2.2 Klasifikasi
Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci ada
beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu bedasarkan letak
batu antara lain: (Prabawa & Pranata, 2014):
1) Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal
2) Ureterolithiasis disebut batu pada ureter
3) Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli
4) Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter
Klasifikasi batu saluran kemih menurut Joyce M Black dalam buku Medical Surgical
Nursing, 2001 hal 822-824 dan Basuki B Purnomo, 2000 hal 64-66 adalah:
1. Batu Kalsium
Batu kalsium merupakan jenis batu terbanyak, batu kalsium biasanya terdiri dari
fosfat atau kalsium oksalat. Dari bentuk partikel yang terkecil disebut pasir atau
kerikil sampai ke ukuran yang sangat besar “staghorn” yang berada di pelvis dan
dapat masuk ke kaliks.
2. Batu struvit
Batu struvit dikenal juga dengan batu infeksi karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah
kuman golongan pemecah urea atau urea spilitter yang dapat menghasilkan
enzim urease dan merubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi
amoniak.
3. Batu asam urat
Faktor yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah:
a) Urin yang terlalu asam yang dapat disebabkan oleh makanan yang banyak
mengandung purine, peminum alcohol.
b) Volume urin yang jumlahnya sedikit (<2 liter perhari) atau dehidrasi.
c) Hiperurikosuri: kadar asam urat melebihi 850 mg/ 24jam. Asam urat yang
berlebih dalam urin bertindak sebagai inti batu untuk terbentuknya batu kalsium
oksalat.
4. Batu sistin
Cystunuria mengakibatkan kerusakan metabolik secara congetinal yang mewarisi
pengahambat atosomonal. Batu sistin merupakan jenis yang timbul biasanya
pada anak kecil dan orang tua, jarang ditemukan pada usia.
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah untuk
menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran nefron, mengontrol
infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi (Brunner & Suddart, 2015; Rahardjo
& Hamid, 2004). Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan
obstruksi dan infeksi. Beberapa tindakan untuk mengatasi penyakit urolithiasis adalah
dengan melakukan observasi konservatif (batu ureter yang kecil dapat melewati saluran
kemih tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau bahan untuk memecahkan batu),
mengurangi obstruksi (DJ stent dan nefrostomi), terapi non invasif Extracorporeal Shock
Wave Lithotripsy (ESWL), terapi invasif minimal: ureterorenoscopy (URS), Percutaneous
Nephrolithotomy, Cystolithotripsi/ ystolothopalaxy, terapi bedah seperti nefrolithotomi,
nefrektomi, pyelolithotomi, uretrolithotomi, sistolithotomi (Brunner & Suddart, 2015;
Gamal, et al., 2010; Purnomo, 2012; Rahardjo & Hamid, 2004).
2.7 Komplikasi
Antara 70-90% Kristal berukuran kecil dapat berjalan di dalam saluran kemih dan
meninggalkan tubuh melalui urin tanpa diketahui sebelumnya. Ketika terjadi gejala atau
tanda klinis, batu ginjal dapat didiskripsikan sebagai suatu penyakit yang nyerinya sakit
sekali yang dikenal dengan Renal Colic. Perbedaan penatalaksanaan dan ukuran dari
batu mengakibatkan beberap komplikasi diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Sepsis
Infeksi yang sudah menyebar melaului darah bisa menimbulkan gejala/tanda
klinis dari komplikasi di seluruh tubuh.
2. Steinstrasse
Suatu kondisi dimana terjadi penyumbatan yang diakibatkan batu-batu tersebut
berada pada ureter. Dapat mengakibatkan suatu obstruksi yang bersifat sementara dan
tanpa meninggalkan luka yang tidak permanen. Dalam beberap akasus obstruksi terjadi
tanpa ada gejala. Infeksi mungkin saja terjadi. Dimana harus membutuhkan penanganan
yang cepat dan tepat.
3. Adanya luka dalam ureter
Ketika batu tersebut menggores dinding saluran kemih maka bisa terjadi luka dalam
ureter. Bisa terjadi di seluruh permukaan saluran kemih.
4. Infeksi pada saluran kemih ( termasuk di dalam steinstrasse )
5. Pendarahan pada saat operasi
6. Rasa sakit yang luar biasa
7. Penyakit Ginjal Kronis
Pasien dengan btu ginjal, tinggi resiko untuk terkena penyakit ginjal kronik.
Didukung oleh faktor resiko seperti diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, atau pernah
terjadi infeksi saluran kemih.
8. Gagal ginjal
Jarang sekali batu ginjal mengakibatkan gagal ginjal. Namun beberapa orang memiliki
faktor resiko yang membuat komplikasi lebih serius lagi seperti banyaknya jumlah batu
yang terbentuk, terjadinya obstruksi riwayat pernah melalukan pengobatan batu ginjal,
dan besarnya dari batu tersebut.
2. HEMODIALISA
2.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal
merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua
teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai
respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air
plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan
memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam
pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan (NKF, 2006).
2.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
2.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100
ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang
dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan konvensional
tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa:
Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
Hiperkalemia,
Overload cairan yang parah,
Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
Hiperkalemia,
Asidosis metabolik yang parah.
2.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut
(PERNEFRI, 2003).
2.5. Proses
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen, yaitu:
1. Kompartemen darah
2. Kompartemen cairan pencuci (dialisat)
3. Ginjal buatan (dialiser)
Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu.
Kemudian, masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi
proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik. Selanjutnya,
darah akan beredar didalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam
dialiser (Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah
1) Komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen darah) akan
berubah dengan cara memaparkan larutan inid engan larutan lain
(kompartemen dialisat) melalui membran semi permeable (dialiser).
2) Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan
ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute
terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, sedangkan utrafiltrasi adalah
perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran kecil
yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul airmelewati
porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik,
akibat perbedaan tekanan air (trans membrane pressure) atau mekanisme
osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,2007). Pada
mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan
disebabkan oleh gradient tekanan trans membran (Daurgirdas et al., 2007)
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan
air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien didialiser dan rendaman dialisat
memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi yang
dapat terjadi (misal emboli udara, ultrafiltrasi tidak cukup kuat atau berlebihan,
perembesan darah, kontaminasi dan fistula)
Darah dalam pipa arteri dipompa dalam dialiser yang didalamnya mengalir darah
melalui tabung-tabung selodan yang bekera sebagai membran permeabel. Larutan
dialisat yang memiliki kinoisusu kimiawi yang lama seperti darah kecuali ureum dan
produk limbah mengalir di sekeliling tubulus. Produk limbah dalam darah berdifusi
melalui membran semipermeabel ke dalam larutan dialisat.
2. Komplikasi Kronik
Komplikasi
Penyakit Jantung: fungsi Renin dan Agiotensin pada ginjal yang tidak adekuat
Malnutrisi: hipoglikemi yang menyebabkan mual dan muntah tidak terkontrol
Hipertensi
Kelebihan cairan pradialisis akan meningkatkan resistensi vaskuler dan pompa
jantung. Pasien yang mengalami hipertensi intradialisis terjadi peningkatan nilai
tahanan vaskuler perifer yang bermakna pada jam akhir dialisis. Jika terjadi
kenaikan tekanan darah postdialysis mencerminkan kelebihan volume subklinis
(Wuchang & Yao-ping 2012)
Perdarahan
Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Pengguanaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan factor resiko terjadinya perdarahan.
Amiloidosis : penumpukan protein pada jaringan dan organ tubuh, yang dapat
menyebabkan kegagalan organ.
3.1. Pengkajian
1) Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
3) Riwayat penyakit
a) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
b) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.
c) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.
5) Pemeriksaan Fisik :
a) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,
kental dan banyak.
Tanda:
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa
sputum.
b) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:
Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan
sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda:
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub
perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
c) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
d) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala:
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda:
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
e) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan
Diare
f) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam
hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan
gerak sendi.
6) Pola aktivitas sehari-hari
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum
yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi
status kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan
berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut
(amonia), Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,
kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
c) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine,
(pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
peredaran Hydration
Nutritional Status : 1. Monitor status hidrasi
darah/cairan tidak
Food and Fluid Intake (kelembaban membran
efektif (proses
mukosa, nadi adekuat,
dialisis berlangsung
Setelah dilakukan tindakan tekanan darah ortostatik)
keperawatan selama 5 jam 2. Monitor vital sign
diharapkan defisit volume 3. Monitor masukan makanan /
cairan tidak terjadi dengan cairan selama interdialisis
4. Monitor status nutrisi
Kriteria Hasil : 5. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
Tekanan darah, nadi, 6. Kolaborasi dokter jika tanda
suhu tubuh dalam cairan berlebih muncul
batas normal meburuk
Tidak ada tanda tanda 7. Atur kemungkinan tranfusi
dehidrasi, Elastisitas 8. Persiapan untukkemungkinan
turgor kulit baik, tranfusi
membran mukosa
lembab, tidak ada
rasa haus yang
berlebihan
3 Kelebihan volume Setelah dilakukan askep ..... Fluid management:
cairan b.d. jam pasien mengalami 1) Monitor status hidrasi
mekanisme keseimbangan cairan dan (kelembaban membran
pengaturan elektrolit. mukosa, nadi adekuat)
melemah Kriteria hasil: 2) Monitor tnada vital
Bebas dari edema 3) Monitor adanya indikasi
anasarka, efusi overload/retraksi
Suara paru bersih 4) Kaji daerah edema jika ada
Tanda vital dalam Fluid monitoring:
batas normal 1) Monitor intake/output cairan
2) Monitor serum albumin dan
protein total
3) Monitor RR, HR
4) Monitor turgor kulit dan
adanya kehausan
5) Monitor warna, kualitas dan BJ
urine
4 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askep ….. Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari jam klien menunjukan status 1) kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh nutrisi adekuat dibuktikan 2) Kaji adanya alergi makanan.
dengan BB stabil tidak terjadi 3) Kaji makanan yang disukai
mal nutrisi, tingkat energi oleh klien.
adekuat, masukan nutrisi 4) Kolaborasi dg ahli gizi untuk
adekuat penyediaan nutrisi terpilih
sesuai dengan kebutuhan
klien.
5) Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
6) Yakinkan diet yang
dikonsumsi mengandung
cukup serat untuk mencegah
konstipasi.
7) Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien
Monitor Nutrisi
1) Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2) Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan
klien makan.
3) Monitor lingkungan selama
makan.
4) jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
5) Monitor adanya mual muntah.
6) Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya
perdarahan, bengkak dsb.
7) Monitor intake nutrisi dan
kalori.
5 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan askep ... Kontrol infeksi
tindakan invasive, jam risiko infeksi terkontrol dg 1) Ajarkan tehnik mencuci
penurunan daya Kriteria hasil: tangan
tahan tubuh primer Bebas dari tanda-tanda 2) Ajarkan tanda-tanda infeksi
infeksi 3) laporkan dokter segera bila
Angka leukosit normal ada tanda infeksi
4) Batasi pengunjung
Ps mengatakan tahu 5) Cuci tangan sebelum dan
tentang tanda-tanda sesudah merawat ps
dan gejala infeksi 6) Tingkatkan masukan gizi yang
cukup
7) Anjurkan istirahat cukup
8) Pastikan penanganan aseptic
daerah IV
9) Berikan PEN-KES tentang risk
infeksi
proteksi infeksi:
1) monitor tanda dan gejala
infeksi
2) Pantau hasil laboratorium
3) Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi
4) monitor VS
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6. Jakarta : EGC
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., CushmanW.C., Green L.A., Izzo J.L., Jr., et al,
2003. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report.
JAMA;289:2560-72.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.
David S. Goldfarb,MD.In the clinic nephrolithiasis.American College of Physicians [internet].
2009 [6 Agustus 2017]. Tersedia dari: https://www.med.unc.edu/medselect/res
ources/course%20reading/ITC%20nephrol ithiasis.full.pdf
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000 . Nursing Care Plans : Guidelines For
Planning And Documenting Patients Care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC
Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI.
Gareth Beevers. Para patofisiologi hipertensi. British Medical Journal. FindArticles.com.
Hanley JM, Saigal CS, Scales CD, Smith AC. Prevalences of kidney stone in the United
States. Journal European Association of Urology[internet]. 2012[diakses tanggal 6
Agustus 2017]; 62(1):160-5.Tersedia dari: http://journal.unnes.ac.id/index.php/kem as
Hopper D.P, dan William S.L. 2007. Understanding Medical Surgical Nursing Third Edition.
Philadelphia: FA Davis Company
Hughes AD, Schachter M. Hypertension and blood vessels. Hughes AD, Schachter M.
Hipertensi dan pembuluh darah. Br Med Bull 1994;50:356-70. Br Med Bull 1994;
50:356-70.
Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC).
the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).
(http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients’ guide.
(http://www.kidney.org.uk).
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.
Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EG
Smeltzer C.S. dan Bare Brenda. 2003. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th edition. Philadelphia: Lippincott.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth
volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C,. Bare,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2008 ). Textbook Of Medical –Surgical
Nursing. Ed 12. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.Zhou, Y.L., Liu, H.L.,
Duan, X.F., Yao, Y., Sun, Y., & Liu, Q. (2006). Impact Of Sodium And Ultrafiltration
Profiling On Haemodialysis Related Hypotension. Nephrol Dial Transplant.
21(11).3231-7.
Soeparman & Waspadji . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.I. Jakarta: BP FKU
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI. 2006.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.
Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit
Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.