Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seluruh pekerjaan kemanusiaan harus mengambil tindakan mulai dari tahap awal
keadaan darurat untuk mencegah kekerasan seksual dan menyediakan bantuan selayaknya
kepada para korban.

Kekerasan gender yang khususnya kekerasan seksual adalah masalah serius yang
mengancam jiwa perempuan dan anak-anak perempuan. Dalam banyak kasus kekerasan
berbasis gender adalah masalah internasional yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat
dan hak azazi manusi dan bahwa pencegahan dan penanganan menyeluruh tidak pernah
ditemukan di hampir seluruh negara di seluruh dunia. Kekerasan gender merupakan persoalan
khusus dalam konteks keadaan darurat yang pelik dan bencana alam dimana perempuan dan
anak-anak sering kali menjadi sasaran kekerasan dan sangat rentan terhadap eksploitasi
kekerasan dan kesewenang-wenangan karena jenis kelamin, usia, dan status mereka dalam
masyarakat.

Kekerasan gender adalah pelanggarakan hak azasi manusia universal yang dilindungi
oleh konvensi hak azasi manusia internasional termasuk hak seorang untuk merasa aman, hak
untuk mencapai tingkat tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak untuk bebas dari penyiksaan
dan perlakuan kejam atau tidak manusiawi dan melecehkan, dan hak untuk hidup.

Dengan demikian, ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah
tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik), serta di wilayah negara. Landasan
hukum perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum CEDAW (Convention on the
Elimination of all Discrimination Againts Women) No. 19/1992 tentang kekerasan terhadap
perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan suatu bentuk diskriminasi
terhadap perempuan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian kekerasan seksual?

2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan?

1
3. Bagaimana penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan?

4. Bagaimana persoalan-persoalan khusus kekerasan seksual?

5. Apa pemantauan yang dilakukan terhadap kekerasan seksual?

6. Bagaimana cara penggunaan daftar pemeriksaan kejadian kekerasan seksual?

7. Bagaimana penggunaan Metode Pil Kontrasepsi Darurat?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian kekerasan seksual

2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan

3. Untuk mengetahui penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan

4. Untuk mengetahui persoalan-persoalan khusus kekerasan seksual

5. Untuk mengetahui pemantauan yang dilakukan terhadap kekerasan seksual

6. Untuk mengetahui penggunaan daftar pemeriksaan kejadian kekerasan seksual

7. Untuk mengetahui penggunaan Metode Pil Kontrasepsi Darurat

2
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Kekerasan Seksual

Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin violentia, yang berarti keganasan,
kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya, dan perkosaan (sebagaimana dikutip Arif
Rohman : 2005). Tindak kekerasan, menunjuk pada tindakan yang dapat merugikan orang
lain. Misalnya, pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Walaupun tindakan
tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar. Pada dasarnya kekerasan diartikan sebagai
perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal maupun nonverbal) yang ditujukan
untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial,
maupun ekonomi yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban.
Menurut Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam
manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan
irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar, dan berpikir
pendek. Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini
lupus). Oleh karena itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam ketatanegaraan, sikap
kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada pemerintah. Bahkan,
Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara yang menggunakan kekerasan
terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat mengendalikan situasi dan kondisi bangsa.

Kekerasan berbasis gender (selanjutnya akan disebut KBG) adalah setiap tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan pada
seseorang baik secara fisik, seksual, ekonomi atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang
terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.

Kekerasan Berbasis Gender melanggar sejumlah hak asasi manusia universal yang
dilindungi oleh berbagai peraturan dan konvensi internasional. Banyak tetapi tidak semua
bentuk dari KBG adalah ilegal dan merupakan tindakan kriminal seperti yang diatur dalam
hukum dan kebijakan satu negara. Di seluruh dunia, KBG lebih banyak terjadi kepada
perempuan dan anak-anak perempuan daripada laki-laki dan anak lelaki. Istilah “kekerasan
berbasis gender” seringkali dipergunakan secara bersamaan dengan istilah “kekerasan

3
terhadap perempuan” karena istilah “kekerasan berbasis gender” menyoroti dimensi gender
dalam bentuk-bentuk tindakan ini terjadi karena konstruksi gender telah menempatkan status
perempuan sebagai kelas kedua di dalam masyarakat dan oleh karena relasi kuasa yang tidak
setara ini, perempuan menjadi sangat rentan terhadap kekerasan. Penting untuk diingat bahwa
laki-laki dan anak-anak lelaki bisa menjadi korban KBG, khususnya kekerasan seksual,
terutama bila karena konstruksi gender budaya setempat membuat laki-laki dan anak laki-laki
berada pada posisi yang lemah (tidak berkuasa) dibandingkan dengan strata laki-laki lain
ataupun perempuan (IASC, 2015).

Kekerasan Berbasis Gender dapat terjadi di wilayah pribadi (misalnya kekerasan


dalam rumah tangga atau pacaran) maupun publik (kekerasan di tempat kerja atau di tempat
umum), dalam situasi normal ataupun sulit (bencana, perang, konflik), baik yang terjadi di
tingkat individu, komunitas, atau negara.

2.2 Upaya yang Dapat Dilakukan

1. Perencanaan Lokasi

Barak pengungsian harus dibangun dengan desain yang memadai yang dapat
menjamin keamanan secara fisik para pengungsi. Alternatif lain barak pengungsi
harus tertutup. Ketika merancang dan mengorganisir fasilitas barak, maka pengungsi
harus dilindungi dengan cara sebagai berikut :

- Menempatkan jamban, tempat mengambil air, dan pengumpulan bahan bakar di


tempat yang mudah dijangkau.

- Mengatur tempat tinggal khusus perempuan tanpa pendamping, anak-anak


perempuan, dan perempuan sebagai kepala keluarga.

- Fasilitas mandi/mencuci sebaiknya dilengkapi tanpa kunci

- Menyediakan penerangan yang cukup di jalan-jalan yang dilalui pada malam hari.

- Menyediakan petugas ronda yang selalu berkeliling.

- Mencegah pengungsi tinggal bersama dalam satu ruangan dengan pengungsi lain
yang bukan keluarganya.

4
- Menganjurkan kepada pengungsi untuk berpakaian dengan sopan dan pantas, guna
mencegah kekerasan pemerkosaan.

2. Distribusi Makanan dan Bahan Penting Lainnya

Bahan-bahan seperti makanan, non makanan, dan bahan penting lainnya harus
didistribusikan langsung kepada pengungsi perempuan. Dengan demikian tidak ada
kesempatan bagi laki-laki untuk melakukan pelecehan seksual ataupun meminta balas
jasa khususnya balas jasa seksual terhadap perempuan.

3. Faktor-faktor Sosial dan Psikologis

Kehidupan di pengungsian dapat menjurus ke arah terganggunya struktur tradisi


sosial, frustasi, kebosanan, penyalahgunaan minuman keras dan obat-obat terlarang,
dan perasaan ketidakberdayaan yang dapat menimbulkan agresi dan kekerasan
seksual. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan, rekreasi, dan peningkatan pendapatan
melalui penciptaan lapangan kerja harus ditingkatkan.

2.3 Penanganan Kekerasan Seksual

2.3.1 Perlindungan

Perlindungan terhadap korban kekerasan harus dilakukian secara langsung yang


memberi jaminan secara fisik bagi korban. Semua tindakan ditujukan untuk menolong
penderita dan menghargai keinginan korban. Identitas korban dan semua informasi harus
dijaga kerahasiaannya. Para petugas kesehatan harus memberikan keleluasaan pribadi kepada
para korban, menghindari korban dari berbagai tekanan-tekanan dan kesendirian serta
mendapatkan persetujuan tindakan dari korban. Kalau insiden baru saja terjadi, pelayanan
medis mungkin diperlukan. Korban harus ditemani/diantar ke fasilitas kesehatan yang tepat.
Kalau korban menghendaki dapat menghubungi polisi.

2.3.2 Pelayanan Medis/Kesehatan

Kunci utama dalam memberikan pelayanan medis adalah petugas kesehatan terlatih
secara khusus. Dukungan secara psikis harus dimulai sejak tahap pertama penanganan dengan
korban. Diperlukan protocol sebagai penuntun pemberian pelayanan medis dan psikisnkepada
para korban.

5
2.3.3 Pemeriksaan Medis/Kesehatan

Pastikan kehadiran petugas kesehatan dari jenis kelamin yang sama pada setiap
pemeriksaan medis. Seorang dokter atau tenaga kesehatan perempuan yang berkualitas harus
melakukan pemeriksaan awal dan lanjutan. Dalam melakukan pemeriksaan fisik korban harus
dipersiapkan dan jika diinginkan didampingi oleh seorang anggota keluarga atau teman.
Kerahasiaan sangat diperlukan. Petugas yang menangani korban harus peka, bijaksana/hati-
hati dan penuh pengertian, dan dapat merasakan penderitaannya.

2.3.4 Anamnesa Lengkap dan Pemeriksaan Fisik

Diupayakan korban tidak boleh mandi, BAK, BAB, atau ganti pakaian sebelum
dilakukan pemeriksaan medis untuk menghindari hilangnya bukti-bukti.

Mencatat secara lengkap perlakuan yang diterimanya, termasuk sifat penetrasi kalau
ada dan apakah terjadi ejakulasi, waktu haid terakhir, apakah menggunakan kontrasepsi, dan
kondisi jiwa korban. Prosedur pemeriksaan medis setelah perkosaan harus dilakukan dan
mengikuti peraturan pemerintah yang ada.

Hasil pemeriksaan fisik, kondisi pakaian, setiap benda asing yang melekat pada tubuh,
semua tanda-tanda trauma, lecet-lecet, bekas gigitan, tempat yang nyeri, dan hasil
pemeriksaan panggul harus dicatat dan disimpan. Para petugas kesehatan juga harus
mengumpulkan bahan yang dapat dijadikan bukti, seperti rambut, garukan kuku, sperma, air
liur, dan sampel darah.

2.3.5 Tes Laboratorium dan Pengobatan sesuai Indikasi

Tes ini diindikasikan untuk mengetahui kondisi sebelum kejadian: tes darah untuk
sifilis, tes kehamilan, dan tes HIV. Pengobatan IMS yang umum seperti sifilis, gonorhea, dan
klamidia mungkin diperlukan. Vaksinasi terhadap tetanus harus dipertimbangkan.

2.3.6 Kontrasepsi Darurat dan Konseling Komprehensif

Pil kontrasepsi darurat dapat mencegah kehamilan yang tiodak diinginkan kalau
digunakan dalam jangka waktu 72 jam setelah perkosaan. Kontrasepsi pil darurat bekerja
melalui pemutusan siklus reproduksi seorang wanita dengan jalan menunda atau menhambat
ovulasi, merintangi pembuahan atau mencegah implantasi ovum.

6
Kontrasepsi darurat tidak mengganggu kehamilan karena bukan suatu cara
pengguguran. Perempuan dan petugas kesehatan yang mempunyai keyakinan bahwa pil ini
suatu pengguguran mungkin akan menghindari penggunaan obat ini. Bagi perempuan yang
menggunakan pelayanan ini harus berkonsultasi agar ia dapat mengambil keputusan setelah
memperoleh penjelasan. Kontrasepsi darurat tidak boleh dianggap sebagai kontrasepsi biasa.
Para wanita harus diberi penjelasan tentang kebutuhan kontrasepsi dimasa mendatang serta
pilihan-piihan yang tersedia.

IUD/Spiral yang mengandung tembaga (cooper bearing) dapat digunakan sebagai


metode kontrasepsi darurat. Metode ini mungkin tepat untuk beberapa wanita yang ingin
mempertahankan IUD sebagai kontrasepsi jangka panjang dan sudah memenuhi ketentuan
skrinning ketat untuk menggunakan IUD. Kalau insensi dilakukan dalam jangka waktu 5 hari,
IUD merupakan kontrasepsi darurat yang efektif. Klien disaring untuk memastikan bahwa ia
tidak hamil, tidak menderita infeksi saluran reproduksi atau beresiko menderika IMS
termasuk HIV.

2.3.7 Pemberian Perawatan Medis Lanjutan

Seorang perempuan harus diberi nasehat untuk melakukan pemeriksaan lanjut satu
atau dua minggu setelah pelayanan medis pertaa. Petugas kesehatan harus memantau
pelayanan tindak lanjut. Tes dan pengobatan lain mungkin diperlukan ketika dilakukan
pelayanan lanjutan. Kunjungan lanjutan mungkin diperlukan untuk tes kehamilan dan HIV.

2.3.8 Pelayanan Psikososial

Korban yang selamat dari kekerasan seksual biasanya merasa takut, bersalah, malu
dan marah. Mereka akan menggunakan mekanisme pertahanan diri yang kuat (defence
mechanisme) yaitu melupakan, menyangkal dan menutupi kejadian yang telah mereka alami.
Reaksi dapat bervariasi mulai dari depresi ringan , sedih, gelisah, phobia, dan masalah
somatik hinga masalah jiwa yang kronis. Reaksi berlebihan terhadap kekerasan seksual dapat
mengakibatkan bunuh diri atau jika mengalami kehamilan, bayi secara fisik akan
ditinggalkan atau dibuang.

Anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap kekerasan. Pelayanan psikososial lebih
mengedepankan peran pekerja sosial untuk berhadapan dengan korban, sementara petugas
kesehatan berada dibelakang layar.

7
Para korban harus diperlakukan dengan empati, hati-hati dan diberi dukungan. Pada
jangka panjang, didalam berbagai kultur/budaya, dukungan keluarga dan kawan-kawan
merupakan faktor yang terpenting dalam mengatasi trauma kekerasan seksual. Kegiatan-
kegiatan yang berbasis masyarakat yang paling efektif dalam membantu meringankan trauma
ini. Aktifitas ini mencakup sebagai berikut :

1. Identifikasi dan pelatihan pekerja sosial di masyarakat untuk mendukung tenaga


pemberi pelayanan yang ada.
2. Mendirikan kelompok pendukung perempuan untuk para korban kekerasan seksual
dan keluarganya.
3. Membangun rumah aman bagi korban dimana mereka dapat menerima pelayanan
secara rahasia dan penuh kasih.

Kegiatan tersebut harus disesuaikan dengan kebudayaan dan dikembangkan bersama-


sama dengan anggota masyarakat. Hal tersebut memerlukan dukungan keuangan dan logistik
yang berkesinambungan dan jika mungkin dilakukan pelatihan dan supervisi. Konseling
yang bermutu oleh tenaga yang terlatih, seperti para conselor, perawat, pekerja sosial,
psikolog atau dokter ahli jiwa(kalau mungkin punya latar belakang yag sama dengan para
korban) diberikan sesegara mungkin setelah kejadian. Para conselor harus memberikan
dukungan kepada para korban yang mengalami gangguan pasca-trauma, seperti sulit
menghadapi reaksi keluarga, masyarakat, dan selama proses hukum berlangsung.

2.4 Persoalan-Persoalan Khusus terkait KBG

1. Perkosaan/Percobaan perkosaan

Merupakan hubungan seksual yang tidak disetujui bersama. Hal ini termasuk
penyerangan terhadap bagian tubuh manapun dengan menggunakan alat kelamin
dan/atau penyerangan terhadap alat kelamin atau lubang dubur dengan benda apapun
atau bagian tubuh apapun. Perkosaan dan percobaan perkosaan mengandung unsur
kekuasaan, ancaman, dan/atau paksaan. Penetrasi dalam bentuk apapun adalah
perkosaan. Upaya untuk memperkosa seseorang tetapi tanpa penetrasi adalah
percobaan perkosaan.

8
Perkosaan/percobaan perkosaan termasuk:

- Perkosaan terhadap perempuan dewasa

- Perkosaan terhadap anak-anak (perempuan atau laki-laki), termasuk juga


hubungan sedarah (incest)

- Perkosaan yang dilakukan oleh lebih dari satu pelaku

- Perkosaan dalam pernikahan, antara suami dan istri

- Perkosaan terhadap laki-laki, atau dikenal sebagai sodomi

2. Penganiayaan Seksual

Penganiayaan seksual adalah bentuk nyata atau ancaman fisik secara seksual,
baik dengan menggunakan kekerasan atau di bawah ketidaksetaraan atau kondisi
pemaksaan.

3. Eksploitasi seksual

Merupakan bentuk nyata atau percobaan penganiayaan yang mengandung


unsur kerentanan, perbedaan kekuasaan, atau kepercayaan, untuk tujuan-tujuan
seksual, termasuk untuk, tetapi tidak membatasi, keuntungan finansial, secara sosial
atau politik dengan mengeksploitasi seseorang secara seksual.

4. Kekerasan seksual

Merupakan tindakan seksual apapun, percobaan untuk melakukan kegiatan


seksual, kata-kata atau cumbuan seksual yang tidak diinginkan, atau perdagangan
seksualitas seseorang, menggunakan paksaan, ancaman atau paksaan fisik, oleh
siapapun apapun hubungannya dengan si korban, di mana pun, termasuk tetapi tidak
hanya di rumah atau di tempat kerja”. Kekerasan seksual terjadi dalam banyak bentuk,
termasuk perkosaan, perbudakan seks, dan/atau perdagangan, kehamilan yang
dipaksakan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual dan/atau penganiayaan, dan
pengguguran kandungan yang dipaksakan.

5. Kekerasan fisik mengacu pada tindakan yang menyakiti tubuh.

9
6. Kekerasan psikologis mengacu pada tindakan atau peniadaan yang menyebabkan atau
dapat menyebabkan penderitaan mental atau emosional, seperti –namun tidak terbatas
pada- intimidasi, pelecehan, penguntitan, pengerusakan properti/barang,
dipermalukan, kekerasan verbal, dan perselingkuhan. Menyaksikan kekerasan
terhadap anggota keluarga, pornografi, menyaksikan penyiksaan hewan, atau
melarang mengunjungi anak juga merupakan bentuk dari kekerasan psikologis.

7. Penelantaran ekonomi merujuk pada perilaku yang membuat perempuan bergantung


secara finansial, misalnya dengan cara:

a. Menarik dukungan finansial atau melarang korban bekerja

b. Diambil atau diancam untuk diambil sumber penghasilannya dan hak untuk
menikmati harta bersama

c. Mengontrol uang dan kepemilikan korban

8. Bentuk kekerasan berbasis gender lainnya, kategori ini dipakai jika tidak memenuhi
kriteria di atas. Namun KDRT, kekerasan pada anak, tindak pidana perdagangan
orang, perbudakan seksual dan eksploitasi tidak termasuk di dalam kategori ini.

2.5 Pemantauan

Dalam perjalanan melaksanakan mandat pemantauan, sampai saat ini Komnas


Perempuan sudah mengembangkan setidaknya tujuh bentuk pemantauan dengan kerangka
Hak Asasi Perempuan dengan beberapa ciri dan kekhasan yang membedakan pendekatan satu
dan yang lain, mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan UPR (Unit Pengaduan dan Rujukan)

Seiring dengan kerja-kerja Komnas Perempuan yang semakin beragam, maka pengaduan
kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan yang ditujukan ke Komnas Perempuan melalui
surat, telepon, datang langsung dan e-mail yang masuk ke Komnas Perempuan semakin
meningkat. Ini dapat dianggap sebagai indikator kepercayaan publik terhadap kelembagaan
Komnas Perempuan. Namun karena Komnas Perempuan tidak memiliki mandat untuk
melakukan penanganan kasus maupun pendampingan individu, maka dibentuklah Unit
Pengaduan dan Rujukan (UPR). Unit ini berdiri sejak tahun 2005, yang dikelola oleh relawan
dan Komnas Perempuan sebagai upaya pelibatan masyarakat dalam menghapuskan

10
Kekerasan terhadap Perempuan. Setiap tahunnya rata-rata Komnas Perempuan menerima dan
merujuk 800 pengaduan. Kepada para pengelola UPR juga telah dikenalkan case conference
atau gelar kasus untuk menganalisis dan mengidentifikasi kekerasan berbasis gender untuk
kasuskasus yang masuk serta mekanisme care for care givers yaitu upaya pemulihan bagi
para penerima pengaduan kasus.

2. Pencarian Fakta (Fact Finding)

Pencarian fakta adalah langkah awal yang diambil agar mendapatkan gambaran dasar
dan menyeluruh atas suatu peristiwa yang akan dipantau. Biasanya pencarian fakta dilakukan
dalam waktu yang tidak terlalu lama dengan melakukan kunjungan lapangan, dan bertemu
para pihak terkait. Pencarian fakta yang pernah dilakukan Komnas Perempuan adalah pada
Kasus Lapindo dan penembakan Petani Alas Tlogo, Pasuruan dan peristiwa penyerangan
komunitas Ahmadiyah di Cianjur dan NTB.

3. Pembentukan Tim Pemantau

Tim Pemantau dibentuk jika dirasa perlu untuk melakukan pemantauan lebih lanjut. Tim
ini dapat terdiri dari tim internal Komnas Perempuan, maupun bekerja sama dengan mitra
Komnas Perempuan.

4. Mengembangkan Jaringan Pemantau

Jaringan Pemantau biasanya dibentuk di wilayah di mana akan dilakukan pemantauan,


bekerja sama dengan lembaga-lembaga mitra di lokasi/wilayah pemantauan dilaksanakan.
Harapannya kelak, lembaga-lembaga mitra ini memiliki pengalaman dan kapasitas memantau
pelanggaran Hak Asasi Perempuan.

5. Membangun Data Kekerasan terhadap Perempuan secara berkala

Sejak tahun 2001 Komnas Perempuan menginisiasikan pengumpulan data nasional


tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan (KtP), ini biasa disebut CATAHU (Catatan
Tahunan). Data didapat dari para mitra Komnas Perempuan mencakup Pengadilan (Negeri,
Tinggi, Agama), Kejaksaan, Kepolisian, Rumah Sakit, dan Lembaga-lembaga pengada
layanan, pada tahun 2010 ini lembaga mitra yang berkontribusi data-untuk diolah mencapai
383 lembaga. Berdasarkan kompilasi data kekerasan terhadap perempuan dari 383 lembaga
mitra pengada layanan yang mengisi dan mengirim kembali datanya kepada Komnas
Perempuan diperoleh jumlah korban KTP tahun 2010 ini, yaitu 105.103 korban. Jika

11
dibandingkan dengan kompilasi data tahun yang lalu, angka kekerasan pada tahun ini lebih
kecil kurang-lebih 27%. Lebih kecilnya angka korban KTP tahun ini tidak dapat diartikan
bahwa dalam tahun 2010 kekerasan terhadap perempuan berkurang. Ada sejumlah faktor
yang ditengarai menjadi penyebab, khususnya berkaitan dengan pendokumentasian kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga. Di antara
sejumlah faktor penyebab yang hampir selalu disebutkan oleh lembaga mitra pengada
layanan adalah: keterbatasan SDM (dalam hal ketrampilan pendataan dan pergantian –
turnover yang cepat), keterbatasan fasilitas (perangkat komputer, dan peralatan lain yang
diperlukan untuk pendataan), pemahaman akan pengisian format pendataan (yang juga
seringkali diubah atau disesuaikan dengan keadaan pengaduan dari tahun ke tahun),
pendanaan dalam rangka mendukung pendokumentasian kasus, dan keengganan korban
untuk secara formal dicatat kasusnya (karena kekhawatiran dan ketakutan akan adanya
stigma atau tanggapan negatif dari masyarakat tentang kasus kekerasan yang dialaminya).
Kendala lain yang ditengarai oleh Komnas Perempuan di antaranya pembenahan internal
organisasi sehingga yang biasa turut berpartisipasi mengirimkan data pada tahun ini tidak
berhasil mengirimnya tepat waktu. Ada pula sejumlah lembaga yang pada tahun ini secara
khusus mempersiapkan dokumentasi laporan dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari
Perempuan Internasional. Secara umum, kendala seperti disebutkan oleh berbagai pihak ini
menunjukkan bahwa memang ‘kesadaran’ akan pentingnya pendokumentasian kasus KTP
masih sangat kurang. Oleh karena itu, Komnas Perempuan berupaya melakukan sosialisasi
pentingnya CATAHU bagi semua pihak dalam kerangka advokasi kebijakan untuk
menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Dari pencatatan KtP secara berkala ini dapat terlihat besarnya jumlah KTP, kenaikan tersebut
dicatat Komnas Perempuan karena sistem pendokumentasian di masingmasing lembaga
semakin tahun semakin baik dan dikarenakan semakin banyak perempuan korban kekerasan
yang berani melaporkan kasusnya. Yang pada tahun ini secara khusus mempersiapkan
dokumentasi laporan dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari Perempuan Internasional.
Secara umum, kendala seperti disebutkan oleh berbagai pihak ini menunjukkan bahwa
memang ‘kesadaran’ akan pentingnya pendokumentasian kasus KTP masih sangat kurang.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan berupaya melakukan sosialisasi pentingnya CATAHU
bagi semua pihak dalam kerangka advokasi kebijakan untuk menghapuskan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Dari pencatatan KtP secara berkala ini dapat terlihat besarnya
jumlah KTP, kenaikan tersebut dicatat Komnas Perempuan karena sistem pendokumentasian

12
di masingmasing lembaga semakin tahun semakin baik dan dikarenakan semakin banyak
perempuan korban kekerasan yang berani melaporkan kasusnya. Yang pada tahun ini secara
khusus mempersiapkan dokumentasi laporan dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari
Perempuan Internasional. Secara umum, kendala seperti disebutkan oleh berbagai pihak ini
menunjukkan bahwa memang

‘kesadaran’ akan pentingnya pendokumentasian kasus KTP masih sangat kurang. Oleh karena
itu, Komnas Perempuan berupaya melakukan sosialisasi pentingnya CATAHU bagi semua
pihak dalam kerangka advokasi kebijakan untuk menghapuskan

segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dari pencatatan KtP secara berkala ini dapat
terlihat besarnya jumlah KTP, kenaikan tersebut dicatat Komnas Perempuan karena sistem
pendokumentasian di masingmasing lembaga semakin tahun semakin baik dan dikarenakan
semakin banyak perempuan korban kekerasan yang berani melaporkan kasusnya. Isu-isu
tertentu Laporan Pelapor Khusus adalah independen dan tidak harus

selalu mencerminkan pandangan Komnas Perempuan. Sampai sekarang Komnas Perempuan


telah menyelesaikan laporannya dari Pelapor Khusus Aceh, Pelapor Khusus Poso, dan
Pelapor Khusus Mei 1998.

Prinsip Utama Pemantauan

Sedikit banyak, pekerjaan pemantauan adalah kerja melayani kebutuhan perempuan korban
kekerasan. Karena itu ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan ketika melakukan
pemantauan, seperti:

1. Kejelasan (clarity); kejelasan fokus pemantauan;

2. Menghargai hak korban, bahwa mungkin saja korban memiliki kehendak sendiri yang
harus dihargai;

3. Pemahaman dari perspektif korban mensyaratkan kemampuan untuk sungguh-sungguh


meyakini dan menghormati hak-hak asasi dan martabat manusia, terlepas dari atribut
apapun yang dibawa oleh korban: kelas sosial ekonomi, agama, suku, pendidikan,
ideologi, dan tentu saja, gender. Pemahaman dari perspektif korban mensyaratkan
kemampuan memahami adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pihak-pihak terkait
dalam kekompleksannya;

13
4. Obyektif; bebas dari praduga dan tidak bias;

5. Independen; keputusan yang diambil oleh pemantau bebas dari kepentingan manapun;

6. Non-Diskriminasi; tidak membeda-bedakan pekerjaan berdasarkan ras, jenis, kelamin,


budaya, serta asal-usul;

7. Akuntabel; berpegang pada mandat sebagai pemantau;

8. Menjaga kerahasiaan: narasumber dan dokumen-dokumen serta hasil temuan. Batas-


batas kerahasiaan, dan untuk apa informasi itu dirahasiakan dan bagaimana
menggunakannya perlu diinformasikan kepada narasumbe;

9. Pemberdayaan; pemantauan untuk memberdayakan yaitu membuka peluang bagi para


pemantau dan narasumbe untuk meningkatkan kapasitas kemampuan diri.

14
2.6 Penggunaan Daftar Pemeriksaan Kejadian Kekerasan Seksual

Daftar Pemeriksaan Kejadian Kekerasan Seksual

Kamp: Pelapor: Tanggal:

1) Identitas
Nomor Kode (*): Tanggal lahir: Jenis kelamin:
Status kewarganegaraan:
Jika masih anak-anak: Kode/Nama orang tua/Yang merawat:
2) Laporan Kejadian
Tempat: Tanggal: Waktu:
Urutan kejadiannya :
(Jenis dari kekerasan seksual)
Individu yang terkait :
3) Penatalaksanaan
Dilakukan pemeriksaan medis: Ya Tidak
Diperiksa oleh:
Hasil utama yang ditemukan dan pengobatan yang diberikan;

Diberikan perlindungan oleh petugas: Ya Tidak


Jika tidak, alasan :
Jika Ya, tindakan apa yang diberikan :

4) Langkah Selanjutnya
5) Rencana Tindak Lanjut
Tindak lanjut medis
Konseling psikososial
Pelaporan aspek hukum

(*) Digunakan Nomor Kode unuk menjamin kerahasiaan

2.7 Metode Pil Kontrasepsi Darurat

15
Dosis berbagai merek pil yang diperlukan sebagai kontrasepsi darurat
Nama pil Isi Jumlah yang harus diminum
Max 72 jam 12 jam
kemudian
Neogynon EE: 2 2
ethiylestradiol
50 mg,
LNG:
levonorgestrel
250 mg
Eugnon 50, ovral EE 50 mg+ NG: 2 2
dl. Norgestrel
500 mg
Mycrogynon 30, EE 30 mg+ 4 4
nordette LNG: 150 mg
Microlut LNG 30 mg 25 25
Kalau tersedia pil yang dikemas khusus untuk kontrasepsi darurat tersedia seperti yang
terdapat di dalam Kit Keseshatan dalam Keadaan Darurat yang Baru (NHEK 98), atau jika
yang tersedi hanya oil dosis tinggi yang mengandung 0,5 mg ethinylestradiol dan 0,25 mg
levonorgestrel :

 Dua pil harus diminum sekaligus sebagai dosis awal sesegera mungkin tetapi tidak
boleh lebih dari 72 jam setelah perkosaan. Diikuti dengan 2 pil lagi 12 jam
kemudian.

Kalau yang tersedia hanya pil dosis rendah yang mengandung 0,3 ethinylestradiol dan 0,15
mg levonorgestrel.

 Empat pil harus diminum sekaligus sebagai dosis awal sesegera mungkin tetapi tidak
boleh lebih dari 72 jam setelah perkosaan. Diikuti dengan 2 pil lagi 12 jam
kemudian.

Dan terakhir mengindikasikan bahwa pengobatan alternatif yang hanya terdiri dari
levonorgestrel sama efektifnya dan disertai efek samping yang jauh lebih kurang, kalau
tersedia pil yang mengandung 0,75 mg levonorgestrel :

 Satu pil harus diminum sebagai dosis awal sesegera mungkin tetapi tidak boleh lebih
dari 72 jam setelah perkosaan. Diikuti dengan 1 pil lagi 12 jam kemudian.

16
Pengelolaan efek samping

Mual-mual terjadi pada 50 persen kasus yang menggunakan ECP kombinasi dan 25 persen
pada yang hanya menggunakan levonorgestrel. Meminum pil bersama makanan dapat
menurangi rasa mual.penggunaan anti emesis secara rutin untuk profilaksis tidak dianjurkan
pada keadaan dengan sumber daya yang terbatas. Kalau muntah-muntah terjadi 2 jam setelah
meminum ECP, ulangi minum pil dengan dosis yang sama.

Kontraindikasi

Tidak terdapat kontraindikasi medis yang diketahui terhadap penggunaan ECP. Dosis hormon
dalam ECP relatif kecil dan pil hanya digunakan untuk waktu yang singkat. Kontraindikasi
yang berkaitan dengan pemakaian jangka panjang tidak berlaku.

ECP tidak boleh diberikan kalau sudah pasti hamil. ECP boleh diberikan dalam keadaan
dimana kehamilan masih diragukan dan pengetesan kehamilan tidak tersedia. Tidak ada
bukti-bukti bahwa pemakaian ECP membahayakan wanita maupun kehamilannya.

BAB III

PENDAHULUAN

3.1 Kesimpulan

Kekerasan berbasis gender (selanjutnya akan disebut KBG) adalah setiap


tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan

17
pada seseorang baik secara fisik, seksual, ekonomi atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik
yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Tindakan kekerasan
berbasis gender ini memerlukan penanganan dan penanggulangan oleh masyarakat maupun
pemerintah untuk menghindari kekerasan yang berkelanjutan.

3.2 Saran

Dengan mengetahui penanggulangan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis


gender diharapakan pembaca dapat mengaplikasikan ilmu ini dalam kehidupan sehari-hari
sehingga kekerasan berbasis gender dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Nani Kurniasih.2011.Kajian Yuridis Sosiologis terhadap Kekerasan yang Berbasis


Gender.Jakarta: Erlangga.

Panduan Pencegahan Berbasis Gender (GBV) Masa Kondisi Darurat Kemanusiaan Berfokus
pada Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Masa Darurat.

18

Anda mungkin juga menyukai