Anda di halaman 1dari 13

Hari, tanggal : Selasa, 27 Februari 2018

Waktu : 11.30 – 14.00

LAPORAN PRAKTIKUM SEDIAAN FARMASI DAN TERAPI UMUM

SERBUK TERBAGI (KAPSUL)

Dosen Penanggungjawab :

Prof Dr Dra Ietje Wientarsih, Apt, MSc


Bayu Febram Prasetyo, SSi, Apt, Msi
Rini Madyastuti Purwono, SSi, Apt, Msi
Dr Lina Noviyanti Sutardi, SSi, Apt, Msi
Drh Rizal Arifin Akhbari

Kelompok 21 Siang :
Dhea Rivinasari B04140057
Rayhan Dika Arfan B04140073

LaBORATORIUM FARMASI VETERINER


DEPARTEMEN KLINIK, RERPRODUKSIDAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BGOR
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengobatan pada dasarnya merupakan tindakan untuk menyembuhkan yang
dilakukan melalui perawatan secara berkelanjutan terus berubah guna
mempertahankan dan memulihkan kesehatan (Gill 2004). Menurut World Health
Organization (2007), Pengobatan dapat tercapai dengan jalan melakukan
pencegahan dan penghambatan penyakit. Obat memiliki berbagai macam bentuk
tergantung dari tiga faktor, yaitu jenis obat, penderita (pasien), dan penyakit pasien.
Peracikan obat menjadi perhatian oleh karena banyak munculnya kejadian yang
tidak dikehendaki meliputi kesalahan pengobatan, kualitas racikan, serta masalah
kontaminasi bakteri (Allen 2003). Obat racikan adalah obat yang dibentuk dengan
mengubah atau mencampur sediaan obat atau bahan aktif. Bentuk obat racikan bisa
berupa bentuk padat, semi padat maupun cair. Setiap produk farmasi tertentu
merupakan formulasi yang unik tersendiri. Disamping ramuan terapeutik yang
aktif, formulasi ini mengandung sejumlah unsur-unsur non terapeutik. Unsur-unsur
ini pada umunya dihubungkan sebagai bahan tambahan farmasetik, bahan
pembantu, atau bahan yang dibutuhkan, dan melalui pemakaiannya.

Banyaknya pilihan bentuk sediaan, memerlukan kecermatan dalam


memilih, karena di samping pertimbangan bahan aktif, bentuk sediaan berpengaruh
terhadap keberhasilan terapi. Penggunaan obat harus cermat agar diperoleh efikasi
maksimal dengan efek samping minimal (Strober et al. 2008). Kapsul merupakan
salah satu bentuk sediaan farmasi tertua dalam sejarah yang telah dikenal oleh orang
Mesir kuno. Jenis kapsul ada dua yaitu kapsul cangkang keras dan kapsul cangkang
lunak. Kapsul cangkang keras merupakan suatu bentuk sediaan yang umum
digunakan dan telah diperkirakan sekitar 60 miliar cangkang kapsul digunakan
setiap tahun untuk produk farmasi (Armstrong 2012). Kebanyakan kapsul-kapsul
yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien,
untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis
yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat
secara mendadak dan di lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam
memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel, 2008).
Sebagian besar bahan yang digunakan untuk mengisi kapsul adalah dalam
bentuk serbuk. Biasanya merupakan campuran dari bahan aktif bersama dengan
kombinasi dari jenis bahan tambahan yang berbeda. Serbuk adalah salah satu
bentuk sediaan obat yang merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia
yang dihaluskan dan ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar
(Tjay dan Rahardja 2008). Karena mempunyai luas permukaan yang luas, serbuk
lebih mudah terdispersi dan lebih larut dari pada bentuk sediaan yang dipadatkan.
Serbuk dan partikulat padat, seperti granul dan pelet, ditempatkan dalam badan dan
kapsul ditutup dengan menyatukan badan dan tutup secara bersamaan (Winfield, et
al., 2009).
Tujuan
Mengetahui cara pembuatan dan peracikan sediaan kapsul, hingga
pengemasan dan penandaan (pemberian etiket) sesuai dengan persyaratan
farmasetika. Serta mengetahui khasiat dan pengguanaan dari obat itu sendiri.

TINJAUAN PUSTAKA
Serbuk terbagi
Pulveres adalah serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama,
dibungkus dengan kertas perkamen atau bahan pengemas yang lain yang cocok
untuk sekali minum (Tjay 2015). Serbuk tersebut diracik dari satu atau beberapa
bahan aktif, dicampurkan menjadi satu dan dihaluskan, setelah itu dibagi dalam
bagian-bagian yang sama rata dan dibungkus menggunakan kertas perkamen,
biasanya ditujukan untuk pemakaian oral. Serbuk yang harus dibagi tanpa
penimbangan untuk mejamin pembagian yang sama maka pembagian dilakukan
paling banyak hanya 20 bagian. Apabila lebih dari 20 bungkus, maka serbuk dibagi
dalam beberapa bagian. Dengan cara penimbangan dan tiap bagian dibagi paling
banyak menjadi 20 bungkus. Sediaan ini ditentukan antara lain oleh formulasi
sediaan obatnya.Yang tercakup dalam formulasi adalah senyawa aktif (kualitatif
dan kuantitatif), bahan tambahan/penolong (kualitatif dan kuantitatif), metode dan
proses pembuatan dan pengemas (Soebagyo, 2000). Tujuan formulasi, dengan
memperhatikan ketersediaan hayati, adalah untuk menghasilkan penghantar obat
yang dalam setiap unitnya mengandung sejumlah obat (zat aktif) yang sesuai
dengan yang diperlukan, dan dapat melepaskan obatnya untuk menghasilkan onset,
intensitas dan durasi efek obat sesuai yang diharapkan (Wiedyaningsih dan Oetari
2004).
Serbuk terbagi terbungkus dengan kertas perkamen atau dapat juga dengan
memasukannya kedalam cangkang (kapsul) untuk melindungi serbuk dari pengaruh
lingkungan. Serbuk terbagi biasanya dapat dibagi langsung (tanpa penimbangan)
sebelum dibungkus dalam kertas perkamen terpisah dengan cara seteliti mungkin.,
sehingga tiap-tiap bungkus berisi serbuk yang kurang lebih sama jumlahnya. Hal
tersebut bisa dilakukan bila prosentase perbandingan pemakaian terabdosis
maksimal kurang dari 80%. Bila prosentase perbandingan pemakaian terhadap DM
sama dengan atau lebih besar dari 80% maka serbuk harus dibagi berdasarkan
penimbangan satu per satu.

Kapsul
Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam
obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau
wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak atau keras. Kapsul adalah sediaan
padat yang terdiri dari bahan obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut.
Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tetatpi dapat juga terbuat dari pati atau bahan
lain yang sesuai (Ditjen POM 1995). Ada dua tipe kapsul, keras dan lunak. Kapsul
lunak terdiri dari cangkang padat lentur yang mengandung serbuk, cairan non-aqueous,
larutan, emulsi, suspensi, atau pasta. Beberapa kapsul mengandung cairan diberikan
dalam bentuk sediaan bentuk padat, contoh minyak ikan cod. Kapsul ini dibentuk, diisi
dan ditutup dalam satu proses produksi. Cangkang kapsul keras digunakan dalam
pengolahan sebagian besar pembuatan kapsul dan peracikan kapsul.
Bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan kapsul pada industri
farmasi yaitu gelatin. Bahan utama pembuatan cangkang kapsul komersil saat ini
adalah gelatin (Suryani et al. 2009). Kapsul gelatin cangkang keras digunakan
sebagai obat kapsul komersial. Data dari Gelatin Manufacturers of Europe pada
tahun 2005, produksi gelatin dunia terbesar berasal dari bahan baku kulit babi yakni
44,5% (136.000 ton), kedua dari kulit sapi 27,6% (84.000 ton), ketiga dari tulang
26,6% (81.000 ton) dan sisanya berasal dari selainnya 1,3% (4.000 ton) (Harianto
et al. 2008). Data menunjukkan sebagian besar gelatin berasal dari sapi dan babi,
hal tesebut membatasi konsumen vegetarian, Muslim, Yahudi, dan Hindu yang
tidak dapat mengkonsumsinya (Fonkwe et al. 2005). Salah satu alternatif pengganti
gelatin sapi dalam pembuatan cangkang kapsul adalah gelatin ikan. Menurut
Wasswa et al. (2007) gelatin ikan dapat diaplikasikan dalam bidang industri pangan
dan farmasi. Ku et al. (2010) menyatakan bahwa kapsul gelatin memiliki beberapa
kekurangan antara lain memiliki reaktivitas terhadap komponen pengisi, terdapat
interaksi dengan polimer anion dan kation. Kekurangan lain dari kapsul gelatin
yaitu kelarutan gelatin dalam air mengurangi pelepasan obat lambat dari
penghancuran cangkang kapsul.
Keuntungan bentuk sediaan kapsul adalah bentuknya yang menarik dan
praktis ; cangkang kapsul tidak berasa sehingga dapat menutupi obat yang berasa
dan berbau tidak enak ; mudah ditelan dan cepat hancur atau larut dalam perut
sehingga obat cepat diabsorpsi; dokter dapat mengkombinasikan beberapa macam
obat dan dosis yang berbeda-beda sesuai kebutuhan pasien ; kapsul dapat diisi
dengan cepat karena tidak memerlukan bahan zat tambahan atau penolong seperti
pada pembuatan pil maupun tablet. Kapsul juga mempunyai beberapa kerugian,
antara lain : tidak bisa untuk zat-zat yang mudah menguap karena pori-pori kapsul
tidak dapat menahan penguapan ; tidak bisa untuk zat-zat yang higroskopis
(menyerap lembap); tidak bisa untuk zat-zat yang dapat bereaksi dengan cangkang
kapsul ; tidak bisa untuk balita ; tidak bisa dibagi-bagi (Wanamaker dan Massey
2006).
Papaverine HCL
Papaverin adalah opium alkaloid yang berfungsi sebagai relaksasi otot
polos. Papaverin digunakan untuk kejang saluran pencernaan dan ureter, serta
pembuluh darah sehingga meningkatkan aliran darah. Nama kimia dari papaverin
HCl adalah 6,7-dimethoxy-1-veratrylisoquinoline hydrochloride. Menurut
Sudarma (2007), berat molekul dari papaverin HCl adalah 375.9 dengan rumus
kima adalah C20H21NO4HCl.
Gambar. Struktur kimia Papaverin HCl
Papaverin dapat diadministrasikan dalam beberapa bentuk termasuk
diantaranya adalah intraarterial, intravena, orall dan topikal (Moran et al. 2011)
Mekanisme kerja obat ini yaitu menghambat phosphodiesterases dan tindakan
langsung pada saluran kalsium. Papaverin diserap di saluran cerna dan 54% didepo
di lemak dan hati. Sisanya didistribusikan ke seluruh tubuh dan mampu mengikat
90% protein. Obat di metabolisme di hati dan dieliminasi melalui urin. Papaverin
berefek meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah arteri koroner dan
menyebabkan dilatasi (pelebaran pembuluh darah arteri dan vena). Menurut Baltaci
et al. (2010), pada kasus angina pectoris (nyeri dada karena tidak cukupnya aliran
darah ke jantung) papaverin memiliki efek yang positif tapi tidak meringankan rasa
sakit. Bentuk parenteral diindikasikan untuk kejang vascular akut yang
berhubungan dengan oklusi koroner, angina pectoris, embolism peripheral dan
pulmonary, vasospastic pada pembuluh darah perifer, angiospastic otak, spasmus
viscera seperti kejang empedu dan kolik. Selain itu obat ini juga bisa diaplikasikan
intracavernosus untuk pengobatan impotensi.
Kontra indikasi obat ini adalah bisa memblok atrioventrikular (AV) jantung.
Obat ini disarankan untuk tidak dikunyah. Papaverin merupakan obat keras
sehingga dapat menyebabkan efek samping seperti berkeringat, sakit kepala,
kelelahan, kulit kemerahan, gangguan perut, hilang nafsu makan, diare, konstipasi,
maupun sakit perut hingga detak jantung irregular (Rath et al. 2006). Penggunaan
dosis tinggi secara parenteral dapat menyebabkan aritmia jantung. Penggunan
secara intravena atau intramuscular harus di injeksikan perlahan. Trombosis dapat
terjadi didaerah penginjeksian. Injeksi intrakavernosal dapat menyebabkan
priapisme yang tergantung dosis dan fibrosis lokal pada penggunaan jangka
panjang (Chadwick et al. 2008).

Parasetamol
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen. Asetaminofen
(parasetamol) merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama
dan telah digunakan sejak 1893. Parasetamol berasal dari kata N-asetil-para-
aminofenol asetominofen (versi amerika) atau para-asetil-amino-fenol parasetamol
(versi inggris), memiliki berat molekul 151,17, rumus empiris obat ini adalah
C8H9NO2. Parasetamol merupakan senyawa metabolit aktif fenasetin, namun tidak
memiliki sifat karsinogenik (menyebabkan kanker).
Gambar. Rumus struktur kimia parasetamol (Sulistia dan Gunawan 2008).
Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal sebagai parasetamol. Parasetamol
bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti-inflamasinya lemah sekali.
Paracetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang sangat
umum digunakan untuk mengobati sakit kepala, flu dan demam. Parasetamol cukup
efektif menangani sakit musculoskeletal pada anjing. Parasetamol merupakan obat
lain pengganti aspirin yang efektif sebagai obat analgesik-antipiretik. Karena
hampir tidak mengiritasi lambung, parasetamol sering dikombinasikan dengan
AINS untuk efek analgesik (Sulistia dan Gunawan 2008). Efek antipiretik
ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Parasetamol merupakan obat analgesik-
antipiretik dengan sedikit efek antiinflamasi yang digunakan secara luas di
kalangan masyarakat. Dalam dunia kedokteran, parasetamol dosis analgesik dinilai
efektif dalam menangani nyeri akut paska operasi derajat ringan sampai sedang
(Graham et al. 2013). Parasetamol bekerja sebagai analgesik dengan cara
menghambat N-methyl-D-aspartat, sintesis nitrit oksida, dan pelepasan
prostaglandin E2 (Madhusudhan 2013).
Sifat farmakologis dan toksikologis dari parasetamol menyangkut inhibisi
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat, aksi yang sama seperti selektif COX-
2 inhibitor. Parasetamol tidak memberikan efek samping seperti NSAID yang
disebabkan karena inhibisi prostaglandin (Prescoit et al. 1990). Meskipun
demikian, pada sel yang rusak, parasetamol dengan dosis diatas jendela terapi dapat
menghambat sintesis prostaglandin. Parasetamol menghambat sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat dibawah kondisi tertentu, yaitu ketika
peroksidanya rendah. Prostaglandin endoperoksidase sintetase (PGES) merupakan
enzim yang ditemukan di ginjal yang mengaktivasi parasetamol menjadi metabolit
toksik, yaitu NAPQI. Diketahui bahwa enzim yang bekerja pada parasetamol atau
NAPQI, mendeasetilasi senyawanya menjadi p-aminofenol, yang kemudian
dikonversi menjadi radikal bebas yang bisa berikatan dengan protein selular (Mazer
dan Perrone 2008).
Penggunaan parasetamol pada dosis rendah dan jangka waktu yang relatif
singkat memang tidak menimbulkan efek samping yang membahayakan, tetapi
apabila parasetamol digunakan dalam dosis besar dan jangka waktu lama dapat
meningkatkan risiko hepatotoksik, yaitu mengakibatkan kerusakan hati berupa
nekrosis hati setrilobuler yang dapat berujung pada kematian (Paramita 2007).
Overdosis parasetamol tidak bisa dianggap hal yang wajar karena dapat
menyebabkan. kerusakan hati yang fatal Overdosis bisa menimbulkan mual,
muntah dan anoreksia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu
diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini
mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Toms et al. 2012).

Sulfaguanidin
Sulfaguanidin adalah salah satu turunan sulfonamida dan merupakan
sulfonamide pertama yang dirancang untuk mengobati infeksi enterik. Struktur
sulfaguanidin mirip dengan sulfametoksazol yang merupakan turuna sulfonamide
juga (Ghalib et al. 2007). Sulfaguanidin diperoleh dengan kondensasi p-
aminobenzen sulfonilklorida dengan guanidine dan produk yang terbetuk
dihidrolisis dengan NaOH. Sulfaguanidin memiliki berat molekul 232,26, rumus
empiris obat ini adalah C7 H10 N4 O2 S.H2 O. Sulfaguanidin merupakan antibakteri
untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Sulfaguanidin
kompetitif menghambat paraaminobenzoic acid dan mencegah pembentukan asam
folat oleh sel bakteri. Aktifitas bakteriostatik terhadap sejumlah patogen yang
menyebabkan infeksi usus seperti Escherichia coli, Shigella, Salmonella (Tjay dan
Rahardja 2007) .

Gambar. Rumus struktur kimia Sulfaguanidin


Sulfaguanidin merupakan sulfonamide usus. Obat ini hanya sedikit sekali
(5-10%) diserap oleh usus sehingga menghasilkan konsentrasi obat yang tinggi
didalam usus besar. Sulfaguanidin ternyata lebih baik resorpsinya sampai lebih
kurang 50% dan sebaiknya jangan digunakan untuk pengobatan infeksi usus
berbung efek sistemisnya. Sulfaguanidin dahulu banyak dimasukkan dalam sediaan
kombinasi antidiare, tetapi kini praktis tidak digunakan lagi (Tjay dan Rahardja,
2007). Pemberiannya bisanya dikombinasikan dengan obat lain dalam pengobatan
untuk infeksi gastrointestinal dan digunakan secara lokal untuk tenggorokan dn
kulit. Akan tetapi, dikarenakan sulfaguanidin tidak larut dan sukar untuk diabsorpsi
maka guanidine tidak digunakan lagi.
Efek samping obat ini yang paling umum adalah gangguan gastrointestinal,
hilangnya nafsu makan, mual, disbiosis (hipovitaminosis B dan K) apabila
digunakan dalam waktu yang lama, candidiosis. Menurut Rjay dan Rahardja
(2007), efek samping lainnya adalah allergic rash pada kulit dan pengelupasan,
photosensitisasi, leucopenia, methemoglobinemia, anemia hemolytic (individu
yang defisiensi glucose-6-phosphat dehidrogenase), hiperbilirunemia pada
neonates dan bayi premature, nefrotoksik, oliguria, albuminuria, obstruksi saluran
kemih, pengendapan acetyl sulfaguanidin, shock endotoksin, cendrung terjadi
pendarahan (Vitamin K).

Sacharum Lactis
Saccharum lactis (sinonim dari laktosa) adalah gula disakarida yang
terdapat dari sekresi susu mamalia. Sediaan ini digunakan untuk susu buatan
(formula), pada pabrik makanan dan pada kepentingan farmasi; dalam dosis besar,
berfungsi sebagai diuretik dan laksativa. Saccharum lactis merupakan bahan
tambahan pada pembuatan obat kering (Anonim). Penggunaan zat ini biasanya
sebelum menggerus zat aktif obat, yakni untuk menutup pori-pori mortar dan
stamper agar konsentrasi zat aktif dalam obat tidak berkurang (Syamsuni 2006).

METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah timbangan dan anak
timbangan, batu kerikil, mortar dan stemper, kertas perkamen, kapsul, pot plastik
dan etiket.. Bahan yang digunakan adalah Parasetamol, Sulfaguanidin, Papaverin
HCl, dan Sacharum Lactis.

Metode kerja
Timbangan yang digunakan disetarakan dengan penambahan beban pada
bagian kiri dan atau kanan timbangan kemudian timbangan dialas dengan kertas
perkamen kemudian disetarakan lagi. Dilakukan penimbangan bahan-bahan yang
akan digunakan yaitu Parasetamol 2,0 g, Sulfaguanidin 1,0 g, Papaverin HCl 0,2 g
dan Sacharum Lactis 2,0 g. Mortar kering dan bersih disiapkan, kemudian
Sacharum laktis (SL) dimasukkan dan digerus hingga homogen. Penggerusan SL
terlebih dahulu juga untuk menutup pori-pori mortar. Papaverin HCl dimasukkan
dan digerus hingga homogen, kemudian disisihkan. Sulfaguanidin digerus
kemudian ditambahkan 1/3 SL dan dihomogenkan, kemudian tambahkan Papaverin
dan 1/3 SL yang disisihkan tadi dan dihomogenkan kembali. Parasetamol digerus
dan ditambahkan 1/3 sisa SL kemudian dihomogenkan. Setelah homogen
Parasetamol dan SL ditambahkan campuran Papaverin HCl, Sulfaguanidin dan SL
yang telah dihomogenkan tadi. Hasil sediaan tersebut dibagi dua di atas timbangan,
masing-masing bagian dibagi lima diatas kertas perkamen, kemudian masukan
dalam cangkang kapsul dan dimasukkan ke dalam pot plastik. Dinding luar pot
plastik diberi etiket berwarna putih, ditambah tulisan bahwa obat tidak boleh
diulang tanpa resep dokter hewan.
Resep
Perhitungan Dosis
Perhitungan Obat Keras yang digunakan adalah:
Dosis Maksimum (DM) sekali : 250 mg
DM sehari : 1000 mg (1 g)
Rumus = n x DM
n+12

Sekali = 3/ 15 x 250 mg = 50 mg atau 0,05 g


Sehari = 3/15 x 1000 mg = 200 mg atau 0,2 g
% sekali = 0,03/ 0,05 x 100% = 60%
% sehari = 3 x 0,03/0,2 x 100% = 45%

Bahan yang diperlukan


Parasetamol = 2,0 g
Sulfaguanidin = 1,0 g
Papaverin HCl = 0,2 g
Sacharum Lactis = 2,0 g

PEMBAHASAN

Kapsul merupakan alternatif terbaik di dunia farmasi. Cangkang lunak


berbentuk tabung kecil ini dapat melindungi konsumen obat dari rasa dan aroma
yang ekstrim. Kapsul juga melindungi pasien dari obat yang terlalu asam. Itu karena
kapsul baru akan hancur di usus dan bukan lambung. Menurut Suryani et al. (2009),
daya tahan obat ini kurang begitu baik lantaran lapisannya terbuat dari gelatin.
Gelatin sangat mudah menarik air hingga menjadi basah. Obat jadi mudah
terkontaminasi jamur dan bakteri. Tak heran, daya tahan kapsul hanya beberapa
minggu atau bulan. Kondisi ini umumnya disiasati produsen obat dengan
mengemas kapsul dalam plastik hingga bisa disimpan bertahun-tahun. Wanamaker
dan Massey (2006) menyatakan bahwa kapsul memiliki keuntungan jika diberikan
pada pasien sebab pasien tidak akan merasakan rasa yang tidak enak (unpalatable)
saat obat berkontak dengan mukosa mulut. Selain itu, melapisi tablet atau kapsul
dengan bahan yang palatable, seperti rasa kacang (peanut butter), Cat Lax, dan
makanan kaleng (cat food atau dog food)dapat menyiasati agar hewan mau untuk
menelan obat tersebut.
Pembuatan sediaan ini merujuk pada catatan yang tertulis singkatan
m.f.pulv.No.X (misce fac pulveres numero X) artinya ambil dan buatlah serbuk
terbagi ke dalam sepuluh bagian; dan s.t.d.d 1 pulv a.c (signa ter de die uno pulveres
ante cibos) artinya buatlah tanda tiga kali sehari, satu takaran sebelum makan.
Penggulangan obat serbut terbagi tersebut harus disertai dengan resep dokter,
karena mengandung obat keras (papaverin HCl) dan antibiotic (sulfaguanidin). Jika
penggunaannya tidak tepat, maka akan menimbulkan kondisi abnormal lainnya.
Papaverin HCl berupa serbuk hablur berwarna putih dan tidak berbau. Bahan
ini memiliki manfaat sebagai anti spasmodik atau spasmolitik. Menurut
Manzano et al. (2015) pada penyakit saluran pencernaan, bahan ini penting
karena bekerja merelaksasikan otot polos dan bekerja langsung pada otot
tersebut. Selain bekerja pada saluran cerna, papaverin juga diindikasikan pada
spasmus bronchus, saluran empedu, dan salurin urin serta uterus (Singla et al.
2009).
Sulfaguanidin merupakan antibakteri untuk pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Sulfaguanidin kompetitif menghambat
paraaminobenzoic acid dan mencegah pembentukan asam folat oleh sel bakteri.
Aktifitas bakteriostatik terhadap sejumlah patogen yang menyebabkan infeksi usus
seperti Escherichia coli, Shigella, Salmonella (Tjay dan Rahardja 2007).
Parasetamol termasuk dalam bahan pembuatan sediaan serbuk terbagi ini
memberikan efek penurun panas dan penahan sakit. Parasetamol dosis analgesik
dinilai efektif dalam menangani nyeri akut paska operasi derajat ringan sampai
sedang (Graham et al. 2013). Secara keseluruhan sediaan ini diindikasikan untuk
mengatasi masalah sakit perut/diare yang disertai pusing/sakit kepala. Obat sakit
perut/mules adalah obat atau agen berupa serat yang mengurangi gejala diare. Obat-
obatan antidiare paling efektif adalah derivate opioid, yang menurunkan motilitas
usus agar memungkinkan waktu yang lebih besar untuk penyerapan air dan
elektrolit (Cossio et al. 2013).

SIMPULAN
Penggunaan kapsul dinilai sangat menguntungkan sebab selain dapat
menutupi rasa dan bau obat yang tidak enak, sediaan kapsul juga memudahkan
dokter untuk mengombinasikan beberapa macam obat dengan dosis yang berbeda-
beda sesuai kebutuhan pasien. Khasiat dari sediaan obat ini adalah untuk mengatasi
sakit perut yang disertai dengan sakit kepala.
DAFTAR PUSTAKA

Allen, LV. 2003. Contemporary Pharmaceutical Compounding, The Annals of


Pharmacotherapy: 37 (10), 1526-1528
Ansel, Howard, C., 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia pp 605-609
Armstrong NA. 2012. Th e instrumentation of capsule-fi lling machinery.
http://www.pharmpress.com] 10 Maret 2012
Baltaci B, Basar H, Ozcan A, Gulhan Y, Aytunur CS. 2010. Cardiac arrest after
intracisternal papaverine instillation during intracranial aneurysm surgery.
Case report. J Neurosurg 113: 760-762.
Cossio MLT, Giesen LF, Araya G, et al. Effect of Tramadol/Acetaminophen
Combination Tablets in the Treatment of Chronic Pain. Uma ética para
quantos?. 2012;XXXIII(2):81-87.
Chadwick GM, Asher AL, Van Der Veer CA, Pollard RJ (2008) Adverse effects of
topical papaverine on auditory nerve function. Acta Neurochir (Wien) 150:
901-909.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia;
Fonkwe LG, Archibald DA, Gennadlos A. 2005. Non-gelatin shell formulation.
United State Patent. Patent No. US006949256B2.
Ghalib G, Ibnu D, Rohman A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta (ID):
PustakaPelajar.
Gill, D (2004) Ethical principles and operational guidelines for good clinical
practice in paediatric research. Recommendations of the Ethics Working
Group of the Confederation of European Specialists in Paediatrics (CESP),
European Journal of Pediatr ic, 163: 53–57
Graham GG, Davies MJ, Day RO, Mohamudally A, Scott KF. 2013. The modern
pharmacology of paracetamol: Therapeutic actions, mechanism of action,
metabolism, toxicity and recent pharmacological findings.
Inflammopharmacology.;21(3):201-232.
Harianto, Tazwir, Peranginangin R. 2008. Studi teknik pengeringan gelatin ikan
dengan alat pengering kabinet. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan 3(1): 89-96.
Ku MS, Lu Q, Chen Y. 2010.Performance qualifi cation of a new hypromellose
capsule part II disintegation and dissolution comparison between two type
of hypromellose capsules. International Journal of Pharmaceutics 386: 30-
41.
Madhusudhan SK. Novel analgesic combination of tramadol, paracetamol, caffeine
and taurine in the management of moderate to moderately severeacute low
back pain. J Orthop. 2013;10(3):144-148.
Manzano D Lopez Gonzalez*, Bertran GC and Baraza JL. 2015. Severe
Bradycardia after Topical Use of Papaverine during a Pons Cavernoma
Surgery. Int J Neurol Neurother. 2 (2): 1-2.
Mazer M, Perrone J. 2008. Acetaminophen-Induced Nephrotoxicity :
Pathophysiology , Clinical Manifestations , and Management. 4(1):2-6.
Moran CM, Mahla ME, Reichwage B, Lewis S, Peters K, et al. (2011) Transient
bilateral brainstem dysfunction caused by topical administration of
papaverine. J Neurosurg.
Paramita, P. 2007. Kadar Serum Aspartat Aminotransferase dan Alanin
Aminotransferase Pada Tikus Wistar Setelah Pemberian Asetaminofen Per
Oral Dalam Berbagai Dosis. [Skripsi]. Semarang: UNDIP.
Prescoit LF, Mattison P, Menzies DG, Manson LM. 1990. The comparative effects
of paracetamol and indomethacin on renal function in healthy female
volunteers. 403-412.
Rath GP, Mukta, Prabhakar H, Dash HH, Suri A (2006) Haemodynamic changes
after intracisternal papaverine instillation during intracranial aneurysmal
surgery. Br J Anaesth 97: 848-850.
Singla N, Mathuriya S, Mohindra S, Umredkar A, Adhiari S, et al. (2009) Severe
hypotension with intracisternal application of papaverine after clipping of an
intracranial aneurysm. Surg Neurol 72: 770-771.
Soebagyo, S.S., 2000 Tablet Sebagai Manifestasi Peran Teknologi Farmasi Pada
Penghantaran Obat, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas
Farmasi UGM, 10-20.
Strober BE, Washenik K, Shupack JL. 2008. Principles of topical therapy. In:
Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen K, eds.
Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2090-6.
Sudarma IM. 2007. The Sulfonation Study Of Reaction Mechanism On Papaverine
Alkaloid By Gc-Ms And Ft-Ir. Indo. J. Chem. 7 (1): 67 – 71.
Sulistia Gan Gunawan (eds.). 2008. Farmakologi dan Terapi, 5th ed. Jakarta: FK
Universitas Indonesia. p230-246

Syamsuni H. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: EGC Pr.
Tjay TH dan Raharja K, 2008, Obat-Obat Penting, PT.Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Toms L, McQuay HJ, Derry S, Moore RA. 2012. Single Dose Oral Paracetamol
(Acetaminophen) For Postoperative Pain in Adults. The Cochrane
Collaboration. 36(4): 11-19.

Wiedyaningsih, C; Oetari, RA (2004) Tinjauan terhadap bentuk sediaan obat :


kajian resep-resep di apotek kotamadya Yogyakarta, Majalah Farmasi
Indonesia, 14(4), 201 – 207,
Winfield, A.J., Rees, J.A., Smith, I. (2009). Pharmaceutical Practice. Fourth
Edition. Churchill Livingstone. Pages: 393, 395
World Health Organization. 2007. Promoting safety of medicines for children.
France : World Health Organization;.
Wanamaker BP, KL Massey. 2009. Applied Pharmacology for Veterinary
Technicians. Ed Ke-4. USA: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai