Anda di halaman 1dari 3

Tata laksana

Terapi diberikan dalam jangka waktu minimal 6 bulan dan dibagi menjadi dua bagian,
yaitu terapi fase akut yang diberikan selama sekitar 4 sampai 6 minggu, yang kemudian
dilanjutkan dengan fase perawatan. Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan
untuk mengatasi masalah edema.x

Terapi empiris Toxoplasmosis dapat diberikan pada penderita HIV dengan CD4 yang
kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses otak dengan seropositif dari
Toxoplasma. Terapi fase akut dapat diberikan pyrimethamine dengan dosis awal 200mg
peroral yang kemudian dilanjutkan dengan dosis 75-100mg/hari ditambah dengan sulfadiazin
1-1,5 gram yang diberikan setiap 6 jam atau 100mg/kg/hari (maksimum dosis 8 gr/hari) dan
ditambah pula dengan asam folat 10-20 mg/hari. Pada penderita yang mempunyai alergi
terhadap sulfa, maka preparat sulfa ini dapat digantikan dengan klindamisin dengan dosis
600-1200 mg yang diberikan setiap 6 jam sekali, selain ini dapat pula diberikan preparat lain
sebagai alternatif, yaitu trimetoprim sulfametoksazol 5mg/kg/12 jam (dosis maksimum 15-20
mg/kg/hari), azitromycin (900-1200 mg/hari), clarithromycin 1000 mg diberikan per oral
setiap 12 jam atau atovaquone 1,5mg per oral setiap 12 jam. Kombinasi pemberian
pirimetamin dengan sulfadiazin dibandingkan kombinasi pirimetamin dengan klindamisin
tidak memberikan hasil yang berbeda.Terapi fase perawatan dapat diberikan pirimetamin 25-
50 mg/hari ditambah dengan sulfadiazin 500-1000 mg/hari diberikan sebanyak empat kali
perhari dan juga diberikan asam folat bersama-sama. Apabila pasien tidak tahan atau alergi
terhadap sulfadiazin dapat diganti dengan klindamisin 1200 mg diberikan 3 kali perhari.x

Sedangkan tata laksana yang dianjurkan di dalam buku Pedoman Nasional


Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral (Pada Orang Dewasa) adalah
penggunaan Pirimetamin dengan dosis awal 100 mg, diikuti dengan 50 mg/hari ditambah
dengan Klindamisisn 4 kali 600 mg ,dan juga asam folat 15 mg/ 2 hari, terapi dilaksanakan
selama 6 minggu. Sedangkan untuk terapi rumatan bisa diberikan Pirimetamin 25 mg/hari
ditambah Klindamisisn 600 mg/hari.y

Pencegahan primer diberikan pada penderita HIV dengan seropositif toxoplasma


gondii dan kadar CD4 < 100/mm3. Untuk pencegahan primer ini dapat diberikan pirimetamin
dengan sulfadiazin dan apabila penderita mengalami alergi terhadap sulfadiazin, maka dapat
digunakan pirimetamin dengan klindamisin. Pilihan kedua dapat menggunakan trimetoprim
sulfametoksazol atau dapat juga menggunakan pirimetamin dengan dapson, pilihan yang lain
adalah pirimetamin dengan atovaquone.x

Profilaksis monoterapi dengan menggunakan pirimetamin atau dapson atau


azitromicin tidak dianjurkan karena penggunaan profilaksis monoterapi tidak memberikan
hasil yang memadai untuk pencegahannya. Pencegahan primer dihentikan apabila penderita
telah memberikan respon terhadap antiretroviral dan kadar CD4 > 200/mm3 selama 3 bulan.
Pencegahan sekunder dihentikan apabila penderita sudah tidak menampakkan gejala dan
kadar CD4 > 200/mm3 selama 6 bulan setelah pemberian antiretroviral.x

Pro Kontra pemilihan regimen terapi

Pemilihan terapi pirimetamin dan sulfadiazine mulai ditinggalkan karena efek samping ,
tingkat penolakan, dan alergi yang cukup tinggi sehingga sekarang pengobatan yang lebih
dipilih adalah alternatifnya berupa trimetoprim dan sulfometoxazole terutama untuk cerebral
toxoplasmosis yang didukung oleh penelitian Hai-Xia Wei di Tiongkok tahun 2015 yang
melakukan systematic review dan meta analysis terhadap 41 penelitian yang menggunakan
kombinasi terapi pirimetamin-sulfadiazine,trimetoprim–sulfometoxazole, dan pirimetamin-
klindamisin dimana gejala klinis dari toxoplasmosis serebral berhasil menghilang yakni
sebesar 49,8 %, 59,9%, dan 47,6 % walaupun belum bisa dikatakan bermakna secara statistik.
Penggunaan kombinasi antara pirimetamin dan klindamisin memiliki tingkat kekambuhan
dua kali lipat dibandingkan dengan penggunaan kombinasi obat pirimetamin-sulfadiazine.
Tingkat kesembuhan tertinggi didapatkan oleh kombinasi obat trimetoprim sulfometoxazole
namun tingkat rekurensinya juga tinggi dibandingkan dengan kombinasi pirimetamin
sulfadiazine.a Secara umum, systematic review dan meta analysis yang dilakukan oleh
Hernandez di tahun 2016 juga belum bisa mendapatkan terapi kombinasi yang mana yang
lebih superior sehingga pada akhirnya pemilihan regimen terapi disesuaikan dengan keadaan
dimana fasilitas kesehatan tersebut berada.b
X: Suroto, Soedomo A, Addinar I, Budianto P. Neurology update dalam PIN 2014 Solo.
UNS Press: Solo; 2014.h.123-37.

Y : Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada
Orang Dewasa. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2011.

A : Wei H-X, Wei S-S, Lindsay DS, Peng H-J (2015) A Systematic Review and Meta-
Analysis of the Efficacy of Anti-Toxoplasma gondii Medicines in Humans. PLoS ONE
10(9):e0138204. Available from :
http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0138204

B :AV Hernandez , et al. A systematic review and meta-analysis of the relative efficacy
and safety of treatment regimens for HIV-associated cerebral toxoplasmosis: is
trimethoprim-sulfamethoxazole a real option?. HIV Med. 2017 Feb;18(2):115-124.
Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27353303

Anda mungkin juga menyukai