Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENATALAKSANAAN KERACUNAN
ASETAMENOFENA

DISUSUN OLEH :

1. NELVIDA OKTAVIA SIREGAR


2. DERMAWAN SIDABUTAR

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES MITRA BUNDA PERSADA
BATAM
2017-2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga

makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan

banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan

memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk

maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih

banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan

saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Batam, 22 Februari 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Obat adalah suatu zat yang digunakan untuk diagnosa, mencegah mengurangkan,

menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan

badaniah atau rokhaniah pada manusia atau pada hewan, memperelok badan atau bagian

badan manusia.Meskipun obat dapat menyembuhkan, tetap saja memiliki banyak efek

samping apabila penggunaannya tidak sesuai aturan.

Banyak kasus yang terjadi bahwa seseorang telah menderita akibat keracuna nobat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat

sebagai obat apabila digunakan secara tepat dalam pengobatan suatu penyakit dengan

dosis dan waktu yang tepat. Jadi bila penggunaan obat tersebut salah dalam proses

pengobatannya, misalnya dosis yang diberikan lebih dari ketenuan maka akan

menimbulkan keracunan. Namun bila dosisnya lebih kecil kita tidak memperoleh

penyembuhan. Oleh karena itu, penggunaan obat harus tepat sesuai dengan dosis atau

ketentuan penggunaan obat yang baik (Anief,1995).

Di Indonesia cukup banyak laporan tentang kasus hepatotoksisitas, walaupun jumlah

kematian akibat toksisitas ini tidak begitu tinggi. Salah satu penyebab dari toksisitas ini

adalah pemakaian dalam jangka waktu yang lama atau overdosis dari suatu obat seperti

Parasetamol. Dilaporkan juga bahwa pemakaian parasetamol dengan dosis yang tinggi
atau penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi

hati berupa nekrosis dan dapat juga terjadi nekrosis pada tubulus ginjal. Melalui berbagai

kasus keracunan yang terjadi akibat penggunaan obat Parasetamol, maka di dalam

makalah ini akan dijelaskan mengenai toksisitas Parasetamol.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

a. Bagaimana rute paparan toksisitas Parasetamol ?


b. Apa saja antidotum yang tepat bagi pasien dengan keracunan Parasetamol ?
c. Bagaimana mekanisme antidotum tersebut?
d. Bagaimana cara pemberian dosis paracetamol pada pasien?
e. Bagaimana penatalaksanaan bagi pasien geriatric dengan toksisitas Paracetamol ?

1.3. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah:

a. Mengetahui rute paparan dalam tubuh dari peristiwa keracunan Parasetamol.


b. Mengetahui antidotum yang tepat bagi pasien dengan keracunan Parasetamol.
c. Mengetahui mekanisme antidotum bagi pasien dengan keracunan Parasetamol.
d. Mengetahui penatalaksanaan bagi pasien yang keracunan Parasetamol, terutama
pada
pasien geriatri.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Parasetamol

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara


kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal
sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono, 2002)

Parasetamol adalah para aminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai
daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak
menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).

Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek
anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang,
seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)

Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak
mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung.
Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.

Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling
ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya
digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari
penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol
bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendirisendiri. (Sartono 1996).
2.2. Sifat Fisika Kimia Parasetamol

Gambar 2.1. Struktur Kimia Parasetamol

Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida

BeratMolekul : 151.16

Rumus Empiris : C8H9NO2.

Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam etanol.

Jarak lebur : Antara 168⁰ dan 172⁰. 2.3.

2.3 Farmakodinamik dan Farmakokinetik Parasetamol

2.3.1 Farmakodinamik

Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu

menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu

tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek

anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan

sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG)

yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini,

demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa. (Farmakologi UI)

2.3.2. Farmakokinetik

Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi

tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam

plasma, 25% parasetamol terikat oleh protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim
mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan

sebagian kecil laiinya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami

hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan

hemolisis eritrosit. Obat ini dieksresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagian parasetamol

(3%) dan sebagian besar dalam bentuk konjugasinya

2.4. Dosis

Parasetamol Paracetamol Tablet

 Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 1 tablet, 3 – 4 kali sehari.


 Anak-anak 6 – 12 tahun : ½ – 1, tablet 3 – 4 kali sehari.
 Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml Anak usia 0 – 1 tahun : ½ sendok takar (5 mL), 3 –
4 kali sehari.
 Anak usia 1 – 2 tahun : 1 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
 Anak usia 2 – 6 tahun : 1 – 2 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
 Anak usia 6 – 9 tahun : 2 – 3 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
 Anak usia 9 – 12 tahun : 3 – 4 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.

2.5. Komposisi

 Paracetamol Tablet.
Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.
 Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml
Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 125 mg.
 Paracetamol Sirup 160 mg/5 ml
Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 160 mg.
 Paracetamol Sirup Forte 250 mg/5 ml
Setiap 5 ml (1 sendok takar) mengandung Parasetamol 250 mg. 2.6.
2.6 Indikasi

Parasetamol merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai

antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai

sedang.(Cranswick 2000).

2.7. Kontra Indikasi

Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat ini.

(Yulida 2009).

2.8. Efek Samping

Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya

berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada

mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian

kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi

enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal. Methemoglobinemia dan

Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kirakira 1-

3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar

lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi

karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar

disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih

mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis

besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.
2.9. Mekanisme Obat Parasetamol

Mekanisme kerja parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa

penyebab inflamasi). Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk

teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), dengan cara menghambat suatu enzim yang

namanya COX-3 (siklooksigenase) yang ada di otak. Berbeda dengan obat-obat analgesik

yang lain seperti aspirin, ibuprofen, metampiron atau golongan NSAID mereka menghambat

COX-1 dan COX-2 yang ada di sistem syaraf perifer (tepi).

Penghambatan tersebut untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi.

Paracetamol juga bekerja pada pusat pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara

spesifik belum diketahui. Ternyata di dalam tubuh efek analgetik dari parasetamol

diperantarai oleh aktivitas tak langsung reseptor canabinoidCB1. Di dalam otak dan sumsum

tulang belakang, parasetamol mengalami reaksi deasetilasi dengan asam arachidonat

membentuk N-arachidonoylfenolamin, komponen yang dikenal sebagai zat endogenous

cababinoid.

Adanya N-arachidonoylfenolamin ini meningkatkan kadar canabinoid endogen

dalam tubuh, disamping juga menghambat enzim siklooksigenase yang memproduksi

prostaglandin dalam otak. Karena efek canabino-mimetik inilah terkadang parasetamol

digunakan secara berlebihan. Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini

berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu molekul yang

tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-inflamasi.

Mekanisme kerja lain parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat enzim

siklooksigenase seperti halnya aspirin mengurangi produksi prostaglandin, yang berperan


dalam proses nyeri dan demam sehingga meningkatkan ambang nyeri, namun hal tersebut

terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada

kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini

menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun

malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana

kondisinya tidak oksidatif.

2.9.1. Mekanisme reaksi

Paracetamol bekerja dengan mengurangi produksi prostaglandins dengan

mengganggu enzim cyclooksigenase (COX). Parasetamol menghambat kerja COX pada

sistem syaraf pusat yang tidak efektif dan sel edothelial dan bukan pada sel kekebalan

dengan peroksida tinggi. Kemampuan menghambat kerja enzim COX yang dihasilkan otak

inilah yang membuat paracetamol dapat mengurangi rasa sakit kepala dan dapat

menurunkan demam tanpa menyebabkan efek samping,tidak seperti analgesik-analgesik

lainnya

2.10. Interaksi Obat Parasetamol

pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia. Masa paruh

kloramphenikol dapat sangat diperpanjang.

2.11. Peringatan dan perhatian

 Bila setelah 2 hari demam tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak

menghilang, segera hubungi Unit Pelayanan Kesehatan.


 Gunakan Parasetamol berdasarkan dosis yang dianjurkan oleh dokter. Penggunaan

paracetamol melebihi dosis yang dianjurkan dapat menyebabkan efek samping yang

serius dan overdosis.

 Hati-hati penggunaan parasetamol pada penderita penyakit hati/liver, penyakit

ginjal dan alkoholisme. Penggunaan parasetamol pada penderita yang

mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko kerusakan fungsi hati.

 Hati-hati penggunaan parasetamol pada penderita G6PD deficiency.

 Hati-hati penggunaan parasetamol pada wanita hamil dan ibu menyusui.

Parasetamol bisa diberikan bila manfaatnya lebih besar dari pada risiko janin atau

bayi. Parasetamol dapat dikeluarkan melalui ASI namun efek pada bayi belum

diketahui pasti.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kasus Keracunan Parasetamol

Meninggal Gara-gara Overdosis Parasetamol

Shrewsbury, Inggris, Parasetamol dikenal sebagai obat penurun demam dan

pereda nyeri seperti sakit kepala, sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot.

Namun penggunaannya harus memperhatikan dosis yang diresepkan. Bila tidak,

nyawa bisa melayang seperti yang dialami Cynthia Shearer.

Cynthia Shearer (68 tahun) dirawat karena mengalami patah tulang pinggul. Ia

harus berbaring di rumah sakit dan dokter meyakinkan akan melakukan apa saja untuk

meringankan rasa sakitnya. Keluarga berharap operasi ringan bisa membuatnya segera

pulang ke rumah. Tapi Cynthia tidak pernah pulang lagi. Setelah 20 hari di rumah

sakit, nenek ini pun harus meninggal dunia di usia 68 tahun. Bukan karena tulang

pinggul yang patah atau operasi yang gagal, Cynthia meninggal karena diberikan

lebih dari 85 persen dosis aman parasetamol selama 48 jam pertama di rumah sakit.

Overdosis obat penghilang rasa sakit itu menyebabkannya mengalami

kegagalan multi organ. Dengan berat badan hanya 34,9 kg, Cynthia seharusnya hanya

diberikan parasetamol dosis anak. Perlu diketahui bahwa dosis intravena harus

didasarkan pada berat badan pasien, bukan usia. "Ini karena kurangnya kesadaran dari

dokter junior, perawat, dokter senior dan apoteker, termasuk apoteker kepala," jelas
Koroner John Ellery, seperti dilansirMirror.co.uk, Senin (19/3/2012). Penyelidikan

menemukan bahwa kurangnya kesadaran tentang pedoman mengenai obat yang

paling banyak digunakan di antara dokter senior dan apoteker di Royal Shrewsbury

Hospital.

3. 1 Mekanisme Toksisitas

3.1.1. Rute Paparan

Parasetamol umumnya dikonversi oleh enzim sitokrom P450 di hati

menjadi metabolit reaktifnya, yang disebut N-acetyl-p-benzoquinoneimine

(NAPQI)

Proses ini disebut aktivasi metabolik, dan NAPQI berperan sebagai radikal bebas

yang memiliki lama hidup yang sangat singkat. Meskipun metabolisme parasetamol

melalui ginjal tidak begitu berperan, jalur aktivasi metabolik ini terdapat pada ginjal dan

penting secara toksikologi. Dalam keadaan normal, NAPQI akan didetoksikasi secara

cepat oleh enzim glutation dari hati. Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan

mengikat secara kovalen radikal bebas NAPQI, menghasilkan konjugat sistein.

Sebagiannya lagi akan diasetilasi menjadi konjugat asam merkapturat, yang kemudian

keduanya dapat diekskresikan melalui urin.

Pada dosis terapi, N-asetil-p-benzoquinoneimine (NAPQI) bersifat hepatotoksik,

dimana pada dosis berlebih (over dosis) produksi metabolit hepatotoksik meningkat

melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut

bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada

penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa


glutation.

3.1.2. Dosis Toksik

Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa

berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat

menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati.

Sebagaimana juga obat-obat lain, bila penggunaan parasetamol tidak benar,

makaberisiko menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Parasetamol dalam

jumlah 10 – 15g (20-30 tablet) dapat menyebabkan kerusakan serius pada hati dan

ginjal. Kerusakan fungsi hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol kronik yang

mengkonsumsi parasetamol dengan dosis 2g/hari atau bahkan kurang dari itu.Pada

alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim

hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit

meningkat.

3.1.3. Gambaran Klinis

Gejala keracunan parasetamol dapat terdiri atas 4 fase :

Fase 1 :

Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu pada tubuh yang

tak nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan keringat.

Saluran pencernaan dapat mengaktifkan pusat muntah oleh stimulasi

mekanoreseptor atau kemoreseptor trigger zone (CTZ) pada glossopharyngeal atau

aferen vagal (saraf kranial IX dan X) atau dengan pelepasan serotonin dari sel-sel

usus enterochromaffin, yang pada gilirannya merangsang reseptor 5HT3 pada


aferen vegal. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan kepusat muntah ketika di

rangsang oleh zasetaminophen. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus,

frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks

muntah.

Fase 2

Pembesaran liver (Hepatomegali), peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim

hepatik, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan darah menjadi bertambah lama

dan kadang-kadang terjadi penurunan volume urin. Kerusakan akan organ hati

dapat menganggu kemampuan tubuh manusia untuk memecah sel darah merah dari

toksin atau racun yang terkandung didalamnya. Bilirubin pada darah serta racun

lain yang ada pada darah pun tidak akan mampu dikeluarkan tubuh sehingga tetap

mengendap dan menetap dalam hati, sehingga hati mengalami kerusakan dan hati

mengalami penurunan kemampuan dalam memecah protein .

Fase 3 :

Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah munculnya gejala

awal) serta terlihat gejala awal gagal hati seperti pasien tampak kuning karena

terjadinya penumpukan pigmen empedu di kulit, membran mukosa dan sklera

(jaundice), hipoglikemia, kelainan pembekuan darah, dan penyakit degeneratif

pada otak (encephalopathy). Pada fase ini juga mungkin terjadi gagal ginjal dan

berkembangnya penyakit yang terjadi pada jantung (cardiomyopathy).

Fase 4 :

Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat
terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian.

(Lusiana Darsono, 2002)

3.2.Penegakan Diagnosa

Penegakan diagnosa keracunan parasetamol dilakukan setelah mendapatkan

riwayat/anamnesa yang jelas dari korban maupun saksi (keluarga atau penolong). Saat

melakukan anamnesa, tenaga medis harus menanyakan apakah korban sedang menjalani

terapi menggunakan obat-obatan yang bersifat menginduksi enzim CYP2E1 (seperti

isoniazid), atau obat-obatan yang meningkatkan metabolisme enzim CYP450 (seperti

fenobarbital dan rifampisin). Selain itu harus diketahui juga apakah pasien mempunyai

riwayat mengkonsumsi alkohol secara kronik serta periksa kondisi pasien, apakah pasien

tersebut mengalami malnutrisi. Pemberian antidot (N-asetilsistein) dilakukan setelah

mendapatkan hasil konsentrasi parasetamol dalam plasma pada pasien maksimal 4 jam

setelah parasetamol ditelan.

3.3. Penatalaksanaan

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan sebagai pertolongan pertama saat

menemukan korban yang dicurigai keracunan parasetamol adalah sebagai berikut:

1. Berikan arang aktif (norit) dengan dosis 100 gram dalam 200 ml air untuk orang

dewasa dan larutan 1 g/kg bb untuk anak-anak untuk mengikat obat yang tersisa di

saluran pencernaan.

2. Apabila keracunan parasetamol dalam hitungan menit dapat dicoba untuk

mengosongkan perut. Hal ini dapat dicapai dengan menginduksi muntah atau

dengan
menempatkan sebuah tabung besar melalui mulut seseorang dan masuk ke perut,

memasukkan cairan kedalam perut kemudian memompa keluar (gastric lavage).

3. Pemberian N-asetilsistein (NAC)

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan parasetamol.

Nkonjugasi

sulfat pada parasetamol. Methionin per oral, juga bisa asetilsistein bekerja

mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan meningkatkan

digunakan

sebagai antidotum yang efektif, tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan

Nasetilsistein.

 Mekanisme Kerja NAC :

a) Glutathione (GSH) sendiri butuh sistein sebagai salah satu prekursornya.

Dengan pemberian NAC maka sistein dalam tubuh akan meningkat dan

demikian pula pembentukan Glutathione (GSH). Jika GSH ada banyak dan

jumlahnya mampu mengimbangi atau melebihi jumlah NAPQI maka tidak

ada lagi NAPQI bebas yang akan mengikat protein hati

b) NAC punya atom S dalam gugus tiolnya (S-H), sehingga NAC dapat

menyumbangkan S nya ini untuk digunakan dalam proses metabolism

parasetamol sulfatasi. Dengan adanya sulfat dari NAC maka sulfatasi akan

dapat berjalan lagi sehingga metabolisme di CYP dan pembentukan NAPQI

akan menurun

c) NAC dapat menggandeng NAPQI karena dia juga punya nukleofil, hal ini

dapat mencegah pembentukan ikatan NAPQI dengan protein hati.


 Regimen dose pemberian NAC sebagai berikut:

1. diberikan loading dose 150 mg/kgBB selama 15-30 menit

2. maintenance dose 50 mg/kgBB dalam 500 cc dextrose 5% selama 4 jam

3. 100 mg/kgBB dalam 1000 cc dextrose 5% selama 6 jam

Berdasarkan grafik diatas dapat ditentukan tentang pemberian NAC. Apabila titik

tersebut berada di bawah kedua garis (daerah low risk) maka tidak perlu diberikan

NAC karena kemungkinan hepatotoksik rendah, namun apabila di atas kedua garis

(daerah probable risk) maka perlu diberikan NAC.

Terapi asetilsistein paling efektif bila diberikan dalam waktu 8-10 jam pasca

penelanan parasetamol. N-asetilsistein harus diberikan secara hati-hati dengan

memperhatikan kontraindikasi dan riwayat alergi pada korban, terutama riwayat

asthma bronkiale.

 Efek samping penggunaan NAC


1. Reaksi Anafilaksis pada Pasien tanpa Intoksikasi Parasetamol.
Pasien yang diterapi dengan asetilsistein, sedangkan kadar parasetamol
serum berada dalam rentang kadar terapeutik atau nontoksik beresiko
mengembangkan reaksi anafilaksis. Dawson et al. menyatakan bahwa pasien
tanpa intoksikasi parasetamol yang menerima terapi asetilsistein, akan
mengembangkan efek merugikan dari asetilsistein tersebut. Namun dia tidak
menjabarkan efek-efek buruk tersebut.
2. Bronkospasme
Asetilsistein dapat menginduksi bronkospasme pada pasien-pasien asma
akibat adanya pelepasan histamin lokal atau karena adanya penghambatan
tachyphylaxis terhadap allergen
3. Status Epileptikus
Ada laporan studi yang mengaitkan status epileptikus sehubungan
penggunaan asetilsistein. Hal ini terjadi pada pasien dengan overdosis
asetilsistein.
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dibuat beberapa kesimpulan yaitu:

1. NAPQI pada dosis berlebih (over dosis) menyebabkan produksi metabolit

hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi,

sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis

sentro-lobuler.

2. Antidotum spesifik bagi pasien keracunan parasetamol adalah N-asetilsistein dan

metionin.

3. N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan

meningkatkan konjugasi sulfat pada parasetamol.

4. Penatalaksanaan bagi pasien keracunan parasetamol disesuaikan dengan kondisi

pasien, terutama pasien geriatric.

4.2. Saran

 Dalam pemberian dosis hendaknya diberikan sesuai dengan luas permukaan tubuh
pasien. Jangan hanya sekedar melihat umur dari si pasien.
 Dalam melakukan praktik kesehatan seharusnya melakukan prinsip pharmaceutical
care. Jadi dengan menggunakan system ini komunikasi dan kerja antara dokter,
farmasis, dan perawat bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Dan dapat
meminimalisir miss komunikasi.
 Jangan sekali-kali menyalahgunakan parasetamol. Karena efeknya bisa sangat fatal.
 Jika terjadi keracunan segera dilakukan penanganan yang tepat sedini mungkin.
Untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1997. Ilmu Meracik Obat.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Departemen Kesehatan Dirjen POM. 1995. Farmakologi Indonesia Edisi IV. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Katzung, Bertram G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai