Anda di halaman 1dari 2

Singgah Kelima

Setelah ayah berlalu dari pandanganku, bi ijah memberitahuku dimana letak kamarku langsung kuikuti
dibelakangnya.

“Lex, ini kamarmu, bagaimana kamu suka kan?” kata si bibi

“ iya bi, saya suka, kamarnya nyaman sekali bi”,

“yah, anggap saja ini rumahmu sendiri ya, jadi jangan malu dan sungkan oke!”, sambil tersenyum bi ijah
mengacungkan jari jempolnya kepadaku.

“oh iya kamar izdhar ada disebelah kamarmu”, bi ijah menambahkan.

“Siap Bi, saya akan beradaptasi disini haha!”

“Beradaptasi kaya bunglon saja, ya sudah istirahat dulu sana bibi mau bersih-bersih dulu”.

Setelah perbincanganku dengan bi ijah tadi aku langsung memasukkan semua barang-barangku dan
menatanya dalam kamar, sambil selonjoran di kamar aku merebahkan tubuhku, aku tidak sabar esok
hari aku akan mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi. Aku buka kembali buku yang telah dibelikan oleh
ayahku tempo hari, aku perhatikan halaman demi halaman karena buku tersebut adalah buku tentang
soal-soal tes untuk bisa diterima di perguruan tinggi.

5 menit telah berlalu, aku melihat sesesorang melewati kamarku. Ku lihat jam dinding kamarku
menunjukkan pukul 18.00 WIB.

Terdengar seperti ada orang yang memanggilku, ia membuka lebar pintu kamarku yang sedari tadi
memang tidak ku tutup rapat.

“mas alex, yuk sholat maghrib berjamaah di masjid”

“izdhar, kamukah itu?”, aku langsung berdiri dari tempat dudukku tadi, segera ku tutup bukuku dan aku
langsung menghampirinya.

“iya mas, ini aku izdhar lama tak jumpa mas, bagaimana kabarnya mas?”

“Alhamdulillah sehat har, kamu gimana sehat juga kan?”

“ya, seperti yang mas lihat sekarang”.

“Eh, kamu pulang dari sekolah jam berapa kok aku nggak tahu?” ujarku.

“Udah dua jam yang lalu mas, aku tadi mau ke kamar mas, tapi tak lihat mas lagi serius baca buku jadi
aku nggak enak nanti ngganggu orang konsen, nanti sajalah pas waktu sholat gitu mas” sambil
cengengesan dia bercerita.

Setelah sholat maghrib dimasjid kami berbincang-bincang seputar banyak hal mengenai masa kecil kami,
kami sering bermain bersama bermain ayunan, dolipan, petak umpet, kelereng dan masih banyak lagi,
perbincangan ini tak berakhir sampai larut malam hingga pukul 21.30 WIB. hal keceriaan inilah yang aku
rindukan semasa kecil kami dulu, aku dan si izdhar sebenarnya usianya nggak terlalu jauh, umurku dua
tahun lebih tua dari izdhar.
Setelah puas menceritakan pengalaman kita masing-masing, kami mengahirinya karena kami esok hari
harus pagi-pagi sudah bangun, ya dengan kesibukan kami masing-masing.

Alarm hp sudah ku nyalakan, segera ku matikan lampu kamar dan kurebahkan tubuhku untuk
menunggu datangnya sang fajar pagi yang akan menjemputku.

Tepat pukul 04.00 WIB aku bangun, dan ku lihat si izdhar sudah rapi dengan baju kokonya, dan ia
mengajakku lagi sholat subuh berjamaah di masjid, ternyata dia lebih dulu bangun dari pada aku.

Setelah sholat, aku diajaknya untuk sarapan pagi. Lalu kemudian kami berpisah aku berangkat untuk
mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi, sedangkan si izdhar pergi ke sekolah.

“Hati-hati ya dijalan”, sambil melambaikan tangan ke arah kami berdua.

“iya Bu, iya Bi “, kami berdua menjawab secara bersamaan lalu pergi sambil berpamitan.

Aku dan izdhar sama-sama menunggu angkot, si izdhar sudah dapat angkot sejak 5 menit yang lalu.

Tetapi aku belum. Ya memang angkotnya berbeda tujuannya pun berbeda, jadi harus sabarlah pikirku,
aku sedari tadi berbicara terus dengan diriku sendiri, entah karena aku sendirian atau bagaimana.

“Mau kemana mas?”, seseorang telah membangunkan lamunanku, setelah ku lihat orang itu ternyata
sopir angkot.

“Ayo mas ditanya malah ngelamun, mau kemana?”

“Ke Universitas Singasari bisa kah pak?”

“Bisa ayo buruan, buruan naik”.

Galak bener ini orang, yang naik juga banyak tapi si sopir ini tidak sabaran langsung ditancepnya gas
angkot tua yang sebenarnya sudah tak layak pakai itu.

Didalam angkot tersebut banyak sekali penumpangnya berdesak-desakkan, panas, berpeluh keringat,
bahkan ada yang mabuk kendaraan umum. 5 jam telah berlalu satu demi satu penumpang turun hingga
tak tersisa. Tinggal aku sendiri segera kubuka pembicaraan dengan si sopir angkot tersebut.

“Pak kok lama ya nggak nyampe-nyampe di Universitas singasari?” kataku.

“Universitas singasari udah dari tadi, kamu kelewatan jalur, gimana sih kamu itu?”

“Lo trus gimana se pak kan aku tadi bilang turunnya di Universitas Singasari!” ujarku dengan nada
meninggi.

“Itu mah urusanmu bukan urusanku, sekarang bayar 15 ribu!”, si sopir ngeyel sambil membentakku.

Setelah turun dari angkot tua itu aku bayarkan upah buat si angkot yang galak tersebut ku serahkan
uang lembaran senilai 20 ribu rupiah.

“Noh, kembali 5 ribu pak!”. Tanpa menjawab perkataanku sopir galak itu langsung menancap gas tanpa
memberiku uang kembalian. “Dasar sopir sialan” pikirku.

...............................................Bersambung..........................................

Anda mungkin juga menyukai