berarti bahwa, meskipun ada kemajuan dalam pengurangan
keseluruhan tingkat pengangguran, pemerintah belum bisa berbuat banyak dalam upayanya menyediakan
pekerjaan yang layak dan produktif bagi warga negaranya. Kekosongan fundamental ini harus memotivasi
para pembuat kebijakan untuk melihat lagi tujuan dan sasarannya dan meninjau lagi strategi tenaga kerja
mereka.
Laporan global MDG telah mengusulkan, sebagai salah satu sasarannya, penyediaan pekerjaan yang
layak dan produktif bagi orang dewasa muda di negara-negara berkembang (didefinisikan sebagai mereka
yang berusia antara 15-24 tahun). Selain itu, pencapaian kesetaraan gender dan pendidikan dalam pasar
kerja adalah juga elemen penting dalam agenda pembangunan global.
Indonesia telah mengadopsi MDG dalam kebijakan pembangunan nasional, namun dalam tinjauan
ditemukan bahwa Indonesia akan gagal memenuhi target penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif
bagi warga dewasa mudanya sampai tahun 2015, apalagi sampai tahun 2009. Seperti dicatat di tahun 2006,
10 ILO, dalam mencatat kemajuan dalam pengurangan defisit pekerjaan yang layak di tingkat negara, kini menggunakan konsep
‘vulnerable employment’ (kerentanan tenaga kerja) sebagai pengganti untuk mengukur “informalisasi” ekonomi. Kerentanan tenaga
kerja didefinisikan sebagai jumlah penghasilan sendiri dari pekerja dan anggota keluarganya sebagai proporsi dari angkatan kerja.
Indikator ini kini merupakan bagian dari MDG 1. Lihat World/IMF (2008) ‘Monitoring the MDGs’, Washington DC.
14
ada sekitar 7 juta penganggur kaum muda. Tingkat pengangguran kaum muda mencapai 30,6 persen,
mewakili lebih dari 60 persen total stok penganggur. Jumlah ini kurang diinginkan saat dilihat dari perspektif
norma regional. Pembangunan antara 2006 dan 2007 memberi janji bahwa tingkat pengangguran kaum
muda telah menurun cukup banyak (hingga sekitar 25 persen secara nasional).
Isu pengangguran kaum muda tidak bisa dilihat terpisah dari kondisi laku tidaknya lulusan muda dari
sistem pendidikan dan pelatihan di pasaran tenaga kerja. Sejumlah besar penganggur (63 persen di tahun
2006) punya pendidikan menengah.
Apakah tingginya tingkat pengangguran kaum terdidik merupakan keprihatinan besar bagi kebijakan?
Secara politis, tentu ini adalah isu sensitif, tetapi buktinya tidak ada disfungsi yang besar bagi tenaga kerja
terdidik – setidaknya ketika dilihat dari perspektif indikator ‘ketidaktepatan keterampilan’ dan durasi pencarian
pekerjaan. Jadi, misalnya, proporsi pekerja terdidik dengan pendidikan tinggi yang bekerja di kegiatan-
kegiatan berketerampilan rendah sangatlah rendah (jauh di bawah satu persen). Juga kelihatan bahwa premi
upah yang terkait dengan pendidikan tinggi tetap bertahan dalam tahun-tahun belakangan ini.11 Jadi, tidak
ada bukti meyakinkan bahwa kembalinya (swasta) pada pendidikan telah berkurang secara signifikan.
Cara lain untuk menguji isu pengangguran terdidik adalah dengan fokus pada proses pencarian kerja.
Durasi dan strategi mencari kerja berbeda tergantung pada perolehan pendidikan. Yang keluar dengan
pendidikan menengah dan lulusan pendidikan tinggi menghabiskan 10-11 bulan mencari pekerjaan, ini
dibandingkan dengan masing-masing delapan, tujuh dan enam bulan untuk lulusan SMP dan SD dan kurang
lagi bagi yang tidak lulus SD. Jumlah yang sama untuk median durasi pencari kerja adalah tiga bulan lebih
singkat untuk semua kategori. Periode pencarian kerja (sedikit di bawah 10 bulan) tetap relatif stabil untuk
semua kategori penganggur terdidik selama periode (1992-2007). Median durasi pencarian kerja juga stabil
tetapi dengan tingkatan relatif lebih rendah yakni 5,4 bulan, yang berarti bahwa 50 persen pencari kerja
mendapatkan pekerjaan hanya beberapa waktu setelah lima bulan. Durasinya lebih rendah di pedesaan
daripada di daerah perkotaan dalam hal rata-rata dan median pencarian kerja. Jadi, meskipun ada peningkatan
jumlah pendidikan dasar, menengah dan tinggi, durasi pencarian kerja untuk para pencari kerja yang lebih
terdidik tetap relatif stabil. Lebih jauh lagi, rasio mereka mendapatkan kerja telah meningkat, dan usia serta
tingkat pengangguran terbuka khusus untuk pendidikan tertentu tetap stabil. Jadi, jumlah yang besar dari
mereka yang lebih terdidik di antara penganggur terbuka bisa mengindikasikan pencapaian pendidikan
tinggi bagi umumnya generasi yang lebih muda.
Analisis data pencarian kerja dan bukti stabilitas dalam indikator kinerja tenaga kerja sebaiknya tidak
membuat kita puas akan pasar bagi tenaga kerja terdidik. Melainkan, ini mengindikasikan bahwa isu kebijakan
yang utama mungkin terletak pada pencepatan transisi kaum muda dari sistem pendidikan dan pelatihan ke
dunia kerja. Isu ini nanti dibahas lagi di bagian lain makalah ini.
Disparitas gender dalam pasar kerja Indonesia dapat dilihat dari fakta bahwa di tahun 2006 pengangguran
perempuan adalah sekitar 34 persen dibandingkan 28 persen untuk rekannya yang laki-laki. Pembangunan
antara tahun 2006 dan 2007 menunjukkan gambaran yang lebih menjanjikan. Kesenjangan pengangguran
laki-laki dan perempuan nampak sedikit menurun, mencerminkan pertumbuhan pekerjaan yang kuat
mendukung para pekerja perempuan.
11 Estimasi ini dengan baik hati telah disediakan oleh Dr Shafiq Dhanani.
15
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
tangga dan mengurus anak. Satu cara memperhitungkan perbedaan spesifik gender dalam tingkat partisipasi
angkatan kerja adalah dengan memfokuskan diri pada tingkat pengangguran laki-laki-perempuan seperti
tercermin dalam persentase usia populasi yang bekerja. Ketika hal ini dilakukan, tingkat pengangguran laki-
laki ternyata lebih tinggi daripada tingkat pengangguran perempuan.12
Tujuan dari ilustrasi tersebut adalah tidak untuk mengecilkan keberadaan disparitas gender dalam
pasar kerja Indonesia, melainkan untuk menekankan kenyataan bahwa partisipasi angkatan kerja yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan dapat menyimpangkan ukuran standar disparitas gender dalam hal tingkat
pengangguran yang diamati. Tantangan kebijakan yang terkait adalah untuk meningkatkan tingkat partisipasi
angkatan kerja perempuan tanpa mengganggu peranan penting yang dimainkan perempuan dalam kegiatan
rumah tangga dan membesarkan anak. Hal ini kemudian berarti bahwa isu disparitas gender dalam pasar
kerja perlu mengatasi isu yang jauh lebih kompleks dalam hal peranan gender dalam kegiatan rumah tangga.
Ada satu catatan di mana pasar kerja mengalami penurunan disparitas gender. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa disparitas gender dalam arti kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan telah
berkurang dengan tetap. Penghasilan perempuan sebagai proporsi penghasilan laki-laki telah meningkat
dari 50 menjadi 75 persen antara tahun 1982 dan 2007. Data didasarkan pada tingkat partisipasi laki-laki dan
perempuan dalam sistem pendidikan juga menunjukkan bahwa disparitas ini telah menurun dari waktu ke
waktu.
Karena bukti tersebut di atas, tujuan dan sasaran apakah yang sebaiknya dipakai pemerintah Indonesia
untuk menangani isu pengangguran kaum muda maupun disparitas gender dalam pasar kerja? Lapangan
Kerja bagi Kaum Muda Indonesia (IYEN – Indonesian Youth Employment Network) yang baru terbentuk telah
menghasilkan ‘rencana aksi tenaga kerja muda’ untuk tahun 2004-2007 yang memungkinkan seseorang
untuk merefleksikan poin ini. IYEN merekomendasikan ‘empat pilar’ bagi pengembangan strategi tenaga
kerja muda: (1) menyiapkan kaum muda untuk bekerja; (2) menciptakan pekerjaan berkualitas bagi kaum
muda laki-laki dan perempuan; (3) menumbuhkan kewirausahaan; (4) menjamin kesempatan yang setara
bagi laki-laki dan perempuan. Dalam kerangka kerja keempat pilar, IYEN menyarankan agar sasaran tenaga
kerja ditetapkan untuk usia demografis ini dan dimasukkan dalam keseluruhan kerangka kebijakan. Hal ini
termasuk: (1) pengurangan jumlah kaum muda yang ‘belum tergarap’ (entah mereka yang masih dalam
pendidikan atau sudah dalam angkatan kerja); (2) pengurangan jumlah kaum muda yang ‘belum sepenuhnya
digunakan’ (mereka yang menganggur atau setengah pengangguran); (3) peningkatan jumlah laki-laki dan
perempuan di sector formal.13
Makalah ini mendorong tujuan tersebut, karena penekanan pada dimensi ‘pengarusutamaan’ gender
dalam pasar kerja dan bukannya memperlakukan hal ini secara ’terpisah’. Perbedaan antara kaum muda
yang ‘belum tergarap’ dan ‘belum sepenuhnya digunakan’ adalah inovatif. Hal ini mungkin bermanfaat untuk
melengkapi arah umum yang dicatat di sini dengan target kuantitatif yang terikat waktu dalam cara pemerintah
bertindak menyikapi tingkat pengangguran agregat, namun penekanannya seharusnya ada pada tingkat
eksplisit penciptaan lapangan kerja.
12 Di tahun 1998-2000, misalnya, tingkat pengangguran laki-laki sebagai proporsi populasi usia kerja adalah 4,7 persen dibandingkan
3,7 persen untuk perempuan.
13 IYEN [2004] ‘Youth Action Plan : 2004-2007’, Jakarta
16
Migrasi dan pekerjaan di luar negeri
Seorang menteri senior dalam Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencatat bahwa, sebagai bagian
dari strategi negara dalam hal tenaga kerja, akan ada perluasan ‘…kesempatan bagi pekerja migran Indonesia
untuk bekerja di luar negeri’. Pada 2006, sekitar 680,000 orang Indonesia terdaftar bekerja di luar negeri
dengan ramalan penambahan jumlah menjadi 800,000 sampai akhir tahun 2007.14 Angka ini mungkin kelihatan
remeh karena besarnya jumlah angkatan kerja – tetapi jumlah yang terdaftar tidak mesti mencakup besaran
sesungguhnya dari jumlah orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya karena besarnya insiden
migrasi tanpa dokumentasi dan ilegal ke negara-negara tetangga di Asia. Dengan perkiraan 2,3 juta migran
di luar negeri, Indonesia menjadi negara pengirim penting, khususnya di antara negara-negara ASEAN/Asia
Timur. Jelas bahwa pemerintah bermaksud menggunakan migrasi ke luar negeri sebagai kendaraan untuk
memperkuat penciptaan pekerjaan domestik. Para migran dapat pula memainkan peranan penting dalam
mengurangi kemiskinan di tingkat rumah tangga melalui remitansi yang dapat meningkatkan standar hidup
para tanggungan mereka.
Beberapa praktisi telah berkata bahwa isu migrasi ke luar negeri sebagai cara melengkapi penciptaan
lapangan kerja domestik harus menjadi bagian penting dari agenda pembangunan global. Beberapa estimasi
menunjukkan bahwa meskipun terbatas, rezim liberalisasi tenaga kerja yang diatur dengan baik di seluruh
dunia dapat menumbuhkan keuntungan yang akan lebih besar dibandingkan liberalisasi perdagangan secara
penuh.15 Jelas pula bahwa wilayah Asia Timur saat ini terdiri dari campuran negara-negara dengan surplus
tenaga kerja dan negara-negara yang kekurangan tenaga kerja. Kesempatan untuk muncul dari campuran
ini, melalui migrasi regional yang lebih baik, belumlah mendapatkan prioritas dibandingkan isu perdagangan
dan arus investasi. Karena berkembangnya kesempatan global dan regional ini, masuk akal bagi para pembuat
kebijakan di Indonesia untuk mempertimbangkan migrasi ke luar negeri sebagai salah satu cara meningkatkan
penciptaan lapangan kerja domestik. Mereka harus mengikutkan isu migrasi pekerja regional dan proteksi
pekerja migran dalam negosiasi perjanjian perdagangan bebas, seperti AFTA.16
Seperti dalam kasus dimensi lain dari penciptaan pekerjaan, tujuan kebijakan yang terkait dengan
migrasi ke luar negeri dapat dengan mudah dibatasi pada sasaran kuantitatif, misalnya meningkatkan
keseluruhan jumlah orang yang mencari pekerjaan ke luar negeri, tetapi ada isu signifikan soal kualitas yang
lebih perlu. Khususnya bahwa kaum perempuan muda Indonesia rentan terhadap eksploitasi. Industri migrasi
juga perlu diatur dengan peraturan yang standar. Remitansi yang cepat, fleksibel dan aman perlu diterapkan.
Isu-isu ini tidak bisa selalu siap diterjemahkan dalam sasaran-sasaran kuantitatif yang sederhana, tetapi
mereka perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari latihan penetapan tujuan. Dengan kata lain, tujuan harus
dibuat untuk menyediakan pekerjaan yang layak dan produktif bagi orang Indonesia di lokasi-lokasi di luar
negeri.
Perdebatan paska krisis tentang pasar kerja Indonesia telah didominasi oleh diskusi-diskusi tentang
kondisi di mana harga tenaga kerja mempengaruhi keputusan pengusaha untuk merekrut dan bagaimana
14 A. Haswidi [2007] ‘Economics Minister pledges all out to reduce unemployment’, Jakarta Post, Maret.
15 L.Pritchett [2006] Let Their People Come: Breaking the Gridlock on Labour Mobility, Washington, Centre for Global Development
16 Lihat A. Chowdhury [2007] Indonesia’s Hesitance with AFTA and AFTA plus: A Political Economy Explanation”, Paper presented at
“FTA, Regional Integration, and Development” Conference, Pusan National University, Busan, Korea, December 18-19, 2007; T.
Hidayat and D. Widarti [2005], “Social Implications of ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) on Labour and Employment: The Case of
Indonesia”, ILO/ASEAN Joint Study.
17
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
hal ini mempengaruhi daya saing harga dari ekonomi Indonesia. Ada praduga umum bahwa biaya tenaga
kerja telah menjadi terlalu tinggi, pertumbuhan upah telah melebihi pertumbuhan produktivitas dan akibatnya
ekspor produk padat karya telah menderita. Fokusnya pada peraturan ketenagakerjaan yang memberatkan
dan kasus-kasus militansi serikat pekerja. Kekhawatiran-kekhawatiran ini tercermin dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah yang menyuarakan kebutuhan untuk ’menciptakan pasar kerja fleksibel
dengan cara memperbaiki peraturan ketenagakerjaan’. Pada saat yang sama, Rencana tersebut menyoroti
perlunya ’menggunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi (sic), dan ’menyediakan proteksi tenaga
kerja yang mengarah pada kesejahteraan’.
Tantangannya adalah untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara kekhawatiran tentang daya
saing harga dan kesejahteraan pekerja. Di sini perdebatan publik yang bijak meminta pemerintah untuk
memainkan peranan memimpin dalam mengembangkan panduan yang akan membantu para pembuat
kebijakan untuk menemukan keseimbangan yang tepat dan meminimalkan potensi trade-off antara
perlindungan hak-hak pekerja dan keharusan penciptaan pekerjaan. Tujuan yang tepat adalah untuk
memastikan bahwa upah riil tumbuh sejalan dengan produktivitas. Hal ini adil dan juga efisien.
Seperti telah disebut, pemerintah Indonesia telah punya sasaran yang diumumkan untuk mengurangi
kemiskinan menjadi separuhnya bersamaan dengan sasaran untuk mengurangi pengangguran agregat sampai
tahun 2009. Apakah ini pendekatan yang valid, mengingat pemahaman yang kini ada tentang neksus antara
kemiskinan dan pasar kerja?
Kita dapat menggunakan metode tidak langsung untuk mendapatkan suatu saran hubungan antara
pengangguran dan kemiskinan di tingkat nasional. Prosedur ini tergantung pada dua pola yang sudah
terbangun baik, satu diangkat dari SAKERNAS, yang lain dari SUSENAS. Yang pertama biasanya menunjukkan
bahwa ada hubungan terbalik antara tingkat pengangguran yang diamati dan pencapaian pendidikan pekerja
(pengangguran tinggi/pendidikan rendah); estimasi yang diangkat dari SUSENAS mengindikasikan bahwa
ada juga hubungan terbalik antara insiden kemiskinan dan pencapaian pendidikan kepala keluarga (insiden
kemiskinan tinggi/pendidikan rendah). Mengaitkan keduanya menghasilkan kemungkinan hubungan terbalik
antara pengangguran dan kemiskinan di Indonesia, yakni bahwa tingkat pengangguran yang tinggi dapat
diasosiasikan dengan tingkat kemiskinan yang rendah. Mereka dengan pendidikan dasar atau lebih rendah
dari itu punya tingkat pengangguran di bawah 5 persen (seperti tercatat tahun 1999), namun insiden
kemiskinan untuk kelompok ini bervariasi dari 29 persen hingga 48 persen. Pada sisi lain, mereka dengan
pendidikan menengah atau lebih punya tingkat pengangguran yang berkisar antara 13 persen dan 16 persen,
namun tingkat kemiskinan bervariasi antara 2 persen dan 13 persen.
Jadi, perdebatan bahwa pengangguran punya relevansi terbatas untuk memahami kemiskinan di
Indonesia kelihatannya lahir dari data yang ada.18 Secara umum, kaum miskin tidak mampu untuk tetap
menganggur dalam waktu lama dan harus mencari pekerjaan apapun untuk tetap hidup. Akan bermanfaat,
sebagai bagian dari strategi penelitian mendatang, untuk lebih mendalami lagi hubungan antara kemiskinan
dan pengangguran. Pengamatan yang lebih hati-hati akan data SUSENAS dan SAKERNAS yang belum terbit
tentang isu-isu tersebut sungguh layak jelajah.
17 Diskusi dalam bagian ini diangkat dari I.Islam [2002] “Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective”, laporan yang
disiapkan untuk Recovery and Reconstruction Department, Geneva, ILO.
18 Pernyataan ini konsisten dengan semangat ‘agenda pekerjaan layak’ dari ILO karena penekanannya ada pada penciptaan pekerjaan
yang produktif dan bertahan sebagai cara mengurangi kemiskinan dan bukannya untuk mengurangi tingkat pengangguran agregat.
18
Cara lain untuk mengekplorasi hubungan antara pengangguran dan kemiskinan adalah untuk melacak
pergerakan keduanya di tingkat agregat. Kecenderungan terkini menunjukkan bahwa kemiskinan dan
pengangguran telah berkembang ke arah berbeda – setidaknya ketika seseorang membandingkan seri yang
resmi. Kemiskinan – berdasarkan rasio jumlah kepala di tingkat nasional (national head count ratio) –
sesungguhnya telah meningkat antara tahun 2005 dan 2006 (dari 16,0 persen menjadi 17, 8 persen), sementara
pengangguran menurun dari puncaknya 11,2 persen di tahun 2005 menjadi 10,3 persen di tahun 2006. Pada
saat yang sama, meskipun tingkat pengangguran resmi meningkat tajam antara 2001 and 2005, kemiskinan
agregat berdasarkan garis kemiskinan nasional menurun sepanjang periode itu.19 Secara umum data
pergerakan bersama antara tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran antara 1996 dan 2006 menunjukkan
bahwa keduanya bergerak ke arah yang berbeda.
Karena kesangsian yang diajukan tentang hubungan antara kemiskinan dan pengangguran, bagaimana
sebaiknya seseorang menganalisa neksus kemiskinan-tenaga kerja agar menghasilkan pengetahuan yang
relevan? Seseorang harus mengadopsi pendekatan dis-agregat untuk menganalisa pekerjaan dan karakteristik
keterampilan rumah tangga yang miskin. Ilustrasinya ditawarkan berikut ini.
Sejumlah besar kaum miskin Indonesia dapat ditemukan di sektor pertanian. Misalnya, di tahun 1999,
insiden kemiskinan dalam pertanian mencapai kira-kira 40 persen dibandingkan dengan tingkat kemiskinan
yang hanya 5 persen untuk kepala rumah tangga yang mengidentifikasikan keuangan sebagai sektor pekerjaan
mereka yang utama. Lebih jauh lagi, 58 persen dari kemiskinan secara nasional dapat dikatakan berasal dari
sektor pertanian. Jadi, strategi pengurangan kemiskinan apapun di Indonesia akan perlu mengenali luasnya
keberadaan rumah tangga miskin di bidang kegiatan pertanian.
Data juga menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa rumah tangga miskin entah secara substantif
lebih muda atau lebih tua dari rumah tangga yang tidak miskin. Juga tidak ada bukti yang jelas tentang
‘feminisasi’ kemiskinan dalam arti bahwa cuma 16 persen dari rumah tangga yang dikepalai perempuan
diklasifikasi sebagai miskin.
Dalam hal status pekerjaan, nampak bahwa wirausaha informal adalah karakter utama kemiskinan. Jadi,
56 persen kepala rumah tangga yang berwirausaha masuk dalam kategori kelompok miskin dibandingkan
30 persen kepala keluarga yang dikelompokkan sebagai pegawai.
Dalam hal jam kerja per minggu, ada perbedaan antara rumah tangga yang miskin dan yang tidak
miskin. Jadi rumah tangga yang miskin di tahun 1999 bekerja rata-rata 33 jam per minggu dibandingkan
rumah tangga yang tidak miskin yang bekerja rata-rata 36 jam per minggu.
Ada perbedaan nyata antara rumah tangga yang miskin dan tidak miskin dalam bidang pendidikan.
Mean tahun sekolah bagi rumah tangga yang miskin adalah 6,0 tahun di tahun 1999 dibandingkan 7,4 tahun
bagi rumah tangga yang tidak miskin.
Untuk menajamkan tujuan dan sasaran yang menekankan pada neksus kemiskinan-pasar kerja, beberapa
poin perlu disebut. Pertama, pergerakan dalam tingkat pengangguran tidak nampak berkorelasi baik dengan
perubahan dalam tingkat kemiskinan. Hal ini memperkuat pandangan bahwa kaum miskin tidak mampu
bertahan menganggur untuk waktu yang lama karena ketiadaan skema tunjangan pengangguran. Di sisi
lain, hubungan antara upah dan kemiskinan lebih kuat. Ada cukup banyak bukti bahwa konsumsi upah riil di
tahun-tahun belakangan, khususnya antara 2005 dan 2006, telah mengalami stagnasi atau penurunan di
semua sektor dan dalam sektor informal. Kecenderungan jangka panjang juga menunjukkan pergerakan
bersama yang dekat antara kemiskinan dan upah riil.
19 Peningkatan yang tajam tetapi temporer untuk kemiskinan tahun 2005-2006 disebabkan utamanya oleh peningkatan tajam dalam
tingkat inflasi yang digerakkan oleh pengurangan subsidi bahan bakar.
19
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Relatif lebih sedikit perhatian diberikan kepada insiden ‘orang miskin yang bekerja’, yakni mereka yang
berpartisipasi dalam pasar kerja tetapi memiliki penghasilan yang tidak memadai. Satu studi perbandingan
menyarankan bahwa dalam masa sebelum krisis, jumlah orang miskin yang bekerja ada kira-kira 16 persen
dari angkatan kerja yang bekerja.20
Estimasi terkini menunjukkan bahwa insiden ‘orang miskin bekerja’ bervariasi signifikan, tergantung
pada garis kemiskinan yang digunakan. Berdasarkan garis kemiskinan internasional 1 US$ per hari seperti
diterapkan pada data 2006, ada sekitar 8 persen dari angkatan kerja, tetapi angkanya melonjak ke 52 persen
dari angkatan kerja ketika angka 2 dolar per hari dipakai.21 Estimasi ini perlu diperbarui secara berkala.
Upaya-upaya perlu diambil untuk mengembangkan konsep ’upah hidup’ (living wage) sebagai alat melacak
kelompok-kelompok dalam angkatan kerja yang berada di bawah ‘upah hidup’. Lebih penting lagi, karakteristik
pekerjaan dari ’orang miskin bekerja’ perlu lebih dipelajari lagi secara intensif.
Pemerintah, dalam menerapkan MDG, juga menganut pandangan bahwa kemiskinan adalah konsep
multidimensional yang terkait dengan kurangnya daya beli, kurangnya standar pembangunan sumber daya
manusia serta kurangnya suara dan partisipasi kaum miskin dalam kehidupan sipil dan politik. Kecuali untuk
pemberdayaan politik kaum miskin, MDG global didominasi oleh tujuan dan sasaran yang ingin memperbaiki
kelemahan dalam hal pembangunan sumber daya manusia, khususnya kesehatan, nutrisi dan pendidikan.
Kurangnya daya beli, atau kemiskinan penghasilan, hanyalah salah satu indikator yang diusulkan dalam
MDG.
Indonesia akan mencapai pengurangan kemiskinan penghasilan serta banyak indikator pembangunan
lain yang diusulkan hingga tahun 2015. Jadi wajar bila dalam pengumuman dan sosialisasi tujuan terkait
dengan neksus antara kemiskinan dan pasar kerja, pemerintah sebaiknya menjauh dari fokus yang terlalu
sempit pada kemiskinan penghasilan. Penciptaan pekerjaan berbasis luas dan pertumbuhan upah riil memang
bisa mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan daya beli, tetapi belum tentu menjamin bahwa semua
warga negara akan lebih terdidik, lebih sehat dan tidak kekurangan gizi. Keharusan pembangunan sumber
daya manusia ini juga terletak pada inti penjaminan bahwa warga negara memiliki kemampuan untuk punya
pekerjaan yang layak dan produktif.
Fokus yang sempit pada tinjauan kemiskinan penghasilan mengabaikan isu penting tentang kerentanan,
yakni risiko episode kemiskinan sementara yang mungkin dialami manusia. Fitur yang menggelisahkan dalam
kemiskinan di Indonesia adalah bahwa banyak individu dan rumah tangga yang terletak di garis kemiskinan,
yang berarti bahwa satu saja ‘shock’ tidak terduga akan mendorong banyak orang untuk jatuh ke bawah
garis kemiskinan. Perkiraan terkini menunjukkan bahwa insiden kerentanannya adalah 29 persen – angka
yang hampir dua kali tingkat kemiskinan saat ini. Isu kerentanan juga terkait dengan risiko pasar kerja,
terkait dengan masalah pengangguran dan setengah pengangguran. Jadi, insiden kerentanan bagi ‘orang
miskin yang bekerja’ adalah sekitar 44 persen dari angkatan kerja.22 Jadi, dengan memfokuskan diri pada
kemiskinan penghasilan, pemerintah tidak memberi cukup perhatian pada kerentanan. Kerentanan bersifat
luas dan perlu dikenali dengan cara memasukkannya dalam tujuan dan sasaran pemerintah dalam hal pasar
kerja.
20 N.Majid [2001] ‘The Size of the Working Poor Population in Developing Countries’, ILO, Geneva, Employment Paper No.16
21 ILO [2008] ‘Labour and Social Trends in Indonesia: Decent work pathways towards job-rich development’, Jakarta, Bangkok and
Geneva
22 Ini didapatkan dengan menghitung selisih antara insiden orang miskin yang bekerja dengan estimasi satu US$ per hari dan insiden
orang miskin yang bekerja dengan estimasi dua US$ per hari. Estimasi ini, dikutip dalam teks, tersedia dalam ILO [2008] [op.cit: 10].
20
Tujuan dan sasaran: agregat nasional vs. keberagaman regional
Indonesia, tentu saja, adalah negara yang luas dan beragam. Setelah beberapa dekade pemerintahan
yang tersentralisasi, negara ini telah menerapkan program komprehensif untuk desentralisasi regional.
Kebijakan pasar kerja dan pengentasan kemiskinan, seperti misalnya upah minimum dan Program
Pemberdayaan Nasional, kini dilaksanakan di tingkat regional/lokal. Jadi, fokus pada agregat nasional –
seperti pengurangan yang belum diumumkan tentang pengangguran dan kemiskinan – hanyalah awal dari
upaya menetapkan tujuan dan sasaran kebijakan. Tingkat pengangguran nasional, misalnya, menyembunyikan
variasi yang besar, yang berkisar antara 18,9 persen (di Banten) hingga 3,6 persen (di Nusa Tenggara Timur).
Laporan Pembangunan Sumber daya Nasional terdahulu telah menunjukkan bahwa Indonesia secara
keseluruhan akan mencapai banyak MDG hingga 2015, tetapi sejumlah wilayah/provinsi akan tertinggal
jauh.
Bagaimana caranya mencerminkan keberagaman yang begitu besar dari negara ini dalam tujuan dan
sasaran kebijakan nasional? Satu pendekatan, yang diangkat dari karya yang diadvokasikan oleh Laporan
Pembangunan Manusia Nasional 2000/2001 adalah untuk mengembangkan ‘perpaduan pembangunan
manusia’ yang berupaya menanamkan visi bahwa semua orang Indonesia, di manapun lokasinya, harus
berhak atas standar pembangunan manusia minimum yang nantinya diarahkan pada MDG. Tujuannya adalah
untuk memastikan bahwa semua daerah mampu, dengan kerangka ikatan waktu, untuk mencapai standar
pembangunan manusia yang sejalan dengan MDG. Ide ini nantinya dapat diterjemahkan dalam kerangka
pasar kerja. Jadi tujuannya sebaiknya untuk menyebarluaskan tujuan dan sasaran yang terkait dengan
penciptaan pekerjaan yang produktif yang secara eksplisit mengikutkan keberagaman wilayah negara. Hal
ini berarti mengembangkan profil regional dari sejumlah indikator pasar kerja beserta pergerakannya
sepanjang waktu yang dapat memandu para pembuat kebijakan dalam mengidentifikasi siapa yang memimpin
dan tertinggal dalam penciptaan pekerjaan. Kelemahan kinerja pasar kerja dan tindakan perbaikan untuk
merespon kelemahan tersebut kemudian dapat dinilai berdasarkan tolak ukur yang ditentukan secara nasional.
21
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
22
3. Perdebatan dan Diagnosis
Pendekatan yang digerakkan oleh bukti untuk membuat bijakan berarti penganutan kerangka diagnostic
yang akan memungkinkan seseorang untuk memahami mengapa pasar kerja Indonesia telah berfungsi
dalam waktu yang baru lalu, bagaimana ia berfungsi sekarang, dan bagaimana perkembangannya di masa
mendatang. Resolusi memuaskan dari pertanyaan-pertanyaan ini akan memberikan dasar analitis dan empiris
tentang pembuat kebijakan mana yang dapat melabuhkan tujuan dan sasarannya dan mengukur pencapaian
mereka dalam kerangka waktu yang sudah ditentukan.
Dalam mempelajari pasar kerja Indonesia, kita dapat mengurai narasi analisis tertentu yang kelihatannya
berpengaruh. Hal ini, seperti telah dikatakan, adalah yang dikenal sebagai hipotesa ‘tekanan harga’. Premis
dasarnya adalah bahwa Indonesia dilambangkan dengan peraturan ketenagakerjaan yang memberatkan,
yang secara agresif mengejar upah minimum dan ketentuan lain seperti pesangon, yang meningkatkan
upah riil hingga ke tingkat sangat tinggi, menghambat pertumbuhan pekerjaan di sektor formal dan
berdampak negatif pada iklim investasi. Perkembangan ini umumnya dilihat berasal dari Undang-Undang
Ketenagakerjaan 2003 yang adalah produk lingkungan demokratis yang semakin liberal secara politik yang
muncul setelah krisis finansial 1997. Hal ini mendorong harapan masyarakat akan peningkatan hak. Tidak
seperti dulu, ketika rezim politik masih sangat tersentralisasi, pihak yang berwenang dalam pemerintah
tidak bisa lagi semata-mata menekan serikat buruh dan kegiatan sipil. Sistem hubungan industrial sekarang
nampak mencerminkan ‘koreksi berlebihan’ untuk represi masa lampau dalam hal hak-hak pekerja. Jadi, hal
ini tercermin dalam penerapan yang begitu bersemangat akan kebijakan upah minimum, pesangon yang
murah hati, pengaturan penggunaan kontrak pekerjaan temporer dan outsourcing produksi. Hal ini
menciptakan lingkungan usaha biaya tinggi yang menjadi rem bagi investasi swasta yang sangat dibutuhkan,
baik dari dalam maupun luar negeri. Investasi yang tidak memadai akhirnya menjadi rem bagi penciptaan
pekerjaan di sektor formal.
Berikut beberapa contoh yang umum tentang sudut pandang ini. Satu studi menyimpulkan: ‘beberapa
perkembangan terkini dan yang belum muncul dalam kebijakan pasar kerja Indonesia mengancam
peningkatan biaya perekrutan pekerja baru dan akhirnya memperlambat penciptaan pekerjaan modern.’23
Satu studi lain juga sepakat: ‘Telah terjadi perkembangan memburuk dalam kinerja pasar kerja Indonesia
sejak krisis finansial Asia utamanya karena penurunan investasi dan pasar kerja yang lebih diatur’. 24 Satu lagi
23 Carl Aaron, et al [2004] ‘Strategic Approaches to Job Creation and Employment in Indonesia’, Laporan untuk USAID, Jakarta
24 G. Sugiyarto [op. cit]
23
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
pengamat mengecam Indonesia karena undang-undang ‘yang mengatur praktik rekrutmen dan pemecatan
(telah) menciptakan pasar kerja yang disfungsional’ dan solusinya sungguh adalah dengan ‘menghapuskan
pasar kerja yang kaku’.25
Cap intelektual tentang hipotesa ‘tekanan harga’ tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah, yang salah satu tujuannya adalah restorasi peraturan pasar kerja menjadi lebih fleksibel. Di
tahun 2006, pemerintah berupaya mereformasi Undang-undang Ketenagakerjaan 2003, namun
penyelesaiannya belum ada. Makalah ini menawarkan tinjauan bukti yang ada seputar harapan yang dapat
membantu dialog sosial yang hidup antara pemerintah, asosiasi pengusaha dan perwakilan pekerja melalui
cara-cara terbaik di masa mendatang untuk merancang dan mempertahankan kerangka peraturan yang
ramah-pengusaha dan sekaligus melindungi dan menghormati hak-hak pekerja.
Mereka yang mendukung kesahihan hipotesa ‘tekanan harga’ dalam konteks Indonesia biasanya
memberi perhatian pada evolusi terkini seputar upah minimum dan skema pesangon. Kewenangan untuk
menetapkan upah minimum kini juga diletakkan di tingkat daerah, meskipun implementasinya diharapkan
untuk terjadi sesuai panduan di tingkat nasional. Jelas bahwa upah minimum sudah naik tajam, khususnya
setelah krisis finansial 1997. Upah minimum provinsi meningkat dari 61 persen dari rata-rata upah menjadi
69,4 persen dari rata-rata upah. Data yang ada menunjukkan bahwa selama tahun 2005-2006, upah minimum
tumbuh lebih cepat di daerah dengan tingkat pengangguran di atas rata-rata dibandingkan daerah-daerah
yang tingkat penganggurannya di bawah rata-rata.26
Dalam hal pesangon, kini Indonesia punya yang tertinggi di wilayah ini. Survey ’Doing Business’ dari
Bank Dunia meranking Indonesia cukup buruk dalam hal ’indeks kekakuan ketenagakerjaan’. Posisinya nomor
154 dari 178 negara. Ketika penemuan ini digabungkan dengan peningkatan pengangguran antara tahun
2003 dan 2005 serta penurunan sirkuler dari porsi ekspor produk padat karya, kita tergoda untuk
menyimpulkan bahwa hipotesa ’tekanan harga’ sungguhlah sahih. Diagnosis macam itu kemudian akan
mendorong seseorang untuk mendukung upaya pemerintah untuk meninjau dan mengubah ketentuan-
ketentuan yang memberatkan yang tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003.
Namun, bukti yang ada tidaklah sejelas yang kelihatan. Sejumlah kisaran bukti berlawanan dapat
dikumpulkan. Berikut beberapa di antaranya.
Survei ‘Doing Business’ dari Bank Dunia mendata peraturan pasar kerja sebagai salah satu saja dari
sepuluh faktor yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘kemudahan melakukan usaha’ di mana Indonesia
ada di ranking 123 dari 178 negara.27 Survei global lain yang dibuat oleh World Economic Forum (lihat
dibawah) menunjukkan bahwa peraturan-peraturan ketenagakerjaan mewakili hanya satu dari 14 faktor
yang memengaruhi iklim usaha. Implikasi yang jelas adalah bahwa reformasi peraturan ketenagakerjaan
tanpa terlebih dahulu mengatasi hambatan-hambatan lain hanya akan berpengaruh kecil pada perbaikan
iklim usaha.
25 S. H. Hanke [2007] ‘Abolish rigid labour markets’, CATO Institute, July. Hanke sempat dalam waktu singkat bertugas sebagai penasihat
mantan Presiden Suharto selama puncakmasa krisis di Indonesia.
26 Juga menarik untuk dicatat bahwa upah minimum provinsial meningkat rata-rata 9,1 persen di tahun 2006 di tujuh kabupaten/kota
di mana pemilu langsung gubernur diselenggarakan di tahun 2005. Angka untuk propinsi-propinsi lain adalah 8,0 persen. Jadi, para
pembuat kebijakan perlu mewaspadai apakah penyesuaian upah minimum telah menjadi alat untuk membeli suara.
24
Dalam hal survey daya saing global yang terkenal yang diselenggarakan oleh World Economic Forum
(WEF) untuk 2007-2008, Indonesia berada di urutan ke 54 dari 131 negara – suatu perbaikan substansial
dibandingkan dengan periode pertengahan tahun 2000an.
Dalam indeks agregat tersebut, Indonesia punya skor 30 dari 131 negara dalam hal ukuran ‘efisiensi
pekerja’. Lebih penting lagi, Indonesia menerima urutan antara 31 dan 35 (dari 131) dalam hal praktik
rekrutmen/pemecatan dan fleksibilitas upah. Dengan kata lain, ranking WEF akan pasar kerja Indonesia
adalah jauh lebih baik daripada ranking Bank Dunia.28
Satu lagi survei global lain yang dihasilkan oleh Fraser Institute dapat dipakai untuk melacak apakah
peraturan perundangan telah memburuk dalam kurun tahun belakangan. Kecenderungan yang muncul
adalah bahwa keseluruhan indeks peraturan pasar kerja sebenarnya telah membaik antara tahun 2000
dan 2005, bersamaan dengan perbaikan keseluruhan dalam ‘Kebebasan Ekonomi’ selama periode yang
sama.29 Seperti juga kasus survei ‘Doing Business’ dan survei WEF, peraturan ketenagakerjaan mewakili
hanya satu komponen saja dari banyak hal lain yang memengaruhi keseluruhan indeks “Kebebasan
Ekonomi’ yang diklaim oleh penulisnya sebagai memengaruhi pertumbuhan dan standar hidup. Jadi
akibatnya, bahkan bila perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan membuat Indonesia berubah
menjadi negara yang paling ‘ramah bisnis’ di dunia, perubahannya hanya akan marginal saja dalam
indeks ‘Kebebasan Ekonomi’ jika komponen-komponen lainnya tidak berubah.
Survei perusahaan menunjukkan bahwa masalah pekerja bukanlah kekhawatiran utama yang ditunjukkan
para investor. Masalah itu menempati posisi tengah dalam daftar 12 faktor yang secara negatif
memengaruhi persepsi iklim usaha. Lebih lanjut, survei 2007 tentang iklim investasi oleh Universitas
Indonesia menunjukkan bahwa hanya sedikit saja perusahaan yang mengalami beragam masalah yang
berkaitan dengan pekerja di tahun 2006.30
Biaya pekerja non-upah (sebagai persen biaya operasi perusahaan) sangatlah sejalan dengan norma-
norma regional, sementara total biaya pekerja sebagai proporsi biaya operasi perusahaan di sektor
manufaktur yang formal tetaplah stabil di angka tujuh persen di tahun-tahun belakangan ini.
Baik upah produk riil maupun upah konsumsi riil entah stagnan atau menurun untuk beragam sektor
ekonomi antara tahun 2004 dan 2006, meskipun upah minimum meningkat. Bahkan, upah minimum
rata-rata yang riil di sektor manufaktur menunjukkan peningkatan yang lebih rendah lagi dibandingkan
dengan pertumbuhan upah minimum nominal.
Unit biaya pekerja – ukuran daya saing yang banyak digunakan – telah turun sejak tahun 2001 dan kini
berada di titik terendah sejak 1993. Hal ini menunjukkan kombinasi produktivitas tenaga kerja, di sektor
manufaktur dan sektor lain, serta biaya pekerja yang kira-kira konstan – semuanya merupakan
perkembangan yang bertentangan dengan klaim yang dibuat oleh para pendukung hipotesa ‘tekanan
biaya’.
Sejumlah studi ekonometri telah dilakukan untuk mengidentifikasi konsekuensi-konsekuensi dari upah
minimum pada tersedianya pekerjaan. Sejumlah studi ini menunjukkan adanya konsekuensi tenaga
kerja yang negatif, namun perlu ada kehati-hatian dalam mengartikan hal ini. Pertama, sejumlah studi
menunjukkan bahwa pekerjaan sektor formal dan sektor ekspor umumnya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan seputar upah minimum. Kedua, studi-studi tersebut sangat bergantung pada ‘elastisitas
27 Tersedia di www.gcr.weforum.org
28 Bahan utama kebebasan ekonomi, seperti dikonseptualisasikan oleh Fraser Institute adalah: pilihan personal, pertukaran pasar
secara sukarela, kebebasan untuk masuk dan bersaing dalam pasar, perlindungan individu dan properti dari agresi pihak lain. Indeks
ini terdiri dari lima sub-indeks: ukuran pemerintah; uang ‘sound’; struktur legal dan keamanan hak properti; perdagangan bebas;
peraturan-peraturan ketenagakerjaan, kredit dan bisnis. Indeks-indeks ini punya nilai maksimum 10, sebagai skor terbaik. Almarhum
Nobel Laureate Milton Friedman, sesepuh neo-liberal, diasosiasikan dengan kerja perdana dari Institut ini.
29 Survei WEF juga menunjukkan bahwa faktor-faktor lain yang terkait dengan infrastruktur, birokrasi dan ketidakstabilan politik
menggantikan peraturan ketenagakerjaan sebagai faktor-faktor yang paling problematik bagi penyelenggaraan usaha di Indonesia.
25
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
sebagian’, yakni, apa yang akan terjadi pada pengangguran bila ada peningkatan upah minimum tetapi
tidak ada perubahan lain yang terjadi. Sudah diketahui bahwa ketersediaan pekerjaan berespon positif
pada pertumbuhan PDB – yang, tentu saja, merupakan alasan standar untuk memfokuskan diri pada
elastisitas pekerjaan. Jadi, pertumbuhan PDB yang pesat – dan kondisi umum yang baik – dapat
meringankan konsekuensi negatif dari peningkatan upah minimum.31 Namun demikian, elastisitas
‘sebagian’ dalam hal upah minimum (atau turunannya) di tingkat nasional biasanya cukup kecil, berkisar
dari 0,1 hingga 0,03, dan beberapa diantaranya didasarkan pada fungsi-fungsi pekerja yang hampir
tidak lolos tes statistik signifikansi yang standar. Estimasinya dengan demikian tidaklah besar dalam hal
besaran dan tidak cukup kuat untuk dijadikan basis yang solid bagi resep kebijakan.
Bukti lintas negara menunjukkan bahwa upah minimum dan tunjangan wajib tidaklah mengganggu
pertumbuhan (dan pekerjaan). Yang penting adalah ukuran relatif dari pekerja yang terorganisir dalam
ekonomi tersebut.32 Penemuan ini punya relevansi tertentu di Indonesia, mengingat bahwa densitas
serikat pekerja hanya sekitar 10 persen dari angkatan kerja.
Bila hipotesa ‘tekanan biaya’ tidak berdasar pada pondasi empiris yang kuat, hipotesa alternatif apakah
yang dapat diajukan? Hasil tersedianya pekerjaan merupakan produk dari faktor-faktor tarikan-permintaan
dan tekanan-biaya. Menekankan pada tekanan biaya saja dengan mengabaikan tarikan permintaan
menimbulkan risiko pengambilan kerangka kerja diagnostik yang berimplikasi monokausalitas, yakni hanya
biaya pekerja yang menentukan keputusan rekrutmen. Hal ini jelas tidak benar. Resep kebijakan yang muncul
dari kerangka diagnostik macam itu akan salah.
Untuk menguji pengaruh dari faktor tarikan permintaan dan tekanan biaya dalam memengaruhi hasil
ketersediaan pekerjaan, makalah ini diangkat dari persamaan (equation) pekerjaan yang diestimasi secara
ekonometris di mana pekerjaan adalah fungsi dari pertumbuhan PDB (mewakili faktor tarikan permintaan)
dan upah produk riil (mewakili faktor tekanan biaya) ditambah satu istilah yang mewakili ‘path dependence’
(yakni, pekerjaan sekarang juga dipengaruhi oleh pekerjaan terdahulu). Persamaan ini diperkirakan secara
terpisah untuk periode sebelum krisis (1993-1997) dan sesudah krisis (2000-2006) untuk lintas delapan
sektor ekonomi yang utama. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun dalam masa sebelum krisis hubungan
antara upah dan pekerjaan secara statistik signifikan di lima sektor yang ada, dalam masa sesudah krisis
hanya dua sektor saja (pertambangan dan manufaktur) di mana neksus upah riil dan pekerjaan menjadi
signifikan secara statistik. Sebaliknya, hubungan antara pekerjaan dan PDB adalah signifikan secara statistik
di hampir semua sektor di masa paska krisis. Dengan kata lain, faktor tarikan permintaan (melalui saluran
pertumbuhan) nampak lebih signifikan dibandingkan biaya pekerja dalam memengaruhi hasil pekerjaan.
Interpretasi ini konsisten dengan stylized facts. Pertumbuhan pekerjaan lebih cepat di tahun 2006-2007
di saat pertumbuhan PDB telah relatif lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sejak krisis.
Kemungkinannya interpretasi hasil pasar kerja telah dibelokkan oleh data pekerjaan untuk periode 2001-
2005, yang mengindikasikan peningkatan tajam dalam pengangguran agregat. Hal ini, seperti telah dikatakan,
sebagian adalah artefak statistik. Pengangguran, berdasarkan seri yang konsisten, menunjukkan baik tingkat
yang lebih rendah dan peningkatan yang lebih rendah selama periode yang sama.
Mengambil perspektif jangka yang lebih panjang, perubahan struktural dalam ekonomi Indonesia
belumlah kondusif bagi penciptaan pekerjaan yang berbasis luas. Bagian ekspor dari produk padat karya
telah terus menurun sejak 1993. Waktu dari penurunan tersebut menunjukkan bahwa upah minimum dan
31 Lihat lampiran teknis dan statistik dari laporan ini untuk detil lebih lanjut.
32 A.Forteza and M.Rama [2001] ‘Labour Market “Rigidity” and the Success of Economic Reforms Across More Than One Hundred
Countries, World Bank Policy Research Working Paper No.2521, 10 Februari.
26
tunjangan wajib bukanlah faktor-faktor yang utama. Kondisi eksternal – khususnya ketidakmampuan Indonesia
untuk bersaing dengan eksportir-eksportir produk padat karya lain, seperti China, mungkin telah ikut
memainkan peran. Dalam segmen ekonomi yang tidak diperdagangkan, penurunan porsi PDB dari sektor-
sektor penyerap tenaga kerja belum dilengkapi dengan penciptaan pekerjaan yang kuat di sektor lain. Investasi
– komponen penting dari permintaan agregat – umumnya telah dikalahkan selama periode paska krisis.
Apa implikasi kebijakan yang muncul dari temuan-temuan ini? Hal ini dijabarkan dalam bagian berikut.
Poin utama yang perlu disoroti pada tahap ini adalah bahwa para pembuat kebijakan harus menjauhkan diri
dari risiko yang terpendam dalam monokausalitas atau bahkan selektivitas (yakni, bahwa peraturan pasar
kerja adalah penghambat yang utama, atau satu-satunya, bagi penciptaan pekerjaan yang berbasis luas)
karena baik logika maupun bukti tidak dapat mempertahankan posisi tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa
peraturan pasar kerja yang sekarang tidak boleh ditinjau ulang, tetapi kita butuh pendekatan yang lebih
punya nuansa. Jawaban terbaiknya terletak pada penganutan kerangka kerja diagnostik berbasis luas yang
berupaya untuk memahami cara operasi pasar kerja Indonesia dengan cara membangun premis bahwa baik
faktor tarikan permintaan maupun tekanan biaya memengaruhi hasil pasar kerja.
27
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
28
4. Kebijakan dan Program33
Sejauh ini, diskusi kita telah berupaya menyoroti tujuan dan sasaran dari pasar kerja Indonesia dan
telah berusaha mengidentifikasi penentu-penentu hasil pasar kerja. Bagian ini sekarang melakukan tinjauan
kebijakan dan program dan mengaitkannya dengan tujuan dan sasaran serta kerangka diagnostik yang
diajukan oleh pasar kerja. Untuk memperjelas, tujuan besarnya adalah penyediaan pekerjaan yang layak dan
produktif bagi semua orang Indonesia yang mau dan bisa bekerja dan kondisi di mana agenda kerja yang
layak dapat memungkinkan para pembuat kebijakan untuk mencapai pengurangan kemiskinan yang
berkelanjutan. Kebijakan dan program apakah yang mendukung tujuan fundamental ini? Sudahkah digariskan
berdasarkan kerangka kerja diagnostik yang terspesifikasi dengan baik? Seberapa efektif? Apa yang perlu
berubah? Isu-isu ini memandu keseluruhan sisa diskusi.
Dalam mendiskusikan kebijakan dan program, perbedaan yang luas perlu dibuat antara kebijakan makro
ekonomi, sektoral dan pasar kerja. Kebijakan makro ekonomi dan sektoral memengaruhi pola-pola pekerjaan
dan tren melalui saluran pertumbuhan, sementara kebijakan pasar kerja terkait dengan campuran antara
intervensi ’pro-aktif’ dan ’reaktif’ yang berupaya untuk mengubah hasil-hasil yang ditentukan pasar dan
berupaya untuk memengaruhi perubahan dalam tuntutan pekerja dan suplai pekerja demi merespon pada
keharusan-keharusan transformasi industrial. Penekanan dalam bagian ini adalah dalam hal kebijakan pasar
kerja tetapi dengan pengamatan yang luas juga.
Dalam membingkai kebijakan dan program yang tergantung pada pasar kerja, seseorang perlu
membedakan antara paradigma non-intervensionis (NP) dan paradigma aktivis (AP). Dalam versi ketat NP,
penekanannya ada pada perbaikan iklim usaha demi meningkatkan investasi yang akhirnya akan
menggerakkan pertumbuhan dan mengarah pada penciptaan pekerjaan berbasis luas. Pasar kerja yang
kaku dilihat sebagai penghambat utama bagi perbaikan iklim usaha. Jadi, kebijakan pekerjaan yang baik
adalah yang diarahkan pada upaya peningkatan fleksibilitas pasar kerja. Peranan kebijakan makro ekonomi
adalah untuk mempertahankan stabilitas harga melalui kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal, sementara
kebijakan-kebijakan sektoral harus berupaya memperbaiki lingkungan peraturan (misalnya melalui reformasi
kebijakan perdagangan, pengurangan hambatan untuk masuk ke berbagai industri) yang mendorong investasi
baru.
AP mengenali pentingnya pertumbuhan dalam penciptaan pekerjaan, namun berargumen bahwa hal
itu membutuhkan lebih dari sekadar penekanan pada perbaikan iklim usaha yang menekankan pada
fleksibilitas pasar kerja dan dengan meningkatkan kualitas lingkungan perundang-undangan. Tujuan yang
33 Bagian ini diangkat dari World Bank [2007], UNESCAP [2007], MENKO-EKONOMI [2007], ILO [2007] dan I. Islam dan A. Chowdhury
[2007]. Lihat World Bank [2007] ‘Indonesia: Economic and Social Update’, November, Jakarta; UNESCAP [2007] ‘Indonesia: Public
Private Partnership for Infrastructure Development’, High Level Expert Group Meeting, 1-3 Oktober, Republik Korea; MENKO-EKONOMI
[2007] ‘Indonesia: Macroeconomic Update and Progress on Structural Reform’, Jakarta, 25 September; I. Islam dan A. Chowdhury
[2007] ‘Growth, Employment and Poverty Reduction: The Case of Indonesia’, July, Geneva, ILO; ILO [2007] ‘Social Security in Indonesia:
Advancing the Development Agenda’, Oktober, Jakarta dan Geneva
29
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
besar dari penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua membutuhkan pengenalan dengan
jaminan bahwa kerangka kerja kebijakan makro ekonomi mendukung tujuan ganda dari stabilitas harga dan
pekerjaan penuh. Investasi adalah jelas faktor utama untuk mempertahankan pertumbuhan, tetapi demikian
pula halnya dengan inisiatif untuk memperbaiki faktor produktivitas melalui, misalnya, perbaikan keterampilan
angkatan kerja dan investasi dalam infrastruktur. Lebih lanjut, para pekerja dan keluarganya perlu dibantu
untuk bisa bertahan menghadapi risiko pasar kerja.
Kerangka kerja kebijakan yang ada membawa ciri intelektual NP, tetapi kita juga dapat mendeteksi
unsur AP, khususnya dalam domain pasar kerja, jaminan sosial dan kebijakan pengurangan kemiskinan dan
dalam komitmen yang diperbarui untuk investasi di bidang infrastruktur. Tujuannya untuk menjamin bahwa
pendekatan yang konsisten dan koheren sudah dikembangkan.
Banyak departemen yang berbeda sudah memiliki program dan kebijakan tertentu untuk menciptakan
pekerjaan, namun kerangka kerja yang terpadu dan terkoordinasi masihlah kurang di Indonesia. Mengenali
kekurangan ini, pemerintah telah berupaya mengharmonisasikan beberapa elemen kerangka kebijakannya
yang berbeda. Hal ini tercermin dalam pengumuman paket kebijakan ekonomi terpadu (Inpres No.6/2007)
yang ingin mengonsolidasikan inisiatif-inisiatif kebijakan yang sebelumnya diumumkan secara terpisah. Kini
ada empat bidang yang luas: (1) peningkatan iklim investasi; (2) reformasi sektor keuangan; (3) akselerasi
pembangunan infrastruktur; (4) pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah atau UKM. (1) –(3) diharapkan
mendorong keseluruhan pertumbuhan, sementara (4) lebih dekat dengan penciptaan pekerjaan dan kebijakan
pengurangan kemiskinan.
Pemerintah telah memfokuskan diri pada tingkat pelaksanaan/pemenuhan. Targetnya akan selesai 180
aksi kebijakan sampai tahun 2007. Pemerintah mengklaim bahwa sampai Agustus 2007, 80 persen dari aksi
kebijakan yang diusulkan akan selesai, dengan kebanyakan kemajuan untuk meningkatkan iklim investasi
(lebih dari 90 persen) dan perkembangan yang terkecil dalam pemberdayaan UKM (sekitar 65 persen).
Istilah perbaikan iklim investasi melalui tindakan kebijakan tertentu nampak dipengaruhi oleh survei
“Doing Business” dari Bank Dunia. Kita ingat bahwa Indonesia ketinggalan jauh dalam hal norma regional
dan global menurut keseluruhan ’indeks kemudahan berbisnis’ dari Bank Dunia. Jadi, ragam upaya dilakukan
untuk memperbaiki pembukaan bisnis dan prosedur lisensi serta peningkatan efisiensi pengurusan pajak.
Hal ini dilengkapi dengan upaya untuk: menerapkan prinsip perlakuan setara bagi semua investor,
darimanapun asal negaranya, meningkatkan keamanan hak-hak atas tanah dan perkebunan, merasionalisasi
peraturan perundangan daerah dan menyediakan insentif fiskal.
Tindakan kebijakan berkaitan dengan sektor finansial bertujuan untuk mengkonsolidasikan stabilitas
finansial, memperbaiki intermediasi keuangan dan peraturan yang bijak. Kesemua upaya ini merupakan
peninggalan respon terhadap krisis finansial yang diartikan secara luas sebagai setidaknya bagian dari hasil
kelemahan sistemik dalam sektor finansial. Harapannya adalah bahwa tindakan kebijakan saat ini akan
memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia untuk krisis finansial masa mendatang.
Krisis finansial 1997 juga menandai perubahan pengeluaran pemerintah dalam sektor infrastruktur dan
sosial. Sebelum krisis, pengeluaran infrastruktur publik adalah sekitar 5-6 persen dari PDB dan sejak saat itu
turun menjadi 3-4 persen dari PDB. Hal ini menghambat tingkat akses ke air bersih, energi, dan jasa sanitasi
sampai ke titik di mana Indonesia gagal memenuhi target MDG untuk akses jasa sanitasi dasar. Juga disadari
bahwa kegagalan mempertahankan investasi untuk infrastruktur publik juga memengaruhi pertumbuhan
30
secara negatif, sehingga kapasitas pemerintah untuk memenuhi penciptaan pekerjaan dan mencapai sasaran
pengurangan kemiskinan juga terganggu.
Pentingnya investasi infrastruktur dalam kerangka kerja kebijakan pemerintah telah tercermin dalam
pertemuan tingkat tinggi infrastruktur 2005 yang membuat komitmen untuk investasi jalan, suplai air, energi,
telekomunikasi dan infrastruktur dasar lain. Target saat ini adalah untuk menghabiskan 80,1 miliar US$ untuk
pengeluaran infrastruktur baru jangka menengah, menggunakan kerangka kerja kemitraan sektor publik-
swasta, dengan harapan bahwa sektor swasta akan memainkan peranan keuangan yang besar.
Pemberdayaan usaha mikro dan UKM umumnya telah mengambil bentuk pengaruh terhadap proses
alokasi kredit di sektor ini, melalui jaminan kredit dan tingkat pinjaman yang efektif biaya. Beberapa unit
sektor swasta telah direkapitalisasi sehingga mereka bisa masuk dalam program bail-out yang memengaruhi
lebih dari 100,000 perusahaan mikro dan UKM. Harapannya adalah bahwa meskipun program bail-out hanya
sukses sebagian, unit-unit yang terevitalisasi bisa menjadi sumber yang bermanfaat untuk menciptakan
lapangan kerja. Secara keseluruhan, targetnya adalah perluasan UKM – melalui kredit baru dan bentuk-
bentuk dukungan finansial lain – dari 3,28 juta unit yang mempekerjakan lebih dari 8 juta pekerja hingga 3,9
juta unit yang memperkerjakan lebih dari 10 juta pekerja hingga tahun 2009.
Selain itu, beragam inisiatif dalam kebijakan industri dan perdagangan juga diharapkan dapat melengkapi
pertumbuhan UKM. Termasuk diantaranya inisiatif kebijakan untuk mendorong kaitan antara perusahaan-
perusahaan besar dan kecil serta pengembangan industri prioritas yang padat karya melalui mesin
pemerintahan regional yang bekerja bersama dengan bantuan pemerintah pusat.
Singkatnya, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya yang patut dipuji untuk mengharmonisasikan
beragam inisiatif kebijakan dibawah paket yang kini terpadu. Perlu dikatakan bahwa sejauh ini penekanannya
ada pada penetapan sasaran dan penyelesaian tindakan-tindakan kebijakan ini. Hanya sedikit upaya dilakukan
untuk menawarkan kerangka kerja evaluasi yang komprehensif bagi kebijakan-kebijakan ini. Sebagai
ditekankan dalam Agenda Tenaga Kerja Global ILO (GEP), yang dibutuhkan adalah kejelasan strategi tenaga
kerja nasional yang diumumkan yang memetakan mekanisme-mekanisme yang mungkin untuk mencapai
tujuan ganda penciptaan pekerjaan yang layak dan mengurangi kemiskinan. Efektivitas kebijakan kemudian
perlu dinilai berdasarkan berhasil tidaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Beberapa kasus negara kini
juga tersedia dalam jangkauan GEP – mulai dari China hingga Ghana – yang bisa dipelajari oleh para pembuat
kebijakan di Indonesia dengan wawasan untuk mengambil ide-ide ‘praktik terbaik’ sampai persyaratan-
persyaratan yang khusus. 34 Prinsip-prinsip yang berjalan, yang terbaik adalah yang berkaitan dengan ‘integrasi’
(yakni kebijakan-kebijakan terpadu dengan tujuan-tujuan mendasar untuk penciptaan pekerjaan yang layak
dan pengurangan kemiskinan) serta ‘inclusion/pengikutsertaan’ (yakni kebijakan yang dibangun atas dasar
dialog berkelanjutan dengan para pemangku kepentingan dalam masyarakat). Seperti telah dicatat oleh
makalah ini, bahwa penekanan pemerintah Indonesia untuk mengurangi tingkat pengangguran terbuka
pada tingkat agregat kelihatannya keliru karena memiliki relevansi terbatas pada penciptaan pekerjaan yang
layak maupun pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan. Tambahan lagi, perlu diambil tindakan yang
lebih besar untuk mengambil pendekatan konsultatif di mana semua pemangku kepentingan yang penting
– pemerintah, pengusaha dan asosiasi pekerja – berpartisipasi dalam menyusun strategi tenaga kerja nasional.
Tidaklah jelas bagaimana paket terpadu pemerintah yang sekarang mencerminkan periode sebelumnya
yang berdasarkan consensus dengan mitra-mitra sosialnya.
34 Lihat ILO [2007] ‘Implementation of the Global Employment Agenda: Update’, March, ILO Governing Body, Committee on Employment
and Social Policy, 298th session
31
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Selama krisis finansial 1997, kebijakan makro ekonomi telah ditandai dengan penargetan inflasi melalui
penyesuaian tingkat suku bunga secara berkala dalam bidang kebijakan moneter serta konsolidasi fiskal
untuk menangani beban hutang yang diakibatkan oleh krisis dalam kebijakan fiskal. Meskipun penekanan
penargetan inflasi telah dipertahankan, tahun-tahun belakangan kita lihat pergerakan yang lebih besar untuk
menggunakan kebijakan fiskal demi mendukung defisit anggaran yang rendah terkait dengan peningkatan
pengeluaran bebas untuk mendanai komitmen untuk pembangunan infrastruktur dan sektor sosial.
Keuntungan yang besar dari peningkatan tajam harga minyak telah memungkinkan pemerintah untuk
menambah pengeluaran bebasnya, sementara perbaikan yang besar dalam hal ukuran hutang publik telah
memungkinkan pemerintah untuk mengendurkan perhatiannya dalam hal konsolidasi fiskal. Selain itu, ada
pula restrukturisasi keuangan publik. Ini terkait dengan pengurangan subsidi bahan bakar yang
memungkinkan pemerintah untuk menambah sumber-sumber fiskalnya untuk pengeluaran kebijakan
pengurangan kemiskinan.
Kekhawatiran utamanya adalah apakah posisi fiskal yang ada kini terlalu konservatif dibandingkan
dengan target ganda pemerintah untuk memotong separuh pengangguran agregat serta insiden kemiskinan.
Di sisi lain, karena inersia kelembagaan, bahkan alokasi anggaran saat ini belum sepenuhnya dipergunakan
oleh pemerintah-pemerintah daerah. Namun demikian, apakah kesalahan posisi fiskal membutuhkan kehatian-
hatian masih perlu dinilai berdasarkan kebutuhan-kebutuhan finansial akan tujuan serta sasaran yang kunci,
termasuk diantaranya pencapaian MDG. Di sinilah di mana kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yang
tepat diperlukan. Lebih jauh lagi, ketahanan fiskal jangka panjang yang diarahkan pada pendanaan penciptaan
lapangan kerja dan pengurangan pengangguran mengharuskan Indonesia yang sekarang memiliki rasio
pajak dengan PDB yang rendah – yang saat ini ada di tingkat 12 persen – untuk meningkatkannya.
Kelihatannya kewenangan moneter masih sibuk dengan penargetan inflasi. Ini menimbulkan ketegangan
antara tujuan stabilitas harga dan pekerjaan dengan pengentasan kemiskinan. Contoh yang baik adalah
bahwa peningkatan tajam dalam tingkat inflasi di tahun 2005 telah melompat tajam lebih dari 15 persen. Ini
dikombinasikan dengan penurunan sementara dalam PDB per kwartal di tahun 2004. Konsekuensinya adalah
peningkatan tajam kemiskinan antara tahun 2005 dan 2006. Tekanan-tekanan inflasi kelihatan di luar sifat
tekanan harga, dengan inflasi harga makanan dan energi memainkan peranan penting. Lebih-lebih lagi,
peningkatan harga makanan dan energi telah disebabkan oleh faktor-faktor struktural dan merupakan bagian
dari fenomena global.35 Namun, pihak moneter yang berwenang merespon selama ini dengan pengetatan
tingkat suku bunga, karena Bank Indonesia diharuskan untuk menargetkan inflasi 5-7 persen dalam jangka
menengah. Penyesuaian tingkat suku bunga tidak bisa sungguh merespon masalah peningkatan harga
makanan. Kelompok-kelompok yang rentan dalam masyarakat – entah para operator bisnis kecil atau
masyarakat biasa – dengan demikian mengalami tekanan besar yang dobel dari harga kredit yang tinggi
dan harga makanan yang tinggi.
Tujuan penargetan inflasi seperti yang sekarang dipraktikkan mungkin perlu ditinjau ulang. Tidak jelas
bagaimana penargetan inflasi ditentukan. Norma historisnya bagi Indonesia adalah tingkat inflasi sekitar 10
persen yang terjadi selama masa-masa pertumbuhan tinggi selama ini.
Dua isu lain juga memerlukan perhatian. Pertama, tantangan kebijakan di negara-negara berkembang
adalah ketidakstabilan makro ekonomi yang dapat menekan pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan.
35 Pakar Australia mengatakan bahwa akan ada kekurangan makanan secara global yang sebagian besar akan disebabkan oleh
permintaan internasional akan biji-bijian untuk membuat bio-fuel. Lihat P.Syvret [2007] ‘Fuel Quest may Create Food Crisis’, Courier-
Mail, 28 November.
32
Penargetan inflasi adalah fenomena yang relatif baru di Indonesia. Masih perlu dilihat apaka pendekatan
baru ini akan sungguh mendorong stabilitas makro ekonomi yang lebih stabil. Kedua, campuran kebijakan
makro ekonomi belum mampu menghambat apresiasi nilai tukar – ditandai dengan surplus current dan
capital account dalam balance of payment – yang telah mengikis daya saing Indonesia dalam hal ekspor
padat karya.
Perlu dibedakan di sini antara kebijakan ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ yang bertalian dengan pasar kerja.
Kebijakan ‘reaktif’ bertujuan untuk menekan hasil-hasil yang ditentukan oleh pasar, yang dianggap para
pembuat kebijakan sebagai tidak diinginkan. Jadi, misalnya, kebijakan upah minimum umumnya bisa dilakukan
atas dasar bahwa upah yang ditentukan oleh pasar terlalu rendah dan tidak dapat mempertahankan kehidupan
rata-rata pekerja dan keluarganya. Ukuran-ukuran tertentu – seperti penyediaan pekerjaan jangka pendek
melalui program berbasus tujuan – mungkin bisa dilakukan untuk menghadapi risiko pasar kerja. Yang lain
dapat fokus pada kelompok-kelompok tertentu, seperti perlindungan kondisi kerja bagi pekerja migrant.
Kebijakan ‘proaktif’ bertujuan untuk memengaruhi perubahan dalam permintaan dan suplai pekerja demi
merespon kebutuhan transformasi industrial. Contoh-contoh yang biasa mencakup perbaikan sistem
pendidikan dan pelatihan yang menghasilkan angkatan kerja yang terampil dan bisa beradaptasi.
Kebijakan ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ keduanya dibutuhkan. Yang satu tidak bisa menggantikan yang lain.
Tambahan lagi, kebijakan pasar kerja dapat melengkapi, tetapi tidak dapat menggantikan kebijakan makro
ekonomi dan sektoral yang tepat. Sisa diskusi kemudian meninjau kebijakan upah minimum, ukuran-ukuran
jaminan sosial, termasuk inisiatif penciptaan pekerjaan jangka pendek dan kebijakan ’proaktif’ untuk
menumbuhkan angkatan kerja yang lebih produktif.
Makalah ini telah mengakui bahwa upah minimum telah meningkat tajam dalam tahun-tahun terakhir,
tetapi ini tidak berarti bahwa hal ini adalah faktor utama di belakang lemahnya pasar kerja di Indonesia.
Namun demikian perlu ada penilaian yang hati-hati tentang penyesuaian biaya hidup yang digunakan untuk
mendukung kenaikan upah minimum dengan cara memberi perhatian lebih pada kondisi makroeknomi,
khususnya dalam hal dampaknya pada penciptaan pekerjaan. Upah minimum dapat diartikan sebagai tolak
ukur untuk tujuan tawar menawar dan bukannya sebagai instrumen wajib. Satu cara untuk melakukannya
adalah dengan memperkenalkan konsep ‘upah hidup’ yang melacak insiden ‘orang miskin bekerja’. ‘Upah
hidup’ macam ini kemudian menentukan tolak ukur untuk negosiasi tingkat upah di level perusahaan.36
Makalah ini juga mencatat bahwa tunjangan-tunjangan wajib, khususnya kewajiban pembayaran
pesangon yang terlalu murah hati, telah menjadi sumber keprihatinan yang besar bagi banyak pengamat.
Satu cara untuk merespon keprihatinan ini adalah dengan mempertimbangkan kemungkinan pengusulan
skema Asuransi Tunjangan Pengangguran. Pengujian aktuarial awal menunjukkan bahwa 4% kontribusi upah
dapat menyediakan tunjangan pengangguran 70% upah selama 25 minggu per tahun. Dampaknya bagi
36 Suatu prototype ‘upah hidup’ sudah ada di Indonesia. Tujuannya adalah untuk keluar dari pendekatan formula yang mengaitkan
istilan ‘upah hidup’ pada penyesuaian upah minimum wajib menuju kerangka kerja yang lebih fleksibel dan berorientasi tolak ukur.
33
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
pengusaha dapat diminimalisir bila kontribusinya dibagi dengan pekerja dan bila tunjangan pesangon
dikurangi karena hal ini akan digantikan secara substansial oleh tunjangan pengangguran.37
Upah minimum dan tunjangan wajib memang bagian yang penting, tetapi hanya satu bagian, dari
keseluruhan sistem hubungan industrial. Kelazimannya adalah bahwa hubungan industrial saat ini (dan
karenanya Standar Ketenagakerjaan Pokok (Core Labor Standard) yang dianut pemerintah Indonesia sejak
1999) cenderung untuk menaikkan biaya pekerja diatas produktivitas dan karenanya mengurangi daya saing,
tidaklah didasarkan atas bukti. Berkaitan dengan Standar Ketenagakerjaan Pokok, studi baru-baru ini
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang solid untuk mendukung yang disebut ‘kelaziman’ bahwa investor
luar negeri lebih menyukai negara-negara dengan standar pekerja yang lebih rendah, karena semua bukti
signifikansi statistik mengarah ke arah yang berlawanan. 38 Penemuan ini diperkuat dengan studi lain yang
menyimpulkan bahwa bukti internasional yang mendukung deregulasi dan pasar fleksibel akan memberikan
hasil-hasil penyediaan pekerjaan yang lebih baik dari pasar kerja yang lebih terlembaga sebenarnya rapuh.39
Penganutan Standar Ketenagakerjaan Pokok sebaiknya dilihat sebagai bagian yang integral dari tanggung
jawab sosial perusahaan. Memperlakukan pekerja dengan baik dan menghormati hak-haknya menunjukkan
tindakan terpuji dari komunitas pengusaha karena mereka meningkatkan solidaritas sosial dan membantu
harmoni industri. Lebih-lebih lagi, jika hubungan industrial yang baik membantu menghilangkan diskriminasi
di tempat kerja, hal ini dapat menciptakan peluang-peluang baru bagi kelompok-kelompok yang
termarjinalisasi – termasuk perempuan dan masyarakat adat – sehingga terjadi peningkatan keseluruhan
partisipasi pasar kerja. Dengan demikian seseorang dapat berkata bahwa para pembuat kebijakan di Indonesia
sebaiknya menekankan pada pentingnya peningkatan sistem hubungan industrial yang ramah pertumbuhan
tanpa secara serampangan mengangkat ageda fleksibilitas pasar kerja.
Perlindungan sosial
Istilah perlindungan sosial meliputi bantuan sosial (umumnya disponsori pemerintah, tidak memerlukan
kontribusi dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar dan bukannya kebutuhan tertentu) dan asuransi
sosial (di mana pekerja dan pengusaha membuat kontribusi asuransi bagi kejadian hidup tertentu). Sistem
perlindungan sosial juga terkait dengan istilah jaring pengaman sosial (social safety nets). Jaring pengaman
sosial ini terkait dengan kebijakan jangka pendek, dibatasi waktu, yang dirancang untuk menghadapi
penyesuaian struktural dan ekonomi seperti misalnya transisi dari ekonomi terpimpin ke ekonomi pasar dan
dampak buruk dari krisis ekonomi seperti yang terjadi di Asia Timur tahun 1997. Tujuan ganda dari
perlindungan sosial adalah untuk melindungi dari kemiskinan dan mengurangi kerentanan.
Agenda kebijakan saat ini adalah untuk menyediakan perlindungan sosial bagi semua orang di akhir
masa transisi 10-15 tahun. Agenda ini juga berupaya menyediakan kontribusi jaminan sosial bagi semua
pekerja termasuk yang bekerja di sektor-sektor formal, perkotaan dan informal pedesaan. Perkembangan
37 Misalnya estimasi besaran yang serupa untuk Indonesia dan negara-negara Asia lain, lihat Eddy Lee [1998] The Asian crisis: the
challenge of social policy, Geneva, ILO and W. Vroman (1999) ‘Unemployment and unemployment protection in three groups of
countries, Social Protection Discussion Paper 9911, May, Washington DC, World Bank
38 David Kucera, [2002] ‘Core labour standards and foreign direct investment’, International Labour Review, 141, (1-2), hal 31-70.
39 Dean Baker, et al [2002] ‘Labour market institutions and unemployment: a critical assessment of the cross-country evidence’, CEPA
working paper no.2002-17, New York, New School University
34
penting dalam hal ini adalah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dianut bulan Oktober
2004. Meskipun ada pencapaian ini, rencana implementasi yang rinci masih belum ada. Di sisi lain, bantuan
sosial yang menargetkan kaum miskin telah mendapatkan perhatian cukup besar dalam tahun-tahun terakhir
ini. Skema-skema bantuan sosial ini, yang termasuk pula Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),
asuransi kesehatan dan skema transfer tunai secara kondisional, sempat ditinjau. Skema jaminan pekerjaan
nasional yang bereputasi baik juga sempat didiskusikan.
PNPM adalah program replikasi nasional dari program pengembangan komunitas/desa yang diluncurkan
bulan Agustus 2006 dan diterapkan melalui mekanisme pemerintahan daerah. Pemerintah telah
mengalokasikan sekitar 4,5 miliar dollar untuk program ini dan tetap berkomitmen untuk melanjutkan
operasinya, karena evaluasi positif bahwa hal ini telah membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Secara khusus, jutaan orang Indonesia telah punya akses 60 hari kerja. Namun, evaluasi yang sama juga
mencatat keterbatasannya: hal ini hanya menangani kerentanan manakala keluarga dengan pekerja tidak
terampil dan semi terampil membutuhkan pekerjaan. Program ini tidak bisa menggantikan pekerjaan penuh-
waktu dan pekerjaan produktif yang sebenarnya penting untuk mengurangi kemiskinan jangka panjang.40
Perkembangan terkini adalah komitmen oleh pemerintah Indonesia untuk merancang dan menerapkan
‘National Employment Guarantee Program (NEGP)’. Program ini diangkat dari pengalaman keberhasilan
model Maharashtra India untuk mengaitkan kontur dasar NEGP. Studi desain NEGP dipimpin oleh seorang
pakar India dan disponsori oleh ILO.41 Tujuannya adalah untuk menjadikan sasaran 15 juta rumah tangga
miskin dan hampir miskin dengan pengeluaran tahunan Rp 31,9 triliun (atau 3.2 miliar dollar atau 2,3 dolar
per orang per hari). NEGP punya beberapa tujuan:
Penyediaan pekerjaan bagi kaum miskin, khususnya di daerah pedesaan dan terpencil selama maksimum
tiga bulan per tahun
Formasi aset komunal yang produktif
Penciptaan kesempatan bagi pengembangan sumber daya manusia untuk pekerja yang berpartisipasi
dan rumah tangganya.
NEGP, ketika diterapkan, diharapkan untuk dipimpin oleh Dewan Nasional yang diketuai oleh Bappenas.
Badan lain dari pemerintah pusat dan daerah diharapkan untuk terlibat dekat, dengan penerapan program
di tingkat distrik. Skema ini diharapkan untuk didanai oleh pajak umum dan tertentu. Meskipun pemerintah
pusat akan paling bertanggung jawab atas pendanaan NEGP, level pemerintahan yang lain dan sektor swasta
juga diharapkan untuk terlibat dalam pendanaannya.
Jelas bahwa ada tumpang tindih yang cukup besar antara PNPM dan NEGP. Perbedaan utamanya
kelihatannya ada pada target yang lebih ambisius (90 hari, dan bukannya 60 hari, untuk bekerja) dan
pengudusan prinsip hak-hak wajib dalam akses pekerjaan jangka pendek. Kelihatannya karena nama ‘merek’
PNPM yang sudah lebih mantap dan komitmen politik yang bertahan di belakangnya, NGEP bisa jadi akan
menjadi bagian dari PNPM.
Ada juga perkembangan yang menjanjikan dalam cakupan asuransi kesehatan bagi orang miskin. Para
pemegang kartu kesehatan berhak atas perawatan gratis di pusat-pusat kesehatan publik dan rumah sakit.
Pada tahun 2007, 76,4 juta orang mewakili sekitar 35 persen dari penduduk Indonesia yang memiliki akses
perawatan kesehatan gratis di fasilitas publik, suatu tingkat akses yang melebihi target cakupan untuk 60
juta orang.
40 Gustav F. Papanek [2007], “Employment and the PNPM Program”, Jakarta: The World Bank
41 Sarthi Acharya [2004] ‘A National Employment Guarantee Program for Indonesia’, ILO and BAPPENAS, Jakarta
35
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Pemerintah Indonesia juga telah memperkenalkan program transfer tunai bersyarat dengan memodifikasi
program yang sudah ada. Program ini menargetkan rumah tangga dengan anak-anak berusia hingga 15
tahun. Rumah tangga tersebut akan menerima tunai (untuk periode maksimum enam tahun) tanpa syarat
asalkan orang-orang muda di rumah tangga tersebut sehat dan bersekolah.
Semua program yang ditinjau sejauh ini berada dalam rubrik bantuan sosial yang menargetkan kaum
miskin. Kesemuanya merupakan inisiatif yang patut dipuji dan nampak memiliki cakupan yang ekstensif.
Yang dibutuhkan adalah evaluasi yang dirancang dengan baik, sesuai dengan yang dilaksanakan untuk
PNPM, yang bisa digunakan untuk menaksir keefektifannya dan untuk memperbaiki desain program dan
pelaksanaannya. Program bantuan pro-orang miskin, namun, tidak bisa bertindak sebagai pengganti program
asuransi sosial komprehensif yang formal, demikian pula program ini tidak bisa menjadi pengganti
ketersediaan pekerjaan penuh waktu yang produktif bagi semua orang Indonesia.
Pengangguran kaum muda merupakan kekhawatiran utama pemerintah Indonesia dan pengentasan
masalah ini adalah salah satu sasaran MDG. Seperti dicatat, Indonesia kelihatannya tidak bisa mencapai
target ini hingga 2015. Pemerintah telah merespon pada tantangan pengangguran kaum muda ini melalui
inisiatif yang difokuskan pada peningkatan kewirausahaan kaum muda. Inisiatif-inisiatif ini bermanfaat, tetapi
salah satu cara untuk menghadapi fenomena ganda kaum muda ‘yang belum digarap’ dan ‘belum dipakai
sepenuhnya’ adalah untuk menerapkan kebijakan pasar kerja ‘proaktif’ melalui intervensi dalam sistem
pendidikan dan pelatihan dan dengan menyiapkan kaum muda untuk transisi menuju dunia kerja. Hal ini
dapat meningkatkan kemungkinan kaum muda untuk bekerja dan karenanya meletakkan dasar bagi angkatan
kerja yang bisa beradaptasi dan terampil.
Tujuan penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi kaum muda perlu untuk sejalan dengan
neksus kemiskinan-pendidikan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa 87 persen orang miskin di Indonesia
punya pendidikan dasar atau kurang dari itu. Dengan semata-mata meningkatkan pendidikan kepala keluarga
menjadi SMP dapat diasosiasikan dengan penurunan tingkat kemiskinan dari 30 persen menjadi 17 persen.42
Statistik yang ada juga menunjukkan bahwa 62 persen dari orang miskin berumur dibawah 30 tahun.43
Korelasi yang kuat antara pendidikan dan kemiskinan dan antara usia dan kemiskinan berarti tertentu
bagi kebijakan. Pertama, bahwa semua orang Indonesia perlu memiliki pendidikan setidaknya SMP – target
yang sudah diterima oleh pemerintah Indonesia. Target ini juga sesuai dengan komunitas internasional yang
mengakui kebutuhan akan “pendidikan bagi semua”44. Hal ini akhirnya menyoroti tantangan kebijakan yang
utama: bagaimana memastikan partisipasi yang luas bagi kaum miskin dalam sistem pendidikan dan pelatihan.
Korelasi yang kuat antara usia dan kemiskinan menunjukkan kebutuhan akan pendekatan siklus hidup
untuk pengurangan kemiskinan: menargetkan pada keluarga miskin dengan sejumlah besar anak dan kaum
muda dalam masa transisinya dari sekolah menuju kerja. Jaminan akses akan pendidikan yang berkualitas
42 Buktinya ditinjau dalam Islam, I [2002] “Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective”, laporan dipersiapkan untuk
Departemen Pemulihan dan Pembangunan Kembali, Jenewa.
43 Nexus usia-kemiskinan didasarkan pada tabulasi khusus Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002 (SUSENAS) yang dengan baiknya
disediakan kepada kantor ILO Jakarta oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
44 Mingat dan Winters [2002) menarik perhatian pada kebutuhan akan ‘pendidikan bagi semua’ sampai tahun 2015 – ini adalah tujuan
yang ditetapkan oleh 180 negara dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tahun 2000. Tujuan tersebut adalah kelanjutan
agenda yang ditetapkan tahun 1990 dalam World Conference on ‘Education For All’ yang diselenggarakan di Thailand. Lihat Mingat,
A and Winter, C [2002] “Education for all by 2015”, Finance and Development, 39 (1).
36
dan keterampilan yang relevan adalah penting untuk mematahkan pola kemiskinan antar generasi dan
untuk mengurangi kerentanan serta kesementaraan kemiskinan yang banyak dialami banyak perempuan
dan laki-laki muda dalam proses transisi dari sekolah menuju kerja.
Pendidikan dasar
Keseluruhan investasi dalam pendidikan sebagai proporsi PDB di Indonesia tetaplah salah satu yang
terendah di Asia dan di negara-negara dengan tingkat pendapatan nasional yang serupa.45 Sama pentingnya
adalah bahwa Indonesia tidak hanya menginvestasikan sedikit saja untuk pendidikan, yang dilakukannya
pun tidak cukup dipergunakan. Jadi, meskipun peningkatan investasi dalam pendidikan harus menjadi tujuan
utama bagi negara yang ingin naik ke tingkat pembangunan yang lebih tinggi, hal ini tidak dapat memberi
hasil nyata tanpa pertama-tama memperbaiki pengelolaan, efektivitas dan kualitas sistem pendidikan
terdesentralisasinya yang terkini. Lebih-lebih lagi, untuk mencapai tujuan (sembilan tahun sekolah) pendidikan
dasar universal sampai tahun 2010, diperlukan upaya untuk memperbaiki akses bagi kaum miskin untuk
mendapatkan pendidikan menengah.
Jelas bahwa tidak memadainya jumlah sekolah-sekolah menengah yang didanai oleh negara adalah
hambatan penting. Namun bagi keluarga-keluarga miskin, alasan lain bagi rendahnya tingkat pendaftaran
sekolah di jenjang kelas menengah adalah biaya pendidikan. Secara teoretis, pendidikan hingga SMP adalah
gratis, Namun bukti menunjukkan bahwa orangtua kerap harus mengeluarkan beragam jenis kontribusi
uang untuk sekolah – suatu praktik yang berat khususnya bagi yang miskin.46 Misalnya, survei transisi sekolah-
ke-kerja menunjukkan bahwa ada lebih dari 40 persen pencari kerja muda dan hampir 60 persen dari orang
muda yang wirausaha setelah selesai sekolah karena alasan-alasan finansial.47 Hal ini entah karena keluarga
mereka tidak lagi bisa membiayai pendidikannya atau karena mereka diminta untuk membantu menambah
penghasilan bagi keluarganya.
Penghapusan biaya tersembunyi bagi semua dan menurunkan tambahan biaya bagi yang miskin, seperti
misalnya untuk seragam dan buku, sangatlah penting. Beasiswa tersasar juga dapat memainkan peranan
penting. Evaluasi Program Beasiswa dan Hibah, satu komponen dari Jaring Pengaman Sosial Indonesia,
menunjukkan bahwa hal ini meringankan dampak krisis pada sistem sekolah dan menjaga tingkat pendaftaran
sekolah.48 Komitmen pemerintah untuk menyediakan bantuan bagi anak-anak usia sekolah serta sekolah-
sekolah yang termiskin adalah penting. Perubahan program juga perlu dipertimbangkan. Misalnya,
programnya bisa menargetkan tidak hanya mereka yang sudah berpendidikan, tetapi juga dapat menyediakan
insentif keuangan bagi keluarga-keluarga miskin dengan anak-anak putus sekolah, sehingga mereka bisa
menjangkau pendaftaran sekolah bagi anak-anaknya.
45 OECD [2002] Education at Glance: OECD Indicators, 2002, Paris: OECD. Data terkini yang dikumpulkan oleh UNESCO menunjukkan
bahwa pengeluaran publik sebagai proporsi PDB di Indonesia adalah 1 persen dibandingkan tingkat yang berkisar antara 2,2 persen
hingga 8,5 persen di Asia Timur dan Pasifik. Lihat UNESCO [2007] Education for All: Global Monitoring Report, Paris, hal.15
46 Lihat World Bank [2003] “Indonesia: Maintaining Stability, Deepening Reforms”, World Bank Brief for the Consultative Group on
Indonesia. SMERU [2001] mencatat kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang miskin dalam mendapatkan akses pendikan menengah.
Lihat SMERU Newsletter, no.03, May-June. Laporan media juga menyoroti hambatan-hambatan yang cukup sulit yang dihadapi
keluarga pada umumnya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang sekolah menengah. Tingkat putus sekolah bagi daerah
tertentu di jenjang sekolah menengah adalah hampir 50 persen! Lihat Jakarta Post, 25 Maret 2002. Tren yang lebih baru disoroti
dalam Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda Indonesia [op.cit].
47 Sziraczki, G and Reerink A [2003] “School-to-Work Transition in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober
48 Hartono, D and Ehrmann, D [2001] The Indonesian Economic Crisis and its Impact on Educational Enrolment and Quality, Trends in
Southeast Asia, No. 7, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, Mei
37
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Desentralisasi mengoper tanggung jawab sistem pendidikan dan pelatikan ke tingkat kabupaten/kota.
Ini menawarkan peluang penyediaan jasa yang lebih baik yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat,
dan untuk meningkatkan partisipasi serta akuntabilitas. Pada saat yang sama, ada banyak tantangan yang
tersisa, misalnya keterpisahan yang jelas antara peran pemerintah pusat dan daerah, penetapan jasa minimum
di tingkat nasional, standar kualifikasi dan keterampilan yang diakui. Standar-standar macam ini dapat
membantu secara bertahap untuk mengurangi kesenjangan antara daerah-daerah miskin dan seluruh negeri.
Penentuan bagaimana dan di tingkat mana standar minimum ini membutuhkan kolaborasi dekat antara
pihak berwenang di pusat dan daerah.
Isu penting lain adalah kualitas pendidikan. Bukti menunjukan bahwa pengalaman belajar di Indonesia
pada jenjang dasar dan menengah terbilang payah dibandingkan di negara-negara lain di Asia. Hal ini
karena infrastruktur, materi pendidikan dan kualitas guru yang buruk.50 Tingkat pengulangan pelajar di
sekolah dasar hingga kelas 5 (standar dasar untuk mencapai melek huruf) adalah jauh lebih tinggi di Indonesia
dibandingkan di negara-negara Asia Timur lain kecuali Kamboja dan Laos. Titik terangnya adalah bahwa
anak perempuan punya tingkat ‘bertahan’ (tidak putus sekolah) yang lebih tinggi hingga kelas lima
dibandingkan anak laki-laki.51 Ada pula masalah penting tentang tidak memadainya kompensasi guru dan
staf lain, serta pelatihan dan manajemen guru, termasuk distribusi yang tidak merata antara jenis-jenis sekolah
yang berbeda (suatu faktor yang umumnya karena dis-insentif finansial dan profesional). Hasil murninya
secara umum adalah buruknya pengajaran dan karenanya buruknya hasil pengajaran.
Faktor yang penting yang menentukan kualitas pendidikan adalah status dan profesionalisme para
guru yang mengajarkannya. Di Indonesia, tingkat pelatihan sebelum mengajar telah meningkat dalam tahun-
tahun belakangan ini, namun kurang dari 50 persen guru-guru jenjang dasar dan menengah yang memenuhi
persyaratan minimum. Kualifikasi para guru sekolah swasta tidaklah lebih baik. Penyediaan pelatihan sambil
mengajar tidak membantu, dan kini malah akan didesentralisasi dengan hasil yang belum jelas.52 Kesemuanya
menyebabkan pondasi yang goyah bagi kualitas pengajaran.53
49 World Bank [2003] “Indonesia, World Bank, Country Assistance Strategy, FY04-07”, Indonesia Country Unit, October
50 World Bank [2003] "EFA in Indonesia: Hard Lessons About Quality", Jakarta: World Bank.
51 UNESCO [2003] EFA Global Monitoring Report, 2003/04.
52 H. Haribowo, H and M. Ali [2003] "Teacher status and professionalism (Indonesia)", makalah disajikan dalam Seminar tentang status
dan profesionalisme guru, Chiang Mai, Thailand, Agustus.
53 Lebih jauh tentang status, kualitas, upah dan kondisi kerja guru, lihat B. Ratteree [2003] “PRSP and education in Indonesia”, Technical
Briefing Note, ILO.
38
Struktur gaji bagi para guru di Indonesia didasarkan pada skala upah pemerintah yang seragam, yang
belum tentu mempertimbangkan kompetensi serta persyaratan khusus yang diperlukan dalam pekerjaan
tersebut. Lebih-lebih lagi, gaji guru adalah termasuk yang terendah di ASEAN, sehingga sulit untuk menarik
dan mempertahankan individu-individu yang terbaik untuk mengajar.54 Jadi diperlukan pertimbangan-
pertimbangan untuk meningkatkan gaji guru, dipadukan dengan perbaikan yang substansial untuk status
guru, kompetensi profesional serta materi pengajaran: ini semua adalah tahap-tahap penting menuju tujuan
pendidikan yang berkualitas.
Penentuan prioritas bagi kebijakan pelatihan teknis dan kejuruan untuk mengurangi kemiskinan di
Indonesia perlu mempertimbangkan tingkat keburukan sistem pelatihan di negeri ini dan fakta bahwa
pendidikan kejuruan serta sistem pelatihan yang efektif membutuhkan lebih banyak sumber daya
dibandingkan pendidikan dasar. Secara tradisional, tanggung jawab pemerintah untuk pelatihan adalah
tersebar di beberapa departemen. Juga, terdapat kurangnya koordinasi antara penyedia publik dan swasta,
serta keterbatasan partisipasi industri dalam kebijakan dan perencanaan; ketiadaan standar dan pengakuan
nasional, ketergantungan yang berlebihan pada pendanaan dari donor; dan terlalu besarnya fokus pada
pekerjaan di sektor formal dan pengabaian ekonomi informal. Tambahan lagi, meskipun ada upaya untuk
membuat sistem pelatihan lebih responsif, hal ini tetap digerakkan oleh suplai dan terhambat oleh kurangnya
pendanaan dan informasi akan pasar kerja. Tidak ada rangkaian studi pelacakan yang dilakukan, sedikit
sekali informasi yang tersedia tentang apa yang terjadi pada para lulusan beragam program, bagaimana
mereka terserap ke pasar kerja, dan bagaimana pendidikan mereka sesuai dengan kebutuhan bisnis.
Pemerintah Indonesia kini telah memulai proses reformasi sistem pelatihan teknis dan kejuruan. Hal ini
melibatkan pembangunan Kerangka Sertifikasi Profesional Nasional, diikuti dengan pengembangan standar
kualifikasi keterampilan utama, suatu sistem akreditasi dan pengakuan keterampilan serta pengaturan
pendanaan yang baru. Ini adalah tugas besar, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penerapannya
– meskipun ada tanda-tanda kemajuan. Badan sertifikasi independen, yang dibentuk tahun 2005,
mencerminkan etos kemitraan publik-swasta dengan 10 anggota dari pemerintah dan 15 dari sektor swasta.
Pengalaman akan dunia kerja adalah bagian penting untuk persiapan kaum muda memasuki angkatan
kerja, tidak hanya untuk membentuk karir pendidikan mereka sejak awal tetapi juga untuk memfasilitasi
transisi dari sistem pendidikan ke lingkungan tempat kerja di mana dibutuhkan keterampilan baru serta
perilaku yang berbeda. Namun, hanya 38 persen kaum muda yang tercakup dalam survei transisi sekolah-
ke-kerja yang ikut dalam program pengalaman kerja sebagai bagian dari pendidikan atau pelatihan mereka.
Hasil survei juga mengangkat kekhawatiran serius tentang efektivitas pengalaman kerja sesrta program
magang yang ada. Lebih-lebih lagi, terpisah dari penawaran pengalaman kerja dan program magang,
perusahaan-perusahaan yang disurvei jarang punya kerjasama lain dengan sektor pendidikan. Akibatnya,
ada ketidakcocokan antara apa yang disediakan pendidikan kejuruan pada kaum muda dan apa yang
diperlukan bisnis dalam hal pengetahuan, keterampilan dan perilaku. Lulusan sekolah yang tidak siap adalah
biaya bagi pengusaha dan hambatan bagi peningkatan produktivitas atau untuk meningkatkan teknologi
modern atau produksi.55
39
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Dengan kerjasama dekat dengan sekolah, bisnis dapat memastikan bahwa anggota-anggota mereka
di masa mendatang dalam angkatan kerja sudahlah siap. Program pengalaman kerja yang efektif membantu
pelajar untuk melihat hubungan antara belajar dan bekerja, untuk memahami bagaimana pengetahuan dan
keterampilan tertentu diterapkan dalam konteks dunia nyata, dan untuk mengembangkan perilaku baru
dan meraih kepercayaan diri. Di luar magang, ada banyak bentuk-bentuk lain untuk menunjukkan pada
pelajar tentang pekerjaan di dunia nyata seperti program jumpa karir dan magang kerja. Para pengusaha
dapat pula mendukung pekerjaan guru di beragam bidang, seperti standar teknologi dan industri, serta
upaya pengembangan kurikulum. Organisasi pengusaha memainkan peranan penting sebagai penghubung
antara pendidikan dan bisnis.
Program macam itu dapat dibuat sesuai garis industri atau sebagai bagian dari inisiatif pembangunan
ekonomi lokal. Mereka juga harus menjadi bagian dari upaya yang sedang berjalan untuk mengembangkan
pendidikan kejuruan dan pusat-pusat pelatihan yang hebat di tingkat provinsi dan regional – model
kelembagaan yang dapat menawarkan contoh-contoh baik dan pelajaran berharga bagi reformasi sistem
pelatihan nasional. Semua inisiatif ini perlu memberikan perhatian khusus pada isu kesetaraan gender untuk
mendorong partisipasi anak-anak perempuan dalam pelatihan untuk menghapuskan segregasi gender dalam
pendidikan kejuruan yang cenderung untuk menyalurkan anak-anak perempuan ke industri-industri berupah
murah yang didominasi perempuan.
Adalah sulit untuk menilai bagaimana pendidikan kejuruan memenuhi kebutuhan perusahaan kecil
dan pelaksana sektor informal karena kurangnya informasi dan data. Hal yang sama berlaku juga pada
sejumlah besar program khusus yang ada yang menawarkan pelatihan keterampilan dasar dan kewirausahaan
kepada beragam kelompok target yang berbeda demi memulai kewirausahaan dan membuka bisnis kecil.
Yang diperlukan adalah studi pelacak program kejurudan dan pelatihan dan survei terfokus pada ekonomi
informal untuk mengidentifikasi kisah sukses berbiaya murah yang dapat direplikasi dalam skala lebih luas.
Hanya studi-studi macam itu dapat menyediakan informasi tentang keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan terkait dengan produk, teknologi dan pasar; sumber-sumber akuisisi keterampilan bagi wiraswasta
ekonomi informal; dan efektivitas program-program kejuruan dan pelatihan termasuk inisiatif berbasis
komunitas.56 Identifikasi kisah sukses dan diseminasi informasi dapat menumbuhkan pembelajaran, membantu
mereplikasi contoh-contoh yang baik dan meningkatkan inovasi di seluruh negeri.
Menurut survei data terkini, kurang dari 30 persen orang muda yang masih bersekolah, pencari kerja
dan orang muda yang berwirausaha menerima saran/konseling tentang peluang kerja/karir.57 Jadi, banyak
kaum muda yang punya harapan yang bertentangan dan tidak realistis dan mereka tidak tahu bagaimana
caranya mendapatkan pekerjaan.
56 Untuk detil lebih lanjut, lihat J. W. House [2003] “Decent work deficit in the informal economy in Indonesia”, unpublished report, ILO,
Oktober.
57 G. Sziraczki, G and A. Reerink [2003] “School-to-Work Transition in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober.
40
Persiapan yang lebih baik bagi para lulusan yang masuk ke pasar kerja dapat memfasilitasi proses
pencocokan pekerjaan dan mengurangi masa pengangguran. Ini berarti kebutuhan akan informasi pasar
kerja dan panduan karir yang sensitif gender untuk kaum muda di sekolah melalui pendidikan dan pelatihan
dan untuk para pencari kerja muda melalui media. Lebih jauh lagi, orang muda memerlukan bantuan untuk
belajar tentang teknik mencari kerja. Karena keterbelakangan layanan pekerjaan, panduan karir, teknik mencari
kerja dan informasi pasar kerja dapat disediakan dengan terbaik melalui sistem pendidikan bagi mereka
yang lulus sekolah. Hal ini nantinya membutunkan penguatan layanan panduan karir di sekolah, yang tersedia
di kebanyakan lembaga jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Lebih-lebih lagi, tingkat migrasi yang
tinggi pada anak-anak putus sekolah dan lulusan dari daerah pedesaan yang miskin menuju pusat-pusat
perkotaan dan lokasi di luar negeri melahirkan tambahan tantangan bagi layanan macam itu. Penumbuhan
kesadaran akan jaringan dukungan yang tersedia bagi para migran harus diberikan sejak awal dalam siklus
pendidikan supaya menjangkau mereka yang paling mungkin untuk pindah (yakni yang kurang terdidik).
Hal ini khususnya penting dalam hal migram perempuan muda yang kerap menghadapi risiko perdagangan.
Para pengusaha perlu didorong untuk menggunakan praktik rekrutmen yang lebih transparan, dan bukannya
sangat tergantung pada saluran-saluran rekrutmen yang informal. Secara umum, informasi pasar kerja yang
lebih baik dan transparan membantu kaum muda yang miskin dan rentan untuk mencari kerja.
41
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
42
5. Kesimpulan: rangkuman
penemuan utama dan
rekomendasi
Bagian ini menyediakan rangkuman penemuan utama dan rekomendasi. Diskusinya didasarkan pada
tema-tema berikut yang membentuk kerangka dari makalah ini: (1) penetapan tujuan dan target; (2)
penganutan kerangka kerja diagnostik berbasis luas yang memungkinkan seseorang untuk memahami tingkat
tenaga kerja Indonesia dan evolusinya di masa mendatang; (3) evaluasi kebijakan dan program dari pemerintah
Indonesia yang dikaitkan pada proses penciptaan pekerjaan serta kesejahteraan untuk keluarga bekerja. Jika
Pemerintah Indonesia menerima sebagian atau semua dari rekomendasi ini, implementasinya akan
membutuhkan kerangka kerja kelembagaan yang berarti koordinasi ketat antar departemen dengan mandat
yang luas (khususnya Bappenas), departemen dengan tanggung jawab yang khusus sektor (khususnya
Depnakertrans) dan komitmen politik bipartisan dari para pemangku kepentingan utama. Kerangka kerja
implementasi yang koheren perlu didasarkan pada pemahaman yang jelas akan prinsip-prinsip analitis yang
luas.
Strategi ketenagakerjaan nasional apapun perlu untuk dimulai dengan tujuan dan sasaran yang dibuat
dengan hati-hati, yang kredibel secara analitis dan empiris. Inilah komponen utama dari pendekatan berbasis
bukti untuk pembuatan kebijakan yang berupaya untuk keluar dari improvisasi kebijakan dan keterburu-
buruan. Pemerintah Indonesia kini telah mengumumkan dua tujuan utama yang terikat waktu dan menarik
karena kesederhanaannya. Pemerintah berkomitmen untuk memotong pengangguran nasional dan tingkat
kemiskinan hingga separuhnya sampai tahun 2009. Sayangnya, dengan skenario ‘bisnis seperti biasa’, dengan
tingkat pertumbuhan berkisar 5-6 persen, target ini tidak akan tercapai. Inilah premis untuk meninjau ulang
tujuan dan sasaran kebijakan.
Tujuan dasar haruslah berupa penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua orang
Indonesia yang mau dan mampu untuk bekerja, dan perilaku di mana agenda kerja yang layak dapat mengarah
pada pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan. Tujuan, sasaran dan indikator perlu dikembangkan dalam
visi besar ini. Pengamatan kuat berikut dapat disebutkan.
Pemerintah harus meninjau tingkat pengangguran yang terpublikasi sambil mencakup kalangan yang
secara artifisial menambah total stok pengangguran. Kasus bagus bisa diangkat untuk menunjukkan
tingkat pengangguran dengan menggunakan seri yang konsisten. Latihan ini menguntungkan karena
meningkatkan integritas statistik yang resmi dan dapat membuka perdebatan kebijakan yang lebih
bijak.
Pemerintah harus beralih dari fokus pada tingkat pengangguran dan memperjelas sasaran penciptaan
lapangan kerja sektor informal terlebih dahulu – di tingkat nasional, sektoral dan regional – yang dapat
mengurangi stok penganggur dan menyerap mereka yang baru masuk ke angkatan kerja.
43
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Sumber daya yang tepat harus disediakan untuk memperhalus elastisitas pekerjaan yang diangkat dari
kerangka statistik yang koheren yang dapat menumbuhkan proyeksi pekerjaan yang kredibel. Namun,
elastisitas pekerjaan, bukanlah sasaran kebijakan yang penting sejak awal. Karena ini adalah ukuran
tidak langsung dari produktivitas, tujuannya haruslah pencapaian pertumbuhan yang digerakkan oleh
produktivitas yang dapat mengarah pada kombinasi yang bagus dari peningkatan pekerjaan dan upah
riil.
Tujuan utama dari penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif tidaklah bisa memuaskan bila diukur
dengan tingkat pengangguran agregat atau tingkat penciptaan lapangan kerja. Kita perlu fokus pada
setengah pengangguran yang tidak diinginkan dan ukuran sektor informal. Inti tantangan pekerjaan di
Indonesia terletak pada setengah pengangguran yang tidak diinginkan dan ukuran sektor informal
yang besar.
Sebagai penandatangan global MDG, pemerintah Indonesia sudah tepat bila memfokuskan diri pada
isu kaum muda dan dimensi gender dari pengangguran. Mekipun sudah ada perbaikan di tahun 2006-
2007, pengangguran kaum muda masih tinggi dibandingkan norma-norma regional, namun sudah
ada perbaikan yang dibuat berkaitan dengan kesenjangan gender dalam hasil-hasil pasar kerja. Tantangan
utamanya adalah untuk memperbaiki tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan, namun kita perlu
menangani isu yang kompleks dari peranan gender dalam rumah tangga dan kegiatan mengurus
anak.
Indonesia tidak bisa memenuhi sasaran MDG bagi penyediaan pekerjaan bagi kaum muda hingga
tahun 2015. Pemerintah harus memberi perhatian pada saran IYEN yang meminta agar tujuan dan
sasaran terkait dengan kaum muda dan gender dimasukkan dalam kerangka kerja kebijakan nasional
dengan menggunakan empat prinsip-prinsip panduan: mempersiapkan kaum muda untuk dunia kerja;
menyiapkan pekerjaan yang berkualitas bagi kaum muda; mendorong kewirausahaan, menyediakan
kesempatan yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Keuntungan IYEN adalah bahwa ia
meng’arusutamakan’ dimensi gender dalam pasar kerja dan bukannya memperlakukan mereka sebagai
isu ‘terpisah’.
Pemerintah Indonesia telah menekankan pada penggunaan migrasi ke luar negeri sebagai cara
meningkatkan penciptaan lapangan kerja domestik. Ini adalah fokus yang tepat mengingat prospek
keuntungan yang bisa mengalir dari rezim aliran tenaga kerja liberal yang diatur dengan baik di tingkat
global dan regional. Target-target kuantitatif bagi orang Indonesia yang ingin ditempatkan di luar
negeri seharusnya dilengkapi dengan perhatian pada penentuan tolak ukur untuk memperbaiki kualitas
‘industri migrasi’ yang dapat membawa keuntungan yang berkelanjutan bagi para pekerja migran.
Keprihatinan yang besar tentang memburuknya daya saing harga di Indonesia telah mengarah pada
usulan untuk mengubah peraturan ketenagakerjaan yang ada dengan maksud untuk mengurangi biaya
pekerja. Bukti menunjukkan bahwa daya saing belum tentu memburuk. Tujuan dasarnya adalah untuk
memastikan bahwa upah riil tumbuh sejalan dengan pertumbuhan produktivitas.
Pemerintah Indonesia berupaya mengenali neksus kemiskinan-pasar kerja dengan menjajarkan jadwal
pengurangan pengangguran dengan jadwal pengurangan kemiskinan. Sayangnya, kaitan antara
kemiskinan-pasar kerja lemah, di mana peningkatan kemiskinan terkini justru muncul sejalan dengan
pengurangan pengangguran. Hal ini bisa dimengerti, karena orang miskin tidak mampu bertahan
sebagai penganggur dalam jangka panjang tanpa skema tunjangan pengangguran yang komprehensif.
Kaitan antara kemiskinan dan upah menjadi lebih signifikan dengan stagnasi dan penurunan upah
minimum di semua sektor di tahun 2005-2006 sehubungan dengan peningkatan kemiskinan pada
periode yang sama. Jadi, pemotongan upah sebagai instrumen penciptaan pekerjaan bisa kontraproduktif
dengan sudut pandang penurunan kemiskinan.
44
Pemerintah Indonesia harus beralih dari fokus yang sempit pada kemiskinan upah, seperti yang sudah
terjadi dalam kasus MDG, dan juga fokus pada insiden kerentanan yang sebenarnya jauh di atas tingkat
kemiskinan saat ini. Ada cara melacak insiden ‘orang miskin bekerja’ dalam angkatan kerja menggunakan
konsep ‘upah hidup’.
Tujuan kebijakan yang diarahkan kepada agregat-agregat nasional harus diperkuat dengan
mencerminkan keberagaman daerah di negara ini. Indonesia kini secara administratif adalah masyarakat
yang terdesentralisasi, dengan pasar kerja yang utama dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang
beroperasi di tingkat regional/lokal. ‘Perpaduan perkembangan sumber daya manusia’ yang berupaya
menjamin bahwa semua daerah mampu mencapai standar pembangunan sumber daya manusia
minimum sesuai MDG adalah satu cara untuk mencerminkan keberagaman daerah dalam tujuan-tujuan
kebijakan nasional. Pada saat yang sama, perlu dilakukan upaya-upaya untuk melacak dimensi-dimensi
daerah dari kinerja pasar kerja daerah demi mengidenfikasi daerah-daerah yang maju dan terbelakang.
Makalah ini meninjau pondasi empiris dari hipotesa ‘tekanan harga’ yang telah berpengaruh dalam
membentuk perdebatan kebijakan tentang pasar kerja selama masa paska krisis di Indonesia. Impetus
intelektual dari hipotesa ‘tekanan harga’ mungkin memotivasi diikutkannya agenda fleksibilitas pasar kerja
dalam kerangka kerja kebijakan pemerintah jangka menengah dan mengarah pada upaya yang terhambat
untuk meninjau Undang-undang Ketenagakerjaan tahun 2003.
Pada tingkatan yang superfisial, ada bukti yang muncul mendukung pandangan bahwa upah minimum
dan tunjangan wajib telah menyebabkan peningkatan biaya pekerja yang tidak bisa dipertahankan dan
karenanya berdampak negatif pada penciptaan pekerjaan. Pertumbuhan dalam upah minimum nominal
dalam tahun-tahun terakhir, pesangon yang murah hati – yang adalah tertinggi di Asia – dan ranking yang
buruk dalam hal ‘indeks kekakuan tenaga kerja’ semuanya menuju pada rezim pengaturan pasar modal
yang jelas-jelas tidak ramah pembangunan, investasi dan penciptaan pekerjaan. Namun, bila bukti ini ditinjau
dengan lebih hati-hati, ada alasan kuat untuk melakukan pendekatan yang lebih bernuansa.
45
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Studi-studi ekonometrik dari neksus upah minimum-pekerjaan termasuk beberapa studi yang
menunjukkan konsekuensi-konsekuensi negatif dari pekerjaan, tetapi kesimpulannya perlu dilihat dengan
hati-hati. Dampak murni dari upah minimum pada pekerjaan mungkin lebih sedikit ketika kita
mempertimbangkan variabel-variabel lain, khususnya pertumbuhan PDB.
Upah produk riil telah entah mandek atau menurun dalam tahun-tahun belakangan dalam beragam
sektor ekonomi, sementara unit upah pekerja menunjukkan penurunan sejak 2001 dan kini berada di
titik terendah sejak 1993.
Baik biaya upah maupun non-upah sebagai bagian dari biaya operasi perusahaan tidaklah berlebihan
dari norma-norma regional, dan tidak pula meningkat secara menyolok.
Estimasi ekonometrik dari penentu-penentu pekerjaan menggunakan kerangka tarikan permintaan
dan tekanan biaya menunjukkan bahwa dalam periode pasca krisis, faktor-faktor sisi permintaan, seperti
diukur dengan pertumbuhan PDB secara sektoral, adalah signifikan secara statistik di sebagian besar
sektor ekonomi dibandingkan dengan faktor-faktor tekanan biaya, sebagaimana diukur dengan upah
produk riil.
Estimasi-estimasi ekonometrik ini juga menunjukkan bahwa untuk menciptakan penambahan 1,8 persen
dalam pekerjaan manufaktur akan berarti pemotongan secara substansial dalam upah riil rata-rata
(sampai sekitar 10 persen) – resep yang cenderung tidak populer dalam suatu ekonomi dengan
kemiskinan dan kerentanan yang besar.
Keprihatinan tentang peraturan pasar kerja mungkin dipengaruhi oleh pembacaan yang superfisial
dari tren pekerjaan terkini. Benar bahwa pengangguran agregat meningkat antara 2001 dan 2005,
tetapi angka ini telah menurun sejak disejajarkan dengan akselerasi pertumbuhan PDB, khususnya di
antara tahun 2006 dan 2007. Lebih jauh lagi, bukti akan peningkatan yang tinggi dalam pengangguran
bahkan antara 2001 dan 2005 perlu dilihat dengan fakta bahwa ada seri alternatif yang menunjukkan
tingkat pengangguran yang lebih rendah dan peningkatan yang jauh lebih kecil.
Perspektif jangka yang lebih panjang dalam tren pekerjaan akan menunjukkan bahwa ada perubahan-
perubahan struktural. Bagian PDB dari sektor-sektor penyerap pekerja – seperti pertanian – telah menurun
tanpa kompensasi yang signifikan dalam pertumbuhan pekerjaan di manapun. Pada saat yang sama,
bagian dari ekspor padat karya dalam ekonomi Indonesia telah menurun sejak 1993. Waktu dari
pertumbuhan-pertumbuhan ini menunjukkan bahwa sulit untuk mengaitkan ini semua pada perubahan-
perubahan besar dalam upah minimum dan tunjangan wajib.
Kehati-hatian pada titik ini perlu diperjelas. Dalam mengevaluasi sifat bukti pada implikasi-implikasi
penciptaan pekerjaan dari peraturan ketenagakerjaan, maksudnya adalah untuk tidak mengabaikan atau
meniadakan kekhawatiran yang meluas dalam komunitas bisnis dan akan upah minimum serta skema
pembayaran pesangon yang tinggi. Akhirnya, dialog yang kuat dan berkelanjutan antara pemerintah, asosiasi
pengusaha dan perwakilan-perwakilan pekerja akan diperlukan untuk merancang dan mengembangkan
kerangka kerja pengaturan yang akan ramah bisnis sekaligus mampu melindungi dan menghormati hak-
hak pekerja. Tujuan makalah ini akan tercapai jika ia membantu proses dialog sosial ini.
Makalah ini meninjau sejumlah luas kebijakan dan program yang memengaruhi kondisi pasar kerja di
Indonesia. Kerangka kerja kebijakan yang ada sekarang mengandung catatan intelektual dari ‘paradigma
non-intervensionis’, tetapi juga ada elemen-elemen ‘paradigma aktivis’. Keduanya setuju pada premis bahwa
46
pertumbuhan berbasis luas sangat dibutuhkan bagi penciptaan pekerjaan dan penurunan kemiskinan secara
berkelanjutan, walaupun ada pula perbedaan yang penting. Versi terbatas dari paradigma ‘non-intervensionis’
menekankan pada pentignya peningkatan iklim usaha melalui reformasi peraturan dan peningkatan fleksibilitas
pasar kerja dalam mendorong pertumbuhan yang digerakkan oleh investasi. ‘Paradigma aktivis’ melihat
kebutuhan akan investasi publik dalam infrastruktur dan kaitan antara kebijakan pasar kerja yang ‘reaktif’
dan ‘proaktif’ dalam mengarahkan pertumbuhan yang digerakkan oleh produktivitas yang dapat menciptakan
pekerjaan utuh bagi semua rakyat Indonesia.
47
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
pada peningkatan harga makanan dan energi yang sifatnya struktural dan eksternal. Lebih jauh lagi,
penargetan inflasi mungkin tidak akan efektif untuk menangani ketidakstabilan makroeknomi yang
memainkan peranan penting dalam memengaruhi insiden kerentanan. Penargetan inflasi juga tidak
efektif dalam menekan apresiasi nilai tukar riil yang telah mengganggu daya saing Indonesia dalam
ekspor padat karya.
Kelihatannya ada alasan untuk pendekatan yang lebih pragmatis dalam kebijakan moneter. Perlu dicatat
bahwa, selama fase pertumbuhan yang tinggi, Indonesia punya tingkat inflasi jangka panjang sekitar
10 persen, yang berarti bahwa target inflasi saat ini yang 5-7 persen tidaklah didasarkan pada pengalaman
sejarah.
Ada pula isu tentang apakah kebijakan fiskal tetap terlalu konservatif, meskipun bukti dasarnya adalah
bahwa karena kinerja kelembagaan, pemerintah daerah tidak bisa menggunakan sepenuhnya alokasi
keuangan yang ada.
Ada alasan untuk upaya yang lebih besar dalam mengaitkan kebijakan fiskal untuk mendanai kebutuhan
yang berakar pada tujuan-tujuan dan sasaran pemerintah, termasuk untuk pencapaian MDG. Hal ini
akan lebih menyelaraskan kebijakan fiskal dengan penciptaan pekerjaan dan tujuan-tujuan pengurangan
kemiskinan. Ketahanan fiskal jangka panjang yang diarahkan pada tujuan-tujuan ini juga berarti perlunya
upaya untuk meningkatkan rasio pajak-PDB, yang pada tingkat 12 persen adalah kecil.
Ada kisaran yang luas akan kebijakan pasar kerja yang ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ yang dapat dikembangkan
untuk mengatasi tantangan-tantangan ketenagakerjaan di Indonesia. Kebijakan ‘reaktif’ berupaya untuk
mengakhiri hasil-hasil yang ditentukan pasar yang tidak dikehendaki (misalnya upah yang rendah dan
kerentanan), sementara kebijakan ‘proaktif’ berupaya menciptakan angkatan kerja yang bisa beradaptasi
dan terampil.
Kebijakan ‘reaktif’ yang penting yang penting untuk konteks Indonesia adalah yang terkait dengan
rezim upah minimum dan tunjangan wajib dan perlindungan sosial.
Upah minimum dan pesangon murah hati sekarang telah menyebabkan kekhawatiran yang besar bagi
para pengamat pasar kerja Indonesia. Mekipun pengamatan yang lebih hati-hati dari bukti ini
membebaskan masalah ini dari hasil pasar kerja yang buruk, ada alasan untuk mengambil pendekatan
yang lebih pragmatis akan upah minimum dan tunjangan wajib.
Ide upah minimum yang digerakkan oleh pemerintah daerah dapat digantikan dengan penggunaan
‘upah hidup’ sebagai panduan untuk melacak insiden ‘orang miskin bekerja’. Kemudian dalam
menegosiasikan tingkat upah di perusahaan, pekerja dan pengusaha dapat mengunakan ‘upah hidup’
sebagai tolak ukur.
Tingkat pesangon yang sekarang memang murah hati dibandingkan standar regional, namun tunjangan
wajib tersebut merupakan instrumen yang tegas untuk memperkuat kapasitas pekerja dalam menghadapi
risiko pasar kerja. Ada alasan untuk memperkecil ini semua dengan cara menerapkan skema tunjangan
pengangguran yang dirancang dengan baik.
Upah minimum dan tunjangan wajib hanyalah bagian dari sistem hubungan industrial secara keseluruhan.
Tujuan seharusnya adalah konsolidasi sistem hubungan industrial yang ramah pertumbuhan yang
berupaya menumbuhkan kerjasama antara pekerja dan pengusaha sambil menghormati hak-hak pekerja.
Basis untuk sistem macam ini sudah ada, karena Indonesia sudah meratifikasi standar utama bagi
pekerja.
Lolosnya Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di tahun 2004 merupakan tonggak kemajuan
dan menentukan kerangka kerja besar bagi sistem jaminan sosial yang formal di Indonesia, namun
komitmen bagi implementasinya kelihatan masih kurang.
Dalam kerangka bantuan sosial bagi kaum miskinlah seseorang dapat mendeteksi keberhasilan-
keberhasilan dengan jelas. Contohnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), asuransi
48
kesehatan bagi orang miskin dan skema transfer tunai bersyarat. PNPM telah mendapatkan evaluasi
positif dalam hal kontribusinya dalam mengurangi kerentanan melalui penciptaan pekerjaan jangka
pendek. Meskipun cakupan dari inisiatif-inisiatif lain juga mengagumkan, evaluasi yang mendalam
diperlukan sebelum keputusan akan efektivitas kebijakan ini dibuat.
Ada pula Skema Jaminan Tenaga Kerja Nasional (NEGP), namun ada tumpang tindih yang cukup besar
antara inisiatif ini dengan PNPM. Karena nama ‘merek’ PNPM sudah ada, lebih masuk akal untuk
memasukkan NEGP ke dalam kerangka kerja PNPM.
Walaupun intervensi dalam bantuan sosial bisa dipuji, perlu dicatat bahwa bantuan tersebut dimaksudkan
untuk menangani tantangan pasar kerja tertentu dan tidak untuk menciptakan pekerjaan yang produktif
dan jangka panjang.
Kita perlu untuk melengkapi kebijakan ‘reaktif’ dengan kebijakan yang ‘proaktif’ dengan tujuan
menciptakan angkatan kerja yang bisa beradaptasi dan terampil. Kebijakan-kebijakan ini, berkaitan
dengan intervensi dalam sistem pendidikan dan pelatihan dan persiapan orang dewasa muda dalam
transisinya menuju dunia kerja, adalah beberapa cara terbaik yang bisa diambil untuk menangani
fenomena orang muda yang ‘tidak tergarap’ dan ‘belum sepenuhnya terpakai’. Kebijakan-kebijakan ini
dapat juga memperkuat upaya-upaya saat ini untuk menumbuhkan wirausahawan muda dan
mempekerjakan diri sendiri.
Analisa neksus pendidikan-kemiskinan menunjukkan bahwa kita memerlukan pendekatan siklus hidup
untuk kemiskinan dan untuk mendorong tujuan bahwa pendidikan menengah haruslah terjangkau
buat semua orang Indonesia. Statistik yang ada menunjukkan bahwa setidaknya 40 persen orang muda
pencari kerja dan hampir 60 persen orang muda yang mempekerjakan dirinya sendiri keluar dari sekolah
karena alasan-alasan keuangan.
Ada pula isu kualitas pendidikan yang tesedia. Hasil belajar di tingkat dasar dan menengah di Indonesia
relatif tidak memadai dibandingkan norma-norma regional. Investasi di infrastruktur, peningkatan materi
belajar dan perbaikan kualitas guru akan membantu memperbaiki keseluruhan kualitas pendidikan
dasar.
Sektor pendidikan dan pelatihan kejuruan juga harus diperbaharui supaya para lulusan memiliki kualitas
yang menjawab kebutuhan pasar kerja. Tahap yang penting dalam proses ini telah diambil melalui
penciptaan badan sertifikasi independen yang diambil dari orang-orang di sektor swasta dan publik.
Bukti menunjukkan bahwa kurang dari 40 persen orang mengikuti program pengalaman kerja. Karena
itu, lembaga-lembaga pendidikan harus bekerja dekat dengan bisnis untuk meningkatkan program
pengalaman kerja yang efektif, dalam konseling karir dan juga dalam pengembangan kurikulum.
Sistem pendidikan dan pelatihan juga perlu menjawab persyaratan khusus dari para operator perusahaan
kecil dan sektor informal.
Bukti menunjukkan bahwa kurang dari 30 persen orang muda, baik dalam sistem pendidikan maupun
dalam angkatan kerja menerima bentuk konseling apapun tentang peluang kerja. Jadi, inisiatif perlu
diambil untuk persiapan yang lebih baik bagi para lulusan untuk masuk ke pasar kerja.
Sebagai komentar penutup, kita dapat menyoroti poin bahwa pendekatan yang digerakkan oleh bukti
untuk pembuatan kebijakan harus ditinjau dan diperbaharui secara berkala. Idenya adalah untuk belajar dari
pengalaman dan menggunakannya untuk melakukan proses pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan
demi menjaga akuntabilitas publik akan kebijakan dan program. Informasi ini tepat waktu. Audit berkala
akan pasar kerja akan bermanfaat. Hal ini akan membangun acuan standar-seperti ‘Key Indicators of the
Labour Market’ (KILM) dari ILO – yang dilengkapi dengan detil-detil sektoral dan regional yang tepat. Audit
macam itu harus dilakukan dalam kerangka kerja forum publik untuk memfasilitasi umpan balik dari pemangku
49
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
kepentingan. Harus ada keterbukaan penuh tentang keseluruhan kebijakan dan program pasar kerja yang
sedang diimplementasikan pemerintah sebagai bagian dari audit yang mendorong musyawarah dengan
masyarakat dan membangun etos akuntabilitas publik. Internet sebaiknya dimanfaatkan untuk memfasilitasi
‘e-networking’ di antara para pemangku kepentingan yang relevan dengan kebijakan pasar kerja. Meskipun
pemerintah Indoneisa layak dipuji untuk keterbukaannya tentang tingkat implementasi dalam kerangka
kerja Inpres 6/2007, masih banyak yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerangka untuk mengevaluasi
keefektivan kebijakan dan program dalam hal cakupan, kecukupan sumber daya dan kemampuannya untuk
mencapai tujuan dan sasaran yang diumumkan.
50
Lampiran T eknis dan
Teknis
Statistik
Tujuan lampiran ini adalah untuk menyediakan informasi yang komprehensif tentang berbagai dimensi
masalah pengangguran di Indonesia dan untuk mengekplorasi penyebab tersedianya pekerjaan dengan
pandangan untuk menaksir elastisitas pekerjaan sektoral. Estimasi elastisitas sektoral digunakan untuk
mensimulasikan beragam skenario untuk pekerjaan yang diproyeksikan dan untuk menentukan tingkat
pertumbuhan sektoral yang diperlukan untuk tingkat pengangguran 5,1% sampai tahun 2009. Lampiran
dimulai dengan catatan singkat tentang pasar kerja Indonesia. Lampiran diakhiri dengan audit kebijakan
secara singkat dari kebijakan pemerintah saat ini soal pertumbuhan dan penciptaan pekerjaan.
Angkatan Kerja
Gambar 1 memberikan cuplikan angkatan kerja Indonesia. Gambar itu menunjukkan bahwa di bulan
Februari 2007, ada sedikit lebih dari 162 juta orang usia kerja (15 tahun keatas). Dari jumlah tersebut, sedikit
di atas 108 juta orang berada dalam angkatan kerja, diantaranya 97,5 juta bekerja dan 10,5 juta tidak punya
pekerjaan.
Rumah Tangga
31.133.071
(19,2%)
Bersekolah
Tidak dalam 14.320.491
Angkatan Kerja (8,8%)
54.220.990
(33,4%) Lain-lain
8.767.428
(5,4%)
Populasi 15+
162.352.048
(100%) Bekerja
97.583.141
(60,1%)
Angkatan Kerja
108.131.,058 Menganggur
(66,6%) 10.547.917
(6,5%)
51
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Tabel 1 berusaha menangkap profil yang berganti dari angkatan kerja Indonesia. Angkatan kerja telah
tumbuh dengan tingkatan yang sedikit cepat (antara 2,2% dan 3,5%) dibandingkan populasi usia bekerja. Ini
berarti, ada tekanan yang konstan untuk menciptakan pekerjaan baru. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja
perempuan meningkat selama 1997-98, yang berarti bahwa perempuan berada dalam tekanan yang lebih
besar untuk mencari pekerjaan demi menambah pendapatan keluarga selama krisis ekonomi. Meskipun
populasi usia kerja kira-kira terbagi rata antara laki-laki dan perempuan, bagian laki-laki dalam angkatan
kerja adalah sekitar 1,7 kali lebih besar dibandingkan perempuan.
Populasi Usia Kerja 2,5 2,6 1,8 1,7 2,2 100 100 100 100
Laki-laki 2,5 2,9 2,1 1,8 2,5 49,1 49,2 49,7 49,8
Perempuan 2,5 2,3 1,6 1,7 2,0 50,9 50,8 50,5 50,2
Perkotaan 6,2 5,1 5,0 0,7 1,8 30,9 40,5 45,3 44,3
Pedesaan 0,6 0,9 -0,3 2,6 2,6 69,1 59,5 54,7 55,7
Usia 15-24 1,6 3,3 -0,5 1,1 3,7 30 28,3 25,8 25,5
Usia 25-49 3 2,3 3,2 1,5 1,2 49,6 50,9 53,5 53,3
Usia 50+ 2,8 2,4 1,7 3,2 3,0 20,4 20,7 20,7 21,2
Pendidikan dasar 0,3 -0,3 0,2 -1,9 0,6 73,6 61,3 57,7 53,7
atau kurang
Menengah bawah 5,8 6,9 5,5 8,8 1,2 13,8 17,9 20,4 23,2
Menengah atas 8,6 7,8 2,8 4,6 6,2 11,2 17,5 18,1 19,1
Tinggi 13,2 10,1 6,4 5,3 11,5 1,5 3,2 3,8 4,1
Angkatan Kerja* 2,5 3,5 2,2 3,2 2,3 100 100 100 100
Laki-laki 2,6 2,7 2,9 4,1 2,8 61,2 61,2 63,5 63,4
Perempuan 2,3 4,8 1,0 1,5 1,6 38,8 38,8 36,5 36,6
Perkotaan 7,5 4,7 6,5 1,3 3,2 25,5 36,0 41,8 41,1
Pedesaan 0,4 2,9 -0,3 4,5 1,7 74,5 64,0 58,2 58,9
Usia 15-24 1,5 2,5 1,2 2,6 4,9 23,1 21,3 20,5 20,9
Usia 25-49 2,9 3,2 2,8 2,1 1,6 57,6 58,9 60,2 59,1
Usia 50+ 2,6 5,5 1,4 7,2 1,7 19,3 19,8 19,3 19,9
52
Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal dari angkatan kerja di perkotaan. Angkatan kerja
perkotaan tumbuh lebih cepat dibandingkan angkatan kerja pedesaan. Bagian angkatan kerja perkotaan
meningkat dari 25,5% di tahun 1990 menjadi 41% di tahun 2006 dan angkatan kerja pedesaan menurun dari
74,5% sampai 59% selama periode yang sama. Namun, ada kenaikan pertumbuhan angkatan kerja pedesaan
selama krisis. Hal ini sejalan dengan pengamatan bahwa banyak pekerja perkotaan yang memilih untuk
menolak kegiatan pedesaan atau pertanian ketika kehilangan pekerjaan.
Indonesia nampak mengalami transisi demografis. Ada peningkatan yang besar dalam jumlah populasi
usia kerja utama (25-49) yang bagiannya meningkat dari 49,6% di tahun 1990 menjadi 53,3% di tahun 2006.
Sementara itu bagian dari populasi pekerja tua (50+) tetap stabil di kisaran 21%, bagian orang muda (usia
15-24) menurun dari 30% menjadi 25,5% selama 1990-2006. Hal ini telah tercermin dalam perubahan-
perubahan bagian dalam angkatan kerja dari kelompok usia tertentu.
Pencapaian pendidikan angkatan kerja Indonesia juga telah meningkat. Bagian angkatan kerja dengan
pendidkan dasar atau kurang menurun dari 76,4% di tahun 1990 menjadi 52% di tahun 2006. Penurunan ini
sesuai dengan peningkatan bagian pasar kerja dengan pendidikan menengah dari 21,6% di tahun 1990
menjadi 41,7% di tahun 2006. Bagian dari pendidikan tenaga kerja juga meningkat dari 2% menjadi 6,2%
selama periode yang sama.
Partisipasi angkatan kerja bagi laki-laki tetap kurang lebih stabil di kisaran 83-84% sejak krisis; namun
tingkat partisipasi perempuan menurun dari 51,2% di tahun 1998 menjadi 48,1% di tahun 2006 (Tabel 2).
Telah ada peningkatan partisipasi perkotaan dari 59,6% di tahun 1998 menjadi 62,3% di 2006. Selama periode
yang sama tingkat partisipasi pedesaan telah menurun dari 71,9% menjadi 69,2%.
Tabel 2: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%), menurut gender dan wilayah
Total 66,9 67,2 67,7 68,6 67,8 67,9 65,6 66,8 66,2
Laki-laki 83,2 83,6 84,2 85,8 85,6 85,7 86,0 84,9 84,2
Perempuan 51,2 51,2 51,6 51,8 50,1 50,2 49,2 48,4 48,1
Perkotaan 59,6 61,2 61,6 63,0 62,6 62,6 62,6 62,4 62,3
Pedesaan 71,9 71,6 72,6 73,1 72,0 72,1 71,5 70,2 69,2
Pekerjaan
Tabel 3 menunjukkan perubahan profil pekerjaan di Indonesia. Ditunjukkan pertumbuhan yang pesat
dari pekerjaan formal selama 1990-1997. Namun, telah terjadi penurunan tajam dalam pertumbuhan pekerjaan
formal selama periode paska krisis. Tingkat pertumbuhan pekerjaan formal menurun dari 5,8% selama masa
pra-krisis (1990-1997) menjadi 2,2% selama 2002-2006. Jadi bagian pekerjaan formal naik sangat tipis menjadi
37% setelah meningkat tajam dari 29% di tahun 1990 menjadi 35% di tahun 2002. Yang menarik, penurunan
dalam pertumbuhan pekerjaan di sektor formal tidaklah dibarengi dengan peningkatan pertumbuhan
pekerjaan informal. Tingkat pertumbuhannya tetap kurang lebih stabil di 0,4% setelah meningkat menjadi
7% selama krisis. Jadi pertumbuhan yang melambat untuk pekerjaan formal dan informal berkontribusi
pada perlambatan keseluruhan pertumbuhan pekerjaan.
53
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Formal 5,8 -4,5 1,6 2,2 29,2 31,8 34,6 35,3 36,9
Pengusaha 14 4 16,2 0,6 0,8 0,9 1,7 3,0 3,0
Pekerja * 5,5 -4,9 0,7 2,4 28,4 30,9 32,9 32,3 33,9
Informal 0,4 6,9 0,8 0,4 70,8 68,2 65,4 64,7 63,1
Bekerja sendiri** 4,3 3,3 0,8 3,5 20,2 20,8 23,4 23,1 25,3
Bekerja sendiri 0,1 9,5 2,8 -2,4 24,4 22,7 22,5 24,0 20,9
dibantu keluarga
Tidak dibayar -2,8 8,3 -1,6 0,1 26,3 24,7 19,5 17,6 16,9
Sektor: -0,7 7,3 1,3 -0,2 66,4 62,5 57,1 58,2 55,5
Diperdagangkan
Agri. Kehutanan
& Kelautan -2,3 13,3 0,5 -0,3 55,5 50,6 45,0 44,3 42,0
Pertambangan 7,8 -23,9 -1,7 11,5 0,7 0,8 0,8 0,7 1,0
Manufaktur 5,6 -9,6 4,6 -0,5 10,1 11,1 11,3 13,2 12,5
Sektor: 6,2 -3,4 -0,3 2,8 33,6 48,6 54,3 41,8 44,5
Tidak Diperdagangkan
Konstruksi 10,7 -16,4 4,2 2,5 2,7 3,5 4,0 4,7 4,9
Perdagangan 6,4 -1,2 1 2,0 14,7 15,8 19,2 19,4 20,1
Transportasi &
Komunikasi 8,6 0,6 2,8 5,3 3,1 3,7 4,7 5,1 5,9
Fasilitas & jasa lain 4,9 -2,1 -3,4 3,0 13,1 25,5 26,3 12,6 13,5
Perkotaan 7,2 3,2 5,2 0,9 24,6 28,2 34,6 40,5 40,2
Pedesaan 0,2 2,3 -1,2 1,2 75,4 71,8 65,4 59,5 59,8
Usia 15-24 0,2 0,6 -2,3 0,9 21,8 20,3 18,7 16,3 16,2
Usia 25-49 2,7 2,4 2,2 0,8 58,4 57,5 60,5 62,9 62,3
Usia 50 + 2,6 5,3 0,7 1,9 19,8 22,3 20,9 20,8 21,5
Pendidikan dasar -0,2 1,7 -0,7 -1,7 77,7 74,5 65,5 60,9 54,5
atau kurang
Menengah bawah 6,8 5,4 5,9 4,9 9,9 10,9 13,9 16,7 19,2
Menengah atas 9,1 3,2 2,6 4,8 10,5 12,2 16,6 17,6 20,1
Tinggi 13,3 6,7 5,9 8,7 1,9 2,4 4,0 4,8 6,2
Laki-laki 2,4 1,7 2,1 1,4 61,3 61,5 61,5 63,9 64,9
Perempuan 1,9 4,2 -0,5 0,3 38,7 38,5 38,5 36,1 35,1
* Termasuk pekerja lepas pertanian setelah 2000; ** Termasuk pekerja lepas non-pertanian setelah 2000
Sumber: Sakernas
54
Pertanian tetaplah pemberi kerja utama, meskipun bagiannya menurun dari 66,4% di tahun 1990 menjadi
55,5% di 2006. Pekerjaan di sektor pertambangan dan manufaktur tumbuh cukup pesat selama 1990-1997,
sementara pekerjaan pertanian menyusut. Krisis menyebabkan pekerjaan manufaktur menurun 9,6%, namun
pertumbuhannya membaik lagi menjadi 4,6% selama 1998-2002. Namun, sejak itu pertumbuhan pekerjaan
manufaktur terhambat. Yang menarik, pekerjaan sektor yang tidak diperdagangkan tumbuh dengan tingkat
lebih tinggi (6,2% per tahun) selama periode pra-krisis, sementara pekerjaan di sektor yang diperdagangkan
menurun. Bagian dari sektor yang tidak diperdagangkan dalam pekerjaan total meningkat menjadi 54,3% di
tahun 1998 dan kemudian menurun menjadi 44,5% di 2006.
Sejalan dengan perubahan demografis, bagian pekerjaan untuk orang muda (usia 15-24) dan utama
(25-49 tahun) meningkat sejak 1990. Ada juga lebih banyak orang terdidik diantara mereka yang bekerja
sekarang dibandingkan tahun 1990. Konsisten dengan tingkat partisipasi laki-laki yang lebih tinggi, bagian
pekerjaan untuk laki-laki hampir dua kali lipat perempuan. Jadi terjadi kesenjangan gender dalam pekerjaan,
yang juga nampak dalam Tabel 4.
Situasi pekerjaan sangat membaik dalam waktu 12 bulan terakhir (Februari 2006 – Februari 2007) bersama
dengan penguatan pertumbuhan ekonomi.58 Pekerjaan selama periode ini meningkat 2,5% sehingga terbentuk
2,4 juta pekerjaan baru. Berita bagus yang lain adalah bahwa pekerjaan baru terkonsentrasi di sektor formal;
pekerjaan sektor formal tumbuh hingga 4,8%. Namun, pertumbuhan pekerjaan baru terjadi di sektor yang
tidak diperdagangkan. Pekerjaan di sektor yang tidak diperdagangkan tumbuh 3,5% dibandingkan
pertumbuhan 1,6% di pekerjaan sektor yang diperdagangkan. Hal ini bisa mengakibatkan kekurangan pekerja
terampil di sektor yang diperdagangkan dan menyebabkan apresiasi riil yang mengganggu sektor yang
diperdagangkan.
Konsisten dengan pertumbuhan pekerjaan formal, bagian pekerja upahan baik untuk laki-laki maupun
perempuan antara meningkat antara 1990 and 2006 (Tabel 4). Sekarang ada lebih banyak laki-laki yang
bekerja sendiri dalam usaha dengan punya pegawai. Bagian dari perempuan yang terlibat dalam usaha
dengan pegawai tidak meningkat banyak. Ada penurunan yang signifikan dalam pekerja yang punya usaha
sendiri maupun yang membantu usaha keluarga, dan ini sejalan dengan penurunan bagian di pekerjaan
sektor informal.
58 Lihat World Bank (2007), Indonesia: Economic and Social Update, November, 2007.
55
Sumber: Sakernas
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Perempuan
Pekerja berupah, atau pegawai 22,8 29,2 27,4 29 27,7 28,1 37,3 31,5
Pekerja yang bekerja sendiri 0,3 0,7 0,8 0,8 0,8 2 1,1 1,1
dengan pegawai
Punya usaha sendiri 30,2 36,8 38,5 34,5 34,9 35,8 25,4 33,2
Membantu usaha keluarga 46,6 33,3 33,4 35,7 36,6 34,2 36,2 34,1
Laki-laki + Perempuan
Pekerja berupah, atau pegawai 28,4 35,6 34,2 35,5 32,9 33,1 32,3 33,9
Pekerja yang bekerja sendiri 0,8 1,6 1,4 1,7 1,7 2,9 3,0 3,0
dengan pegawai
Punya usaha sendiri 44,5 45,4 46,9 44,3 45,9 45,7 47,2 46,2
Membantu usaha keluarga 26,3 17,4 17,5 18,5 19,5 18,3 17,6 16,9
Sumber: Sakernas
Tabel 5 menunjukkan bahwa ada lebih banyak pekerja perempuan di sektor jasa, sementara bagian
pekerja laki-laki di industri lebih tinggi daripada perempuan. Perbedaan gender tidaklah signifikan di sektor
pertanian.
Laki-laki
- Pertanian 54,8 44 42,7 40,1 44,3 43,3 43,7 42,5
- Industri 14,8 19,6 19,7 20,8 17,8 19,3 20,4 20,3
- Jasa 30,4 36,4 37,6 39,1 38 37,5 35,8 37,1
Perempuan
- Pertanian 56 44 44,8 41,8 46 43,1 45,4 41,1
- Industri 12,3 15,6 15,8 16,2 13,9 15,5 15,8 15,3
- Jasa 31,8 40,3 39,4 42 40 41,4 38,8 43,5
Laki-laki + Perempuan
- Pertanian 55,2 44 43,5 40,7 45 43,2 44,3 42,0
- Industri 13,8 18,2 18,2 19,1 16,3 17,8 18,8 18,6
- Jasa 30,9 37,8 38,3 40,2 38,8 38,9 36,9 39,4
56
Box 1: Mengapa ada pertumbuhan ‘penganggur’ saat ini?
Penurunan bagian PDB sektor-sektor penyerap pekerja – agrikultur, perdagangan, hotel & restoran – dan
bagian yang stagnan dan sektor manufakturing menyebabkan pertumbuhan pekerjaan yang stagnan.
35
28 30
24
(%)
25
20 20
16 15
10
12
5
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Agriculture Manufacturing Trade, Hotel & Restaurant Others
Penurunan bagian ekspor padat karya juga bertanggungjawab atas pertumbuhan pekerjaan yang stagnan.
Catatan: Angka menunjukkan bagian ekspor dari ekspor manufakturing padat karya disediakan oleh Dr. Andin Hadiyanto,
Direktur Litbang Iklim Usaha,Kementerian Perdagangan
57
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Pengangguran mulai meningkat sebelum krisis; tingkanya naik dari 4,4% di tahun 1994 menjadi 4,9%
di 1996. Manning (2000) melaporkan bahwa durasi pengangguran adalah lama – hampir separuh dari seluruh
pencari kerja muda pertama kali dan sepertiga dari mereka yang pernah bekerja telah menganggur selama
12 bulan atau lebih selama awal 1990an.
Seperti disebut di atas, tingkat pengangguran tidak meningkat signifikan selama krisis; peningkatannya
hanya menjadi 6,4% di tahun 1999 dan kemudian menurun menjadi 6,1% di 2000. Tanpa sistem jaminan
sosial universal, pekerja tidak sanggup tetap menganggur. Jadi, mayhoritas dari mereka yang kehilangan
pekerjaan di sektor formal lari ke sektor informal. Namun, tingkat pengangguran tetap meningkat selama
periode paska krisis. Peningkatan tajam dalam tingkat pengangguran sejak 2001 adalah karena perubahan
definisi. Sekarang para penganggur mencakup mereka yang tidak bekerja, tetapi (a) aktif mencari pekerjaam,
(b) TIDAK aktif mencari pekerjaan, (c) punya pekerjaan yang mulainya nanti, atau (d) mempersiapkan usaha.
Penyesuaian untuk perubahan definisi oleh Aaron et al (2004) menghasilkan tingkat pengangguran 5,1% di
tahun 2001 dan 5.8% di 2002.59 Menggunakan faktor penyesuaian yang sama, tingkat pengangguran di
tahun 2007 adalah sekitar 6,0% seperti waktu tahun 2000.
12
Tingkat Penganggurang (% Angkatan Kerja)
10
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Hal lain yang penting dicatat adalah bahwa perubahan-perubahan dalam tingkat pengangguran agregat
tidak berkorelasi positif dengan insiden kemiskinan. Hal ini jelas dari Gambar 3.
58
Gambar 3
25
20
Tingkat kemiskinan [%]
15 Tingkat pengangguran
[%]
10
0
1996 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Apakah ini berarti bahwa masalah pengangguran adalah semata teka-teki aritmatika dan umumnya
tidak relevan?60 Haruskan para pembuat kebijakan mengkhawatirkan pengangguran? Ada beberapa kehati-
hatian yang dibutuhkan di sini.
Pertama, jumlah absolute penting. Misalnya, tingkat yang disesuaikan yakni 6,0% akan tetap berarti
hampir satu juta lebih yang menganggur di tahun 2007 dibandingkan dengan angka tahun 2000. Secara
politis, hal ini mungkin tidak bisa diterima, apalagi dalam demokrasi di mana mereka yang menganggur
adalah juga pemilih.
Kedua, dan isu yang lebih menantang adalah karakter yang berubah dari para penganggur (lihat Tabel
7). Ini mencakup:
Struktur usia – lebih banyak orang muda menganggur (lebih dari 61% dari total penganggur)
Profil pendidikan – penganggur lebih terdidik (sekitar dua pertiga dari seluruh penganggur memiliki
pendidikan menengah)
Konsentrasi lokasi/daerah – lebih banyak konsentrasi penganggur di daerah perkotaan; variasi daerah
lebih luas (11 provinsi, kebanyakan yang kaya sumber daya dan terindustrialisasi telah memiliki tingkat
pengangguran di atas tingkat nasional)
60 Manning (2000) mengamati, “pengangguran meningkat, namun perlahan, dan terutama karena definisi baru.” Seseorang mendapatkan
kesan bahwa masalah pengangguran semata tidaklah begitu serius.
59
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Pengangguran Terbuka 2,5 4,7 5,5 6,1 9,1 9,7 9,9 11,2 10,3
Berdasar Gender
Laki-laki 2,5 4,1 5,0 5,7 7,5 7,6 8,1 9,29 8,5
Perempuan 2,7 5,6 6,1 6,7 11,8 13,0 12,9 14,7 13,4
Berdasar Lokasi
Perkotaan 6,0 8,0 9,3 9,2 11,0 12,0 12,7 14,2 12,9
Pedesaan 1,4 2,8 3,3 4,1 6,1 7,0 7,9 9,14 8,4
Berdasar usia
15-24 8,0 15,5 17,1 19,9 27,9 28,1 29,6 33,4 30,6
25-49 1,2 2,2 2,9 3,1 4,5 4,6 4,7 5,7 5,5
50 + 0,2 0,3 0,5 0,4 3,1 5,8 5,1 4,3 3,2
Berdasar pendidikan
Dasar atau kurang 0,9 1,8 2,0 2,5 5,5 6,3 5,8 6,6 6,1
Menengah bawah 4,1 6,0 7,5 8,9 12,3 11,7 12,7 14,1 12,9
Menengah atas 11,3 13,0 14,6 13,7 16,8 16,9 17,6 19,9 17,8
Tinggi 8,0 10,4 11,0 10,4 10,6 9,7 10,7 11,9 10,2
Sumber: Sakernas
Perubahan di atas akan sifat penganggur dapat mengganggu secara sosial. Variasi daerah dalam hal
pengangguran bisa menyebabkan peningkatan migrasi antardaerah. Hal ini bisa menjadi isu politis jika
daerah-daerah dengan tingkat pengangguran rendah berusaha menciptakan hambatan bagi mobilitas pekerja,
menyebabkan meningkatnya ketegangan antardaerah.
Ketiga, tingkat pengangguran yang stabil meskipun pertumbuhan ekonomi lambat adalah karena para
pekerja berpindah ke sektor informal. Pekerjaan-pekerjaan ini berkualitas rendah – upah rendah, tidak ada
jaminan tunjangan, kurang aman, dan sebagainya serta dengan produktivitas rendah. Pertumbuhan atau
kelangsungan sektor informal di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi berarti bahwa pertumbuhan tidaklah
pro-miskin. Akibatnya kesenjangan meningkat. Alhasil, pengurangan kemiskinan melambat. Peningkatan
dalam kesenjangan juga bisa mengganggu stabilitas sosial.
Oleh sebab itu, masalah pengangguran harus diuji dari perspektif jaminan sosial dan kestabilan politik.
Dengan demikian, fokusnya harus terletak pada penciptaan pekerjaan dengan menggunakan kerangka kerja
akan pekerjaan yang layak. Pendekatan mekanis yang menekankan pada pengurangan sasaran dalam tingkat
pengangguran terbuka agregat akan tidak tepat.
60
Box 2: Menginterpretasikan Data Angkatan Kerja dan Pekerjaan Indonesia –
Beberapa Komplikasi karena Perubahan dalam Definisi
Analisa data angkatan kerja Indonesia diperumit karena beberapa kekosongan dalam seri yang utama dan
karena terminologi yang tidak biasa.
Di Indonesia istilah ‘pengangguran terbuka’ kerap digunakan dibandingkan ‘pengangguran’ seperti dulunya
didefinisikan. Hal ini mengarah pada istilah seperti ‘total pengangguran’ atau ‘pengangguran global’ yang
digunakan untuk menggambarkan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran.
Konsep pengangguran terbuka (diperkenalkan di tahun 2001) mencakup pekerja yang mau bekerja, tetapi
sudah menyerah untuk aktif mencari pekerjaan baru. Penggunaan ukuran ini menambah baik jumlah angkatan
kerja maupun jumlah penganggur: tingkat pengangguran meningkat sekitar setengahnya, relatif dibandingkan
dengan definisi yang lama.
Ada kekosongan dalam tingkat pengangguran di tahun 1994 karena ada perubahan definsi lain dalam survei.
Populasi usia kerja sekarang didefinisikan menjadi 15 tahun ke atas. Sebelumnya 10 tahun ke atas.
Ada pula perubahan penting dalam definisi beberapa komponen pekerjaan di tahun 2001. BPS memperkenalkan
dua sub-kategori baru dari pekerjaan ’informal’ yakni pekerja ’pertanian lepas’ dan ’non-pertanian lepas’.
Pengantar ini berarti mendefinisikan ulang sejumlah seri, yang utamanya memengaruhi perbedaan antara
pekerja ‘formal’ dan ‘informal’ (Para pekerja ‘pertanian lepas’ dulunya diklasifikasikan sebagai ‘orang upahan’,
yang adalah bagian dari pekerjaan ‘formal’).
Mengabaikan pendefinisian ulang ini akan mengakibatkan salah pengertian, yakni bahwa pekerjaan formal
menurun drastis di tahun 2001, dan pekerjaan informal meroket. Dalam kenyataannya, setelah menyesuaikan
kekosongan data, pekerjaan sektor formal dan informal hanya naik sedikit (lihat Tabel 2.5, Aaron et al, 2004).
Komplikasi kecil lainnya adalah bahwa tidak ada laporan Sakernas untuk 1995. Di tahun itu, survei tahunan
digantikan oleh Supas. Tingkat pengangguran yang didasarkan pada Supas sangatlah lebih tinggi, dan harus
diperlakukan sebagai pengecualian (outlier).
61
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Kira-kira 7 juta orang muda (usia 15-24 tahun) sedang menganggur di Indonesia. Ini berarti 61% dari
total penganggur. Di ASEAN, hanya Malaysia yang memiliki proporsi penganggur setinggi itu di kalangan
orang muda (Tabel 8). Baik pengangguran total maupun pengangguran kaum muda terus meningkat; namun,
tingkat kenaikan untuk penganggur muda sedikit lebih rendah dibandingkan totalnya, sehingga ada
penurunan sedikit dalam rasio pengangguran kaum muda (Gambar 4).
70
8,000,000
60
6,000,000 50 %
jiwa
40
4,000,000
30
20
2,000,000
10
- -
1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tabel 8 menunjukkan gambaran komparatif dari pengangguran kaum muda di negara-negara ASEAN
tertentu. Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam tingkat partisipasi angkatan kerja muda dari
53% di 1996 menjadi 66.6% di 2005. Jadi, kelihatannya Indonesia telah memasuki fase “hadiah demografis”
dengan sejumlah besar kaum muda dalam angkatan kerja. Indonesia kini memiliki tingkat partisipasi angkatan
kerja muda yang tertinggi di ASEAN. Pada saat yang sama Indonesia juga punya tingkat pengangguran
kaum muda yang terburuk (30,6% dari angkatan kerja muda). Namun, peningkatan terkini (Februari 06-
Februari 07) dalam tingkat pekerjaan telah membantu menurunkan tingkat pengangguran kaum muda dari
30,6% menjadi 25,4%. Lebih jauh lagi, data pencarian pekerjaan menunjukkan tingkat stabilitas yang luas
biasa dalam pasar kerja – lihat Tabel 9.
Sumber: ILO, KILM 4th edition; Data National Statistical Office dan UNESCAP 2007
62
Tabel 9
Rata-rata dan median waktu durasi pencarian kerja, 1992 - 2007 (bulan)
Median Rata-rata
Sumber: Survei Tahunan Angkatan Kerja Nasional Sakernas, beragam tahun (tabulasi penulis). Kami berterimakasih kepada Dr Shafiq
Dhanani yang menyediakan estimasi ini. Kesemuanya menjadi bagian dari buku yang akan terbit tentang pasar kerja Indonesia
(akan diterbitkan oleh Routledge di awal 2009) di mana para penulis studi ini menulis bersama Dr Dhanani.
Seperti dapat dilihat dalam Gambar 5, pengangguran adalah tertinggi di antara orang-orang dengan
pendidikan menengah (khususnya menengah atas), diikuti oleh orang-orang dengan pendidikan tinggi
(diploma dan gelar universitas). Pengangguran tidaklah terlalu akut di antara mereka yang tidak terampil
(pendidikan dasar atau kurang). Namun, sekitar 30% dari penganggur tidak memiliki lebih dari pendidikan
dasar (Tabel 9). Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa kurangnya pendidikan adalah penyebab utama
pengangguran mereka. Namun situasinya jauh lebih rumit. Hampir sepertiga (63%) penganggur memiliki
pendidikan menengah (bawah dan atas). Tingkat pengangguran yang tinggi di antara lulusan SMA dan
dominasi mereka dalam kelompok penganggur, bisa berarti tidak relevannya sistem pendidikan SMA untuk
pasar kerja. Yakni bahwa para pelajar SMA tidak dibekali dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk pekerjaan,
menyebabkan entah pengangguran di antara para lulusan atau ketidaksesuaian keterampilan. Situasi angkatan
kerja dengan pendidikan tinggi tidaklah terlalu buruk; sekitar 10% dari mereka dengan pendidikan tinggi
adalah penganggur dan mereka membentuk 6,2% dari total penganggur.
Diperlukan kehati-hatian untuk tidak lompat pada kesimpulan yang mengejutkan tentang skala
pengangguran pekerja terdidik. Berdasarkan data pencarian pekerjaan, yang dapat disimpulkan adalah bahwa
tidak ada bukti bahwa durasi pencarian pekerjaan telah meningkat untuk pekerja terdidik secara signifikan.
Pekerja terdidik rata-rata membutuhkan sekitar 9 sampai 10 bulan untuk mencari pekerjaan. Jadi, banyak
dari pengangguran pekerja terdidik yang diamati bersifat transisi. Isu kebijakan yang relevan adalah untuk
memperbaiki transisi pekerja-pekerja macam itu dari sistem pendidikan dan pelatihan menuju dunia kerja.
63
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
25
20
15
Pengangguran
10
0
2002 2003 2004 2005 2006
Tabel 11 memberikan indikator lain dari ketidaksesuaian keterampilan. Hampir 157 ribu orang
berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja lepas dan tidak dibayar di tahun 2006. Pada tahun yang sama
hampir 400 ribu orang berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja produksi atau operator transportasi
dan buruh. Di sisi lain, insiden relatif dari ‘ketidaksesuaian keterampilan’ (diekspresikan sebagai proporsi dari
total pekerjaan) kecil. Jumlahnya kurang dari 1 persen.
Pekerja berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja lepas dan pekerja tidak dibayar
2001 2002 2004 2006
Jumlah pekerja 153.189 54.873 70.656 156.807
% dari total pekerjaan 0,17 0,06 0,08 0,16
Pekerja berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja produksi, operator peralatan transportasi dan buruh
1997 2001 2002 2004 2006
Jumlah pekerja 266.825 364.188 372.655 448.121 382.556
% dari total pekerjaan 0,31 0,40 0,41 0,48 0,40
64
Konsentrasi regional
Tingkat pengangguran di 11 provinsi adalah lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional (Tabel 12).
Total jumlah pengangguran di 11 provinsi ini merupakan 52% dari total pengangguran di Indonesia, sementara
bagiannya adalah 39% dari total angkatan kerja dan 42% dari total populasi. Mereka adalah diantara provinsi-
provinsi terkaya sumber daya dan beberapa diantaranya adalah pusat-pusat industri, dan karenanya cenderung
menarik para pencari kerja dari provinsi-provinsi lain. Mungkin inilah alasan mengapa bagian dari total
pengangguran lebih tinggi daripada bagian mereka di total populasi maupun total angkatan kerja.
Notes: Aceh, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur kaya akan migas. Mereka adalah dintara 5 provinsi terkaya di Indonesia. Kepulauan
Riau adalah provinsi yang paling terindustrialisasi di Indonesia. Sumatera Utara adalah daerah nomor dua paling terindustrialisasi di
Sumatera. Jakarta adalah ibu kota, dengan tingkat per kapita riil PDB nomor dua tertinggi di Indonesia. Banten dan Jawa Barat
berlokasi di samping Jakarta; mereka adalah pusat pembangunan industrial, dan adalah diantara 3 provinsi paling terindustrialisasi
di Indonesia. Sulawesi Utara adalah provinsi terkaya di Sulawesi (dalam hal perkapita riil PDB). Sulawesi Selatan adalah pusat
pertumbuhan di bagian Timur Indonesia dan adalah provinsi yang terindustrialisasi di Sulawesi.
65
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Setengah pengangguran
Malah pengangguran di Indonesia menjadi lebih jelas ketika kondisi setengah pengangguran
(didefinisikan sebagai bekerja kurang dari 35 jam seminggu) diperhitungkan juga. Hampir sepertiga orang
yang bekerja adalah setengah pengangguran (Tabel 13). Namun, tidak semua dari mereka mengalami itu
tanpa diinginkan. Sekitar 14% dari semua yang bekerja adalah setengah pengangguran karena kurangnya
pekerjaan penuh-waktu; mereka mau bekerja dengan jam lebih lama jika ada kesempatan.
Underemployment lebih akut di antara pekerja perempuan dan orang tua (usia 50 ke atas) diikuti
dengan pekerja kurang terdidik (pendidikan dasar atau lebih rendah). Lebih dari 21% pekerja berpendidikan
tinggi bekerja kurang dari 35 jam seminggu.
Pendidikan dasar 22,697,133 21,148,850 19,472,943 19,895,047 40.8 37.9 36.8 38.3
atau kurang
Menengah bawah 4,119,344 4,001,985 4,602,342 4,807,960 27.3 26.1 24.8 26.2
Menengah atas 2,878,347 2,775,378 2,775,950 3,131,736 18.2 17.3 16.1 16.3
Tinggi 1,016,204 942,369 1,096,023 1,266,006 23.3 21.5 22.4 21.4
% Setengah pengangguran
(dari total pekerjaan)
Tidak diinginkan 12,002,836 13,418,061 13,774,867 13.1 14.3 14.4
Diinginkan 16,865,746 14,529,197 15,325,882 18.4 15.5 16.1
66
Dimensi gender dari pengangguran dan pengalaman pasar kerja
Kelihatannya bahwa perempuan dalam angkatan kerja tidaklah mendapatkan yang sebaik rekan-rekan
laki-lakinya sejak krisis. Tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan secara kasar hamper sama (sekitar
2,5%) di tahun 1990. Setelah krisis, di 2002, tingkat pengangguran perempuan lebih dari 4 poin persen lebih
tinggi dibandingkan tingkat pengangguran laki-laki, dan kesenjangannya meningkat hingga 5 poin persen
di 2006. Namun, kesenjangan laki-laki dan perempuan dalam pengangguran menurun sedikit dengan
pertumbuhan pekerjaan yang menguat (selama Februari 06-Februari 07) yakni menguntungkan pekerja
perempuan. Tingkat pengangguran perempuan berada di 11,8% dibandingkan dengan tingkat pengangguran
laki-laki yang 8,5%.
Ada pula divergensi yang tumbuh antara pengangguran laki-laki dan perempuan sejak krisis. Misalnya,
di tahun 1990, tingkat pengangguran kaum muda perempuan 8,2% dibandingkan 7,8% untuk laki-laki muda.
Di 2006, tingkat pengangguran perempuan muda berada di 34,7% dibandingkan 27,8% untuk laki-laki muda.
Kita pun harus mencatat bahwa, berdasarkan status pekerjaan, dan bukannya tingkat pengangguran,
telah terjadi sedikit perbaikan dalam posisi relatif pekerja perempuan dalam pasar kerja Indonesia. Kita
dapat mengacu kembali pada Tabel 4 di mana ditunjukkan bahwa bagian pekerja perempuan dalam pekerjaan
sektor formal (seperti diukur oleh mereka yang bekerja dengan upah/gaji) meningkat dari 23 persen menjadi
31 persen antara 1990 dan 2006. Hal ini mengarah pada penutupan yang cukup substansial dalam kesenjangan
status pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.
Ada pula bukti bahwa disparitas upah antara laki-laki dan perempuan telah berkurang banyak antara
1982 dan 2006. Pendapatan perempuan meningkat dari 50 persen pendapatan laki-laki di tahun 1982 menjadi
75 persen di tahun 2006 – lihat gambar 8.
16
14
12
10
-
1990 1997 1998 2000 2002 2003 2004 2005 2006
67
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Gambar 7: Tingkat Pengangguran Kaum Muda (%) menurut Gender (usia 15-24)
45
40
35
30
25
20
15
10
-
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2002 2003 2004 2005 2006
Gambar 862
% Gaji Perempuan/Laki-laki
Perempuan/Laki-laki
Elastisitas Pekerjaan
Konsep elastisitas pekerjaan – persen perubahan dalam pekerjaan yang didapatkan dari tiap 1%
peningkatan dalam keluaran riil – telah menjadi sangat popular di kalangan pembuat kebijakan ketika bicara
soal pengangguran. Secara umum disepakati bahwa elastisitas pekerjaan di Indonesia telah menurun sejak
krisis, dan banyak pengamat mengaitkan lambatnya pertumbuhan pekerjaan pada menurunnya elastisitas
pekerjaan.
Sejumlah peneliti telah berupaya untuk mengestimasi elastisitas pekerjaan untuk perekonomian
Indonesia. Tabel 13 menyajikan beberapa estimasi terdahulu oleh Paauw (1991) dan Gijsberts (1992). Estimasi-
68
estimasi ini diperoleh dengan menggunakan dua titik akhir yang umumnya disebut pendekatan ‘deskriptif’
dan dikenal sebagai elastisitas ’arc’. Seperti dapat dilihat, ada variasi yang luas dalam estimasi-estimasi tersebut
tergantung dari pilihan titik akhirnya dan metode (geometrik vs. simpel) yang digunakan untuk perubahan
persentase rata-rata. Jadi proyeksi pekerjaan yang diperoleh dari estimasi-estimasi ini dapat menyesatkan.63
Jadi, Lim (1997) menyarankan pendekatan regresi untuk mengestimasi elastisitas pekerjaan. Beliau
menspesifikasikan fungsi pekerjaan sebagai berikut:
Di mana E(t) adalah pekerjaan di periode t, Q(t) adalah keluaran di periode t, E(t-1) adalah pekerjaan di
periode sebelumnya dan T adalah tren waktu.
Pekerjaan periode sebelumnya dimasukkan dalam persamaan ini atas dasar bahwa keputusan pekerjaan
ditentukan oleh tingkat pekerjaan yang sudah ada. Yakni, apakah para pekerja baru akan direkrut di periode
berikutnya tergantung pada berapa banyak pekerja yang dipunyai perusahaan pada periode ini. Tren waktu
diperkenalkan sebagai proksi untuk perubahan teknologi.
Menggunakan formulasi di atas, Lim mendapatkan estimasi elastisitas pekerjaan di tingkat 3 digit untuk
sektor manufaktur untuk periode 1975-89. Estimasi agregat untuk sektor manufaktur secara keseluruhan
adalah 0,37 dalam kasus persamaan (1) dan 0,2 dalam kasus persamaan (2). Estimasi yang menggunakan
persamaan (1) tidaklah signifikan secara statistik, namun estimasi yang diperoleh dari persamaan (2) signifikan
di tingkat 5%.
Menarik untuk dicatat bahwa penggunaan tren waktu untuk menangkap kemajuan teknologi membuat
elastisitas menjadi signifikan. Jadi, kelihatannya kemajuan teknologi tidaklah menghemat pekerja. Namun,
elastisitas yang diestimasi justru rendah untuk periode di mana pekerjaan manufaktur tumbuh cukup pesat.64
Islam dan Nazara (2000) menggunakan pendekatan deksriptif dan regresif. Estimasi mereka disajikan
di Tabel 15. Sekali lagi, ada kesenjangan yang besar diantara kedua pendekatan tersebut. Pendekatan regresi
secara umum menghasilkan estimasi yang lebih besar; sektor pertanian ditemukan sebagai pekerjaan yang
paling elastik diikuti oleh sektor jasa dan perdagangan. Namun, elastisitas pekerjaan yang sangat tinggi
63 Lihat Lim (1997) serta Islam dan Nazara (2000) untuk diskusi tentang keterbatasan metode deskriptif untuk mengestimasi elastisitas
pekerjaan.
64 Estimasi deskriptif atau dua poin dari Lim menunjukkan bahwa elastisitas pekerjaan dalam sektor manufakturing meningkat dari
0,27 untuk 1975-84 menjadi 0.46 untuk 1985-89.
69
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
tidak memberikan ruang yang cukup untuk pertumbuhan produktivitas. Elastisitas pekerjaan yang lebih dari
satu dalam sektor pertanian berarti bahwa produktivitas pekerja menurun.
Tabel 15: Elastisitas Pekerjaan Sektoral oleh Islam & Nazara (2000)
Islam dan Nazara juga menggunakan faktor sisi permintaan. Yakni bahwa pekerjaan sektoral adalah
fungsi dari keluaran sektoral sekaligus juga total keluaran. Secara sempit, elastisitas pekerjaan sektoral hanya
boleh mempertimbangkan pertumbuhan keluaran sektoral. Teknik I-O adalah alat yang lebih baik untuk
menguji dampak perubahan dalam permintaan akhir dalam keluaran dan pekerjaan sektoral.
Pekerjaan Primer dan non-Primer yang dimunculkan oleh Ekspor Manufaktur, 1985-95
Industri berat & kimiawi 152,954 (9.0) 336,350 (7.0) 471,139 (8.1)
70
Suryadarma, Suryahadi dan Sumarto (2007) mengestimasi pertumbuhan pekerjaan sebagai fungsi
pertumbuhan keluaran sektoral tertimbang oleh bagian keluaran sektoral dalam PDB dan tingkat partisipasi.
Mereka juga membedakan antara keluaran dan pekerjaan sektoral di perkotaan dan pedesaan. Estimasi
mereka dari analisa regresi disajikan dalam Tabel 16.
Yang menarik adalah bahwa pertumbuhan industri perkotaan menyebabkan penurunan pertumbuhan
pekerjaan di pedesaan, sejalan dengan hipotesa Lewis. Namun sulit untuk menginterpretasikan mengapa
pertumbuhan industrial perkotaan tidak punya dampak pada pekerjaan total kecuali bahwa pekerjaan
perkotaan meningkat hingga 0,45% karena satu persen peningkatan dalam keluaran industrial perkotaan.
Juga, pertumbuhan pedesaan tidak punya dampak pada pekerjaan perkotaan. Tambahan lagi, penggunaan
tingkat partisipasi angkatan kerja dalam fungsi pekerjaan patut dipertanyakan. Dalam surplus ekonomi tenaga
kerja (pengangguran), pekerjaan tidaklah ditentukan oleh suplai (tingkat partisipasi) melainkan oleh
permintaan. Di sisi lain, tingkat partisipasi dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan pekerjaan. Yakni, pertumbuhan
pekerjaan yang lebih tinggi bisa mendorong banyak orang untuk masuk bergabung dengan angkatan kerja.
Demikian pula pertumbuhan pekerjaan yang lambat akan mencegah banyak orang untuk melakukan hal itu.
Tambahan lagi, tingkat partisipasi tenaga kerja dan perubahan dalam bagian populasi dalam provinsi,
digunakan sebagai variabel kontrol, tidak punya banyak variasi dari tahun ke tahun untuk bisa membedakan
keseluruhan ketepatan model.
Perkotaan
Pertumbuhan PDB Agri 0.33 2.10** -0.20
Pertumbuhan PDB Industrial 0.01 0.45** -0.11**
Pertumbuhan PDB Jasa 0.19** 0.58** 0.07
71
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Karena keterbatasan estimasi yang tersedia seperti dinyatakan di atas, studi ini berupaya untuk
mengestimasi elastisitas pekerjaan sektoral dari model teoretis yang lebih kuat dan dengan menggunakan
metode ekonometrik yang lebih baik, yakni pendekatan regresi data panel.
Model
Dalam membangun fungsi pekerjaan, diasumsikan bahwa perusahaan memimalisasi biaya tergantung
dari tingkat keluaran yang ada. Jadi, fungsi ini mengikutkan dua karakteristik utama dari permintaan pekerja,
yakni, diambil dari permintaan (untuk tingkat keluaran yang ada) dan pemaksimalan keuntungan (atau
peminimalisasian biaya) oleh pengusaha yang merekrut pekerja dengan menimbang upah yang harus
dibayarkan dibandingkan dengan harga yang diterimanya untuk produknya (yakni upah riil).65 Tambahan
lagi, keputusan pekerjaan, khususnya di sektor modern, adalah keputusan marginal, yang berubah dari
tingkat saat ini.66 Jadi, model ini menggambarkan bahwa pekerjaan adalah fungsi dari keluaran, upah riil dan
pekerjaan terdahulu. Pekerjaan terdahulu (lagged employment) dimasukkan untuk menangkap “histeresis”
atau sifat ketergantungan pada masa lampau dari pasar kerja.67
di mana
RW : Upah produk riil (upah nominal sektoral digembosi/dideflasi oleh deflator PDB riil sektoral)
Elastisitas pekerjaan dalam hal keluaran ditandai oleh ß1. Jadi, pekerjaan (E) akan meningkat sebesar ß1
% jika keluaran (Y) meningkat hingga 1 %.
65 Baik minimalisasi biaya dan maksimalisasi keuntungan menghasilkan hasil yang sama dalam hal upah riil, yakni bahwa tingkat
optimal pekerjaan ditentukan dari dimana produk marginal dari pekerja setara dengan upah riil, menghasilkan kemiringan permintaan
yang menurun untuk kurva pekerja.
66 Sektor formal dikarakterisasi oleh pekerjaan jangka panjang dan perusahaan tidak mengambil pekerja baru di awal tiap periode
produksi.
67 Jadi, fungsi pekerjaan yang diajukan di sini adalah lebih kuat secara teoretis dibandingkan estimasi-estimasi lain yang ada untuk
elastisitas pekerjaan di Indonesia.
72
Data
Data pekerjaan dan upah diambil dari publikasi tahunan Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional),
sementara data PDB riil provinsi diambil dari terbitan rekening regional di BPS. Upah riil sektoral diperoleh
dengan cara menggemboskan upah nominal sektoral dengan deflator keluaran sektoral.
Unit observasinya adalah provinsi-tahun untuk tiap sektor ekonomi. Dua periode waktu dipakai, sebelum
dan sesudah krisis 1998. Untuk periode pra krisis, kami punya data untuk 1993-1997, kecuali 1995 karena
Sakernas tidak dilaksanakan tahun itu, dan untuk periode paska krisis, kami menggunakan periode 2000-
2006. Sifat data kami adalah panel (kombinasi dari lintas bagian dan time series) karena kami punya
pengamatan menurut provinsi dan tahun.
Metode Estimasi
Dalam mengestimasi data panel, ada dua teknik varian yang umum digunakan: dampak radom (random
effects/RE) dan dampak pasti (fixed effects/FE). Tes Hausman dipakai untuk melakukan tes statistik formal
untuk memilih metode estimasi yang paling sesuai.
Dibandingkan dengan studi-studi terdahulu tentang elastisitas keluaran pekerjaan, studi ini melakukan
perbaikan berikut ini:
Menggunakan divisi sektoral yang lebih mendetil, yakni delapan sektor. Studi-studi terdahulu (Islam
dan Nazara, 2000 serta Suryadarma, Suryahadi dan Sumarto, 2007, misalnya) hanya menggunakan
tiga sektor.
Menggunakan upah riil produk sektoral. Yakni upah nominal dideflasi oleh deflator keluaran sektoral
dan bukannya oleh CPI untuk merefleksikan keputusan rasio biaya-tunjangan dari keputusan pekerjaan.
Jadi, ini memberikan kita ‘elastisitas upah’ dari pekerjaan, juga dengan elastisitas keluaran. Ini adalah
studi pertama yang berusaha untuk mengestimasi elastisitas upah sektoral di Indonesia.
Menguji dua periode yang berbeda, pra dan paska 1998, untuk melihat perubahan dalam elastisitas
keluaran dari pekerjaan sebelum dan sesudah krisis.
Hasil
Keluaran sektoral ternyata merupakan penentu yang penting dari keluaran sektoral (Tabel 17). Pentingnya
upah riil dan pekerjaan yang terdahulu (lagged employment) bervariasi antar sektor dan antar kedua periode.
Secara umum pekerjaan yang terdahulu (lagged employment) adalah penting dalam sektor-sektor seperti
manufaktur, di mana hubungan pekerjaan lebih bersifat jangka panjang dibandingkan di sektor-sektor seperti
pertanian, di mana pekerjaan umumnya musiman.
Elastisitas keluaran pekerjaan menurun di semua sektor selama periode paska krisis. Penurunannya
cukup dramatis di beberapa sektor. Sektor jasa, keuangan dan perdagangan yang tumbuh dengan lebih
cepat di tahun-tahun belakangan ini, memiliki elastisitas keluaran pekerjaan yang sangat rendah dibandingkan
nilainya sebelum krisis. Hal ini menjelaskan pertumbuhan pekerjaan selama periode paska krisis. Namun,
penurunan dalam elastisitas keluaran pekerjaan tidaklah semata-mata berita buruk asal disebabkan oleh
peningkatan dalam produktivitas pekerja (lihat box 5).
73
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Catatan: ***, ** dan * masing-masing mengindikasikan tingkat signifikansi 1%, 5% dan 10%; masing-masing regresi punya nilai konstan.
FE adalah dampak tetap dan RE adalah dampak random. Untuk estimasi dampak tetap, R square yang valid adalah R2 di dalam dan
untuk estimasi dampak random R2 overall yang dipakai.
Bahkan, ada peningkatan yang substansial dalam produktivitas pekerja di sektor manufaktur sejak
tahun 2000. Adalah wajar untuk mengamati peningkatan produktivitas pekerja setelah suatu resesi besar
karena perusahaan yang efisien bertahan dan mereka mengetatkan pekerja selama masa pemulihan.
Produktivitas pekerja di sektor pertanian juga telah meningkat sejak 2003, mungkin karena sejumlah pekerja
yang pindah ke sektor itu selama krisis kini pindah ke kegiatan lain. Hal ini bisa juga karena sejumlah orang-
orang yang lebih terdidik memutuskan untuk tinggal dan terlibat dalam pertanian yang lebih modern.
74
Gambar 9: Produktivitas Pekerja di Manufaktur
12.0
10.0
6.0
4.0
2.0
0.0
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber: Dihitung dari data BPS
2.5
2.0
(pada 1993 haga tetap)
Mn Rp/pekerja
1.5
1.0
0.5
0.0
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber: Dihitung dari data BPS
Juga menarik untuk dicatat bahwa upah riil ternyata signifikan hanya untuk dua sektor – pertambangan
dan manufaktur. Hal ini berarti penurunan upah riil tidak akan menciptakan pekerjaan baru apapun di
kebanyakan sektor, apalagi di sektor padat karya seperti pertanian, jasa dan perdagangan. Di sisi lain, karena
tidak ada pertambahan murni dalam pekerjaan, penurunan upah riil akan menurunkan pendapatan pekerja.
Hal ini dengan demikian tidak hanya akan menciptakan lebih banyak ‘orang miskin bekerja’, tetapi juga
menekan pertumbuhan permintaan agregat dan karenanya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Jadi,
bahkan dalam hal sektor manufaktur, di mana penurunan pekerjaan - elastisitas upah riil lebih besar daripada
peningkatan pekerjaan – elastisitas keluaran, upah riil harus turun secara substansial demi menciptakan
sejumlah besar pekerjaan baru jika pertumbuhan pekerjaan dibatasi karena pertumbuhan yang tertekan.
Misalnya, untuk meningkatkan pekerjaan sektor manufaktur sebesar, misalnya 1,8% (lebih dari 200,000
pekerjaan baru di tahun 2008 untuk menyerap semua pendatang baru), upah riil harus turun sekitar 10%.
Hal ini akan berdampak sangat merugikan bagi tingkat kemiskinan ketika hampir separuh penduduk rentan
kemiskinan (hidup hanya di atau sedikit di atas garis kemiskinan).68
68 Suatu studi tentang Kenya yang mengasumsikan elastisitas pekerjaan-upah yang lebih tinggi yakni -0,6, menemukan bahwa untuk
menciptakan 190.000 pekerjaan sektor formal tambahan, rata-rata upah riil harus turun hingga 42%. Hasil upah rata-rata akan
menjadi 15% di bawah garis kemiskinan. Lihat, Robert Pollin et al [2007] “Wage Cutting in Kenya Will Expand Poverty, Not Decent
Jobs” International Poverty Centre, One Pager # 46. Tersedia online di: http://www.undp-povertycentre.org/pub/IPCOnePager46.pdf.
Laporan lengkap tersedia online di http://www.undp-povertycentre.org/publications/reports/Kenya.pdf
75
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Upah riil
Bertentangan dengan klaim sejumlah pengamat bahwa telah terjadi peningkatan tajam biaya tenaga
kerja selama masa demokrasi, data tidak menunjukkan peningkatan yang dramatis apapun dalam upah riil
sejak krisis. Ada peningkatan upah riil produk antara 2000 dan 2003, dan hal ini bisa jadi hanya faktor
pengejar saat ekonomi mulai pulih dari krisis seperti ditunjukkan dalam studi terkini oleh Islam dan Chowdhury
(2006). Namun sejak saat itu upah riil produk di kebanyakan sektor entah mandek atau menurun (Gambar
11). Upah riil yang disesuaikan dengan CPI jatuh secara signifikan sejak 2004 mengikuti dicabutnya subsidi
bahan bakar (Gambar 12). Hal ini paling mungkin merugikan standar hidup keluarga bekerja.
Gambar 11: Upah Riil Produk Sektoral (dideflasi berdasarkan deflator PDB sektoral)
800,000
700,000
600,000
500,000
Rp
400,000
300,000
200,000
100,000
-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Gambar 12: Upah Riil Konsumsi Sektoral (dideflasi berdasarkan CPI nasional)
700,000
600,000
500,000
400,000
Rp
300,000
200,000
100,000
-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
76
Suatu perbandingan tren dalam produktivitas pekerja dan upah riil produk mengungkapkan bahwa
telah terjadi penurunan dalam unit upah pekerja sejak 2003. Jadi sulit untuk mempertahankan argumen
bahwa peningkatan biaya pekerja telah menekan pertumbuhan pekerjaan.
Gambar 13: Unit Biaya Pekerja di Sektor Manufaktur dan Pertanian (1993 =100)
110
100
Unit indeks kerja (1993=100)
90
80
70
60
50
1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian Manufaktur
Satu cara menguji klaim bahwa rezim kepatuhan standar tenaga kerja telah meningkat tajam di Indonesia
dalam beberapa tahun belakangan ini adalah dengan memfokuskan diri pada persepsi komunitas bisnis.
Bagaimana mereka melihat dampak peraturan ketenagakerjaan pada iklim usaha di Indonesia? Berapa
pentingkah itu dibandingkan faktor-faktor lain yang memengaruhi iklim usaha? Apakah membaik atau
memburuk bersama dengan waktu dan relatif dibandingkan dengan negara lain? Kini ada sejumlah survei –
tiga diantaranya bersifat global – yang memungkinkan seseorang untuk mengekplorasi isu-isu ini dengan
lebih mendalam.69
Pertimbangkanlah survey ‘Doing Business’ dari Bank Dunia. Survei ini mendaftar sejumlah peraturan
pasar kerja sebagai salah satu saja dari sepuluh faktor yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘kemudahan
melakukan bisnis’ di mana Indonesia ada di ranking 123 dari 178 ekonomi. Implikasi jelasnya adalah bahwa
reformasi peraturan ketenagakerjaan tanpa menangani hambatan-hambatan lain hanya akan menghasilkan
dampak yang marjinal dalam memperbaiki iklim usaha. Lebih penting lagi, seperti ditunjukkan Tabel 14, nilai
dari indeks ‘kekakuan’ yang terkait dengan berbagai komponen untuk mempekerjakan pekerja adalah hampir
konstan antara 2003 dan 2007. Jika proksi untuk variabel penjelas utama, dalam hal ini kekakuan peraturan
pasar kerja, tetap tidak berubah dan bertindak pada dasarnya seperti parameter tetap, maka hal ini tidak
bisa dipakai untuk menjelaskan perubahan dalam pengangguran maupun dalam struktur pekerjaan.
69 Mengejutkan bahwa mereka yang mengingatkan akan perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan tidaklah membuat upaya
serius apapun untuk menjelaskan bagaimana perubahan tersebut dapat mempengaruhi persepsi iklim usaha secara merugikan.
77
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Walaupun indeks yang jelas dalam hal ‘Doing Business Survey’ dari Bank Dunia tetap konstan, gambaran
yang lebih optimistik muncul dari survei global lain. Dalam hal survei daya saing global yang ternama
seperti yang dilaksanakan oleh World Economic Forum untuk 2007-2008, Indonesia berada di ranking ke 50
dari 131 negara – suatu perbaikan 19 tingkat dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam indeks agregat tersebut,
Indonesia berada di ranking 30 dari 131 negara dalam hal ukuran ‘efisiensi pekerja’, sekali lagi menunjukkan
perbaikan yang berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Gambar 14 menggambarkan kemajuan
Indonesia antara 2000 dan 2007 dalam hal ‘indeks daya saing global’ dari World Economic Forum’s ‘global
competitiveness index’, di mana ranking Indonesia sesungguhnya diekspresikan sebagai fraksi dari keseluruhan
jumlah observasi. Fraksi yang menurun ditunjukkan sebagai perbaikan dalam ranking relatif Indonesia dalam
hal daya saing.70 Kenyataan bahwa kemajuan yang tetap ini terjadi meskipun ada Undang-undang
Ketenagakerjaan 2003 adalah cukup mengejutkan, yakni karena tuduhan standar bahwa pasar kerja yang
lebih diatur berarti bahwa lingkungan usahanya kurang kompetitif.
Gambar 14
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005
Sumber: Dihitung dari World Economic Forum, Global Competitiveness Index, berbagai tahun
Namun survey global lain yang diproduksi oleh Fraser Institute dapat dipakai untuk melacak apakah
peraturan ketenagakerjaan telah memburuk dalam tahun-tahun belakangan ini. Tren yang muncul adalah di
mana keseluruhan indeks peraturan ketenagakerjaan sebenarnya telah membaik antara 2000 dan 2005,
70 Tentu saja, ranking relatif seperti diukur di sini dapat menunjukkan perbaikan meskipun tidak ada peruahan dalam ranking absolut.
Misalnya, jika suatu negara memiliki ranking 75 dari 100, posisi relatifnya akan membaik hanya karena peningkatan jumlah observasi,
misalnya, 75 dari 120 negara, jika observasi tambahan diranking di bawah negara. Dalam kasus Indonesia, seseorang mengamati
perbaikan dalam ranking absolut maupun relatif.
78
bersamaan dengan keseluruhan perbaikan dalam ‘Kebebasan Ekonomi’ di periode yang sama.71 Seperti
dalam kasus “Survei Doing Business” dan survei WEF, peraturan tenagakerja mewakili hanya satu komponen
dari banyak komponen yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘Kebebasan Ekonomi’ seperti diklaim oleh
para pengarangnya untuk memengaruhi pertumbuhan dan standard hidup. Jadi karenanya, bahkan bila ada
perubahan radikal dalam peraturan ketenagakerjaan yang membuat Indonesia menjadi negara paling ‘ramah
usaha’ di dunia, dampaknya ke indeks ‘Kebebasan Ekonomi’ hanya kecil saja bila komponen-komponen lain
tetap tidak diubah.
Gambar 15
71 Bahan-bahan utama kebebasan ekonomi, seperti dikonseptualisasi oleh Fraser Institute adalah: pilihan personal, pertukaran pasar
secara sukarela, kebebasan untuk masuk dan bersaing dalam pasar, perlindungan manusia dan properti dari agresi pihak lain.
Indeks ini terdiri dari 5 sub-indeks: ukuran pemerintah; uang yang ‘sound’; struktur hokum dan jaminan hak property; perdagangan
bebas, peraturan tenaga kerja, kredit dan usaha. Indeks-indeks ini memiliki nilai maksimum 10, mewakili nilai terbaik. Almarhum
Nobel Laureate Milton Friedman, sesepuh neoliberal, diasosiasikan dengan karya besar institut ini.
79
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Seseorang kini dapat melihat pada survei spesifik tentang Indonesia untuk mendapatkan informasi
yang berkaitan dengan perubahan dalam iklim usaha. Survei-survei persepsi investor oleh ADB maupun
Universitas Indonesia menunjukkan bahwa masalah ketenagakerjaan tidaklah merupakan kekhawatiran teratas
dari para investor. Masalah tersebut biasanya menempati posisi tengah dalam daftar 12 faktor yang dilihat
sebagai pengaruh utama dari iklim investasi. Survei 2007 tentang iklim investasi oleh Universitas Indonesia
mengungkapkan bahwa hanya sejumlah kecil perusahaan (20 persen dan kurang) mengalami masalah-
masalah terkait dengan pekerja dan proporsi ini menurun antara tahun 2006 dan 2007. Lebih jauh lagi,
survei yang sama menunjukkan bahwa biaya penangangan masalah pekerja tersebut meningkat sedikit dari
3,5 persen menjadi 4,5 persen dari biaya produksi total antara 2005 dan 2006, namun menurun hingga 2007
– lihat gambar 7.2.
Gambar 17
Persentase Responden yang mengalami Masalah Kerja Biaya Penanggulangan Masalah Kerja (% Biaya Keseluruhan
Produksi)
25
20 5
15 4.5
%
4
10
3.5
5 3
%
0 2.5
menuntut unjuk rasa masalah konflik mogok 2
gaji lebih pekerja jaminan sosial dengan kerja 1.5
besar serikat pekerja 1
0.5
0
pertengahan 2005 akhir 2005 pertengahan 2006 akhir 2007 pertengahan 2005 akhir 2005 pertengahan 2006 akhir 2007
Di Indonesia, daerah-daerah diberi wewenang untuk menentukan sendiri upah minimumnya dalam
ketentuan panduan nasional. Ternyata, selama tahun 2005-2006 upah minimum meningkat lebih pesat (rata-
rata 9.2%) di provinsi dengan konsentrasi pengangguran yang tinggi (tingkat pengangguran di atas rata-
rata nasional). Di provinsi dengan tingkat pengangguran yang leibh rendah, rata-rata pertumbuhan upah riil
adalah 7,8%. Hal ini bisa dilihat sebagai pendukung klaim bahwa upah minimum dan biaya-biaya tenaga
kerja lain, seperti pesangon dan kondisi, adalah membahayakan pertumbuhan pekerjaan.
Namun, hubungan antara upah minimum dan pekerjaan lebih kompleks. Untuk memulai, tidak ada
hubungan yang jelas antara upah minimum rata-rata dan upah rata-rata di sektor manufaktur, misalnya, di
mana masalah seperti ini paling penting. Hubungannya tidaklah terlalu kuat ketika upah riil produk
dipertimbangkan juga.
80
Gambar 18
900,000 600,000
800,000
500,000
700,000
600,000 400,000
500,000
300,000
400,000
300,000 200,000
200,000
100,000
100,000
0 -
2001 2,002 2003 2,004 2005 2,006 2001 2,002 2003 2,004 2005 2,006
Rata-rata Upah Minimum Rata-rata Upah Manufaktur Rata-rata Upah Minimum Rata-rata Upah Manufaktur
Seseorang dapat berkata bahwa menggunakan bukti agregat tidaklah memadai untuk memecahkan
kritik akan validitas bahwa peraturan ketenagakerjaan saat ini akhirnya merugikan kepentingan pekerja biasa.
Evaluasi statistik yang kuat dibutuhkan di sini. Satu cara melaksanakan evaluasi macam itu adalah dengan
mempertimbangkan beberapa studi ekonometrik yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi konsekuensi-
konsekuensi pekerjaan dari upah minimum.
81
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Islam dan Nazara [2000] ‘Minimum Wages and the Penemuan statistik tentang hubungan antara upah
Welfare of Workers’, ILO Occasional Paper No.3, Jakarta minimum dan pekerjaan adalah ambivalen dan
dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi. Elastisitas
pekerjaan dalam hal pertumbuhan output biasanya
jauh lebih tinggi dibandingkan elastisitas pekerjaan
dalam hal upah.
Alatas dan Cameron (2003) The Impact of Minimum Tidak ada dampak yang signifikan secara statistik dari
Wages on Employment in a Low-Income Country: An upah minimum pada pekerjaan di perusahaan besar
Evaluation using the Difference-in-Difference di sektor formal, namun potensi penciptaan pekerjaan
Approach’, World Bank Policy Research Working Paper di perusahaan yang lebih kecil akan terluka karena
No 2985, March, Washington DC: World Bank kenaikan upah minimum
SMERU (2003) ‘Wage and Employment Effects of Peningkatan dua kali lipat upah minimum mengurangi
Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Labour pekerjaan secara keseluruhan hingga sekitar 10 persen,
Market’, SMERU Research Report namun hal ini tidak valid untuk pekerja kerah putih.
Efek pekerjaan yang negatif adalah lebih tinggi untuk
pekerja yang rentan (muda, perempuan, tidak terampil/
kurang terdidik)
Widianto[2003] ‘Making the most of minimum wage Upah minimum mengurangi keseluruhan
policy’, BAPPENAS, Jakarta pertumbuhan pekerjaan. Peningkatan 15% upah
minimum mengarah pada hilangnya 298.000 pekerjaan
Rama (1996) ‘The consequences of doubling the Peningkatan dua kali lipat upah minimum mengurangi
minimum wage: the case of Indonesia’, World Bank pekerjaan sekitar 10 persen. Hasil terbaru menunjukkan
Policy Research Paper no.164Rama [2001] as cited in dampak yang lebih kecil (paling bagus 5%). Sekali lagi,
Sugiyarto and Enriga efeknya tidak ada untuk kasus perusahaan besar.
A.Harrison dan J. Scorse [2005] ‘Improving the Analisa tingkat perusahaan menunjukkan bahwa
Conditions of Workers? Minimum wage legislation and peraturan perundangan soal upah minimum dan anti
anti-sweatshop activism’, October, UC Berkely/NBER eksploitasi‘‘antisweatshop’ mengarah pada
and Monterey Institute of International Studies peningkatan upah riil yang tajam di tahun 1990-1996
namun dibarengi dengan peningkatan yang besar
dalam upah dan pekerjaan di sektor TFA, yang
digerakkan oleh perusahaan asing berorientasi ekspor.
Keseluruhan pekerjaan menurun; menurut estimasi
bahwa peningkatan dua kali lipat upah minimum
mengarah pada penurunan pekerjaan 12-18 %
G.Sugiyarto dan B. Enriga [2007]’Does Minimum Wage Data di tingkat perusahaan untuk 2003-4 menunjukkan
Reduce Employment and Training’, ADB and University bahwa pekerjaan di sektor manufaktur menurun
of Philippines, Los Banos hingga 2,5 persen jika upah minimum dinaikkan dua
kali lipat. Pelatihan yang disediakan untuk pekerja juga
menurun jika upah minimum meningkat dua kali lipat.
Hasil yang dilaporkan hanya valid untuk pekerja tidak
terampil, dan tidak untuk pekerja terampil.
Proyeksi Pekerjaan
Tujuan utama dari proyeksi pekerjaan adalah untuk mengetahui dampak pekerjaan dari kinerja
pertumbuhan. Dalam hal ini, ada dua pilihan: (i) apa dampak pekerjaan jika kinerja pertumbuhan saat ini
bisa dipertahankan di tahun-tahun mendatang, dan (ii) berapa tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan
(keseluruhan dan menurut sektor) untuk mencapai penurunan tertentu dalam pengangguran di titik waktu
tertentu (atau untuk mencapai sasaran pekerjaan/pengangguran di suatu waktu tertentu). Proyeksi dapat
dilakukan dengan dua tahapan.
82
Tahap 1: Mengestimasi keluaran elastisitas pekerjaan
Tugas ini dilakukan dengan berbagai regresi. Untuk maksud proyeksi, kami menggunakan elastisitas
keluaran dari pekerjaan untuk tiap sektor ekonomi di periode paska krisis, 2000-2006 (Tabel 16, Panel A,
kolom 2).
Tahap 2: Simulasi
Menggunakan elastisitas pekerjaan yang diangkat dari Tahap 1, kami melakukan simulasi. Untuk sampai
pada dampak pekerjaan secara keseluruhan dari tingkat pertumbuhan ekonomi keseluruhan, kami mengikuti
proses berikut:
a) Menghitung dampak pekerjaan dari pertumbuhan keluaran dalam tiap sektor ekonomi (menggunakan
skenario pertumbuhan yang berbeda), dan dengan menjumlahkan semua sektor, kami mendapatkan
keseluruhan dampak pekerjaan.
% ΔE j (1)
qj =
% ΔY j
% ΔE tj =q j .% ΔY jt (2)
θ j adalah elastisitas output dari pekerjaan di sektor j, % ÄE j adalah persentase kenaikan dalam
pekerjaan di sektor j, % ÄY j adalah persentase kenaikan dalam output di sektor j, dan t menandai
waktu (tahun).
Dan pada saat yang sama,
b) Kami menghitung total jumlah angkatan kerja menggunakan tingkat pertumbuhan angkatan kerja
paska krisis (2000-2006), dengan formula berikut ini:
LFt +1 = LFt (1 + i ) t
Berdasarkan data Sakernas yan g sesungguhnya untuk periode 2000-2006, kami menemukan bahwa
nilai i adalah 0,018, yang berarti bahwa tingkat pertumbuhan angkatan kerja tahunan adalah 1,8%. Maka,
jumlah angkatan kerja untuk tahun berikut dapat dihitung.
Kemudian, jumlah pengangguran adalah selisih antara jumlah angkatan kerja (nilai yang terproyeksi
diambil dari (b)) dan total pekerjaan (nilai proyeksi berdasarkan (a)). Dengan membagi jumlah pengangguran
dengan jumlah angkatan kerja, kami mendapatkan proyeksi tingkat pengangguran.
Hasil proyeksi 1: Apa yang akan menjadi dampak pekerjaan jika kinerja pertumbuhan saat ini dapat
dipertahankan hingga 2009? Berdasarkan pada Tabel 17, menurut skenario ini, tingkat pengangguran di
Indonesia diproyeksikan berada pada 7,3% hingga 2009.
83
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
1)
Angkatan kerja 106.4 108.3 110.3 112.2
Ketenagakerjaan- total 95.5 98.2 101.1 104.1
Pengangguran - total 10.9 10.1 9.2 8.2
Pengangguran - % 10.3 9.3 8.3 7.3
1)
Proyeksi untuk angkatan kerja didasarkan pada tingkat pertumbuhan angkatan kerja tahunan pada 1,8% selama 2000-06.
Hasil proyeksi 2: Jika Indonesia ingin mencapai tingkat pengangguran 5,1% yang diinginkan di 2009,
berapa tingkat pertumbuhan yang diperlukan untuk keseluruhan ekonomi dan bagaimana tingkat
pertumbuhan keseluruhan yang dibutuhkan tersebut diterjemahkan dalam tingkat pertumbuhan sektoral?
Berdasarkan Tabel 20, untuk mencapai target tingkat pengangguran 5,1% di 2009, keseluruhan ekonomi
perlu tumbuh 7,2% per tahun dan tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan untuk tiap sektor ekonomi tersaji
dalam kolom 4.
84
Box 5: Pertumbuhan Pekerjaan & Produktivitas: Apakah elastisitas pekerjaan adalah jawabnya?
II Kisaran
Produksi
yang
Mungkin
I III
e<1
e>1
L0 L* MP AP
e=1
Antara L0 dan L*, pekerjaan meningkat sejalan dengan peningkatan dalam elastisitas pekerjaan dan
bersamaan dengan peningkatan dalam AP meskipun dengan tingkat yang lebih lambat. Namun
setelah L*, elastisitas pekerjaan ada dalam kelebihan persatuan, namun AP menurun sejalan dengan
peningkatan pekerjaan. Jadi L* menentukan batas ekspansi pekerjaan melalui peningkatan elastisitas
pekerjaan.
Ekspansi pekerjaan di luar E* harus datang dari pertumbuhan yang digerakkan oleh TFP, atau upgrading
teknologi. Hal ini kedengaran paradoks karena teknologi biasanya dianggap menggantikan pekerja.
Upgrading teknologi atau pertumbuhan yang digerakkan oleh TFP memindahkan fungsi produksi ke
atas. Jadi, baik MP dan AP akan naik, memindahkan batas ekspansi pekerjaan (L*) ke kanan seperti
ditunjukkan dengan garis putus-putus dalam gambar di atas.
Yang menarik, pada tiap tingkatan pekerjaan, elastisitas pekerjaan paska kemajuan teknologi adalah
lebih rendah daripada kemajuan sebelum teknologi. Yakni, pekerjaan dapat ditingkatkan bahkan
ketika elastisitas pekerjaan menurun jika ada pertumbuhan TFP.
Namun apakah pertumbuhan TFP akan cukup tinggi untuk menyerap peningkatan angkatan kerja
dan juga mereka yang kehilangan pekerjaan karena kurang keterampilan untuk melakukan kegiatan
yang baru?
Jawabannya akan cenderung tidak, karena catatan litbang yang ada dan kualiatas pendidikan di
Indonesia yang buruk.
85
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Audit Kebijakan
Latihan simulasi mengindikasikan bahwa untuk mencapai target pengangguran, ekonomi perlu tumbuh
lebih dari 7%, tingkat yang dialami selama era sebelum krisis. Karena keterbatasan pertumbuhan yang
digerakkan oleh faktor melalui akumulasi dan kapabilitas teknologi Indonesia yang terbatas, kelihatannya
tidak mungkin bahwa pertumbuhan akan melebihi tingkat sekarang yang 5-6%. Tingkat pertumbuhan yang
diramalkan oleh Bank Dunia adalah 6,3% untuk 2007 dan 6,4% untuk 2008. Jadi, pemerintah perlu mengambil
pendekatan aktivis yang lebih dan bukannya hanya tergantung pada pertumbuhan untuk penciptaan
pekerjaan.
Bagian ini menawarkan catatan singkat dari beragam inisiatif kebijakan yang diambil oleh pemerintah
Indonesia.
Diskusi ini menawarkan catatan singkat akan kebijakan moneter dan fiskal serta implikasinya bagi
penciptaan pekerjaan. Gambar 19 memberikan perspektif sejarah dari hubungan antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Seperti dapat dilihat, inflasi dan pertumbuhan ekonomi saling
berhubungan secara negatif hanya ketika tingkat inflasi luar biasa tinggi seperti selama krisis ekonomi 1997-
98. Ekonomi tumbuh rata-rata 7% bahkan ketika tingkat inflasi sekitar 10% per tahun.
80
70
60
50
40
%
30
20
10
0
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
-10
-20
Seseorang dapat membuat dua pengamatan tentang tingkat suku bunga BI sekarang berdasarkan
kebijakan penargetan inflasi. Pertama, di kebanyakan tahun BI gagal untuk target inflasinya. Yakni, instrument
suku bunganya tidak cocok untuk jenis inflasi yang dimiliki Indonesia.72 Kedua, dalam upaya mencapai
targetnya dengan instrumen yang tidak efektif, BI harus mempertahankan rezim suku bunga tinggi. Suku
bunga tinggi tidak hanya memengaruhi biaya modal secara langsung, tetapi juga mendorong bank-bank
komersil untuk menanamkan dananya dalam obligasi BI yang aman (SBI) dan bukannya meminjamkannya
kepada bisnis. Menariknya tingkat SBI bertanggung jawab atas rendahnya rasio pinjaman-deposit (LDR),
yang 50% di tahun 2004. Meskipun sejak saat itu LDR meningkat, angkanya masih rendah yakni 63,6%.73
72 Dalam update November 2007 (hal 11), Bank Dunia mencatat, “Seperti banyak…negara-negara lain, harga komoditas yang lebih
tinggi telah mendorong naik harga makanan dan inflasi konsumer.” Jadi, kelihatannya inflasi di Indonesia memiliki elemen dorongan
biaya yang kuat.
86
Jadi, suku bunga berdasarkan kebijakan penargetan inflasi kelihatan lebih merugikan iklim investasi
daripada inflasi itu sendiri, khususnya untuk UKM yang padat karya yang umumnya sangat tergantung pada
pembiayaan dari bank baik untuk modal lancar maupun ekspansinya. Kebijakan suku bunga tinggi juga
mendorong masuknya modal dan dengan begitu mendorong nilai tukar naik yang merugikan sektor ekspor.
Jadi, bisa dikatakan bahwa target inflasi yang lebih santai konsisten dengan pengalaman sejarah Indonesia
diperlukan untuk menyerap tumbuhnya angkatan kerja.
Lebih jauh lagi, kebijakan suku bunga yang tinggi untuk memberantas inflasi jenis pendorong biaya
(utamanya karena harga makanan yang meninggi) secara tidak proporsional memengaruhi kaum miskin
dalam populasi. Pertama, kebanyakan orang miskin adalah penghutang murni dan karenanya pembayaran
bunga yang lebih tinggi atas hutang-hutangnya mendorong mereka untuk mengurangi pengeluaran atas
kebutuhan penting yang lain seperti kesehatan dan pendidikan. Kedua, sektor UKM di mana kebanyakan
orang miskin yang tidak terampil bekerja, merespon pada harga yang lebih tinggi dari pinjaman dengan
cara menurunkan jumlah pekerjaan atau dengan mengurangi biaya upah. Dalam kasus manapun, pekerja
tidak terampil yang miskin berada di posisi yang memburuk.
Kebijakan fiskal juga selama ini konservatif. Segera setelah krisis, hutang pemerintah meningkat dramatis
karena rekapitalisasi bank, dan hal ini membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai infrastruktur.
Jadi, Indonesia mengalami kerusakan yang pesat dari infrastrukturnya yang kini diidentifikasi sebagai salah
satu faktor teratas yang memengaruhi iklim investasi. Dalam tahun-tahun belakangan, situasi fiskal telah
membaik sejalan dengan penurunan beban hutang pemerintah dari yang tertinggi hampir mendekati 80%
di tahun 2000 menjadi sekitar 35% PDB di 2006. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk melonggarkan
kebijakan fiskalnya sedikit; namun defisit anggaran waktu itu kurang dari satu persen PDB (0,5% di 2005 dan
0,9% PDB di 2006). Defisit diproyeksikan untuk meningkat menjadi 1,5% PDB di tahun 2007. Peningkatan
yang diproyeksikan dalam defisit anggaran adalah karena keputusan pemerintah untuk menambah proyek
infrastruktur besar yang tidak hanya akan menciptakan lapangan kerja, tetapi juga diharapkan memperbaiki
iklim investasi.
Seseorang dapat mengatakan bahwa karena uduk masalah dan perlunya penciptaan lapangan kerja
melalui investasi infrastruktur publik, kedudukan fiskal tidaklah terlalu konservatif. Namun, karena faktor-
faktor kelembagaan, seperti tidak sinkronnya proses anggaran dan siklus pengeluaran antara pemerintah
pusat dan daerah, bahkan defisit anggaran yang kecil pun tetap tidak terwujud. Kita dapat juga menunjuk
bahwa dalam usaha menyeimbangkan anggaran, pemerintah terlalu terfokus pada pemotongan anggaran.
Padahal seharusnya pemerintah lebih terfokus pada peningkatan pendapatan melalui cara-cara pengumpulan
pajak yang inovatif. Pajak-PDB Indonesia tergolong cukup rendah dibandingkan negara-negara ASEAN.
Keseluruhan dampak dari kedudukan kebijakan makro ekonomi yang terlalu berhati-hati adalah
terhambatnya pertumbuhan komponen pengeluaran agregat. Hal ini tercermin dalam surplus di current
account dari balance of payments yang mencapai 9,9 milyar dollar AS di tahun 2006.74 Tambahan lagi pada
surplus current account adalah surplus capital account yang dipancing oleh kebijakan suku bunga tinggi.
Jadi, cadangan devisa negara meningkat hingga 50% sejak pertengahan 2005 mencapai 52,9 milyar dollar
AS di akhir September 2007.75 Surplus dalam keseluruhan balance of payments menyebabkan apresiasi riil
rupiah yang cukup besar yang mengikis daya saing Indonesia dalam ekspor padat karya (Gambar 20).
87
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Sumber: Bank Dunia, Indonesia: Economic and Social Update, November, 2007, Gambar 8
Kesimpulannya, kedudukan kebijakan makro ekonomi selama ini sangat tidak kondusif untuk sektor riil
ekonomi. Kami percaya bahwa kebijakan makro ekonomi seharusnya tidak semata ditujukan pada stabilitas
variabel-variabel nominal seperti inflasi, defisit anggaran dan nilai tukar nominal. Kebijakan-kebijakan makro
ekonomi juga harus ditujukan pada sasaran-sasaran nyata, seperti pekerjaan dan pengurangan kemiskinan.
Hal ini karena, seperti telah ditunjukkan oleh pengalaman, stabilitas nominal variabel-variabel makro mungkin
diperlukan tetapi tidaklah cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Kelihatannya pemerintah telah menyadari hal ini dan telah mengambil sejumlah program di tahun-
tahun terkini untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini termasuk reformasi kebijakan dan
kelembagaan, kredit tersubsidi untuk UKM serta diversifikasi pertanian (khususnya perkebunan), perluasan
nasional Program Pembangunan Kecamatan dan program-program spesifik untuk penciptaan pekerjaan
untuk kaum muda. Dalam sisa diskusi ini, kami akan menyoroti fitur-fitur yang menonjol dari sejumlah
program ini.
88
Hak penanaman di tanah milik pemerintah yang bisa dipergunakan sebagai jaminan kredit
Kesetaraan yang lebih besar antara investasi dari luar dan dalam negeri
Pembaharuan daftar investasi yang negatif
Pengurangan birokrasi yang berbelit (red tape)
Pembaharuan peraturan daerah yang tumpang tindih, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan
Insentif-insentif fiskal – pengecualian pajak untuk mesin-mesin yang diimpor; pengurangan pajak dalam
perusahaan
Pemerintah memiliki kebijakan industrial aktif yang dirancang dengan konsultasi bersama pemerintah
daerah dan Kamar Dagang (KADIN).
Pemerintah daerah mengidenfikasi industri-industri yang potensial berdasarkan sumber daya alam
daerah mereka. Pemerintah pusat menyediakan bantuan. Kesemuanya sebagian besar adalah UKM
dan padat karya.
Dari 332 industri, yang masuk ke daftar pendek pemerintah 32 dan dari jumlah itu dipilih satu klaster
terdiri dari 10 sebagai industri prioritas. Industri prioritas adalah: agro industri, industri telematik, industri
transport, industri materi dasar, industri barang-barang modal, industri komponen, industri barang
konsumer, sumber daya alam yang dapat diperbarui, sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui
Industri-industri prioritas ini akan menikmati sejumlah proteksi dan tetap berada di luar beragam wilayah
perdagangan bebas (FTA).
Kebijakan industrial menekankan kaitan dan sinergi antara perusahaan besar dan UKM.
Ada pula fokus pada litbang
Sektor industrial diharapkan tumbuh hingga 8,56% per tahun selama 2005-2009.
Peranan industri non migas diharapkan meningkat menjadi 26% dari PDB.
89
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Pertumbuhan industri yang diharapkan selama 2010-2025 adalah 10% per tahun, menghasilkan
peningkatan bagian PDBnya menjadi 35%.
Diharapkan untuk menyerap 2.635.690 pekerja atau 13,6% dari angkatan kerja, yang lebih tinggi daripada
pekerjaan yang diproyeksikan sebesar 2,4 juta dalam Rencana Ketenagakerjaan Nasional 2004-2009.
Pembangunan UKM
Di tahun 2005 UKM berjumlah 3,28 juta unit; menyerap 8,4 juta pekerja; barang ekspor bernilai 8,5
milyar dollar AS, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 7,5%. Targetnya adalah untuk memiliki 3,95 juta unit
sampai 2009 dengan pekerjaan 10,3 juta.
Presiden meluncurkan pada 5 November 2007, program UKM dan perusahaan mikro dengan
merekapitalisasi ASKRINDO dan SPU.
70% dari pinjaman mereka untuk UKM dan perusahaan mikro dijamin oleh pemerintah.
Premi yang dijamin dimasukkan dalam anggaran pemerintah.
Tingkat pinjaman maksimum adalah 16% yang berarti lebih tinggi sedikit dari tingkat untuk korporasi
(sekitar 13%), namun masih lebih sedikit dibandingkan tingkat keuangan mikro di daerah (25-30%).
Sekarang ada kredit macet sekitar Rp 17 trilyun melibatkan 1,40,000 usaha UKM dan mikro – hasil
langsung dari krisis. ASKRINDO & SPU akan menebus mereka. Jika 50 % dari perusahaan-perusahaan
ini hidup lagi karena program tebusan itu dan jika tiap perusahaan mempekerjakan empat orang maka
akan ada 280.000 (=70.000 x 4) pekerjaan baru. Maka akan ada lebih banyak pekerjaan baru melalui
efek penggandaan yang biasa..
Program ini menyediakan pekerjaan dan penghasilan pelengkap, bukan pekerjaan reguler penuh waktu.
Paling bagus program ini akan menyediakan 60 hari kerja.
Program ini menyediakan sedikit saja pekerjaan untuk pekerja professional, teknis, atau kelas menengah.
Hampir semua pekerjaannya adalah untuk pekerja tidak terampil atau rendah keterampilan.
Program ini tidak dapat membantu keluarga yang tidak punya siapapun di dalam angkatan kerja.
90
setempat – pemerintah daerah juga ambil bagian dalam mengidentifikasi peluang usaha.
Memberikan benih dana sebesar Rp 200 juta – pinjaman lunak.
Namun masalahnya adalah:
Tingkah laku oportunis – tidak setia 100%; masih mencari pekerjaan lain atau lihat-lihat.
Berharap untuk akhirnya direkrut sebagai pegawai negeri
Mengharapkan gaji berkala
91
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Subsidi pelatihan sebesar Rp. 30 milyar untuk penyedia pelatihan swasta asalkan mereka memiliki
pusat pelatihan dan jasa penempatan – domestik/internasional
Badan sertifikasi independen sejak 2005 yang terdiri dari 10 anggota dari pemerintah dan 15 anggota
dari sektor swasta.
12 kategori klasifikasi kompetensi.
Jumlah data tentang hasil pasar kerja yang dilatih.
Tidak ada program tertentu untuk para pekerja yang diPHK.
Tetapi Departemen Pendidikan memilki program untuk pekerja yang dikurangi jam kerjanya, yang
disebut Re-tooling. Program ini diselenggarakan bersama dengan Universitas Indonesia
Kesimpulan
Seperti bisa dilihat pemerintah telah mengadopsi program-program yang dimaksudkan untuk
mengurangi pengangguran dan khususnya pengangguran kaum muda. Program-program ini diselenggarakan
oleh lebih dari satu departemen. Hal ini menciptakan masalah koordinasi dan kadang-kadang perseteruan
antardepartemen. Hasilnya, dapat terjadi duplikasi. Meskipun beberapa program, seperti yang dijalankan
oleh Departemen Kewiraswastaan Pemuda dan Industri Olahraga, kelihatan cukup berhasil, tidak ada
penaksiran independen tentang efektivitas dan pelacakan hasil-hasil pasar kerja dari beragam program
tersebut.
92
Referensi (seperti terkait dengan appendix ini saja):
Aaron, C., Kenward, L, et al (2004), Strategic Approaches to Job Creation and Employment in Indonesia, Report
for the USAID, Jakarta
Aswicahyono, H. and I. Maider (2003), ‘Real Sector in Indonesia: Crisis-Related and longer Term issues’, The
Indonesian Quarterly, Vol. 31(2): 180-96.
Bappenas (2003), Labor Policy Review, National Development Planning Agency, Jakarta.
Bird, K. and C. Manning (2002), ‘The Impact of Minimum Wages on Employment and Earnings in the Informal
Sector,’ Paper Presented at the 8th East Asian Economic Association, Kuala Lumpur, November 4-5.
Bird, K. and C. Manning (2003), ‘Economic Reform, Labor Markets and Poverty: The Indonesian Experience’,
in Trade Policy, Growth and Poverty in Asian Developing Countries, edited by Routledge Press, London.
Islam, I. and S. Nazara (2000), ‘Estimating Employment Elasticity for the Indonesian Economy”, International
Labour Organization, Jakarta.
Manning, C. (1998), Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story? Trade and Development
Series, Cambridge University Press, Cambridge.
Manning, C. (2000), ‘Labour Market Adjustments to Indonesia Economic Crisis: Contexts, Trends, and
Implications,’ Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 36(1): 105-36
SMERU (2001), ‘The Impact of Minimum Wages in the Formal Urban Sector’, Jakarta.
Suryahadi, A, Chen, P., and R. Tyers (2001), ‘Openness, Technological Change and Labor Demand in Pre-Crisis
Indonesia’, Asian Economic Journal, Vol. 15(3): 239-274.
Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira and S. Sumarto, (2003), ‘Minimum Wage Policy and its Impact on
Employment in the Urban Formal Sector’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1): 29-50.
Suhaimi, U and Y. Jammal (2001), ‘Measuring Open Unemployment in Sakernas,’ Report #35 and Statistical
Paper #7 in Statistical Assistance to the Government of Indonesia under USAID Contract No. PCE-I-00-
99-00009-00.
93
Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia
Secara aritmatika,
U3 > U2 > U1
LF1 > LF 2
1986-1993: u1 = U1/LF1
2001-sekarang: u3 = U3/LF2
Karena U3 > U2 & LF2 < LF1, u3 adalah jauh lebih besar daripada u2
94