Anda di halaman 1dari 19

BAB 2.

PENGGARAMAN

2.1. DEFINISI PENGGARAMAN

Garam adalah benda padatan bewarna putih berbentuk kristal yang

merupakan kumpulan senyawa dengan sebahagian besar terdiri dari Natrium

Chlorida (>80%), serta senyawa-senyawa lain seperti Magnesium Chlorida,

Magnesium Sulfat, Calsium Chlorida. Garam mempunyai sifat karakteristik

hidroskopis yang berarti mudah menyerap air, tingkat kepadatan sebesar 0,8 – 0,9

dan titik lebur pada tingkat suhu 801oC (Subiyantoro dalam herman dan joetra

2015).

Istilah penggaraman yang lebih akrab dikenal dengan sebutan pengasinan,

merupakan cara pengawetan ikan yang produknya paling gampang ditemui

diseluruh pelosok Indonesia. Proses tersebut menggunakan garam sebagai media

pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses

penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan

dari tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat

dapatmelarutkan kristal garamatau mengencerkanlarutan garam. Bersamaan

dengan keluarnya cairan daridalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki

tubuh ikan. Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan

semakin lambat dengan menurunnya konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan

meningkatnya konsentrasi garam di dalam tubuh ikan. Bahkan pertukaran garam

dan cairan tersebut berhenti sama sekali setelah terjadi keseimbangan. Proses

itumengakibatkan pengentalan cairan tubuh yang masih tersisa dan penggumpalan


protein (denaturasi serta pengerutan sel-sel tubuh ikan sehingga sifat dagingnya

berubah) (Suryanto, 2003).

Penggaraman merupakan salah satu cara pengawetan yang sudah lama

dilakukan orang. Garam dapat bertindak sebagi pengawet karena garam akan

menarik air dari bahan sehingga mikroorganisme pembusuk tidak dapat

berkembang biak karena menurunnya aktivitas air. Garam memberi sejumlah

pengaruh bila ditambahkan pada jaringan tumbuh-tumbuhan yang segar. Garam

akan berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar

tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan pembentuk spora adalah

yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun

(yaitu sampai 6%).

Mikroorganisme patogen termasuk Clostridium botulinum kecuali

Streptococcus aureus dapat dihambat oleh konsentrasi garam sampai 10 – 12%.

Beberapa mikroorganisme terutama jenis Leuconostoc dan Lactobacillus dapat

tumbuh dengan cepat dengan adanya garam. Garam juga mempengaruhi aktivitas

air (aw) dari bahan sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme.

Beberapa mikroorganisme seperti bakteri halofilik (bakteri yang tahan hidup pada

konsentrasi garam yang tinggi) dapat tumbuh dalam larutan garam yang hampir

jenuh, tetapi membutuhkan waktu penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan

selanjutnya terjadi pembusukan.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan teknologi penggaraman ini

merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk mengawetkan ikan, yaitu :

1) Teknik penggaraman merupakan teknologi yang sangat sederhana dan

dapat dilakukan oleh semua orang


2) Teknologi yang menggunakan garam ini merupakan cara pengawetan

paling murah

3) Hasil olahan yang dikombinasikan dengan cara pengeringan mempunyai

daya tahan lama, sehingga dapat disimpan atau didistribusikan ke daerah

yang jauh tanpa memerlukan perlakukan khusus.

4) Produk ikan asin harganya murah, sehingga dapat terjangkau oleh semua

lapisan masyarakat

2.2. Fungsi Garam

Adapun tujuan dari proses penggaraman yakni untuk memperpanjang

masa awet dan daya simpan ikan. Ikan yang digarami dapat menghambat atau

membunuh bakteri penyebab kebusukan ikan (Adawiyah, 2007).

2.2.1. Fungsi Garam Dalam Olahan Tradisional Produk Perikanan

Keberadaan olahan ikan tradisional diminati masyarakat karena cita

rasanya yang khas. Ditinjau dari segi gizi, makanan olahan tradisional memiliki

kontribusi yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan protein Indonesia. Oleh

karena itu pengolahan ikan tradisional Indonesia harus tetap dipertahankan

eksistensinya (Astawan, 1997). Pengolahan tradisional sendiri didefinisikan

sebagai proses pengolahan produk yang diolah secara sederhana dan umumnya

dilakukan secara turun temurun pada skala industri rumah tangga. Jenis olahan

yang termasuk produk olahan tradisional ini adalah ikan kering atau ikan asin

kering, ikan pindang, ikan asap, serta produk fermentasi yaitu kecap, peda, terasi,

dan sejenisnya (Heruwati, 2002). Pengolahan tradisional erat kaitannya dengan

penggaraman, karena hampir semua produk olahan tradisional memanfaatkan

garam pada proses pembuatannya. Beberapa contoh produk olahan tradisional


yang memanfaatkan garam di antaranya yaitu ikan asin, ikan pindang, dan produk

ikan fermentasi.

A. Ikan Asin

Salah satu contoh sederhana industri pengolahan ikan yang menggunakan

garam adalah industri ikan asin. Metode yang digunakan biasa disebut sebagai

pengasinan. Cara ini telah umum dilakukan dengan tujuan agar ikan lebih awet

atau tahan lama. Menurut Huss (1994), pengasinan adalah suatu proses

pengolahan ikan dengan cara memberikan garam sehingga mempunyai kandungan

garam sangat tinggi yang kemudian dikeringkan dengan hasil produk berupa ikan

asin. Pembuatan ikan asin umumnya dilakukan dengan cara yang sederhana. Ikan

yang memenuhi syarat disiangi dan dicuci sampai bersih. Proses ini kemudian

dilanjutkan dengan pemberian garam dan pengeringan hingga kering di bawah

sinar matahari (Santoso, 1998). Lama waktu penggaraman tergantung beberapa

faktor, seperti ketebalan dan kesegaran ikan, kondisi akhir produk ikan asin yang

diinginkan, spesies ikan yang diasinkan, kandungan lemak pada daging ikan,

jumlah/kepekatan garam yang digunakan, kehalusan, dan kemurnian garam,

serta suhu penyimpanan pasca pengeringan ikan asin (Rahmawaty et al, 2008;

Irianto & Giyatmi, 2009). Tingkat kesegaran ikan dan kadar lemak yang tinggi

serta kondisi dagi ng ikan yang tebal akan menghambat laju penggaraman.

Adapun tingkat Kepekatan dan kemurnian garam yang tinggi, kondisi garam

yang halus, serta suhu penggaraman yang tinggi akan mempercepat proses

penggaraman (Suparno, 1988). Penggaraman yang dilanjutkan dengan proses

pengeringan merupakan teknik pengawetan yang paling awal diterapkan pada

peradaban manusia. Garam yang digunakan pada proses penggaraman memiliki


sifat bakteriostatik dan bakteriosidal, yang memiliki kemampuan untuk menunda

pertumbuhan dan mem bunuh bakteri (Suparno, 1988). Penggaraman mampu

menarik air dari tubuh ikan yang disebabkan oleh pengaruh tekanan osmosis.

Penggunaan garam yang berkualitas baik akan menghasilkan ikan asin yang baik

serta tidak menyerap uap air selama penyimpanan. Hal ini karena garam kasar

yang mengandung banyak kotoran akan cepat meleleh karena menyerap uap air

(Suparno, 1988; Irianto & Giyatmi, 2009). Proses pengasinan dapat mengawetkan

ikan selama 3-4 bulan tergantung dari kadar air produk serta kondisi

penyimpanan.

B. Ikan Pindang

Ikan pindang merupakan produk olahan yang cukup populer di Indonesia.

Pindang mempunyai prospek yang lebih baik untuk dikembangkan bila

dibandingkan dengan ikan asin kering. Hal ini disebabkan karena, ikan pindang

mempunyai cita rasa yang lebih enak dan tidak terlalu asin serta merupakan

Meskipun tidak terlalu asin, proses pemindangan juga memerlukan garam. Garam

sering ditambahkan sebelum, selama, atau setelah pengolahan (Irianto & Giyatmi,

2009). Ada dua metode pemindangan yang umum dil akukan, yaitu pemi ndangan

Garam dan pemindangan air garam. Pada pemindangan garam, ikan dan garam

disusun berselang-seling pada wadah yang kedap air yang telah berisi air dalam

jumlah sedikit, kemudian dipanaskan di atas nyala api selama jangka waktu

tertentu. Sedangkan pada pemindangan air garam. Ikan disusun di atas naya,

keranjang bamboo atau besek sambil ditaburi garam. Beberapa buah naya atau

besek kemudian digabung menjadi satu dan direbus dalam bak perebus yang berisi
larutan garam jenuh yang mendidih. Kadar garam pada produk akhir ikan pindang

dapat memperpanjang umur simpan ikan pindang (Irianto & Giyatmi, 2009).

Produk Ikan Fermentasi Fermentasi produk perikanan terutama terkaitdengan

degradasi terkendali senyawa organik pada ikan berupa bahan berprotein menjadi

senyawasenyawa sederhana. Degradasi terkendali ini dilakukan melalui proses

autolisis oleh bakteri anaerob yang dapat memberikan cita rasa yang khas pada

Produk. Produk ikan fermentasi dibuat melalui proses penggaraman yang

mempunyai efek pengawetan, menahan laju pertumbuhan bakteri pembusukan

serta memberikan kesempatan terjadinya autolisis (Irianto & Giyatmi, 2009).

Perbedaan konsentrasi garam yang digunakan pada proses fermentasi berpengaruh

terhadap pH dan komposisi mikroorganisme yang hidup pada produk.

Konsentrasi garam yang rendah akan menyebabkan penurunan pH. Hanya

mikroorganisme tertentu yang tahan terhadap kadar garam tinggi (Müller et al.,

2002). Penggaraman menyeleksi populasi bakteri yang diinginkan dan

mengeliminasi mikroorganisme penyebab pembusukan ikan, serta mengendalikan

degradasi terhadap ikan. Beberapa contoh produk ikan fermentasi yaitu bekasam,

Ikan peda, jambal roti, bekasang, terasi, dan kecap ikan (Irianto & Giyatmi, 2009).

2.2.2. Fungsi Garam Dalam Olahan Non Konvensional Produk Perikanan

Bahan tambahan pangan umumnya ditambahkan untuk menjaga dan

memperbaiki kualitas produk. Garam sebagai bahan tambahan pangan mempunyai

berbagai fungsi yang menguntungkan (Yankah et al, 1996). Berbeda dengan

industri pengolahan tradisional, industri pengolahan modern biasanya terfokus

pada pemanfaatan garam dalam rangka memperbaiki cita rasa dan penampilan

produk serta tekstur daging ikan (Winarno, 1997). Adapun fungsi pengawetan
pada industri pengolahan modern umumnya dilakukan dengan menggunakan

pemanasan, sterilisasi, dan pasteurisasi pada suhu tinggi maupun pendinginan dan

pembekuan pada suhu rendah (Yankah et al., 1996). Penambah Cita Rasa dan

Menjaga Penampilan Produk.

Cita rasa suatu produk biasanya merupakan gabungan dari tiga komponen,

yaitu aroma, rasa, dan rangsangan mulut (Zuhra, 2006). Garam sebagai

pembangkit aroma dan cita rasa serta penstabil warna daging ikan mempunyai

fungsi dan peranan penting dalam proses preparasi dan pengolahan pangan

(Yankah et al., 1996; Pszczola, 1997). Garam nitrit biasanya ditambahkan untuk

mempertahankan warna daging dan mendapatkan rasa asin yang diinginkan

(Buckle et al., 1985).

Pembentuk Gel biasanya terkait dengan produk daging lumat (surimi).

Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk

menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses

yang diperlukan untuk mengawetkannya. Surimi adalah protein miofibril ikan

yang telah distabilkan dan diproduksi melalui tahapan proses secara kontinyu

yang meliputi penghilangan kepala dan tulang, pelumatan daging, pencucian,

penghilangan air, penambahan cryoprotectant,dilanjutkan dengan atau tanpa

perlakuan, sehingga mempunyai kemampuan fungsional terutama dalam

membentuk gel dan mengikat air. Surimi merupakan produk antara yang dapat

diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan (fish jelly products) seperti

bakso, sosis, otak-otak, kamaboko, dan chikuwa yang spesifikasinya menuntut

kelenturan (springiness) . Dalam proses pembuatan surimi, larutan garam

digunakan selama proses pencucian. Penggunaan larutan garam dapat


mempengaruhi kelarutan protein (Winarno, 1997). Larutan garam yang digunakan

dapat mengikat protein miofibril. Protein ini merupakan protein larut garam.

Penambahan garam menyebabkan protein aktin dan miosin berinteraksi

membentuk aktomiosin yang menghasilkan struktur jaringan protein daging yang

berbentuk gel dan dapat mengubah tekstur daging menjadi lebih kenyal. Kekuatan

gel merupakan atribut utama dari surimi. Kekuatan gel berbanding lurus dengan

kandungan protein larut garam. Kekuatan gel dapat menjadi variabel yang tetap

dan besarnya sangat bergantung pada spesies ikan, kondisi saat penangkapan,

prosedur penanganan dan pengolahan, serta kondisi penyimpanan (Anon., 2008).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Hossain et al. (2004) menunjukkan bahwa

penggunaan garam pada pencucian daging lumat ikan patin dengan konsentrasi

0,1% mampu memberikan kekuatan gel surimi yang lebih baik bila dibandingkan

pencucian tanpa garam maupun pencucian dengan konsentrasi garam yang lebih

rendah.

2.3, Jenis Garam

Garam dapur yang mempunyai nama kimia sodium klorida (rumus kimia:

NaCl) adalah senyawa kimia yang tersusun dari sodium (Na) dan klorida (Cl).

Sodium (Na) adalah salah satu elemen penting dalam tubuh untuk proses

metabolisme sel, dan merupakan mineral dalam darah dan cairan limpa. Sodium

(Na) juga diperlukan tubuh untuk menjaga fungsi saraf dan otot. Kebutuhan tubuh

terhadap sodium bisa didapatkan dari asupan makanan. Sumber sodium yang

murah meriah adalah garam dapur. Jelasnya, garam dapur yang kita gunakan

untuk memasak tidak hanya sebagai pelengkap rasa, tetapi juga untuk memenuhi

kebutuhan sodium dalam menjaga keseimbangan fungsi tubuh. Garam dapur atau
sodium klorida (rumus kimia: NaCl). tidak hanya diproduksi dari air laut saja.

Bahan kimia ini bisa juga ditambang dari dalam bumi, yaitu dari endapan mineral

sodium klorida yang terbentuk lama dan tertutup lapisan bumi (Martini, 2010).

Garam meja merupakan olahan dari garam laut, butirannya lebih halus, dan

biasanya diberi tambahan mineral lainnya. Namun, garam meja mempunyai

kandungan iodium lebih sedikit. Garam meja merupakan olahan dari garam laut,

butirannya lebih halus, dan biasanya diberi tambahan mineral lainnya. Namun,

garam meja mempunyai kandungan iodium lebih sedikit. Garam meja diproses

dengan cara yang sangat murni. Sehingga membentuk butiran yang halus dan

lembut. Meskipun garam bukan sumber yodium yang utama, tapi di dalamnya

terkandung zat yang sangat penting untuk kesehatan tiroid. Nutrisi tersebut,

pertama kali ditambahkan ke dalam garam pada tahun 1920. Bertujuan untuk

mencegah gondok dan gangguan neurokognigtif, yang muncul akibat kurang

yodium (Ishikawa, 1988).

Unsur selain NaCl didalam garam mempunyai beberapa kelemahan yaitu :

1. Garam yang mengandung Ca dan Mg lambat sekali menembus masuk ke

dalam daging ikan, sehingga memungkinkan proses pembusukan tetap berjalan

selama proses penggaraman. Selain itu produk ikan asin yang dihasilkan

bersifat higroskopis

2. Garam yang mengandung 0,5 % - 1 % , CaSO 4 menghasilkan produk yang

kaku dan warnanya pucat (putih)

3. Garam mengandung magnesium, sulfat dan klorida menyebabkan produk agak

pahit

4. Garam yang mengandung besi dan tembaga menyebabkan warna coklat, kotor
dan kuning

5. Garam mengandung CaCl2 menyebabkan ikan asin berwarna putih, keras dan

mudah pecah .

Garam yang baik dapat diperoleh dengan pengendalian waktu dalam

proses pengendapan garam. Tetepi cara ini sulit dilakukan untuk menghasilkan

garam berkualitas baik. Sehingga kristal garam hasil endapan biasanya diolah lagi

di pabrik pengolahan garam untuk menghilangkan unsur-unsur yang merugikan

seperti yang telah disebutkan diatas. Berdasarkan kandungan unsur kimianya,

garam dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis (Mayasari & Lukman, 2010)

yaitu: 1). K-1, yaitu kualitas terbaik yang memenuhi syarat untuk bahan industri

maupun untuk konsumsi. Dengan komposisi Gambar 3. Kristal garam (Broto &

Kusumayanti, 2007). NaCl 97,46%; CaCl2 0,723%; CaSO4 0,409%; MgSO4

0,04%; H2O 0,63%; Pengotor 0,65%; 2). K-2, yaitu kualitas dibawah K-1. Secara

fisik garam K-2 berwarna agak kecoklatan dan agak lembap; 3). K-3, merupakan

garam kualitas terendah, dengan tampilan fisik berwarna coklat dan bercampur

lumpur.

Tabel 1. Komposisi Garam Kelas 1, 2, dan 3

Kandungan (%)
Unsur
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
NaCl 95 0,9 0,5 0,5
96 91
sangat sedikit
CaCl2 1 3,1 0,4
MgSO4 0,2 1
MgCl2 0,2 1,2
Bahan tak larut -2,6 0,2
Air 0,2
Secara umum kandungan garam terdiri dari 39,39% Na dan 60,69% Cl,

bentuk Kristal seperti kubus dan berwarna putih. Dalam proses penggaraman,

penggunaan garam bertujuan sebagai bahan pengawet dan pemberi cita rasa.

Sebagai bahan pengawet, garam mempunyai tekanan osmosis yang tinggi

sehingga akibatnya menyebabkan adanya peristiwa osmosis dengan daging ikan.

Kecepatan penetrasi garam kedalam tubuh ikan dipengaruhi oleh kemurnian

garam itu sendiri (Adawiyah, 2007).

2.4. Mekanisme Kerja Garam Sebagai Pengawet

Menurut (Suparmi,dkk 2012) penggaraman yang dilakukan sebelum

pengeringan bertujuan untuk menarik air dari permukaan badan ikan dan

mengawetkan ikan sebelum tercapai tingkat kekeringan yang dapat menghambat /

menghentikan kegiatan mikroorganisme selama proses pengeringan berlangsung.

Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh

ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya perbedaan konsentrasi.

Cairan tersebut dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan

larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel

garam pun masuk ke dalam tubuh ikan. Ikan yang telah mengalami proses

penggaraman, sesuai dengan prinsip yang berlaku, akan mempunyai daya simpan

tinggi karena garam dapat berfungsi menghambat atau menghentikan reaksi

autolisis danmembunuh bakteri yang terdapat di dalam tubuh ikan. Cara kerja

garam di dalam menjalankan fungsi kedua sebagai berikut. Garam menyerap

cairan tubuh ikan, selain itu garam juga menyerap cairan tubuh bakteri sehingga

proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan, akhirnya bakteri

mengalami kekeringan dan mati (Budiman, 2004)..


Sebagai bahan pengawet, garam mempunyai tekanan osmosis yang tinggi

sehingga akibatnya menyebabkan adanya peristiwa osmosis dengan daging ikan.

Kecepatan penetrasi garam kedalam tubuh ikan dipengaruhi oleh kemurnian

garam itu sendiri (Adawiyah, 2007).

Kecepatan proses penyerapan garam kedalam tubuh ikan dipengaruhi oleh

beberapa faktor sebagai berikut (Budiman, 2004) :

1. Kesegaran tubuh ikan.

Semakin segar ikan, maka proses penyerapan garam kedalam tubuh ikan akan

semakin lambat

2. Kandungan lemak.

Lemak akan menghalangi masuknya garam kedalam tubuh ikan, sehingga

ikan yang kandungan lemaknya tinggi akan mengalami penyerapan garam

yang lambat.

3. Ketebalan daging ikan.

Semakin tebal daging ikan maka proses penggaraman semakin lambat

4. Kehalusan kristal garam.

Garam yang halus akan lebih cepat larut dan meresap kedalam tubuh ikan.

Tetapi penyerapan yang terlalu cepat akan mengakibatkan permukaan daging

cepat mengeras (Salt burn) dan ini akan menghambat keluarnya kandungan

air dari bagian dalam tubuh ikan.

5. Suhu.

Semakin tinggi suhu larutan, maka viskositas larutan garam semakin kecil

sehingga proses penyerapan akan semakin mudah.

2.5. Metode Penggaraman


Pengawetan ikan dengan cara penggaraman terdiri dari 2 proses

yaitu,proses penggaraman dan proses pengeringan. Adapun tujuan dari

prosespenggaraman yakni untuk memperpanjang masa awet dan daya simpan

ikan.Ikan yang digarami dapat menghambat atau membunuh bakteri

penyebabkebusukan ikan (Adawiyah, 2007).

2.5.1. Penggaraman Kering (Dry Salting)

Metode penggaraman keringmenggunakan kristal garam yangdicampurkan

dengan ikan. Pada umumnya,ikan yang berukuran besar dibuang isi perutdan

badannya dibelah dua. Dalam proses penggaraman ikan ditempatkandidalam

wadah yang kedap air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis demiselapis dengan

setiap lapisan ikan ditaburi garam. Lapisan paling atas dan palingbawah wadah

merupakan lapisan garam. Garam yang digunakan pada prosespenggaraman

umumnya berjumlah 10 % - 35 % dari berat ikan yang digarami.Pada waktu ikan

bersentuhan dengan kulit atau daging ikan (yang basah/berair),garam itu mula-

mula akan membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akanmeresap kedalam

daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal garam tidaklangsung menyerap

air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan. Semakin lamalarutan akan semakin

banyak dan ini berarti kandungan air dalam tubuh ikansemakin berkurang

(Budiman, 2008).

Tahap Proses Penggaraman menggunakan metode Dry Salting :

 Sediakan kristal garam sesuai dengan jumlah ikan yang akan diproses. Untuk

ikan besar sediakan garam 20 – 30 % dari berat ikan, ikan ukuran sedang 15 –

20 % sedangkan ikan berukuran kecil cukup 5 %. Gunakan garam murni agar

hasil olahannya berkualitas baik.


 Taburkan garam ke dasar bak setebal 1 – 5 cm tergantung jumlah ikan yang

diolah. Lapisan ini berfungsi sebagai alas ikan pada saat proses penggaraman

 Susunlah ikan dengan rapi diatas lapisan garam tadi. Usahakan bagian perut

ikan menghadap kebawah. Diatas lapisan ikan yang sudah tersusun,

taburkan kembali garam secukupnya. Lakukan itu sampai semua ikan

tertampung didalam wadah, setiap lapisan ikan selalu diselingi oleh lapisan

garam. Pada lapisan atas ditebarkan garam setebal 5 cm agar tidak

dihinggapi lalat.

 Tutuplah bak atau wadah dengan papan yang telah diberi pemberat agar

proses penggaraman dapat berlangsung dengan baik. Ikan dengan tingkat

keasinan tertentu dapat diperoleh sebagai hasil akhir proses penggaraman.

 Selesainya proses penggaraman ditandai dengan adanya perubahan tekstur,

daging ikan menjadi kencang dan padat. Lamanya penggaraman tergantung

jenis, ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Walau demikian, umumnya proses

penggaraman dapat berlangsung 1 – 3 hari untuk ikan ukuran besar, 12 – 24

jam untuk ikan ukuran sedang dan 6 – 12 jam untuk ikan ukuran kecil

 Langkah selanjutnya, ikan diangkat dari tempat penggaraman. Ikan dicuci

dan dibersihkan dari kotoran yang menempel, kemudian ditiriskan dan

selanjutnya ikan dijemur dengan disusun diatas para-para yang sudah

disiapkan

2.5.2. Penggaraman Basah (Wet Salting)

Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter

larutan garam berisi 30-50 kg garam). Ikan dimasukan kedalam larutan itu dan

diberi pemberat agar semua ikan terendam, tidak ada yang terapung. Ikan
direndam dalam jangka waktu tertentu tergantung pada ukuran dan tebal ikan serta

erajat keasinan yang diinginkan. Didalam proses osmosis, kepekaan makin lama

makin berkurang, karena air dari dalam daging ikan secara berangsur-angsur

masuk kedalam larutangaram, sementara sebagian molekul garam masuk kedalam

daging ikan. Karenakecenderungan daging ikan penurunan kepekaan larutan

garam itu, maka prosesosmosis akan semakin lambat dan pada akhirnya berhenti.

Larutan garam yanglewat jenuh adalah jumlah garam lebih banyak dari jumlah

yang dapat dilarutkan sehingga dapat dipergunakan untuk memperlambat

kecenderungan itu (Adawiyah, 2007).

Bedanya dengan penggaraman kering adalah larutan garam perendamikan

dibuat lebih dulu sehingga konsentrasi larutan ini disesuaikan dengan seleradan

keperluan. Umumya larutan garam yang digunakan 30% - 50% (setiap 100liter

larutan garam berisi 30-50 kg garam). Kench salting hampir sama

denganpenggaraman kering, tetapi larutan garam yang terbentuk dibiarkan

mengalirkeluar dari wadah. Wadah yang digunakan tidak kedap air tetapi

berupakeranjang. Ikan yang dilumuri garam ditumpuk dalam keranjang dan

dipadatkanserta ditutup rapat (Moeljanto, 1992).

Tahapan Penggaraman dengan metode Wet Salting :

 Pisahkan ikan sesuai dengan ukuran, jenis dan tingkat kesegaran.

 Sebagai media penggaraman. Gunakan larutan garam dengan konsentrasi

tertetu, tergantung tingkat keasinan yang diinginkan.

 Bila proses perendaman akan menghabiskan waktu lebih dari 24 jam,

gunakan larutan garam yang lewat jenuh agar kemapuan menarik cairan

dalam tubuh ikan menjadi lebih besar dan cepat. Dengan menggunakan
larutan lewat jenuh, maka tidak diperlukan lagi penambahan garam pada

saat penggaraman sedang berlangsung

 Untuk mengetahui larutan sudah jenuh atau belum, bisa dilakukan dengan

memasukka biji kemiri matang kedalam larutan yang sudah dibuat. Bila biji

kemiri tenggelam berarti larutan belum jenuh, bila biji kemiri mengapung

dipermukaan berarti larutan sudah jenuh.

 Susunlah ikan dengan rapi secara berlapis didalam wadah yang telah disediakan.

Tambahkan larutan garam yang sudah dibuat sampai semua ikan terendam .

 Tutuplan bak dengan papan dan diberi pemberat supaya semua ikan tetap

terendam dalam larutan garam.

 Bila konsentrasi cairan didalam dan di luar tubuh ikan sudah sama, maka proses

penggaraman dianggap selesai.

 Ikan diangkat dari bak penggaraman, kemudian dicuci dan ditiriskan. Setelah

itu ikan dijemur diatas para-para sampai kering.

2.5.3. Penggaraman Campuran (Kench Salting)

Pada dasarnya, teknik penggaraman ini sama dengan pengaramankering

(dry salting) tetapi tidak mengunakan bak /wadah penyimpanan. Ikandicampur

dengan garam dan dibiarkan diatas lantai atau geladak kapal, larutanair yang

terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Kelemahan dari cara iniadalah

memerlukan jumlah garam yang lebih banyak dan proses

penggaramanberlangsung sangat lambat (Budiman, 2008).

Tahapan Proses Penggaraman dengan metode Kench Salting :

 Seperti metode sebelumnya, ikan dipisahkan sesuai jenis, ukuran dan tingkat

kesegaran
 Karena tidak menggunakan wadah, ikan ditumpuk pada suatu bidang datar lau

ditaburi garam secukupnya sampai seluruh permukaan tubuh ikan tertutup

oleh garam. Tumpukan ikan tersebut ditutup dengan plastik agar tidak

dihinggapi lalat

 Proses penggaraman dianggap selesai bila telah terjadi perubahan tekstur pada

tubuh ikan. Tubuh ikan jadi lebih kencang dan padat


DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah. 2007. Pengolahan dan Pemgawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta

Astawan, M. 1997. Mengenal makanan tradisional: 2.Produk olahan ikan. Buletin


Teknologi dan IndustriPangan VIII.(3): 58–62.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton, 2007. Ilmu Pangan.
Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Depok.
Buckle, K.A., Edwards R.A., Fleet G.H., dan Wooton, M. 1985. Ilmu Pangan.
Penerbit Universitas Indonesia,Jakarta. 365 pp.
Budiman, M.S. 2004. Teknik Penggaraman dan Pengeringan. Departemen

Budiman. 2008. Pengawetan dan Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit UIP.


Jakarta.

Desroirer. 2008. Pengawetan dan Pengolahan Bahan Pangan .Uip. Jakarta.

Fida, Ruhil. 2007.Teknologi Pasca Panen. SPP Negeri Sembawa. Palembang.

Hardjosentono. 2009. Mesin-mesin Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.

Herman dan Joetra W . 2015. Pengaruh Garam Dapur (Nacl) Terhadap Kembang
Susut Tanah Lempung .Vol.17 No.1. Februari 2015 Jurnal Momentum ISSN :
1693-752X3
Heruwati, E.S. 2002. Pengolahan ikan secara tradisional: prospek dan peluang
pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21 (3): 92–99.
Hossain, M.I., Kamal, M.M., Shikha, F.H., and Hoque, M.S. 2004. Effect Of
Washing And Salt Concentration On The Gel Forming Ability Of Two
Tropical Fish Species.International Journal Agriculture and Biology. 6 (5):
762–766.
Huss, H.H. 1994. Assurance aof sea food quality: FAO Fisheries Technical
Paper. FAO, Rome. 169 pp. Irianto, H.E. dan Giyatmi, S. 2009. Teknologi
Pengolahan Hasil Perikanan. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta. p. 7.
1– 7.51.
Ishikawa, K.1988. Macam-Macam Garam. IPB Press. Bogor.

Kebudayaan Direktorat Jendral Pedidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan


dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Martini, K. 2010. Garam dalam Kehidupan Sehari-hari. UNS Press. Surakarta.

Mayasari, V.A. dan Lukman, R. Rangkuman studi peningkatan mutu garam


dengan pencucian. http://d ig ilib . its .a c .id /b o o k ma rk /1 0 5 3 6 /p e n
c u c i a n .Diakses pada tanggal 10 Juni 2010.
Moeljanto, R. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar

Mucthadi. 1992. IlMu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan

Murniyati. 2000.Proses Pengeringan. Kanisius. Yogyakarta.

Pendidikan Nasional.

Premy puspitawati. 2011. Pengawetan Ikan dengan Penggaraman.http://premy


cwiittt. blogspot.co.id/2011/05/pengawetan-ikan-dengan- metode.html.
Diakses Tanggal 25 Februari 2018

Rahmawaty, H., Khotimah, I.K., dan Achmad, J. 2008.Pengolahan ikan kering


tenggiri (Scomberomorus commersonni) berupa “stick” dengan variasi kadar
garam dan lama penggaraman. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V
Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. 16: 1–9.
Santoso, H.B. 1998. Ikan Asin. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 30 pp.
Sugianto. 1986. Kekayaan Laut Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suparno. 1988. Pengolahan ikan asin. Di dalam Nasran, S., Utomo, B.S.B., dan
Purnomo, A. (eds.). Kumpulan Hasil Penelitian Teknologi Pasca Panen.
Balai Penelitian Teknologi Perikanan, Jakarta. p. 25–28.
Suryanto, 2003. Penggaraman dan Pengeringan. Departemen Pendidikan. Jakarta

Swadaya. Jakarta.

Tarwiyah. 2001. Cara Pengasinan Ikan. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
253 pp.
Yankah, V.V., Ohshima, T., Ushio, H., Fujii, T., and Koizumi,C. 1996. Study of
the differences between two salt qualities on microbiology, lipid, and water-
extractable components of momoni, a ghanaian fermented fish product.
Journal of the Science of Food and Agriculture. 71 (1): 33–40.
Zuhra, C.F. 2006. Flavor (Citarasa). Departemen Kimia,Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. 32 pp.

Anda mungkin juga menyukai