Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
D. STANDAR KOMPENTESI
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran pada Farmakologi dan Toksikologi 2,
mahasiswa akan mampu :
1. -
2. Mengetahui macam- macam hewan yang dapat digunakan sebagai hewan
coba, mengetahui macam-macam rute pemberian obat serta mampu
memegang, menandai dan menangani hewan coba
3. Mengenali dan mengetahui efek obat kolinergik dan antikolinergik
4. Mengenali dan mengetahui efek obat kolinergik dan antikolinergik
5. Membedakan efek obat sedatif dan hipnotik
6. Membedakan efek obat sedatif dan hipnotik
7. Memahami efek berbagai dosis kafein sebagai stimulan
8. Memahami efek berbagai dosis kafein sebagai stimulan
9. Mengenal penggolongan obat analgetika dan obat – obat analgetika
10. Mengenal penggolongan obat analgetika dan obat – obat analgetika
11. Memahami proses terjadinya inflamasi dan mampu mengenal obat – obat anti
inflamasi
12. Memahami proses terjadinya inflamasi dan mampu mengenal obat – obat anti
inflamasi
13. Mengenal obat anti piretik dan cara kerjanya
14. Mengenal obat anti piretik dan cara kerjanya
15. –
16. –
KEGIATAN BELAJAR 1
RESPONSI PRAKTIKUM
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan hal – hal terkait
praktikum yang akan dilaksanakan sepanjang semester ganjil beserta aturan yang
berlaku di Laboratorium
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan hal – hal terkait
praktikum yang akan dilaksanakan sepanjang semester ganjil beserta aturan yang
berlaku di Laboratorium
B. PENYAJIAN
-
C. PENUTUP
1. Tes Formatif
2. Rujukan
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan mengetahui cara penanganan hewan coba dan
harus mengetahui cara penandaan hewan coba. Selain itu juga, wajib mengetahui
cara pemberian obat secara peroral pada hewan coba.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mengetahui cara penanganan hewan
coba dan harus mengetahui cara penandaan hewan coba. Selain itu juga, wajib
mengetahui cara pemberian obat secara peroral pada hewan coba.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap
sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran
senyawa tersebut disebut obat, dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari
manfaat dan resiko penggunaan obat. Karena itu dikatakan farmakologi merupakan
seni menimbang ( the art of weighing).
Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah,
mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi
tertentu, misalnya membuat seseorang infertil, atau melumpuhkan otot rangka
selama pembedahan hewan coba. Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus
dengan farmasi, yaitu ilmu cara membuat, menformulasi, menyimpan dan
menyediakan obat.
Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah
hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan
percobaan digunakan untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada
manusia. Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan
sejak puluhan tahun yang lalu. Personel yang melakukan eksperimen hewan juga
harus terlatih dalam penanganan dan pengekangan hewan coba. Setiap orang, baik
praktikan maupun peneliti yang bekerja di laboratorium yang menggunakan hewan
percobaan hendaknya membaca :
Petunjuk memelihara dan menggunakan hewan percobaan.
Dasar-dasar pemeliharaan hewan percobaan.
Bahan
Hewan coba (tikus dan mencit)
Aquadest
3. Prosedur Kerja
1. Puasakan hewan coba selama ±8 jam namun tetap diberi air ad libitum sebelum
hewan coba digunakan
2. Keluarkan hewan coba dari dalam kandang dan letakkan hewan coba pada
sebuah rang kawat
3. Beri tanda pada hewan coba dengan memberi garis pada ekor hewan coba
menggunakan spidol permanen
4. Masukkan ekor hewan coba (tikus dan mencit) ke dalam celah antara jari
kelingking dan jari manis, kemudian jari telunjuk dan ibu jari digunakan untuk
menahan tengkuk hewan coba.
5. Arahkan muka hewan coba ke arah praktikan.
6. Masukkan sonde lambung yang berisis 1 ml aquadest melalui bagian kiri mulut
hewan coba dan dorong perlahan sampai ca. ¾ atau seluruh bagian jarum masuk
ke dalam mulut hewan coba sampai ujung jarum mencapai lambung hewan coba
7. Injeksikan aquadest secara perlahan ke dalam lambung hewan coba dan
usahakan tidak ada cairan yang dimuntahkan.
8. Keluarkan jarum sonde lambung dari mulut hewan coba dan hewan coba
dikembalikan ke dalam kandang.
C. PENUTUP
1. Tes Formatif
2. Rujukan
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan memahami efek obat kolinergik pada kelenjar
ludah dan memahami efek obat antikolinergik pada kelenjar ludah.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu memahami efek obat
kolinergik pada kelenjar ludah dan mampu memahami efek obat antikolinergik
pada kelenjar ludah.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Pemberian zat kolinergik pada hewan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi
yang dapat dihambat oleh zat antikolinergik. Eksperimen dapat digunakan sebagai
landasan untuk mengevaluasi efek zat kolinergik pada neuroefektor dan untuk
mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi sebagai antagonisme. Hewan
yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.
Pilokarpin adalah suatu parasimpatomimetik kuat yang bekerja pada organ-
organ yang diinervasi oleh sistem saraf kolinergik post ganglion. Pilokarpin tidak
memperkuat kerja asetilginin. Pilokarpin merangsang sekresi kelenjar-kelenjar
ludah, bronkhi, lambung, dan usus. Penambahan aktivitas dari kelenjar-kelenjar
menyebabkan lancarnya peredaran darah pada kelenjar-kelenjar itu sendiri,
sebagian akibat aktivitas kelenjar-kelenjar itu sendiri, sebagian lain oleh pengaruh
pilokarpin yang memiliki efek dilatasi terhadap pembuluh-pembuluh darah
kelenjar. Pilokarpin sering dipakai untuk merangsang pembentukan (pengeluaran)
saliva pada penderita yang mengeluh mulut kering selama pengobatan dengan
ganglion bloker.
2. Alat dan Bahan
Alat
Alat suntik dan jarum suntik
Kaca pembesar
Kertas saring (dicampur metilen blue)
Bahan
Fenobarbital Natrium 80 mg/Kg BB (I.P)(5%)
Pilokarpin Nitrat 5 mg / kg bb (i.m) (0,2 %)
Atropin Sulfat 0,25 mg / kg bb (i.p) (0,1%)
Hewan Coba yang digunakan adalah mencit
3. Prosedur Kerja
1. Mencit disedasikan dengan fenobarbital (i.p) ditunggu 15-30 menit atau
sampai mencit tertidur
2. Pilokarpin disuntikkan (i.m) dan dicatat waktu penyuntikan.
3. Mencit ditidurkan pada kertas saring yang telah dicampur dengan serbuk
metilen blue
4. Saliva yang diekskresikan akan keluar dari mulut mencit dan membasahi
kertas saring (catat saat muncul efek salivasi) selama 5 menit.
5. Diameter saliva mencit diukur untuk mengukur luas area saliva yang
tertampung.
6. Dengan segera atropin sulfat disuntikkan pada mencit.
7. Mencit ditidurkan di kertas saring yang baru selama 5 menit.
8. Diameter saliva mencit diukur untuk mengukur luas area saliva yang
tertampung.
9. Luas area setelah pemberian pilokarpin dan atropin dibandingkan.
Pengamatan
Pengamatan Pengamatan I (5 menit) Pengamatan ke II (5 menit)
I Aquadest Aquadest
II Pilokarpin Pilokarpin
III Pilokarpin Atropin Sulfat
IV Atropin Sulfat Pilokarpin
Tabel Pengamatan
Bahan Uji Dosis (mg/Kg) Rute Pemberian Luas Area selama 5 menit
Kontrol (aquadest) - i.p
Pilokarpin 5 i.m
Atropin Sulfat 0.25 i.p
C. PENUTUP
1. Tes Formatif
2. Rujukan
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan memahami efek obat kolinergik pada kelenjar
ludah dan memahami efek obat antikolinergik pada kelenjar ludah.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu memahami efek obat
kolinergik pada kelenjar ludah dan mampu memahami efek obat antikolinergik
pada kelenjar ludah.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Pemberian zat kolinergik pada hewan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi
yang dapat dihambat oleh zat antikolinergik. Eksperimen dapat digunakan sebagai
landasan untuk mengevaluasi efek zat kolinergik pada neuroefektor dan untuk
mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi sebagai antagonisme. Hewan
yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.
Pilokarpin adalah suatu parasimpatomimetik kuat yang bekerja pada organ-
organ yang diinervasi oleh sistem saraf kolinergik post ganglion. Pilokarpin tidak
memperkuat kerja asetilginin. Pilokarpin merangsang sekresi kelenjar-kelenjar
ludah, bronkhi, lambung, dan usus. Penambahan aktivitas dari kelenjar-kelenjar
menyebabkan lancarnya peredaran darah pada kelenjar-kelenjar itu sendiri,
sebagian akibat aktivitas kelenjar-kelenjar itu sendiri, sebagian lain oleh pengaruh
pilokarpin yang memiliki efek dilatasi terhadap pembuluh-pembuluh darah
kelenjar. Pilokarpin sering dipakai untuk merangsang pembentukan (pengeluaran)
saliva pada penderita yang mengeluh mulut kering selama pengobatan dengan
ganglion bloker.
2. Alat dan Bahan
Alat
Alat suntik dan jarum suntik
Kaca pembesar
Kertas saring (dicampur metilen blue)
Bahan
Fenobarbital Natrium 80 mg/Kg BB (I.P)(5%)
Pilokarpin Nitrat 5 mg / kg bb (i.m) (0,2 %)
Atropin Sulfat 0,25 mg / kg bb (i.p) (0,1%)
Hewan Coba yang digunakan adalah mencit
3. Prosedur Kerja
1. Mencit disedasikan dengan fenobarbital (i.p) ditunggu 15-30 menit atau
sampai mencit tertidur
2. Pilokarpin disuntikkan (i.m) dan dicatat waktu penyuntikan.
3. Mencit ditidurkan pada kertas saring yang telah dicampur dengan serbuk
metilen blue
4. Saliva yang diekskresikan akan keluar dari mulut mencit dan membasahi
kertas saring (catat saat muncul efek salivasi) selama 5 menit.
5. Diameter saliva mencit diukur untuk mengukur luas area saliva yang
tertampung.
6. Dengan segera atropin sulfat disuntikkan pada mencit.
7. Mencit ditidurkan di kertas saring yang baru selama 5 menit.
8. Diameter saliva mencit diukur untuk mengukur luas area saliva yang
tertampung.
9. Luas area setelah pemberian pilokarpin dan atropin dibandingkan.
Pengamatan
Pengamatan Pengamatan I (5 menit) Pengamatan ke II (5 menit)
I Aquadest Aquadest
II Pilokarpin Pilokarpin
III Pilokarpin Atropin Sulfat
IV Atropin Sulfat Pilokarpin
Tabel Pengamatan
Bahan Uji Dosis (mg/Kg) Rute Pemberian Luas Area selama 5 menit
Kontrol (aquadest) - i.p
Pilokarpin 5 i.m
Atropin Sulfat 0.25 i.p
C. PENUTUP
1. Tes Formatif
2. Rujukan
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan membedakan efek obat sedatif dan hipnotik
pada hewan coba dan juga mengetahui berbagai instrumen yang dapat digunakan
untuk menguji efek sedative.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu membedakan efek obat sedatif
dan hipnotik pada hewan coba dan juga mampu mengetahui berbagai instrumen
yang dapat digunakan untuk menguji efek sedative.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Sedatif adalah obat yang dapat mengurangi kecemasan dan menimbulkan efek
menenangkan tanpa menimbulkan gangguan pada fungsi mental maupun motorik.
Derajat depresi yang ditimbulkan oleh sedatif harus sesuai dengan efektifitas yang
diharapkan.
Hipnotik adalah obat yang dapat menimbulkan dan mempertahankan keadaan
tidur seperti tidur yang alami (diawali dengan rasa kantuk). Depresi yang
ditimbulkan lebih kuat daripada sedatif. Pada umumnya, obat sedatif dapat
menimbulkan efek hipnotik dengan meningkatkan dosis pemberian.
Bahan :
Obat Phenobarbital – Na (Larutan 5%) 40 mg/Kg BB (i.p); 80 mg/Kg
BB (i.p)
Hewan coba : Mencit Jantan
3. Prosedur Kerja
1. Tiap kelompok 1 ekor mencit beserta dosis yang ditentukan
Pengamatan (Menit)
Kelompok Kelompok
Activity Hole
Pengamatan Perlakuan Platform Rotarod
Cage Board
I Kontrol 20 20 5 3
II F40 - 20 5 -
III F40 20 - - 3
IV F80 20 20 5 3
Ket : F40 : Fenobarbital – Na 40 mg/Kg BB
F80 : Fenobarbital – Na 80 mg/Kg BB
2. Perlakuan
Obat disuntikkan secara per ip pada kelompok perlakuan II, III, dan IV.
Letakkan mencit pada alat pengamatan
Platform
Dilakukan pengamatan pada aktivitas, sikap tubuh, jumlah
jengukan/menit, dan kecepatan napas/menit masing-masing pada menit
ke-5, 10, 15, dan 20. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel
Rotarod
Setelah diamati di platform selama 20 menit, mencit diletakkan di
atas rotarod. Dilakukan pencatatan selisih waktu sejak mencit
diletakkan hingga jatuh dari rotarod. Data yang diperoleh dimasukkan
ke dalam tabel.
Activity Cage
Mencit dimasukkan ke dalam activity cage segera setelah
penyuntikan obat. Dilakukan pencatatan jumlah aktivitas pada menit
ke-5, 10, 15, dan 20. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Hole Board
Setelah 20 menit berada di dalam activity cage, mencit diletakkan
di tengah hole board. Dilakukan penghitungan jumlah jengukan kepala
mencit ke dalam lubang selama 5 menit. Data yang diperoleh
dimasukkan ke dalam tabel.
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan membedakan efek obat sedatif dan hipnotik
pada hewan coba dan juga mengetahui berbagai instrumen yang dapat digunakan
untuk menguji efek sedative.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu membedakan efek obat sedatif
dan hipnotik pada hewan coba dan juga mampu mengetahui berbagai instrumen
yang dapat digunakan untuk menguji efek sedative.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Sedatif adalah obat yang dapat mengurangi kecemasan dan menimbulkan efek
menenangkan tanpa menimbulkan gangguan pada fungsi mental maupun motorik.
Derajat depresi yang ditimbulkan oleh sedatif harus sesuai dengan efektifitas yang
diharapkan.
Hipnotik adalah obat yang dapat menimbulkan dan mempertahankan keadaan
tidur seperti tidur yang alami (diawali dengan rasa kantuk). Depresi yang
ditimbulkan lebih kuat daripada sedatif. Pada umumnya, obat sedatif dapat
menimbulkan efek hipnotik dengan meningkatkan dosis pemberian.
Bahan :
Obat Phenobarbital – Na (Larutan 5%) 40 mg/Kg BB (i.p); 80 mg/Kg
BB (i.p)
Hewan coba : Mencit Jantan
3. Prosedur Kerja
1. Tiap kelompok 1 ekor mencit beserta dosis yang ditentukan
Pengamatan (Menit)
Kelompok Kelompok
Activity Hole
Pengamatan Perlakuan Platform Rotarod
Cage Board
I Kontrol 20 20 5 3
II F40 - 20 5 -
III F40 20 - - 3
IV F80 20 20 5 3
Ket : F40 : Fenobarbital – Na 40 mg/Kg BB
F80 : Fenobarbital – Na 80 mg/Kg BB
2. Perlakuan
Obat disuntikkan secara per ip pada kelompok perlakuan II, III, dan
IV. Letakkan mencit pada alat pengamatan
Platform
Dilakukan pengamatan pada aktivitas, sikap tubuh, jumlah
jengukan/menit, dan kecepatan napas/menit masing-masing pada
menit ke-5, 10, 15, dan 20. Data yang diperoleh dimasukkan ke
dalam tabel
Rotarod
Setelah diamati di platform selama 20 menit, mencit diletakkan
di atas rotarod. Dilakukan pencatatan selisih waktu sejak mencit
diletakkan hingga jatuh dari rotarod. Data yang diperoleh
dimasukkan ke dalam tabel.
Activity Cage
Mencit dimasukkan ke dalam activity cage segera setelah
penyuntikan obat. Dilakukan pencatatan jumlah aktivitas pada
menit ke-5, 10, 15, dan 20. Data yang diperoleh dimasukkan ke
dalam tabel.
Hole Board
Setelah 20 menit berada di dalam activity cage, mencit
diletakkan di tengah hole board. Dilakukan penghitungan jumlah
jengukan kepala mencit ke dalam lubang selama 5 menit. Data
yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan memahami efek berbagai dosis kafein sebagai
stimulant dan mengenal macam-macam alat yang dapat digunakan untuk uji efek
stimulant.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu memahami efek berbagai dosis
kafein sebagai stimulant dan mampu mengenal macam-macam alat yang dapat
digunakan untuk uji efek stimulant.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Kafein merupakan derivat xanthin yang banyak terdapat pada teh dan kopi.
Pada susunan saraf pusat, kafein menstimulasi aktivitas mental dan meningkatkan
kapasitas untuk bekerja lebih lama.Mekanisme kerja kafein adalah dengan
memblok reseptor adenosin sehingga adenosin tidak dapat memodulasi aktivitas
adenylyl cyclase. Adenosin menyebabkan sedasi, sedangkan antagonisnya seperti
kafein memberikan efek stimulasi. Selain itu, kafein diduga menyebabkan
pelepasan asam amino eksitator pada susunan saraf pusat seperti glutamat dan
aspartat.
3. Prosedur Kerja
1. Tiap kelompok mendapat 1 ekor mencit beserta dosis yang ditentukan.
Kelompok Kelompok Lama Pengamatan (5 Menit)
Praktikum Perlakuan Activity Cage Platform Hole Board
I C25 15 15 5
II C 50 15 15 5
III C 75 15 15 5
IV Kontrol 15 15 5
2. Perlakuan
Obat disuntikkan secara per ip pada kelompok perlakuan II, III, dan
IV. Letakkan mencit pada alat pengamatan.
Activity Cage
Mencit dimasukkan ke dalam activity cage segera setelah
penyuntikan obat. Dilakukan pencatatan jumlah aktivitas pada menit
ke-5, 10, dan 15. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Platform
Dilakukan pengamatan pada aktivitas, sikap tubuh, jumlah
jengukan/menit, dan kecepatan napas/menit masing-masing pada
menit ke-5, 10, dan 15. Diamati pula toxic response seperti straub
effect, agresitivitas, piloereksi, dan kewaspadaan pada lingkungan.
Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Hole Board
Mencit diletakkan di tengah hole board. Dilakukan
penghitungan jumlah jengukan kepala mencit ke dalam lubang
selama 5 menit. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
C. PENUTUP
1. Tes Formatif
2. Rujukan
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan memahami efek berbagai dosis kafein sebagai
stimulant dan mengenal macam-macam alat yang dapat digunakan untuk uji efek
stimulant.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu memahami efek berbagai dosis
kafein sebagai stimulant dan mampu mengenal macam-macam alat yang dapat
digunakan untuk uji efek stimulant.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Kafein merupakan derivat xanthin yang banyak terdapat pada teh dan kopi.
Pada susunan saraf pusat, kafein menstimulasi aktivitas mental dan meningkatkan
kapasitas untuk bekerja lebih lama.Mekanisme kerja kafein adalah dengan
memblok reseptor adenosin sehingga adenosin tidak dapat memodulasi aktivitas
adenylyl cyclase. Adenosin menyebabkan sedasi, sedangkan antagonisnya seperti
kafein memberikan efek stimulasi. Selain itu, kafein diduga menyebabkan
pelepasan asam amino eksitator pada susunan saraf pusat seperti glutamat dan
aspartat.
3. Prosedur Kerja
1. Tiap kelompok mendapat 1 ekor mencit beserta dosis yang ditentukan.
Kelompok Kelompok Lama Pengamatan (5 Menit)
Praktikum Perlakuan Activity Cage Platform Hole Board
I C25 15 15 5
II C 50 15 15 5
III C 75 15 15 5
IV Kontrol 15 15 5
2. Perlakuan
Obat disuntikkan secara per ip pada kelompok perlakuan II, III dan IV.
Letakkan mencit pada alat pengamatan.
Activity Cage
Mencit dimasukkan ke dalam activity cage segera setelah
penyuntikan obat. Dilakukan pencatatan jumlah aktivitas pada menit
ke-5, 10, dan 15. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Platform
Dilakukan pengamatan pada aktivitas, sikap tubuh, jumlah
jengukan/menit, dan kecepatan napas/menit masing-masing pada
menit ke-5, 10, dan 15. Diamati pula toxic response seperti straub
effect, agresitivitas, piloereksi, dan kewaspadaan pada lingkungan.
Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
Hole Board
Mencit diletakkan di tengah hole board. Dilakukan
penghitungan jumlah jengukan kepala mencit ke dalam lubang
selama 5 menit. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel.
C. PENUTUP
1. Tes Formatif
2. Rujukan
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan mengenal beberapa metode pengujian analgetika
dan menerapkannya, selanjutnya mahasiswa wajib mengenal penggolongan dari
analgetika dan obat-obat analgetika.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu mengenal beberapa metode
pengujian analgetika dan menerapkannya, selanjutnya mahasiswa wajib mengenal
penggolongan dari analgetika dan obat-obat analgetika.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Obat analgetik atau analgetika adalah obat yang dapat menghilangkan atau
mengurangi rasa sakit. Berbeda dengan obat anestetik atau anestetika, analgetika
tidak mempunyai atau sedikit pengaruhnya terhadap sensasi yang lain selain rasa
sakit. Sebab-sebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, kimiawi,
listrik, dan panas, yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan
pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain
histamin, serotonin (5-HT), bradikinin, dan prostaglandin. Zat-zat ini merangsang
reseptor-reseptor nyeri yang terletak pada ujung-ujung saraf nyeri di kulit, selaput
lendir, dan jaringan-jaringan lain.
Rangsangan nyeri diteruskan melalui saraf-saraf sensorik ke SSP melalui
sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak
besar dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Analgetika dapat digolongkan
ke dalam 2 golongan besar yaitu analgetika opioid dan non opioid.
a) Analgetika Opioid
Analgetika opioid merupakan obat penghilang rasa sakit golongan
opioid asli atau sintetiknya yang memiliki morphine-like action. Analgetik
jenis ini dapat menimbulkan ketergantungan bila dipakai dalam dosis yang
tidak sesuai. Termasuk di dalam golongan ini adalah morfin, kodein, dan
senyawa sintetiknya misalnya meperidin (pethidine), levorfanol, metadon,
propoksifen, pentazozin,dan propiram.
Efek analgetik dari analgetika opioid sebenarnya merupakan salah satu
dari efek-efek yang timbul akibat teraktivasinya reseptor opioid. Reseptor
ini teraktivasi oleh beberapa transmitor yang berperan dalam mengatasi
rasa nyeri. Transmitor tersebut merupakan suatu peptida (enkefalin,
endorfin, dan dinorfin). Walaupun secara kimiawi analgetika opioid itu
berbeda-beda sifatnya, tetapi mempunyai efek sesuai dengan receptor
opioid mana yang lebih banyak dipengaruhi. Receptor (mu) dan
(kappa) berhubungan dengan khasiat analgetika, receptor (sigma)
bertanggungjawab terhadap efek disforia atau efek terhadap
psikotomimetik dan receptor (delta) bertanggungjawab terhadap
timbulnya efek pada tingkah laku atau afektif. Dengan demikian efek yang
timbul pada pemakaian narkotika tergantung pada reseptor mana yang
banyak dipengaruhi.
b) Analgetika Non Opioid
Analgetika non opioid sering juga disebut analgetika-antipiretika.
Umumnya obat ini dibagi dalam golongan salisilat, derivat pirazolon,
derivat para-aminofenol, asam organik, dll. Beberapa obat dari golongan
tersebut juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga sering juga
dimasukkan dan dibicarakan dalam obat antiinflamasi non steroid atau
NSAIDs (Non Steroid Antiinflammatory Drugs).
Pada umumnya efek analgetika dari suatu non opioid terjadi melalui
pengaruhnya pada rangkaian peran prostaglandin dalam patofisiologi nyeri
terutama karena peradangan. Salisilat, derivate pirazolon, asam organik
propionat, dan mefenamat mempunyai lebih kuat dalam menghambat
sintesis prostaglanding bila dibandingkan derivat para-aminofenol. Dengan
demikian selain efek analgetik dan antipiretiknya, efek antiinflamasi obat-
obat tersebut lebih kuat daripada parasetamol.
2. Alat dan Bahan
Alat :
Alat suntik 1 ml
Jarum suntik
Basile plantar test
Timbangan
Bahan :
Larutan antalgin 50 % dosis 500 mg, 750 mg / 70 kgBB
Larutan kodein HCl 0,2% dosis 30 mg, 50 mg / 70 kgBB
Hewan Coba : Tikus Jantan dan Mencit Jantan
3. Prosedur Kerja
1. Tikus diletakkan dalam wadah plantar dan dibiarkan beradaptasi selama 5
menit (terlihat tikus mulai tenang, tidak banyak bergerak)
2. Dilakukan uji pada tikus dan dicatat waktu yang diperlukan sampai tikus
mengangkat dan menjilat kaki depan sebagai waktu respon. Catat sebagai
respon normal atau respon sebelum perlakuan.
3. Tikus diambil dari wadah plantar dan berikan obat secara intraperitoneal
kepada tikus kemudian letakkan lagi pada wadah
4. Tikus dibiarkan selama 15 menit untuk memberikan mula kerja dari obat.
5. Dilakukan kembali uji pada tikus dan dicatat waktu responnya pada menit ke-
15, 30, 45, 60 setelah pemberian obat
6. Dibuat grafik dari hasil pengamatan masing – masing untuk obat A dan B
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan mengenal beberapa metode pengujian analgetika
dan menerapkannya, selanjutnya mahasiswa wajib mengenal penggolongan dari
analgetika dan obat-obat analgetika.
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu mengenal beberapa metode
pengujian analgetika dan menerapkannya, selanjutnya mahasiswa wajib mengenal
penggolongan dari analgetika dan obat-obat analgetika.
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Obat analgetik atau analgetika adalah obat yang dapat menghilangkan atau
mengurangi rasa sakit. Berbeda dengan obat anestetik atau anestetika, analgetika
tidak mempunyai atau sedikit pengaruhnya terhadap sensasi yang lain selain rasa
sakit. Sebab-sebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, kimiawi,
listrik, dan panas, yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan
pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain
histamin, serotonin (5-HT), bradikinin, dan prostaglandin. Zat-zat ini merangsang
reseptor-reseptor nyeri yang terletak pada ujung-ujung saraf nyeri di kulit, selaput
lendir, dan jaringan-jaringan lain.
Rangsangan nyeri diteruskan melalui saraf-saraf sensorik ke SSP melalui
sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak
besar dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Analgetika dapat digolongkan
ke dalam 2 golongan besar yaitu analgetika opioid dan non opioid.
a) Analgetika Opioid
Analgetika opioid merupakan obat penghilang rasa sakit golongan
opioid asli atau sintetiknya yang memiliki morphine-like action.
Analgetik jenis ini dapat menimbulkan ketergantungan bila dipakai
dalam dosis yang tidak sesuai. Termasuk di dalam golongan ini adalah
morfin, kodein, dan senyawa sintetiknya misalnya meperidin
(pethidine), levorfanol, metadon, propoksifen, pentazozin,dan
propiram.
Efek analgetik dari analgetika opioid sebenarnya merupakan salah
satu dari efek-efek yang timbul akibat teraktivasinya reseptor opioid.
Reseptor ini teraktivasi oleh beberapa transmitor yang berperan dalam
mengatasi rasa nyeri. Transmitor tersebut merupakan suatu peptida
(enkefalin, endorfin, dan dinorfin). Walaupun secara kimiawi
analgetika opioid itu berbeda-beda sifatnya, tetapi mempunyai efek
sesuai dengan receptor opioid mana yang lebih banyak dipengaruhi.
Receptor (mu) dan (kappa) berhubungan dengan khasiat analgetika,
receptor (sigma) bertanggungjawab terhadap efek disforia atau efek
terhadap psikotomimetik dan receptor (delta) bertanggungjawab
terhadap timbulnya efek pada tingkah laku atau afektif. Dengan
demikian efek yang timbul pada pemakaian narkotika tergantung pada
reseptor mana yang banyak dipengaruhi.
b) Analgetika Non Opioid
Analgetika non opioid sering juga disebut analgetika-antipiretika.
Umumnya obat ini dibagi dalam golongan salisilat, derivat pirazolon,
derivat para-aminofenol, asam organik, dll. Beberapa obat dari
golongan tersebut juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga sering
juga dimasukkan dan dibicarakan dalam obat antiinflamasi non steroid
atau NSAIDs (Non Steroid Antiinflammatory Drugs).
Pada umumnya efek analgetika dari suatu non opioid terjadi
melalui pengaruhnya pada rangkaian peran prostaglandin dalam
patofisiologi nyeri terutama karena peradangan. Salisilat, derivate
pirazolon, asam organik propionat, dan mefenamat mempunyai lebih
kuat dalam menghambat sintesis prostaglanding bila dibandingkan
derivat para-aminofenol. Dengan demikian selain efek analgetik dan
antipiretiknya, efek antiinflamasi obat-obat tersebut lebih kuat daripada
parasetamol.
2. Alat dan Bahan
Alat :
Alat suntik 1 ml
Jarum suntik
Basile plantar test
Timbangan
Bahan :
Larutan antalgin 50 % dosis 500 mg, 750 mg / 70 kgBB
Larutan kodein HCl 0,2% dosis 30 mg, 50 mg / 70 kgBB
Hewan Coba : Tikus Jantan dan Mencit Jantan
3. Prosedur Kerja
1. Tikus diletakkan dalam wadah plantar dan dibiarkan beradaptasi selama 5
menit (terlihat tikus mulai tenang, tidak banyak bergerak)
2. Dilakukan uji pada tikus dan dicatat waktu yang diperlukan sampai tikus
mengangkat dan menjilat kaki depan sebagai waktu respon. Catat sebagai
respon normal atau respon sebelum perlakuan.
3. Tikus diambil dari wadah plantar dan berikan obat secara intraperitoneal
kepada tikus kemudian letakkan lagi pada wadah
4. Tikus dibiarkan selama 15 menit untuk memberikan mula kerja dari obat.
5. Dilakukan kembali uji pada tikus dan dicatat waktu responnya pada menit ke-
15, 30, 45, 60 setelah pemberian obat
6. Dibuat grafik dari hasil pengamatan masing – masing untuk obat A dan B
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan memahami bagaimana proses terjadinya
inflamasi dan mahasiswa wajib mengenal obat-obat anti inflamasi dan
penggolongannya
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu memahami proses terjadinya
inflamasi dan mahasiswa mampu mengenal obat-obat anti inflamasi dan
penggolongannya
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang
memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat
dicapai melalui proses penghambatan terbentuknya mediator radang
(prostaglandin) dari tempat-tempat pembentukannya. Berdasarkan mekanisme
kerjanya, obat antiinflamasi terbagi dalam 2 golongan yaitu :
Golongan steroid : bekerja dengan cara menghambat pelepasan
prostaglandin dari sel-sel sumbernya, contoh : kortikosteroid
golongan non steroid : bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi
siklooksigenase yang berperan pada biosintesa prostaglandin, contoh :
aspirin, indometasin, fenilbutason, dll.
Sampai sekarang fenomena pada tingkat bioseluler masih belum dapat
dijelaskan secara rinci, walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan
disepakati. Fenomena inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya
permeabilitas kapiler, dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses
radang yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor, dan functio laesa.
Selama berlangsungnya fenomena radang banyak mediator kimiawi yang
dilepaskan secara lokal antara lain : histamin, 5-HT, faktor kemotaktik, bradikinin,
leukotrien, dan prostaglandin.
Obat-obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi non steroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Hal ini didasarkan atas
penghambatan prostaglandin. Golongan obat ini menghambat enzim
siklooksigenase hingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap
obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Obat-obat AINS
ditinjau dari segi efektivitasnya dapat dibagi dalam 3 kelompok :
Efek antiinflamsi lemah : paracetamol
Efek antiinflamasi ringan
a. Derivat asam propionat : fenbufen, ketoprofen, ibuprofen,
naproksen
b. Derivat asam fenamat : asam mefenamat
c. Obat non asam : nabumeton
Efek antiinflamasi kuat
a. Derivat asam salisilat : aspirin, diflunisal , benorilat, salsalat
b. Derivat pirasolon : oksifenbutason, antipirin, aminopirin
c. Derivat indol asam asetat : diklofenak, indometasin, sulindak,
tolmetin
d. Derivat oksikam : piroksikam
Bahan
Profenid (ketoprofen) 5 % Dosis : 50 mg / 70 kgBB
Voltaren (Na. diklofenak) 2,5 % Dosis : 50 mg / 70 kgBB
Bahan induksi inflamasi : Larutan karagenan 1 % dalam air suling
(dibuat semalam sebelum percobaan digerus dengan PGA), volume
penyuntikan 0,1 ml (subkutan, intraplantar)
Hewan percobaan: tikus putih wistar, berat badan ± 100 g dipuasakan 18 jam
sebelum eksperimen (minum ad libidum).
3. Prosedur Kerja
1. Sebelum mulai percobaan, tikus ditimbang berat badannya kemudian diberi
tanda untuk tiap - tiap tikus
2. Dengan spidol berikan tanda batas pada sendi kaki belakang kiri/kanan untuk
setiap tikus ini bertujuan agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali
selalu sama
3. Pada tahap awal, volume kaki setiap tikus diukur dan digunakan sebagai
volume dasar untuk setiap tikus (volume kaki saat t=0). Pada setiap kali
pengukuran volume tinggi cairan pada alat diperiksa dan dicatat sebelum dan
sesudah pengukuran. Diusahakan jangan sampai ada air raksa yang tumpah.
4. Penyuntikan dapat dilakukan dengan 2 cara :
a. Cara I
Karagenan disuntikkan secara intraplantar sebanyak 0,1 ml
pada telapak kaki kiri/kanan tikus yang telah ditandai,
dibiarkan selama 10 menit setelah itu obat disuntikkan
secara intraperitoneal.
Volume kaki yang disuntik karagenan diukur pada menit ke-5
dan 10 untuk mengamati pembentukan edema.
Setelah penyuntikan obat, volume kaki pada menit ke-10, 15,
30, 45, dan 60 diukur untuk menghitung persentase inhibisi
edema.
ATAU
b. Cara II
Setelah disuntik obat langsung suntikkan karagenan secara
intraplantar sebanyak 0,1 ml pada telapak kaki kiri / kanan
tikus yang telah ditandai
Lakukan pengukuran volume kaki yang disuntik karagen
setiap 10, 15, 30, 45, dan 60 menit setelah penyuntikan obat,
untuk menghitung prosentase inhibisi edema. Catat perbedaan
volume kaki untuk setiap pengukuran.
Kelompok Praktikum Kelompok Perlakuan
I Profenid cara A
II Kontrol (Karagenan saja)+ Profenid cara B
III Voltaren cara A
IV Volataren cara B
5. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung presentase inhibisi edema dan
bandingkan hasil yang diperoleh untuk kelompok A dan B. Kemudian bahas
apakah terjadi perbedaan hasil.
C. PENUTUP
1. Tes Formatif
2. Rujukan
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Niesink, R.J.M., de Vries, J., Holinger, M.A, Toxicology, Principles and
Applications, CRC Press. Inc., New York
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-61
Vogel, H.G., 2002, Drug Discovery and Evaluation, Springer-Verlaag,
KEGIATAN BELAJAR 12
PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT ANTIINFLAMASI
A. Pendahuluan
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan memahami bagaimana proses terjadinya
inflamasi dan mahasiswa wajib mengenal obat-obat anti inflamasi dan
penggolongannya
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu memahami proses terjadinya
inflamasi dan mahasiswa mampu mengenal obat-obat anti inflamasi dan
penggolongannya
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang
memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat
dicapai melalui proses penghambatan terbentuknya mediator radang
(prostaglandin) dari tempat-tempat pembentukannya. Berdasarkan mekanisme
kerjanya, obat antiinflamasi terbagi dalam 2 golongan yaitu :
Golongan steroid : bekerja dengan cara menghambat pelepasan
prostaglandin dari sel-sel sumbernya, contoh : kortikosteroid
golongan non steroid : bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi
siklooksigenase yang berperan pada biosintesa prostaglandin, contoh :
aspirin, indometasin, fenilbutason, dll.
Sampai sekarang fenomena pada tingkat bioseluler masih belum dapat
dijelaskan secara rinci, walaupun demikian banyak hal yang telah diketahui dan
disepakati. Fenomena inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya
permeabilitas kapiler, dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses
radang yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor, dan functio laesa.
Selama berlangsungnya fenomena radang banyak mediator kimiawi yang
dilepaskan secara lokal antara lain : histamin, 5-HT, faktor kemotaktik, bradikinin,
leukotrien, dan prostaglandin.
Obat-obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi non steroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Hal ini didasarkan atas
penghambatan prostaglandin. Golongan obat ini menghambat enzim
siklooksigenase hingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap
obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Obat-obat AINS
ditinjau dari segi efektivitasnya dapat dibagi dalam 3 kelompok :
Efek antiinflamsi lemah : paracetamol
Efek antiinflamasi ringan
d. Derivat asam propionat : fenbufen, ketoprofen, ibuprofen,
naproksen
e. Derivat asam fenamat : asam mefenamat
f. Obat non asam : nabumeton
Efek antiinflamasi kuat
e. Derivat asam salisilat : aspirin, diflunisal , benorilat, salsalat
f. Derivat pirasolon : oksifenbutason, antipirin, aminopirin
g. Derivat indol asam asetat : diklofenak, indometasin, sulindak,
tolmetin
h. Derivat oksikam : piroksikam
Bahan
Profenid (ketoprofen) 5 % Dosis : 50 mg / 70 kgBB
Voltaren (Na. diklofenak) 2,5 % Dosis : 50 mg / 70 kgBB
Bahan induksi inflamasi : Larutan karagenan 1 % dalam air suling
(dibuat semalam sebelum percobaan digerus dengan PGA), volume
penyuntikan 0,1 ml (subkutan, intraplantar)
Hewan percobaan: tikus putih wistar, berat badan ± 100 g dipuasakan 18 jam
sebelum eksperimen (minum ad libidum).
2. Prosedur Kerja
1. Sebelum mulai percobaan, tikus ditimbang berat badannya kemudian diberi
tanda untuk tiap - tiap tikus
2. Dengan spidol berikan tanda batas pada sendi kaki belakang kiri/kanan untuk
setiap tikus ini bertujuan agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali
selalu sama
3. Pada tahap awal, volume kaki setiap tikus diukur dan digunakan sebagai
volume dasar untuk setiap tikus (volume kaki saat t=0). Pada setiap kali
pengukuran volume tinggi cairan pada alat diperiksa dan dicatat sebelum dan
sesudah pengukuran. Diusahakan jangan sampai ada air raksa yang tumpah.
4. Penyuntikan dapat dilakukan dengan 2 cara :
a. Cara I
Karagenan disuntikkan secara intraplantar sebanyak 0,1 ml
pada telapak kaki kiri/kanan tikus yang telah ditandai,
dibiarkan selama 10 menit setelah itu obat disuntikkan
secara intraperitoneal.
Volume kaki yang disuntik karagenan diukur pada menit ke-5
dan 10 untuk mengamati pembentukan edema.
Setelah penyuntikan obat, volume kaki pada menit ke-10, 15,
30, 45, dan 60 diukur untuk menghitung persentase inhibisi
edema.
ATAU
b. Cara II
Setelah disuntik obat langsung suntikkan karagenan secara
intraplantar sebanyak 0,1 ml pada telapak kaki kiri / kanan
tikus yang telah ditandai
Lakukan pengukuran volume kaki yang disuntik karagen
setiap 10, 15, 30, 45, dan 60 menit setelah penyuntikan obat,
untuk menghitung prosentase inhibisi edema. Catat perbedaan
volume kaki untuk setiap pengukuran.
Kelompok Praktikum Kelompok Perlakuan
I Profenid cara A
II Kontrol (Karagenan saja)+ Profenid cara B
III Voltaren cara A
IV Volataren cara B
5. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung presentase inhibisi edema dan
bandingkan hasil yang diperoleh untuk kelompok A dan B. Kemudian bahas
apakah terjadi perbedaan hasil.
C. PENUTUP
1. Tes Formatif
2. Rujukan
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Niesink, R.J.M., de Vries, J., Holinger, M.A, Toxicology, Principles and
Applications, CRC Press. Inc., New York
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-61
Vogel, H.G., 2002, Drug Discovery and Evaluation, Springer-Verlaag,
KEGIATAN BELAJAR 13
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan mengenal metode pengujian antipiretik dan
menerapkannya serta mahasiswa wajib dapat mengenal obat antipiretika dan cara
kerjanya
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu mengenal metode pengujian
antipiretik dan menerapkannya. Selain itu juga, mahasiswa diharapkan akan
mapmpu mengenal obat antipiretika dan cara kerjanya
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Antipiretika adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh pada keadaan
demam. Antipiretik mempunyai suatu efek pada termostat hipotalamus yang
berlawanan dengan zat pirogen. Penurunan demam oleh antipiretik seringkali
melalui pengurangan pembuangan panas daripada pengurangan produksi panas.
Sintesis PGE2 tergantung pada peran enzim sikooksigenase. Asam
arakhidonat merupakan substrat siklooksigenase yang dikeluarkan oleh membran
sel. Antipiretik berperan sebagai inhibitor yang poten terhadap siklooksigenase.
Potensi bermacam-macam obat secara langsung berkaitan dengan inhibisi
siklooksigenase otak. Asetaminofen merupakan penghambat siklooksigenase yang
lemah di jaringan perifer dan aktivitas antiinflamasinya tidak begitu berarti. Di
otak, asetaminofen dioksidasi oleh sistem sitokrom p450 dan bentuk teroksidasinya
menghambat enzim siklooksigenase.
2. Alat dan Bahan
Alat :
Alat suntik 1 ml, ear thermometer B-Braun
Jarum suntik
Timbangan tikus
Bahan
Parasetamol 2,6 mg/ml Dosis: 1,3 mg /20g BB (per oral)
Bahan induksi panas : pepton 5% , volume pemberian 1 ml / 200 g BB
(subkutan)
Hewan coba : mencit jantan
3. Prosedur Kerja
1. Mencit ditimbang berat badannya
2. Dilakukan pengukuran suhu tubuh mencit sebelum perlakuan (T=0)
dengan cara memasukkan ear thermometer pada telinga bagian dalam
(gendang telinga) mencit
3. Pepton disuntikkan secara s.c. pada bagian tengkuk mencit sebagai
induktor panas
4. Setelah 2 jam suhu tubuh mencit diukur. Apabila terjadi peningkatan suhu
sebesar 20C diberikan paracetamol sesuai dosis tiap kelompok secara per
oral
5. Dilakukan pengukuran suhu tubuh mencit setelah pemberian paraseramol,
yaitu pada menit ke- 15’, 30’, 45’, 60’ dan 90’
6. Catat hasil pengamatan. Buat grafik seperti berikut.
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan mengenal metode pengujian antipiretik dan
menerapkannya serta mahasiswa wajib dapat mengenal obat antipiretika dan cara
kerjanya
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu mengenal metode pengujian
antipiretik dan menerapkannya. Selain itu juga, mahasiswa diharapkan akan
mapmpu mengenal obat antipiretika dan cara kerjanya
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Antipiretika adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh pada keadaan
demam. Antipiretik mempunyai suatu efek pada termostat hipotalamus yang
berlawanan dengan zat pirogen. Penurunan demam oleh antipiretik seringkali
melalui pengurangan pembuangan panas daripada pengurangan produksi panas.
Sintesis PGE2 tergantung pada peran enzim sikooksigenase. Asam
arakhidonat merupakan substrat siklooksigenase yang dikeluarkan oleh membran
sel. Antipiretik berperan sebagai inhibitor yang poten terhadap siklooksigenase.
Potensi bermacam-macam obat secara langsung berkaitan dengan inhibisi
siklooksigenase otak. Asetaminofen merupakan penghambat siklooksigenase yang
lemah di jaringan perifer dan aktivitas antiinflamasinya tidak begitu berarti. Di
otak, asetaminofen dioksidasi oleh sistem sitokrom p450 dan bentuk teroksidasinya
menghambat enzim siklooksigenase.
2. Alat dan Bahan
Alat :
Alat suntik 1 ml, ear thermometer B-Braun
Jarum suntik
Timbangan tikus
Bahan
Parasetamol 2,6 mg/ml Dosis: 1,3 mg /20g BB (per oral)
Bahan induksi panas : pepton 5% , volume pemberian 1 ml / 200 g BB
(subkutan)
Hewan coba : mencit jantan
3. Prosedur Kerja
1. Mencit ditimbang berat badannya
2. Dilakukan pengukuran suhu tubuh mencit sebelum perlakuan (T=0)
dengan cara memasukkan ear thermometer pada telinga bagian dalam
(gendang telinga) mencit
3. Pepton disuntikkan secara s.c. pada bagian tengkuk mencit sebagai
induktor panas
4. Setelah 2 jam suhu tubuh mencit diukur. Apabila terjadi peningkatan suhu
sebesar 20C diberikan paracetamol sesuai dosis tiap kelompok secara per
oral
5. Dilakukan pengukuran suhu tubuh mencit setelah pemberian paraseramol,
yaitu pada menit ke- 15’, 30’, 45’, 60’ dan 90’
6. Catat hasil pengamatan. Buat grafik seperti berikut.
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan menghitung dosis obat Antidiare untuk hewan
uji dan menganalisis perbedaan efek diantara obat antidiare
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu menghitung dosis obat
Antidiare untuk hewan uji dan mampu menganalisis perbedaan efek diantara obat
antidiare
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Setiap hari tubuh mengeluarkan sisa dari produk metabolisme ataupun sisa
dari proses pencernaan yang tidak dapat diabsorbsi melalui mekanisme yang
dikenal sebagai ekskresi. Dua jalur ekskresi yang utama dari tubuh melalui ginjal
dan melalui anus. Produk yang keluar melalui ginjal disebut urine dan prosesnya
dikenal sebagai urinasi sedangkan produk yang dikeluarkan melalui anus dikenal
sebagai feses dan prosesnya dikenal sebagai defakasi.
Proses defakasi dan urinasi adalah proses yang normal terjadi pada tubuh kita,
namun dalam beberapa keadaan proses tersebut menjadi suatu masalah tersendiri
bagi manusia, apakah karena proses tersebut tidak terjadi, kurang terjadi atau
karena terlalu sering terjadi. Proses defakasi atau buang air besar yang terlalu
sering melewati kebiasaan dan disertai dengan bentuk feses yang encer dikenal
sebagai penyakit diare. Penyakit ini bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat
dapat membahayakan nyawa penderita.
Diare berasal dari bahasa yunani dan latin; dia artinya melewati dan rheein
yang berarti mengalir atau berlari, beberapa obat dapat digunakan untuk mengobati
diare :
a. Senyawa intralumen, obat-obat ini dapat bekerja dengan menyerap air
dan meningkatkan massa feses modifikasi tekstur, yakni perubahan
dalam viskositas feses dan penurunan fluiditas feses. Beberapa obat ini
juga dapat mengikat toksin bakteri dan garam empedu, contoh senyawa
intralumen adalah Senyawa-senyawa pembentuk massa dan bersifat
hidroskopik Koloid hidrofilik seperti psilium, polikarbofil, dan
karboksi metilseluosa, Kolestiramin dan Bismut.
b. Antimotalitas dan Antisekretori, obat-obat ini dapat bekerja dengan
mengurangi motilitas usus, sekresi usus, sebagian juga memiliki
kemampuan untuk melawan bakteri. Kelompok dari obat-obat
golongan ini adalah Opioid, Loperamid, Difeknosilat dan difenoksin,
Agonis reseptor α2-adrenergik, Oktreotid, dan Obat-obat lain
Bahan :
Tablet Loperamid
Norit
Ol. Riccini
Alkohol 70%
Aqua destilat
Tragakan
Ol. Ricini
Tablet Diapet
Tablet Papaverin HCl
Hewan coba yang digunakan : mencit jantan (BB 20 – 30 g; usia 6 – 8 minggu)
3. Prosedur Kerja
1. Membuat tragakan 1%
Panaskan kurang lebih 200 ml air hingga mendidih.
Timbang Tragakan sebanyak 1g.
Masukkan Tragakan kedalam beaker gelas 300 ml lalu tambahkan 50 ml
air panas
Aduk campuran tersebut dengan mixer hingga homogen, ditandai dengan
tidak nampaknya lagi serbuk berwarna coklat dan campuran berupa seperti
gel
Tambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga volume
larutan tersebut menjadi 100 ml, dinginkan.
2. Pembuatan suspensi Loperamid
Perhitungan Dosis oral Loperamid untuk mencit
Dosis lazim Loperamid untuk manusia = 2 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g= Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 2 mg x 0,0026 = 0,0052 mg
Untuk mencit dengan berat 30 g= (30 g/ 20 g) x 0,0052 mg
= 0,0078 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat larutan persediaan sebanyak= 100 ml
Jumlah Loperamid yang digunakan= (100 ml / 0,2 ml ) x 0,0078 mg
= 3,9 mg ~ 4 mg
= 5 mg = 0,004 g
% kadar Loperamid= (0,004 g / 100ml ) x 100%
= 0.004%
Cara Membuat Suspensi Loperamid
Tablet Loperamid tersedia dalam kadar 2 mg per-tabletnya, dikarenakan
saudara akan membuat suspensi tablet Loperamid dengan kadar 0,004 %
b/v atau 4 mg per 100 ml suspensi, maka untuk mendapatkan 4 mg
Loperamid anda membutuhkan Loperamid sebanyak 2 tablet
Pembuatan suspensi Loperamid 0,004 % b/v :
Ambil 2 tablet Loperamid lalu gerus hingga halus
Masukkan serbuk Loperamid yang sudah halus kedalam
Erlenmeyer 100 ml
(+)kan sekitar 50 ml larutan Tragakan, kocok hingga homogen
Lalu cukupkan volumenya hingga 100 ml dengan larutan Tragakan
1%
3. Pembuatan suspensi Papaverin HCl
Perhitungan Dosis oral Papaverin HCl untuk mencit
Dosis Papaverin HCl untuk manusia = 40 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 40 mg x 0,0026 = 0,104 mg
Untuk mencit dengan berat 30 g = (30 g/ 20 g) x 0,104 mg
= 0,156 mg
Dosis ini diberikan dalam volume= 0,2 ml
Dibuat larutan persediaan sebanyak= 100 ml
Jumlah Papaverin HCl yang digunakan = (100 ml / 0,2 ml ) x 0,156 mg
= 78 mg ~ 80 mg
= 80 mg = 0,08g
% kadar Papaverin HCl = (0,08 g / 100ml ) x 100%
= 0,08%
Cara membuat suspensi Papaverin HCl
Tablet Papaverin HCl tersedia dalam kadar 40 mg per-tabletnya,
dikarenakan saudara akan membuat suspensi tablet Papaverin HCl
dengan kadar 0,004 % b/v atau 4 mg per 100 ml suspensi, maka untuk
mendapatkan 4 mg Papaverin HCl anda membutuhkan Papaverin HCl
sebanyak 2 tablet
Pembuatan suspensi Papaverin HCl :
Ambil 2 tablet Papaverin HCl lalu gerus hingga halus
Masukkan serbuk Papaverin HCl yang sudah halus kedalam
Erlenmeyer 100 ml
(+)kan sekitar 50 ml larutan Tragakan, kocok hingga homogen
Lalu cukupkan volumenya hingga 100 ml dengan larutan
Tragakan 1%
4. Pembuatan suspensi Norit
Ditimbang 5 gram serbuk halus norit
Dimasukkan dalam erlenmeyer 100 ml
Ditambahkan aqua dest. Lalu kocok hingga homogen
Cukupkan volumenya hingga 100 ml dengan aqua dest
Suspensi ini harus selalu dikocok sebelum digunakan
5. Hewan coba yang digunakan adalah mencit jatan sebanyak 9 ekor.
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 3 kelompok dan masing–
masing kelompok terdiri dari 3 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam
kandang yang berbeda. Sebelum percobaan dilakukan mencit diaklimatisasi
selama 7 hari untuk membiasakan pada lingkungan percobaan, Mencit
dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar, siklus cahaya terang : gelap
(14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air minum, sebelum
perlakuan mencit dipuasakan selama 10 jam tetapi tetap diberikan air minum.
Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan tidak lebih dari 10%
serta memperlihatkan perilaku normal.
6. Mencit dikelompokkan secara acak kedalam 3 kelompok, masing-masing
terdiri dari 3 ekor
7. Kemudian tiap kelompok diberi perlakuan dimana kelompok I sebagai kontrol
diberikan larutan Tragakan 1%, kelompok II diberi suspensi Lopermid, dan
kelompok III diberi suspensi Papaverin. Semua perlakukan secara oral dengan
volume pemberian adalah 0,2 ml / 30 g BB mencit.
8. Mencit ditempatkan dalam kandang khusus secara individual yang beralaskan
kertas saring yang diketahui bobotnya
9. Setelah 30 menit perlakukan, mencit diberikan 0,01 ml oleum ricini tiap gram
berat mencit, yang diberikan secara oral
10. Respon yang terjadi pada mencit kemudian diamati yang berupa jumlah
defakasi konsistensi feses, bobot feses (pada kertas saring), onset dan durasi
diare
11. Data yang dikumpulkan berupa frekuensi defakasi, dan konsistensi defakasi.
Penentuan konsistensi feses dilakukan dengan cara melihat bentuk feses yang
terjadi. Konsistensi feses dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Konsistensi yang berlendir atau berair, dalam kelompok ini dilakukan
pengamatan lama terjadinya diare (LTD), diameter serapan air (DSA)
dan berat feses (BF)
b. Konsistensi lembek, Parameter yang digunakan untuk uji antidiare
pada konsistensi feses lembek yaitu Lama terjadinya Diare (LTD),
Diameter serapan air (DSA) dan Berat feses (BF)
c. dan konsistensi normal, Parameter yang dianalisa pada kategori
konsistensi feses normal ini adalah waktu terjadinya feses normal,
diameter serapan air dan berat feses
Tabel Pengamatan
Kelompok Hewan Uji Vol.oral Onset Durasi Berat Konsis-
Kode BB Defekasi Diare kertas tensi
(Menit) (Menit) saring Feses
(g)
Tragakan 1
2
3
Loperamid 1
2
3
Papaverin HCl 1
2
3
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613
A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi Singkat
Pada sesi ini mahasiswa akan menghitung dosis obat Antidiare untuk hewan
uji dan menganalisis perbedaan efek diantara obat antidiare
2. Relevansi
Kegiatan pembelajaran ini relevan dengan mata kuliah Farmakologi dan
Toksikologi dimana mahasiswa diharapkan mampu menghitung dosis obat
Antidiare untuk hewan uji dan mampu menganalisis perbedaan efek diantara obat
antidiare
B. PENYAJIAN
1. Landasan Teori
Setiap hari tubuh mengeluarkan sisa dari produk metabolisme ataupun sisa
dari proses pencernaan yang tidak dapat diabsorbsi melalui mekanisme yang
dikenal sebagai ekskresi. Dua jalur ekskresi yang utama dari tubuh melalui ginjal
dan melalui anus. Produk yang keluar melalui ginjal disebut urine dan prosesnya
dikenal sebagai urinasi sedangkan produk yang dikeluarkan melalui anus dikenal
sebagai feses dan prosesnya dikenal sebagai defakasi.
Proses defakasi dan urinasi adalah proses yang normal terjadi pada tubuh kita,
namun dalam beberapa keadaan proses tersebut menjadi suatu masalah tersendiri
bagi manusia, apakah karena proses tersebut tidak terjadi, kurang terjadi atau
karena terlalu sering terjadi. Proses defakasi atau buang air besar yang terlalu
sering melewati kebiasaan dan disertai dengan bentuk feses yang encer dikenal
sebagai penyakit diare. Penyakit ini bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat
dapat membahayakan nyawa penderita.
Diare berasal dari bahasa yunani dan latin; dia artinya melewati dan rheein
yang berarti mengalir atau berlari, beberapa obat dapat digunakan untuk mengobati
diare :
a. Senyawa intralumen, obat-obat ini dapat bekerja dengan menyerap air
dan meningkatkan massa feses modifikasi tekstur, yakni perubahan
dalam viskositas feses dan penurunan fluiditas feses. Beberapa obat ini
juga dapat mengikat toksin bakteri dan garam empedu, contoh senyawa
intralumen adalah Senyawa-senyawa pembentuk massa dan bersifat
hidroskopik Koloid hidrofilik seperti psilium, polikarbofil, dan
karboksi metilseluosa, Kolestiramin dan Bismut.
b. Antimotalitas dan Antisekretori, obat-obat ini dapat bekerja dengan
mengurangi motilitas usus, sekresi usus, sebagian juga memiliki
kemampuan untuk melawan bakteri. Kelompok dari obat-obat
golongan ini adalah Opioid, Loperamid, Difeknosilat dan difenoksin,
Agonis reseptor α2-adrenergik, Oktreotid, dan Obat-obat lain
Bahan :
Tablet Loperamid
Norit
Ol. Riccini
Alkohol 70%
Aqua destilat
Tragakan
Ol. Ricini
Tablet Diapet
Tablet Papaverin HCl
Hewan coba yang digunakan : mencit jantan (BB 20 – 30 g; usia 6 – 8 minggu)
3. Prosedur Kerja
1. Membuat tragakan 1%
o Panaskan kurang lebih 200 ml air hingga mendidih.
o Timbang Tragakan sebanyak 1g.
o Masukkan Tragakan kedalam beaker gelas 300 ml lalu tambahkan 50
ml air panas
o Aduk campuran tersebut dengan mixer hingga homogen, ditandai
dengan tidak nampaknya lagi serbuk berwarna coklat dan campuran
berupa seperti gel
o Tambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga
volume larutan tersebut menjadi 100 ml, dinginkan.
2. Pembuatan suspensi Loperamid
Perhitungan Dosis oral Loperamid untuk mencit
Dosis lazim Loperamid untuk manusia = 2 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 2 mg x 0,0026 = 0,0052 mg
Untuk mencit dengan berat 30 g= (30 g/ 20 g) x 0,0052 mg
= 0,0078 mg
Dosis ini diberikan dalam volume = 0,2 ml
Dibuat larutan persediaan sebanyak= 100 ml
Jumlah Loperamid yang digunakan= (100 ml / 0,2 ml ) x 0,0078 mg
= 3,9 mg ~ 4 mg
= 5 mg = 0,004 g
% kadar Loperamid= (0,004 g / 100ml ) x 100%
= 0.004%
Cara Membuat Suspensi Loperamid
Tablet Loperamid tersedia dalam kadar 2 mg per-tabletnya,
dikarenakan saudara akan membuat suspensi tablet Loperamid dengan
kadar 0,004 % b/v atau 4 mg per 100 ml suspensi, maka untuk
mendapatkan 4 mg Loperamid anda membutuhkan Loperamid
sebanyak 2 tablet
Pembuatan suspensi Loperamid 0,004 % b/v :
Ambil 2 tablet Loperamid lalu gerus hingga halus
Masukkan serbuk Loperamid yang sudah halus kedalam
Erlenmeyer 100 ml
(+)kan sekitar 50 ml larutan Tragakan, kocok hingga homogen
Lalu cukupkan volumenya hingga 100 ml dengan larutan Tragakan
1%
3. Pembuatan suspensi Papaverin HCl
Perhitungan Dosis oral Papaverin HCl untuk mencit
Dosis Papaverin HCl untuk manusia = 40 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g = Dosis Lazim x Faktor Konversi
= 40 mg x 0,0026 = 0,104 mg
Untuk mencit dengan berat 30 g = (30 g/ 20 g) x 0,104 mg
= 0,156 mg
Dosis ini diberikan dalam volume= 0,2 ml
Dibuat larutan persediaan sebanyak= 100 ml
Jumlah Papaverin HCl yang digunakan = (100 ml / 0,2 ml ) x 0,156 mg
= 78 mg ~ 80 mg
= 80 mg = 0,08g
% kadar Papaverin HCl = (0,08 g / 100ml ) x 100%
= 0,08%
Cara membuat suspensi Papaverin HCl
Tablet Papaverin HCl tersedia dalam kadar 40 mg per-tabletnya,
dikarenakan saudara akan membuat suspensi tablet Papaverin HCl
dengan kadar 0,004 % b/v atau 4 mg per 100 ml suspensi, maka untuk
mendapatkan 4 mg Papaverin HCl anda membutuhkan Papaverin HCl
sebanyak 2 tablet
Pembuatan suspensi Papaverin HCl :
Ambil 2 tablet Papaverin HCl lalu gerus hingga halus
Masukkan serbuk Papaverin HCl yang sudah halus kedalam
Erlenmeyer 100 ml
(+)kan sekitar 50 ml larutan Tragakan, kocok hingga homogen
Lalu cukupkan volumenya hingga 100 ml dengan larutan
Tragakan 1%
4. Pembuatan suspensi Norit
o Ditimbang 5 gram serbuk halus norit
o Dimasukkan dalam erlenmeyer 100 ml
o Ditambahkan aqua dest. Lalu kocok hingga homogen
o Cukupkan volumenya hingga 100 ml dengan aqua dest
o Suspensi ini harus selalu dikocok sebelum digunakan
5. Hewan coba yang digunakan adalah mencit jatan sebanyak 9 ekor.
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 3 kelompok dan masing–
masing kelompok terdiri dari 3 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam
kandang yang berbeda. Sebelum percobaan dilakukan mencit diaklimatisasi
selama 7 hari untuk membiasakan pada lingkungan percobaan, Mencit
dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar, siklus cahaya terang : gelap
(14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air minum, sebelum
perlakuan mencit dipuasakan selama 10 jam tetapi tetap diberikan air minum.
Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan tidak lebih dari 10%
serta memperlihatkan perilaku normal.
6. Mencit dikelompokkan secara acak kedalam 3 kelompok, masing-masing
terdiri dari 3 ekor
7. Kemudian tiap kelompok diberi perlakuan dimana kelompok I sebagai
kontrol diberikan larutan Tragakan 1%, kelompok II diberi suspensi
Lopermid, dan kelompok III diberi suspensi Papaverin. Semua perlakukan
secara oral dengan volume pemberian adalah 0,2 ml / 30 g BB mencit.
8. Mencit ditempatkan dalam kandang khusus secara individual yang
beralaskan kertas saring yang diketahui bobotnya
9. Setelah 30 menit perlakukan, mencit diberikan 0,01 ml oleum ricini tiap
gram berat mencit, yang diberikan secara oral
10. Respon yang terjadi pada mencit kemudian diamati yang berupa jumlah
defakasi konsistensi feses, bobot feses (pada kertas saring), onset dan durasi
diare
11. Data yang dikumpulkan berupa frekuensi defakasi, dan konsistensi defakasi.
Penentuan konsistensi feses dilakukan dengan cara melihat bentuk feses yang
terjadi. Konsistensi feses dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Konsistensi yang berlendir atau berair, dalam kelompok ini dilakukan
pengamatan lama terjadinya diare (LTD), diameter serapan air (DSA)
dan berat feses (BF)
b. Konsistensi lembek, Parameter yang digunakan untuk uji antidiare
pada konsistensi feses lembek yaitu Lama terjadinya Diare (LTD),
Diameter serapan air (DSA) dan Berat feses (BF)
c. Konsistensi normal, Parameter yang dianalisa pada kategori
konsistensi feses normal ini adalah waktu terjadinya feses normal,
diameter serapan air dan berat feses
Tabel Pengamatan
Kelompok Hewan Uji Vol.oral Onset Durasi Berat Konsis-
Kode BB Defekasi Diare kertas tensi
(Menit) (Menit) saring Feses
(g)
Tragakan 1
2
3
Loperamid 1
2
3
Papaverin HCl 1
2
3
Craig, C.R., (Editor), 1990, Modern Pharmacology, 4th. Ed., Liyye Brown Co.,
New York
Laurence, L.B., (Editor), 2005, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
og Theurapeutics, 11th. Ed., McGraw-Hill.Inc., New York
Katzung, B.B., 2004, Basic and Clinical Pharmacology, 9th. Ed., McGraw-
Hill.Inc.,London
Katzung, B.G. et.al, 2015, Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed., Mc Graw
Hill Singapore.
Turner RA, Hebborn P., 1971, Screening Methods in Pharmacology, Vol. II,
Academic Press New York
Turner, P.V., Brabb, T., Pekow, C., Vasbinder, M.A., 2011, Administration of
Substances to Laboratory Animals: Routes of Administration and Factors to
Consider, Journal of the American Association for Laboratory Animal Science,
50(5), 600-613