Anda di halaman 1dari 11

Inkompatibilitas Golongan Darah

Inkompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara ibu dan bayi
berbeda sewaktu masa kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah, yaitu A, B, AB dan O.
Golongan darah ditentukan melalui tipe molekul (antigen) pada permukaan sel darah merah.
Sebagai contoh, individu dengan golongan darah A memiliki antigen A, dan golongan darah
B memilki antigen B, golongan darah AB memiliki baik antigen A dan B sedangkan
golongan darah O tidak memiliki antigen. Golongan darah yang berbeda menghasilkan
antibodi yang berbeda-beda. Ketika golongan darah yang berbeda tercampur, suatu respon
kekebalan tubuh terjadi dan antibodi terbentuk untuk menyerang antigen asing di dalam
darah. Inkompatibilitas ABO seringkali terjdai pada ibu dengan golongan darah O dan bayi
dengan golongan darah baik A atau B. Ibu dengan golongan darah O menghasilkan antibodi
anti-A dan anti-B yang cukup kecil untuk memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel
darah merah janin. Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan produksi
bilirubin, yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak bilirubin yang dihasilkan,
akan menyebabkan ikterus pada bayi. Bayi dengan ikterus akan memerlukan fototerapi atau
transfusi ganti untuk kasus berat. Apabila bayi tidak ditangani, bayi akan menderita cerebral
palsy. Sampai saat ini, tidak ada pencegahan yang dapat memperkirakan inkompatibilitas
ABO. Tidak seperti inkompatibilitas Rh, inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada kehamilan
pertama dan gejalanya tidak memburuk pada kehamilan berikutnya.

Bayi atau janin-baru lahir, merupakan kelompok individu yang seringkali mengalami
anemia, berupa anemia normositik-normokromik, dan biasanya hal ini dapat terjadi akibat
inkompatibilitas komponen darah di dalam darah ibu dengan komponen darah di dalam darah
janin, dapat berupa inkompatibilitas pada sistem Rh maupun inkompatibilitas pada sistem
ABO. Saat ini, inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kasus
tersering yang menyebabkan anemia, yaitu jenis anemia hemolitik pada neonatus. Sekitar 20
persen bayi mengalami inkompatibilitas golongan darah ABO dengan ibunya, dan 5 persen
saja yang mengalami gejala klinis. Untungnya, inkompatibilitas ABO hampir selalu
menyebabkan penyakit yang ringan yang bermanifestasi sebagai ikterus pada neonatus atau
anemia, tetapi bukan eritroblastosis fetalis (hidrops imun) dan terapi umumnya hanya terbatas
pada fototerapi semata, kecuali bila ditemukan ikterus yang berkepanjangan dan
mengharuskan untuk melakukan transfusi tukar. Lebih jauh, pemahaman yang baik mengenai
jenis inkompatibilitas beserta gejala klinis yang muncul, dapat sangat membantu praktisi
kesehatan untuk dapat membedakan jenis inkompatibilitas yang dihadapi sehingga dapat pula
menentukan jenis terapi yang tepat-guna bagi janin. Meski inkompatibilitas ABO tidak
menyebabkan hidrops fetalis seperti pada kasus isoimunisasi Rh, namun penyakit ini masih
berpotensi menjadi alasan di balik kasus anemia dan ikterus pada neonatus. Oleh sebab
itulah, inkompatibilitas ABO perlu untuk dipelajari dan dicermati secara saksama.

Etiologi

Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidakcocokan dari


golongan darah ibu dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu bergolongan darah O
dan janinnya bergolongan darah A, atau B, atau AB. Dikarenakan dalam kelompok golongan
darah ini, terdapat antibodi anti-A dan anti-B yang muncul secara natural, dan dapat melewati
sawar plasenta. Situasi ini dapat disebabkan oleh karena robekan pada membran plasenta
yang memisahkan darah maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti pada previa
plasenta, abruptio placenta, trauma, dan amniosentesis.7

Epidemiologi

Inkompatibilitas ABO merupakan penyebab tersering penyakit hemolitik pada


neonatus. Inkompatibilitas ABO paling sering terjadi pada kehamilan pertama dan terjadi
pada kira-kira 12% kehamilan, dengan 3% neonatus mengalami gejala klinis. Kurang dari 1%
kehamilan berkaitan dengan hemolisis signifikan.

Patofisiologi

Hemolisis yang terkait oleh karena inkompatibilitas ABO secara eksklusif terjadi pada
ibu dengan golongan darah O, dengan fetus yang memiliki tipe golongan darah A atau B.
Pada ibu dengan golongan darah A atau B, terdapat antibodi alami yang terbentuk dengan
jenis antibodi kelas IgM dan tidak dapat melewati plasenta, dimana pada 1% ibu dengan
golongan darah O, memiliki titer antibodi IgG yang tinggi melawan baik A mauapun B.
Antibodi ini akan melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis pada fetus.5,7

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis untuk penyakit hemolitik yang ringan biasanya asimtomatik disertai
hepatomegaly ringan dan peningkatan bilirubin minimal. Jika sedang sampai parah akan
bermanifestasi sebagai tanda anemia berat. Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan icterus.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang berguna terutama ialah dengan pemeriksaan darah.


Pengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral atau arteri
dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah akan memberikan
gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis, polikromasia, anisositosis,
sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien tanpa
intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah yang ternukleasi meningkat disertai
peningkatan palsu leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum
ditemukan pada kasus inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang rendah dapat diamati
pada bayi yang sudah melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan konsentrasi
hemoglobin normal, dan temuan apus darah yang normal.
Pemeriksan Coombs, terutama yang direk berguna untuk mengetahui apakah terdapat
antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus. Janin kemudian dievaluasi dengan uji
Coombs direk, karena antibodi anti-sel darah merah yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif
umumnya diserap oleh eritrosit janin D-positif. Neonatus juga dievaluasi dengan uji Coombs
direk. Antibodi ibu yang terdeteksi pada janin saat lahir, secara bertahap lenyap dalam
periode 1 hingga 4 bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu
diidentifikasi dan ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan
kekhawatiran karena antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan menyebabkan
hemolisis. Titer antibodi dikuantifikasi kemudian. Jika antibodinya ialah IgG dan diketahui
menyebabkan anemia hemolitik, dan jika titer di atas ambang kritis diindikasikan untuk
evaluasi lebih lanjut. Untuk antibodi titer-D, titer di bawah 1:16 biasanya tidak menyebabkan
kematian janin pada penyakit hemolitik, meskipun hal ini bervariasi antara lab. Titer yang
sama atau lebih dari kritis ini menandakan kemungkinan penyakit hemolitik yang parah.
Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis direk dan indirek. Uji
Coombs indirek dan direk biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru lahir yang terkena
pada inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi direk akan positif
hanya pada 20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO.

Diagnosis

Inkompatibilitas ABO ialah penyebab tersering dari kasus hemolitik pada neonatus.
Sekitar 15% dari bayi yang lahir berisiko untuk mengalami hal ini, namun manifestasi nyata
hanya terjadi pada sekitar 0,3-2,2%. Inkompatibilitas pada kelompok golongan darah mayor
di antara ibu dan fetus umumnya akan berakhir pada kasus yang lebih ringan dibandingkan
pada kasus inkompatibilitas Rh. Antibodi maternal dapat dibentuk untuk melawan sel B
apabila ibu bergolongan darah A atau melawan sel A apabila ibu bergolongan darah B.
Biasanya ibu bergolongan darah O dan bayi yang dilahirkannya bergolongan darah A atau B.
Walaupun inkompatibilitas ABO terjadi pada 20-25% kehamilan, kasus hemolitik baru dapat
berkembang pada sekitar 10% bayi baru lahir pada kehamilan tertentu, dan janin umumnya
bergolongan darah A1 yang lebih antigenik dibandingkan dengan A2. Antigenisitas yang
rendah dari faktor ABO pada fetus dan bayi yang baru dilahirkan dapat menjadi sebab
insidens yang rendah untuk kasus hemolitik yang berat. Walaupun antibodi yang melawan
faktor A dan faktor B terjadi tanpa imunisasi sebelumnya (antibodi natural), umumnya
antibodi ini ialah IgM yang tidak melewati plasenta. Namun, antibodi IgG terhadap antigen A
dapat terbentuk dan inilah yang melewati plasenta, jadi kasus hemolitik akibat isoimun A-O
dapat ditemukan pada anak pertama. Ibu yang sudah diimunisasi melawan faktor A atau
faktor B dari kehamilan sebelumnya yang tidak kompatibel, dapat menghasilkan antibodi
IgG. Inilah yang menjadi mediator primer dari kasus isoimun ABO.

Diagnosis presumptif didasarkan pada keberadaan inkompatibilitas ABO, baik lemah


hingga hasil tes Coombs positif yang moderat, sferosit pada sediaan apus sel darah, yang
mungkin saja mengindikasikan adanya sferositosis herediter. Hiperbilirubinemia dapat
menjadi satu-satunya abnormalitas pada pemeriksaan lab. Kadar hemoglobin umumnya
normal, namun dapat juga mencapai angka 10-12 g/dL. Retikulosit dapat meningkat hingga
10-15%, dengan polikromasia meluas dan peningkatan dari sel darah merah yang mengalami
nukleasi. Pada 10-20% janin yang terkena, kadar bilirubin serum yang tidak terkonjugasi
dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih kecuali fototerapi segera dimulai.7

Inkompatibilitas ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE)


dikarenakan oleh beberapa alasan: (1) penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang lahir
pertama (2) penyakitnya hampir selalu ringan daripada isoimunisasi Rh dan jarang
menyebabkan anemia yang bermakna (3) sebagian besar isoantibodi A dan B adalah
immunoglobulin M, yang tidak dapat menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin, oleh
karena itu meski dapat menyebabkan penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi
ABO tidak menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatrik daripada
obstetris (4) inkompatibilitas ABO dapat mempengaruhi kehamilan mendatang, tetapi tidak
seperti penyakit Rh CDE, jarang menjadi semakin parah.
Tidak diperlukan deteksi antenatal, induksi persalinan dini, atau amniosentesis, karena
inkompatibilitas ABO tidak menyebabkan anemia janin yang parah. Akan tetapi, pada masa
neonatus diperlukan perawatan yang cermat karena dapat terjadi hiperbilirubinemia yang
membutuhkan terapi. Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus
akibat inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut: (1) ibu memiliki golongan darah O
dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam serumnya, sedangkan janin memiliki golongan
darah A,B, atau AB; (2) ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama; (3) terdapat anemia,
retikulositosis, dan eritroblastosis dengan derajat bervariasi; dan (4) kasus hemolisis yang lain
telah disingkirkan dengan teliti.

Manifestasi klinis: Sebagian besar kasus bersifat ringan, dengan ikterus menjadi
manifestas klinis satu-satunya. Bayi tidak terlalu terpengaruh di saat kelahiran, pucatnya kulit
juga tidak ada, dan hidrops fetalis sangatlah jarang terjadi. Hati dan limpa tidak mengalami
pembesaran yang berarti. Ikterus baru terjadi selama 24 jam pertama. Namun, kasus ini dapat
menjadi parah dan tanda-tanda dari kernicterus dapat terlihat, walaupun sangat jarang terjadi.

Diagnosis Banding

Hemolitik ec Inkompatibilitas Rh

Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai Rhesus NEGATIF dan anak
mempunyai Rhesus POSITIF. Bila sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu
akan dirangsang oleh antigen Rh sehingga membentuk antibodi terhadap Rh. Zat antibodi Rh
ini dapat melalui plasenta dan masuk ke peredaran darah janin dan selanjutnya
mengakibatkan penghancuran eritrosit janin (hemolisis). Hemolisis ini terjadi dalam
kandungan dan akibatnya ialah pembentukan sel darah merah dilakukan oleh tubuh bayi
secara berlebihan, sehingga akan didapatkan sel darah merah berinti yang banyak. Oleh
karena keadaan ini disebut Eritroblastosis Fetalis. Pengaruh kelainan ini biasanya tidak
terlihat pada anak pertama, tetapi akan nyata pada anak yang dilahirkan selanjutnya.

Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfusi darah yang
inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai Rhesus
POSITIF, pengaruh kelainan inkompabilitas Rhesus ini akan terlihat pada bayi yang
dilahirkan kemudian.

Characteristics Rh ABO
Clinical aspects First born 5% 50%

Later pregnancies More severe No increased severity

Stillborn/hydrops Frequent Rare

Severe anemia Frequent Rare

Jaundice Moderate to severe, frequent Mild

Late anemia Frequent Rare

Laboratory findings Direct antibody test Positive Weakly positive

Indirect Coombs test Positive Usually positive

Spherocytosis Rare Frequent

Tabel 1. Perbandingan Antara Inkompatibilitas Rh dan ABO6

Komplikasi

Komplikasi dari penyakit hemolitik adalah kernicterus yaitu keadaan dimana bilirubin
terbawa oleh darah sampai ke otak sehingga menyebabkan kerusakan otak baik sementara
maupun permanen. Selain itu jika terjadi anemia yang berat dapat menyebabkan gagal
jantung. Dapat juga menyebabkan hidrops fetalis dimana janin yang cacat keluar spontan
kira-kira pada usia kehamilan 17 minggu.

Penatalaksanaan

Tatalaksana dari hiperbilirubinemia adalah salah satu fokus utama pada bayi dengan
inkompatibilitas ABO. IVIG, dinyatakan sangat efektif ketika diberikan di awal terapi.
Porfirin Tin (Sn), sebuah inhibitor heme oksigenase yang poten, telah dinyatakan dapat
menurunkan produksi dari bilirubin dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan transfusi
tukar. Fokus utama ditekankan pada manajemen dari hiperbilirubinemia.

Farmakologi:

1. Obat Pengikat Bilirubin


Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin
rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik
nodalitas ini belum diteliti secara ekstensif.
2. Pem-blokade Perubahan Heme Menjadi Bilirubin
Modalitas terapi ini ialah dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan cara
menghambat secara kompetitif heme oksigenase yang akan menghambat penguraian
hem. Dapat digunakan metaloporfirin sintetik seperti protoporfirin timah dan yang
terbukti dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum dan
meningkatkan ekskresi heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena
potensi toksisitas dari modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis
obat ini belum diterapkan secara klinis pada anak. Selain protoporfirin timah, tersedia
juga protoporfirin seng atau mesoporfirin.

Non-farmakologi

1. Fototerapi
Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik yang umum dilakukan
pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.
Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila
terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang
gelombang 420 nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin.
Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut
dalam air dan akan lebih mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah
yang sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara
irreversibel yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut
diekskresikan melalui urine dan empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada
bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju
akumulasi pigmen setelah melakukan transfusi tukar. Beberapa penelitian
menemukan bahwa seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa terapi sinar
mengubah senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol
yang mudah larut dalam air. Namun, teori tersebut belum sepenuhnya benar
dikarenakan adanya temuan bahwa penurunan kadar bilirubin darah yang tidak
sebanding dengan jumlah dipirol yang terjadi, di samping itu pada terapi sinar juga
ditemukan peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum.
McDonagh dkk (1981) menemukan fakta bahwa secara in vitro maupun in vivo
terjadi isomerisasi bilirubin pada bayi dengan terapi sinar, fotobilirubin inilah yang
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus.
Fototerapi terutama harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi
kritis, penurunan konsentrasi mungkin belum tampak pada 12-24 jam, dan harus terus
dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Walaupun
telah digunakan secara luas, terapi sinar masih belum dapat menggantikan transfusi
tukar untuk kasus hiperbilirubinemia yang memiliki risiko kernicterus. Oleh karena
itu, bagian IKA FKUI-RSCM, menyatakan beberapa kondisi terapi sinar dapat
dilakukan, antara lain pada (a) setiap saat apabila bilirubin indirek lebih dari 10 mg%,
(b) pra-transfusi tukar, (c) pasca-transfusi tukar, (d) terdapat ikterus di hari pertama
yang disertai proses hemolisis. Melihat beberapa keadaan itu, dapat disimpulkan
bahwa terapi sinar terutama dilakukan untuk mencegah hiperbilirubinemia agar tidak
mencapai tingkat yang mengharuskannya dilakukan transfusi tukar.
Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi oleh seberapa luas bagian kulit
bayi yang terpapar oleh sinar dikarenakan proses isomerisasi terbanyak terjadi pada
bagian perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan subkutan, jumlah energi cahaya yang
menyinari kulit bayi, pengubahan posisi bayi secara berkala, jarak antara sumber
cahaya dengan bayi diatur agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (tidak
boleh melebihi 50 cm dan kurang dari 10 cm). Energi cahaya yang optimal bisa
didapatkan dari lampu neon 20 Watt yang ada di pasaran dengan panjang gelombang
sinar antara 350-470 nm. Selain penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula pleksiglas
untuk memblokade sinar ultraviolet, dan filter biru untuk memperbesar energi cahaya
yang sampai pada bayi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama berlangsung
terapi sinar ini ialah:
a. Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu
bukalah pakaian bayi
b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya
untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual
c. Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik
untuk mendapat energi cahaya yang optimal
d. Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar
e. Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali
f. Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam
24 jam
g. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi
h. Lama terapi sinar dicatat
Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin serum yang
berarti, dapat diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi
pada bayi berupa dehidrasi, hipoksia, infeksi atau gangguan metabolisme yang harus
diperbaiki.

Beberapa efek samping yang dapat terjadi pada bayi dengan terapi sinar,
antara lain peningkatan insensible water loss pada bayi sehingga perlu diberikan
pemberian cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi defekasi bayi meningkat akibat
peningkatan peristatltik usus, dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze baby)
akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, kerusakan
retina yang dilaporkan pada hewan percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko
retinopati pada bayi oleh karena itu perlindungan mata bayi sangatlah penting,
hipokalsemia yang lebih umum nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang
berlebihan. Walau begitu, terapi sinar masih dianggap sebagai terapi yang sangat
aman dan tidak memiliki efek samping serius yang berkelanjutan, efek samping akan
hilang ketika terapi dihentikan segera.

2. Transfusi Tukar
Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%
b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam
c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk
positif

Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas


bilirubin ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai
tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis
dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya
kadar bilirubin serum yang tinggi.
Transfusi tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil
dan ketika bayi mengalami ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO
sehingga jenis ikterusnya dapat dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki
risiko neurotoksisitas yang lebih tinggi dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini
dilakukan dengan mengurangi kadar bilirubin hingga hampir 50% dan juga
menghilangkan sekitar 80% sel darah merah abnormal yang telah tersensitisasi serta
melawan antibodi agar proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini bersifat invasif dan
bukan prosedur yang bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko mortalitas
sebesar 1-5%, dapat pula berkomplikasi menjadi necrotizing enterocolitis (NEC),
infeksi, gangguan elektrolit, ataupun trombositopenia sehingga prosedur ini harus
dilakukan secara hati-hati. Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0
g/kg untuk mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin yang diikatnya akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu
kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus hemolisis yang diperantarai oleh
antibodi.

Tabel 2. Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbul dan kadar bilirubin

Prognosis

Secara keseluruhan, angka survival dapat mencapai 85-90%, namun dapat berkurang
sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus. Kebanyakan janin yang bertahan hidup dari
gestasi allo-imunisasi, tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis. Walau begitu, abnormalitas
neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat beratnya anemia dan asfiksia perinatal.
Risiko tuli sensori-neural juga dapat meningkat.

Pencegahan

Bentuk-bentuk pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kemungkinan


hiperbilirubinemia pada bayi, antara lain:

1. Pengawasan antenatal yang baik.


2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa gestasi dan
kelahiran, seperti sulfafurazole, novobiosin, oksitosin, dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonates
4. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
5. Pemberian makanan dini
6. Pencegahan infeksi, bahkan jauh sebelum masa kehamilan.

Kesimpulan

Hipotesis diterima. Berdasarkan gejala klinis yang terdapat pada anak berupa kuning
yang dimulai sejak 10 jam kelahiran, disertai dengan keterangan bahwa anak dilahirkan dari
orang tua dengan golongan darah yang berbeda-beda, maka anak tersebut menderita kasus
hemolitik akibat inkompatibilitas ABO.

Inkompatibilitas Rh

Inkompatibilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika seorang wanita hamil
memilikidarah Rh-negatif dan bayi dalam rahimnya memiliki darah Rh-positif.
Selama kehamilan, sel darah merah dari bayi yang belum lahir dapat menyeberang ke aliran
darah ibu melalui plasenta. Jika ibu memiliki Rh-negatif, sistem kekebalan tubuhnya
memperlakukan sel-sel Rh-positif janin seolah-olah mereka adalah substansi asing dan
membuat antibodi terhadap sel-sel darah janin. Antibodi anti-Rh ini dapat menyeberang
kembali melalui plasenta ke bayi yang sedang berkembang dan menghancurkan sel-sel darah
merah bayi. Sel-sel darah merah yang dipecah menghasilkan bilirubin. Hal ini menyebabkan
bayi menjadi kuning (ikterus). Tingkat bilirubin dalam aliran darah bayi bisa berkisar dari
ringan sampai sangat tinggi. Karena butuh waktu bagi ibu untuk mengembangkan antibodi,
bayi sulung jarang yang mengalami kondisi ini, kecuali ibu mengalami keguguran di masa
lalu atau aborsi yang membuat peka sistem kekebalan tubuhnya. Namun, semua anak-
anaknya telah setelah itu yang memiliki Rh-positif dapat terpengaruh.
Inkompatibilitas Rh berkembang hanya bila ibu memiliki Rh-negatif dan bayi Rh-positif.
Berkat penggunaan globulin kekebalan khusus yang disebut RhoGHAM, masalah ini telah
menjadi semakin jarang.

Anda mungkin juga menyukai