Anda di halaman 1dari 8

1

BAB III

3.1 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan proses akumulasi adsorbat pada permukaan adsorben yang
disebabkan oleh gaya tarik antar molekul atau suatu akibat dari medan gaya pada permukaan
padatan (adsorben) yang menarik molekul-molekul gas, uap atau cairan (Oscik, 1982).
Sedangkan Alberty dan Daniel (1987) mendefinisikan adsorpsi sebagai fenomena yang terjadi
pada permukaan. Adsorpsi secara umum didefinisikan sebagai akumulasi sejumlah molekul,
ion atau atom yang terjadi pada batas antara dua fasa. Adsorpsi menyangkut akumulasi atau
pemusatan substansi adsorbat pada adsorben dan dalam hal ini dapat terjadi pada antar muka
dua fasa. Fasa yang menyerap disebut adsorben dan fasa yang terserap disebut adsorbat.
Kebanyakan adsorben adalah bahanbahan yang memiliki pori karena berlangsung terutama
pada dinding-dinding pori atau letak-letak tertentu didalam adsorben.
Gaya tarik-menarik dari suatu padatan dibedakan menjadi dua jenis yaitu gaya fisika
dan gaya kimia yang masing-masing menghasilkan adsorpsi fisika (physisorption) dan adsorpsi
kimia (chemisorption). Adsorpsi fisika adalah proses intertaksi antara adsorben dengan
adsorbat yang melibatkan gaya-gaya antar molekul seperti gaya van der Waals, sedangkan
adsorpsi kimia terjadi jika interaksi adsorben dan adsorbat melibatkan pembentukan ikatan
kimia.
Dalam proses adsorpsi melibatkan berbagai macam gaya yakni gaya van der Waals,
gaya elektrostatik, ikatan hidrogen serta ikatan kovalen (Martell and Hancock, 1996). Pada
adsorpsi kimia terjadi pembentukan dan pemutusan ikatan, sehingga energi adsorpsinya berada
pada kisaran yang sama dengan reaksi kimia. Ikatan antara adsorben dengan adsorbat cukup
kuat sehingga tidak terjadi spesiasi, karena zat yang teradsorpsi menyatu dengan membentuk
lapisan tunggal dan relatif reversibel. Batas minimal suatu adsorpsi dikategorikan sebagai
kemisorpsi adalah memiliki harga energi adsorpsi sebesar 20,92 kJ/mol (Adamson, 1997).
Energi yang menyertai adsorpsi kimia relatif tinggi yaitu berkisar 42-420 kJ/mol. Hal ini
diperkuat oleh studi spektroskopi bahwa terjadi transfer elektron dan terbentuk ikatan kimia
antara adsorben dan adsorbat.
Proses adsorpsi larutan secara teoritis umunya berlangsung lebih lama dibandingkan
proses adsorpsi pada gas, uap atau cairan murni (Shaw, 1983). Hal ini disebabkan pada adsorpsi
larutan melibatkan persaingan antara komponen larutan dengan situs adsorpsi. Proses adsorpsi
larutan dapat diperkirakan secara kualitatif dari polaritas adsorben dan komponen penyusun
2

larutan. Kecenderungan adsorben polar lebih kuat menyerap adsorbat polar dibandingkan
adsorbat non polar, demikian pula sebaliknya. Kelarutan adsorbat dalam pelarut merupakan
faktor yang menentukan dalam proses adsorpsi, umumnya substansi hidrofilik sukar
teradsorpsi dalam larutan encer.
Pada dasarnya, suatu adsorben harus memiliki luas permukaan spesifik yang tinggi,
yaitu memiliki pori-pori berdiameter kecil agar proses retensi partikel adsorbat oleh adsorben
berlangsung lebih efektif. Secara spesifik, ukuran pori juga menentukan adsorpsi suatu
senyawa tertentu dalam larutan. Jika ukuran pori adsorben semakin kecil maka kemampuan
adsorpsinya semakin besar, dengan anggapan bahwa komponen yang teradsorpsi dapat
memasuki rongga porinya. Jumlah adsorben yang makin banyak akan memberikan luas
permukaan yang makin besar bagi adsorbat untuk terdesorpsi. Selain itu makin banyak jumlah
adsorben juga akan memberi kesempatan kontak yang makin besar dengan molekul-molekul
adsorbat (Sembodo, 2006).

3.1.1 Kapasitas Adsorpsi


Kinetika kimia mencakup suatu pembahasan tentang kecepatan (laju) reaksi dan
bagaimana proses reaksi berlangsung. Definisi tentang laju reaksi adalah suatu perubahan
konsentrasi pereaksi maupun produk dalam satuan waktu (Keenan,1984). Orde reaksi
merupakan bagian dari persamaan laju reaksi. Orde reaksi terhadap suatu komponen menurut
Atkins (1999) merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu, dalam persamaan laju reaksi.

3.12 Isoterm Adsorpsi Langmuir


Model kinetika adsorpsi Langmuir ini berdasarkan pada asumsi sebagai berikut: laju
adsorpsi akan bergantung pada faktor ukuran dan struktur molekul adsorbat, sifat pelarut dan
porositas adsorben, situs pada permukaan yang homogen dan adsorpsi terjadi secara
monolayer. Proses adsorpsi heterogen memiliki dua tahap, yaitu : (a) perpindahan adsorbat
dari fasa larutan ke permukaan adsorben dan (b) adsorpsi pada permukaan adsorben. Tahap
pertama akan bergantung pada sifat pelarut dan adsorbat yang terkontrol (Oscik,1982).
Bagian yang terpenting dalam proses adsorpsi yaitu situs yang dimiliki oleh adsorben
yang terletak pada permukaan, akan tetapi jumlah situs-situs ini akan berkurang jika
permukaan yang tertutup semakin bertambah (Husin and Rosnelly, 2005). Persamaan isoterm
adsorpsi Langmuir tersebut dapat ditulis dalam bentuk persamaan linier :
3

𝐶 1 𝐶
= + (1)
𝑚 𝑏𝐾 𝑏
Dimana C adalah konsentrasi kesetimbangan, m adalah jumlah zat yang teradsorpsi per gram
adsorben, b adalah kapasitas adsorpsi dan K adalah tetapan kesetimbangan adsorpsi. Dari
kurva linier hubungan antara C/m versus C maka dapat ditentukan nilai b dari kemiringan (slop)
dan K dari intersep kurva. Energi adsorpsi (Eads) yang didefinisikan sebagai energi yang
dihasilkan apabila satu mol ion logam teradsorpsi dalam adsorben dan nilainya ekuivalen
dengan nilai negatif dari perubahan energi Gibbs standar, ΔG0 dapat dihitung menggunakan
persamaan :
E = -ΔG0ads= RT ln K (2)
Dengan R adalah tetapan gas umum (8,314 J/mol K), T adalah temperatur (K) dan K adalah
konstanta kesetimbangan yang diperoleh dari persamaan Langmuir, sehingga energi total
adsorpsi E harganya sama dengan negatif energi bebas Gibbs (Oscik, 1982).

3.1.3 Isoterm Adsorpsi Freundlich


Model isoterm Freundlich menjelaskan bahwa proses adsorpsi pada bagian permukaan
adalah heterogen dimana tidak semua permukaan adsorben mempunyai daya adsorpsi. Model
isoterm Freundlich menunjukkan lapisan adsorbat yang terbentuk pada permukaan adsorben
adalah multilayer. Hal tersebut berkaitan dengan ciri-ciri dari adsorpsi secara fisika dimana
adsorpsi dapat terjadi pada banyak lapisan (multilayer) (Husin and Rosnelly, 2005).
Bentuk persamaan Freundlich adalah sebagai berikut :
qe = Kf Ce 1/n (3)
Dimana qe adalah jumlah adsorbat yang terserap tiap satuan berat adsorben
(mg/g), Ce adalah konsentrasi setimbang adsorbat dalam fase larutan (mg/L), K f dan n adalah
konstanta empiris yang tergantung pada sifat padatan, adsorben dan suhu (Soeprijanto et al.,
2006). Penentuan konstanta Kf dan n dapat dilakukan dengan linierisasi persamaan (3) :
log (qe) = log (Kf) + log (Ce) (4)
Kf dan n dapat dicari dengan membuat kurva ln(qe) berbanding ln(Ce). Kf didapat dari titik
potong dengan sumbu tegak dan n dari tangen arah garis lurus yang terbentuk. Koefisisen Kf
sering dikaitkan dengan kapasitas adsorpsi adsorben sehingga mencerminkan jumlah rongga
dalam adsorben tersebut (Singh and Alloway, 2006).
4

3.1.4 Kinetika pseudo orde 1 dan orde 2


Analisa kinetika didasarkan pada kinetika reaksi terutama pseudo orde pertama atau
mekanisme pseudo pertama bertingkat. Untuk meneliti mekanisme adsorpsi, konstanta
kecepatan reaksi sorpsi kimia untuk ion-ion logam, digunakan persamaan sistem pseudo orde
pertama oleh Lagergren dan mekanisme pseudo orde kedua (Buhani et al., 2010). Persamaan
ini digunakan untuk menguji data percobaan dari konsentrasi awal, suhu dan berat ion-ion
logam dalam larutan pada pH 6 (Zhang et al., 1998).
qt = qe (1- 𝑒𝑘1𝑡) (5)
log (qe-qt) = log qe - t (6)
𝑞 2𝑘2𝑡
𝑒
𝑞𝑡 = 1+𝑞 2𝑘 (7)
𝑒 2𝑡

(8)

Dengan qe adalah jumlah ion logam divalen yang teradsorpsi (mg/g) pada waktu keseimbangan,
qt adalah jumlah ion logam divalent yang teradsorpsi pada waktu t (menit), k1 dan k2 adalah
konstanta kecepatan adsorpsi orde 1 dan orde 2 (menit-1).

3.1.5 Selektivitas Adsorpsi


Selektivitas adsorpsi merupakan kemampuan suatu adsorben untuk menyerap
adsorbatnya. Selektivitas adsorpsi pada adssorben HAS (Hibrida Amino Silika) dan HMS
(Hibrida Merkapto Silika) dipelajari dengan melakukan kompetisi adsorpsi ion Pb(II) terhadap
pasangannya dengan ion Cd(II), Ni(II), Zn(II), dan Cu(II) dalam larutan. Ion-ion logam
tersebut dipilih berdasarkan perbedaan jari-jari ionik dan perbedaan keasaman ion-ion
logamnya (Buhani et al., 2010).
Untuk menentukan jumlah logam teradsorpsi, rasio distribusi dan koefisien selektivitas pada
proses adsorpsi ion logam terhadap adsorben hibrida amino silika dan merkapto silika dapat
digunakan persamaan berikut :
Q = (Co-Ca)V/W (9)
D= Q/Ca
%A = (Co-Ca)/Co x 100
α = DM1/DM2
Dimana Q menyatakan jumlah logam teradsorpsi (mg/g), Co dan Ca menyatakan konsentrasi
awal dan kesetimbangan dari ion logam (mmol/L), W adalah massa adsorben (g), V adalah
5

volume larutan ion logam (L), A (%) persentasi adsorpsi, D adalah rasio distribusi (mL/g), dan
α adalah koefisien selektivitas (Buhani et al., 2009).

3.2 Metode Sol-Gel


Metode sol-gel merupakan salah satu metode yang paling sukses dalam mempreparasi
material oksida logam berukuran nano. Sol adalah suspensi koloid yang fasa terdispersinya
berbentuk padat dan fasa pendispersinya berbentuk cairan. Suspensi dari partikel padat atau
molekul-molekul koloid dalam larutan, dibuat dengan metal alkoksi dan dihidrolisis dengan
air, menghasilkan partikel padatan metal hidroksida dalam larutan, dan reaksinya adalah reaksi
hidrolisis (Paveena et al., 2010).

Gel (gelation) adalah jaringan partikel atau molekul, baik padatan dan cairan, dimana
polimer yang terjadi di dalam larutan digunakan sebagai tempat pertumbuhan zat anorganik.
Pertumbuhan anorganik terjadi di gel point, dimana energi ikat lebih rendah. Reaksinya adalah
reaksi kondensasi, baik alkohol atau air, yang menghasilkan oxygen bridge (jembatan oksigen)
untuk mendapatkan metal oksida (Paveena et al., 2010).

Metode sintesis menggunakan sol-gel untuk material berbasis oksida berbedabeda


bergantung prekursor dan bentuk produk akhir, baik itu berupa powder, film, aerogel, atau
serat. Struktur dan sifat fisik gel sangat bergantung pada beberapa hal, diantaranya:
a) Pemilihan bahan baku material
b) Laju hidrolisis dan kondensasi
c) Modifikasi kimiawi dari sistem sol-gel.
Metode sol gel cocok untuk preparasi thin film dan material berbentuk powder. Tujuan
preparasi ini agar suatu material keramik dapat memiliki fungsional khusus (elektrik, optik,
magnetik, dll). Metode sol gel memiliki keuntungan antara lain:
a) Mudah dalam kontrol komposisi (kehomogenan komposisi kimia baik)
b) Temperatur proses rendah
c) Biaya murah.
Metode sol-gel dikenal sebagai salah satu metode sintesis nanopartikel yang cukup sederhana
dan mudah. Metode ini merupakan salah satu “wet method” atau metode basah karena pada
prosesnya melibatkan larutan sebagai medianya. Pada metode sol-gel, sesuai dengan namanya
larutan mengalami perubahan fase menjadi sol (koloid yang mempunyai padatan tersuspensi
6

dalam larutannya) dan kemudian menjadi gel (koloid tetapi mempunyai fraksi solid yang lebih
besar daripada sol (Phumying et al., 2010).

3.3 Besi (Fe)


Besi adalah salah satu elemen kimiawi yang dapat ditemui pada hampir setiap tempattempat di
bumi, pada semua lapisan geologis dan semua badan air. Pada umumnya, besi yang ada di
dalam air dapat bersifat terlarut sebagai Fe2+(fero) atau Fe3+ (feri); tersuspensi sebagai butir
koloidal (diameter <1 µm) atau lebih besar, seperti Fe2O3, FeO, Fe(OH)2, Fe(OH)3 dan
sebagainya; tergabung dengan zat organis atau zat padat yang inorganis (seperti tanah liat).
Pada air permukaan jarang ditemui kadar Fe lebih besar dari 1 mg/l, tetapi di dalam air tanah
kadar Fe dapat jauh lebih tinggi. Konsentrasi Fe yang tinggi ini dapat dirasakan dan dapat
menodai kain dan perkakas dapur.
Besi (Fe) berada dalam tanah dan batuan sebagai ferioksida (Fe2O3) dan ferihidroksida
(Fe(OH)3). Dalam air, besi berbentuk ferobikarbonat (Fe(HCO3)2), ferohidroksida (Fe(OH)2),
ferosulfat (FeSO4) dan besi organik kompleks. Air tanah mengandung besi terlarut berbentuk
ferro (Fe2+). Jika air tanah dipompakan keluar dan kontak dengan udara (oksigen) maka besi
(Fe2+) akan teroksidasi menjadi ferihidroksida (Fe(OH)3).
Ferihidroksida dapat mengendap dan berwarna kuning kecoklatan. Hal ini dapat menodai
peralatan porselen dan cucian. Bakteri besi (Crenothrix dan Gallionella) memanfaatkan besi
fero (Fe2+) sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya dan mengendapkan ferrihidroksida.
Pertumbuhan bakteri besi yang terlalu cepat (karena adanya besi ferro) menyebabkan diameter
pipa berkurang dan lama kelamaan pipa akan tersumbat.
Besi (Fe) dibutuhkan tubuh dalam pembentukan hemoglobin. Banyaknya besi dalam tubuh
dikendalikan oleh fase adsorpsi. Tubuh manusia tidak dapat mengekskresikan besi (Fe),
karenanya mereka yang sering mendapat transfusi darah, warna kulitnya menjadi hitam karena
akumulasi Fe. Air minum yang mengandung besi cenderung menimbulkan rasa mual apabila
dikonsumsi. Sekalipun Fe diperlukan oleh tubuh, tetapi dalam dosis yang besar dapat merusak
dinding usus. Kematian sering disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini. Kadar Fe yang lebih
dari 1 mg/l akan menyebabkan terjadinya iritasi pada mata dan kulit. Apabila kelarutan besi
dalam air melebihi 10 mg/l akan menyebabkan air berbau seperti telur busuk. Debu Fe juga
dapat diakumulasi dalam alveoli dan menyebabkan berkurangnya fungsi paruparu (Slamet,
2004).
7

2.3 Mangan (Mn)


Mangan merupakan unsur logam yang termasuk golongan VII, dengan berat atom 54,93, titik
lebur 12470C, dan titik didihnya 20320C (BPPT, 2004). Menurut Slamet (2007), mangan (Mn)
adalah metal berwarna kelabu-kemerahan, di alam mangan (Mn) umumnya ditemui dalam
bentuk senyawa dengan berbagai macam valensi. Air yang mengandung mangan (Mn) berlebih
menimbulkan rasa, warna (coklat/ungu/hitam), dan kekeruhan (Fauziah, 2010).
Toksisitas mangan relatif sudah tampak pada konsentrasi rendah. Kandungan mangan yang
diizinkan dalam air yang digunakan untuk keperluan domestik yaitu dibawah 0,05 mg/l. Air
yang berasal dari sumber tambang asam dapat mengandung mangan terlarut dengan
konsentrasi ±1 mg/l. Pada pH yang agak tinggi dan kondisi aerob terbentuk mangan yang tidak
larut seperti MnO2, Mn3O4 atau MnCO3 meskipun oksidasi dari Mn2+ itu berjalan relatif lambat
(Achmad, 2004).
Dalam jumlah yang kecil (<0,5 mg/l) , mangan (Mn) dalam air tidak menimbulkan gangguan
kesehatan, melainkan bermanfaat dalam menjaga kesehatan otak dan tulang, berperan dalam
pertumbuhan rambut dan kuku, serta membantu menghasilkan enzim untuk metabolisme tubuh
untuk mengubah karbohidrat dan protein membentuk energi yang akan digunakan.
(Anonymous, 2010)

Tetapi dalam jumlah yang besar (>0,5 mg/l) , mangan (Mn) dalam air minum bersifat
neurotoksik. Gejala yang timbul berupa gejala susunan syaraf, insomnia, kemudian lemah pada
kaki dan otot muka sehingga ekspresi muka menjadi beku dan muka tampak seperti
topeng/mask (Slamet, 2007).

3 Pyrolusite (MnO2)
Mangan(IV) oksida merupakan senyawa anorganik dengan rumus MnO2. Padatan
coklat atau kehitaman ini terjadi secara alamiah sebagai mineral pyrolusite, yang merupakan
bijih mangan utama dan komponen dari nodul angan. Penggunaan utama untuk MnO2 adalah
untuk baterai sel kering, seperti baterai alkaline dan seng-karbon. MnO2 juga digunakan
sebagai pigmen dan sebagai prekursor untuk senyawa mangan yang lain, seperti KMnO4. Ini
digunakan sebagai reagen dalam sintesis organik, misalnya, untuk oksidasi alkohol
alilik. MnO2 pada α polimorf dapat menggabungkan berbagai atom (serta molekul air) di
"terowongan" atau "saluran" antara oktahedra magnesium oksida. Ada minat yang cukup besar
di α-MnO2 sebagai katoda untuk baterai lithium ion.
8

Pyrolusite bijih mangan (MnO2) merupakan bentuk mangan yang paling pentiing yang
tersedia di alam. Lebih dari 80% dari sumber daya Bijih mangan penting biasanya
menunjukkan yang erat kaitannya dengan bijih besi. Tanah yang berbasis mangan dunia
dikenal ditemukan di Afrika Selatan dan Ukraina, endapan mangan penting lainnya berada di
Australia, India, Cina, Gabon dan Brasil. Pada tahun 1978 diperkirakan 500 miliar ton nodul
mangan ada di di dasar laut. Usaha-usaha untuk menemukan metode ekonomis nodul mangan
panen ditinggalkan pada 1970-an.
Di Indonesia, mangan telah ditemukan sejak 1854, yaitu terdapat di Karangnunggal,
Tasikmalaya (Jabar) tetapi baru dieksploitasi pada tahun 1930. daerah-daerah lain yang
mempunyai potensi mangan adalah Kulonprogo (DIY), pegunungan karang bolong (Kedu
Selatan), Pegunungan Menoreh (Magelang), Gunung Kidul, Sumatera Utara Pantai Timur,
aceh, Kliripan, Lampung(DIY), Maluku, NTB dan Sulawesi Utara.

Anda mungkin juga menyukai