Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Distres respirasi atau gangguan napas merupakan masalah yang sering


dijumpai hari pertama kehidupan BBL, ditandai dengan takipnea, napas cuping
hidung, retraksi intercostal, sianosis dan apneu. Gangguan napas yang sering
ialah Transient Tachypnea of the Newborn (TTN), Respiratory Distress Syndrome
(RDS) atau Penyakit Membran Hialin (PMH) dan Displasia Bronkopulmonar.
Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Gangguan Napas dikenal
juga sebagai Penyakit Membran Hialin (PMH), hampir terjadi sebagian besar pada
bayi baru lahir. Insidens dan derajat penyakit ini berhubungan erat dengan umur
kehamilan.1
Sindrom Gangguan Pernapasan (SGP), merupakan sindrom gawat napas
yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa
gestasi kurang. Penyebab terbanyak terutama pada bayi yang lahir dengan masa
gestasi kurang. Penyebab terbanyak dari angka morbiditas dan mortalitas pada
bayi premature adalah RDS. Sekitar 5-10% didapatkan pada bayi kurang bulan,
50% pada bayi dengan berat badan lahir 500 – 1500 gram. RDS merupakan salah
satu penyebab utama kematian bayi selama periode baru lahir.2
Respiratory Distress Syndrome biasanya muncul dalam beberapa menit
setelah bayi lahir yang ditandai dengan pernapasan cepat, frekuensi lebih dari
60x/menit, pernapasan cuping hidung, retraksi intercostal, suprasternal, dan
epigastrium. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelectasis alveoli, edema,
dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Faktor yang mempermudah
terjadinya RDS adalah persalinan kurang bulan, asfiksia intrauterin, tindakan
section caesaria, diabetes mellitus dan ibu dengan riwayat persalinan kurang bulan
sebelumnya, kelahiran yang dipercepat setelah perdarahan antepartum, serta
riwayat sebelumnya dengan penyakit RDS.3
Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertama kali oleh Avery dan Mead
padaa 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS. Penemuan surfaktan untuk
RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran karena pengobatan ini
dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi
oksigen yang tinggi. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan RDS maupun
sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi
atau kerusakan surfaktan.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Gangguan Napas (SGN) atau Respiratory Distress


Syndrome (RDS) atau nama lainnya Penyakit Membran Hialin (PMH)
adalah diagnosis klinis pada bayi baru lahir prematur dengan kesulitan
pernapasan, termasuk takipnea (>60 x/menit), retraksi dada, dan sianosis di
ruangan biasa yang menetap atau berlangsung selama 48-96 jam pertama
kehidupan, dan gambaran foto rontgen dada yang karakteristik (pola
retikulogranular seragam dan bronkogram udara perifer).1
Menurut Petty dan Asbaugh, definisi dan kriteria RDS bila
didapatkan sesak napas berat (dyspnea), frekuensi napas meningkat
(tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan
daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata
pada foto thoraks dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan,
edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sedangkan
menurut Murray et.al, disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru
secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang
atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non
pulmonar.Definisi menurut Bernard et.al, bila onset akut, ada infiltrat
bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18mmHg dan tidak
ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan
paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya
sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama
dengan 200, menyokong suatu RDS. 2
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD)
didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya
didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala
tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah
berat. 2

2.2 Epidemiologi

Resiratory Distress Syndrome (RDS) adalah penyakit pernafasan


akut yang diakibatkan oleh defisiensi surfaktan pada neonatus preterm,
yaitu neonatus yang lahir pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
Defisiensi surfaktan pada pulmo akan menyebabkan tingginya tegangan
permukaan alveolar sehingga pada saat akhir ekspirasi akan terjadi kolaps
alveolar. Kolaps alveolar akan mengakibatkan buruknya oksigenasi,
hiperkarbia dan asidosis.2
Resiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan penyebab
terbanyak angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Di Amerika
Serikat, RDS didapatkan pada sekitar 10% dari seluruh bayi prematur.
Angka kematian RDS di Amerika Serikat adalah 21,3 per 100.000. 2
Resiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan salah satu
penyebab terbanyak angka kesakitan dan kematian pada neonatus
prematur. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
pada tahun 2007, angka kematian neonatus di Indonesia adalah 19/1000
kelahiran hidup, dengan penyebab utama kematian adalah asfiksia, BBLR,
dan infeksi neonatal. Sedangkan menurut penelitian Anggraini et al.
proporsi kematian neonatus dengan Resiratory Distress Syndrome (RDS)
di RSUP dr.Sardjito selama tahun 2007- Oktober 2011 adalah 52%,
dengan asfiksia merupakan faktor resiko independen kematian neonatus
dengan penyakit membran hialin. 2
2.3 Etiologi

Resiratory Distress Syndrome (RDS) atau sindroma gawat napas


bayi baru lahir adalah suatu penyakit yang menyebabkan kegagalan
pernapasan pada bayi prematur dapat disebabkan karena kekurangan
surfaktan. Kekurangan surfaktan ini menyebabkan kegagalan
pengembangan kapasitas residu fungsional dan kecenderungan paru-paru
untuk mengalami atelektasis, ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi,
hipoksemia, hiperkarbia yang dapat menyebabkan asidosis respiratorik.
Asidosis ini menyebabkan vasokonstriksi yang merusak integritas endotel
dan epitel paru menghasilkan kebocoran eksudat yang kemudian
membentuk suatu membran hialin.3
Resiratory Distress Syndrome (RDS) pada bayi kurang bulan
(BKB) terjadi karena pematangan paru yang belum sempurna akibat
kekurangan surfaktan. Tanpa surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir
ekspirasi, sehingga menyebabkan gagal nafas pada neonatus. Berbagai
faktor ibu dan bayi berperan sebagai faktor risiko untuk terjadinya
Resiratory Distress Syndrome (RDS) pada BKB namun sebagian di
antaranya masih kontroversial. 3
Surfaktan sendiri merupakan kompleks lipoprotein yang terdiri dari
fosfolipid seperti lesitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan apoprotein
(protein surfaktan; PS-A, B, C, D) yang disintesis oleh sel epitelial
alveolar tipe II dan sel Clara yang semakin banyak jumlahnya seiring
dengan umur kehamilan yang bertambah. Komponen-komponen ini
selanjutnya disimpan di dalam sel alveolar tipe II yang akan dilepaskan ke
dalam alveoli untuk mengurangi tegangan permukaan dan mencegah
kolaps paru sehingga membantu mempertahankan stabilitas alveolar.
Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur kehamilan 35 minggu.
Namun, jika bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka fungsi ini tidak
dapat berjalan dengan baik. Adanya imaturitas pada bayi prematur, jumlah
surfaktan yang dihasilkan dan dilepaskan tidak mencukupi kebutuhan saat
lahir. Surfaktan yang jumlahnya tidak mencukupi atau tidak ada ini,
menyebabkan tegangan permukaan yang tinggi antara perbatasan gas
alveolus dengan dinding alveolus sehingga paru sulit untuk mengembang
dan bayi berupaya melakukan usaha ventilasi imatur dengan tetap tidak
terisi gas di antara upaya pernapasan. Bayi menjadi semakin berat untuk
bernapas dan hipoventilasi. Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan
pada bayi prematur yang mempunyai unit saluran pernapasan yang masih
kecil dan dinding dada lemah dapat menimbulkan atelektasis dan hipoksia
sehingga menyebabkan peningkatan gagal napas sehingga, dapat
disimpulkan bahwa Resiratory Distress Syndrome (RDS) disebabkan oleh
adanya atelektasis dari tiga faktor yang saling berhubungan: a) tegangan
permukaan yang tinggi akibat fungsi surfaktan yang tidak optimal dan
defisiensi jumlah sintesis atau pelepasan surfaktan b) fungsi unit
pernapasan yang masih kecil, dan c) Dinding dada bayi yang masih lemah.
3

Resiratory Distress Syndrome (RDS) yang terjadi pada bayi kurang


bulan tersebut bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Pada RDS
ringan tidak memerlukan ventilasi mekanik sedangkan RDS berat
memerlukan ventilasi mekanik. Semakin berat derajat RDS, semakin berat
keterlibatan kardiovaskular. Terapi optimal RDS menuntut teknologi
canggih yakni pemberian ventilasi mekanik dengan atau tanpa pemberian
surfaktan eksogen.2
Kelainan kardiovaskular pada RDS ringan belum terlalu banyak
diteliti, sedang pada RDS berat kelainan kardiovaskular yang dijumpai
antara lain disfungsi faal sistolik dan diastolik ventrikel kiri dan kanan,
hipertensi pulmonal persisten, penurunan isi sekuncup dan curah jantung,
bahkan bisa menyebabkan hipotensi sampai syok. 3
Kelainan kardiovaskular yang lain adalah gangguan faal jantung
seperti penurunan pengisian ventrikel kiri, periode pra-ejeksi yang
memanjang, dan waktu ejeksi yang memendek. Masalah kardiovaskular
lain yang terjadi pada bayi yang sembuh dari RDS adalah terjadinya
duktus arteriosus persisten (DAP). Dengan bertambahnya harapan hidup
bayi berat lahir rendah, terlihat pula peningkatan jumlah bayi dengan DAP.
Karena gangguan faal kardiovaskular pada SGNN berhubungan dengan
proses pematangan paru, dalam hal ini defisiensi surfaktan, maka
prognosis kelainan kardiovaskular pada RDS berkaitan erat dengan tingkat
kelainan paru. Didapati penurunan kematian pada bayi dengan berat lahir
1500 gram dan masa kehamilan > 34 minggu, bahkan tercatat tingkat
kematian 0% untuk bayi berat lahir 1500 gram dan 25% untuk bayi berat
lahir lebih kecil. Memang perawatan intensif dapat menurunkan angka
kematian, tetapi disisi lain dapat menambah kelainan neurologis dan
kelainan perkembangan, baik mental maupun kognitif di masa depan, yang
sulit diperbaiki.3

2.4 Patofisiologi

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi


prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang,
pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku.
Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan
menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia
berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.2
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan
10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan
dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-
paru tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh
sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk
mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga
udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding
alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi ductus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya
defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan
barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan
kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal
sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah.
Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam
setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek;
pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD). 2
Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah)
mungkin dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa
komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur
36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam
pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik
dalam 60-72 jam dan sembuh pada akhir minggu pertama. 2
Surfaktan sebagai bahan aktif pemukaan ini akan dilepaskan ke
dalam alveoli, dimana mereka akan mengurangi tegangan permukaan dan
membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah
runtuhnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan
atau dilepaskan mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasca
kelahiran karena immaturitas. Surfaktan yang hadir dalam konsentrasi
tinggi pada paru janin mengalami homogenasi pada usia kehamilan 20
minggu, tetapi tidak mencapai permukaan paru-paru sampai nanti ia
muncul dalam cairan amnion pada waktu di antara 28-32 minggu. Tingkat
maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi setelah 35 minggu. 2
Asidosis dan atelectasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi
darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun
dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi
surfaktan. 2
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi
lingkaran yang terdiri dari penurunan aliran, transudasi, asidosis, hipoksia,
atelectasis, hambatan pembentukkan substansi surfaktan, darah paru. Hal
ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian
bayi. 2
Prematur

Paru belum matang Dinding dada lemah

Surfaktan <<< Kemungkinan tidak Bernapas


berhasil pada Ya spontan
Alveoli sulit untuk pernapasan pertama saat lahir
mengembang
Tidak
Menangis
Alveoli kolaps di akhir
ekspirasi Neonatus berusaha keras
untuk meningkatkan 10 menit
Gagal tekanan ekspirasi akhir kemudian:
Volume thoraks dan paru
dan memperpanjang cadangan
cenderung mendekati
Ronkhi pertukaran gas di alveoli surfaktan habis
volume residu halus Atelektasis

Terjadi metabolisme Hipoksia jaringan Sianosis Usaha ini bersamaan


anaerob serta dengan terjadinya
penimbunan asam laktat penutupan glottis
dan asam lainnya Hipoksia Kerusakan endotel
miokardium kapiler dan epitel
ductus alveoli Mendengkur
Asidosis
metabolik Bradikardi
Transudasi ke
dalam alveoli Hiperkarbia
↓ Cardiac output
Hiperventilasi

Vasokonstriksi Pembentukan Ventilasi alveoli


fibrin dan jaringan tak cukup
epitel nekrotik
Hipotensi
↑ kerja napas
Terbentuklah membran hialin

Paru-paru menjadi Volume


↑ ruang mati
kurang lentur tidal kecil
fisiologis

Gambar 1. Bagan Patogenesis Umum RDS


2.5 Klasifikasi

Berdasarkan frekuensi napas dan gejala tambahan, Buku Pedomen


Manajemen masalah BBL membagi klasifikasi gangguan napas.

Gangguan - frekuensi nafas > 60 kali/menit dengan sianosis central dan


Nafas Berat tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi, atau
- frekuensi nafas > 90 kali/menit dengan sianosis central atau
tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi, atau
- frekuensi nafas < 30 kali/menit dengan atau tanpa gejala
lain dari gangguan nafas, atau
Gangguan - frekuensi nafas 60-90 kali/menit dengan tarikan dinding
Nafas dada atau merintih saat ekspirasi tanpa sianosis sentral,
Sedang atau
- frekuensi nafas > 90 kali/ menit tanpa tarikan dinding dada
atau merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral, atau
Gangguan frekuensi nafas 60-90 kali/menit tanpa tarikan dinding dada atau
Nafas merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral, atau
Ringan
Kelainan frekuensi nafas 60-90 kali/menit dengan sianosis sentral tanpa
Jantung tarikan dinding dada atau merintih
Kongenital

Evaluasi Gawat Nafas Dengan Skor Down

Pemeriksaan 0 1 2
Frekuensi napas <60/menit 60-80/menit >80/menit
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2 walau diberi O2
Air entry Tidak ada Udara masuk Tidak ada udara
dapat di dengar masuk
Merintih Tidak ada Dapat di dengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
1-3 = gangguan napas ringan, 4-5 = gangguan napas sedang, >6
gangguan napas berat
2.6 Manifestasi Klinik

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema,


dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein
ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang
timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir,
yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung,
grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam
48-96 jam pertama setelah lahir. 2
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah: 2
a. Takipnea diatas 60x/menit
b. Grunting expiratoar (glottis tertutup sebagian)/merintih saat ekspirasi
c. Retraksi subcostal dan interkostal selama inspirasi
d. Sianosis
e. Napas cuping hidung selama inspirasi
f. Pada neonatus yang sangat immature dapat terjadi apneu dan/atau
hipotermia.2

2.7 Diagnosis

Diagnosis gangguan napas dapat ditegakkan secara klinis maupun


dengan analisa gas darah (blood gas analysis). Perhitungan indeks
oksigenasi akan menggambarkan beratnya hipoksemia. Bila mengevaluasi
bayi dengan gangguan napas harus hati-hati atau waspada karena dapat
terjadi bayi dengan gejala pernapasan yang menonjol, tetapi tidak
menderita gangguan napas (misalnya asidosis metabolik, DKA = diabetik
ketoasidosis) dan sebaliknya gangguan napas berat juga dapat terjadi pada
bayi tanpa gejala distress respirasi (hipoventilasi sentral akibat intoksikasi
obat atau infeksi). Penilaian yang hati-hati berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat
menjelaskan tentang diagnosis. Penilaian secara serial tentang kesadaran,
gejala respirasi, analisa gas darah dan respon terhadap terapi merupakan
kunci berarti untuk menentukan perlunya intervensi selanjutnya.2

a. Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum
sangat diperlukan, antara lain tentang hal:2
1) Prematuritas, sindrom gangguan napas, sindrom aspirasi mekonium,
infeksi: pneumonia, dysplasia pulmoner, trauma persalinan, kongesti nasal,
depresi susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf pusat, paralisis
nervus frenikus, takikardia atau bradikardia pada janin, depresi neonatal,
bayi lebih bulan, demam atau suhu yang tidak stabil (pada pneumonia).
2) Gangguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma,
miastenia.
3) Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain:
anomali kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatica.
4) Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan,
partus lama, ketuban pecah dini, oligohidroamnion, penggunaan obat
selama kehamilan. 2
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti: 2
1) Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan
gejala menonjol.
2) Sianosis
3) Retraksi
4) Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia choana, ditandai
kesulitan memasukan pipa nasogastric melalui hidung.
5) Air ketuban bercampur meconium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada
tali pusat.
6) Abdomen mengempis (scaphoid abdomen). 2
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Analisa Gas Darah
a) Dilakukan untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai
dengan: PaCO2 >50 mmHg, PaO2 <60 mmHg, atau saturasi oksigen
arterial <90%.
b) Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih
dari 20 menit, darah arterial lebih dianjurkan.
c) Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah
dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri.
d) Menggambarkan gambaran asidosis metabolik atau asidosis
respiratorik dan keadaan hipoksia.
e) Asidosis respiratorik terjadi karena atelectasis alveolar dan/atau
overdistensi saluran napas bawah.
f) Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang
merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme
anaerobik. Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui
pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale.
g) Pulse oximeter digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau
saturasi oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.2

2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
rasio L/S (lecithin sphingomyelin ratio) yang dilakukan pada air
ketuban yang diperoleh dengan cara amniosentesis, atau dari aspirasi
trakea dan lambung, dan deteksi fosfatidil gliserol yang menunjukkan
kematangan paru.
b) Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi
metabolik untuk hiperkapnea kronik.
c) Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.
d) Kelainan elektrolit dapat juga diakibatkan karena kondisi kelemahan
tubuh; hipokalemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan
gangguan kontraksi otot. 2

3) Radiologi
Penilaian kondisi paru neonatus yang akurat sedini mungkin pada
foto polos toraks akan memungkinkan diagnosis yang akurat pula sehingga
dapat diberikan terapi yang tepat dan cepat pada neonatus. Dengan
pemberian terapi yang tepat dan cepat maka morbiditas dan mortalitas
karena penyakit membran hialin dapat diturunkan. Disamping itu, selain
sebagai modalitas diagnostik, evaluasi keberhasilan terapi juga dapat
dinilai dengan menggunakan gambaran yang ditemukan pada foto polos
toraks. 2
Pemeriksaan radiologis dengan foto polos toraks memiliki
sensitivitas sebesar 89,1%, spesifisitas sebesar 86,9% dan akurasi
diagnostik sebesar 88,7% dalam mendiagnosis penyakit membran hialin,
dimana gambaran radiologis penyakit membran hialin pada foto polos
toraks tergantung dari beratnya penyakit, dengan inflasi pulmo yang buruk
sebagai tanda kardinalnya. 2
Gambaran radiologi paru pada bayi baru lahir dengan penyakit
RDS adalah gambaran serbuk kaca (ground glass) atau retikulogranuler
yang difus dan halus, volume paru kecil, serta bronkogram udara yang
sering lebih jelas pada lobus bagian bawah dan pada jam pertama
kelahiran, mungkin didapatkan gambaran yang normal. Tanda khas
tersebut biasanya ada pada 6-12 jam berikutnya. Apabila diberikan CPAP
kemungkinan terdapat variasi pada foto paru. Neontaus yang diberikan
CPAP dapat mempunyai gambaran yang lebih baik, paru terisi udara
dengan tanpa bronkogram udara. Bayi baru lahir yang mempunyai satdium
yang lebih berat, mungkin tidak mampu mengembangkan parunya yang
terlihat lebih opak. Ukuran jantung pada umumnya normal, tetapi bisa
tampak membesar karena berkurangnya volume paru dan bayangan timus
yang masih besar. 2
Gambaran radiologis kelainan paru pada RDS dibagi atas 4 derajat
yaitu derajat 1 pola retikulogranular (PRG), derajat 2 bronkogram udara
(BGU), derajat 3 sama dengan derajat 2 namun lebih berat dengan
mediastinum melebar, derajat 4 kolaps seluruh paru sehingga paru tampak
putih (white lung) 2.
Berdasarkan foto thoraks, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium
RDS yaitu: 2
a) Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara.
b) Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai
ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c) Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
d) Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat
dilihat. 2
Gambar 2. Foto Thoraks 4 Stadium Penyakit Membran Hialin

4) Uji Kocok Cairan Lambung (Gastric Aspirate Shake Test)


Diagnosis penyakit membran hialin dapat ditegakkan berdasarkan
gejala dan tanda klinis, pemeriksaan radiologis, dan analisis gas darah,
sedangkan pemeriksaan uji kocok cairan lambung (gastric aspirate shake
test) digunakan untuk menilai maturitas pulmo dan memprediksi
terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus.2
Uji kocok cairan lambung dilakukan untuk menilai maturitas
pulmo neonatus dengan menilai keberadaan surfaktan dalam pulmo
neonatus yang dilihat dari cairan lambung neonatus. Ketiadaan surfaktan
dalam cairan lambung neonatus dapat digunakan untuk memprediksi
terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus. Kebermaknaan uji
kocok cairan lambung dinilai dari tidak terbentuknya gelembung udara (uji
kocok cairan lambung negatif) pada sampel cairan lambung neonatus yang
dicampur dengan alkohol absolut (95%) dan cairan salin fisiologis.
Sensitivitas dan spesifisitas uji kocok cairan lambung dalam menilai ada
tidaknya surfaktan dan memprediksi terjadinya penyakit membran hialin
menurut Chaudari et al. adalah sebesar 70% dan 100% dengan nilai
prediktif positif sebesar 100%, sedangkan menurut Iranpour et al. uji
kocok cairan lambung memiliki sensitivitas 100%, spesifisitas 66%, nilai
prediktif positif 64,5%, dan nilai prediktif negatif 100%.2
Selain foto polos toraks yang telah dikenal luas, dewasa ini uji
kocok cairan lambung telah menjadi salah satu bagian dari prosedur
penatalaksanaan penyakit membran hialin pada neonatus, terutama di
sarana pelayanan kesehatan rujukan. Dengan sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediktif positif dan nilai prediktif negatif uji kocok cairan lambung yang
telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, tidak dapat dipungkiri bahwa
hasil uji kocok cairan lambung merupakan parameter yang handal untuk
memprediksi terjadinya penyakit membran hialin pada neonatus dengan
sindrom gawat nafas (respiratory distress syndrome). 2

2.8 Diferensial Diagnosis


Kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial
dari penyakit membran hialin adalah sebagai berikut: 2
a. Sindrom aspirasi mekonium
b. Reflux gastroesofageal
c. Hipoglikemia
d. Pneumonia
2.9 Penatalaksanaan

a. Gangguan napas ringan


1) Amati pernapasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya
2) Bila gangguan napas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani gangguan napas sedang atau
berat.
3) Beri ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak, ASI peras
4) Kurangi pemberian )2 jika frekuensi napas menetap antara 30-60
kali/menit, tidak ada tanda-tanda sepsis, dan tidak ada masalah lain yang
memerlukan perawatan, bayi dapat dipulangkan.
b. Gangguan napas sedang
1) Lanjutkan pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang (2-3 lpm) bila
masih sesak O2 4-5 lpm
2) Jangan beri minum
3) Jika ada tanda berikut dan pada pengambilan sampel darah terdapat tanda
sepsis beri antibiotic (ampisilin dan gentamisin).
a) Suhu aksiler <34 derajat atau >39 derajat
b) Air ketuban bercampur meconium
c) Riwayat infeksi intrauterine, demma curiga infeksi berat atau ketuban
pecah dini (>18 jam)
d) Bila suhu aksiler 34-36,5 atau 37,5-39 tangani untuk masalah suhu
abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam
e) Bila suhu masih belum stabil atau gangguan napas belum ada
perbaikan, ambil sampel darah, dan beri antibiotic untuk terapi
kemungkinan besar sepsis
f) Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali
abnormal ulangi tahapan tersebut diatas
g) Bila tidak ada tanda-tanda sepsis nilai kembali bayi setelah 2 jam \.
Apabila bayi tidak menunjukkan perbaikan atau tanda-tanda
perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis
h) Bila bayi mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan (frekuensi napas
menurun, tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih
berkurang) :
i) Kurangi terapi O2 secara bertahap

Jangan memberi terapi O2 yang tidak perlu secera terus menerus.


Hentikan bilamana bayi tidak ada ganguan napas dan di udara ruangan
tanpa pemberian O2 bayi tampak kemerahan.
j) Pasang pipa lambung, beri ASI peras tiap 2 jam
k) Apabila tak perlu lagi O2, mulailah melatih bayi menyusu. Bila tidak
dapat menyusu beri ASI perah dengan alternative pemberian minum
yang lain.

c. Gangguan napas berat


1) Teruskan O2 dengan kecepatan aliran sedang
2) Tangani sebagai kemungkinan besar sepsis
3) Jika tampak perburukan (sianosis sentral) naikkan O2 pada kecepatan
aliran tinggi. Jika napas berat + sianosis sentral menetap dengan O2 100%.
Rujuk
4) Jika gangguan napas menetap setelah 2 jam pasang pipa lambung untuk
mengosongkan cairan lambung/udara
5) Niali kondisi bayi 4x/hari (ada perbaikan ?)
6) Jika ya, kurangi O2 bertahap
7) Mulai pemberian ASI peras melalui pipa lambung
8) Jika O2 tidak diperlukan, latih menyusu. Jika tidak bias, lakukan cara
alternative
9) Pantau dan evaluasi selama 3 jam :
a. Frekuensi napas
b. Retraksi
c. Episode apnea
d. GDS/hari sampai setengah kebutuhan minum terpenuhi oral
d. Terapi Pengganti Surfaktan
Terapi pengganti surfaktan sekarang dianggap sebagai gold standar perawatan
pada pengobatan bayi diintubasi dengan RDS. Sejak akhir 1980-an, lebih dari
30 percobaan klinis telah dilakukan secara acak yang melibatkan >6000 bayi
telah dilakukan. Saat ini, penelitian tindak lanjut jangka panjang tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pasien yang diobati dengan
surfaktan dan kelompok kontrol yang tidak diobati. Ada bukti menunjukkan
bahwa lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan ventilator total telah
berkurang dengan penggunaan surfaktan pada semua tingkat usia kehamilan,
walaupun dengan peningkatan bayi berat badan lahir sangat rendah. 4
Dosis yang direkomendasi untuk penggunaan surfaktan eksogen: 4
Produk Dosis Dosis Tambahan
Calfactant 3 ml/kgBB lahir Mungkin dapat diulang 12 jam
diberikan dalam 2 dosis sampai dosis 3 kali berturut-turut
dengan interval 12 jam bila ada
indikasi.
Beractant 4 ml/kgBB lahir Mungkin dapat diulang minimal
diberikan dalam 4 dosis total 4 dosis dalam waktu 48 jam
setelah lahir.

e. Dukungan Pernapasan
Intubasi endotracheal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi
dengan RDS yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan
asidosis respiratorik yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai
dengan kadar 30-60 x/menit dan rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Tekanan
terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen inspirasi
diselenggarakan dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada jaringan
parenkim. Ventilator dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya
pernapasan dapat mengurangi barotrauma. 4
f. Dukungan Cairan dan Nutrisi
Pada bayi yang sangat sakit, sekarang memungkinkan untuk mempertahankan
dukungan gizi dengan nutrisi parenteral untuk periode yang diperpanjang.
Kebutuhan spesifik prematur dan bayi cukup bulan telah dipahami dengan
baik, dan persiapan nutrisi yang tersedia mencerminkan pemahaman ini. 4

2.10 Komplikasi

Pada penyakit membran hialin terdapat komplikasi jangka pendek dan


komplikasi jangan panjang. Komplikasi jangka pendek (akut) dapat terjadi adalah
sebagai berikut:5
a. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothoraks,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstisial), pada bayi
dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea,
atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk
dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul karena tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan
alat-alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi
bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya. 5
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen
yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering
terjadi: 5
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu.
BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan
pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan
defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa
gestasi.
b. Retinopathy prematur: kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi
yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi. 5

2.11 Pencegahan

a. Mencegah persalinan premature.


b. Pemberian terapi kortikosteroid antenal pada ibu dengan ancaman
persalinan premature.
c. Mengelola ibu DM dengan baik. 5

2.12 Prognosis

Bayi dengan RDS, 80 – 90% bertahan hidup, dan sebagian besar korban
memiliki paru-paru normal pada usia 1 bulan. Beberapa terjadi gangguan
pernapasan yang menetap, bagaimanapun mungkin memerlukan konsentrasi
oksigen inspirasi tinggi selama berminggu-minggu. Mereka dengan perjalanan
penyakit yang berkepanjangan memiliki insiden tinggi untuk memiliki penyakit
pernapasan dengan mengi pada tahun-tahun pertama kehidupan. Meskipun
sebagian bayi fungsi paru-paru menjadi normal, mereka cenderung mengalami
laju aliran ekspirasi yang berkurang dan di masa kanak-kanak akhir sering
memiliki bronkospasme yang diinduksi aktivitas atau metakolin. Bayi prematur
dengan gangguan pernapasan neonatal lebih cenderung memiliki gangguan
perkembangan dibandingkan bayi yang lahir prematur tanpa gangguan pernapasan
neonatal. 5
BAB III

PENUTUP

Respiratory Distress Syndrome (Penyakit Membran Hialin) merupakan


penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Hal
ini disebabkan adanya defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi
akan mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi
rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS.
Berdasarkan penelitian, surfaktan merupakan terapi yang penting dalam
menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Disebut terapi
profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama pada bayi
prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sampai saat ini masih ada
perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah
lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome.
Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis
berhubungan dengan epitel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan
dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim, M.S., 2014. Buku Ajar Neonatalogi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2. Tobing, 2014. Sindrom Gawat Napas Neonatus. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1,
Juni 2014. Diakses pada 30 Desember 2015 di
<http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-6.pdf>.
3. Anggraini, 2013. Faktor Risiko Kematian Neonatus dengan Penyakit
Membran Hialin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada – RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Diakses pada 30
Desember 2015 di <http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/15-2-3.pdf>.
4. Risa dkk., 2012. Pemberian Surfaktan pada Bayi Prematur dengan
Respiratory Distress Syndrome. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.
Unair/RSUD Dr. Soetomo. Diakses pada 30 Desember 2015 di
<http://old.pediatrik.com/buletin/06224113905-76.pdf>.
5. Rahmalia, M., 2012. Kematian Bayi Baru Lahir dengan Penyakit Membran
Hialin yang diberi CPAP. Diakses pada 30 Desember 2015 di +-
<http://eprints.undip.ac.id/46248/3/mustika_rahmalia_22010111110148.pdf>.
REFERAT MEI 2017

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

NAMA : APRIANI
STAMBUK : N 111 16 091
PEMBIMBING : dr. SULDIAH, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2017

Anda mungkin juga menyukai