PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.4 Patofisiologi
Pemeriksaan 0 1 2
Frekuensi napas <60/menit 60-80/menit >80/menit
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2 walau diberi O2
Air entry Tidak ada Udara masuk Tidak ada udara
dapat di dengar masuk
Merintih Tidak ada Dapat di dengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
1-3 = gangguan napas ringan, 4-5 = gangguan napas sedang, >6
gangguan napas berat
2.6 Manifestasi Klinik
2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum
sangat diperlukan, antara lain tentang hal:2
1) Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,
infeksi: pneumonia, dysplasia pulmoner, trauma persalinan, kongesti nasal,
depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf pusat, paralisis
nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin, depresi neonatal,
bayi lebih bulan, demam atau suhu yang tidak stabil (pada pneumonia).
2) Gangguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma,
miastenia.
3) Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain:
anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatica.
4) Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,
partus lama, ketuban pecah dini, oligohidroamnion, penggunaan obat
selama kehamilan. 2
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti: 2
1) Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan
gejala menonjol.
2) Sianosis
3) Retraksi
4) Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia choana, ditandai
kesulitan memasukan pipa nasogastric melalui hidung.
5) Air ketuban bercampur meconium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada
tali pusat.
6) Abdomen mengempis (scaphoid abdomen). 2
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Analisa Gas Darah
a) Dilakukan untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai
dengan: PaCO2 >50 mmHg, PaO2 <60 mmHg, atau saturasi oksigen
arterial <90%.
b) Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih
dari 20 menit, darah arterial lebih dianjurkan.
c) Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah
dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri.
d) Menggambarkan gambaran asidosis metabolik atau asidosis
respiratorik dan keadaan hipoksia.
e) Asidosis respiratorik terjadi karena atelectasis alveolar dan/atau
overdistensi saluran napas bawah.
f) Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang
merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme
anaerobik. Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui
pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale.
g) Pulse oximeter digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau
saturasi oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.2
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
rasio L/S (lecithin sphingomyelin ratio) yang dilakukan pada air
ketuban yang diperoleh dengan cara amniosentesis, atau dari aspirasi
trakea dan lambung, dan deteksi fosfatidil gliserol yang menunjukkan
kematangan paru.
b) Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi
metabolik untuk hiperkapnea kronik.
c) Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.
d) Kelainan elektrolit dapat juga diakibatkan karena kondisi kelemahan
tubuh; hipokalemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan
gangguan kontraksi otot. 2
3) Radiologi
Penilaian kondisi paru neonatus yang akurat sedini mungkin pada
foto polos toraks akan memungkinkan diagnosis yang akurat pula sehingga
dapat diberikan terapi yang tepat dan cepat pada neonatus. Dengan
pemberian terapi yang tepat dan cepat maka morbiditas dan mortalitas
karena penyakit membran hialin dapat diturunkan. Disamping itu, selain
sebagai modalitas diagnostik, evaluasi keberhasilan terapi juga dapat
dinilai dengan menggunakan gambaran yang ditemukan pada foto polos
toraks. 2
Pemeriksaan radiologis dengan foto polos toraks memiliki
sensitivitas sebesar 89,1%, spesifisitas sebesar 86,9% dan akurasi
diagnostik sebesar 88,7% dalam mendiagnosis penyakit membran hialin,
dimana gambaran radiologis penyakit membran hialin pada foto polos
toraks tergantung dari beratnya penyakit, dengan inflasi pulmo yang buruk
sebagai tanda kardinalnya. 2
Gambaran radiologi paru pada bayi baru lahir dengan penyakit
RDS adalah gambaran serbuk kaca (ground glass) atau retikulogranuler
yang difus dan halus, volume paru kecil, serta bronkogram udara yang
sering lebih jelas pada lobus bagian bawah dan pada jam pertama
kelahiran, mungkin didapatkan gambaran yang normal. Tanda khas
tersebut biasanya ada pada 6-12 jam berikutnya. Apabila diberikan CPAP
kemungkinan terdapat variasi pada foto paru. Neontaus yang diberikan
CPAP dapat mempunyai gambaran yang lebih baik, paru terisi udara
dengan tanpa bronkogram udara. Bayi baru lahir yang mempunyai satdium
yang lebih berat, mungkin tidak mampu mengembangkan parunya yang
terlihat lebih opak. Ukuran jantung pada umumnya normal, tetapi bisa
tampak membesar karena berkurangnya volume paru dan bayangan timus
yang masih besar. 2
Gambaran radiologis kelainan paru pada RDS dibagi atas 4 derajat
yaitu derajat 1 pola retikulogranular (PRG), derajat 2 bronkogram udara
(BGU), derajat 3 sama dengan derajat 2 namun lebih berat dengan
mediastinum melebar, derajat 4 kolaps seluruh paru sehingga paru tampak
putih (white lung) 2.
Berdasarkan foto thoraks, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium
RDS yaitu: 2
a) Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara.
b) Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai
ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c) Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
d) Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat
dilihat. 2
Gambar 2. Foto Thoraks 4 Stadium Penyakit Membran Hialin
e. Dukungan Pernapasan
Intubasi endotracheal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi
dengan RDS yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan
asidosis respiratorik yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai
dengan kadar 30-60 x/menit dan rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Tekanan
terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen inspirasi
diselenggarakan dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada jaringan
parenkim. Ventilator dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya
pernapasan dapat mengurangi barotrauma. 4
f. Dukungan Cairan dan Nutrisi
Pada bayi yang sangat sakit, sekarang memungkinkan untuk mempertahankan
dukungan gizi dengan nutrisi parenteral untuk periode yang diperpanjang.
Kebutuhan spesifik prematur dan bayi cukup bulan telah dipahami dengan
baik, dan persiapan nutrisi yang tersedia mencerminkan pemahaman ini. 4
2.10 Komplikasi
2.11 Pencegahan
2.12 Prognosis
Bayi dengan RDS, 80 – 90% bertahan hidup, dan sebagian besar korban
memiliki paru-paru normal pada usia 1 bulan. Beberapa terjadi gangguan
pernapasan yang menetap, bagaimanapun mungkin memerlukan konsentrasi
oksigen inspirasi tinggi selama berminggu-minggu. Mereka dengan perjalanan
penyakit yang berkepanjangan memiliki insiden tinggi untuk memiliki penyakit
pernapasan dengan mengi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Meskipun
sebagian bayi fungsi paru-paru menjadi normal, mereka cenderung mengalami
laju aliran ekspirasi yang berkurang dan di masa kanak-kanak akhir sering
memiliki bronkospasme yang diinduksi aktivitas atau metakolin. Bayi prematur
dengan gangguan pernapasan neonatal lebih cenderung memiliki gangguan
perkembangan dibandingkan bayi yang lahir prematur tanpa gangguan pernapasan
neonatal. 5
BAB III
PENUTUP
1. Kosim, M.S., 2014. Buku Ajar Neonatalogi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2. Tobing, 2014. Sindrom Gawat Napas Neonatus. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1,
Juni 2014. Diakses pada 30 Desember 2015 di
<http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-6.pdf>.
3. Anggraini, 2013. Faktor Risiko Kematian Neonatus dengan Penyakit
Membran Hialin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada – RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Diakses pada 30
Desember 2015 di <http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/15-2-3.pdf>.
4. Risa dkk., 2012. Pemberian Surfaktan pada Bayi Prematur dengan
Respiratory Distress Syndrome. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.
Unair/RSUD Dr. Soetomo. Diakses pada 30 Desember 2015 di
<http://old.pediatrik.com/buletin/06224113905-76.pdf>.
5. Rahmalia, M., 2012. Kematian Bayi Baru Lahir dengan Penyakit Membran
Hialin yang diberi CPAP. Diakses pada 30 Desember 2015 di +-
<http://eprints.undip.ac.id/46248/3/mustika_rahmalia_22010111110148.pdf>.
REFERAT MEI 2017
NAMA : APRIANI
STAMBUK : N 111 16 091
PEMBIMBING : dr. SULDIAH, Sp.A