Suhendra - Skripsi 2.1
Suhendra - Skripsi 2.1
Suhendra - Skripsi 2.1
oleh:
Suhendra
NIM. H1K013028
oleh:
Suhendra
NIM. H1K013028
Disetujui pada
tanggal .......................
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
halaman
DAFTAR ISI......................................................................................................... i
DAFTAR TABEL................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................ 1
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 2
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 2
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3. Tujuan .......................................................................................................... 5
1.4. Manfaat ........................................................................................................ 5
i
DAFTAR TABEL
Tabel halaman
1. Ukuran Partikel Sedimen Berdasarkan Skala Wentworth ........................... 17
2. Aplikasi Band Landsat 1-5 MSS ................................................................. 20
3. Aplikasi Band Landsat 4-5 TM dan Landsat 7 ETM+ ................................ 20
4. Aplikasi Band Landsat 8 OLI and TIRS ..................................................... 21
5. Alat yang digunakan pada penelitian .......................................................... 24
6. Bahan yang digunakan pada penelitian ....................................................... 25
7. Jenis data citra Landsat yang digunakan ..................................................... 26
8. Panjang dan Laju Perubahan Garis Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon .. 34
9. Persentase Jenis Sedimen Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon ................ 38
10. Mean Size Sedimen Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon .......................... 39
11. Koefisien Sortasi, Skewness dan Kurtosis Sedimen Pantai Pangenan
Kabupaten Cirebon ...................................................................................... 40
12. Nilai Kemiringan Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon ............................. 43
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar halaman
1. Definisi dan batasan pantai.......................................................................... 8
2. Terminologi mengenai zona dekat pantai dan profil pantai ........................ 10
3. Konsep perhitungan kemiringan ................................................................. 19
4. Diagram alur pengolahan citra satelit Landsat ............................................ 27
5. Skema alur penelitian .................................................................................. 31
6. Peta lokasi penelitian ................................................................................... 32
7. Peta perubahan garis pantai Pangenan Kabupaten Cirebon ........................ 33
8. Peta akresi/abrasi pantai Pangenan Kabupaten Cirebon ............................. 35
9. Grafik laju akresi/abrasi pantai Pangenan Kabupaten Cirebon ................... 36
10. Grafik persentase jenis sedimen Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon ...... 39
11. Peta kemiringan pantai Pangenan Kabupaten Cirebon ............................... 42
iii
ABSTRAK
1
I. PENDAHULUAN
Garis pantai merupakan suatu fitur garis imajiner yang mempertemukan antara
batas darat dan laut. Disebut imajiner karena kedudukannya tidak tetap setiap waktunya,
selalu terjadi perubahan secara terus menerus terhadap kondisi pantai (Sutikno, 1993;
Saptarini, 2000; Ghosh et al., 2015). Pantai merupakan daerah yang memiliki dinamika
yang sangat kompleks disebabkan oleh faktor alam maupun manusia. Faktor alam seperti
kondisi gelombang, arus dan pasang surut, sedangkan faktor manusia seperti kegiatan alih
fungsi lahan dan reklamasi pantai. Sehingga, perubahan garis pantai sangat mungkin
Perubahan garis pantai dapat ditandai dengan adanya proses abrasi dan akresi
abrasi atau akresi tergantung pada sedimen yang masuk dan yang meninggalkan pantai
tersebut. Abrasi pantai terjadi apabila suatu pantai mengalami pengurangan sedimen yang
menyebabkan garis pantai menjadi berkurang. Sedangkan akresi terjadi apabila suatu
walaupun kecil. Tak terkecuali pantai Pangenan Kabupaten Cirebon. Perubahan garis
pantai Kabupaten Cirebon secara umum didominasi oleh proses akresi (Raharjo dan
Novico, 2012). Sebagaimana penelitian yang dilakukan Putri (2013) dalam kurun waktu
1954-2004, pantai Kabupaten Cirebon telah mengalami akresi sebesar 1,53 km. Akan
tetapi, abrasi pantai pun terjadi di sebagian wilayah pantai Kabupaten Cirebon. Setyawan
(2011) melaporkan bahwa pada tahun 2008-2009 terjadi abrasi di beberapa titik di
2
kawasan pesisir Mundu, Kabupaten Cirebon dengan pergeseran antara 10,63-13,85 m ke
arah darat.
Faktor yang paling sering kali mengakibatkan terjadinya perubahan garis pantai
menyebabkan terjadinya abrasi. (Komar, 1976). Akan tetapi, tingkat pengaruh gelombang
dalam menyebabkan perubahan garis pantai ditentukan oleh karakteristik pantai. Pantai
dengan kemiringan yang landai akan memberikan pengaruh yang lebih cepat untuk
gelombang dalam menyebabkan perubahan garis pantai daripada pantai yang curam (Yin
suatu pantai. Pantai yang landai mempunyai karakteristik sedimen yang lebih halus
satelit penginderaan jauh melalui analisis multi temporal. Teknologi penginderaan jauh
adalah teknik atau seni yang berlandaskan pada penggunaan gelombang elektromagnetik.
Teknologi tersebut menghasilkan citra yang diperoleh dengan cara membangun suatu
relasi antara flux yang diterima oleh sensor yang dibawa oleh satelit dengan sifat-sifat
fisik objek yang diamati di permukaan bumi. Perubahan citra tersebut dapat digunakan
jauh serta hubungannya dengan karakteristik sedimen pantai telah dilakukan oleh
Rachmani et al. (2017) di desa Meskom, Kecamatan Bengkalis Provinsi Riau. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa melalui interpretasi citra selama kurun waktu 20 tahun
3
Perubahan garis pantai tersebut dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan yang
berpasir dengan kemiringan pantai yang hampir terjal. Namun pada wilayah-wilayah
tertentu di pesisir Bengkalis juga mengalami sedimentasi pada pesisir yang memiliki
Penelitian di atas menjadi dasar untuk penelitian serupa dengan lokasi yang berbeda
Kabupaten Cirebon penting untuk dilakukan. Hal ini mengingat dinamika perubahan
Perubahan garis pantai sering kali terjadi akibat gaya yang disebabkan oleh
proses abrasi. Akan tetapi, penggunaan data gelombang sebagai variabel dalam penelitian
perubahan garis pantai, sudah banyak dilakukan. Terdapat faktor lain yang tidak dapat
diabaikan dalam kajian perubahan garis pantai. Resistensi batuan atau sedimen berperan
garis pantai berupa abrasi dan akresi, selain oleh gelombang tentu juga dipengaruhi oleh
2) Bagaimana hubungan laju perubahan garis pantai dengan karakteristik sedimen dan
4
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
dengan perairan Laut Jawa. Sedangkan secara administratif, wilayah pesisir Kabupaten
Utara, Cirebon Kota, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Babakan dan Losari (Astjario dan
Harkins, 2005). Secara umum, Kabupaten Cirebon dilalui oleh 18 aliran sungai yang
berhulu di wilayah Kabupaten Cirebon bagian selatan. Sungai – sungai yang ada di
Kabupaten Cirebon yang tergolong besar antara lain Cisanggarung, Ciwaringin, Cimanis,
Kondisi wilayah Kabupaten Cirebon secara geologi berada di bawah kaki Gunung
Ciremai dan pantai utara yang cukup dinamis (Astjario dan Harkins, 2005). Perairan
Cirebon memiliki topografi dasar laut yang cukup homogen dengan kemiringan dasar laut
yang landai (kemiringan kecil). Morfologi dasar laut yang landai ini merupakan ciri khas
dari paparan dasar laut pesisir Utara Pantai Jawa, dengan kedalaman dasar laut 2-10 m
dari permukaan, relief datar hingga bergelombang lemah. Perkiraan laju sedimen yang
mengisi alur pelayaran di pelabuhan Cirebon dalam 6 bulan sebesar 127,080 m3. Pada
saat surut kadar suspensi sedimen di muara Sungai Sukalila sebesar 328,0 mg/l, saat
Kondisi oseanografi Pantai Utara Kabupaten Cirebon Jawa Barat dipengaruhi Laut
Jawa. Arus permukaan mengikuti pola musim yaitu pada musim barat (bulan Desember
sampai Februari) arus permukaan bergerak ke arah timur, dan pada musim timur (bulan
Juni sampai Agustus) arus bergerak ke arah barat. Pada musim barat, arus permukaan
mencapai maksimum 65,6 cm/detik dan minimum 0,6 cm/detik, sedangkan pada musim
6
timur arus maksimum mencapai 59,2 cm/detik dan minimum 0,6 cm/detik. Tinggi
gelombang di laut Jawa umumnya rata-rata kurang dari 2 meter (BPLHD dan PKSPL-
IPB, 2006).
Salinitas di permukaan Laut Jawa bagian barat berkisar antara 30,6 ‰ hingga 32,6
‰ atau dengan rata-rata tahunan berkisar antara 2 ‰ hingga 3,5 ‰. Kisaran suhu
permukaan Laut Jawa bagian barat berkisar 28,5-30° C pada musim barat, musim
peralihan pertama berkisar antara 29,5- 30,7° C, musim timur berkisar antara 28,5-31° C
Ada dua istilah mengenai kepantaian dalam bahasa Indonesia yang sering rancu
dalam pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Pesisir adalah daerah darat
di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air laut. Sedangkan pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi
oleh air pasang tertinggi dan surut terendah. Pantai merupakan batas antara wilayah yang
bersifat daratan dengan wilayah yang bersifat lautan. Daerah daratan adalah daerah yang
terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi.
Sedangkan daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan
laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi
7
Gambar 1. Definisi dan batasan pantai (Triatmodjo, 1999)
Kesepakatan umum di dunia, bahwa wilayah pantai adalah suatu wilayah peralihan
antara daratan dan laut. Jika ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah
pantai memiliki dua kategori batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai
(longshore), dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Bagi kepentingan
pengolahan, penetapan batas – batas wilayah pantai dan laut yang sejajar dengan garis
pantai relatif mudah. Penetapan batas – batas wilayah pantai yang tegak lurus garis pantai,
sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain (Bengen, 2001).
adalah:
1. Abrasi pantai, yang menyebabkan mundurnya garis pantai dan merusak berbagai
fasilitas yang ada akibat adanya penambangan pasir dan terumbu karang,
penebangan hutan bakau, dan pembuatan bangunan pantai yang kurang tepat.
saluran drainase. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya banjir dan genangan.
8
4. Intrusi air laut ke cadangan air tanah, akibat adanya pemompaan air tanah yang
tidak terkendali.
manajemen ekosistem dan sumber daya laut tingkat lokal, regional, maupun global.
Kawasan pantai terkadang menjadi konflik kepentingan dan dilema antara pengembang
sektor ekonomi seperti perikanan, pemukiman, industri dan pariwisata dengan kelestarian
Jika ditinjau dari profil pantai (Gambar 2), daerah ke arah pantai dari garis
gelombang pecah dibagi menjadi tiga daerah yaitu inshore, foreshore dan backshore.
Perbatasan antara inshore dan foreshore adalah batas pantai pada saat muka air terendah.
Proses gelombang pecah di daerah inshore sering menyebabkan terjadinya longshore bar,
yaitu gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira sejajar dengan garis pantai. Foreshore
adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air rendah sampai batas
atas dari uprush (gelombang bergerak naik pada permukaan pantai) pada saat air pasang
tinggi. Profil pantai di daerah ini memiliki kemiringan yang lebih curam dibandingkan
profil di daerah inshore dan backshore. Backshore adalah daerah yang dibatasi oleh
foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan
Profil pantai dibawah pengaruh gelombang terbagi atas daerah pecah (breaker
zone), daerah selancar (surf zone) dan daerah hempasan (swash zone) (Brown et al.,
1989). Garis gelombang pecah merupakan batas perubahan perilaku gelombang dan
transpor sedimen pantai. Daerah gelombang pecah (breaker zone) adalah daerah dimana
9
gelombang yang datang dari laut dalam (lepas pantai) mencapai ketidakstabilan dan
pecah. Surf zone adalah daerah di antara bentangan bagian dalam dari gelombang pecah
dan batas naik turunnya gelombang di pantai. Pantai yang landai memiliki daerah surf
zone yang lebar. Swash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi
naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai (Ismail, 2012).
Gambar 2. Terminologi mengenai zona dekat pantai dan profil pantai (CERC, 1984)
sedimen seperti rapat massa dan tahanan terhadap erosi, ukuran dan bentuk partikel,
kondisi gelombang dan arus, serta batimetri pantai. Pantai dapat terbentuk dari material
dasar berupa pasir atau kerikil (gravel). Kemiringan dasar pantai tergantung pada bentuk
dan ukuran material dasar. Pantai berlumpur mempunyai kemiringan sangat kecil hingga
sekitar 1:5000. Kemiringan pantai pasir lebih besar berkisar antara 1:20 dan 1:50.
Sedangkan kemiringan pantai berkerikil bisa mencapai 1:4. Pantai berlumpur banyak
dijumpai di daerah pantai dimana banyak sungai yang mengangkut sedimen suspensi
bermuara di daerah tersebut dan gelombang relatif kecil. Pantai utara Jawa dan timur
10
Sumatera sebagian besar merupakan pantai berlumpur. Sebagian besar pantai yang
menghadap ke Samudera Hindia, seperti pantai selatan Jawa, Bali Nusa Tenggara, pantai
barat Sumatera, adalah pantai berpasir. Kedua tipe pantai tersebut memiliki karakteristik
memindahkan sedimen ke arah laut, mengikisnya dari gundukan pasir (berm) di pantai,
kemudian mengendapkannya sebagai bukit pasir (sand bar) di zona pecah (breaker zone).
Proses sebaliknya terjadi pada gelombang dengan energi yang lebih kecil (Komar 1983).
Akumulasi sedimen di pantai menyerap dan memantulkan energi yang berasal dari
gelombang. Apabila seluruh energi gelombang terserap maka pantai dalam kondisi
seimbang. Sebaliknya, pantai dalam kondisi tidak seimbang apabila terjadi perubahan
laut dan sangat dipengaruhi oleh serangan gelombang. Biasanya tidak mudah
tererosi akibat adanya arus atau gempuran gelombang. Kalaupun ada lebih
banyak disebabkan oleh pelapukan batuan atau proses geologi lain dalam waktu
yang relatif lama. Erosi pada material masif (seperti batu atau karang) ini lebih
2. Pantai berpasir. Pantai tipe ini terbentuk oleh proses di laut akibat erosi
terdiri atas pasir bercampur batu yang berasal dari daratan yang terbawa aliran
sungai atau berasal dari daratan di belakang pantai tersebut. Di samping berasal
11
dari daratan, material penyusun pantai ini juga dapat berasal dari berbagai jenis
yang ditumbuhi oleh hutan mangrove, energi gelombang terdisipasi oleh hutan
mangrove dan lumpur. Pantai tipe ini relatif mudah berubah bentuk, mengalami
b) Berdasarkan morfologi pantai dan pesisir yang dipengaruhi oleh proses geologi,
2. Pantai landai (datar). Pesisir datar hingga landai menempati bagian mintakat
bergelombang dan angin kuat dengan asupan sedimen sungai cukup, umumnya
membentuk rataan dan perbukitan pasir. Kondisi kering dan berangin kuat dapat
4. Pantai lurus dan panjang dari pesisir datar. Pantai tepian samudera dengan
agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah muara sungai kecil berjajar
padanya dengan asupan sedimen, dapat membentuk garis lurus dan panjang
12
5. Pantai berbukit dan tebing terjal. Pantai yang ditemukan pada berbagai mintakat
tinggian di paparan tepi kontinen, jalur busur luar atau jalur tektonik geser.
6. Pantai erosi. Terjadinya erosi terhadap pantai disebabkan oleh adanya: batuan
atau endapan yang mudah tererosi, agen erosi berupa air oleh berbagai bentuk
gerak air.
7. Pantai akresi. Proses akresi terjadi di pesisir yang menerima asupan sedimen
terjadi kemunduran garis pantai, dasar laut mendalam secara teratur dan
perlahan. Ciri pada peta topografi : (i) garis pantai yang relatif lurus (garis
kontur lurus); (ii) pantai yang relatif landai (garis kontur renggang) dan (iii) jika
2. Submergence coast. Pantai yang terbentuk jika air laut menggenangi daratan
sehingga terjadi kemajuan garis pantai, dasar laut mempunyai kedalaman yang
tidak teratur, yang merupakan lembah-lembah dan bukit-bukit lama. Ciri pada
peta topografi : (i) garis pantai tidak teratur; (ii) garis pantai berkelok-kelok tidak
teratur; (iii) pantainya relatif curam (garis kontur relatif rapat) dan (iv)
3. Pantai netral (neutral coast). Pantai yang terbentuk karena adanya pengendapan
aluvial/sungai, delta dataran aluvial dan dataran outwasth. Ciri pada peta
topografi : (i) adanya delta plain, aluvial plain; (ii) biasanya garis kontur
renggang; (iii) bentuk garis relatif melengkung dan (iv) sungai di bagian muara
13
4. Pantai campuran (compound coast). Pantai yang terbentuk dari proses
pengangkatan dan penurunan. Ciri pada peta topografi: (i) adanya dataran
pantai, teras-teras (emergence) dan (ii) adanya teluk-teluk dengan kontur yang
relatif rapat.
1. Pantai primer. Pantai berstadium muda dan dihasilkan oleh proses bukan asal
dari laut (non marine egency). Misalnya pantai karena erosi daratan; pantai yang
dibentuk oleh pengendapan asal darat dan bentuk pantai akibat aktivitas
vulkanisme.
2. Pantai sekunder. Pantai yang mempunyai stadium dewasa dan dihasilkan oleh
proses-proses laut. Misalnya bentuk pantai karena erosi air laut dan bentuk
Bagian pantai yang berbentuk garis dan menjadi arah batas antara laut dan darat
secara jelas disebut sebagai garis pantai (Saptarini, 2000). Garis pantai adalah salah satu
fitur linear yang paling penting di permukaan bumi, yang menampilkan sifat dinamis dan
merupakan indikator untuk erosi pantai dan akresi (Ghosh et al., 2015). Garis pantai
adalah garis pertemuan antara air laut dengan daratan yang kedudukannya berubah-ubah
sesuai dengan kedudukan pada saat pasang-surut, pengaruh gelombang dan arus laut
(Sutikno, 1993).
Keberadaan garis pantai selalu mengalami perubahan secara kontinu, pada pantai
yang berhadap langsung dengan arah datang gelombang dan arus pantai selalu mengalami
abrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pantai yang letaknya sejajar atau
searah dengan arah datangnya gelombang (Hermanto, 1986). Garis pantai terbagi atas dua
14
kelompok besar yang dipengaruhi oleh gerakan tektonik, gerakan eustatik dan kombinasi
1) Garis pantai naik. Garis pantai yang mengalami pengangkatan dan biasanya lurus
2) Garis pantai turun. Garis pantai yang mengalami penurunan, biasanya memiliki
Maka dari itu, dinamikanya disebut dengan perubahan garis pantai. Perubahan garis
pantai adalah suatu proses tanpa henti (terus menerus) melalui pelbagai proses baik
pergerakan sedimen, arus susur pantai (longshore current), tindakan ombak dan
geomorfologi yang terjadi pada segmen pantai melebihi proses yang biasa terjadi.
yang berperan seperti gelombang, arus, dan pasang surut (Opa, 2011). Perubahan pada
garis pantai yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut di atas dapat menunjukkan
bertambah (menjorok ke laut) (Arief et al., 2011). Analisis dinamika perubahan garis
pantai secara historis dapat digunakan untuk memahami kecenderungan evolusi dari suatu
dalam 2 (dua) faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia (antropogenik). Faktor alam
dapat berasal dari darat dan laut. Faktor dari daratan berupa sedimentasi lewat sungai dan
adanya vegetasi pantai. Faktor dari laut berupa angin, arus dan gelombang laut, pasang
surut, sedimentasi dari laut, dan morfologi dasar laut. Selain itu faktor yang dapat
15
mempengaruhi perubahan pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah
naiknya permukaan air laut (Handayani, 2004). Sedangkan faktor yang dipengaruhi oleh
pengaruh kegiatan manusia antara lain oleh penggalian, pengerukan, dan penambahan
sedimen pantai dan laut, reklamasi laut, penanggulangan pantai, penggundulan dan
penanaman hutan pantai serta pengaturan pola aliran sungai (Handriani, 2006).
Sedimen adalah partikel organik dan anorganik yang terakumulasi secara bebas
(Duxbury and Duxbury, 1991). Friedman (1978) memberikan pengertian sedimen adalah
kerak bumi yang ditransformasikan dari suatu tempat ke tempat lain baik secara vertikal
hidrologi tersebut akan terhenti pada suatu tempat dimana air tidak sanggup lagi
membawa kerak bumi yang tersuspensi tersebut. Biasanya suatu kawasan perairan tidak
ada sedimen dasar yang hanya terdiri dari satu tipe substrat saja, melainkan terdiri dari
kombinasi tiga fraksi yaitu pasir, lumpur dan tanah liat. Menurut Rifardi (2008) ukuran
macam komposisi terhadap proses pelapukan (weathering), erosi, abrasi dan transportasi
serta 4) jenis proses yang berperan dalam transportasi dan deposisi sedimen.
Keberadaan sedimen sebagai penutup dasar perairan terlihat sangat kompleks dan
memiliki peran yang sangat signifikan bagi keberadaan perairan tersebut baik dari sisi
dan massa daratan adalah sedimen neritik (perairan dangkal) dan laut dalam. Berdasarkan
ukuran butiran yakni batu, pasir, lumpur dan lempung (Dyer, 1986). Skala tersebut
16
menunjukkan ukuran standar kelas sedimen dari fraksi berukuran mikron sampai
dipengaruhi oleh transpor yang disebabkan oleh arus, hal ini berkaitan dengan besar
kecilnya tekanan yang diterima oleh partikel sedimen. Selain itu, mencerminkan
keberadaan partikel dari jenis yang berbeda, daya tahan partikel terhadap proses
pelapukan, erosi atau abrasi serta proses pengangkutan dan pengendapan material
(Friedman and Sanders, 1978). Serta juga penting untuk menentukan tingkat
pengangkatan sedimen dari ukuran tertentu dan tempat sedimen tersebut terakumulasi di
lautan (Gross, 1993). Dari ukuran partikel sedimen dapat menentukan lingkungan
sedimentasi dan transpor sedimen dengan pendekatan parameter statistik, yakni besar
ukuran partikel rata-rata (mean grain size), standar deviasi kecondongan (skewness) dan
17
2.5.2. Kemiringan Pantai
kecuraman, gradien, atau tingkat kelurusan suatu garis. Nilai kemiringan yang lebih tinggi
sebagai rasio perubahan ketinggian terhadap jarak horizontal antara dua titik di pantai
(Kumar et al., 2010). Kemiringan pantai merupakan nilai kecuraman area pantai antara
pasang tertinggi dan terendah. Kemiringan pantai dibedakan menjadi datar (<5°), curam
(5°-30°) dan terjal (>30°) (NOAA, 2002). Besarnya kemiringan pantai juga dipengaruhi
dengan parameter lain seperti elevasi dan morfologi pantai- dalam memperkirakan
kerentanan relatif terhadap potensi laju perubahan garis pantai, karena daerah dengan
kemiringan pantai yang rendah akan mengalami perubahan garis pantai yang lebih cepat
daripada daerah yang lebih curam (Yin et al., 2012). Di sisi lain, pantai dengan topografi
yang curam lebih rentan terhadap terjadinya erosi pantai daripada pantai yang landai (Li
et al., 2014).
Kemiringan secara umum dapat diukur secara langsung menggunakan alat, seperti
menggunakan konsep fungsi triangular. Satuan yang digunakan derajat atau persen
(FAO, 1998).
18
Gambar 3. Konsep perhitungan kemiringan (FAO, 1998)
penginderaan jauh berupa Digital Elevation Model (DEM) (Baxter and Robinson, 2001).
DEM merupakan kumpulan data ketinggian digital yang menunjukkan bentuk topografi
suatu daerah. Sifat data ketinggian ini berkesinambungan, tidak dapat dibagi (Sarapirome
et al., 2002). Penggunaan data DEM diarahkan pada interpretasi kelurusan dan analisis
morfometri seperti slope dan ketinggian (Darmawan et al., 2013). Salah satu jenis data
DEM yang sering dijumpai adalah DEM ASTER. DEM ASTER merupakan salah satu
jenis data DEM yang dapat diperoleh dengan mudah dari U. S. Geological Survey
(USGS). Data ini mengandung informasi topografi yang dihasilkan dari data ASTER
sensor VNIR band 3N dan 3B dengan resolusi 15 m atau 30 m. Data ASTER DEM dapat
berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan, dan telah banyak satelit baik yang berorbit
19
polar maupun geostationer (berada pada posisi yang sama terus-menerus di atas Bumi
yang berorbit). Salah satu satelit berorbit polar adalah satelit seri Landsat, dimulai dengan
Landsat-4 MSS (Multi Spectral Scanner) dengan resolusi spasial 80 meter, Landsat-5 TM
dengan resolusi spasial 30 meter dan 15 meter. Satelit seri Landsat merupakan satelit
berorbit polar, dengan ketinggian 900 km dan meliput Bumi setiap 16 hari (Arief et al.,
2011). Pada tahun 1998 Amerika Serikat telah meluncurkan Landsat 7 yang membawa
sensor ETM+ yang terdiri atas 8 (delapan) kanal yang dapat bermanfaat untuk mendeteksi
obyek-obyek. Aplikasi setiap band pada Landsat MSS, TM dan ETM+ dapat dilihat pada
Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Aplikasi Band Landsat 1-5 MSS (Barsi et al., 2014; Arief et al., 2011; USGS,
2017)
Band Landsat Band Landsat Panjang Aplikasi
MSS 1, 2, 3 MSS 4 dan 5 Gelombang (μm)
Band 4 - Green Band 1 - Green 0.5 - 0.6 Memetakan sedimen di dalam air,
menggambarkan daerah perairan dangkal
Band 5 - Red Band 2 - Red 0.6 - 0.7 Fitur budaya
Band 6 - Near Band 3 - Near 0.7 - 0.8 Batas vegetasi antara daratan dan perairan,
Infrared Infrared dan bentang alam
Band 7 - Near Band 4 - Near 0.8 - 1.1 Penetrasi kabut atmosfer, mendeteksi
Infrared Infrared vegetasi, batas antara daratan dan air, serta
bentang alam
Tabel 3. Aplikasi Band Landsat 4-5 TM dan Landsat 7 ETM+ (Barsi et al., 2014; Arief
et al., 2011; USGS, 2017)
Band Panjang Gelombang Aplikasi
(μm)
Band 1 - Blue 0.45 - 0.52 Pemetaan perairan pantai, membedakan tanah dan
vegetasi, tanaman berdaun jarum dan berdaun
gugur, membedakan tipe tanah
Band 2 - Green 0.52 - 0.60 Mendeteksi vegetasi sehat, mengestimasi
konsentrasi sedimen air dan pemetaan air keruh
Band 3 - Red 0.63 - 0.69 Membedakan jenis tanaman
Band 4 - Near Infrared 0.77 - 0.90 Menentukan biomassa, membedakan tubuh air
Band 5 - Short-wave 1.55 - 1.75 Menentukan kelembaban vegetasi, membedakan
Infrared salju dan awan
Band 6 - Thermal 10.40 - 12.50 Pemetaan suhu
Infrared
Band 7 - Short-wave 2.09 - 2.35 Pemetaan hidrotermal, eksplorasi mineral
Infrared
Band 8 - Panchromatic 0.52 - 0.90 Resolusi 15 meter, studi perkotaan
(hanya Landsat 7)
20
Selain tiga jenis satelit Landsat di atas, ada juga jenis satelit lain yang merupakan
generasi terbaru dari ketiga satelit sebelumnya. Satelit Landsat terbaru yakni seri Landsat-
8 yang dikenal dengan teknologi Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared
Sensor (TIRS). Landsat-8 diluncurkan pada sekitar bulan Februari 2013. Landsat-8
dengan resolusi sedang, namun instrumen itu sendiri berbeda signifikan dengan rangkaian
sensor Thematic Mapper (TM) di Landsat-5 dan -7. Instrumen TM adalah sensor
whiskbroom dengan detektor yang relatif sedikit yang melayang di atas bumi dalam arah
lintas jalur satelit. Sedangkan instrumen OLI adalah sensor pushbroom, dengan array
panjang pada detektor yang membentuk citra saat satelit bergerak melintasi Bumi. OLI
juga mencakup dua band yang tidak ada di TM; sebuah band Cirrus untuk membantu
mendeteksi awan cirrus dan band Coastal/Aerosol (CA) untuk resolusi air dan aerosol
yang lebih baik di wilayah biru. Berbeda dengan TM, OLI tidak termasuk band termal.
Akan tetapi, daerah termal dideteksi pada instrumen TIRS yang memiliki dua band (Barsi
et al., 2014). Aplikasi Landsat-8 OLI dan TIRS lebih lengkap disajikan pada Tabel 5.
Tabel 4. Aplikasi Band Landsat 8 OLI and TIRS (Barsi et al., 2014; USGS, 2017)
Band Panjang Aplikasi
Gelombang (μm)
Band 1 – Coastal 0.435 - 0.451 Studi pesisir dan aerosol
Aerosol
Band 2 – Blue 0.452 - 0.512 Pemetaan perairan pantai, membedakan tanah dan
vegetasi, tanaman berdaun jarum dan berdaun gugur,
membedakan tipe tanah
Band 3 - Green 0.533 - 0.590 Mendeteksi vegetasi sehat, mengestimasi konsentrasi
sedimen air dan pemetaan air keruh
Band 4 - Red 0.636 - 0.673 Membedakan jenis tanaman
Band 5 - Near Infrared 0.851 - 0.879 Menentukan biomassa, membedakan tubuh air
(NIR)
Band 6 - Short-wave 1.566 - 1.651 Menentukan kelembaban vegetasi, membedakan salju
Infrared (SWIR) 1 dan awan
Band 7 - Short-wave 2.107 - 2.294 Pemetaan suhu
Infrared (SWIR) 2
Band 8 - Panchromatic 0.503 - 0.676 Pemetaan hidrotermal, eksplorasi mineral
Band 9 – Cirrus 1.363 - 1.384 Peningkatan deteksi kontaminasi awan cirrus
Band 10 – TIRS 1 10.60 – 11.19 Resolusi 100 meter, pemetaan termal dan perkiraan
kelembaban tanah
Band 11 – TIRS 2 11.50 - 12.51 Resolusi 100 meter, pemetaan termal dan perkiraan
kelembaban tanah yang ditingkatkan
21
2.7. Aplikasi Pengideraan Jauh dalam Kajian Perubahan Garis Pantai
untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung
dengan objek tersebut (Noor, 2011). Saat ini teknologi penginderaan jauh berbasis satelit
menjadi sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya
untuk mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini
disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang relatif
murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga dapat
digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu menjangkau
daerah yang terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat digunakan untuk berbagai
Pemanfaatan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah
banyak dilakukan dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan wilayah pesisir dan
lautan. Penelitian yang dilakukan mulai dari pengembangan model parameter fisik
perairan (suhu permukaan laut, klorofil, muatan padat tersuspensi, kecerahan perairan,
dan lain-lain) wilayah pesisir sampai dengan kegiatan yang bersifat aplikasi seperti
monitoring dan penentuan zona potensi pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir
(Hastuti, 2012). Salah satu kegiatan monitoring wilayah pesisir yaitu analisis perubahan
Pemanfaatan penginderaan jauh dan SIG untuk menganalisis perubahan garis pantai
a. Arief et al. (2011) melakukan analisis perubahan garis pantai di Kabupaten Kendal
menggunakan citra satelit Landsat tahun 1972, 1991, 2001 dan 2008. Hasil
22
menunjukkan adanya perubahan yang paling dominan terjadi di daerah teluk dan
perubahan rata-rata sebesar 165 m mundur ke arah daratan dalam selang waktu
1985-2008 (23 tahun). Dalam periode tersebut setiap tahun daerah ini mengalami
c. Sardiyatmo et al. (2013) melakukan analisis perubahan garis pantai di pantai utara
tahun 1989, 1994, 1999, 2004 dan 2009. Garis pantai yang terjadi antara tahun 1989
sampai tahun 2009 lebih banyak mengalami proses abrasi jika dibandingkan dengan
akresi. Abrasi yang terjadi sebesar 2086,1 ha, sedangkan akresi sebesar 1221,6 ha.
23
III. MATERI DAN METODE
Materi dalam penelitian ini terdiri dari alat dan bahan yang terbagi ke dalam 3 (tiga)
analisis yang berbeda, yaitu untuk analisis perubahan garis pantai, analisis karakteristik
3.1.1. Alat
24
3.1.2. Bahan
al. (2017). Menurut Cohen et al. (2005) metode survei adalah pengumpulan data pada
mengidentifikasi standar yang ada dibanding dengan kondisi yang ada, atau menentukan
Adapun prosedur dalam penelitian ini terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu penentuan
memilih sampel secara acak dan memilih sampel lainnya pada interval jarak yang sama
sampai jumlah sampel yang diinginkan diperoleh (Nayak and Singh, 2015).
25
3.3.2. Pengambilan data
Data citra satelit Landsat Pangenan Kabupaten Cirebon terdiri dari Landsat-5 TM
akuisisi 5 Juli 1991, Landsat-7 ETM+ akuisisi 5 September 1999 dan Landsat-8
OLI/TIRS akuisisi 25 Mei 2017. Data didapat dari U.S Geological Survey (USGS) yang
Tabel 7. Jenis data citra Landsat yang digunakan untuk analisis perubahan garis pantai
Akuisisi Resolusi
Tahun Satelit/Sensor
(dd-mm-yyyy) (hh:mm:ss) spasial
1991 Landsat-5/TM 05-07-1991 02:47:00 30 m
1999 Landsat-7/+ETM 05-09-1999 02:47:14 30 m
2017 Landsat-8/OLI 25-05-2017 02:53:51 30 m
core sampler. Sedimen yang didapat dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diikat
3) Kemiringan pantai
Data DEM yang digunakan yaitu ASTER Global DEM V2 resolusi spasial 30×30 meter
Pengolahan citra satelit Landsat bertujuan untuk memperoleh data perubahan garis
pantai dengan metode visual dengan on screen digital kemudian melakukan tumpang
susun citra dari tahun 1991, 1999 dan 2017 (Winarso, et al., 2001), sehingga dapat
26
diketahui daerah yang diduga terjadi abrasi dan akresi. Pengolahan citra satelit Landsat
digitasi, dan overlay. Hasil analisis dan interpretasi digunakan untuk mengetahui
perubahan garis pantai (Azizul et al., 2015). Diagram alir pengolahan data citra
Koreksi Radiometrik
Koreksi Geometrik
Band Stacking
Image Enhancement
Digitasi
Overlay
Gambar 4. Diagram alur pengolahan citra satelit Landsat untuk analisis dan interpretasi
perubahan garis pantai
27
Setelah didapat data garis pantai setiap tahun, selanjutnya dilakukan analisis
perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai dianalisis menggunakan modul Digital
Shoreline Analysis System (DSAS) dengan metode End Point Rate (EPR) yang terdapat
di dalam ArcGIS. End Point Rate adalah metode untuk mengukur laju perubahan garis
pantai, dengan cara membagi jarak perubahan antara garis pantai terlama dan terbaru
dan D 422-63. Sebanyak 100 gr fraksi sedimen dianalisis dengan menggunakan metode
pengayakan kering bertingkat dan hidrometer. Hasil dari pengayakan kering bertingkat
dan metode hidrometer akan diperoleh persentase fraksi sedimen meliputi kerikil, pasir
dan lumpur. Kemudian hasil kedua metode tersebut digabungkan untuk dilakukan
perhitungan statistik sedimen berdasarkan metode grafik Folk and Ward (1957) meliputi
Mean size (Mz), Koefisien Sortasi (δ1), Skewness (Skᵢ) dan Kurtosis (KG). Sebelumnya,
dilakukan terlebih dahulu perhitungan diameter fraksi (∅) dalam satuan phi (ɸ) pada
persentase kumulatif 5%, 16%, 25%, 50%, 75%, 84% dan 95%. Selanjutnya perhitungan
statistika sedimen dapat dilakukan menggunakan rumus di bawah ini (Folk and Ward,
1957).
Klasifikasi :
28
3 s.d 4 : very fine sand (pasir sangat halus)
4 s.d 5 : coarse silt (lumpur kasar)
5 s.d 6 : medium silt (lumpur menengah)
6 s.d 7 : fine silt (lumpur halus)
7 s.d 8 : very fine silt (lumpur sangat halus)
>8 : clay (lempung)
Klasifikasi:
Klasifikasi:
95Ø −Ø5
Kurtosis (𝐾𝐺 ) = 2,44(Ø
75 −Ø25 )
Klasifikasi:
29
3) Kemiringan pantai
Data kemiringan pantai yang berasal dari data ASTER GDEM V2, diolah di dalam
software ArcGIS untuk diperoleh nilai rata-rata kemiringan pantai di daerah penelitian.
Selanjutnya, data dibagi ke dalam 9 zona secara spasial, yang merepresentasikan stasiun
ℎ
tan 𝜃 = 𝑥
ℎ
𝜃 = 𝑎𝑟𝑐 tan 𝑥
Keterangan:
<5° : Landai
5°-30° : Curam
>30° : Terjal (NOAA, 2002)
30
Secara umum, skema alur penelitian yaitu sebagai berikut:
Pantai Pangenan
Kabupaten Cirebon
Citra Sedimen
DEM
Landsat Pantai
Tingkat
Perubahan Karakteristik
kemiringan
garis pantai sedimen pantai
Analisis
Hasil
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Desember-April 2017. Lokasi yang
menjadi objek penelitian adalah Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dengan
31
Gambar 6. Peta lokasi penelitian
Data penelitian terdiri dari data laju perubahan garis pantai, karakteristik sedimen
dan kemiringan pantai. Data-data tersebut dibahas secara deskriptif. Selain itu, untuk
mengetahui hubungan antara data laju abrasi/akresi, analisis karakteristik sedimen dan
32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
menggunakan data citra satelit Landsat tahun 1991, 1999 dan 2017 ditunjukkan dalam
Gambar 6. Garis berwarna merah menunjukkan garis pantai pada tahun 1991. Garis
berwarna biru menunjukkan garis pantai pada tahun 1999. Sedangkan garis berwarna
tahun (Tabel 8). Pada tahun 1991, garis pantai Pangenan Kabupaten Cirebon memiliki
panjang sekitar 10.0765,4 m. Kemudian pada tahun 1999, garis pantai mengalami
penambahan panjang menjadi 10.3580,9 m. Dan pada tahun 2017, garis pantai kembali
33
mengalami penambahan panjang menjadi 10.5276,97 m. Jika dihitung laju perubahan
panjang garis pantai dalam rentang tahun tertentu, paling besar terjadi pada tahun 1991-
1999 yaitu sebesar 312,83 m/tahun. Sedangkan laju perubahan paling kecil terjadi pada
tahun 1999-2017 yaitu sebesar 94,23 m/tahun. Selama kurun waktu 1991-2017, laju
Tabel 8. Panjang Garis Pantai dan Laju Perubahan Garis Pantai Pangenan Kabupaten
Cirebon
Laju perubahan (m/tahun)
Tahun Panjang (m)
1991-1999 1999-2017 1991-2017
1991 10.0765,4
1999 10.3580,9 312,83 94,23 167,1
2017 10.5276,97
menggunakan citra satelit pada tahun 1991, 1999 dan 2017, cenderung mengalami
penambahan. Fenomena yang sama juga terjadi di perairan utara Jawa lainnya. Dengan
metode yang sama, Sardiyatmo et al. (2013) melaporkan bahwa selama kurun waktu
1989-2009, garis pantai di perairan utara Semarang selalu mengalami penambahan dari
tahun ke tahun. Sedangkan Arief et al. (2011) melaporkan secara umum telah terjadi
penambahan panjang garis pantai selama kurun waktu 1972-2008 di perairan Kabupaten
Kendal. Kecuali pada tahun 2001 terjadi penurunan, akan tetapi tidak terlalu signifikan
Perubahan panjang garis pantai ini terjadi baik disebabkan oleh proses akresi
maupun abrasi. Perubahan garis pantai cenderung terjadi di daerah tanjung atau teluk,
sedangkan perubahan di luar daerah itu cenderung tidak signifikan (Arief et al., 2011).
Hal ini dimungkinkan pada daerah tersebut mengalami tekanan yang lebih besar daripada
daerah lain, baik karena pengaruh antropogenik maupun alami. Selanjutnya, akan dibahas
34
seberapa besar laju perubahan garis pantai dilihat dari fenomena akresi/abrasi yang terjadi
di daerah penelitian.
Laju perubahan garis pantai dianalisis dengan membagi rentang tahun antara 1991-
1999, 1999-2017 dan 1991-2017. Analisis dilakukan menggunakan modul DSAS pada
ArcGIS dengan metode EPR untuk menghitung laju perubahan garis pantai
(akresi/abrasi) pada rentang waktu tersebut dibagi ke dalam 9 zona untuk mewakili setiap
stasiun. Gambar 7 menggambarkan jarak akresi/abrasi yang terjadi pada rentang tahun
Gambar 8.
35
Berdasarkan Gambar 7, sebagian besar garis pantai di daerah penelitian pada tahun
1991-1999 mengalami akresi, kecuali pada zona 6 dan sebagian kecil pada zona 5 dan 7.
Sedangkan pada tahun 1999-2017 dan 1991-2017, garis pantai mengalami akresi di
daerah pantai bagian barat sampai separuh pantai bagian utara dengan titik koordinat 108°
37’ 00” – 108° 40’ 00” BB, yaitu pada zona 1, 2, 3, 4 dan separuh pada zona 5. Garis
pantai mengalami abrasi di separuh pantai bagian utara hingga pantai bagian timur pada
titik koordinat 108° 40’ 00” – 108° 41’ 00” BB atau pada separuh zona 5 dan sebagian
besar pada zona 6, 7, 8 dan 9. Selanjutnya, laju perubahan garis pantai setiap rentang
30
20
Laju akresi/abrasi (m/tahun)
10
0
1991-1999
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1999-2017
-10
1991-2017
-20
-30
-40
Zona
Berdasarkan Gambar 8, laju akresi paling tinggi dalam rentang 1991-1999 terjadi
pada zona 4 dengan penambahan sebesar 15,97 m/tahun dan dalam rentang 1999-2017
serta 1991-2017 terjadi pada zona 1 dengan penambahan berturut-turut sebesar 13,08
m/tahun dan 11,62 m/tahun (Lampiran 2). Sedangkan laju abrasi paling tinggi dari semua
36
rentang tahun terjadi pada zona 6, dengan nilai paling tinggi terjadi pada rentang 1999-
Kecenderungan pantai yang mengalami akresi yaitu pantai yang terletak di daerah
cekungan/teluk. Sedangkan pantai yang mengalami abrasi yaitu daerah pantai yang
terletak di daerah tanjung (Arief et al., 2011). Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa garis
pantai pada zona 1, 2, 3 dan 4 mulai dari 1991 hingga 2017 terletak di daerah teluk yang
mengakibatkan proses akresi di daerah ini. Sedangkan garis pantai pada zona 5 dan 6
terletak di daerah tanjung, sehingga di daerah ini terjadi proses erosi. Garis pantai pada
zona 7, 8 dan 9 pun secara umum mengalami erosi, akan tetapi beberapa titik mengalami
akresi juga. Hal ini dikarenakan, garis pantai di daerah ini memiliki pengaruh yang
berbeda dibandingkan dengan garis pantai zona yang lainnya. Berdasarkan observasi
lapangan, pada daerah ini telah didirikan pelindung pantai (seawall), yang mengakibatkan
Laju akresi pada rentang waktu antara 8 tahun pertama (1991-1999) dan kedua
(1999-1999) secara umum mengalami penurunan, kecuali pada zona 1. Pun dengan laju
abrasi pada rentang waktu yang sama secara umum mengalami penurunan, kecuali pada
zona 6. Penurunan laju perubahan garis pantai ini berdasarkan observasi lapangan
pelindung pantai. Selain itu, tekanan oseanografi yang lemah pun kemungkinan menjadi
penyebab penurunan laju perubahan garis pantai (Dewidar and Frihy, 2010; Deepika et
al., 2013).
37
4.2. Hubungan Laju Perubahan Garis Pantai dengan Karakteristik Sedimen dan
Kemiringan Pantai
sedimen dan statistika sedimen. Berdasarkan analisis sedimen yang telah dilakukan,
diperoleh rata-rata persentase besar butir sedimen pada setiap stasiun yang dapat dilihat
pada Tabel 9.
semua stasiun adalah jenis sedimen lumpur kasar, dengan nilai berkisar antara 29,96-
berdasarkan skala Wenworth maka jenis sedimen di Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon
didominasi oleh jenis lumpur sebanyak 84,66%, diikuti pasir sebanyak 14,41%, lempung
sebanyak 0,74% dan butiran sebanyak 0,17%. Distribusi jenis sedimen pada setiap stasiun
38
80
70
60 Butiran
Persentase besat (%)
Pasir kasar
50
Pasir halus
40 Pasir sangat halus
Lumpur kasar
30
Lumpur sedang
20 Lumpur halus
10 Lumpur sangat halus
Lempung
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Stasiun
Gambar 10. Grafik persentase jenis sedimen Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon
Berdasarkan perhitungan statistika sedimen, didapat mean size atau rata-rata ukuran
sedimen pada setiap stasiun yang dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai rata-rata ukuran
tergolong ke dalam kategori lumpur sedang. Rata-rata ukuran sedimen pada stasiun 4, 5
dan 6 tergolong ke dalam kategori pasir sedang sampai pasir sangat halus. Dan rata-rata
ukuran sedimen pada stasiun 7, 8 dan 9 tergolong ke dalam kategori lumpur kasar.
Tabel 10. Mean Size (Mz) Sedimen Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon
Stasiun Mean Size (Mz) Klasifikasi
1 5,07 Lumpur sedang
2 5,16 Lumpur sedang
3 5,21 Lumpur sedang
4 3,77 Pasir sedang
5 3,88 Pasir sangat halus
6 3,95 Pasir sangat halus
7 4,82 Lumpur kasar
8 4,84 Lumpur kasar
9 4,82 Lumpur kasar
39
Sementara itu, data statistika sedimen lainnya seperti koefisien sortasi, skewness
dan kurtosis dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan nilai koefisien sortasi, klasifikasi
sedimen pada semua stasiun tergolong ke dalam kategori very well sorted atau terpilah
bervariasi pada setiap stasiun. Mulai dari kategori very fine skewed atau sangat condong,
fine skewed atau condong ukuran halus, symmetrical dan coarse skewed atau condong
ukuran kasar. Berdasarkan nilai kurtosis, klasifikasi sedimen juga bervariasi pada setiap
stasiun. Mulai dari kategori very platykurtic atau distribusi sangat mendatar, platykurtic
distribusi mendatar, mesokurtic atau distribusi normal dan leptokurtic atau distribusi
memuncak.
Tabel 11. Koefisien Sortasi (δ1), Skewness (Sk1) dan Kurtosis (KG) Sedimen Pantai
Pangenan Kabupaten Cirebon
Sortasi Skewness Kurtosis
Stasiun
δ1 Klasifikasi Sk1 Klasifikasi KG Klasifikasi
1 -0,95 very well -0,28 fine skewed 0,65 very
sorted platykurtic
2 -0,91 very well -0,08 symmetrical 0,68 platykurtic
sorted
3 -1,18 very well -0,47 very fine 0,53 very
sorted skewed platykurtic
4 -1,71 very well 0,09 symmetrical 1,06 mesokurtic
sorted
5 -1,67 very well 0 symmetrical 1,11 leptokurtic
sorted
6 -1,93 very well 0,26 coarse 0,89 platykurtic
sorted skewed
7 -0,85 very well -0,40 very fine 0,88 platykurtic
sorted skewed
8 -0,86 very well -0,39 very fine 0,91 mesokurtic
sorted skewed
9 -0,85 very well -0,41 very fine 0,88 platykurtic
sorted skewed
40
Nilai mean (ɸ) apabila semakin besar maka menunjukkan jenis material sedimen
yang lebih halus, nilai sortasi apabila semakin kecil menunjukkan semakin baik tersortasi,
dan untuk nilai kecondongan (skewness) apabila semakin negatif menunjukkan adanya
kelebihan partikel ukuran kecil (Bayhaqi dan Dungga, 2015). Untuk nilai kurtosis, apabila
semakin kecil menunjukkan sebaran sedimen semakin datar terhadap distribusi normal
dan sebaliknya apabila semakin besar menunjukkan sebaran semakin memuncak terhadap
sedimen di lokasi penelitian. Nilai dominan mean sebesar 33% untuk masing-masing
lumpur sedang dan lumpur kasar, sortasi sebesar 100% untuk sortasi terpilah sangat baik
yang berarti adanya keseragaman butiran dan nilai skewness sebesar 44% untuk condong
sangat halus yang berarti terdapat kelebihan partikel halus dan menunjukkan adanya
dominasi jenis sedimen halus di Pantai Pangenan Kabupaten Cirebon. Nilai sortasi juga
karakteristik terpilah sangat baik, sehingga sedimen memiliki waktu pengendapan yang
cukup lama karena kondisi pergerakan air yang tidak begitu kuat dan cenderung stabil di
Pantai yang mengalami akresi di lokasi penelitian cenderung didominasi oleh rata-
rata sedimen lumpur, sedangkan pantai yang mengalami abrasi didominasi oleh rata-rata
sedimen pasir. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Frihy and Komar (1993) yang
melaporkan bahwa area di Delta Nil Mesir yang mengalami abrasi memiliki karakteristik
sedimen pantai yang lebih halus dibandingkan dengan area yang mengalami akresi.
41
penelitian yang menyumbang sedimentasi yang tinggi. Sebagaimana dilaporkan dalam
penelitian Cui dan Li (2011) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan
kemiringan kurang dari 2°, level 2 dengan simbol berwarna kuning memiliki kemiringan
antara 2° hingga 3° dan level 3 dengan simbol berwarna hijau memiliki kemiringan lebih
dari 3°. Sedangkan untuk nilai kemiringan pantai setiap zona di lokasi penelitian dapat
42
Nilai kemiringan berdasarkan analisis data DEM memiliki nilai rata-rata
kemiringan di setiap zona berkisar antara 1,33-3,52°. Kemiringan pantai paling rendah
terdapat pada zona 7 dan paling tinggi terdapat pada zona 5. Semua zona termasuk ke
bahwa pantai Pangenan Kabupaten Cirebon digolongkan ke dalam pantai landai. Hasil
tersebut tidak jauh berbeda dengan pernyataan Setyadi dan Aryanto (2008) bahwa pantai
di Pangenan Kabupaten Cirebon memiliki kemiringan berkisar antara 2° hingga 4°. Pantai
yang landai mengakibatkan kerentanan yang tinggi terhadap perubahan garis pantai
(Kumar et al., 2010; Yi et al., 2012). Dan secara umum, pantai yang landai memiliki
Hubungan antara laju perubahan garis pantai dengan karakteristik sedimen dan
menunjukkan korelasi yang sangat kecil dan tidak signifikan. Nilai signifikansi antara
laju perubahan garis pantai tahun 1991-1999, 1999-2017 dan 1991-2017 dengan mean,
sortasi, skewness dan kurtosis serta kemiringan pantai memperoleh nilai < 0,05 yang
artinya tidak ada hubungan signifikan antar setiap variabel. Hal ini kemungkinan
43
tidak sedikit muara sungai dan pabrik di sekitar lokasi penelitian yang memungkinkan
terjadinya akumulasi limbah-limbah rumah tangga maupun industri. Selain itu, berdirinya
bangunan pantai mengakibatkan proses sirkulasi air menjadi berubah. Sehingga, secara
kuantitatif antar setiap variabel tidak terdapat hubungan yang signifikan. Namun, secara
umum jika dilihat berdasarkan analisis secara kualitatif hasil penelitian masih terdapat
44
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
bahwa:
1) Dinamika laju perubahan garis pantai di Pangenan Kabupaten Cirebon pada rentang
secara berturut-turut sebesar 312,83 m/tahun, 94,23 m/tahun dan 167,1 m/tahun.
Sedangkan laju akresi pada rentang tahun yang sama berturut-turut berkisar antara
2,33-15,97 m/tahun, 2,81-13,08 m/tahun dan 0,27-11,62 m/tahun. Laju abrasi pada
rentang tahun yang sama juga berturut-turut berkisar antara 5,44-19,79 m/tahun,
2) Laju perubahan garis pantai, karakteristik sedimen dan kemiringan pantai Pangenan
memiliki hubungan secara signifikan. Akan tetapi secara kualitatif, hasil penelitian
memiliki kecenderungan yang sesuai dengan teori bahwa perubahan garis pantai
akan semakin cepat apabila karakteristik sedimen lebih halus dan kemiringan pantai
relatif landai.
5.2. Saran
pemetaan garis pantai menggunakan citra satelit dengan koreksi pasang surut, agar
menjadi acuan dalam penentuan garis pantai yang benar. Sedangkan terkait penelitian
perubahan garis pantai, perlu diperhatikan juga faktor-faktor yang mempengaruhi baik
alami seperti gelombang, arus dan sedimentasi serta faktor antropogenik seperti bangunan
pantai.
45
DAFTAR PUSTAKA
Anas, P. 2011. Studi Keterkaitan Antara Sumberdaya Ikan dan Kemiskinan Nelayan
Sebagai Dasar Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon
Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arief, M., G. Winarso, T. Prayogo. 2011. Kajian Perubahan Garis Pantai Menggunakan
Data Satelit Landsat Di Kabupaten Kendal. Jurnal Penginderaan Jauh, 8: 71-80.
Astjario, P., F. Harkins. 2005. Penelitian Lingkungan Pantai Wilayah Pesisir Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat. Jurnal Geologi Kelautan, 3 (2), 19-26.
Azizul, R., Rifardi, M. Galib. 2015. Study on Abrasion and Sediment in Angso Duo Island
Pariaman City West Sumatera, Indonesia. International Journal of Science and
Research (IJSR), 6 (6): 1945-1948.
Barsi, J. A., K. Lee, G. Kvaran, B. L. Markham, J. A. Pedelty. 2014. The Spectral
Response of the Landsat-8 Operational Land Imager. Remote Sensing, 6, 10232-
10251.
Baxter, N. M., N. J. Robinson. 2001. A land resource assessment of the Glenelg-Hopkins
region. Dept. of Natural Resources and Environment Victoria. Centre for Land
Protection Research, Bendigo.
Bayhaqi, A., C. M. Dungga. 2015. Distribusi butiran sedimen di pantai Dalegan, Gresik,
Jawa Timur. Depik, 4 (3): 153-159.
Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut: Sinopsis. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
BPLHD Provinsi Jawa Barat, dan PKSPL-IPB. 2006. Monitoring Kualitas Air Laut di
Pesisir Utara Jawa Barat. Laporan Akhir. BPLHD, Bogor.
Bramha, S. N., A. K. Mohanty, M. K. Samantara, S. N. Panigrahi, K. K. Satpathy. 2017.
Textural characteristics of beach sediments along Kalpakkam, south east coast of
India. Indian Journal of Geo Marine Sciences, 46 (8): 1562-1574.
Brown, J., P. Colly, D. Paul, J. Philips, D. Rottery, J. Wright. 1989. Waves, Tides and
Shallow Water Process. Pegamon Press Ltd, New York.
Cahyanto, N. P., H. Setiyono, E. Indrayanti. 2014. Studi Profil Pantai di Pulau Parang
Kepulauan Karimunjawa Jepara. Jurnal Oseanografi, 3 (2): 161-166.
Coastal Engineering Research Center. 1984. Shore Protection Manual. 4th edition. Vol.
I. U.S. Army Coastal Engineering Research Center, Washington DC.
Cohen, L., L. Manion, K. Morrison. 2005. Research Methods in Education. Taylor &
Francis eLibrary, London.
46
Cui, B.-L., X.-Y. Li. 2011. Coastline change of the Yellow River estuary and its response
to the sediment and runoff (1976–2005). Geomorphology, 127: 32–40.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.
Darmawan, I. B., L. D. Setijadji, D. Wintolo. 2013. Interpretasi Geologi Gunung Rajabasa
Berdasarkan Integrasi Citra ASTER, DEM dan Geologi Permukaan. Prosiding
Seminar Nasional Kebumian Ke-6. Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Deepika, B., K. Avinash, K. S. Jayappa. 2013. Shoreline change rate estimation and its
forecast: remote sensing, geographical information system and statistics-based
approach. International Journal of Environmental Science and Technology, 11
(2): 395–416.
Dewidar, K. M., O. E. Frihy. 2010. Automated techniques for quantification of beach
change rates using Landsat series along the North-eastern Nile Delta, Egypt.
Journal of Oceanography and Marine Science, 1 (2): 028-039.
Diposaptono, S. 2004. Penambangan Pasir Dan Ekologi Laut. Kasubdit Mitigasi
Lingkungan Pesisir. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2004. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan
Garis Pantai. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Duxbury, A. C., A. B. Duxbury. 1991. An Introduction to the World's Ocean. 3rd edition.
Wm. C. Brown, Dubuque.
Dyer, K. R. 1986. Costal and Estuarine Sediment Dynamics. John Wiley & Sons, Inc,
New York.
Ekadinata, A., S. Dewi, P. Hadi, D. K. Nugroho, F. Johana. 2008. Sistem Informasi
Geografis untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya Alam. Dalam
Buku 1: Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh. World Agroforestry
Centre, Bogor.
FAO. 1998. A Manual for the Planning, Design and Construction of Forest Roads in
Steep Terrain. Food Agriculture Organization, Roma.
Folk, R. L., W. C. Ward. 1957. Brazos river bar: a study in the significance of grain-size
parameters. Journal of Sedimentary Petrology, 27 (1): 3-26.
Friedman, G. M., J. E. Sanders. 1978. Principles of Sedimentology. John Wiley & Sons,
Inc, New York.
Friedman, R. 1978. Kind of Sediment Particle. McGraw-Hill Book Company, New York.
Frihy, O. E., P. D. Komar. 1993. Long-term shoreline changes and the concentration of
heavy minerals in beach sands of the Nile Delta, Egypt. Marine Geology, 115:
253-261
47
Ghosh, M. K., L. Kumar, C. Roy. 2015. Monitoring the coastline change of Hatiya Island
in Bangladesh using remote sensing techniques. ISPRS Journal of
Photogrammetry and Remote Sensing, 101: 137-144.
Gross, M. G. 1993. Oceanography: A Viewof Earth. 6th edition. Prentice-Hall Inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Handayani, R. 2004. Pemanfaatan Data Landsat TM dan Landsat 7/ETM Untuk Melihat
Perubahan Garis Pantai Tahun 1995 – 2000 Di Teluk Cempi, Kabupaten Dompu,
Nusa Tenggara Barat. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Handriani, M. 2006. Aplikasi Citra IKONOS Untuk Kajian Perubahan Pantai Di Wilayah
Ulee Lheue dan Lhok Nga, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Pra dan Pasca
Tsunami Tahun 2004. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hantoro, W. S. 2006. Pengaruh Karakteristik Laut dan Pantai Terhadap Perkembangan
Kawasan Kota Pantai. Proceeding – Kerugian Pada Bangunan dan Kawasan
Akibat Kenaikan Muka Air Laut Pada Kota-Kota Pantai Di Indonesia. Pusat
Penelitian Geoteknologi LIPI, Jakarta. hal. 5-24.
Hastuti, A. W. 2012. Analisis Kerentanan Pesisir Terhadap Ancaman Kenaikan Muka
Laut Di Selatan Yogyakarta. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hermanto, B. 1986. Pemantauan Garis Pantai dengan Menggunakan Citra Landsat.
Oseana, 11 (4): 163-170.
Ingmanson, D. E., W. J. Wallace. 1985. Oceanography: An Introduction. Stack
University, San Diego.
Ismail, N. P. 2012. Dinamika Perubahan Garis Pantai Pekalongan dan Batang, Jawa
Tengah. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kervyn, M., F. Kervyn, R. Goossens, S. K. Rowland, G. G. Ernst. 2007. Mapping
volcanic terrain using high-resolution and 3D satellite remote sensing. Special
Publications, 283: 5-30
Komar, P. D. 1976. Beach Processes and Sedimentation. Prentice-Hall & Englewood
Cliffs, New Jersey.
Komar, P. D. 1983. Beach Processes and Erossion. Dalam P. D. Komar, & J. R. Moore,
CRC Handbook of Coastal Processes and Erossion. CRC Press Inc. Boca Raton,
Florida.
Kumar, T. S., R. S. Mahendra, S. Nayak, K. Radhakrishnan, K. C. Sahu. 2010. Coastal
Vulnerability Assessment for Orissa State, East Coast of India. Journal of Coastal
Research, 26 (3): 523-534.
48
Li, X., Y. Zhou, B. Tian, R. Kuang. 2015. GIS-based methodology for erosion risk
assessment of the muddy coast in the Yangtze Delta. Ocean & Coastal
Management, 108: 97-108.
Nayak, J. K., P. Singh. 2015. Fundamentals of Research Methodology: Problems and
Prospects. SSDN Publishers & Distributors, New Delhi.
NOAA. 2002. Environmental Sensitivity Index Guidlines Version 3.0. NOAA Technical
Memorandum NOS OR&R 11, Hazardous Material Response Division, Office of
Response and Restoration, NOAA Ocean Service, Washington.
Noor, D. 2011. Geologi untuk Perencanaan. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Opa, E. T. 2011. Perubahan Garis Pantai Desa Bentenan, Kecamatan Pusomaen,
Minahasa Tenggara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 7 (3): 109-114.
Putri, E. 2013. Identifikasi Kerusakan Pesisir Akibat Konversi Hutan Hutan Bakau
Menjadi Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kabupaten Cirebon. Skripsi.
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Rachmani, C., Rifardi, M. Ghalib. 2017. Sediment and Coastline Change Analysis of
Meskom Village, Riau. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Perikanan dan
Ilmu Kelautan, 4 (1).
Raharjo, P., F. Novico. 2012. Karakteristik Lingkungan Air Laut dengan Perubahan Garis
Pantai Kabupaten Cirebon - Jawa Barat. Buletin Geologi Tata Lingkungan, 22 (2):
115-127.
Rifardi. 2008. Tekstur Sedimen: Sampling dan Analisis. UNRI Press, Pekanbaru.
Saptarini, D. 2000. Coastline Changes Detection Using Remote Sensing Technique
Banten Bay Study Case. Thesis. Graduate Program. Bogor Agricultural
University, Bogor.
Sarapirome, S., A. Surinkum, P. Saksutthipong. 2002. Application of DEM data to
geological interpretation Thong Pha Phum area, Thailand. 23rd Asian Conference
on Remote Sensing. Birendra International Convention Centre, Kathmandu,
Nepal.
Sardiyatmo, Supriharyono, A. Hartoko. 2013. Dampak Dinamika Garis Pantai
Menggunakan Citra Satelit Multi Temporal Pantai Semarang Provinsi Jawa
Tengah. Jurnal Saintek Perikanan, 33-37.
Sastroprawiro, H. S., A. Sungkowo, H. Purnomo, Supomo. 1992. Geomorfologi.
Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.
Setyadi, D., N. C. Aryanto. 2008. Proses Pendangkalan di Pantai dan Lepas Pantai
Cirebon Akibat Laju Sedimentasi Asal Daratan Yang Tinggi. Jurnal Sumber
Daya Geologi, 18 (5): 299-307.
49
Setyawan, W. B. 2011. Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir
dan Aktivitas Produksi Garam di Kawasan Pesisir Mundu, Kabupaten Cirebon.
Jurnal Segara, 7 (1): 1-12.
Sexton, W. J., M. Murday. 1994. The Morphology and Sediment Character of the
Coastline of Nigeria-the Niger Delta. Journal of Coastal Research, 10 (4): 959-
977.
Solahuddin, T., E. Triarso, R. A. Troa. 2006. Sebaran dan Dinamika Sedimen Pantai
Moutong Perairan Teluk Tomini Sulawesi Tengah. Jurnal Segara, 2 (2): 42-48.
Supriadi, D. 2012. Analisis Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Skala Kecil dan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Dasar di Kota Cirebon, Jawa Barat.
Disertasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya, Malang.
Sutikno. 1993. Karakteristik Bentuk dan Geologi Pantai di Indonesia. Dirjen Pengairan
Pepartemen PU, Yogyakarta.
Thieler, E. R., E. A. Himmelstoss, J. L. Zichichi, A. Ergul. 2017. The Digital Shoreline
Analysis System (DSAS) Version 4.0 - An ArcGIS extension for calculating
shoreline change (ver. 4.4, July 2017). U.S. Geological Survei, Reston.
https://pubs.er.usgs.gov/publication/ofr20081278. (diakses tanggal 20 November
2017).
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta.
U.S. Army Corps of Engineers. 2002. Surf Zone Hydrodynamics. Part II. Department of
the Army. U.S Army Corps of Engineers, Washington DC.
U.S. Geological Survey. 2017. FAQs: What are the best spectral bands to use for my
study?. USGS - Landsat Missions: https://landsat.usgs.gov. (diakses tanggal 22
Agustus 2017)
Vreugdenhill, C. B. 1999. Transport Problems in Shallow water, Battleneeks and
Appropriate Modeling: Twente University, Department of Civil Engineering and
Management. Seminar on Sediment Transport Modelling. hal. 5-6.
Winarso, G., S. Budiman, Judijanto. 2001. The Potential Application of Remote Sensing
Data for Coastal Study. 22nd Asian Conference on Remote Sensing. CRISP NUS
and Asian Association on Remote Sensing, Singapore. hal. 1-5
Yin, J., Z. Yin, J. Wang, S. Xu. 2012. National assessment of coastal vulnerability to sea-
level rise for the Chinese coast. Journal of Coastal Conservation, 16 (1): 123–
133.
50
LAMPIRAN
51
Lampiran 2. Nilai rata-rata laju akresi/abrasi pantai Pangenan Kabupaten Cirebon
1991-1999
Zona Nilai minimum Nilai maksimum Rata-rata
Standar deviasi
(m/tahun) (m/tahun) (m/tahun)
1 2.61 12.69 8.44 3.03
2 6.1 14.78 11.65 2.4
3 9.22 17.32 14.55 2.23
4 8.27 27.15 15.97 5.52
5 -5.51 9.83 2.33 4.54
6 -44.31 4.75 -19.79 11.23
7 -19.34 3.33 -5.44 7.71
8 4.43 12.77 8.81 2.75
9 7.09 15.99 13 2.75
1999-2017
Zona Nilai minimum Nilai maksimum Rata-rata
Standar deviasi
(m/tahun) (m/tahun) (m/tahun)
1 9.71 16.21 13.08 1.88
2 8.68 11.63 10.01 0.75
3 8.96 11.95 9.98 0.85
4 1.52 3.77 2.81 0.58
5 -9.46 1.52 -2.7 3.28
6 -36.77 -9.46 -20.79 6.6
7 -7.87 2.82 -3.74 3.47
8 -8.4 -1.99 -5.55 2.18
9 -9.27 -2.62 -5.6 2.02
1991-2017
Zona Nilai minimum Nilai maksimum Rata-rata
Standar deviasi
(m/tahun) (m/tahun) (m/tahun)
1 10.65 12.71 11.62 0.65
2 9.88 11.64 10.52 0.48
3 10.6 12.28 11.42 0.53
4 3.65 10.32 6.97 1.95
5 -8.21 3.65 -1.12 3.56
6 -30.46 -8.21 -20.47 5.58
7 -7.9 0.29 -4.28 2.35
8 -2.85 1.8 -1.02 1.47
9 -1.45 1.17 0.27 0.82
52
Lampiran 3. Nilai parameter distribusi frekuensi butir sedimen dalam satuan phi (ɸ)
Stasiun Ø5 Ø16 Ø25 Ø50 Ø75 Ø84 Ø95
1 6.56 6.26 6.01 4.86 4.31 4.11 3.86
2 6.49 6.21 5.98 5.10 4.40 4.17 3.88
3 7.02 6.84 6.70 4.74 4.24 4.06 3.83
4 3.72 2.49 2.20 1.40 0.42 -0.25 -1.07
5 6.33 5.67 4.74 3.84 2.83 2.14 1.15
6 6.37 5.85 5.36 4.25 2.62 1.73 0.41
7 6.39 5.87 5.35 4.58 4.16 4.01 3.83
8 6.43 5.89 5.35 4.60 4.18 4.02 3.84
9 6.38 5.86 5.35 4.57 4.16 4.02 3.83
53