Anda di halaman 1dari 3

BAGIAN EMPAT

WACANA KEWARGANEGARAAN AGONISTIK : MENGISI JEJAK


KERENTANAN DALAM LIBERALISME

Karakter aktif dan artikulasi dari wacana Kewarganegaraan Agonistik menjadi keharusan
bagi kita untuk menjelaskan artikulasi berbagai posisi warga negara dalam suatu relasi
hegemonik.

Identitas sebagai Penjelas Awal


Berbagai gejolak identitas dipikirkan sebagai kemunculan atau kehadiran berbagai
identitas yang telah direpresi dalam kisaran perdebatan dua kutub esensialis (Laclau ed,
1994:1). Gejolak dan kpnflik dari berbagai identitas menandakan langkah menjauh dari
ikatan-ikatan kategori fundasional : komunisme dan Liberalisme itu sendiri (Laclau dalam
Dochery, 1993:335-336).
Identitas dipahami sebagai suatu yang dibentuk oleh proses identifikasi dalam sistem
yang bersifat terbuka. Apa yang dijelaskan disini mengenali identitas adalah pertama, bahwa
identitas tidak pernah bersifat esensial atau alamiah. Kedua, identitas selalu bersifat subversif,
artinya setiap usaha fiksasi dari identitas akan berbenturan dengan kehadiran yang kontingen.
Ketiga, identitas menjadi medan overdeterminasi yangmerupakan istilah psikoanalisis dan
linguistik yang diapakai oleh Althuser yang melampaui makna metaforisnya.
Warga negara sebagai subyrk politik senantiasa mengidentifikasi dirinya dengan berbagai
identifikasi politik. Warga negara dipahami bukan sebagai kesatuan subyek dan dikontruksi
dalam diskursus yang spesifik dan selalu rentan dalam keterjalinannya dengan posisi-posisis
poltik tertentu sehingga karakter Kewarganegaraan Agonistik mencirikan mode of
identification dari kelompok-kelompok politik (Mouffe 1993;71;1996).
Identitas politik dan warga negara menurut Laclau, dalam on Populist Reason, menegaskan
bahwa kesatuan dari kelompok (identitas) merupakan artikulasi dari berbagai kepentingan
atau tuntutan politik(Laclau, 2005:ix). Sedangkan Mouffe menjelaskan bahwa komunitas
politik senantiasa berada dalam wilayah diskursif yang mencerminkan berbagai tuntutan atau
kepentingan politik dan melaluinya proses identifikasi sebagai identitas beroperasi.
Apa yang dikatakan oleh Laclau dan Mouffe menjelaskan tiga poin penting dalam
memaknai warga negara sebagai identitas politik. Pertama, Bahwa membahas warga negara
dakam kaitanya dengan identitas politik berarti harus memahami mode of articulation
berbagai hak-hak pada subjek yang kita sebut warga negara. Kedua, warga negara tidak
semata-mata berbicara berbicara sial bagaimana subyek mempertahankan kepentingannya
melainkan menjelaskan soal bagaimana warga negara membentuk identitas-identitasmya
melalui artikulasi atau perjuangan-perjuangan politkm serta proses identidikasi dimana relasi
kekuasaan beroperasi (Laclau, 1994:37). Ketiga, warga negara bertindak dalam logika
komunitas yang sifatnya diskursif sehinngga setiap arah tindakannya tidak merujuk pada
pemenuhan yang tunggal sari artikulasi keidentitasanya.

Warga Negara dalam Relasi Antagonistik dan Agonistik


Radikalisasi demokrasi bermakna sama dengan meradikalisasi warga negara.
Dimensi antamasing-masing lengkap dalam dirinya. Antagonisme menjelaskan relasi antar
identitas secara berbeda yakni keberadaan liyan menghalangi satu identitas untuk sepenuhnya
menjadi dirinya.
Relasi antar warga negara dibedakan menjadi dua, Antagonistik dan Agonistik. Relasi
antantagonismengandung makna identifikasi di dalam dirinya khususnya berkaitan dengan
konstruksi siapa kita dan siapa mereka, merupakan cara identifikasi di dalam mana relasi
antara bentuk dan isinya terbentuk melalui proses pendakuan yang membentuk siapa yang
lain dari kita (Op cit Panizza). Dalam Agonistik, kesetaraan dan kebebasan tidak direduksi
semata-mata menjadi hak utama individu dan seolah-olah bersifat imanen sejak lahir, tetapi
harus dipahami dalam konteks kontestasi dari berbagai identitas politik demi terciptanya
ruang pengakuan dan redistribusi.

Liberty dan Equality sebagai Etika-Kepolitikan Kewarganegaraan Agonistkik

Prinsip kebebasan dan persamaan menjadi salah satu fondasi untuk menjelaskan
kewarganegaraan dalam wacana agagonistik. Merayakan kebebasan adalah suatu usaha untuk
membuka ruang bagi artikulasi dan ekspresi politik berbagai warga negara karena pada
dasarnya kebebasan harus bersuara lebih keras dari suatu tirani. Dari sinilah makna kesetaran
hadir sebagai penjelas. Dalam wacana kewarganegaran agonistik, relasi konfliktual yang
dibangun pada dirinya menarik batas inklusi dan ekslusi dari relasi antar warga negara, batas-
batas itu pun harus berdasar pada etika kepolitikan yakni kebebasan dan persamaan.

Hegemoni dan Kewarganegaraan


Hegemoni di sini tidak hanya dipahami srbgai teori politik melainkan sebagai strategi
untuk mengkerangkai artikulasi warga negara dalam medan sosio-politiko. Hegemoni
menjadi struktur pusat analisis politik. Dalam setiap bentuk hubungan politik selalu ada
kemungkinan untuk menciptakan hegemoni sehinga setiap bentuk relasi sosial selalu
menghadirkan hegemoni (Laclau dan Mouffe dalam Hargens, 2006:61). Rujukan terhadap
marxisme merupakan langkah yang perlu dilakukan walaupun kita sampai pada pergeseran
tertentu. Pergeseran itu memunculkan suatu penanda baru dalam menjelaskan hegemoni
yakni postmarxism. Istilah postmarxisme sebagai moment of destruction terhadap Marxisme
bermakna melampaui fakta ontologis mengenai kelas modal materialisme historis, dll
(Laclau, 1987:331). Hegemoni memiliki dua karakter utama, yakni otoritarian dan
demokratik. Karakter ototarian muncul dalam kondisi seperti pendefinisian secara apriori
terhadap identitas kelas dan meyakini gerak sejarah secara saintifik.
Watak demokratik ditandai oleh pertama, runtuhnya batas tegaspendefenisian
identitas sehinga sifat kontigensi mmenjadi cara berada dari identitas politik. Dua penjelas
sentral dari hegemoni adalah kontingensi dan karakter konstitutif (Mouffe, 2005:17). Sifat
kontingensi memungkinkan relas antara berbagai identitas tidak ditentukan secara apriori
sehingga dapat melangkah melampaui partikularitas yang dimiliki. Kedua, dimensi konstitutif
dipahami dalam logika terbentuknya identitas baru dari suatu praktik hegemonik.
Aspek-aspek berikut menjadi kunci bagi strategi hegemoni warga negara =
1. Berbicara hegemoni dalam artikulasi warga negara berarti memainkan suatu strategi
diskursif tertentu (cf Laclau dan Mouffe terj, 2008:90). Jadi hegemoni ada dalam suatu
strategi diskursif dan diskurus lahir dari praktik artikulasi, praktik artikulasi merupakan
elemen kunci dari warga negara.
2. Hegemoni terjalin dalam suatu relasi equivalensi antar warga negara yang dibangun
melalui relasi identitas yang melampaui partikularitasnya.
3. Hegemoni bertujuan untuk menstabilisasi nodal point. Artinya, stabilisasi nodal point yang
membentuk dasar tatanan konkret dengan mengartikulasikan berbagai elemen yang ada-
floating signifier.
4. Relasi hegemoni menggaris area tapal batas politik (political frointier) karena adanya
polarisasi baru. Tapal batas selain dijelaskan oleh relasi ekuivalensi juga merupakan fakta
dari relasi hegemonik yang terbentuk oleh antagonisme. Polarisasi ini didasari oleh relasi
ekuivalensi karena membangun relasi equivalensi berarti menciptakan tapal batas dan
mendefinisikan siapa yang menjadi lawan (adversary).
Jalinan relasi antara posisi diskursif tertentu dari warga negara yang
mengartikulasikan tuntutan demokratiknya pada saat yang sama menciptakan tapal batas
dengan rejim yang sedang dilawan. Dalam pluralitas itu selalu ada kondisi khusun yang
mengantar berbagai identitas warga negara menjalin relasi di antara mereka. Kondisi ini
sebelumnya kita sebut chain of equivalence. Yang menjadi 'yang lain' dalam relasi antara satu
identitas dengan identitas warga negara dipandang sebagai legitimate dissent.

Anda mungkin juga menyukai