Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes,
2014).
Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB
merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS
telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB
di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai
sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB,
dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO,
2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru seperti ko-
infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan tingkat
kompleksitas yang makin tinggi (Depkes RI, 2009).
Sejak dilaporkannya kasus TB pertama kali di Indonesia, pemerintah
telah melakukan berbagai upaya melaui Kementerian Kesehatan untuk
mengatasinya. Mulai dari proses penjaringan suspek, deteksi dan pencatatan
kasus, pengobatan pasien, hingga tata laksana multi drug resistence (MDR).
Suspek TB yang telah dijaring akan menjalani pemeriksaan laboratorium,
yang mana pada tahap ini ditetapkan indikator proporsi TB Paru
terkonfirmasi bakteriologis. Indikator ini merupakan persentase pasien baru
TB paru terkonfirmasi bakteriologis (BTA positif dan MTB positif) diantara
suspek TB yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari
proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan
kriteria terduga. Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi mengalami
peningkatan signifikan dari tahun 1999 sampai tahun 2003 dari 7%
meningkat menjadi 13%. Namun mulai menurun sampai tahun 2014. Pada
2

tahun 2015 indikator ini kembali meningkat menjadi 14% (PUSDATIN,


2015).
Menurut Surat Menteri Kesehatan R.l Nomor PM.02 .06/ III.1 /
1537/2012 tentang “Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di
lndonesia Tahun 2011” menjelaskan bahwa angka prevalensi, insidensi dan
kematian di Indonesia berdasarkan Global Report TB WHO tahun 2011,
prevalensi TB diperkirakan sebesar 289 per 100.000 penduduk, insidensi TB
sebesar 189 per 100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 per
100.000 penduduk. Angka penjaringan suspek di Indonesia meningkat
8,460/0 dari 744 suspek tahun 2010 menjadi 807 per 100.000 penduduk di
tahun 2011 .Sedangkan Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek
yang diperiksa pada tahun 2011 sebesar 10% (target 5-15 %) dan Proporsi
pasien TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru pada tahun 2011
menurun 1,0 % dari 61 % di tahun 2010 menjadi 60% pada tahun 2011
(target 65%).Dan Angka penemuan pasien baru TB paru BTA positif pada
tahun 2011 meningkat dibandingkan dengan tahun 2010.Angka ini pada tahun
2011 sebesar 83,5 % sedangkan pada tahun sebesar 78,3 % (target minimal
70%) (Depkes RI, 2014).
Angka penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2011 menunjukkan
capaian 417 sampai dengan 2.277 per 100.000 penduduk, tertinggi Sulawesi
Utara dan terendah Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi yang mempunyai
kontribusi peningkatan penjaringan suspek yang signifikan di tahun 2011
adalah Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Lampung,
Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara (Depkes RI, 2014).
Di wilayah Jawa Tengah Case Notification Rate (CNR) seluruh Kasus
TB pada tahun 2015 sebesar 117,36 per 100.000 penduduk, hal ini
menunjukkan bahwa penemuan kasus Tuberkulosis di Jawa Tengah
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014 yaitu 89,01 per 100.000
penduduk (DinKes Jawa Tengah, 2015).
Di kota Surakarta sendiri, angka penemuan Penderita TB paru dengan
BTA + (CDR=Crude Death Rate) pada tahun 2014 sebesar 62,3% (319
3

kasus). Jika dibandingkan angka penemuan tahun 2013 (53,74%) terjadi


sedikit peningkatan namun belum mencapai target Renstra Kota Surakarta
yang ditetapkan yaitu sebesar 80%. Jika dilihat sebaran tiap Puskesmas, maka
tidak ada Puskesmas yang dengan CDR mencapai 80%. Jika dibandingkan
dengan angka Jawa tengah yang sebesar 59%, maka pencapaian Kota
Surakarta lebih tinggi (Profil Kesehatan Surakarta, 2014).
Di Puskesmas Pajang sendiri berdasarkan data SPM periode Januari –
November 2017 menunjukkan angka pencapaian penemuan kasus TB BTA
(+) (case notification rate) yakni sebesar 27 orang tiap 100.000 penduduk dan
angka pencapaian Cakupan suspek TB paru pada tahun 2016 masih rendah
yaitu sebesar 34,9%.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut di atas rumusan masalah
adalah faktor – faktor apa sajakah yang menyebabkan rendahnya cakupan
suspek TB Paru pada Puskesmas Pajang Periode Januari – November 2017
dan apa sajakah alternative pemecahan masalah yang sesuai dengan penyebab
masalah yang ditemukanserta apa saja kegiatan yang dapat dilakukan untuk
pemecahan masalah tersebut.

C. Tujuan Kegiatan
1. Tujuan Umum
Mengetahui, mengidentifikasi, menganalisis faktor – faktor yang
menyebabkan rendahnya cakupan suspek TB paru, menentukan dan
merumuskan alternative pemecahan masalah dan prioritas pemecahan
masalah yang sesuai dengan penyebab masalah, serta kegiatan yang dapat
dilakukan untuk pemecahan masalah tersebut di Puskesmas Pajang.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menganalisis faktor – faktor yang menyebabkan rendahnya
cakupan suspek TB paru di Puskesmas Pajang, kecamatan Pajang
Kota Surakarta.
4

b. Mampu memberikan alternative pemecahan masalah yang


menyebabkan rendahnya cakupan suspek TB paru di Puskesmas
Pajang Kota Surakarta
c. Mampu menentukan prioritas pemecahan masalah yang menyebabkan
rendahnya cakupan suspek TB paru di Puskesmas Pajang Kota
Surakarta.
d. Mampu menyusun rencana kegiatan (POA) pemecahan masalah
terpilih.

D. Manfaat Kegiatan
Adapun manfaat kegiatan ini antara lain :
1. Sebagai bahan masukan kepada Puskesmas Pajang dalam meningkatkan
cakupan suspect TB paru.
2. Masyarakat menjadi lebih paham mengenai penyakit TB dan mengetahui
bagaimana cara pencegahnnya.

E. Metodologi
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari wawancara dengan Kepala Puskesmas, dokter, pemegang
program dan staf Puskesmas untuk memperoleh informasi program pelayanan
di Puskesmas Pajang. Data sekunder diperoleh dari catatan tertulis yang ada
di Puskesmas Pajang periode Januari 2017.
Dari segi manajemen puskesmas, data yang diperoleh yaitu data hasil
kegiatan selama 1 bulan. Hasil cakupan dibandingkan dengan target tahun
2010 sehingga didapatkan pencapaian. Masalah didapatkan jika pencapaian
kurang dari 100%. Kemudian ditentukan prioritas masalah dengan USG. Dari
prioritas masalah tersebut dilakukan analisis penyebab masalah dengan
pendekatan sistem dan dimensi mutu. Analisis faktor penyebab masalah
dengan pendekatan sistem dimasukkan ke dalam Fish Bone Analyze.
Penyebab masalah yang ada diprioritaskan dengan paired comparison.
Dengan menggunakan tabel, dipilihlah penyebab masalah yang akan
dilakukan intervensi. Penyebab masalah yang telah terpilih kemudian dicari
alternatif pemecahan masalahnya. Kemudian dilakukan pengambilan
5

keputusan mengenai pemecahan masalah mana yang akan diusulkan dan


dibuat plan of action.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
6

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB


menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes,
2014).

B. Epidemiologi TB Paru
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013
terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014).
Pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB
(WHO, 2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada
pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah
Mediterania Timur (17%). Indonesia sendiri menempati peringkat ke-2
setelah Tiongkok (WHO, 2015).
Pada tahun 2014 di Indonesia ditemukan jumlah kasus baru BTA+
sebanyak 176.677 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang
ditemukan tahun 2013 yang sebesar 196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi
yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar
yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga
provinsi tersebut sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan.
Menurut kelompok umur, kasus baru paling banyak ditemukan pada
kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 20,76% diikuti kelompok umur 45-
54 tahun sebesar 19, 57% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar
19,24% (Kemenkes, 2015).

C. Etiologi TB Paru
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri iniberukuran lebar
0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks,
terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialahasam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosadimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterialsulfolipids
7

yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding selyang kompleks tersebut


menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali
diwarnai, tahan terhadapupaya penghilangan zat warna tersebut dengan
larutan asam –alkohol (PDPI, 2011).

D. Perjalanan Penyakit TB
Cara penularan
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB
dengan hasil pemeriksaanBTA negatif tidak mengandung kuman dalam
dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/ccdahak sehingga sulit
dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
2. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkanpenyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah
65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasilkultur negatif dan foto Toraks positif
adalah 17%.
3. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.
4. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentukpercikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kemenkes, 2014).

Risiko penularan
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)
8

orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.


3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Kemenkes, 2014).

E. Patogensis TB Paru
1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas
akanbersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatusarang
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer.Sarang primer
ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru,berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akankelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesarankelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primerbersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagaikompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah
satu nasib sebagai berikut
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu
suatukejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yangmembesar
sehingga menimbulkan obstruksi padasaluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis.Kuman tuberkulosis
akan menjalar sepanjang bronkusyang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelectasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
9

2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan


maupun ke paru sebelahnya.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian
penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh,
jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti
yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat sepertitu berkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi
dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
a) Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalo meningitis, tuberkuloma ) atau
b) Meninggal (PDPI, 2011).
2. Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localizedtuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat
b. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya
10

akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan


akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalny aberdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini:
1) Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik
baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan
seperti yang disebutkan diatas
2) Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma.Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadikaviti lagi
3) Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut
open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan
membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir
sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped) (PDPI, 2011).

F. Perjalanan Alamiah TB pada Manusia


Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliput
tahappaparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada
tabel berikut:
a. Paparan
Peluang  Jumlah kasus menular di masyarakat
peningkatan  Peluang kontak dengan kasus menular
paparan  Tingkat daya tular dahak sumber penularan
terkait  Intensitas batuk sumber penularan
dengan:
 Kedekatan kontak dengan sumber penularan
11

 Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan


 Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi,
sinar ultraviolet, penyaringan adalah faktor yang dapat
menurunkankonsentrasi)
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk
terinfeksi. Setelahterinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang
akan terinfeksi saja,menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena
TB.
b. Infeksi
 Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah
infeksi
 Reaksi immunologi (lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan
kemudian berlangsungreaksi antigen – antibody.

 Reaksi immunologi (umum)


Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)

 Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam
lesi tersebut(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
 Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi
sebelumpenyembuhan lesi
c. Sakit TB
Faktor  Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
risiko  Lamanya waktu sejak terinfeksi
untuk  Usia seseorang yang terinfeksi
menjadi  Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
sakit TB tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
adalah malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya
tergantung TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV
dari : meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun
12

bilaseorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses


reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran
melalui aliran darah atau
getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra
Paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat
menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal Dunia
Faktor  Akibat dari keterlambatan diagnosis
risiko  Pengobatan tidak adekuat
kematian  Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau
karena penyakitpenyerta
TB:
(Kemenkes, 2014)

G. Gejala Klinis
Gejala klinis TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
(respiratorik) dan gejala sistemik.
Gejala Respiratorik Gejala Sistemik

- Batuk ≥ 2 minggu - Demam


- Batuk darah - Malaise
- Sesak Napas - Keringat malam
- Nyeri dada - Anoreksia
- Berat badan menurun
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, mulai tidak ada gejala
sampai gejala cukup brat tergantung luas lesi. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya diperlukan untuk
membuang dahak keluar (Kemenkes, 2014).

H. Klasifikasi TB Paru
1. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
2. Klasifikasi Berdasarkan Luas Lesi Paru pada Foto Thorax
13

3. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya


a. Kasus baru : Pasien yang belum pernah mendapatkan OAT atau telah
menelan OAT selama satu bulan ( 4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps) : pasien yang pernah mendapatkan OAT dan
dinyatakan sembuh atau selesai pengobatan, didiagnosis kembali
dengan BA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus Putus Obat (Drop Out) : Pasien TB yang telah berobat dan
putus obat selama 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali positif pada bulan kelima atau lebih
e. Kasus Pindahan : Pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatan (PDPI, 2011).

I. Diagnosis TB Paru
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal
yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
1. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
2. Pemeriksaan fisik.
3. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
4. Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
5. Rontgen dada (thorax photo) dan Uji Tuberkulin
14

(Kemenkes, 2014)

J. Pengobatan TB Paru
Tujuan pengobatan Tb paru adalah menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai
penularan, dan mencegah resistensi kuman terhadap OAT.
Jenis OAT Sifat Dosis (mg/kbb) Dosis (mg/kgbb)
3x seminggu
harian

Rifampisin (R) Bakterisid 10 10


(8-12) (8-12)

Isoniazid (H) Bakterisid 5 10


(4-6) (8-12)

Pirazinamid (Z) Bakterisid 25 35


(20-30) (30-40)
15

Etambutol (E) Bakteriostatik 15 30


(15 – 20) (20-35)

Streptomycin Bakterisid 15
(12-18)
(S)

Pengobatan TB banyak menimbulkan efek samping, baik efek samping


ringan maupun berat. Tabel 2 menjelaskan efek samping pengobatan OAT
dari ringan sampai berat berdasarkan gejala.

Paduan Pengobatan OAT


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2
bulan) dan fase lanjutan (4 – 6bulan). Pada umumnya lama pengobatan 6 – 8
bulan.
1. TB paru (kasus baru), BTA (+), atau lesi luas
Paduan obat diberikan  2RHZE/4RH
Alternatif  2RHZE/4R3H3 atau 2RHZE/6HE (program P2TB)
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+) kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambar radiologik lesi luas
c. TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan,
dengan paduan 2RHZE/ 7RH dan alternatif 2RHZE 7R3H3, pada
keadaan : TB paru lesi luas, dengan komorbid dan TB paru kasus berat
(miliier)
2. TB paru (kasus baru) BTA (-) dengan gambaran radiologi lesi minimal
atau TB diluar paru kasus ringan
16

Paduan obat  2RHZ/4RH


Alternatif  2RHZ/4R3H3 atau 6RHE
3. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT
pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada uji resistensi dapat diberikan
obat sesuai hasil uji resistensi) lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan
atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya. Sehingga padian obat yang
diberikan : 3RHZE/ 6RH
Dosis paduan OAT KDT /FDC kategori 1 berdasarkan berat badan
Berat Badan Tahap Intensif tiap Tahap Lanjutan 3 x
hari selama 56 seminggu selama 16
hari mggu
RHZE RH (150/150)
(150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tablet KDT 2 tablet KDT

38 – 54 kg 3 tablet KDT 3 tablet KDT

55 – 70 kg 4 tablet KDT 4 tablet KDT

≥ 71 kg 5 tablet KDT 5 tablet KDT

K. Strategi Penemuan Pasien TB


1. Strategi Penemuan
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi
terdampak TB dan populasi rentan
b. Upaya penemuan secara intensef harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara
dini
17

c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan,


didukung dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama
masyarakat
d. Perlibatan semua fasilitas kesehatan untuk mempercepat penemuan dan
mengurangi keterlambatan pengobatan
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap
1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti
pada pasien dengan HIV, DM, dan malnutrisi
2) Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko
tinggi terjadinya penularan TB, seperti: Lapas/ rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama, dan
panti jompo
f. Penemuan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala
dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan perilaku
kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health= PAL), manajemen
terpadu pada balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit
(MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan pasien TB di faskes,
mengurangi terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat
meningkatkan mutu layanan.
g. Tahap awal penemuan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala:
1) Gejala utama pasien TB paru, yaitu batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih, batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun. malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
2) Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan
18

perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung


(Kemenkes, 2014).
2. Pemeriksaan Dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupadahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
1) S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjungpertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga
pasien membawa sebuahpot dahak untuk menampung dahak pagi
pada hari kedua.
2) P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah banguntidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di fasyankes.
3) S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkandahak pagi (Kemenkes, 2014).
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium
tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB
pada pasien tertentu, misal:
1) Pasien TB ekstra paru.
2) Pasien TB anak.
3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang
terpantau mutunya.Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan
menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk
memastikan diagnosis dianjurkan untukmemanfaatkan tes cepat tersebut
(Kemenkes, 2014).
19

3. Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.tb terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan,
uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah
tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/QualityAssurance (QA). Hal
ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis
resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien
dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien
TB dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat
yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh
provinsi (Kemenkes, 2014).

L. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia


1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai
titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
sebagai kerangkadasar dan memperhatikan strategi global untuk
mengendalikan TB (Global Stop TBStrategy).
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap programpengendalian TB.
4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatanmutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampumemutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya TB resistan obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan
oleh seluruhFasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas,
Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, RumahSakit Paru (RSP), Balai
20

Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), KlinikPengobatan


serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).
6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan
TB dengantingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan
dilakukan di FKRTL dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor
penyulit telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan
kemitraan diantarasektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam wujud GerakanTerpadu Nasional Pengendalian TB
(Gerdunas TB).
8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan
ditujukan untukpeningkatan mutu dan akses layanan.
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara
cuma-cuma dandikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi
menjamin ketersediaannya (Kemenkes, 2014).

M. Pencegahan dan Pemberantasan TB


Pada dasarnya upaya-upaya kesehatan dapat digolongkan menjadi 4
macam, yaitu upaya peningkatan (promotive), upaya pencegahan (preventive)
upaya penyembuhan (curative) dan upaya pemulihan kesehatan
(rehabilitative). Upaya-upaya ini ditujukan terhadap 3 faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit, yaitu faktor penjamu (host), bibit
penyakit (agent), dan faktor lingkungan (environment).
Usaha-usaha pencegahan infeksi TB paru tersebut dilakukan terhadap:
1. Faktor manusia (host), dengan mempertinggi daya tahan tubuh dan
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai cara penularan penyakit
serta prinsip-prinsip pengobatan.
2. Bibit penyakit (agent), dengan memberantas sumber penularan penyakit,
baik dengan mengobati penderita atau carier maupun dengan meniadakan
resevoir penyakit.
21

3. Faktor lingkungan (environment), mengubah atau mempengarhi


lingkungan hidup sehingga faktor-faktor yang tidak baik dapat diawasi
sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kesehatan manusia.
Dari usaha-usaha tersebut yang paling penting adalah usaha
pencegahan penyakit karena usaha pencegahan penyakit mudah dilaksanakan
dan biaya murah serta dapat memberikan hasil yang optimal. Usaha-usaha
lain dapat dilakukan melalui:
1. Untuk infeksi tuberkulosis paru
Pencegahan terhadap sputum yang infeksius
a) Case finding, foto rontgen dada, uji tuberkulin secara Mantoux
b) Isolasi penderita dan mengobati penderita
c) Pengobatan penderita yang sakit dengan OAT
2. Peningkatan daya tahan tubuh
3. Pengobatan penderita yang sakit dengan obat anti tuberkulosis (OAT).
Stategi penanggulangan tuberkulosis nasional disusun berdasarkan strategi
directly observed treatment shortcourse chemotherapy (DOTS) seperti
yang telah direkomendasikan oleh WHO, sebagai berikut :
a) Peningkatan pelayanan kesehatan
1) Pelatihan seluruh tenaga pelaksana
2) Penemuan penderita secara pasif dengan promotif aktif.
3) Diagnosa utama dengan pemeriksaan mikroskopik di bawah
pembinaan Balai Laboratorium Kesehatan.
4) Pendekatan Basic Units dengan pembentukan kelompok Puskesmas
Pelaksana (KPP).
5) Ketersediaan obat anti tuberkulosis (OAT) dengan pengawasan
keteraturan serta kelengkapan pengobatan dengan PMO.
b) Pengembangan secara bertahap ke seluruh Puskesmas dan unit
pelayanan baik pemerintah maupun swasta seperti Rumah Sakit, Klinik
dan Dokter Praktek Swasta
c) Pemberian vaksin BCG merupakan usaha pencegahan penyakit
tuberkulosis paru dengan tujuan untuk memberikan kekebalan relatif
terhadap infeksi primer pada golongan umur yang masih rawan.
Disamping itu usaha pencegahan tuberkulosis paru dapat dilakukan
melalui tindakan-tindakan yang ditujukan terhadap orang-orang yang rentan
22

terhadap penyakit ini, antara lain melalui penyehatan lingkungan pemukiman


dengan upaya perumahan sehat (Kemenkes, 2014).

N. Indikator Dalam Program Penanganan TB


1. Angka Penjaringan Suspek
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000
penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan
untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu,
dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu
(triwulan/tahunan).

2. Proporsi Pasien TB BTA Positif di antara Suspek


Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh
suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari
proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan
kriteria suspek.

Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5
%)kemungkinan disebabkan :
a. Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria suspek, atau
b. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan :
a. Penjaringan terlalu ketat atau
b. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( positif palsu).
3. Proporsi Pasien TB BTA Positif di antara Semua Pasien TB Paru
Tercatat/Diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara
23

semuapasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan


prioritaspenemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh
pasienTuberkulosis paru yang diobati.

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh
lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan
prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
4. Proporsi Pasien TB Anak di antara seluruh Pasien TB
Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) di antara seluruh pasien TB
tercatat

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan


dalam mendiagnosis TB pada anak.Angka ini berkisar 15%.Bila angka ini
terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
5. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan
diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada
dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan
penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.

Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis


Nasional minimal 70%.
6. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan
tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini
apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan
penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut.
24

7. Angka Konversi (Conversion Rate)


Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang
mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa
pengobatan 24 intensif.Indikator ini berguna untuk mengetahui secara
cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan
langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.


8. Angka Kesembuhan (Cure Rate)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien
baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,
diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%.


9. Angka Keberhasilan Pengobatan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien
baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang
sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA
positif yang tercatat.Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan
dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.Cara perhitungan
untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1.
25

BAB III
IDENTIFIKASI MASALAH

A. Analisis Hasil
Berdasarkan data pencapaian kegiatan program berdasarkan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Puskesmas Pajang periode Januari sampai
November 2017, diperoleh hasil beberapa program yang pencapaiannya
kurang. Program-program tersebut disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Capaian Indikator Kinerja UPT Puskesmas Pajang Dinas
Kesehatan Kota Surakarta 2017

No Indikator Satuan Target Realisasi


2017 Nov Pembilang Penyebut Hasil
1 Angka kematian bayi Per 1.000 2,61 2 6 791 7,59
kelahiran
hidup
2 Angka kematian balita Per 1.000 3,45 3 6 791 7,6
kelahiran
hidup
3 Cakupan skrining Persen 100 92 24.344 32.201 76
kesehatan &
pelayanan kesehatan
reproduksi penduduk
(15-59 th)
4 Angka kesakitan TB Per 124 114 13 48.103 27
100.000
26

penduduk
5 Angka penemuan Persen 324 297 13 48.103 27
pasien TB / CNR
(case notification rate)
6 Cakupan terduga TB Persen 100 92 164 470 35
di Puskesmas dan RS
7 Prevalensi anemia ibu Persen 33 30 46 592 8
hamil
8 Prevalensi Stunting Persen 3,52 3 19 1531 1,24
anak baduta
9 Angka penemuan Persen 93 85 38 612 6,21
kasus diare balita
10 Angka penemuan Persen 56 51 1 340 0
kasus pneumonia
balita
11 Proporsi kasus DM di Persen 20 18 116 870 13
Faskes dasar
12 Proporsi kasus HT di Persen 23 21 321 2119 15
faskes

B. Prioritas Masalah
Dari 12 masalah yang ada di Puskesmas Pajang ditentukan prioritas
masalah berdasarkan metode USG sebagai berikut :
Kriteria Kegawatan Masalah
Kegawatan masalah terdiri dari 3 sub kriteria, yaitu keganasan, tingkat
urgensi, dan tingkat biaya yang dikeluarkan. Skor yang tercantum pada tabel
skor kegawatan masalah dibawah ini adalah hasil rata-rata pengambilan suara
dari 7 anggota kelompok.
Keterangan Skoring
Tingkat Seriousness : 5 = sangat serius
4 = serius
3 = cukup serius
2 = kurang serius
1 = tidak serius

Tingkat urgency : 5 = sangat urgent


4 = urgent
3 = cukup urgent
2 = kurang urgent
27

1 = tidak urgent

Tingkat Growth : 5 = sangat sulit diatasi


4 = sulit diatasi
3 = cukup sulit diatasi
2 = kurang sulit diatasi
1 = tidak sulit diatasi

Tabel 2. Kriteria Kegawatan Masalah

No Masalah Kesehatan Tingkat Tingkat Tingkat Nilai


. Seriousnes Urgency Growth
s
1 Angka kematian bayi 3 4 4 11
2 Angka kematian balita 4 5 3 12

3 Cakupan skrining kesehatan & 4 3 3 10


pelayanan kesehatan
reproduksi penduduk (15-59
th)
4 Angka kesakitan TB 4 4 5 13
5 Angka penemuan pasien TB / 4 5 5 14
CNR (case notification rate)
6 Cakupan terduga TB di 5 5 5 15
Puskesmas dan RS
7 Prevalensi anemia ibu hamil 4 4 4 12

8 Prevalensi Stunting anak 3 4 3 10


baduta
9 Angka penemuan kasus diare 4 4 3 11
balita
10 Angka penemuan kasus 2 3 4 9
pneumonia balita
11 Proporsi kasus DM di Faskes 3 2 3 8
dasar
12 Proporsi kasus HT di faskes 3 3 3 9
28

Prioritas Masalah Kegiatan Pelayanan Kesehatan


Berdasarkan data USG diatas, maka didapatkan “Cakupan Suspek TB Paru”
sebagai prioritas masalah yang tidak mencapai 100% di unit P2M Puskesmas
Pajang periode Januari sampai November 2017.

C. Analisis Penyebab Masalah


1. Analisis penyebab masalah dengan menggunakan pendekatan sistem.
Melalui pendekatan sistem selanjutnya dicari penyebab masalah
utama tersebut. Secara skematis sistem tersebut dapat dijabarkan sebagai

INPUT OUTPUT
PROSES OUTCOME
Man Cakupan
Mutu
Money P1 Hasil
P2 Stratfikasi
Material
Methode P3

Machine

IMPACT
Kecacatan
Kesakitan
Kematan
LINGKUNGAN :

Kebijakan

berikut:
Gambar. Bagan Pendekatan Sistem

Tabel 3. Identifikasi Kemungkinan Penyebab Masalah Tahap Analisis


Pendekatan Sistem

Komponen Kekurangan
Input
Man  Petugas kesehatan kurang aktif dalam menemukan kasus baru
 Kemampuan anamnesis petugas kesehatan masih kurang
mendalam sehingga suspek TBC terlewatkan
 Kurangnya pengetahuan petugas dalam penjaringan kasus
29

suspek TB
 Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB

Money  Masyarakat belum seluruhnya memiliki asuransi kesehatan


 Terbatasnya dana dan penyaluran dana yang kurang
terselenggara dengan baik
Method  Kurang optimalnya koordinasi dari pihak puskesmas dengan
lembaga kesehatan lain mengenai jumlah suspek TB yang
terjaring
 Kurangnya program Puskesmas yang berkesinambungan
berupa penyuluhan kepada masyarakat mengenai
pencegahan, penyebab serta pengobatan TB
 Prosedur penemuan suspek TB belum dilaksanakan dengan
benar
Material  Kurangnya media informasi seperti poster, pamflet, leaflet
kepada masyarakat mengenai penyakit TBC
 Belum tersediaanya sarana dan prasarana yang membantu
petugas dalam menjaring dan menangani kasus TB
 Belum maksimalnya pencacatan kasus terduga TB
 Tidak tersedia tempat khusus untuk melakukan pemeriksaan
fisik, dan laboratorium/tempat pengeluaran sputum
Proses  Kurangnya perencanaan pelatihan petugas kesehatan dan
kader
 Kurangnya jadwal pelayanan pada pustu dalam menemukan
suspek TB
 Kurangnya konseling pentingnya pemeriksaan sputum oleh
tenaga kesehatan kepada pasien
 Kurangnya penyuluhan mengenai TB
 Kurang optimalnya koordinasi pencatatan laporan mengenai
kasus TB
 Kurang optimalnya koordinasi dari pihak puskesmas dengan
lembaga kesehatan lain mengenai suspek TB yang terjaring
 Kurangnya evaluasi tentang deteksi dini suspek TB
 Kurangnya pengawasan peran serta pustu, polindes, PKD dan
posyandu dalam deteksi suspek TB
 Kurang optimalnya koordinasi dengan balai pengobatan
swasta dalam pencatatan dan pelaporan suspek TB
Lingkungan  Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB
dan bahayanya
 Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri
ke fasilitas pelayanan kesehatan jika sakit
 Pasien kurang mengerti cara pengeluaran sputum
 Kurangnya kepatuhan pasien dalam menyerahkan sputum ke
laboratorium
2. Analisis Faktor penyebab masalah dengan Fish bone analysis
Manusia (Man)
Dana (Money)

Lingkungan Kurangnya Anamnesis petugas


pengetahuan kurang mendalam Tidak semua masyarakat
masyarakat ttg sehingga suspek TB mempunyai asuransi
TB terlewatkan kesehatan
Kurangnya
Pasien kurang
kepatuhan
mengerti cara
pasien dalam Petugas Terbatasnya dana dan
pengeluaran Kurangnya
sputum menyerahkan kesehatan penyalurannya kurang
pengetahuan petugas
sputum ke kurang aktif terselenggara dengan
dalam penjaringan
laboratorium menemukan baik
Kasus TB
kasus baru
CAKUPAN SUSPEK TB
PARU

Kurangnya Kurangnya media


penyuluhan informasi (poster, Prosedur penemuan
mengenai TB pamflet, leaflet) suspek TB belum
kepada masyarakat dilaksanakan dg Kurangnya
Belum tersedianya
sarana dan prasarana yg benar koordinasi antara
Kurangnya pengawasan membantu petugas dlm PKM dg lembaga
peran serta pustu, menjaring suspek TB kesehatan lain dlm
polindes, PKD dan menjaring suspek TB
dan menangani kasus
posyandu dalam deteksi
TB
suspek TB
Proses Peralatan Metode
(Process) (Material) (Methode)
Tabel 4. Penyebab Masalah
No. Penyebab Masalah
1 Kurangnya pengetahuan petugas dalam penjaringan Kasus TB
2 Kemampuan anamnesis petugas kesehatan masih kurang mendalam sehingga
suspek TBC terlewatkan
3 Belum tersedianya sarana dan prasarana yang membantu petugas dalam
menjaring suspek TB dan menangani kasus TB
4 Kurangnya edukasi pada pasien mengenai cara pengeluaran dahak yang benar
5 Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit TB

D. Prioritas Penyebab Masalah


Penyebab masalah telah ditentukan berdasarkan pendekatan sistem dan
pendekatan mutu serta telah dikonfirmasi dengan pemegang program P2M
Puskesmas Pajang dan Kepala Puskesmas Pajang. Kemudian prioritas
penyebab masalah ditentukan diambil peringkat teratas
Tabel 5. Kriteria Prioritas Masalah
No. Masalah Kesehatan Tingkat Tingkat Tingkat Nilai
Seriousness Urgency Growth

1 Kurangnya pengetahuan 3 4 4 11
petugas dalam
penjaringan kasus TB
2 Kemampuan anamnesis 4 5 4 13
petugas kesehatan masih
kurang mendalam
sehingga suspek TBC
terlewatkan
3 Belum tersedianya 5 5 5 15
sarana dan prasarana
yang membantu petugas
dalam menjaring suspek
TB dan menangani
kasus TB
4 Kurangnya edukasi pada 4 4 4 12
pasien mengenai cara
pengeluaran dahak yang
benar
5 Kurangnya kesadaran 4 3 5 12
masyarakat terhadap
penyakit TB
32

Prioritas penyebab masalah tersebut adalah:


Belum tersedianya sarana dan prasarana yang membantu petugas dalam
menjaring suspek TB dan menangani kasus TB

E. Alternatif Pemecahan Masalah


Dari hasil analisis diatas didapatkan bahwa dengan mengatasi prioritas
masalah ”Belum tersedianya sarana dan prasarana yang membantu petugas dalam
menjaring suspek TB dan menangani kasus TB” dapat mengatasi capaian suspek
TB yang masih kurang di Puskesmas Pajang . Penyebab dan alternatif pemecahan
masalah tersebut adalah:

Tabel 6. Penyebab dan Alternatf Pemecahan Masalah


No. Penyebab Alternatif pemecahan masalah
1 Belum tersedianya sarana dan  Pembuatan Kantong TB dan TB Update
prasarana yang membantu guna memudahkan petugas dalam
petugas dalam menjaring menjaring kasus supek TB dan
suspek TB dan menangani
menangani pasien TB
kasus TB
 Penyediaan formulir penjaringan kasus
suspek TB pada anak-anak dan dewasa
sehingga memudahkan petugas dalam
menjaring kasus suspek TB
 Pembuatan kalender TB untuk
memudahkan petugas dalam menangani
pasien TB
33

F. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Kegiatan

Tabel 7. Rencana Pelaksanaan Kegiatan


Pengadaan Kantong TB dan TB Update UPT Puskesmas Pajang

Kegiatan Tujuan Sasaran Tempat Pelaksana Waktu Biaya Metode Indikator


Pembuatan Kantong Untuk Petugas Di Ruang Dokter Bulan Rp. - - Terpasangnya
TOSS TB dan TB memudahkan Medis dan TB UPT Internship Desem 350.00 Kantong TOSS TB
Update petugas kesehatan Paramedis di Puskesmas Puskesmas ber 0,00 dan TB Update
dalam menangani Puskesmas Pajang Pajang 2017
kasus TB. Pajang
Membantu dalam
pendataan kasus
TB
34

Pembuatan Membantu Petugas Di ruang Dokter Bulan Rp. Pembuat - Terdapatnya


screening Anamnesis petugas medis Medis dan TB dan Internship Desem 100.00 an form formulir anamnesis
TB anak dan TB dan paramedis Paramedis di Poliklinik Puskesmas ber201 0,00 screenin TB anak dan
dewasa dalam anamnesis Puskesmas Puskesmas Pajang 7 g dewasa
kasus terduga TB Pajang Pajang
Pembuatan Kalender Untuk Petugas Di Ruang Dokter Bulan Rp. Pembuat - Terpasangnya
TB Reminder memudahkan Medis dan TB UPT Internship Desem 50.000 an kaleder pada
petugas dalam Paramedis di Puskesmas Puskesmas ber ,00 Kalender Kantong TOSS TB
menangani pasien Puskesmas Pajang Pajang 2017
TB Pajang

Gambar Design
KANTONG TOSSKantong TOSS Tuberculosis UPT
TUBERCULOSIS UPTPuskesmas PajangPAJANG
PUSKESMAS

TB UPDATE Sondakan Pajang


Leaflet Kalender TB

Kr. Asem Laweyan

FORM TB
MDR-TB

Anak Dewasa
35

Tanggal Perjanjian
Kartu Tuberculosis
TanggalTahap PengobatanJumlah OATTanggal
Gambar Design Kartu Tuberculosis
Nama : L/P Kembali
Usia :

Alamat :

No.Telp :

Klasifikasi anatomis:
Paru Ekstraparu
Lokasi:
Klasifikasi berdasar Pengobatan :
Baru/Kambuh/Putus Obat/Gagal/Lain2

Tanggal mulai berobat

Paduan OAT yang diberikan


Hasil Pengobatan:
Sembuh/Lengkap/Gagal/Meninggal/Putus Obat/Lain2
36

Screening TB Anak
Nama :
No.RM :
Screening Suspek TB Dewasa
Parameter0123SkorKontak TBTidak Jelas- Laporan Keluarga BTA (-) /BTA tdak jelas/tdak

Gambar Design Formulir TB anak dan


tahuBTA (+) Uji Tuberkulin (Mantoux)Negatf -- + (≥10 mm atau ≥5 mm pada TB Dewasa
Nama :
No.RM :
imunokompromais) Berat Badan/ Keadaan Gizi -BB/TB < 90% atau BB/U < 80 %Klinis Gizi
Buruk atau BB/TB < 70 % atau BB/U < 60 % -Demam yang tdak diketahui penyebabnya -≥2
minggu- - Batuk Kronik -≥3 minggu- - Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal- ≥1 cm Gejala RespiratorikYa (√)/ Tdk (-)Gejala
lebih dari 1 KGB, tdak nyeri- - Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang- Ada SistemikYa (√)/ Tdk (-)Batuk ≥2
pembeng-kakan- - Foto toraksNormal/ tdak jelas- - Skor Total (maksimal 13) mgDemamBatuk darahMalaiseSesak
NapasKeringat malamNyeri dadaAnoreksia/
BB TurunRiwayat sakit TB
sebelumnyaRiwayat keluarga TB/Batuk
lama/ Pengobatan TB

Px. Sputum :
Skor ≥ 6  Tuberculosis (S/P/S)
Skor 5  Rujuk RS untuk evaluasi lebih lanjut
Skor <5 Bukan TB Px Ro. Thorax :
37

TB REMINDER 2018
Gambar Design Kalender Tuberculosis
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
1. Masalah kesehatan yang teridentifikasi dari Puskesmas Pajang periode
Januari - November 2017 berjumlah dua belas masalah. Dari 12 masalah
yang sudah teridentifikasi, prioritas masalah yang ditetapkan dengan
menggunakan metode USG dan diskusi dengan kepala Puskesmas adalah:
“Cakupan Suspek TB Paru” sebagai prioritas masalah yang tidak mencapai
100% di unit P2M Puskesmas Pajang periode Januari sampai November
2017.
2. Dari prioritas masalah, penyebab masalah ditentukan dengan analisis
sistem, ditemukan masalah utama. Setelah dianalisis dengan menggunakan
metode USG, ditetapkan prioritas “Belum tersedianya sarana dan
prasarana yang membantu petugas dalam menjaring suspek TB dan
menangani kasus TB” menjadi masalah utama. Dari masalah tersebut
kemudian dicari alternatif pemecahan masalahnya, lalu dicari prioritas
alternatif pemecahan masalah menggunakan kriteria mutlak dan keinginan
serta analisis faktor pendorong dan penghambat, sehingga diambil
keputusan tetap, yaitu: :
a. Pembuatan Kantong TB dan TB Update guna memudahkan petugas
dalam menjaring kasus supek TB dan menangani pasien TB
b. Penyediaan formulir penjaringan kasus suspek TB pada anak-anak dan
dewasa sehingga memudahkan petugas dalam menjaring kasus suspek
TB
c. Pembuatan kalender TB untuk memudahkan petugas dalam
menangani pasien TB
B. Saran
1. Kepada Kepala Puskesmas Pajang untuk mengkoordinir tenaga kesehatan
di Kecamatan Pajang dalam pelaksanaan program active case finding
kasus TB paru.
2. Perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan secara berkala.
3. Penambahan tenaga kesehatan di bidang Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
4. Melakukan evaluasi terhadap petugas kesehatan lingkungan agar lebih
fokus dalam pengendalian suatu penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009.
Departemen Kesehatan RI. Visi dan Misi Departemen Kesehatan RI 2010-2014.

Dinas Kesehatan Kota Surakarta. Profil Kesehatan Kota Suakarta. 2014


Dinas Kesehatan Provinsi JawaTengah. Profil Kesehatan Provisi Jawa Tengah:
Tahun 2015
Kemenkes. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
Menteri Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI NO
128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat. 2004.
PDPI. Tuberculosis Pedoman Diagnosis dan Peatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perimpunan Dokter Paru Indonesia: 2011

Anda mungkin juga menyukai