Kasus Besar Asma
Kasus Besar Asma
ILUSTRASI KASUS
1
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat alergi terhadap cuaca dingin dan hujan yang disertai aktivitas
yang berlebihan.
- Riwayat asma sejak kecil.
- Hipertensi (-), Diabetes melitus (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
- Nenek menderita asma
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
- Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak merokok, dan tidak minum
alkohol.
Pemeriksaan Umum
- Kesadaran : Komposmentis
- Keadaan umum : tampak sakit sedang
- Tekanan Darah : 122/76 mmHg
- Nadi : 80x/menit
- Napas : 32x/menit
- Suhu : 36,3 C
Pemeriksaan Fisik
Kepala
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor,
diameter 3 mm, reflek cahaya +/+.
- Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
JVP 5-2 cmH20
Toraks
- Paru: Inspeksi : bentuk thorax normal, gerakan dada kanan =
kiri
Palpasi : fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
2
Auskultasi :ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), ronkhi
(-/-)
- Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba luas 2 jari lateral LMCS –
RIC V
Perkusi : Batas jantung kanan : Linea parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri : 2 jari lateral LMCS – RIC
V sinistra
Auskultasi : Suara jantung normal, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : perut datar, venektasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai (-), clubbing finger (-)
CRT < 2 detik
Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 28 November 2017
Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
DARAH LENGKAP - -
Hemoglobin 15,1 (L) 14-18 g/dL (P)12-14 g/dL
Eritrosit 5,27 (L) 4,5-5,5 (P) 4,5-5,0
Leukosit 11.400 5.000 – 10.000
Trombosit 334.000 150.000 – 400.000
Hematokrit 44 (L) 42-54 (P) 35-38
3
Diffcount - -
Eusinofil, Bafosil, Monosit 9.2 0-6
Neutrofil 59,5 40 – 60
Limfosit 31,3 20 – 45
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 98 <200 mg/dL
- Rontgen thorax
I.3 RESUME
Ny. A, 28 tahun datang ke UGD RS Bhayangkara Balikpapan dengan keluhan
utama sesak napas sejak 2 hari SMRS. Dari anamnesis didapatkan, sejak umur 9
tahun pasien sering mengeluhkan sesak napas dan telah didiagnosis menderita
penyakit asma. Sesak nafas tersebut hilang timbul, terasa lebih berat pada dini hari.
4
Sesak napas muncul saat cuaca dingin dan hujan serta saat pasien banyak melakukan
aktivitas. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak, berwarna putih, darah (-), pilek,
dan nyeri menelan. Pasien berobat ke dokter dan diberi obat ventolin,
metilprednisolon, dan obat batuk. Dengan minum obat tersebut, sesak nafasnya
berkurang. Terakhir pasien mengalami sesak 6 bulan yang lalu. Nenek pasien
menderita asma.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi memanjang, suara nafas
tambahan yaitu wheezing, leukositosis. Dari pemeriksaan radiologi didapatkan
corakan paru normal.
I.4 DIAGNOSIS
Asma Bronkial sedang pada asma persisten sedang.
5
P :
- Nebulizer ventolin : flexotide/8 jam
- IVFD RL drip aminofilin 1 ampul 15 gtt/menit
- Ranitidin 2x1 amp
- OBH syr 3x C 1
- Ceftriaxone 2x1 gr
- Cetirizine 1x10 mg
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan
intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi. Variasi
yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan alergen
atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan (GINA, 2016).
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi
lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma
yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi
pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan
napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala
dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi (GINA, 2016).
II.2 Klasifikasi
Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab.
Karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe asma.
Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma (Bel, 2004; Moore, 2010; Wenzel,
2012):
1. Asma alergika
Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya
muncul pada anak-anak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya rhinitis
alergi, eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada pasien tersebut
7
sebelum terapi kadang menemukan inflamasi jalan nafas eosinofilik. Pasien
dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap terapi kortikosteroid
inhalasi.
2. Asma non-alergika
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri sputumnya
dapat ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung beberapa sel
inflamasi. Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap kortikosteroid inhalasi.
3. Asma onset lambat
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma pertama
kali pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan dosis
kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi
4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten
Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas
5. Asma dengan obesitas
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan
yang sangat menonjol dan sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik
8
d. Serangan dapat menggangu aktivitas tidur dan tidur
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik
f. Variabilitas APE 20%-30%
3. Persisten sedang
a. Gejala setiap hari
b. Gejala malam > 2 kali/minggu
c. Sering dapat menggangu aktivitas dan tidur
d. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) 60%-80% nilai
prediksi atau arus puncak ekspirasi (APE) 60%-80% nilai terbaik
e. Variabilitas APE > 30%
4. Persisten berat
a. Gejala terus menerus
b. Gejala malam sering
c. Sering kambuh
d. Aktivitas fisik terbatas
e. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) < 60% nilai prediksi
atau arus puncak ekspirasi (APE) < 60% nilai terbaik
f. Variabilitas APE > 30%
9
9. Eosinofilia pada sputum
II.4 Patofisiologi
Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu
individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi
udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi
emosi yang berlebihan, rinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks
gastroesofageal dan kehamilan.1
Alergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan IgE
dependent dari sel mast saluran pernafasan dari mediator, termasuk diantaranya
histamin, prostaglandin, leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.
Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena
saluran pernafasan pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-
macam jenis serangan. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena
adanya pembengkakan dinding saluran nafas dengan atau tanpa kontraksi otot polos.
Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan
dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran pernafasan.1,6
10
merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi
aliran, hiper inflasi pulmoner, dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. 1
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka
(hipersensitif) terhadap adanya partikel udara, sebelum sempat partikel tersebut
dikeluarkan dari tubuh, maka jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat
berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan dimana6
Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan
berkontraksi/memendek/mengkerut
Produksi kelenjar lendir yang berlebihan
Bila ada infeksi akan terjadi reaksi sembab/pembengkakan dalam saluran
napas
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk
membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara napas
yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang
sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat
mengeluarkan napas.1,6
11
Gambar 2 Patofisiologi Asma7
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma
akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan
dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti Peak Expiratory Flow
Rate (PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran
udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran
udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan
atmosfer maka akan terjadi hiper inflasi dinamik. Besarnya hiper inflasi dapat dinilai
dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan.
Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks yang memperlihatkan gambaran
volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar.1
12
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot
pernafasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiper
inflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena
peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.1
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas
tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi
ini diperlukan otot-otot bantu napas.8
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar,
sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas
besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.8
II.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan
seperti wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara
ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis
asma (GINA, 2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa
berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.
13
Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa
seseorang menderita penyakit asma (GINA, 2016):
a. Batuk tanpa gejala respirasi lain
b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan parestesia
perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
14
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15%
pada dewasa) (mannitol atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200
kunjungan-kunjungan ke ml
dokter (kurang reliable) Anak: variasi FEV1 >12%
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang
paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi
kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa.
Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena
penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya
tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan pada
disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas,
trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing inspiratorik
bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal (GINA, 2016).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory
flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan
tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika
dilakukan perubahan ukuran atau alat (GINA, 2016).
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio
FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio
FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak,
dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan hambatan aliran
udara (GINA, 2016).
15
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi
paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam
satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari sebuah tes
reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau PEF secara
cepat setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti 200-400
mikrogram salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari ke hari
sampai minggu ke minggu setelah diberikan terapi kendali asma misanya
dengan intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan atau penurunan FEV1
>12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika spirometri tidak ada,
perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai asma. Akan
tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang mengalami
gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan
penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum
terapi dengan bronkodilator (GINA, 2016).
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan
nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan
histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini
cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa
terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik,
displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien
yang tidak mengonsumsi ICS dapat mengeksklusi asma, akan tetapi hasil
positif tidak selalu menandakan bahwa penyakit tersebut adalah asma,
sehingga anamnesis perlu diperhatikan (GINA, 2016).
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat
atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran serum IgE.
Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di lingkungan sekitar
adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan secara standar.
16
Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari skin prick test tapi lebih mahal
dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak kooperatif. Akan tetapi,
jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif, hal ini tidak selalu
menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis yang cermat (GINA,
2016).
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan belum
dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun pada
perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika terjadi
infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan respons
jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan FENO belum
bisa direkomendasikan (GINA, 2016).
17
paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional biasanya
mendahului asma beberapa tahun sebelum asma, dan paparan yang berlanjut
terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016).
Asma dengan onset pada usia dewasa memerlukan anamnesis yang
cermat pada riwayat pekerjaan, paparan allergen, termasuk hobi. Perlu
ditanyakan tentang apakah keluhan membaik jika pasien saati tidak bekerja.
Pertanyaan tersebut penting dan mengarahkan kepada anjuran agar pasien
mengganti tempat kerja atau pekerjaannya, yang tentunya akan berpengaruh
pada aspek sosioekonomis pasien. Pada kondisi ini perujukan ke dokter
spesialis penting, dan monitoring PEF di tempat kerja dan jauh dari tempat
kerja perlu dilakukan (GINA, 2016).
3. Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi paru,
biasanya dengan uji provokasi bronkus. Kondisi yang mirip dengan asma,
misalnya rhinitis, penyakit laring (misal: disfungsi pita suara), gangguan
pernafasan, gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan (GINA,
2016).
4. Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanyai
mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika pemeriksaan
objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak dianjurkan untuk
melakukan uji provokasi bronkus atau untuk menurunkan terapi controller
sampai selesai persalinan (GINA, 2016).
5. Orang berusia tua
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua, karena persepsi orang
tua tentang keterbatasan jalan nafas yang berkurang, anggapan bahwa sesak
nafas adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurang nya aktivitas.
Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis. Keluhan
mengi, sesak nafas, dan batuk yang memberat dengan olahraga atau memberat
saat malam juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit jantung atau kegagalan
18
ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, ditambah
dengna pemeriksaan EKG dan foto thorax dapat membantu diagnosis.
Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP) dan pemeriksaan fungsi
jantung dengan ekokardiografi juga dapat membantu. Pada orang tua dengan
riwayat merokok atau paparan bahan bakar fosil, PPOK dan Asthma–COPD
overlap syndrome (ACOS) perlu disingkikan (GINA, 2016).
6. Perokok dan bekas perokok
Asma dan PPOK sangat sulit untuk diberdakan, terutama pada orang
berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling
bertumpang tindih (Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global
Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD (GOLD)
mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik, paparan
terhadap faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC paska bronkodilator
<0.7. Reversibilitas bronkodilator (>12% dan >200 ml) dapat ditemukan
dalam PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan pada Asma.
Riwayat penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis.
Ketidakpastian diagnosis membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk
karena terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016).
7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller
Jika diagnosis asma belum ditegakkan, konfirmasi diagnosis perlu
dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas
kesehatan tingkat 1 tidak bisa terkonfirmasi diagnosis asma. Konfirmasi
diagnosis asma tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada beberapa pasien,
bisa disertakan percobaan untuk menurunkan atau menaikkan dosis
controller. Jika diagnosis tetap tidak bisa ditegakkan, maka perlu dilakukan
rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi (GINA, 2016).
8. Pasien obesitas
Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala
respiratorik yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien
obes dengan adanya dispneu saat aktivitas, perlu dikonfirmasi diagnosis
19
dengan pemeriksaan objektif untuk menemukan adanay hambatan jalan nafas
(GINA, 2016).
9. Kondisi sumber daya kurang
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses
penggalian gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk, menggigil,
penurunan berat badan, nyeri saat bernafas dan adanya batuk darah yang
membedakannya dengan infeksi kronik paru seberti TBC, HIV/AIDS dan
infeksi parasite atau jamur. Variabilitas jalan nafas dapat dikonfirmasi dengan
PEF meter dan perlu diperiksa sebelum diberikan terapi SABA atau ICS, atau
bisa dilakukan bersamaan dengan pemberian 1 minggu kortikosteroid oral
(GINA, 2016).
20
II.7 Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori usianya
(GINA, 2016):
a. Usia 6-11 tahun
a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
b. Inhalasi benda asing
c. Bronkiektasis
d. Diskinesia silier primer
e. Penyakit jantung kongenital
f. Displasia bronkopulmoner
g. Kistik fibrosis
b. Usia 12-39 tahun
a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
b. Disfungsi pita suara
c. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
d. Bronkiektasis
e. Kistik fibrosis
f. Penyakit jantung kongenital
g. Defisiensi alfa-1 antitripsin
h. Inhalasi benda asing
c. Usia 40 tahun ke atas
a. Disfungsi pita suara
b. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
c. PPOK
d. Bronkiektasis
e. Gagal jantung
f. Batuk terkait obat
g. Penyakit parenkim paru
h. Embolisme pulmonary
i. Obstruksi saluran nafas sentral
21
II.8 Penilaian Asma
Penilaian asma seharusnya seharusnya menilai pula pengendalian asma
(pengendalian gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi
terutama dalam hal teknik inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat
berkontribusi terhadap keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk. Untuk
memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru, terutama FEV1 perlu dinilai.
Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta penilaian faktor risiko
untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk.
Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma
(GINA, 2016)
A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Tidak
Dalam 4 minggu terkakhir apakah Terkontrol Terkontrol
Terkontro
pasien memiliki : Penuh Sebagian
l
1. Gejala asma harian Ya (1 poin)
lebih dari dua kali Tidak ( 0
dalam 1 minggu poin)
2. Terbangun di Ya (1 poin)
malam hari karena Tidak ( 0
asma poin)
3. Penggunaaan obat
pelega untuk Tidak terdapat Terdapat 1-2 Terdapat 3-
Ya (1 poin) satupun kriteria kriteria 4 kriteria
mengatasi gejala*
Tidak ( 0
lebih dari dari dua
poin)
kali dalam 1
minggu
4. Keterbatasan Ya (1 poin)
aktifitas fisik Tidak ( 0
karena asma poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak
pasien menggunakannya secara rutin
22
• Efek samping obat
II.9 Tatalaksana
d. Nonfarmakologis (GINA, 2016)
a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
b. Aktivitas fisik
c. Penghindaran paparan alergen kerja
d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
e. Penghindaran alergen dalam ruangan
f. Latihan bernafas
g. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
23
h. Vaksinasi
i. Bronkial termoplasti
j. Kontrol stress emosional
k. Imunoterapi alergen
l. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
m. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
e. Tatalaksana Farmakologis (GINA, 2016)
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan
asma secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas,
mengendalikan gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan
fungsi paru.
Tabel 4. Obat Controller asma
Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan anti-inflamasi–steroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia
lagi
Beklometason Becotide MDI
Golongan β-agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
24
Zafirlukas Accolade Tablet-ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
form oterol seretide MDI
Flukason +
salme terol
25
muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu
tersebut, dosis ICS lebih tinggi dibutuhkan, sedangkan fungsi paru sudah
sangat lebih menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien yang
telah mulai menggunakan ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen iritan
dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
g. Tatalaksana Lainnya
a. Imunoterapi Alergen (GINA, 2016)
Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi memerankan
peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan rinokonjungtivitis
alergika. Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1) subcutaneous
immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual immunotherapy (SLIT). Studi
saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan sebagian lainnya.
26
SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, dan penurunan responsivitas
terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah reaksi anafilaksis
yang dapat mengancam jiwa.
SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak.
Sebuah setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien dengan
asma dan rinitis alergi menunjukan penurunan bermakna penggunaan ICS
pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang terjadi akibat metode ini antara
lain adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan.
b. Vaksinasi (GINA, 2016)
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma, dan
pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan vaksinasi
influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat menurunkan
frekuensi atau keparahan serangan asma.
c. Termoplasti Bronkial (GINA, 2016)
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma
yang tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang optimal.
Terapi ini dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan gelombang
radiofrekuensi lokal. Pada follow up jangka waktu sedang memang pasien
yang diterapi dengan metode ini akan mengalami penurunan jumlah
eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama lagi untuk menjadi
dasar bukti rekomendasi metode ini.
d. Vitamin D (GINA, 2016)
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru, peningkatan
frekuensi eksaserbasi dan penurunan respons kortikosteroid. Akan tetapi,
sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa dikaitkan secara kuat
dengan peningkatan kontrol asma atau penurunan eksaserbasi. Indikasi
merujuk ke fasilitas kesehatan lebih lanjut:
1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma
27
2) Curiga asma okupasional
3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent
4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi
6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma
7) Ragu tentang diagnosis asma
8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis sedang
dengan teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup
9) Curiga efek samping terapi
10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi
28
g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
h. Pasien asma dengan alergi makanan
6. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana
mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis, melalui
tatalaksana dari gejala yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan tingkat awal,
instalasi gawat darurat dan dalam rumah sakit (GINA, 2016).
7. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat
asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma (GINA,
2016).
a) Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana mengganti
obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral, dan akses ke
perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi.
b) Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk
pergi ke instalasi medis akur atau untuk berobat ke dokter segera,
c) Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF (pada
dewasa).
8. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama, berikut adalah tatalaksananya (GINA, 2016):
a) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat sesak
nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru,
sambal memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan terapi
oksigen
b) Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai
adanya tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan
kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid sistemik
jika diperlukan
c) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan
MDI atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian
29
oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons gejala terhadap
terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus dilakukan tiap 1 jam
d) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi
berat
e) Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien
dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
f) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
g) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status
klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan
kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah
h) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana selanjutnya,
termasuk pemulaian terapi controller atau penaikan dosis dari terapi
controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai penggunaan
sebutuhnya.
i) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma
30
Gambar 6. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan Pertama
(GINA, 2016)
31
Gambar 7. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut (IGD)
(GINA, 2016)
32
b) Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk menurunkan
risiko untuk eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis
controller untuk 2-4 minggu
c) Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan
II.10 Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
h. Status asmatikus
i. Atelektasis
j. Hipoksemia
k. Pneumotoraks
l. Emfisema
II.11 Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko
yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum
angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga
suatu kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia lebih
tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan di mulai sejak kanak-kanak
dan mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1%
yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami
serangan commond cold 29% akan mengalami serangan ulangan.
Pada penderita yang mengalami serangan intermiten (kumat-kumatan) angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan
serangan terus menerus angka kematiannya 9%.
33
BAB III
PEMBAHASAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Marleen FS, Yunus F. Asma pada Usia Lanjut. Jurnal Respirologi Indonesia 2008;28.
165-73.
Moore, W.C. 2010.. Identification of asthma phenotypes using cluster analysis in the
Severe Asthma Research Program. Am J Respir Crit Care Med. 181:315-23.
Peter, H. 1998. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for
treatment. BMJ; 316: 758-61.
Price, D. 2005. Effect of a concomitant diagnosis of allergic rhinitis on asthma related
health care use by adults. Clin Exp Allergy; 35: 282–
Rengganis, I. 2008. Diagnosa dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia Edisi November 2008.
Sohn, S.W. 2008. . Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from patients
with allergic rhinitis: relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy; 63:
268–73.
Uyainah, A. 2014. Spirometri. Ina J Chest Crit and Emerg Med. 1(1): 35-38.
Wenzel, S.E. 2012. Asthma phenotypes: the evolution from clinical to molecular
approaches. Nat Med;18:716-25.
36