Anda di halaman 1dari 13

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekotoksikologi merupakan sebuah cabang ilmu dari toksikologi, yaitu

bidang ilmu yang mempelajari mengenai racun yang ada di lingkungan

(Idris, 2013). Sehingga, dapat dikatakan bahwa ekotoksikologi perairan

merupakan ilmu yang mempelajari mengenai racun yang ada di lingkungan

perairan. Berbagai jenis racun tersebut berbeda-beda sesuai dengan jenis dan

senyawa-senyawa kimia pembentuknya.

Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan adalah pencemaran

air, dimana air yang kita pergunakan setiap harinya tidak lepas dari pengaruh

pencemaran yang diakibatkan oleh ulah manusia juga. Beberapa bahan pencemar

seperti bahan mikrobiologik (bakteri, virus, parasit), bahan organik (pestisida,

detergen), beberapa bahan inorganik (garam, asam, logam) serta bahan kimia

lainnya sudah banyak ditemukan dalam air yang kita pergunakan (Mason, 1991).

Pemakaian pestisida di bidang pertanian sebagai pengendali serangan

hama maupun gulma pada tanaman budidaya, akan berpengaruh pula terhadap

organisme non target. Pada beberapa tanaman, penggunaan insektisida dan

herbisida dapat mempengaruhi ikan melalui run off/pembilasan residu pestisida

oleh air hujan, yang pada akhirnya sampai pada perairan tempat hidupnya ikan.

Oleh karena itu, untuk memberi gambaran seberapa besar bahaya yang dapat

ditimbulkan oleh pemakaian pestisida terhadap ikan budidaya, khususnya ikan air

tawar, perlu dilakukan uji toksisitas akut untuk mengetahui nilai LC50 dari jenis

pestisida tertentu terhadap ikan air tawar. LC50 merupakan singkatan dari Lethal
2

Concentration 50%, menggambarkan konsentrasi toksikan yang menyebabkan

terjadinya kematian (lethal) pada 50% hewan uji dalam suatu waktu tertentu

(Idris, 2013).

Berbagai hasil dari buangan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia

dapat berupa rumah tangga, kotoran ternak dan limbah kimia yang dihasilkan oleh

industri. Di antara limbah kimia, limbah deterjen yang paling banyak dibuang ke

dalam air, sungai, kolam, danau dan sebagainya dalam bentuk sabun pencuci.

Dengan meningkatnya sabun dan surfaktan (bahan yang aktif di permukaan),

secara tidak langsung mengakibatkan air akan tercemar dengan adanya limbah air

deterjen yang terbuang. Bahan deterjen ataupun pestisida yang masuk ke perairan

dapat mempengaruhi kehidupan ikan yang ada di perairan tersebut, karena

bahan/senyawa kimia aktif yang terdapat pada deterjen dan pestisida membentuk

sebuah susunan rantai molekul kimia yang berikatan sangat kuat, sehingga sulit

terurai. Hal inilah yang menimbulkan sifat toksik pada deterjen dan pestisida

tersebut. Apabila konsentrasi zat tersebut yang masuk ke perairan melebihi

ambang batas, maka akan membubuh ikan yang ada di perairan tersebut karena

senyawa kimia aktif tersebut mampu untuk merusak insang ikan, sehingga

menyebabkan ikan kesulitan bernapas (Idris, 2013).

Deterjen dan pestisida merupakan salah satu bahan cemaran yang sangat

berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan (toksisitas) pada makhuk hidup.

Racun ini bersifat kumulatif, artinya sifat racunnya akan timbul apabila

terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar dalam tubuh makhluk hidup.

Deterjen dan pestisida terdapat dalam air karena adanya kontak antara air dengan
3

tanah atau udara tercemar deterjen dan pestisida. Akumulasi bahan beracun pada

suatu perairan merupakan akibat dari muara aliran sungai yang mengandung

limbah (Mason, 1991).

Menurut Idris dkk.,(2013), ada beberapa tumbuhan air yang diuji

kemampuannya dalam menetralisir deterjen, antara lain genjer, teratai dan

kangkung. Tumbuhan air tersebut memiliki akar yang mampu untuk

mengakumulasi bahan pencemar yang masuk ke perairan, sehingga diharapkan

dengan adanya tumbuhan air, salah satu atau seluruh jenis tumbuhan itu dapat

mengurangi toksisitas (daya racun) deterjen terhadap organisme uji, dalam hal ini

ikan air tawar.

Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, untuk mengetahui kebenaran

dari berbagai bahaya zat toksik tersebut maka dilakukan pula beberapa percobaan

ini, yaitu uji toksisitas akut (LC50) pestisida terhadap ikan air tawar (Ikan Nila)

dan uji toksisitas berbagai jenis deterjen terhadap ikan air tawar tersebut (Ikan

Nila) serta uji kemampuan beberapa jenis tumbuhan air dalam menetralisir

toksisitas deterjen.

B. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari praktium ini untuk mengetahui toksisitas berbagai jenis

detergen dan peptisida terhadap organisme di lingkungan serta mengetahui

kemampuan tumbuhan air dalam menetralisir toksisitas detergen dan pestisida.

Manfaat dari praktikum ini yaitu dapat mengetahui dampak bahan-bahan

pencemar yang disebabkan oleh kegiatan manusia terhadap lingkungan perairan.


4

II. METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Praktikum Ekotoksikologi ini dilaksanakan pada Hari Senin sampai hari

Rabu, pada Tanggal 2 sampai 4 Desember 2013, pukul 13.55 WITA sampai

selesai. Praktikum Ekotoksikologi ini bertempat di Laboratorium Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo, Kota Kendari, Provinsi

Sulawesi Tenggara.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum Ekotoksikologi ini dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Alat dan bahan beserta kegunaannya


No. Alat dan Bahan Kegunaan
1. Alat
- Wadah Untuk meletakkan organisme uji
- Gelas Ukur Untuk mengukur konsentrasi bahan yang
digunakan
2. Bahan
- Deterjen Daia Sebagai zat toksik
- Sabun Sunlight Sebagai zat toksik
- Sabun Colek Wings Sebagai zat toksik
- Pestisida Sebagai zat toksik
- Teratai (Nymphaea sp.) Sebagai obyek pengamatan penetral toksik
- Genjer (Umnocharis Sebagai obyek pengamatan penetral toksik
flava)
- Kangkung (Ipomoea Sebagai obyek pengamatan penetral toksik
aquatica forsk)
- Eceng gondok Sebagai obyek pengamatan penetral toksik
- Ikan Nila (O.niloticus) Sebagai obyek pengamatan organisme uji
- Air Sebagai media hidup organisme uji
5

A. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum Ekotoksikologi ini adalah

sebagai berikut:

1. Menyiapkan 4 wadah yang bervolume 20 liter sebagai media di lingkungan

2. Memasukkan bahan cemaran (toksin) ke dalam wadah yang telah terisi air

tawar dengan konsentrasi sebesar 5 ml dengan jenis yang berbeda-beda.

3. Memasukkan tumbuhan air yakni genjer, eceng gondok, kangkung air dan

teratai pada wadah yang telah terisi air.

4. Kemudian memasukkan Ikan Nila (O.niloticus) ke dalam masing-masing

baskom yang telah diberi bahan cemaran sebanyak 5 ekor.

5. Mengamati tingkat ketahanan Ikan Nila (O.niloticus) dan pengaruh tumbuhan

air terhadap bahan pencemar selama 72 jam, dengan pengamatan setiap 24

jam.

6. Mencatat jumlah hewan uji yang telah mati selama waktu pendedahan.
6

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan dalam praktikum Ekotoksikologi dapat dilihat pada

tabel dibawah ini :

Tabel 2. Hasil pengamatan hewan uji selama 72 jam yang diberikan detergen bubuk
Jenis Perlakuan
Waktu Pendedahan
Eceng Gondok Teratai Genjer
(jam)
Tingkat Kematian (ekor)
0 - - -
24 6 6 6
48 1 - -
72 - - -

Tabel 3. Hasil pengamatan hewan uji selama 72 jam yang diberikan sabun cair
Jenis Perlakuan
Waktu Pendedahan
Eceng Gondok Teratai Genjer
(jam)
Tingkat Kematian (ekor)
0 - - -
24 6 6 6
48 1 - -
72 - - -

Tabel 4. Hasil pengamatan hewan uji selama 72 jam yang diberikan sabun colek
Jenis Perlakuan
Waktu Pendedahan
Eceng Gondok Teratai Genjer
(jam)
Tingkat Kematian (ekor)
0 - - -
24 6 6 6
48 1 - -
72 - - -

Tabel 5. Hasil pengamatan hewan uji selama 72 jam yang diberikan peptisida
Jenis Perlakuan
Waktu Pendedahan
Eceng Gondok Teratai Genjer
(jam)
Tingkat Kematian (ekor)
0 - - -
24 5 6 6
48 - - -
72 - - -
7

Tabel 6. Hasil pengamatan hewan uji selama 72 jam yang diberikan detergen tanpa
penambahan tumbuhan air
Tanpa Perlakuan
Waktu Pendedahan
Sabun Cair Sabun Colek Detergen Bubuk
(jam)
Tingkat Kematian (ekor)
0 - - -
24 6 6 6
48 - - -
72 - - -

Tabel 7. Hasil pengamatan hewan uji selama 72 jam tanpa perlakuan


Waktu Pendedahan (jam) Tingkat Kematian (ekor)
0 - - -
24 - - -
48 1 1 1
72 5 5 5

Tabel 8. Hasil pengamatan hewan uji selama 72 jam pada wadah terkontrol
Dengan Perlakuan (Kangkung
Waktu Pendedahan Tanpa Perlakuan
Air)
(jam)
Tingkat Kematian (ekor)
0 - -
24 - -
48 1 1
72 6 6

B. Pembahasan

Dewasa ini permasalahan lingkungan atau pencemaran semakin meningkat

khususnya pencemaran air menjadi masalah yang perlu diperhatikan dari berbagai

pihak, agar kualitas air dapat terjaga sesuai dengan baku mutunya. Pencemaran

yang terjadi di lingkungan perairan merupakan salah satu penyebab penurunan

mutu kualitas air yang mempengaruhi kehidupan organisme yang ada di perairan.

Proses masuknya atau terakumulasinya limbah dalam perairan banyak disebabkan

oleh sumber kegiatan manusia, baik dari limbah industri maupun limbah rumah

tangga. Hal ini didukung oleh pernyataan Murphy et al., (1996), bahwa air
8

limbah deterjen dari rumah tangga merupakan salah satu komponen yang dapat

menimbulkan efek yang buruk terhadap biota air. Selain itu juga, Naiborhu

(2005), menambahkan bahwa pestisida yang masuk ke perairan sebagai hasil dari

kegiatan pertanian juga merupakan salah satu faktor terbesar yang menyebabkan

terjadinya pencemaran di suau perairan.

Berdasarkan hasil pengamatan pada jam pertama, terlihat bahwa semua

ikan yang dimasukkan kedalam bahan pencemar bergerak aktif dan secara

perlahan pergerakannya mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena adanya

pengaruh racun pestisida dan detergen yang masuk pada tubuh ikan, yang

mempengaruhi fungsi respirasi dari insang sehingga menghambat proses

metabolisme dalam tubuh. Pada kondisi seperti ini ikan stres dan mengalami

hipoksia sehingga nafsu makan ikan berkurang dan menyebabkan nilai rasio

konversi pada ikan tinggi. Menurut Svobodova et al., (1993) dalam Mallaya

(2007), hipoksia atau diplesi oksigen merupakan fenomena yang terjadi di

lingkungan akuatik dimana molekul oksigen terlarut dalam air menjadi berkurang.

Pada kondisi seperti ini meruopakan suatu titik yang merugikan bagi organisme

hidup.

Berdasarkan hasil pengamatan uji toksisitas organisme uji yaitu Ikan Nila

(O.niloticus) tanpa adanya penambahan tumbuhan air dan penambahan tumbuhan

air jenis teratai (Nymphaea sp.), genjer (Umnocharis flava) dan kangkung

(Ipomoea aquatica forsk), menunjukkan bahwa hanya dengan konsentrasi 5 ml

bahan pencemar berupa deterjen bubuk, sabun colek dan sabun cair mampu

membunuh semua organisme uji, hal ini disebakan karena organisme uji tidak
9

dapat mentolir bahan pencemar yang masuk kedalam suatu perairan, dimana

deterjen mengandung surfaktan (agen aktif permukaan), seperti Linear Alkyl

Benzene Sulfonate (LAS) dan Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) yang memiliki

kosentrasi yang sangat tinggi, sehingga bersifat toksin bagi organism di suatu

perairan, walaupun terdapat tumbuhan air yang hidup di suatu perairan. Dimana

tumbuhan air ini tidak memiliki kemampuan untuk menyerap bahan pencemar

yang masuk ke perairan dengan baik. Hal ini didukung oleh pernyataan Idris

(2013), bahwa jika suatu perairan dimasukkan bahan pencemar berupa toksik

dengan konsentrasi tertentu, maka akan dapat mematikan organisme yang ada di

dalamnya.. Selanjutnya, Suparjo (2009), menyatakan bahwa deterjen yang masuk

kedalam suatu perairan mampu membuat kerusakan pada jaringan insang ikan,

sehingga membuat ikan sulit bernapas dan menyebabkan kematian.

Akan tetapi, pada pengamatan uji toksisitas pada organisme dengan jenis

toksik berupa peptisida dengan konsentrasi 5 ml yang ditambahkan tumbuhan air

jenis eceng gondok, tingkat kematiannya hanya 99%, dimana dalam jangka waktu

24 jam masih terdapat satu orgasnisme uji yang masih bertahan hidup dengan

adanya bahan pencemar berupa peptisida dengan konsentrasi 5 ml. Setelah 48

jam, organisme uji telah mengalami kematian. Hal ini bisa terjadi, karena toksik

berupa pestisida yang masuk ke perairan serta toksisitas insektisida golongan

organofosfat ini merupakan toksisitas rating tiga atau moderately toxic dapat

diserap tumbuhan air (eceng gondok) yang mampu untuk meminimalisir

kandungan toksin di perairan.


10

Kematian dari Ikan Nila (O. niloticus) juga dipengaruhi oleh kurangnya

oksigen terlarut (DO) yang disebabkan oleh banyaknya detergen (Sunlight) yang

larut dalam air mengingat Sunlight merupakan detergen cair sehingga cepat sekali

larut dalam air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Varley (1987) yang mengatakan

bahwa konsentrasi oksigen terlarut tergantung pada tingkat kejenuhan air itu

sendiri, dimana kejenuhan air dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di

air maupun jumlah larutan limbah detergen yang terlarut di air.

Bedasarkan pengamatan bahwa diantara bahan pencemar yang digunakan

dalam praktikum ini yang memiliki tingkat toksin yang tinggi adalah bahan

pencemar detergen Sabun Wings jika dibandingkan dengan bahan pencemar lain

seperti Sabun Daia, Sunlight maupun Pestisida. Mengingat Sabun Wings

merupakan sabun yang termasuk sabun jenis keras (ABS) yang mempunyai reaksi

kimia yang sangat sulit ditolerir oleh organisme (ikan) atau sangat sulit diuraikan

oleh organisme. Sesuai pernyataan Arifin, (2008) bahwa proses pembuatan ABS

ini adalah dengan mereaksikan Alkil Benzena dengan Belerang Trioksida, asam

Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil Benzena Sulfonat.

Detergen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan tersebut

dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan

pencemaran air. Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata

sangat lambat terurai oleh bakteri pengurai disebabkan oleh adanya rantai

bercabang pada spektrumya. Dengan tidak terurainya secara biologi detergen

ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh

busa, sehingga menurunkan tegangan permukaan dari air.


11

Dari beberapa bahan pencemar detergen yang digunakan tingkat toksinnya

paling rendah adalah Sunlight dibandingkan dengan detergen lainnya. Sunlight

merupakan sabun yang rendah bahan surfaktan dan mudah netral di dalam air,

namun Sunlight tetap memiliki toksin jika banyaknya Sunlight yang masuk ke

perairan. Sesuai pernyataan Zulfikar (2010) bahwa sabun Sunlight merupakan

sabun yang bagus digunakan dalam rumah tangga, karena sabun ini bukan salah

satu jenis sabun keras (ABS) serta kandungan surfaktan pada sabun ini sangat

rendah.

Berdasarkan hasil pengamatan bahwa tumbuhan air yang dapat mengikat

atau menetralisir bahan pencemar yang baik adalah tumbuhan air jenis eceng

gondok, mengingat pada saat pengamatan 24 jam masih terdapat satu organisme

uji dan eceng gondok masih dalam keadaan segar. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Soerjani (1986), bahwa kemampuan tanaman air, seperti eceng

gondok, untuk mengikat bahan-bahan organik dari partikel lumpur membuat

tanaman ini dapat digunakan untuk menjernihkan air, memiliki fungsi ekologis

sebagai stabilisator suatu perairan karena kemampuannya menetralisir bahan

pencemar yang masuk keperairan. Melalui akarnya yang lebat bahan pencemar itu

diserap untuk kemudian digunakan dalam proses metabolismenya atau disimpan

dalam akar, batang, umbi atau daunnya serta dapat menyerap kelebihan unsur hara

di dalam air yang menyebabkan pencemaran.


12

IV. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan dari hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat ditarik

suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan detergen (sabun Daia,

Sunlight dan sabun colek Wings) diketahui bahwa tingkat % kematian Ikan

Nila (O. niloticus) sebesar 100 % atau semua ikan mati dalam jangka waktu

24 jam pada setiap kosentrasi 5 ml tanpa maupun dengan menggunakan

tumbuhan air. Akan tetapi, dengan penambahan toksik berupa peptisida

dengan konsentrasi 5 ml yang ditambahkan eceng gondok tingkat

kematiannya hanya 99% dalam jangka waktu 24 jam.

2. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa tumbuhan air yang dapat mengikat atau

menetralisir bahan pencemar yang baik adalah tumbuhan air jenis Eceng

Gondok.

B. Saran

Adapun saran yang ingin kami sampaikan dalam kegiatan praktikum

selanjutnya adalah agar sebaiknya dilakukan pengukuran DO (oksigen terlarut)

untuk mengetahui secara pasti bahwa penyebab kematian ikan adalah karena

penurunan oksigen dalam air.


13

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, P. 2008. Surfaktant Sabun dan Detergen. Diakses Melalui http://smk3ae.


wordpress.com/2008/05/28/surfaktant-as-sabun-dan-detergent/. Pada
tanggal 26 November 2012.
Idris, M., Emiyarti., Sabilu, K. 2013. Penuntun Praktikum Ekotoksikologi
Perairan. Tim Pengajar Ekotoksikologi Jurusan Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
Idris, M. 2013. Bahan Ajar Ekotoksikologi Perairan. Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Haluoleo. Kendari.
Mallaya, John, and Yovita., 2007. The Effect of Dissolved Oxygen on Fish
Growth in Aquaculture. Kingolwira National Fish Farming centre,
Fisheries Division Ministry
of Natural Resourches and Tourism Tanzania.
Mason CF. 1991. Biology of Freshwater Pollution. John Wiley and Sons, Inc.,
New York.
Soerjani, 1986. Arah Pengelolaan Gulma di Waktu Mendatang dalam Kaitannya
dengan Wawasan Lingkungan. Konverensi VIII HIGI di Bandung.
Varley, CH. 1987. The Environmental Fate and Effect of Detergents, Munchen.
Zulfikar. 2010. Sabun Cuci Piring Sunlight. Diakses Melalui
http://zulfikar.bligspot.com/sabun-cuci-piring- sunlight. Pada tanggal 26
November 2012.
Murphy, K. C., R. J. Cooper and J. M. Clark. 1996. Volatile and dislodgeable
residues following trichlorfon and isazofos application to turfgass and
implication for human exposure. J. Crop Science, 36:1446-1454.
Suparjo, N.M., 2009. Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila (Oreochromis
niloticus L) Akibat Detergen. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 5 (2) : 1-7.

Anda mungkin juga menyukai