Anda di halaman 1dari 1

[Bagaikan Pisau Bermata Dua]

Itulah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan dilema antara adat dan teknologi.

Setelah sekian banyak obrolan ringan, kuliah hingga seminar membuat aku sebagai anak dari lereng
Gunung Lawu dan juga dikaruniai oleh Tuhan untuk belajar mengenai Kebumian (re: Teknik Geologi)
merasa tergelitik untuk menulis.

Bagi kami masyarakat lereng Gunung Lawu, gunung ini memiliki arti penting dalam hidup kami. Disini
tanahnya subur merupakan hasil dari limpahan produk-produk vulkanik Gunung Lawu yang telah
lama tidak aktif. Dari dalamnya lah air-air keluar mengair sawah-sawah dan perkebunan yang
menjadi makananku setiap hari hingga aku bisa besar sampai saat ini. Gunung Lawu ini pun memiliki
sejarah yang panjang dan memiliki arti penting bagi Kerajaan-kerajaan Nusantara, khususnya
Kerajaan di Jawa. Di gunung inilah tempat Raja Majapahit, Prabu Brawijaya melakukan meditasi.
Beliau inilah yang kelak menyatukan Nusantara dibawah Kerajaan Majapahit. Ketika aku kecil dulu,
aku pernah diceritakan apabila Gunung Lawu ini dibor maka akan menemukan emas. Akupun
percaya kalau itu hanyalah mitos belaka namun apakah emas ini kelak yang dimaksud adalah panas
bumi?

Dari sekian banyak potensi panas bumi di dunia, 40% diantaranya berada dibawah tanah Indonesia
(sumber: greenpeace). Namun dari sekian banyak potensi tersebut hanya sebagian kecil yang telah
dimanfaatkan. Lalu kenapa panas bumi di Gunung Lawu ditolak oleh masyarakat?

Anda mungkin juga menyukai