Anda di halaman 1dari 26

1.

HUBUNGAN BATU GINJAL SEBAGAI PENYEBAB CKD

2.1 Definisi Batu Ginjal


Urolithiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih individu terbentuk
batu berupa kristal yang mengendap dari urin (Mehmed & Ender, 2015). Pembentukan
batu dapat terjadi ketika tingginya konsentrasi kristal urin yang membentuk batu
seperti zat kalsium, oksalat, asam urat dan/atau zat yang menghambat pembentukan
batu (sitrat) yang rendah (Moe, 2006; Pearle, 2005). Urolithiasis merupakan obstruksi
benda padat pada saluran kencing yang terbentuk karena faktor presipitasi endapan
dan senyawa tertentu (Grace & Borley, 2006). Batu ginjal adalah batu yang terbentuk
di tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa
mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang
paling sering terjadi (Purnomo, 2000).

2.2 Klasifikasi
Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci ada
beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu bedasarkan letak
batu antara lain: (Prabawa & Pranata, 2014):
1) Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal
2) Ureterolithiasis disebut batu pada ureter
3) Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli
4) Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter
Klasifikasi batu saluran kemih menurut Joyce M Black dalam buku Medical Surgical
Nursing, 2001 hal 822-824 dan Basuki B Purnomo, 2000 hal 64-66 adalah:
1. Batu Kalsium
Batu kalsium merupakan jenis batu terbanyak, batu kalsium biasanya terdiri dari
fosfat atau kalsium oksalat. Dari bentuk partikel yang terkecil disebut pasir atau
kerikil sampai ke ukuran yang sangat besar “staghorn” yang berada di pelvis dan
dapat masuk ke kaliks.
2. Batu struvit
Batu struvit dikenal juga dengan batu infeksi karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah
kuman golongan pemecah urea atau urea spilitter yang dapat menghasilkan
enzim urease dan merubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi
amoniak.
3. Batu asam urat
Faktor yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah:
a) Urin yang terlalu asam yang dapat disebabkan oleh makanan yang banyak
mengandung purine, peminum alcohol.
b) Volume urin yang jumlahnya sedikit (<2 liter perhari) atau dehidrasi.
c) Hiperurikosuri: kadar asam urat melebihi 850 mg/ 24jam. Asam urat yang
berlebih dalam urin bertindak sebagai inti batu untuk terbentuknya batu kalsium
oksalat.
4. Batu sistin
Cystunuria mengakibatkan kerusakan metabolik secara congetinal yang mewarisi
pengahambat atosomonal. Batu sistin merupakan jenis yang timbul biasanya
pada anak kecil dan orang tua, jarang ditemukan pada usia.

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab pasti yang membentuk batu ginjal belum diketahui, oleh karena
banyak faktor yang dilibatkannya. Diduga dua proses yang terlibat dalam batu ginjal
yakni supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun
batu terdapat dalam jumlah besar dalam urin, yaitu ketika volume urin dan kimia urin
yang menekan pembentukan batu menurun. Pada proses nukleasi, natrium hidrogen
urat, asam urat dan kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat
kemudian merekat (adhesi) di inti untuk membentuk campuran batu. Proses ini
dinamakan nukleasi heterogen.
Batu ginjal merupakan kondisi terdapatnya kristal kalsium dalam ginjal, kristal
tersebut dapat berupa kalsium oksalat, kalsium fosfat maupun kalsium sitrat. Tidak
ada penyebab yang bisa dibuktikan yang sering menjadi predisposisi adalah infeksi
saluran kemih hiperkasiuria, hiperpospaturia, hipervitaminosis D dan hipertiroidism
dan kebanyakan intake kalsium serta alkali cenderung timbul presipitasi garam
kalsium dalam urine (Tambayong, 2000).
Faktor intrinsik, meliputi:
1. Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
2. Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita.
Faktor ekstrinsik, meliputi:
1. Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih
tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk
batu)
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat
meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya.

2.4 Batu Ginjal sebagai Penyebab CKD


Pembentukan batu pada ginjal umumnya membutuhkan keadaan supersaturasi.
Namun pada urin normal, ditemukan adanya zat inhibitor pembentuk batu. Pada kondisi-
kondisi tertentu, terdapat zat reaktan yang dapat menginduksi pembentukan batu. Adanya
hambatan aliran urin, kelainan bawaan pada pelvikalises, hiperplasia prostat benigna,
striktura, dan buli bulineurogenik diduga ikut berperan dalam proses pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik
yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal tersebut akan tetap berada pada posisi metastable
(tetap terlarut) dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan yang menyebabkan presipitasi
kristal. Apabila kristal mengalami presipitasi membentuk inti batu, yang kemudian akan
mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan yang lain sehingga menjadi kristal yang
lebih besar. Kristal akan mengendap pada epitel saluran kemih dan membentuk batu yang
cukup besar untuk menyumbat saluran kemih sehingga nantinya dapat menimbulkan
gejala klinis. Krista yang menumpuk dalam ginjal, nantinya akan meningkatkan beban
kerja ginjal yang apabila terjadi terus- menerus akan dapat menyebabkan kerusakan
nefron. Kerusakan nefron yang terjadi akan berdampak pada sebagian besar fungsi filtrasi
ginjal sehingga dapat menurunkan laju filtrasi ginjal dan ginjal akan mengalami kehilangan
fungsi dan apabila ginjal sudah tidak dapat mengkompensasi akan terjadilah CKD atau
gagal ginjal kronik.
Penderita nefrolitiasis sering mendapatkan keluhan rasa nyeri pada pinggang ke
arah bawah dan depan. Nyeri dapat bersifat kolik atau non kolik. Nyeri dapat menetap dan
terasa sangat hebat. Mual dan muntah sering hadir, namun demam jarang di jumpai pada
penderita. Dapat juga muncul adanya bruto atau mikrohematuria.

2.5 Manifestasi Klinis


Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak batu, tingkat
infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker, 2009). Beberapa gambaran
klinis yang dapat muncul pada pasien urolithiasis:
1) Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non kolik.
Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi
resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009). Nyeri kolik juga karena
adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat dalam
usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu
menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan pada
terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2012).
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis
atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012) sehingga menyebabkan nyeri hebat dengan
peningkatan produksi prostglandin E2 ginjal (O’Callaghan, 2009). Rasa nyeri akan
bertambah berat apabila batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada ureter
bagian distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan labia
mayora pada wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari urolithiasis, khsusnya
nefrolithiasis (Brunner & Suddart, 2015).
2) Gangguan miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin (urine flow) mengalami
penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi secara spontan. Pada pasien nefrolithiasis,
obstruksi saluran kemih terjadi di ginjal sehingga urin yang masuk ke vesika urinaria
mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien uretrolithiasis, obstruksi urin terjadi di
saluran paling akhir sehingga kekuatan untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan
pada saluran menyebabkan urin stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan ukuran kecil
mungkin dapat keluar secara spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan
ureteropelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli
(Purnomo, 2012).
3) Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami desakan
berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan menimbulkan gesekan
yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan bercampur dengan darah
(hematuria) (Brunner & Suddart, 2015). Hematuria tidak selalu terjadi pada pasien
urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran kemih utamanya ginjal maka seringkali
menimbulkan hematuria yang masive, hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat
kaya dan memiliki sensitivitas yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu yang tajam
pada sisinya (Brooker, 2009)
4) Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada pasien
karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan
memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker, 2009). Selain itu, hal ini juga dapat
disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun gejala gastrointestinal
biasanya tidak ada (Portis & Sundaram, 2001)
5) Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda
demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di kulit
merupakan tanda terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan dibidang
urologi, dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik pada saluran
kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera dilakukan terapi berupa drainase
dan pemberian antibiotik (Purnomo, 2012)
6) Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan
menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba
bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker, 2009)

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Brunner & Suddart, (2015) dan Purnomo, (2012) diagnosis urolithiasis
dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan seperti:
1) Kimiawi darah dan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar kalsium,
asam urat, kreatinin, natrium, pH dan volume total (Portis & Sundaram, 2001).
2) Analisis kimia dilakukan untuk menentukan komposisi batu.
3) Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri dalam urin
(bacteriuria) (Portis & Sundaram, 2001).
4) Foto polos abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu
radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat
radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asam urat
bersifat non opak (radio-lusen) (Purnomo, 2012). Urutan radiopasitas beberapa batu
saluran kemih seperti pada tabel:

5) Intra Vena Pielografi (IVP)


IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya batu pada
saluran kemih. Pyelogram intravena yang disuntikkan dapat memberikan informasi
tentang baru (ukuran, lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya (anatomi dan
derajat obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis & Sundaram, 2001).
Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun non-opak yang tidak
dapat dilihat oleh foto polos perut. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan saluran
kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan
pielografi retrograd (Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012).
7) Ultrasonografi (USG)
USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan merupakan
manajemen pada kasus urolithiasis. Meskipun demikian USG merupakan jenis
pemeriksaan yang siap sedia, pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal calculi
atau batu pada ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral (Portis & Sundaram,
2001). USG dikerjakan bila pasien tidak memungkinkan menjalani pemeriksaan IVP, yaitu
pada keadaan-keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun,
pada pada wanita yang sedang hamil (Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012).
Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli, hidronefrosis,
pionefrosis, atau pengerutan ginjal (Portis & Sundaram, 2001).

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah untuk
menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran nefron, mengontrol
infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi (Brunner & Suddart, 2015; Rahardjo
& Hamid, 2004). Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan
obstruksi dan infeksi. Beberapa tindakan untuk mengatasi penyakit urolithiasis adalah
dengan melakukan observasi konservatif (batu ureter yang kecil dapat melewati saluran
kemih tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau bahan untuk memecahkan batu),
mengurangi obstruksi (DJ stent dan nefrostomi), terapi non invasif Extracorporeal Shock
Wave Lithotripsy (ESWL), terapi invasif minimal: ureterorenoscopy (URS), Percutaneous
Nephrolithotomy, Cystolithotripsi/ ystolothopalaxy, terapi bedah seperti nefrolithotomi,
nefrektomi, pyelolithotomi, uretrolithotomi, sistolithotomi (Brunner & Suddart, 2015;
Gamal, et al., 2010; Purnomo, 2012; Rahardjo & Hamid, 2004).
2.7 Komplikasi
Antara 70-90% Kristal berukuran kecil dapat berjalan di dalam saluran kemih dan
meninggalkan tubuh melalui urin tanpa diketahui sebelumnya. Ketika terjadi gejala atau
tanda klinis, batu ginjal dapat didiskripsikan sebagai suatu penyakit yang nyerinya sakit
sekali yang dikenal dengan Renal Colic. Perbedaan penatalaksanaan dan ukuran dari
batu mengakibatkan beberap komplikasi diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Sepsis
Infeksi yang sudah menyebar melaului darah bisa menimbulkan gejala/tanda
klinis dari komplikasi di seluruh tubuh.
2. Steinstrasse
Suatu kondisi dimana terjadi penyumbatan yang diakibatkan batu-batu tersebut
berada pada ureter. Dapat mengakibatkan suatu obstruksi yang bersifat sementara dan
tanpa meninggalkan luka yang tidak permanen. Dalam beberap akasus obstruksi terjadi
tanpa ada gejala. Infeksi mungkin saja terjadi. Dimana harus membutuhkan penanganan
yang cepat dan tepat.
3. Adanya luka dalam ureter
Ketika batu tersebut menggores dinding saluran kemih maka bisa terjadi luka dalam
ureter. Bisa terjadi di seluruh permukaan saluran kemih.
4. Infeksi pada saluran kemih ( termasuk di dalam steinstrasse )
5. Pendarahan pada saat operasi
6. Rasa sakit yang luar biasa
7. Penyakit Ginjal Kronis
Pasien dengan btu ginjal, tinggi resiko untuk terkena penyakit ginjal kronik.
Didukung oleh faktor resiko seperti diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, atau pernah
terjadi infeksi saluran kemih.
8. Gagal ginjal
Jarang sekali batu ginjal mengakibatkan gagal ginjal. Namun beberapa orang memiliki
faktor resiko yang membuat komplikasi lebih serius lagi seperti banyaknya jumlah batu
yang terbentuk, terjadinya obstruksi riwayat pernah melalukan pengobatan batu ginjal,
dan besarnya dari batu tersebut.
2. HEMODIALISA

2.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai
respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air
plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan
memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam
pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).
2.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

2.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100
ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang
dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan konvensional
tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa:
 Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
 Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
 Hiperkalemia,
 Overload cairan yang parah,
 Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
 Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
 Hiperkalemia,
 Asidosis metabolik yang parah.

2.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).

2.5. Proses
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen, yaitu:
1. Kompartemen darah
2. Kompartemen cairan pencuci (dialisat)
3. Ginjal buatan (dialiser)
Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu.
Kemudian, masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi
proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik. Selanjutnya,
darah akan beredar didalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam
dialiser (Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah
1) Komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen darah) akan
berubah dengan cara memaparkan larutan inid engan larutan lain
(kompartemen dialisat) melalui membran semi permeable (dialiser).
2) Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan
ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute
terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, sedangkan utrafiltrasi adalah
perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran kecil
yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul airmelewati
porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik,
akibat perbedaan tekanan air (trans membrane pressure) atau mekanisme
osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,2007). Pada
mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan
disebabkan oleh gradient tekanan trans membran (Daurgirdas et al., 2007)
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan
air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien didialiser dan rendaman dialisat
memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi yang
dapat terjadi (misal emboli udara, ultrafiltrasi tidak cukup kuat atau berlebihan,
perembesan darah, kontaminasi dan fistula)
Darah dalam pipa arteri dipompa dalam dialiser yang didalamnya mengalir darah
melalui tabung-tabung selodan yang bekera sebagai membran permeabel. Larutan
dialisat yang memiliki kinoisusu kimiawi yang lama seperti darah kecuali ureum dan
produk limbah mengalir di sekeliling tubulus. Produk limbah dalam darah berdifusi
melalui membran semipermeabel ke dalam larutan dialisat.

2.6. Prosedur Penatalaksanaan Hemodialisa


a. Persiapan
1) Persiapan pasien
2) Persiapan mesin
3) Persiapan alat dan obat-obatan
b. Pelaksanaan
1) Setting: mengeset alat HD
2) Priming: pengisian pertama kali AVBL, dialiser menggunakan Nacl
3) Soaking: (melembabkan) untuk meningkatkan permeabilitas membran
4) Menentukan dan melakukan penusukan
5) Memulai hemodialisis
6) Melakukan monitoring saat HD
7) Mengakhiri HD

c. Lama hemodialisa: 10-15 jam/minggu


1) Creatinin kliren 3-5 ml/m: 10 jam
2) Creatinin < 3 ml/m: 15 jam.
d. Tanda-tanda dialisis adekuat
1) Tercapai BB kering
2) Pasien tampak baik
3) Bebas simtom uremia
4) Nafsu makan baik
5) Aktif
6) TD terkendali
7) Hb > 10 gr/dl
2.7. Keunggulan Hemodialisa
a. Produk sampah nitrogen molekul kecil cepat dapat dibersihkan
b. Waktu dialisis cepat
c. Resiko kesalahan tehnis kecil
d. Adequasy dialisis dapat ditetapkan segera, underdialisis segera dapat dibenarkan.
2.8. Kelemahan Hemodialisa
a. Tergantung mesin
b. Sering terjadi: hipotensi, kram otot,disequilibrium sindrom
c. Terjadi aktivasi: complement, sitokines mungkin timbul amiloidosis
d. Vaskuler access: infeksi – trombosis
e. Sisa fungsi ginjal cepat menurun dibanding peritoneal dialysis
2.9. Komplikasi
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Komplikasi Akut
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,infark
jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
menyebabkan hiperthermi (akibat inflamasi)
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu cepat,
obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit*
*Aktivitas otot tidak adekuat yang akan mempengaruhi
kekuatan otot. Selain itu, Kelemahan otot tersebut
disebabkan adanya pengurangan aktivitas, atrofi otot,
miopati otot, neuropati atau kombinasi diantaranya
Mual dan - Akibat adanya situasiyang menyebabkan
Muntah kecemasan
- Akibat hidrasi dan restriksi protein serta
hipoglikemi (Smeltzer and Bare, 2010)
Rasa Haus Kadar sodium yang tinggi, penurunan kadar posatium,
angiotensin II, peningkatan urea plasma, urea plasma yang
mengalami peningkatan, hipovolemia post dialisis dan faktor
psikologis
Sesak Napas - Penumpukan cairan yang diakibatkan
oleh rusaknya ginjal, sehingga cairan
tersebut akan memutus saluran paru –
paru dan membuat sesak nafas.
- Akibat adanya anemia yang
mengakibatkan tubuh kekurangan
oksigen
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis - Perpindahan osmosis antara intrasel dan
disequilibirium ekstrasel menyebabkan sel menjadi
bengkak, edema serebral.
- Penurunan konsentrasi urea plasma
yang terlalu cepat

2. Komplikasi Kronik
Komplikasi
Penyakit Jantung: fungsi Renin dan Agiotensin pada ginjal yang tidak adekuat
Malnutrisi: hipoglikemi yang menyebabkan mual dan muntah tidak terkontrol
Hipertensi
Kelebihan cairan pradialisis akan meningkatkan resistensi vaskuler dan pompa
jantung. Pasien yang mengalami hipertensi intradialisis terjadi peningkatan nilai
tahanan vaskuler perifer yang bermakna pada jam akhir dialisis. Jika terjadi
kenaikan tekanan darah postdialysis mencerminkan kelebihan volume subklinis
(Wuchang & Yao-ping 2012)
Perdarahan
Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Pengguanaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan factor resiko terjadinya perdarahan.
Amiloidosis : penumpukan protein pada jaringan dan organ tubuh, yang dapat
menyebabkan kegagalan organ.

2.10. Penatalaksaan Pasien dengan Hemodialisa Jangka Panjang


 Diet dan asupancairan.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu
mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di
kenal dengan gejala uremik.
 Pertimbangan medikasi.
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien
yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan
agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik.
3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
1) Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
3) Riwayat penyakit
a) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
b) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.
c) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.
5) Pemeriksaan Fisik :
a) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,
kental dan banyak.
Tanda:
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa
sputum.
b) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:
Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan
sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda:
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub
perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
c) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
d) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala:
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda:
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
e) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan
Diare
f) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam
hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan
gerak sendi.
6) Pola aktivitas sehari-hari
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum
yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan
berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut
(amonia), Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,
kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
c) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine,
(pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

d) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.
e) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot,
kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
f) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan
fungsi peran).
g) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat
dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
h) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
i) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
j) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal
ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

3.2. Diagnosa Keperawatan


 Diagnosis khas pada batu ginjal
 Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi/dorongan
kontraksi ureteral, trauma jaringan sekunder terhadap urolithiasis.
 Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan iritasi ginjal/ureteral,
obstruksi mekanik dan inflamasi.
 Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan mual/muntah dan diuresis pasca obstruksi.
 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi, dan tidak mengenal sumber informasi.
Diagnosa Post OP Pyelolitotomi Urolithiasis meliputi:
 Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi pembedahan
 Resiko infeksi berhubungan dengan Invasi kuman pada luka operasi
 Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan Interupsi
mekanis pada kulit / jaringan. Perubahan sirkulasi, efek – efek yang
ditimbulkan oleh medikasi; akumulasi drain; perubahan status
metabolis.
 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi, dan tidak mengenal sumber informasi.
 Pre Hemodialisa
 Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
 Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit
ginjal (CKD)
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
(peningkatan usaha nafas)
 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ketidakseimbangan
asam basa
 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
O2 dan kebutuhan
 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi
Na dan H2O)
 Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
 Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis
(pembengkakan renal)
 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik
serta kadar asam basa dalam tubuh.
 Intra Hemodialisa
 Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
saat dan setelah pemasangan AV shunt
 Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa
yang mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
 Resiko perdarahan berhubungan dengan prosedur HD dan pemberian
heparin
 Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
 Risiko penurunan kadar glukosa darah berhubungan dengan proses
dialisis
 Post Hemodialisa
 Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
 Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa

3.3. Rencana Keperawatan


No Diagnosa Tujuan/KH Intervensi
1 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan askep ... NIC: Toleransi aktivitas
B.d jam Klien dapat menoleransi
ketidakseimbangan aktivitas & melakukan ADL 1) Tentukan penyebab
suplai & kebutuhan dgn baik intoleransi aktivitas & tentukan
O2  Kriteria Hasil: apakah penyebab dari fisik,
 Berpartisipasi dalam psikis/motivasi
aktivitas fisik dgn TD, 2) Kaji kesesuaian
HR, RR yang sesuai aktivitas&istirahat klien sehari-
 Warna kulit hari
normal,hangat&kering 3) ↑ aktivitas secara bertahap,
 Memverbalisasikan biarkan klien berpartisipasi
pentingnya aktivitas dapat perubahan posisi,
secara bertahap berpindah&perawatan diri
 Mengekspresikan 4) Pastikan klien mengubah
pengertian posisi secara bertahap.
pentingnya Monitor gejala intoleransi
keseimbangan latihan aktivitas
& istirahat 5) Ketika membantu klien berdiri,
 ↑toleransi aktivitas observasi gejala intoleransi
spt mual, pucat, pusing,
gangguan kesadaran&tanda
vital
6) Lakukan latihan ROM jika
klien tidak dapat menoleransi
aktivitas
2 Resiko kekurangan NOC: NIC :
volume cairan b.d
Mekanisme  Fluid balance Fluid management

peredaran  Hydration
 Nutritional Status : 1. Monitor status hidrasi
darah/cairan tidak
Food and Fluid Intake (kelembaban membran
efektif (proses
mukosa, nadi adekuat,
dialisis berlangsung
Setelah dilakukan tindakan tekanan darah ortostatik)
keperawatan selama 5 jam 2. Monitor vital sign
diharapkan defisit volume 3. Monitor masukan makanan /
cairan tidak terjadi dengan cairan selama interdialisis
4. Monitor status nutrisi
Kriteria Hasil : 5. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
 Tekanan darah, nadi, 6. Kolaborasi dokter jika tanda
suhu tubuh dalam cairan berlebih muncul
batas normal meburuk
 Tidak ada tanda tanda 7. Atur kemungkinan tranfusi
dehidrasi, Elastisitas 8. Persiapan untukkemungkinan
turgor kulit baik, tranfusi
membran mukosa
lembab, tidak ada
rasa haus yang
berlebihan
3 Kelebihan volume Setelah dilakukan askep ..... Fluid management:
cairan b.d. jam pasien mengalami 1) Monitor status hidrasi
mekanisme keseimbangan cairan dan (kelembaban membran
pengaturan elektrolit. mukosa, nadi adekuat)
melemah  Kriteria hasil: 2) Monitor tnada vital
 Bebas dari edema 3) Monitor adanya indikasi
anasarka, efusi overload/retraksi
 Suara paru bersih 4) Kaji daerah edema jika ada
 Tanda vital dalam Fluid monitoring:
batas normal 1) Monitor intake/output cairan
2) Monitor serum albumin dan
protein total
3) Monitor RR, HR
4) Monitor turgor kulit dan
adanya kehausan
5) Monitor warna, kualitas dan BJ
urine
4 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askep ….. Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari jam klien menunjukan status 1) kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh nutrisi adekuat dibuktikan 2) Kaji adanya alergi makanan.
dengan BB stabil tidak terjadi 3) Kaji makanan yang disukai
mal nutrisi, tingkat energi oleh klien.
adekuat, masukan nutrisi 4) Kolaborasi dg ahli gizi untuk
adekuat penyediaan nutrisi terpilih
sesuai dengan kebutuhan
klien.
5) Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
6) Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung
cukup serat untuk mencegah
konstipasi.
7) Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien

Monitor Nutrisi
1) Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2) Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan
klien makan.
3) Monitor lingkungan selama
makan.
4) jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
5) Monitor adanya mual muntah.
6) Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
7) Monitor intake nutrisi dan
kalori.
5 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan askep ... Kontrol infeksi
tindakan invasive, jam risiko infeksi terkontrol dg 1) Ajarkan tehnik mencuci
penurunan daya Kriteria hasil: tangan
tahan tubuh primer  Bebas dari tanda-tanda 2) Ajarkan tanda-tanda infeksi
infeksi 3) laporkan dokter segera bila
 Angka leukosit normal ada tanda infeksi
4) Batasi pengunjung
 Ps mengatakan tahu 5) Cuci tangan sebelum dan
tentang tanda-tanda sesudah merawat ps
dan gejala infeksi 6) Tingkatkan masukan gizi yang
cukup
7) Anjurkan istirahat cukup
8) Pastikan penanganan aseptic
daerah IV
9) Berikan PEN-KES tentang risk
infeksi
proteksi infeksi:
1) monitor tanda dan gejala
infeksi
2) Pantau hasil laboratorium
3) Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi
4) monitor VS
DAFTAR PUSTAKA

Basuki B. Dasar-dasar urologi.Malang: Sagung seto; 2015.hlm.93-100.

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6. Jakarta : EGC
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., CushmanW.C., Green L.A., Izzo J.L., Jr., et al,
2003. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report.
JAMA;289:2560-72.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.
David S. Goldfarb,MD.In the clinic nephrolithiasis.American College of Physicians [internet].
2009 [6 Agustus 2017]. Tersedia dari: https://www.med.unc.edu/medselect/res
ources/course%20reading/ITC%20nephrol ithiasis.full.pdf

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000 . Nursing Care Plans : Guidelines For
Planning And Documenting Patients Care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC
Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.
Gareth Beevers. Para patofisiologi hipertensi. British Medical Journal. FindArticles.com.
Hanley JM, Saigal CS, Scales CD, Smith AC. Prevalences of kidney stone in the United
States. Journal European Association of Urology[internet]. 2012[diakses tanggal 6
Agustus 2017]; 62(1):160-5.Tersedia dari: http://journal.unnes.ac.id/index.php/kem as
Hopper D.P, dan William S.L. 2007. Understanding Medical Surgical Nursing Third Edition.
Philadelphia: FA Davis Company
Hughes AD, Schachter M. Hypertension and blood vessels. Hughes AD, Schachter M.
Hipertensi dan pembuluh darah. Br Med Bull 1994;50:356-70. Br Med Bull 1994;
50:356-70.
Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC).
the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).
(http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients’ guide.
(http://www.kidney.org.uk).
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.
Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EG
Smeltzer C.S. dan Bare Brenda. 2003. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th edition. Philadelphia: Lippincott.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C,. Bare,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2008 ). Textbook Of Medical –Surgical
Nursing. Ed 12. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.Zhou, Y.L., Liu, H.L.,
Duan, X.F., Yao, Y., Sun, Y., & Liu, Q. (2006). Impact Of Sodium And Ultrafiltration
Profiling On Haemodialysis Related Hypotension. Nephrol Dial Transplant.
21(11).3231-7.
Soeparman & Waspadji . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.I. Jakarta: BP FKU
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI. 2006.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.
Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit
Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai