Anda di halaman 1dari 36

OPIOID

Oleh :
Gde Candra Yogiswara
L
Putu Ugi Sugandha
FENTANIL, SUFENTANIL, AFENTANIL dan REMIFENTANIL

SEJARAH
Fentanyl adalah obat opioid sintetis yang disintetis pertama kali oleh dr. Paul Janssen
yang mempunyai perusahaan Janssen Company of Beerse di Belgia pada tahun 1960. Digunakan
pertama kali sebagai obat anestesia intravena di eropa pada tahun 1963 dan di Amerika Serikat
tahun 1968. Sejak saat itu fentanyl menjadi obat yang paling banyak digunakan dalam praktik
anestesiologi di dunia.(Stanley,2014) Fentanyl merupakan opioid terkuat yang digunakan pada
manusia hingga kini.
Pada tahun 1953 sebelum fentanyl ditemukan, saat itu sudah dikenal adanya morfin dan
meperidin yang keduanya memiliki cincin piperidin pada struktur kimianya yang dipercaya
sebagai bagian terpenting yang memproduksi efek analgesia. Penelitian dr. Paul Janssen dan
timnya untuk menemukan obat baru yang lebih poten dan memiliki efek samping yang lebih
minimal dimulai dengan meperidin karenan molekulnya sederhana dan mudah dimanipulasi. Tim
peneliti menyadari bahwa meperidin dan morfin memiliki onset kerja yang lambat karena
susahnya menembus sistem saraf pusat, sehingga penelitian mereka menyimpulkan perlu
mencari obat baru yang lebih larut dalam lemak. Untuk itu peneliti kemudian menambahkan atau
mengganti struktur kimia pada meperidin dengan N, cincin benzene, metil, atau etil sehingga
terbentuk berbagai obat baru dengan efek yang lebih larut lemak yang kebanyakan memiliki
potensi yang lebih tinggi dan onset yang lebih cepat. Saat itu belum ditemukan adanya reseptor µ
namun konsep reseptor nyeri sudah dikenal. akhirnya pada tahun 1957 ditemukan phenoperidin
yang memiliki potensi 25 kali dari morfin dan 50 kali dari meperidin. Penelitian pada
phenoperidin berlanjut hingga akhirnya ditemukan fentanyl pada tahun 1960. Fentanyl memiliki
potensi 10 kali lipat dari phenoperidin dan 100 sampai 200 kali lipat dari morfin.(Stanley,2014)
Nama IUPAC dari fentanyl adalah N-(1-(2-phenethyl)-4-piperidinyl-N-
phenylpropanamide. Terdapat 2 jenis bentuk fentanyl yaitu fentayl sitrat dan fentanyl
HCl.(Sharma, 2016) Berbagai jenis turunan fentanil telah dikembangkan dengan menambahkan
pengganti pada masing-masing molekulnya untuk mengubah potensinya.(Flood,2015)

Hingga tahun 2016 telah banyak ditemukan analog dari fentanyl. Sejak tahun 2012
hingga 2016 sebanyak 17 analog telah didaftarkan pada UNODOC (United Nations Office on
Drugs and Crime). Dari sekian anlognya, yang dipakai secara umum adalah sufentanyl,
alfentanyl, dan remifentanyl karena kebanyakan belum diterima untuk diproduksi untuk
keperluan medis. Ketiganya memiliki onset dan durasi kerja cepat serta penggunaannya terbatas
pada intravena. Analog fentanyl yang terkuat yakni carfentanyl memiliki potensi 10.000 kali
lebih kuat dari morfin dan penggunaanya masih terbatas pada hewan dan tidak disetujui pada
manusia.(UNODOC,2017)

Gambar 1. Struktur Kimia Fentanyl Sitrat Gambar 2. Struktur Kimia Fentanyl HCl

FARMAKOKINETIK
Onset kerja dan kadar puncak fentanyl pada plasma tergantung pada dosis dan metode
pemberian. Terdapat beberapa metode pemberian fentanyl, yaitu melalui intravena, buccal,
sublingual, intranasal, dan perkutan. Efek analgesia biasanya terjadi cepat pada menit pertama
dan kedua setelah pemberian melalui intravena, sedangkan pada pemberian melalui buccal
transmucosal mulai berefek sekitar 10 sampai 15 menit. Pada pemberian melalui spray
sublingual dan intranasal berefek pada menit ke-5 sampai 10. Durasi kerja fentanyl sekitar 2
sampai 4 jam setelah pemberian melalui intravena atau intramukosa.(Stanley,2014) Onset kerja
cepat fentanyl berkaitan dengan kelarutannya yang lebih tinggi dengan lemak dibandingkan
dengan morfin, sehingga memudahkannya menembus lapisan sawar otak. Selain itu kelarutannya
yang tinggi dalam lemak menyebakan fentanyl mudah terdistribusi ke jaringan terutama jaringan
lemak dan otot skeletal, otak, paru-paru dan jantung yang mengakibatkan kadar dalam
plasmanya menjadi rendah. Paru-paru juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan fentanyl yang
inaktif dengan perkiraan 75% dosis fentanil awal terdapat di paru-paru. Semua jenis opioid
menunjukkan penurunan kadar plasma setelah melewati kardiopulmoner bypass akibat dari
ikatan obat yang signifikan pada jalur tersebut.(Flood,2015)
Fentanyl dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 (CYP3A4) di hati menjadi
norfentanyl dan hidroksipropionil fentanyl dan hidroksi propionil norfentanyl, kemudian dibuang
melalui empedu dan urin.(Stanley,2014) Setelah pemberian intravena, sekitar 75% fentanyl akan
diekskresikan melalui urin dalam 72 jam.(Sharma,2016) Sekitar kurang dari 10% fentanyl
diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin.(Flood,2015)

FARMAKODINAMIK
Fentanyl adalah analgesik opioid yang poten. Fentanyl berinteraksi dengan reseptor
opioid mu (μ) dan berikatan dengan reseptor opioid kappa (κ) dan delta. Reseptor opioid mu
banyak terdapat pada sumsum tulang belakang, otak, dan jaringan lainnya. Secara klinis fentanyl
bekerja utama pada sistem saraf pusat. Efek utama terapeutiknya adalah analgesia dan sedasi.
Fentanyl dapat menekan pusat pernafasan, menekan refleks batuk, dan menyebabkan kontriksi
pupil sebagai akibat ikatan dengan reseptor mu (μ).(Sharma,2016)
Fentanyl, seperti halnya morfine, meperidine, oxycodone dan lainnya menimbulkan
gejala umum seperti lemas, mengantuk, mual, muntah, depresi nafas, bradikardia, dan
kehilangan kesadaran pada dosis besar. Kekakuan dinding dada dapat ditemukan pasca
pemberian melalui intravena dan tergantung dari dosis dan kecepatan pemberian,terutama pada
dosis di atas 50 µg.(Stanley,2014)
Terhadap sistem saraf pusat fentanyl bersifat depresan sehingga menurunkan kesadaran
pasien. Pada dosis lazim kesadaran pasien menurun dan efek analgetiknya sangat kuat. Fentanyl
dapat bertindak sebagai antitusif dengan menekan pusat batuk pada medulla yang dosisnya lebih
kecil dibandingkan untuk analgesia.(Sharma,2016)
Pada dosis tinggi akan terjadi depresi pusat nafas dan kesadaran pasien dapat menurun
hingga koma. Pada sistem kardiovaskuler cenderung tidak mengalami perubahan baik
kontraktilitas jantung maupun tonus otot pembuluh darah. Pada sistem endokrin fentanyl
menekan respon sistem hormonal dan metabolik terhadap stres anestesia dan pembedahan
sehingga hormon – hormon katabolik tetap dalam keadaan stabil dalam darah.(Mangku,2010)
Pada saluran cerna opioid dapat menyebabkan konstipasi akibat dari penurunan motilitas
usus. Fentanyl juga dapat menyebabkan nyeri kolik bilaris karena terjadi peningkatan tonus pada
antrum lambung dan duodenum.(Sharma,2016)
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Pada praktik anestesiologi fentanyl dapat digunakan sebagai komponen analgesia pada
anestesia umum balans, komponen analgesia pada analgesia neurolept dan untuk induksi
anestesia.(Mangku,2010)
Pemberian fentanyl sebaiknya hati – hati pada pasien yang mengkonsumsi obat
penghambat monoamine oksidase, seperti isocarboxazid (Marplan) dan phenelzine. Fentanyl
juga mempunyai efek antagonis dengan obat pentazocine dan burrenorphine, serta berinteraksi
dengan agen antikolinergik.(Sharma,2016)

EFEK SAMPING
Efek samping fentanyl yang dilaporkan diantaranya adalah pandangan kabur, nyeri dada,
nyeri tenggorokan, hilang nafsu makan, penurunan jumlah urin, nyeri kepala ringan, takipnea,
kejang, cepat haus, nyeri punggung bawah, sesak, mual muntah, mulut kering, dan aritmia. Pada
overdosis fentanyl dapat terjadi koma, mengantuk berat, susah berpikir, kontriksi pupil, lemas,
dan kebingungan.(Sharma,2016)

DOSIS DAN FORMULASI


Dosis fentanyl untuk analgesia adalah sebesar 1-2 µg/kg BB yang diberikan secara
intramuskuler, untuk induksi anestesia diberikan sebesar 100-200 µg/kg BB secara intravena,
sedangkan untuk suplemen anestesia dosisnya 1-2 µg/kg BB secara intravena. Fentanyl dikemas
steril dalam bentuk ampul 2 dan 10 ml tiap ml mengandung 50 µg.(Mangku,2010)
Dosis sufentanyl untuk analgesia 1-2 µg/kg BB I.V (durasi 1-2 jam) atau 2-8 2 µg/kg BB
I.V (durasi 2-8 jam). Dosis pemeliharaan sebesar 10-25 µg diberikan sesuai kebutuhan. Untuk
induksi dosisnya 8-30 µg/kg umumnya diberikan perlahan.(Schulz,2014)
Dosis afentanyl untuk analgesia dan induksi adalah 8- 20 µg/kg BB. Dosis pemeliharaan
3-5 µg/kg BB setiap 5-20 menit pada pasien dengan napas spontan. Dosis afentanyl untuk
analgesi dan induksi adalah 20-50 µg/kg BB, dosis pemeliharaan 5-15 µg/kg BB pada pasien
dengan napas kendali.(Schulz,2014)

SUFENTANIL
Sufentanil pertama kali disintesis pada tahun 1974, sufentanil adalah analog tienil dari
fentanil (lihat Gambar 7-2). Potensi analgesik sufentanil adalah 5 sampai 10 kali fentanil, yang
paralel dengan afinitas sufentanil yang lebih besar untuk reseptor opioid dibandingkan dengan
fentanil. Berdasarkan konsentrasi plasma yang diperlukan untuk menyebabkan 50% perlambatan
maksimum pada EEG (EC50), sufentanil 12 kali lebih kuat daripada fentanyl. Perbedaan penting
dari fentanil adalah perbedaan 1.000 kali lipat antara dosis sufentanil analgesik dan dosis yang
menghasilkan kejang pada hewan. Perbedaan ini adalah 160 kali lipat untuk fentanil dan
mungkin penting bila agonis opioid dosis besar digunakan untuk menghasilkan anestesi. Kejang
otot skeletal transien telah dijelaskan setelah injeksi intratekal tanpa disengaja dengan dosis besar
sufentanil (40 mg), menunjukkan adanya efek iritatif yang dihasilkan oleh opioid. (Flood,2015)
Farmakokinetik
Eliminasi paruh waktu sufentanil berada diantara fentanil dan alfentanil. Dosis sufentanil
tunggal memiliki eliminasi separuh waktu yang sama pada pasien dengan atau tanpa sirosis hati.
Penghapusan paruh waktu yang lama telah diamati pada pasien lanjut usia yang menerima
sufentanil untuk operasi aorta perut. Vd dan eliminasi paruh waktu sufentanil meningkat pada
pasien obesitas, yang kemungkinan besar mencerminkan kelarutan lipid yang tinggi dari opioid
ini. (Flood,2015)
Afinitas jaringan yang tinggi konsisten dengan sifat lipofilik sufentanil, yang
memungkinkan penetrasi cepat penghalang darah-otak dan onset efek SSP (efek-lokasi waktu
keseimbangan 6,2 menit sama dengan 6,8 menit untuk fentanil). Redistribusi cepat ke situs
jaringan tidak aktif menghentikan efek dosis kecil, namun efek obat kumulatif dapat menyertai
sufentanil dosis besar atau berulang. pengikatan protein sufentanil yang ekstensif (92,5%)
dibandingkan dengan fentanil (79% sampai 87%) berkontribusi pada Vd yang lebih kecil, yang
merupakan karakteristik sufentanil. Mengikat pada asam a1 glikoprotein merupakan proporsi
utama dari total protein plasma yang mengikat sufentanil. Tingkat glikoprotein asam a1
bervariasi pada rentang tiga kali pada relawan sehat dan meningkat setelah operasi, yang dapat
menyebabkan penurunan konsentrasi plasma sufentanil tidak aktif secara farmakologis.
Konsentrasi rendah asam a1 glikoprotein pada neonatus dan bayi mungkin menyebabkan
penurunan pengikatan protein sufentanil pada kelompok usia ini dibandingkan dengan pada
anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua. Peningkatan fraksi sufentanil yang meningkat pada
neonatus dapat menyebabkan peningkatan efek opioid ini. Memang, fentanil dan turunannya
menghasilkan anestesi dan depresi ventilasi pada dosis rendah pada neonatus daripada pada
orang dewasa. (Flood,2015)
Metabolisme
Sufentanil dimetabolisme dengan cepat oleh N-dealkilasi pada nitrogen piperidin dan
oleh O-demethylation. Produk N-dealkilasi tidak aktif secara farmakologi, sedangkan desmethyl
sufentanil memiliki sekitar 10% aktivitas sufentanil. Kurang dari 1% dosis sufentanil diberikan
tidak berubah dalam urin. Memang, kelarutan lipid tinggi sufentanil menghasilkan reabsorpsi
tubulus ginjal maksimal dan juga aksesnya terhadap enzim mikrosomik hati. Ekstraksi hati yang
ekstensif berarti pembersihan sufentanil akan peka terhadap perubahan aliran darah hati namun
tidak pada perubahan kapasitas metabolisme hati. Metabolit sufentanil diekskresikan hampir
sama dalam urin dan kotoran, dengan sekitar 30% muncul sebagai konjugasi. Produksi metabolit
aktif lemah dan sejumlah besar pembentukan metabolit terkonjugasi hanya kemungkinan
pentingnya fungsi ginjal normal untuk pembersihan sufentanil. Memang, depresi ventilasi yang
berkepanjangan terkait dengan konsentrasi plasma sufentanil yang meningkat secara abnormal
telah diamati pada pasien dengan gagal ginjal kronis. (Flood,2015)
Konteks Sensitif Setengah Waktu
Konteks sensitif waktu paruh sufentanil yang sebenarnya kurang dari itu untuk alfentanil
untuk infus terus menerus hingga 8 jam. Konteks sensitif waktu paruh yang lebih pendek ini
dapat dijelaskan sebagian oleh Vd besar sufentanil dibandingkan dengan alfentanil. Setelah
penghentian infus sufentanil, penurunan konsentrasi obat plasma dipercepat tidak hanya oleh
metabolisme tetapi juga dengan redistribusi sufentanil berlanjut ke kompartemen jaringan
perifer. Dibandingkan dengan alfentanil, sufentanil mungkin memiliki profil pemulihan yang
lebih baik bila digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama. Sebaliknya, alfentanil memiliki
keunggulan farmakokinetik untuk pengobatan rangsangan niskala diskrit dan transien karena
waktu ekuilibrium efek samping yang singkat memungkinkan akses obat yang cepat ke otak dan
memfasilitasi titrasi. (Flood,2015)
Penggunaan klinis
Pada sukarelawan, satu dosis sufentanil, 0,1 s/d 0,4 mg / kg IV, menghasilkan periode
analgesia yang lebih lama dan depresi ventilasi yang lebih sedikit daripada dosis fentanil yang
sebanding (1 sampai 4 mg / kg IV). Dibandingkan dengan morfin dosis besar atau fentanil,
sufentanil, 18,9 mg / kg IV, menghasilkan induksi anestesi yang lebih cepat, kemunculan awal
dari anestesi, dan ekstubasi trakea sebelumnya. Seperti yang diamati dengan opioid lainnya,
sufentanil menyebabkan penurunan kebutuhan oksigen metabolik serebral dan aliran darah
serebral juga menurun atau tidak berubah. Bradikardi yang dihasilkan oleh sufentanil mungkin
cukup untuk menurunkan curah jantung. Seperti yang diamati dengan fentanil, depresi ventilasi
tertunda juga telah dijelaskan setelah pemberian sufentanil. (Flood,2015)
Meskipun dosis besar sufentanil (10 sampai 30 mg / kg IV) atau fentanil (50 sampai 150
mg / kg IV) menghasilkan efek hemodinamik minimal pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri
yang baik, tekanan darah sistemik dan reaksi hormonal (katekolamin) terhadap rangsangan yang
menyakitkan. Seperti sternotomi median tidak dapat diduga dicegah. Tampaknya tidak mungkin
ada dosis sufentanil atau fentanil yang berguna secara klinis akan menghapuskan tanggapan
tersebut pada semua pasien. Penggunaan opioid dosis besar, termasuk sufentanil atau fentanil,
untuk menghasilkan induksi anestesi IV dapat menyebabkan kekakuan otot dada dan otot perut.
Kekakuan otot skelet ini membuat ventilasi paru-paru pasien dengan tekanan jalan nafas yang
positif menjadi sulit. Ventilasi yang sulit selama kekakuan otot rangka yang disebabkan oleh
sufentanil sebenarnya dapat mencerminkan obstruksi pada tingkat glotis atau di atas, yang dapat
diatasi dengan intubasi trakea. (Flood,2015)

ALFENTANIL
Alfentanil adalah analog dari fentanil yang kurang manjur (satu sampai satu
sepersepuluh) dan memiliki sepertiga durasi aksi fentanil. Ini pertama kali disintesis pada tahun
1976. Keunggulan unik alfentanil dibandingkan dengan fentanyl dan sufentanil adalah onset
tindakan yang lebih cepat (equilibasi efek samping yang cepat) setelah pemberian alfentanil pada
IV. Misalnya, waktu ekuilibrasi efek samping untuk alfentanil adalah 1,4 menit dibandingkan
dengan 6,8 dan 6,2 menit untuk fentanil dan sufentanil. (Flood,2015)
Farmakokinetik
Alfentanil memiliki eliminasi setengah waktu yang lebih pendek dibandingkan dengan
fentanyl dan sufentanil. Sirosis hati, tapi bukan penyakit kolestasis, memperpanjang eliminasi
separuh waktu alfentanil. Gagal ginjal tidak mengubah clearance atau eliminasi half-time
alfentanil. Waktu paruh alfentanil eliminasi lebih pendek pada anak-anak (4 sampai 8 tahun)
daripada orang dewasa, yang mencerminkan Vd yang lebih kecil pada pasien yang lebih muda
ini. (Flood,2015)
Karakteristik ekuilibrasi efek samping yang cepat dari alfentanil adalah hasil dari pKa
rendah opioid ini sehingga hampir 90% obat ada dalam bentuk nonionisasi pada pH fisiologis.
Ini adalah fraksi nonionisasi yang dengan mudah melintasi sawar darah otak. Efek puncak yang
cepat dari alfentanil di otak berguna saat opioid diminta untuk menumpulkan respons terhadap
ingatan singkat, seperti intubasi trakea atau kinerja blok retrobulbar. Vd alfentanil empat sampai
enam kali lebih kecil dari fentanil. Vd yang lebih kecil ini dibandingkan dengan fentanyl
mencerminkan kelarutan lipida rendah dan pengikatan protein yang lebih tinggi. Meskipun
kelarutan lipid yang lebih rendah ini, penetrasi sawar darah otak oleh alfentanil cepat karena
fraksi nonionisnya yang besar pada pH fisiologis. Alfentanil pada dasarnya terikat pada
glikoprotein asam a1, protein yang konsentrasi plasmanya tidak diubah oleh penyakit hati.
Karena pengikatan protein serupa, kemungkinan penurunan persentase jaringan adiposa pada
anak-anak bertanggung jawab atas eliminasi paruh waktu singkat. (Flood,2015)
Metabolisme
Alfentanil dimetabolisme terutama oleh dua jalur independen, piperidine N-dealkylation
menjadi noralfentanil dan amide N-dealkylation menjadi N-phenylpropionamide. Noralfentanil
adalah metabolit utama yang ditemukan dalam urin, dengan, 0,5% dosis alfentanil diberikan
dieksploitasi tidak berubah. Efisiensi metabolisme hati ditekankan dengan pembersihan sekitar
96% alfentanil dari plasma dalam waktu 60 menit setelah pemberiannya. (Flood,2015)
Upaya untuk mengembangkan rejimen infus yang andal untuk mencapai dan
mempertahankan konsentrasi alfentanil plasma spesifik telah dikacaukan oleh variabilitas
interindividu yang luas pada farmakokinetik alfentanil. Faktor yang paling signifikan yang
bertanggung jawab atas disposisi alfentanil yang tidak dapat diprediksi adalah variabilitas
interindividual 10 kali lipat dalam pembersihan sistemik alfentanil, yang mungkin
mencerminkan variabilitas dalam clearance intrinsik hati. Dalam hal ini, kemungkinan
variabilitas populasi pada aktivitas P450 3A4 (CYP3A4) (enzim hepar paling banyak P450 dan
isoform utama P450 yang bertanggung jawab atas metabolisme alfentanil dan pembersihan)
adalah penjelasan mekanistik untuk variabilitas antarindividu dalam disposisi alfentanil.
Alfentanil clearance sangat ditentukan oleh aktivitas CYP3A dan alfentanil adalah probe sensitif
dan divalidasi untuk aktivitas CYP3A. Perubahan pada aktivitas P450 mungkin bertanggung
jawab atas kemampuan eritromisin untuk menghambat metabolisme alfentanil dan efek opioid
yang berkepanjangan. (Flood,2015)
Konteks Sensitif Waktu Paruh
Sensitif konteks waktu paruh alfentanil yang sebenarnya lebih lama daripada sufentanil
selama infus hingga 8 jam lamanya. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagian oleh Vd besar
sufentanil. Setelah penghentian infus kontinu sufentanil, penurunan konsentrasi obat plasma
dipercepat tidak hanya oleh metabolisme tetapi juga dengan redistribusi sufentanil yang berlanjut
ke kompartemen perifer. Sebaliknya, Vd alfentanil menyeimbangkan dengan cepat; Oleh karena
itu, distribusi obat perifer jauh dari plasma bukanlah kontributor signifikan terhadap penurunan
konsentrasi plasma setelah penghentian infus alfentanil. Dengan demikian, meskipun eliminasi
paruh waktu alfentanil pendek, mungkin belum tentu menjadi pilihan terbaik untuk sufentanil
untuk teknik sedasi rawat jalan. (Flood,2015)
Penggunaan klinis
Alfentanil memiliki onset cepat dan onset analgesia intens yang mencerminkan
ekuilibrasi efek samping yang sangat cepat. Karakteristik alfentanil ini digunakan untuk
memberikan analgesia saat stimulasi berbahaya akut namun sementara dikaitkan dengan
laringoskopi dan intubasi trakea dan kinerja blok retrobulbar. Misalnya, pemberian alfentanil, 15
mg / kg IV, sekitar 90 detik sebelum memulai laringoskopi langsung efektif dalam menumpulkan
tekanan darah sistemik dan respons denyut jantung terhadap intubasi trakea. Respon katekolamin
terhadap stimulasi berbahaya ini juga menjadi tumpul oleh alfentanil, 30 mg / kg IV. Alfentanil
dalam dosis 10 sampai 20 mg / kg IV menumpulkan peredaran darah namun tidak melepaskan
pelepasan katekolamin terhadap paparan mendadak konsentrasi inhalasi yang tinggi. Alfentanil,
150 sampai 300 mg / kg IV, diberikan dengan cepat, menghasilkan ketidaksadaran dalam waktu
sekitar 45 detik. (Flood,2015)

REMIFENTANIL
Remifentanil adalah agonis opioid selektif dengan potensi analgesik yang serupa dengan
fentanil (15 sampai 20 kali lebih manjur daripada alfentanil) dan waktu keseimbangan equilibrasi
(efek-lokasi ekuilibrasi) mirip dengan alfentanil. Meskipun secara kimiawi terkait dengan
keluarga fentanil turunan fenilpiperidin short-acting, remifentanil secara struktural unik karena
keterikatan esternya. Struktur ester Remifentanil membuatnya rentan terhadap hidrolisis oleh
plasma nonspesifik dan esterase jaringan menjadi metabolit yang tidak aktif. Jalur metabolisme
yang unik ini mengarah pada (a) tindakan singkat, (b) efek yang tepat dan cepat titratable karena
onset dan onset yang cepat, (c) kekurangan akumulasi, dan (d) pemulihan yang cepat setelah
penghentian pemberiannya. (Flood,2015)
Ventilasi
Setelah pemberian remifentanil 0,5 mg / kg IV, terjadi penurunan kemiringan dan
pergeseran ke bawah dari kurva respons ventilasi karbon dioksida yang mencapai nadir setelah
sekitar 150 detik setelah injeksi. Pemulihan setelah remisi dosis kecil ini selesai dalam waktu
sekitar 15 menit. Kombinasi antara remifentanil dan propofol adalah sinergis yang
mengakibatkan depresi ventilasi berat. (Flood,2015)
Farmakokinetik
Farmakokinetik remifentanil ditandai oleh Vd yang kecil, pembersihan cepat, dan
variabilitas interindividual rendah dibandingkan obat anestesi IV lainnya. Metabolisme
remifentanil yang cepat dan Vdnya yang kecil berarti remifentanil akan menumpuk kurang dari
opioid lainnya. Karena pembersihan sistemik yang cepat, remifentanil memberikan keuntungan
farmakokinetik dalam situasi klinis yang memerlukan pemutusan efek obat yang dapat
diprediksi. Farmakokinetik Remifentanil serupa pada pasien obesitas dan kurus. Oleh karena itu,
rejimen pemberian dosis harus didasarkan pada massa tubuh ideal (ramping) daripada berat total
tubuh. (Flood,2015)
Fitur farmakokinetik yang paling menonjol dari remifentanil adalah pembersihan luar
biasa hampir 3 L per menit, yang kira-kira delapan kali lebih cepat daripada alfentanil.
Remifentanil memiliki Vd lebih kecil dari alfentanil. Kombinasi clearance cepat dan Vd kecil
menghasilkan obat dengan efek sementara yang unik. Sebenarnya, tingkat penurunan (paruh
waktu sensitif konteks) dari konsentrasi plasma remifentanil hampir tidak tergantung pada durasi
infus. Kelebihan efek-situs yang cepat berarti bahwa tingkat infus remifentanil akan segera
mendekati keadaan mapan di plasma dan tempat pengaruhnya. Diperkirakan bahwa konsentrasi
plasma remifentanil akan mencapai keadaan normal dalam 10 m inutes untuk memulai infus.
Hubungan antara tingkat infus dan konsentrasi opioid kurang bervariasi untuk remifentanil
dibandingkan dengan opioid lainnya. Selanjutnya, pembersihan remifentanil yang cepat,
dikombinasikan dengan equilibrasi otak-cepat, berarti perubahan tingkat infus akan disejajarkan
dengan perubahan segera dalam efek obat. (Flood,2015)
Berdasarkan analisis respons EEG, diperkirakan bahwa remifentanil sekitar 19 kali lebih
kuat daripada alfentanil (EC50 untuk depresi EEG 20 ng / mL vs 376 ng / mL). Waktu
ekuilibrasi efek-situs, bagaimanapun, serupa untuk kedua opioid, menunjukkan bahwa
remifentanil akan memiliki onset alfentanil. Sebagai contoh, setelah injeksi IV yang cepat,
konsentrasi efek puncak remifentanil akan hadir dalam 1,1 menit, dibandingkan dengan 1,4
menit untuk alfentanil. Efeknya, bagaimanapun, akan lebih sementara setelah pemberian
remifentanil daripada alfentanil. (Flood,2015)
Metabolisme
Remifentanil sangatlah unik di antara opioid dalam menjalani metabolisme oleh plasma
nonspesifik dan esterase jaringan terhadap metabolit yang tidak aktif. Metabolit utama, asam
remifentanil, 300 sampai 4,600 kali lipat lebih kuat daripada remifentanil sebagai agonis mu dan
diekskresikan terutama oleh ginjal. N-dealkilasi remifentanil adalah jalur metabolisme minor
pada manusia. Remifentanil tampaknya tidak menjadi substrat untuk butyrylcholinesterases
(pseudocholinesterase), dan dengan demikian pembersihannya seharusnya tidak terpengaruh oleh
defisiensi cholinesterase atau antikolinergik. Selain itu, kemungkinan farmakokinetik
remifentanil tidak akan berubah karena gagal ginjal atau hati karena metabolisme esterase
biasanya dipelihara di negara-negara ini. Dalam hal ini, pembersihan remifentanil tidak diubah
selama fase anhepatik transplantasi hati. Injeksi kardiopulmoner hipotermik mengurangi
pembersihan remifentanil dengan rata-rata 20%, yang mungkin mencerminkan efek suhu pada
aktivitas esterase darah dan jaringan. Metabolisme Esterase tampaknya merupakan sistem
metabolisme yang sangat terpelihara dengan sedikit variabilitas antara individu, yang
berkontribusi terhadap prediktabilitas efek obat yang terkait dengan infus remifentanil.
(Flood,2015)
Eliminasi Waktu Paruh
Diperkirakan 99,8% remifentanil dieliminasi selama distribusi (0,9 menit) dan eliminasi
(6,3 menit) paruh waktu. Secara klinis, remifentanil berperilaku seperti obat dengan eliminasi
setengah waktu 6 menit atau kurang. (Flood,2015)
Konteks Sensitif Waktu Paruh
Kontek paruh waktu untuk remifentanil bebas dari durasi infus dan diperkirakan sekitar 4
menit. Pembersihan cepat obat ini bertanggung jawab atas kurangnya akumulasi bahkan selama
periode infus yang berkepanjangan. Sebaliknya, separuh sensitif konteks untuk sufentanil,
alfentanil, dan fentanyl lebih panjang dan sangat bergantung pada durasi infus. (Flood,2015)
Penggunaan klinis
Penggunaan remifentanil secara klinis mencerminkan farmakokinetik unik dari obat ini,
yang memungkinkan terjadinya efek obat cepat, titrasi yang tepat terhadap efek yang diinginkan,
kemampuan untuk mempertahankan konsentrasi aktivitas yang cukup untuk menekan respons
stres, dan pemulihan yang cepat dari obat. efek. Dalam kasus dimana efek analgesik mendalam
diinginkan secara sementara (kinerja blok retrobulbar), remifentanil mungkin berguna. Onset
yang cepat dan durasi tindakan yang pendek membuat remifentanil pilihan yang berguna untuk
menekan respons sistem saraf simpatis sementara terhadap laringoskopi langsung dan intubasi
trakea pada pasien berisiko. Remifentanil intermiten yang diberikan sebagai analgesia yang
dikendalikan oleh pasien adalah analgesik yang efektif dan andal selama persalinan dan
persalinan. Satu manfaat tambahan selama persalinan akan cepat sembuh dari sirkulasi neonatal
juga, sehingga mengurangi risiko depresi neonatal. Dapat dibayangkan, remifentanil dapat
digunakan untuk operasi yang panjang, bila diperlukan waktu pemulihan yang cepat (penilaian
neurologis, tes bangun) namun dengan biaya yang jauh lebih tinggi daripada opioid lainnya.
(Flood, 2015)
Anestesi dapat diinduksi dengan remifentanil, 1 mg / kg IV diberikan lebih dari 60
sampai 90 detik, atau dengan inisiasi infus secara bertahap pada 0,5 sampai 1,0 mg / kg IV
selama sekitar 10 menit, sebelum pemberian hipnosis standar sebelum intubasi trakea. . Dosis
obat hipnosis mungkin perlu dikurangi untuk memberi kompensasi efek sinergis dengan
remifentanil. Remifentanil dapat digunakan sebagai komponen analgesik anestesi umum (0,25
sampai 1,00 mg / kg IV atau 0,05 sampai 2,00 mg / kg / menit IV) atau teknik sedasi dengan
kemampuan untuk pulih dengan cepat dari efek yang tidak diinginkan seperti depresi akibat
opioid ventilasi atau sedasi berlebihan. Remifentanil, 0,05 s/d 0,10 mg / kg / menit,
dikombinasikan dengan midazolam, 2 mg IV, memberikan obat penenang dan analgesia yang
efektif selama perawatan anestesi yang dipantau pada pasien dewasa yang sehat. Midazolam juga
menghasilkan potentiation dosis efek remifentanil dosis tinggi pada tingkat pernapasan.
Perubahan efek obat remifentanil dapat diperkirakan mengikuti perubahan tingkat infus,
sehingga memungkinkan untuk menitrasi lebih tepat dengan respons yang diinginkan
dibandingkan dengan opioid lainnya. Sebelum penghentian infus remifentanil, opioid kerja yang
lebih lama harus diberikan untuk memastikan analgesia saat pasien terbangun. Pemberian
remifentanil spinal atau epidural tidak disarankan, karena keamanan kendaraan (glisin, yang
bertindak sebagai inhibitor neurotransmiter) atau opioid belum ditentukan. Remifentanil, 100 mg
IV, mengurangi respon hemodinamik akut terhadap terapi electroconvulsive dan tidak mengubah
durasi aktivitas kejang yang diinduksi oleh elektrokonvulsif. (Flood, 2015)
Efek samping
Keuntungan dari remifentanil yang memiliki periode pemulihan pendek dapat dianggap
sebagai kerugian jika infus dihentikan tiba-tiba, apakah disengaja atau tidak disengaja. Penting
untuk mengelola opioid kerja yang lebih lama untuk analgesia pascaoperasi saat remifentanil
diberikan untuk tujuan ini secara intraoperatif. Semua analog fentanyl, termasuk remifentanil,
telah dilaporkan menyebabkan aktivitas "seizure-like".(Flood, 2015)
Mual dan muntah, depresi ventilasi, dan penurunan tekanan darah sistemik ringan dan
detak jantung dapat menyertai pemberian remifentanil. Depresi ventilasi yang dihasilkan oleh
remifentanil tidak diubah oleh disfungsi ginjal atau hati. Pelepasan histamin tidak menyertai
pemberian remifentanil. ICP dan tekanan intraokular tidak berubah dengan remifentanil.
Remifentanil dosis tinggi menurunkan aliran darah serebral dan kebutuhan oksigen metabolik
serebral tanpa mengganggu reaktivitas karbondioksida serebrovaskular. Remifentanil menunda
pengeringan zat warna dari kantong empedu ke dalam duodenum namun penundaannya lebih
pendek daripada opioid lainnya. (Flood, 2015)

MORFIN

SEJARAH
Kata opium berasal dari bahasa Yunani opion (poppy juice). Tanaman opium (Papaver
somniferum) merupakan sumber dari 20 alkaloid yang berbeda. Penyebutan tertulis tentang
penggunaan poppy juice setidaknya telah ada sejak tahun 300 SM. Obat yang berasal dari opium
kemudian disebut sebagai opiat.(Flood, 2015)
Gambar 1. Tanaman Opium

Tanaman opium biasanya tumbuh setinggi 3 atau 4 kaki. Di bagian atas batangnya,
terdapat pangkal kelopak yang menggembung berisi biji tanaman opium yang dikelilingi oleh
kelopak bunga. Meskipun bunganya bervariasi berdasarkan spesies dan kondisi lingkungan,
tanaman opium biasanya ditandai dengan adanya bunga putih atau ungu yang berbiji
kuning.(Busse, 2006)
Morfin pertama kali dibuat pada tahun 1803, diikuti oleh kodein pada tahun 1832, dan
papaverine pada tahun 1848. Morfin dapat disintesis namun lebih mudah dibuat dari opium.
Istilah narkotika berasal dari kata Yunani yang berarti “stupor” dan telah lama digunakan untuk
merujuk pada analgesik kuat seperti morfin dengan potensi mengakibatkan ketergantungan.
Perkembangan obat sintetis dengan sifat seperti morfin telah menyebabkan penggunaan istilah
opioid untuk merujuk pada semua zat eksogen alami dan sintetis, yang mengikat secara khusus
ke beberapa reseptor opioid dan menghasilkan setidaknya beberapa efek agonis yang mirip
dengan morfin.(Flood, 2015)
Meskipun ada beberapa perselisihan mengenai tanggal penemuannya, umumnya
sejarawan medis sepakat bahwa dasar efek poten opium ditemukan sekitar tahun 1805 dan 1816
oleh Friedrich Wilhelm Sertürner. Beliau adalah asisten apoteker yang bermaksud mempelajari
cara kerja opium. Sertürner mampu mengisolasi senyawa kristal putih kekuningan dari opium
mentah dengan merendam obat tersebut dalam air panas dan amonia. Tidak menyadari apa yang
telah dia temukan, namun penasaran dengan efeknya, Sertürner pertama kali menguji penemuan
barunya pada beberapa anjing (yang semuanya meninggal karena obat tersebut) dan kemudian,
dengan bodohnya, pada dirinya sendiri dan tiga anak laki-laki. Dari percobaan ini, dia mencatat
bahwa senyawa baru ini, seperti opium, dapat mengurangi rasa sakit dan menyebabkan euforia.
Dijelaskan pula dalam dosis yang cukup, senyawa ini akan menghasilkan perasaan disforia,
depresi pernapasan, mual, muntah, depresi refleks batuk, dan konstipasi. Sertürner kemudian
memberi nama obat baru ini "morfin" yang berasal dari kata Morpheus, dewa mimpi
Yunani.(Busse, 2006)

FARMAKOKINETIK
Agar morfin menghasilkan efek, morfin harus didistribusikan menuju sistem selular yang
spesifik. Untuk itu terdapat beberapa metode pemberian morfin agar mencapai efek yang
diharapkan. Beberapa rute pemberian morfin diantaranya adalah per oral, yaitu melalui mulut
yang diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Cara pemberian per oral ini dinilai cukup aman.
Morfin dapat juga diberikan melalui rectum sebagai suppositoria, namun kebanyakan orang malu
bila melalui cara pemberian ini. Cara yang umum digunakan adalah melalui injeksi
intramuscular, subkutan, dan intravena. Dengan rute injeksi penyerapan dan distribusi morfin ke
seluruh tubuh lebih sempurna dibandingkan dengan menelan pil. Rute lain pemberian obat ini
adalah melalui transdermal, intranasal, atau sublingual.(Busse, 2006)
Saat morfin sukses diberikan, kemudian akan beredar dari lokasi pemberian menuju
seluruh tubuh. Untuk mencapai efek yang diinginkan morfin perlu beredar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh darah. Hal ini hampir terjadi pada semua jenis obat, namun ada beberapa
hambatan yang dapat menghambat proses tersebut. Misalnya obat yang diberikan per oral dapat
berkurang efeknya akibat interaksi dengan asam lambung, sehingga tentu akan mengurangi dosis
obat yang mencapai target sel. Tidak hanya asam lambung, morfin juga harus melewati dinding
mukosa lambung agar bisa mencapi pembuluh darah. Bila telah mencapai pembuluh darah,
morfin dapat juga berinteraksi dengan enzim dan protein yang dapat mengikat obat sehingga
mengurangi efek morfin. Oleh sebab banyaknya hambatan yang ada, maka morfin dengan mudah
dapat melewatinya bila diberikan melalui intravena sehingga dapat bekerja dengan efektif pada
target organ.(Busse, 2006)
Faktor lain selain rute pemberian dan distribusi obat yang dapat mempengaruhi
kemampuan morfin untuk mencapai target organnya.adalah metabolisme obat. Seperti
disebutkan di atas, metabolisme obat dapat terjadi melalui interaksi molekul obat dengan enzim.
Enzim ini bertindak dengan mengubah struktur kimia dari molekul obat. Secara khusus, proses
metabolisme mengubah obat aktif menjadi obat tidak aktif, atau sebaliknya. Metabolisme morfin
dimulai saat obat diberikan. Proses ini terjadi di dalam aliran darah maupun di ginjal dan hati.
(Busse, 2006)
Metabolisme obat memainkan peran penting dalam mengubah kemampuan morfin untuk
menghasilkan efek. Morfin melewati metabolisme yang luas di hati saat sebelum menyebar ke
seluruh tubuh. Fenomena ini disebut "metabolisme first-pass" dan menurunkan kadar morfin
sirkulasi sekitar 75%. Metabolisme morfin justru meningkatkan kemampuannya dalam
menghilangkan rasa sakit. Secara khusus, morfin dapat dipecah menjadi metabolit aktif dan tidak
aktif. Salah satu metabolit aktif morfin disebut morphine-6-glucuronide. Melalui eksperimen,
para ilmuwan telah meneliti bahwa metabolit ini dua kali lebih ampuh seperti morfin untuk
menghilangkan rasa sakit saat diberikan secara sistemik dan 1.000 kali lebih ampuh dari morfin
bila diberikan langsung ke otak. Untuk alasan ini, banyak ilmuwan percaya pemakaian morfin
berulang kali dapat mengubah tingkat metabolisme morfin. Tubuh mungkin menjadi lebih efisien
dalam memecah morfin dari waktu ke waktu.Morfin dapat dipecah menjadi metabolit aktif dan
tidak aktif. Metabolit morfin yang tidak aktif adalah normorfin. Metabolit morfin aktif meliputi
morfin-3-glukuronida dan morfin-6-glukuronida. Morfin-6-glucurinide 1.000 kali lebih ampuh
seperti morfin dalam mengurangi rasa sakit saat disuntikkan langsung ke otak.(Busse, 2006)
Toleransi obat metabolik dapat terjadi dengan pemberian obat berulang. Oleh karena itu,
dosis morfin yang lebih besar diperlukan untuk menghasilkan efek yang sama dengan dosis yang
lebih rendah yang dicapai pada titik waktu sebelumnya. Sebaliknya, tubuh juga mungkin menjadi
kurang efisien dalam metabolisme morfin, sehingga menghasilkan fenomena yang disebut
sensitisasi metabolik, dimana kadar obat naik dalam darah karena tubuh kehilangan
kemampuannya untuk memecah senyawa. Oleh karena itu, sensitisasi menghasilkan efek obat
yang lebih kuat daripada yang terjadi dengan dosis obat yang sama sebelumnya.(Busse, 2006)
Selain administrasi, distribusi, dan metabolisme morfin, proses eliminasi obat juga
mempengaruhi morfin untuk menghasilkan efek. Seperti metabolisme obat, eliminasi morfin
dimulai saat obat diberikan, yang berarti sebagian dosis morfin yang diberikan kepada seseorang
benar-benar dieliminasi dari tubuh sebelum memiliki kemampuan untuk menghasilkan
pengaruhnya. Meski kebanyakan obat dieliminasi oleh ginjal, obat juga bisa diekskresi melalui
keringat dan hembusan napas. Dibandingkan dengan obat lain, morfin dieliminasi dari tubuh
lebih cepat. Sekitar 90% morfin meninggalkan tubuh dalam 24 jam pertama setelah pemberian.
Rute pemberian obat, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat memainkan peran penting dalam
menentukan seberapa efektif morfin, dan juga obat-obatan lainnya. Meskipun demikian, morfin
dan opium lainnya tetap menjadi obat yang paling efektif dan umum digunakan sebagai anti
nyeri.(Busse, 2006)

Gambar 2. Morfin dan Metabolitnya

FARMAKODINAMIK
Opioid terikat pada reseptor spesifik yang ada pada sistem saraf pusat. Terdapat empat
jenis reseptor opioid utama yakni : mu (dengan subtype µ1 dan µ2 ), kappa (ƙ), delta (δ), and
sigma (σ). Reseptor opioid bersama dengan protein G mengikat opioid agonis ke reseptor opioid
yang menyebabkan hiperpolisasi membran. Efek akut dari opioid dimediasi oleh
penghambatan terhadap adenylyl cyclase (penurunan konsentrasi adenosin siklik monofosfat
intraselular) atau cAMP dan aktivasi fosfolipase C. Opioid menghambat saluran kalsium dan
mengaktifkan saluran potasium. Efek opioid bervariasi tergantung dari durasi paparan dan
toleransi terhadap opioid menyebabkan perubahan respons opioid. Meskipun opioid memberikan
beberapa tingkat sedasi dan bisa menghasilkan efek anestesi umum bila diberikan dalam dosis
besar, namun pada prinsipnya digunakan sebagai analgesia. Efek opioid yang spesifik tergantung
pada reseptor mana yang terikat dan tingkat afinitas dari obat. Opioid mirip dengan beberapa
senyawa endogen. Endorfin, enkephalin , dan dynorphins merupakan peptida endogen yang
berikatan dengan reseptor opioid. Ketiganya berbeda berdasarkan urutan asam amino, distribusi
anatomis, dan afinitas terhadap reseptor.(Butterworth, 2013)
Aktivasi reseptor opioid menghambat pengeluaran neurotransmiter presinap dan respon
postsinap terhadap neurotransmiter eksitator (asetilkolin, substansi P) dari neuron nosisepsi.
Transmisi nyeri juga dihambat secara selektif pada bagian dorsal horn dari medulla spinalis
pada pemberian opiaoid intratekal atau epidural. Reseptor opioid juga merespon pada pemberian
secara intravena. Selain itu, modulasi yang terjadi dengan penghambatan kepada jalur descenden
dari periaqueductal gray matter menuju spinal cord berperan dalam terjadinya analgesia pada
opioid. Opioid tidak hanya bekerja pada system saraf pusat, namun reseptornya juga terdapat
pada saraf somatik dan simpatis perifer.(Butterworth, 2013)
Secara umum, opioid berefek langsung pada jantung. Pada pemberian dosis besar dapat
terjadi bradikardia akibat rangsangan pada nervus vagus. Selain itu, dapat terjadi penurunan
tekanan darah, kardiak output, venous return, dilatasi vena, dan penurunan refleks simpatis
sehingga memerlukan bantuan vasopressor. Efek tersebut akan lebih tampak bila dikombinasikan
dengan obat benzodiazepin.(Butterworth, 2013) Dosis bolus morfin juga dapat memicu
pelepasan histamin yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan resistensi vaskuler
sistemik. Pelepasan histamine dapat dicegah dengan pemberian morfin secara perlahan dengan
dosis 5mg/menit IV, posisi supinasi atau head down, serta pemberian H1 dan H2 antagonis
sebelum pemberian morfin. Efek pelepasan histamin dapat diatasi dengan terapi cairan dan
pemberian vasopressor.(Flood, 2015)
Opioid dapat menekan pernapasan,terutama laju napas, sehingga memonitor laju napas
pada pasien dengan pemberian opioid merupakan cara yang efektiif menilai depresi napas.
Opioid meningkatkan tekanan parsial CO2 akibat ikatan antara opioid dengan saraf pada pusat
napas di batang otak. Ambang apneu dapat meningkat, sedangkan dorongan hipoksia menurun.
Histamin yang dilepaskan juga mampu memicu bronkospasme pada pasien yang
rentan.(Butterworth, 2013) Di otak, opioid bekerja dengan mengurangi konsumsi oksigen,
aliran darah, volume darah, dan tekanan intrakranial, namun tidak lebih rendah daripada
barbiturat, propofol, atau benzodiazepin. Efeknya akan terjadi selama pemeliharaan dengan
normokarbia melalui ventilasi buatan. Terdapat beberapa laporan tentang peningkatan kecepatan
aliran darah arteri dan tekanan intrakranial pada pemberian bolus opioid pada pasien dengan
tumor otak atau trauma kepala. Opioid biasanya hampir tidak berpengaruh pada
elektroensefalogram (EEG), walauppun pada dosis besar terkait dengan aktivitas gelombang δ
yang lamban.(Butterworth, 2013)

Opioid memperlambat motilitas usus dengan mengikat reseptor opioid di usus dan
mengurangi peristaltik. Nyeri kolik biliaris dapat disebabkan oleh kontraksi sfingter Oddi yang
dicetuskan opioid. Spasme biliaris, yang mirip gejala batu biliaris bisa ditangani dengan naloxon
atau glukagon. Pasien yang menerima terapi opioid jangka panjang (misalnya, untuk nyeri
kanker) biasanya menjadi toleran terhadap banyak efek samping tersebut, kecuali konstipasi. Ini
merupakan dasar pengembangan antagonis opioid perifer yakni methylnaltrexone dan alvimopan
yang mampu merangsang motilitas usus pada pasien dengan pengobatan opioid jangka
panjang.(Butterworth, 2013)

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI


Morfin merupakan obat analgetik narkotik yang digunakan sebagai premedikasi,
analgetik nyeri akut atau kronis, suplemen anesthesia, analgetik pada tindakan diagnostik dan
suplemen sedasi pada Unit Terapi Intensif.(Mangku, 2010)
Pemberian opioid harus hari-hati pada pasien lansia atau bayi dengan keadaan umum
yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat preparat penghambat monoamine
oksidase, pasien asma, dan penderita penyakit hati. Depresi napas juga dapat terjadi bila diberi
bersama dengan penghambat monoamine oksidase, trisiklik antidepresan, fenotiazin, dan
amfetamin.(Mangku, 2010) (Flood, 2015)

EFEK SAMPING
Efek samping yang dapat muncul yaitu, memperpanjang masa pulih anesthesia, depresi
pusat napas hingga apneu, pupil miosis, spasme bronkus pada pasien asma, kolik abdomen, mual
muntah, hipersalivasi, dan gatal seluruh tubuh.(Mangku, 2010)
Dalam pemakaian jangka panjang dapat terjadi adiksi dan toleransi morfin. Pada
penghentian pemakaian yang mendadak dapat terjadi sindoma withdrawal yang akan muncul
setelah 10-12 jam setelahpemakaian obat dihentikan. Gejalanya adalah menguap, ingusan,
berkeringat, gelisah, lakrimasi, sukar tidur, pupil midriasis, kram, mual muntah, dan diare. Gejala
ini mencapai puncak dalam 72 jam dan mereda sekitar 7-10 hari.(Mangku, 2010)

Dosis Dan Formulasi


Morfin memiliki kekuatan sepuluh kali dari petidin, sehingga dosis morfin adalah 0,1
mg/kg bb untuk intramuskular dan 0,05 mg/kg bb untuk intravena. Morfin tersedia dalam bentuk
ampul 1 ml yang mengandung 10 atau 20 mg, tidak berwarna dan dapat dicampur obat
lain.(Mangku, 2010)

PETHIDINE

SEJARAH

Gambar 1. Struktur Kimia Pethidine

Pertama kali disintesis pada tahun 1939, pethidine (meperidine) adalah opioid sintetis
yang bekerja agonis pada reseptor µ dan k opioid, merupakan turunan dari fenilpiperidin. Ada
beberapa analog pethidine, yaitu fentanil, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil. Pethidine
memiliki beberapa ciri struktural yang terdapat dalam anestesi lokal termasuk amina tersier,
kelompok ester, dan gugus fenil lipofilik. Pethidine yang diberikan secara intravena menghalangi
saluran natrium sampai sebanding dengan lidokain. Secara struktural, pethidine mirip dengan
atropin, dan memiliki efek antispasme ringan pada otot polos.(Flood, 2015)

Farmakokinetik
Pethidine memiliki potensi sepersepuluh dari morfin. Lama kerja pethidine adalah 2
sampai 4 jam, lebih singkat daripada morfin. Pada dosis yang equivalen, pethidine menghasilkan
sedasi, euforia, mual, muntah, dan depresi napas yang setara dengan morfin. Pethidine diserap
pada saluran gastrointestinal, namun metabolisme pertama di hati yang sampai 80% membatasi
penggunaannya secara per oral.(Flood, 2015)

Pethidine diekskresi terutama melalui urin. Metabolisme hepatik pethidine sangat luas,
dengan sekitar 90% obat pada awalnya menjalani dimetilisasi menjadi normeperidine dan
dihidrolisis menjadi asam meperidinat yang bergantung pada pH. Misalnya, jika pH urin 5,
sebanyak 25% pethidine yang diekskresikan tidak berubah. Normeperidine memiliki waktu paruh
15 jam (35 jam pada pasien gagal ginjal) dan dapat dideteksi dalam urin selama 3 hari setelah
pemberian pethidine. Metabolit ini kira-kira satu setengah kali aktifnya dengan pethidine sebagai
analgesik. Selain itu, normeperidine menghasilkan rangsangan terhadap saraf pusat.(Flood,
2015)

Waktu paruh pehidine adalah 3 sampai 5 jam. Eleminasi pethidine tergantung pada
metabolisme di hati. Bila diberikan dosis besar, opioid akan memenuhi sistem enzim sehingga
waktu paruhnya dapat memanjang. Walaupun demikian, waktu paruh tidak akan berubah dengan
dosis pethidine sampai 5 mg/kg bb IV. Sekitar 60% pethidine terikat pada protein plasma. Pada
pasien lansia terjadi penurunan protein plasma yang mengikat pethidine, sehingga meningkatkan
konsentrasi obat bebas dalam plasma dan peningkatan kepekaan terhadap opioid. Meningkatnya
toleransi alkoholik terhadap pethidine dan opioid lainnya diperkirakan dapat meningkatan
volume distribusi, yang mengakibatkan penurunan konsentrasi pethidine dalam plasma pada
dosis tertentu.(Flood, 2015)

Farmakodinamik
Pethidine merupakan opioid sintetis yang bekerja agonis pada reseptor µ dan k opioid,
Pada sistem saraf pusat, metabolit dari pethidine, tepatnya normeperidine dapat mengakibatkan
aktivasi EEG dan kejang.(Butterworth, 2013) Pethidine juga dapat berguna sebagai anestesi lokal
bila diberikan melalui intratekal, karena kemampuannya untuk memblokir saluran natrium
dengan cara yang mirip dengan anestesi lokal dan disertai dengan efek opioidnya. Tidak seperti
morfin, pethidine tidak mempunyai efek menekan pusat batuk, sehingga tidak bisa diberikan
untuk tindakan diagnostik seperti bronkoskopi.(Flood, 2015)
Secara umum opioid mempunyai efek langsung terhadap jantung. Pethidine dapat
menyebabkan peningkatan denyut jantung karena strukturnya yang mirip dengan atropin,
berbeda dengan opioid lainnya yang lebih menyebabkan bradikardia. Pada dosis yang besar
pethidine justru dapat munurunkan kontaktilitas jantung. Selain itu, dapat terjadi penurunan
tekanan darah, kardiak output, venous return, dilatasi vena, dan penurunan refleks simpatis
sehingga memerlukan bantuan vasopressor. Efek tersebut akan lebih tampak bila dikombinasikan
dengan obat benzodiazepin.(Butterworth, 2013) Seperti dengan morfin, pethidine juga dapat
merangsang pelepasan histamin. Dosis bolus pethidine juga dapat memicu pelepasan histamin
yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik. Pelepasan
histamine dapat dicegah dengan posisi supinasi atau head down, serta pemberian H1 dan H2
antagonis sebelum pemberian opioid. Efek pelepasan histamin dapat diatasi dengan terapi cairan
dan pemberian vasopressor.(Flood, 2015)
Pada respirasi dapat terjadi depresi napas yang gejala awalnya dapat dilihat dari
menurunnya frekuensi napas. Pethidine juga dapat mencetus bronkospasme sebagai akibat dari
adanya pelepasan histamin.(Butterworth, 2013)
Pethidine efektif dalam menekan menggigil yang dapat menyebabkan peningkatan
konsumsi oksigen metabolik yang merugikan. Efek anti menggigil pethidine merupakan akibat
stimulasi pada reseptor k dan menurunkan ambang menggigil. Selain itu pethidine adalah agonis
kuat pada reseptor a2 yang berkontribusi pada efek anti menggigil.(Flood, 2015)
Struktur pethidine yang mirip atropine menyebabkan pethidine memiliki efek yang
menyerupai atropine seperti efek antispasme ringan pada otot polos, sehingga dapat menurunkan
motilitas usus.(Flood, 2015)

Indikasi Dan Kontraindikasi


Pethidine merupakan obat analgetik narkotik yang digunakan sebagai premedikasi,
analgetik nyeri akut atau kronis, suplemen anestesia, mengatasi menggigil pasca anestesi dan
suplemen sedasi pada Unit Terapi Intensif.(Mangku,2010; Butterworth,2013)
Pemberian opioid harus hari-hati pada pasien lansia atau bayi dengan keadaan umum
yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat preparat penghambat monoamine
oksidase, pasien asma, dan penderita penyakit hati. Depresi napas juga dapat terjadi bila diberi
bersama dengan penghambat monoamine oksidase, trisiklik antidepresan, fenotiazin, dan
amfetamin.(Mangku,2010; Flood,2015)
Efek Samping
Efek samping pethidine umumnya menyerupai morfin. Pethidine berbeda dengan morfin,
jarang menyebabkan bradikardia namun dapat meningkatkan denyut jantung, yang
mencerminkan sifat atropinnya. Dosis pethidine dosis besar menyebabkan kontraktilitas jantung
berkurang. Delirium dan kejang dapat terjadi akibat akumulasi normeperidin yang memiliki efek
stimulasi pada saraf pusat. Sindrom serotonin (ketidakstabilan otonom dengan hipertensi,
takikardia, diaforesis, hipertermia, perubahan perilaku termasuk kebingungan, agitasi, dan
perubahan neuromuskular) terjadi saat pemberian obat peningkat serotonin. Pemberian pethidine
kepada pasien yang menerima obat antidepresan dapat menimbulkan sindrom ini. Pethidine
dapat mendepresi pernapasan lebih kuat dibandingkan morfin. Opioid ini dapat melintasi
plasenta dan konsentrasinya dalam darah tali pusar saat lahir dapat melebihi konsentrasi plasma
ibu. Pethidine dapat menyebabkan lebih sedikit konstipasi dan retensi urin dibandingkan morfin.
Pola gejala penghentian obat tiba-tiba pada pethidine berbeda dengan morfin karena ada sedikit
efek pada sistem saraf otonom. Selain itu, gejala withdrawal terjadi lebih cepat dan memiliki
durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan morfin.(Flood, 2015)
Toksisitas normeperidin dapat berupa mioklonus dan kejang yang kemungkinan besar
terjadi pada pemberian pethidine yang berkepanjangan seperti pada patient controlled analgesia,
terutama bila disertai gangguan fungsi ginjal. Normeperidin juga berperan pada delirium yang
diinduksi oleh pethidine yang telah diamati pada pasien yang menerima obat tersebut selama
lebih dari 3 hari akibat dari akumulasi metabolit aktif tersebut.(Flood, 2015)

TRAMADOL
Sejarah
Tramadol (Zydol, Searle) adalah obat analgesik terpusat yang telah digunakan secara
klinis di Jerman selama 17 tahun dan diluncurkan sekitar tahun 1990an di Inggris. Tramadol
tidak biasa, karena mekanisme tindakannya terealisasikan hanya setelah penggunaan klinis yang
berkepanjangan dan tampaknya berbeda dari farmakologi praklinis yang sebelumnya telah
diuraikan. Obat ini merupakan campuran rasemat dari dua enansiomer, (+) tramadol dan (-)
tramadol, dan memiliki struktur kimia (IRS; 2RS) -2- t (dimetilamino) metil] -l- (3-
methoxyphenyl)-sikloheksanol hidroklorida. Tramadol telah diperiksa sebelumnya untuk
pertama kalinya pada pertemuan ke-28 Komite WHO pada tahun 1992. Komite tersebut tidak
merekomendasikan peninjauan kritis berdasarkan pertanggungjawaban pelecehan yang rendah
seperti yang ditunjukkan oleh penelitian manusia tentang efek subjektif dan tidak adanya
penganiayaan yang signifikan. Pada pertemuan ke-32 pada tahun 2000, tramadol kembali
ditinjau ulang. Komite mencatat sejumlah besar kasus sindrom withdrawl dan ketergantungan
yang dilaporkan sebagai reaksi obat yang merugikan, serta potensinya untuk menghasilkan
ketergantungan jenis morfin, dan merekomendasikan tinjauan kritis terhadap tramadol. Pada
pertemuan ke 33 pada tahun 2002. Komite memutuskan bahwa informasi tersebut tidak
mencukupi untuk merekomendasikan pengendalian tramadol secara internasional, namun cukup
memadai untuk merekomendasikan agar WHO menjaga obat tersebut di bawah pengawasan.
Selanjutnya, tramadol diprakarsai pada pertemuan ke 34 pada tahun 2006. Menimbang bahwa
tramadol terus menunjukkan tingkat abuse yang rendah, bahkan setelah peningkatan besar sejauh
penggunaan terapeutiknya, Komite menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti untuk
membenarkan sebuah tinjauan kritis. (WHO, 2014)
Pengamatan klinis ini menunjukkan bahwa tindakan selain melalui reseptor opioid harus
berkontribusi pada efek analgesik tramadol. Hal ini telah menghasilkan evaluasi ulang secara
lengkap terhadap farmakologi tramadol dan pengakuan mekanisme aksi opioid dan no-opioid
yang melibatkan dua struktur enansiomerik yang berbeda. Tramadol telah ditemukan memiliki
aktivitas yang rendah namun istimewa pada reseptor opioid baik in vivo maupun in vitro, dan
juga untuk menghambat reuptake neuronal nor-adrenalin dan 5-hydroxytryptamine (5-HT), dan
memfasilitasi pelepasan 5-HT. Bukti untuk komponen noradrenergik terhadap aksi analgesik
tramadol sangat luas. Dengan menggunakan model tikus rematik, pra-perawatan dengan
antagonis adrenoseptor a2 yohimbine dan idazoxan dapat mengurangi rata-rata efek analgesik
total tramadol secara signifikan. Namun, secara in vitro tramadol tidak mengikat langsung ke
lokasi a2, 5- HT, N M D A atau benzodiazepin di otak. Sebaliknya, tramadol dapat bekerja
secara tidak langsung pada reseptor a2 dengan menghambat serapan noradrenalin, sama seperti
desipramin diketahui mempotensiasi analgesia morfin. Kokain (uptake site blocker) dapat
mencegah efek nor-adrenalin tramadol, tapi tidak pada reseptor yohimbine. Oleh karena itu,
tramadol dapat mempengaruhi jalur katekolamin sentral secara tidak langsung dengan mencegah
reuptake nor-adrenalin. Kemungkinan interaksi tramadol dengan jalur serotonergik telah
diselidiki karena diketahui terlibat secara ketat dengan sistem modulasi nyeri yang melekat pada
tubuh. Tramadol memblokir reuptake 5-HT dan juga muncul untuk memasuki terminal saraf di
lokasi pengambilan dan memindahkan 5-HT yang tersimpan, sebanding dengan indirect mimetic.
Komponen serotonergik terhadap antinociception tramadol telah ditunjukkan pada tikus dengan
menggunakan model tail flick dengan ritanserin antagonis serotonin, antagonis antinocieption
yang diproduksi oleh tramadol tapi bukan morfin.(WHO, 2014)
Tramadol memiliki afinitas rendah untuk reseptor opioid (dan pada awalnya dianggap
kurang selektivitas terhadap subtipe reseptor yang berbeda), namun potensi analgesiknya hanya
5-10 kali lebih rendah dari morfin, dan sama dengan petidin , dan Dalam studi sukarelawan
hanya 30% efeknya bisa menjadi antagonis oleh naloxone. Selain itu, tramadol belum dikaitkan
dengan tekanan pernafasan yang signifikan secara klinis, dan memiliki potensi rendah untuk
pengembangan toleransi, ketergantungan dan pelecehan. Tramadol adalah analgesik terpusat
dengan multimodal aksi. Obat ini bekerja pada nociception serotonergik dan noradrenergik,
sementara hasil metabolitnya yaitu O-desmethyltramadol bekerja pada reseptor μ-opioid. Potensi
analgesiknya diklaim sekitar sepersepuluh dari morfin. Tramadol digunakan untuk mengobati
nyeri akut dan kronis dengan intensitas sedang hingga berat. Tramadol monoterapi biasanya
tidak memberikan analgesia yang memadai. Pada nyeri non-kanker kronis, hanya ada sedikit
bukti untuk penggunaan tramadol yang digunakan selama lebih dari tiga bulan.(WHO, 2014)
Tramadol dianggap sebagai analgesik yang relatif aman. Reaksi utama yang merugikan
terhadap terapi tramadol adalah mual, pusing, dan muntah, terutama pada awal terapi. Pada dosis
terapeutik, tramadol tidak menyebabkan depresi pernapasan yang relevan secara klinis. Tramadol
sering diindikasikan pada pasien dengan fungsi pernafasan yang berkurang.(WHO, 2014)
Tramadol umumnya dianggap sebagai obat-obatan dengan potensi ketergantungan yang
cukup rendah rendah terhadap morfin. Meskipun demikian, ketergantungan tramadol dapat
terjadi bila digunakan untuk jangka waktu yang lama (lebih dari beberapa minggu sampai bulan).
Ketergantungan pada tramadol bisa terjadi ketika digunakan dalam kisaran dosis yang dianjurkan
tetapi utamanya jika tramadol digunakan pada dosis supra-terapeutik. Pada beberapa banyak
individu dengan ketergantungan tramadol, sering ditemukan adanya riwayat penyalahgunaan
zat.(WHO, 2014)
Tramadol yang diberikan secara oral dapat menghasilkan efek opioid (baik secara mental
dan fisik) namun efek ini ringan dan tidak diproduksi setelah pemberian parenteral. Tramadol
umumnya dianggap sebagai obat dengan potensi penyalahgunaan rendah relatif terhadap morfin,
dan potensi ini terkait dengan penggunaan tramadol oral dosis tinggi. Intoksikasi dapat terjadi
pada dosis supra-terapeutik dan jarang pada dosis terapeutik. Gejala intoksikasi tramadol serupa
dengan analgesik opioid lainnya, tetapi mungkin termasuk komponen serotonergik dan
noradrenergik. Gejalanya meliputi depresi dan koma sistem saraf pusat (SSP), takikardia, kolaps
kardiovaskular, kejang, dan depresi pernapasan sampai gagal napas. Intoksikasi fatal jarang
terjadi dan tampaknya mungkin bisa terjadi, namun terkait dengan kelebihan dosis tramadol dan
pemberian obat lain (termasuk alkohol). Tramadol digunakan di seluruh dunia dan terdaftar
dalam banyak panduan medis untuk penanganan nyeri. Disebutkan sebagai analgesik step-2
dalam pedoman WHO untuk menghilangkan rasa sakit kanker. Tramadol juga terdaftar di
beberapa daftar obat penting nasional. Namun, ini tidak tercantum dalam daftar WHO Essential
Medicines (April 2013). Ada bukti pelanggaran-pelarangan penggunaan tramadol di beberapa
negara Afrika dan Asia Barat mengingat serangan besar dari persiapan semacam itu di Afrika
Utara dan Barat. Penyalahgunaan tramadol dilaporkan oleh Mesir, Gaza, Yordania, Lebanon,
Libya, Mauritius, Arab Saudi dan Togo. Karena tingkat penyalahgunaan yang meningkat, Mesir
memiliki tramadol yang dijadwalkan pada tahun 2009.(WHO,2014)
Tramadol banyak tersedia melalui internet tanpa resep. Situs web menyediakan banyak
laporan pengguna tentang penggunaan tramadol tanpa indikasi. Status hukum tramadol berbeda-
beda secara internasional. Di sebagian besar negara, obat ini hanya boleh didapat dengan resep
dokter.(WHO,2014)
Nama kimia
(1RS, 2RS) -2- (dimethylaminomethyl) -1- (3-methoxyphenyl) cyclohexanol atau (1RS, 2RS) -2-
(dimethylaminomethyl) -1- (m-methoxyphenyl) cyclohexanol
Nama IUPAC: Tramadol, Nama Indeks CA: Tramadol
Struktur kimia

Tramadol memiliki dua pusat kiral dalam cincin sikloheksana, Akibatnya, ada empat
stereoisomer berbeda: (1R, 2R), (1S, 2S), (1R, 2S), dan stereoisomer (1S, 2R).
Produk yang tersedia secara komersial berisi campuran rasemat (1: 1) dari enantiomer
(1R, 2R) dan enSomeromer (1S, 2S), yang juga ditetapkan sebagai enansiomer (+) dan (-) dari
cis-(2-dimetilaminometil)-1-(3-methoxyphenyl) cyclohexanol. Enansiomer (1R, 2R) dan (1S,
2S) memiliki gugus hidroksil dan dimetilaminometil dalam konfigurasi-cis, dan gugus
metoksienil dan kelompok dimetilaminometil dalam konfigurasi.(WHO,2014)
Sintesis
Tramadol pertama kali disintesis pada tahun 1962 oleh Grünenthal GmbH di Jerman
dengan kopling sikloheksanon yang sesuai dengan 3-methoxyphenylmagnesium bromide dalam
reaksi Grignard. Baru-baru ini, sintesis kimia tramadol dan dua metabolitnya telah dijelaskan
oleh reaksi kopling yang sama dengan menggunakan turunan organolithium. Tramadol
menunjukkan kemiripan struktural dengan kodein. Baik tramadol dan kodein memiliki kelompok
3-metoksi pada cincin fenil dan berbagi O-demetilasi sebagai langkah metabolik, menghasilkan
metabolit dengan aktivitas agonis μ-opioid yang lebih kuat daripada senyawa
induknya.(WHO,2014)
Sebagai tambahan, bagian dimethylaminomethyl tramadol menyerupai cincin nitrogen
yang dimetilasi dari morfin dan kodein, dan membentuk bagian penting dari farmakofor yang
berinteraksi dengan reseptor μ-opioid dan transporter monoamina. N-demethylation
menghasilkan metabolit yang kurang aktivitas analgesik yang signifikan.(WHO, 2014)

Farmakokinetik
Data farmakokinetik terutama berasal dari Compendium Medicines elektronik (eMC)
yang berisi Ringkasan Karakteristik Produk (SPCs) yang diperiksa dan disetujui oleh European
Medicines Agency. (WHO,2014)
Penyerapan
Tramadol hampir sepenuhnya diserap setelah pemberian oral (> 90%), dubur dan
intramuskular. Ketersediaan hayati rata-rata adalah 70%, terlepas dari asupan makanan saat ini.
Konsentrasi plasma puncak setelah pemberian oral, dubur dan intramuskular dicapai dalam 1-2
jam, 3 jam, dan 45 menit. Persiapan rilis yang diperluas menghasilkan profil konsentrasi plasma
yang lebih halus dan memiliki konsentrasi puncak yang lebih rendah (sekitar setengah) setelah 4
sampai 6 jam.
Konsentrasi plasma puncak tramadol setelah pemberian oral dosis tunggal (100 mg)
adalah 0,31 0,08 mg / L. Konsentrasi plasma puncak O-desmethyltramadol biasanya 15-25%
tramadol. Farmakokinetik tramadol oral dan intravena tidak berbeda secara signifikan antara
orang dewasa dan anak-anak.
Distribusi
Volume distribusi tramadol sekitar 2,6-2,9 L / kg berat badan, mengikuti dosis 100 mg
intravena. Pengikatan protein plasma sekitar 20%.
Metabolisme dan eliminasi
Tramadol secara luas dimetabolisme di hati dengan demetilasi, oksidasi dan konjugasi
(sulfasi dan glukuronidasi). Dua puluh tiga metabolit telah diidentifikasi. Baik berbentuk
metabolit O dan N-desmethyl, termasuk derivatif di dan tri-desmethyl. O-demethylation terjadi
terutama oleh enzim hati sitokrom P450 2D6 (CYP2D6) dan N-demethylation oleh cytochrome
P450 3A4 (CYP 3A4). Reaksi O-demetilasi, menghasilkan metabolit aktif O-desmethyltramadol,
bergantung pada aktivitas enzim CYP 2D6. Enzim ini menampilkan polimorfisme genetik.
Metabolimer lambat memiliki konsentrasi O-desmethyltramadol plasma yang relatif rendah,
sedangkan metabolisme cepat (ultra) memiliki konsentrasi plasma aktif yang relatif tinggi.
Dengan demikian, aktivitas CYP 2D6 mempengaruhi aktivitas analgesik tramadol. CYP 2D6
dapat dihambat oleh sejumlah obat-obatan, termasuk berbagai antidepresan dan kontrasepsi oral.
Terapi bersamaan dengan penghambat tersebut dapat mempengaruhi efek analgesik
tramadol.(WHO,2014)
Tramadol oral dieliminasi dalam urin (90%) dan kotoran (10%). Sekitar 30% dari dosis
oral diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan sekitar 60% dalam bentuk metabolit bebas dan
terkonjugasi. (Morgan, 2006)
Masa paruh eliminasi tramadol rasemat kira-kira 6 jam, terlepas dari cara pemberiannya,
dan sekitar 8 jam untuk O-desmethyltramadol. Kehidupan paruh dapat diperpanjang pada orang
dengan penurunan fungsi hati atau ginjal. Pada dosis terapeutik, tramadol menunjukkan
farmakokinetik linier. Efek analgesik tergantung dosis dan konsentrasi serum 0,1-0,3 mg / L
dianggap efektif.(WHO,2014)

Farmakodinamik
Tramadol ada sebagai campuran rasemat (1: 1) dari enansiomer (+) dan (-). Ini memiliki
mekanisme aksi multimodal seperti pada satu sisi (+) dan (-) - enansiomer pada serotonin dan
reuptake noradrenalin, dan di sisi lain metabolit O-desmethyl dari tramadol (disebut M1 atau
ODT) bekerja pada reseptor μ-opioid. Ini menyiratkan bahwa mekanisme analgesik tindakan
tramadol mencakup komponen non-opioid, yaitu komponen noradrenergik dan serotonergik, dan
komponen opioid. Enansiomer (-) dari tramadol berkontribusi terhadap analgesia dengan
menghambat reuptake serotonin, enansiomer (-) - dengan menghambat reuptake noradrenalin,
dan metabolit O-desmethyl dengan mengikat dengan afinitas relatif tinggi (dibandingkan dengan
tramadol) ke reseptor μ-opioid. ( ) -Tramadol mengikat dengan afinitas rendah pada reseptor μ-
opioid manusia dengan konstanta afinitas (Ki) 2,4 μM.42 Afinitas ini kira-kira 4000 kali lipat
lebih kecil dari morfin (Ki = 0,34 nM). Afinitas tramadol untuk reseptor δ- dan κ-opioid lebih
rendah (Tabel 1). Metabolit ( ) -O-desmethyl (M1) tramadol, di sisi lain, menunjukkan afinitas
sekitar 400 kali lipat lebih tinggi untuk reseptor μ-opioid (Ki = 5,4 nM) dibandingkan senyawa
induknya, namun tetap dengan afinitas jauh lebih rendah. daripada morfin Afinitas M1 untuk
reseptor μ-opioid disebabkan oleh (R) (+) - enansiomer (Ki = 3,4 nM) dan bukan enansiomer (S)
(Ki = 240 nM). Afinitas enansiomer (R) (+) - M1 adalah sepersepuluh dari morfin untuk reseptor
μ-opioid, dan sekitar 700 kali lipat dari ( ) - tramadol. Metabolit ( ) -M5 juga memiliki afinitas
yang lebih tinggi daripada ( ) -tramadol untuk reseptor μ- opioid (Ki = 100 nM). Namun,
penelitian pada hewan menunjukkan bahwa M5 tidak melewati sawar darah otak dan tidak
berkontribusi terhadap efek anti-nosiseptif tramadol. Metabolit M2, M3, dan M4 tramadol
memiliki afinitas yang tidak berarti untuk reseptor μ-opioid manusia. Selain aktivitas opioidnya,
tramadol bekerja pada jalur serotonergik dan noradrenergik, yang diduga berperan sinergis
dengan efek tramadol pada reseptor μ-opioid. Fakta bahwa mekanisme non-opioid terlibat dalam
efek analgesik didukung oleh pengamatan bahwa nalokson hanya sebagian (sekitar 30%)
menentang tramadol yang menginduksi analgesia dan bahwa quinidine (penghambat
demethylation hati untuk tramadol menjadi M1) menghambat miosis tramadol- induce tapi
hampir tidak mempengaruhi analgesia tramadol. Sebagai tambahan, Desmeules dkk (1996)
menemukan bahwa yohimbine (antagonis 2-adrenoseptor) dapat secara signifikan mengurangi
efek analgesik tramadol pada sukarelawan sehat (penurunan maksimum 67% dan 97% pada 2,8
jam, masing-masing dengan ukuran subjektif dan objektif). Data ini menunjukkan aktivitas
agonis yang signifikan (misalnya, O-desmethyltramadol) pada reseptor μ-opioid dan keterlibatan
mekanisme non-opioid pada analgesia tramadol. Tramadol tampaknya bertindak baik sebagai
pelepas serotonin dan sebagai inhibitor reuptake serotonin, dan sebagai inhibitor reuptake
noradrenalin in vitro. (+) - Tramadol adalah enansiomer dengan aktivitas tertinggi sebagai
pelepas serotonin dan inhibitor reuptake pada inti rapis dorsal tikus irisan otak.8 Enansiomer (+)
kira-kira empat kali lebih manjur daripada enansiomer (-) - sebagai penghambat reuptake
serotonin. Selain itu, tramadol adalah penghambat efektifitas reuptake noradrenalin pada sinaps
saraf tulang belakang tikus dengan menghalangi transporter noradrenalin. Sebagai inhibitor
reuptake noradrenalin, (-) - tramadol kira-kira sepuluh kali lebih manjur daripada (+) - tramadol
pada hipotaptisom hipotalamus tikus.(WHO,2014)
Minami et al. (2007) meninjau efek tramadol pada transporter monoamina dan reseptor
G-protein yang digabungkan. Mereka menyimpulkan bahwa reseptor G-protein yang
digabungkan dan saluran ion ligan dapat juga menjadi target tramadol. Namun, tidak diketahui
apakah tindakan tramadol pada reseptor ini terlibat dalam efek analgesik tramadol. Singkatnya,
efek analgesik tramadol tampaknya diproduksi dalam mekanisme multimodal yang melibatkan
sistem μ-opioid, sistem noradrenergik, dan sistem serotonergik. Tramadol tampaknya bertindak
sebagai penghambat releasing dan reuptake serotonin, dan sebagai inhibitor reuptake
noradrenalin, dan metabolitnya aktif sebagai agonis reseptor μ-opioid. Tramadol terutama
bertanggung jawab atas penghambatan reuptake serotonin, (-) - tramadol untuk inhibisi reuptake
noradrenalin, dan metabolit O-desmethyltramadol (M1) terutama bertanggung jawab atas
aktivitas agonis pada reseptor μ-opioid.
Analgesia
Tramadol merupakan analgesik yang berfungsi sentral, digunakan untuk mengobati rasa
sakit sedang sampai sedang (sedang). Racem tramadol memberikan analgesia serupa dengan (+)
- tramadol namun ditoleransi lebih baik daripada enansiomer (+). Sebagai tambahan, enansiomer
(-) kurang efektif sebagai analgesik. Oleh karena itu, campuran rasemat tramadol lebih unggul
dari enansiomer saja dalam pengobatan rasa sakit.(WHO,2014)
Sebagai analgesik, tramadol kira-kira setara dengan kodein dan memiliki sekitar 10%
potensi morfin setelah pemberian parenteral. Karena tramadol memiliki bioavailabilitas oral
lebih tinggi daripada morfin, potensi relatif tramadol oral harusnya sekitar 20% dari morfin oral.
Pada manusia, analgesia oleh tramadol diinduksi sekitar satu jam setelah pemberian oral dan
puncaknya setelah dua sampai tiga jam. Efek analgesik bergantung pada dosis dan karena kedua
obat induk dan metabolit O-desmethyl M1. Risiko depresi pernapasan rendah dibandingkan
dengan opioid lain seperti morfin, pethidine, dan oxycodone. Tramadol memiliki beragam
aplikasi baik pada nyeri akut (misalnya, pasca operasi, trauma) dan kronis (kanker dan non
kanker) Meskipun demikian, meta-analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa monoterapi
tramadol tidak selalu memberikan analgesia yang cukup. Sebagai contoh, tramadol tidak
menunjukkan efek yang signifikan pada penghilang rasa sakit pada nyeri punggung bawah
nonspesifik yang kronis. Dalam meta analisis lain, tramadol ditemukan lebih baik daripada
plasebo pada nyeri punggung bawah kronis, namun buktinya kurang berkualitas. Pada pasien
osteoartritis kronis, meta-analisis menunjukkan bahwa kemanjuran tramadol sangat sederhana
dan bukti kemanjurannya cukup wajar. (WHO,2014)
Manchikanti et al. (2011) menyimpulkan bahwa bukti tramadol dalam mengelola
osteoarthritis (lutut dan banyak persendian) cukup wajar, dan bukti buruk pada semua kondisi
nyeri kronis non-kanker lainnya. Di sisi lain, meta-analisis yang dilakukan pada tahun 2006
menunjukkan kemanjuran tramadol dalam pengobatan nyeri neuropatik. Dalam sebuah tinjauan
baru-baru ini yang dilakukan oleh sebuah komite ahli Jerman, para penulis mengkonfirmasi
keampuhan analgesik tramadol, dengan bukti kuat dari tinjauan sistematis dan pedoman
internasional mengenai manajemen nyeri akut dan kronis.81 Para penulis menambahkan bahwa
monoterapi tramadol biasanya tidak memberikan analgesia yang cukup pada nyeri sedang
sampai berat, dan pedoman Jerman menunjukkan bahwa hanya ada sedikit bukti untuk
penggunaan opioid, termasuk tramadol, selama lebih dari tiga bulan pada nyeri kronis non-
kanker.(WHO, 2014)

Indikasi & Kontraindikasi


Tramadol digunakan untuk mengobati rasa sakit sedang sampai parah (kebanyakan
negara) atau sedang sampai sedang sakit parah (AS). Ini memiliki berbagai macam aplikasi baik
pada nyeri akut (misalnya, pasca operasi, trauma) dan kronis (kanker dan non-kanker), dan
tersedia di seluruh dunia sebagai obat.
Tramadol tercantum dalam banyak panduan medis untuk penanganan nyeri. Ini disebut sebagai
analgesik step-2 dalam pedoman WHO untuk menghilangkan rasa sakit kanker. Pada nyeri non-
kanker kronis, tramadol mungkin tepat bila analgesik non-opioid tidak efektif atau kontra-
indikasi.(WHO, 2014)
Secara umum, efek analgesik monoterapi tramadol adalah sederhana. Dalam meta-
analisis, tramadol tidak menunjukkan efek signifikan pada penghilang rasa sakit pada nyeri
punggung bawah nonspesifik kronis, beberapa efek (bukti kualitas rendah) pada nyeri punggung
bawah yang kronis, dan efek sederhana (bukti nyata) pada osteoarthritis kronis.(WHO, 2014)

Dosis & Formulasi


Tramadol dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan tersedia dalam berbagai formulasi
farmasi untuk oral (tablet, kapsul), pemberian sublingual (tetes), intranasal, dubur (supositoria),
intravena, subkutan, dan intramuskular. Ini juga tersedia dalam kombinasi dengan
acetaminophen (parasetamol). Tersedia formulasi immidiate-release dan extended-release.
Formulasi farmasi berikut tersedia untuk penggunaan oral:
 50 mg immediate-release tablet/capsule
 50 mg; 100 mg; 150 mg; 200 mg; and 300 mg extended-release tablet/capsule
 37.5 mg tramadol + 325 mg acetaminophen tablet/capsule
Dosis harian yang direkomendasikan adalah dalam kisaran 100-400 mg. Dosis
maksimum tidak boleh melebihi 400 mg per hari. Bentuk pelepasan normal dapat diberikan
setiap 4-6 jam dan formulir pelepasan diperpanjang harus diberikan setiap 12-24 jam. Untuk
meminimalkan efek samping pada awal terapi dan untuk meningkatkan tolerabilitas, jadwal
titrasi 10 hari atau 16 hari pelepasan tramadol (segera dilepaskan) lebih direkomendasikan.
(WHO,2014)

Efek samping
Keracunan
Penelitian pada hewan tidak mengungkapkan efek karsinogenik tramadol. Studi toksisitas
reproduksi dan perkembangannya negatif. Selain itu, penelitian mutagenisitas tidak
menunjukkan bukti adanya risiko genotoksik pada manusia.
Dibandingkan dengan morfin analgesik opioid klasik, tramadol dianggap sebagai
analgesik yang relatif aman. Dalam literatur beberapa kasus keracunan fatal akibat tramadol saja
telah dilaporkan. Lebih sering intoksikasi dengan mengkonsumsi obat lain atau alkohol. Gejala
berikut Intoksikasi tramadol serupa dengan analgesik opioid lainnya. Ini termasuk depresi sistem
saraf pusat (SSP), termasuk koma, mual dan muntah, takikardia, kejatuhan kardiovaskular,
kejang, dan depresi pernapasan sampai henti napas. Selain itu, dikombinasikan dengan agen
serotonergik (khususnya penghambat reuptake serotonin selektif dan monoamina oksidase
inhibitor) tramadol dapat menginduksi sindrom serotonin. Hipertiria dalam sindrom serotonin
berpotensi fatal.(WHO, 2014)
Beberapa kasus depresi pernafasan berat terkait tramadol telah dijelaskan dalam literatur.
Kasus-kasus tersebut menggambarkan semua masalah yang menyangkut overdosis. Nalokson
intravena telah berhasil digunakan untuk membalik efek opioid overdosis tramadol. (WHO,
2014)
Efek samping penggunaan tramadol terapeutik meliputi mual dan pusing (> 10%),
mengantuk, kelelahan, sakit kepala, keringat meningkat, muntah, mulut kering, konstipasi (1-
10%), diare, dan disregulasi kardiovaskular (palpitasi, takikardia, postural hipotensi - terutama
setelah pemberian intravena cepat) (0,1-1%). Depresi pernafasan, kejang epileptiform, tremor,
bradikardia, halusinasi, dan kecemasan jarang terjadi (0,01-0,1%).(WHO, 2014)
Dapat terjadi Withdrawl tramadol. Reaksi withdrawl termasuk kegelisahan, agitasi,
kegelisahan, berkeringat, insomnia, hiperkinesia, tremor, parestesi, dan gejala gastrointestinal,
serupa dengan gejala withdrawl opioid. (WHO, 2014)
Kejadian efek samping tergantung pada dosis dan cara pemberiannya. Sediaan extended-
release menunjukkan profil tolerabilitas yang lebih baik. (WHO, 2014)
Analisis data farmakovigilans Perancis dari periode 1987-2006 menunjukkan bahwa
kejadian reaksi buruk terhadap kombinasi tramadol-parasetamol adalah 44,5 kasus per 105
pasien-tahun, yang secara signifikan lebih tinggi daripada kombinasi dekstropropoksifen-
parasetamol (24,9) dan kombinasi kodein paracetamol (12,5) . Sebanyak 108 Periode
farmakovigilance yang relatif singkat dari kombinasi tramadol parasetamol (diperkenalkan di
Prancis pada tahun 2002) dibandingkan dengan dua kombinasi lainnya (yang diperkenalkan pada
tahun 1970 dan 1985) dapat menyebabkan bias hasilnya. (WHO, 2014)
Efek pada respirasi, Opiat mengurangi sensitivitas pusat pernapasan menjadi karbon
dioksida. Hal ini dapat menyebabkan penurunan volume pasang surut dan penurunan laju
pernafasan. Karena aktivitas agonis μ-opioid O-desmethyltramadol, tramadol dapat menurunkan
laju pernafasan dan berpotensi menyebabkan depresi pernafasan yang parah. Ini secara kebetulan
telah diamati pada kasus overdosis tramadol. Namun, pada dosis terapeutik tramadol tidak
mungkin menyebabkan depresi pernafasan yang signifikan. (WHO, 2014)
Pada subyek yang sehat, tramadol mengurangi kepekaan terhadap karbon dioksida,
namun tidak mengurangi respons ventilasi terhadap hipoksia. Pada dosis terapeutik, tramadol
menghasilkan lebih sedikit depresi pernapasan, baik pada orang dewasa maupun anak-anak,
dibandingkan dengan morfin, petidin, dan oksikodon. Pada neonatus yang menjalani operasi di
Benin City (Nigeria), tramadol memberikan analgesia yang memadai tanpa komplikasi yang
signifikan. Namun demikian, pada pasien yang berisiko terkena depresi pernafasan, penggunaan
tramadol sangat kontra indikasi.(WHO, 2014)
DAFTAR PUSTAKA
Flood P, Rathmell JP, Shafer S, 2015, Stoelting’s Pharmacology and Physiology in Anesthetic
Practice, Ed 5th, 217-31.
Mangku G, Senapathi TGA, 2010, Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi, Indeks, 32-5.
UNODOC. Fentanyl and Its Analogues -50 Years On. Global Smart Update Vol. 17.
Schulz M. 2014. Clinical Farmacokinetics of Alfentanyl, Fentanyl and Sulfentanyl. Goethe-
Universitat Frankfrut am Main.
Sharma et al, 2016, Fentanyl - A Potent Opioid Analgesic: A Review, J Dev Drugs, Vol. 5, 1-4.
Stanley T.H, 2014, The Fentanyl Story. The Journal of Pain. Vol. 15, No. 12, 1215-26.
Busse G, 2006, Drugs The Straight Facts Morphine, Chelsea house, 8-41.
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD, 2013, Morgan & Mikhail Clinical Anesthesiology, Ed
5th, 189-96.
WHO. 2014. Tramadol Update Review Report. Expert Committee on Drug Dependence Thirty-
sicth Meeting. Geneva.
Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., 2006. Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw
Hill. New York.

Anda mungkin juga menyukai