PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit,
trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami
cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal. (Sudjito, 2003).
Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal 2, setiap dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang
tertinggi, yaitu sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika
kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan dan
situasi setempat. (MKEK, 2002).
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar profesi
kedokteran dan standar prosedur operasional?
Bagaimana prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien tanpa identitas?
C. TUJUAN PENULISAN
Mengetahui prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar profesi
kedokteran dan standar prosedur operasional.
Mengetahui prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien tanpa identitas.
D. MANFAAT PENULISAN
Mahasiswa dilatih untuk memecahkan berbagai macam kasus yang memerlukan
pertimbangan dari beberapa aspek terkait sesuai standar profesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dokter dalam pelaksanaan praktiknya wajib memberikan pelayanan medis sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis
pasien. (UU Pradok, 2004). Berdasarkan KODEKI pasal 13, setiap dokter wajib
melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan. (MKEK, 2002).
Dalam UU No. 29 tahun 2004, pasal 45 ayat 1, setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. (UU Pradok, 2004). Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan
tentang Informed Consent menyatakan, dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta
tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat
darurat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk
kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun. (Per. Menkes, 1989).
Dalam penanganan penderita gawat darurat yang terpenting bagi tenaga kesehatan
adalah mempertahankan jiwa penderita, mengurangi penyulit yang mungkin timbul,
meringankan penderitaan korban, dan melindungi diri dari kemungkinan penularan
penyakit menular dari penderita. (Sudjito, 2003).
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan apapun
dapat dianggap melakukan penganiayaan, diatur dalam pasal 351 KUHP. Apabila
mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana penjara paling lama tujuh
tahun. (KUHP, 2008). Namun, dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran juga
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional. (UU Pradok, 2004).
Secara yuridis, persetujuan keluarga jenazah tidak diperlukan dalam prosedur autopsi
forensik. Dokter hanya merupakan pelaksana permohonan penyidik (dalam hal ini
Kepolisian) untuk melakukan autopsi, sehingga apabila keluarga keberatan atas
pelaksanaan autopsi, keberatan dapat disampaikan pada penyidik. (Hamdani, 1992).
Menurut Majma Fiqih Islami tahun 1987, tindakan autopsi diperbolehkan, untuk
mengetahui penyebab kematian, kepastian tentang penyebab suatu penyakit, dan
untuk pengajaran kedokteran. (Sarwat, 2008).
BAB III
PEMBAHASAN
Sesuai dengan kaidah dasar bioetik, kewajiban menolong pasien gawat darurat
termasuk dalam konsep beneficence. Dalam penanganan pasien gawat darurat, dokter
harus memperhatikan standar profesi dan standar prosedur operasional. Pelayanan
terhadap pasien gawat darurat harus dilaksanakan sesegera mungkin, mengingat jiwa
pasien mungkin saja gagal diselamatkan apabila penanganan terlambat.
Apabila pasien tidak sadar dan tidak disertai keluarganya, maka dokter berhak untuk
memutuskan tindakan medik yang akan diambil tanpa persetujuan siapapun, dan
didasarkan pada kebutuhan medik pasien.
Apabila setelah dilakukan tindakan medis pasien meninggal, berarti hal ini merupakan
suatu kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Perlu analisis lebih lanjut, apakah kejadian
ini akibat dari medical error atau tidak. Mungkin saja KTD terjadi akibat risiko tindakan
medis yang telah dianggap paling aman dan efektif dalam pengobatan pasien. Dalam
hal seperti ini, KTD tidak dapat digolongkan sebagai malpraktik.
Dokter dan tenaga kesehatan lain juga memperoleh perlindungan hukum, sepanjang
tindakan yang diambil sudah didasarkan pada standar profesi dan standar prosedur
operasional yang sesuai. Berbagai macam aspek dapat menjadi dasar pertimbangan
keputusan medis, dari etika, hukum (yuridis─pemerintah dan instansi, maupun
agama), dan disiplin profesi.
Menurut agama Islam, autopsi dalam kasus ini diperbolehkan, karena untuk
mengetahui penyebab kematian. Namun menurut hukum, prosedur autopsi diatas
masih memerlukan beberapa syarat tertentu agar sesuai dengan hukum yang berlaku.
BAB IV
KESIMPULAN
Sesuai dengan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional kedokteran,
penatalaksanaan pasien gawat darurat dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tindakan
medik (informed consent) dari siapapun. Tenaga kesehatan harus mengusahakan
seoptimal mungkin agar pasien dapat bertahan hidup dan pulih dari keadaan gawat
darurat. Dalam KTD, sepanjang dokter dan paramedis telah berpegang pada konsep
standar profesi dan prosedur operasional, tindakan medis yang dilakukan tidak dapat
disebut malpraktik, dan tenaga kesehatan terlindung dari sanksi hukum oleh peraturan
kesehatan yang berlaku.
Pelaksanaan autopsi untuk kasus diatas selanjutnya dapat dilakukan apabila : 1) ada
surat permintaan dari Kepolisian, 2) dalam waktu 2×24 jam tidak ada keluarga korban
yang datang ke rumah sakit, dan 3) diduga jenazah menderita penyakit yang
berbahaya bagi masyarakat.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.
Sudjito, M.H. 2003. Dasar-dasar Pengelolaan Penderita Gawat Darurat. Surakarta : UNS
Press.
Hamdani, Njowito. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta :
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran.
Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu Ika. Setiowulan, Wiwiek. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.
Menteri Kesehatan RI. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
585/MENKES1PER/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Presiden RI. 2004. UU no. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Sarwat, Ahmad. 2008. Hukum Mengotopsi
Mayat. http://ustsarwat.eramuslim.com/search.php, akses tanggal 20 Oktober 2008,
19:45.
Wujoso, Hari. 2008. Kaidah Dasar Bioetik.
Wujoso, Hari. 2008. KUHP.
Wujoso, Hari. 2008. Medical Error.
PENDAHULUAN
Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja,
melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang
memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi
yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme
yang ditetapkan oleh organisasi profesinya. Secara teoritis-konseptual, antara
masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu kepada
doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-
regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional
yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek
profesinya sesuai dengan standar. Sikap profesionalisme adalah sikap yang
bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat,
baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk klien). Beberapa ciri
profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan
kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis sesuai
dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela
berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan
diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.2
Profesi dokter mempunyai tugas lain yang tidak kalah penting dari sekedar memberikan
pelayanan medis klinis kepada masyarakat, yaitu memberikan bantuan terhadap
penegakan hukum dan keadilan (medical for law). Seperti juga hak kehidupan,
kesehatan, kesembuhan maka keadilan dan perlindungan hukum merupakan hak asasi
manusia yang wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Salah satu cabang ilmu
kedokteran yang begitu akrab dengan permasalahan penegakan hukum dan keadilan
adalah ilmu kedokteran forensik. Penegakan hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari peran kedokteran forensik. Hal ini tampak dari berbagai macam bantuan yang
dapat diberikan oleh kedokteran forensik dalam mengungkap suatu tindak pelanggaran
hukum. Kata ”Forensik” berasal dari ”Forum” yang berarti pasar. Pada zaman Romawi
kuno pasar digunakan sebagai tempat pengadilan. Dari istilah ini kemudian
berkembang pengertian bahwa ilmu kedokteran forensik merupakan cabang ilmu
kedokteran yang mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk
membantu penegakan hukum dan keadilan.3
Di negara yang berlandaskan hukum, maka sudah selayaknya jika hukum di jadikan
supremasi, dimana setiap orang di harapkan tunduk dan patuh terhadap hukum
tersebut. Hal ini terjadi bila tersedia perangkat hukum yang mengatur seluruh sektor
kehidupan, diantaranya adalah sektor kesejahteraan rakyat. Salah satu dari bagian
sektor kesejahteraan yaitu kesehatan, maka di sini di perlukan perangkat hukum
kesehatan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Dalam upaya mewujudkan
masyarakat sejahtera khususnya melalui hukum kesehatan, dokter merupakan salah
satu faktor penting yang harus di soroti bersama. Karena dalam praktik kedokteran
kesalahan dokter dalam menjalankan tugas dapat mengakibatkan sesuatu yang fatal.4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi
Ada beberapa pengertiaan yang dikemukakan oleh ahli kedokteran forensik,
diantaranya Sidney Smith mendefinisikan ”Forensic medicine may be defined as the
body of medical and paramedical scientific knowledge which may services in the
adminitration of the law”, yang maksudnya ilmu kedokteran forensik merupakan
kumpulan ilmu pengetahuan medis yang menunjang pelaksanaan penegakan hukum.
Prof.Dr.Amri Amir,Sp.F (2007) mendefinisikan Ilmu Kedokteran Forensik sebagai
penggunaan pengetahuan dan keterampilan di bidang kedokteran untuk kepentingan
hukum dan peradilan.1
Prof.Dr.Budi Sampurna,Sp.F (2009) mendefinisikan Ilmu Kedokteran Forensik adalah
salah satu cabang spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran
untuk membantu penegakan hukum, keadilan dan memecahkan masalah-masalah di
bidang hukum.6
Dokter adalah dokter lulusan pendidikan kedokteran baik di dalam maupun di luar
negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Institusi Pendidikan (Profesi Dokter) adalah institusi yang
melaksanakan pendidikan profesi dokter baik dalam bentuk fakultas, jurusan atau
program studi yang merupakan pendidikan universitas (academic entity).
Standar Profesi Dokter adalah standar keilmuan dan keterampilan minimal yang harus
dikuasai dokter dalam menjalankan praktek kedokteran.7
Peranan ahli (expert) termasuk dokter dalam bidang Kedokteran Forensik adalah dalam
rangka membuka tabir suatu peristiwa yang dapat menjawab 7 pertanyaan :
Makin banyak tabir yang dibuka oleh ahli, makin terang peristiwa yang terjadi,
sehingga akan memudahkan para penyidik dan yudex facti memutuskan perkara secara
adil dan diterima mereka yang berperkara.1
Kedokteran forensik sebenarnya suatu ilmu yang dimiliki oleh setiap dokter karena
tanpa terkecuali semua dokter pernah mendapatkan pengetahuan ilmu kedokteran
forensik diwaktu perkuliahan. Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi dokter untuk tidak
memberikan bantuan dalam penegakan hukum dan keadilan. Satu lagi yang harus
diingat bahwa dokter juga dapat menerima sanksi bila tidak memberikan bantuan
tersebut seperti tercantum dalam pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP): Barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang menjadi saksi ahli atau
juru bahasa dengan sengaja atau tidak menjalankan suatu kewajiban menurut undang-
undang yang harus dijalankannya dalam kedudukan tersebut di atas, dalam perkara
pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan dan untuk perkara
lain dihukum dengan hukuman selama-lamanya 6 bulan.3
Tugas pokok seorang dokter dalam bidang forensik adalah membantu pembuktian
melalui pembuktian ilmiah termasuk dokumentasi informasi/prosedur, dokumentasi
fakta, dokumentasi temuan, analisis dan kesimpulan, presentasi (sertifikasi).
Masa Penyelidikan
Masa Penyidikan
Masa Persidangan
Dokter berperan dalam memberikan keterangan ahli, sebagai saksi ahli pemeriksa ,
menjelaskan visum et repertum, menjelaskan kaitan temuan VeR dengan temuan
ilmiah alat bukti sah lainnya. Dokter juga berperan menjelaskan segala sesuatu yang
belum jelas dari sisi ilmiah.
Pendekatan kedokteran forensik selain menjadi ahli klinik medikalisasi dan terapi, ilmu
forensik juga berperan dalam hal non-terapi , yaitu pembuktian. Ilmu forensik sangat
komprehensif mencakup psikososial, yuridis. Akan tetapi forensik juga tidak bisa
dikatakan hukum karena forensik tidak menentukan suata peristiwa disebut
pembunuhan, perkosaan atau mengatakan siapa pelaku. Forensik hanya memberi
petunjuk cara kematian atau pidana atau petunjuk siapa pelaku.6
Ilmu kedokteran forensik mengutamakan prinsip dasar etika kedokteran meliputi:
prinsip tidak merugikan (non maleficence), prinsip berbuat baik (beneficence), prinsip
menghormati otonomi pasien(autonomy), dan prinsip keadilan (justice). Prinsip tidak
merugikan (non maleficence), merupakan prinsip dasar menurut tradisi Hipocrates,
primum non nocere. Jika kita tidak bisa berbuat baik kepadaseseorang, paling tidak kita
tidak merugikan orang itu. Dalam bidang medis, seringkali kita menghadapi situasi
dimana tindakan medis yang dilakukan, baik untuk diagnosis atau terapi, menimbulkan
efek yang tidak menyenangkan.7
Prinsip berbuat baik (beneficence), merupakan segi positif dari prinsip non maleficence.
Prinsip menghormati otonomi pasien (autonomy), merupakan suatu kebebasan
bertindak dimana seseorang mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang
ditentukannya sendiri. Di sini terdapat 2 unsur yaitu : kemampuan untuk mengambil
keputusan tentang suatu rencana tertentu dan kemampuan mewujudkan rencananya
menjadi kenyataan. Dalam hubungan dokter-pasien ada otonomi klinik atau kebebasan
professional dari dokter dan kebebasan terapetik yang merupakan hak pasien untuk
menentukan yang terbaik bagi dirinya, setelah mendapatkan informasi selengkap-
lengkapnya. Prinsip keadilan (justice), berupa perlakuan yang sama untuk orang-orang
dalam situasi yang sama, artinya menekankan persamaan dan kebutuhan, bukannya
kekayaan dan kedudukan sosial.7
Prosedur medikolegal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai
aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis
besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter
dan etika kedokteran.2
Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yag diberi kuasa untuk mengusut atau
memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan,
diancam dengan pidana penjara selama empat bulan dua minggu atau denda paling
banyak Sembilan Ribu Rupiah.
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan penjara paling lama Sembilan
Bulan.
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus.
(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di
sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan saksi ahli dan dapat
pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
Pasal 53 UU Kesehatan
(3) Tenaga kesehatan untuk kepentingan pembuktian dapat melakukan tindakan medis
terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan.
Keterangan Ahli1,2
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
(a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) Surat, (d) petunjuk,
Pasal 186
Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik
atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan (BAP saksi ahli).
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: (c) surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat bedasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
2.5 Pengertian Standar Kompetensi Dokter 8
a. Landasan kepribadian
c. Kemampuan berkarya
d. Sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu
dan keterampilan yang dikuasai
Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa pengertian kompetensi dokter lebih
luas dari tujuan instruksional yang dibagi menjadi tiga ranah pendidikan, yaitu
pengetahuan, psikomotor dan afektif.
Dengan telah ditetapkannya keluaran dari program dokter di Indonesia berupa standar
kompetensi, maka kurikulum program studi pendidikan dokter perlu disesuaikan. Model
kurikulum yang sesuai adalah kurikulum berbasis kompetensi. Artinya pengembangan
kurikulum berangkat dari kompetensi yang harus dicapai mahasiswa.
Kompetensi Inti
Seorang dokter dituntut mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan non
verbal dengan pasien (korban hidup) pada semua usia, anggota keluarga (pada korban
meninggal), masyarakat, kolega dan profesi lain.
Komunikasi antara dokter dan korban/pasien atau dengan keluarganya harus dilakukan
seefektif mungkin oleh dokter agar pasien atau keluarga pasien bersedia dilakukan
pemeriksaan walaupun secara hukum untuk pemeriksaan forensik dokter tidak perlu
izin keluarga melainkan kewajiban penyidik untuk memberitahu korban atau keluarga
korban (meninggal). Hal ini sesuai pasal 134 KUHAP. 1
Memberi informasi yang tepat kepada sejawat tentang kondisi pasien baik secara
lisan, tertulis, atau elektronik pada saat yang diperlukan demi kepentingan
pasien maupun ilmu kedokteran.
Menulis surat rujukan dan laporan penanganan pasien dengan benar, demi
kepentingan pasien maupun ilmu kedokteran. Seorang dokter umum harus
merujuk korban apabila apa yang dimintakan penyidik bukan kompetensi dokter
umum. Misalnya, identifikasi tulang, identifikasi gigi (odontologi), pemeriksaan
DNA, dan lain-lain.
Melakukan presentasi laporan kasus secara efektif dan jelas, demi kepentingan
pasien maupun ilmu kedokteran.
Seorang dokter umum harus mampu melakukan prosedur pemeriksaan forensik klinis
sesuai masalah, kebutuhan korban dan sesuai kewenangannya,.Kaitannya dengan
kedokteran forensik adalah seorang dokter umum harus mampu:
Memeriksa dan membuat Visum et Repertum korban luka karena kecelakaan lalu
lintas.
Memeriksa dan membuat Visum et Repertum luka karena penganiayaan.
Memeriksa dan membuat Visum et Repertum Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
Melakukan pemeriksaan luar korban meninggal. Pemeriksaan luar meliputi
pemeriksaan label, benda di samping mayat, pakaian, ciri identitas fisik, ciri
tanatologis, perlukaan dan patah tulang.
Dokter berperan dalam memberikan keterangan ahli, sebagai saksi ahli
pemeriksa , menjelaskan visum et repertum, menjelaskan kaitan temuan VeR
dengan temuan ilmiah alat bukti sah lainnya. Dokter juga berperan menjelaskan
segala sesuatu yang belum jelas dari sisi ilmiah. (Pasal 224 KUHP)
Menurut Standar Kompetensi Dokter keterampilan adalah kegiatan mental dan atau
fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang saling bergantung
dari awal hingga akhir. Dalam melaksanakan praktik dokter di bidang forensik, lulusan
dokter perlu menguasai keterampilan klinis yang akan digunakan dalam mendiagnosis,
menjawab permintaan Visum et Repertum, maupun menjelaskan suatu perkara hukum
menurut keahliannya di bidang kedokteran. Keterampilan ini perlu dilatihkan sejak awal
pendidikan dokter secara berkesinambungan hingga akhir pendidikan dokter.
Tingkat kemampuan 1
Tingkat kemampuan 2
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep,
teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya). Selain itu,
selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini.
Contohnya autopsi, exhumasi, identifikasi tulang dan gigi.
Tingkat kemampuan 3
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep,
teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya). Selama
pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini, dan pernah
menerapkan keterampilan ini beberapa kali di bawah supervisi. Contohnya:
Pemeriksaan luar Jenazah, termasuk label mayat, sebab-sebab kematian,
tanatologi,menentukan lama kematian dan lain sebgainya.
Tingkat kemampuan 4
Lulusan dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep,
teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya). Selama
pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan ketrampilan ini, dan pernah
menerapkan keterampilan ini beberapa kali di bawah supervisi serta memiliki
pengalaman untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan ini dalam konteks
praktik dokter secara mandiri. Contohnya dokter harus mampu memeriksa korban
hidup dan membuat Visum et Repertum korban kecelakaan lalu lintas penganiyaan,
kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya.
Kompetensi Inti
Dokter harus mampu mengelola masalah-masalah yang sering ditemukan dalam ilmu
kedokteran forensik secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan
kolaboratif dalam konteks memberikan pelayanan bantuan hukum terbaik kepada
masyarakat.
Dilihat dari segi pengelolaan masalah kedokteran dan hukum maka lulusan dokter
diharapkan mampu:
Kompetensi Inti
Dokter harus mampu mengakses, mengelola, menilai secara kritis kesahihan dan
kemamputerapan informasi untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah, atau
mengambil keputusan dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan di bidang kedokteran
forensik di tingkat primer.
11. Menjawab pertanyaan yang terkait dengan praktik kedokteran dan peranannya
dalam penegakan hukum dengan menganalisis arsipnya dan rekam medis untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di bidang kedokteran forensik.
Kompetensi Inti
Dokter harus melakukan praktik kedokteran dengan penuh kesadaran atas kemampuan
dan keterbatasannya, mengatasi masalah emosional, personal, kesehatan, dan
kesejahteraan yang dapat mempengaruhi kemampuan profesinya. Dokter harus belajar
sepanjang hayat dan mampu merencanakan, menerapkan dan memantau
perkembangan profesi secara berkesinambungan.
Berdasarkan kompetensi area mawas diri dan pengembangan diri, maka lulusan dokter
harus mampu:
11. Mengambil keputusan apakah akan memanfaatkan informasi atau evidence untuk
penanganan korban dan justifikasi alasan keputusan yang diambil secara literatur
kedokteran.
13. Mengidentifikasi kesenjangan dari ilmu pengetahuan yang sudah ada dan
mengembangkannya menjadi pertanyaan penelitian yang tepat,
Kompetensi Inti
Ditinjau dari segi etika, moral, medikolegal, dan Professionalisme serta keselamatan
pasien/korban seorang lulusan Dokter diharapkan mampu:
Dokter diwajibkan memahami dan menerima tanggung jawab hukum berkaitan dengan
:
# Pembuatan surat keterangan sehat, sakit, Visum et Repertum atau surat kematian.
Sebagai tambahan, seorang dokter umum juga perlu mengetahui kompetensi dokter
spesialis forensik. Hal ini dimaksudkan agar sistem rujukan dalam bidang forensik
berjalan sesuai standar profesi.
Menurut Buku Panduan Pelaksanaan Program P2KB untuk Dokter Spesialis Forensik,
seorang Dokter Spesialis Forensik setelah menyelesaikan pendidikan diharapkan
memiliki kompetensi sebagai berikut :
Kompetensi IV Berperan aktif dalam tim kerja penanganan kasus forensik dan
dalam tim etikomedikolegal RS.
Ditinjau dari standar profesi, seorang dokter Spesialis Forensik mempunyai kompetensi
yaitu sebagai berikut:
BAB III
PENUTUP
Ilmu Kedokteran forensik adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang mempergunakan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum dan
keadilan. Sasarannya adalah Korban luka, keracunan atau mati karena tindak pidana
(Pasal 133 KUHAP).
Standar profesi dokter di bidang kedokteran forensik dapat kita definisikan sebagai
standar keilmuan dan keterampilan minimal yang harus dikuasai seorang dokter dalam
mengunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk membantu penegakan
hukum, keadilan, dan memecahkan masalah-masalah hukum.
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal harus dipelajari dan diketahui dengan baik
oleh semua dokter karena hal ini diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan di
Indonesia, antara lain Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 133
ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa: Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati karena tindak pidana, ia
berwenang mengajukan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya. Selain itu, dokter juga harus mengingat bahwa ia dapat menerima
sanksi bila tidak memberikan bantuan tersebut seperti tercantum dalam pasal 224
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): Barang siapa yang dipanggil menurut
undang-undang menjadi saksi ahli atau juru bahasa dengan sengaja atau tidak
menjalankan suatu kewajiban menurut undang-undang yang harus dijalankannya
dalam kedudukan tersebut di atas, dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 9 bulan dan untuk perkara lain dihukum dengan hukuman
selama-lamanya 6 bulan.
Peran dokter umum dalam pelayanan kedokteran forensik diberi wewenang oleh
undang-undang yaitu tercantum dalam pasal 133 KUHAP. Sesuai standar pendidikan
profesi dokter, dokter umum selama pendidikan sudah mempelajari forensik klinik dan
patologi forensik, maka dokter umum berwenang memberikan pelayanan forensik
berupa pemeriksaan korban hidup karena kecelakaan lalu lintas, kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), kasus penganiayaan, dan pemeriksaan luar korban meninggal
meliputi pemeriksaan label, benda di samping mayat, pakaian, ciri identitas fisik, ciri
tanatologis, perlukaan dan patah tulang.
Peranan dokter forensik adalah pengemban tugas criminal justicia system, pemberi
keterangan ahli dan akta medikolegal, manajer SMF Kedokteran forensik dan
pemulasaraan jenazah, konsultan medikolegal, health law.