CHF
CHF
PENDAHULUAN
1
International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi DM
di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan ke
tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian DM didunia adalah sebanyak
371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita DM.4
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan
indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008,
menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012
angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana
proporsi kejadiandiabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetesmellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes
mellitus tipe 1.5
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas:
Nama : Ny.T
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 62 tahun
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Agama : Islam
Alamat : Samboja
Pekerjaan : Petani
MRS : 21 Januari 2017 (21.35 WITA)
Keluhan Utama :
Sesak napas
3
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Sosial :
Pemeriksaan Fisik
Leher : Pembesaran KGB (-), trakea letak tengah, JVP (5+2 cmH2O)
4
Thoraks :
Cor :
kardiomegali
Pulmo :
Abdomen :
Inspeksi : datar
• Hemoglobin : 14,2
• Trombosit : 174.000/mm3
• Granulosit : 83,5%
5
• Ureum : 90,5 mg/dL
• Na/K/Cl : 131/6,10/93,1
Protein +1
Keton (-)
Pemeriksaan Radiologi :
6
Pemeriksaan EKG :
Diagnosis :
Edema paru
SVT
DM tipe II (NO)
CAP
Dispepsia
Hiperkalemia (6,1)
7
Terapi di IGD :
O2 NK : 3 lpm
Inj.lasix 1x2amp
Penatalaksanaan :
Bolus insulin 15 iu (iv) selanjutnya drip insulin dalam syringe pump mulai
5 iu/jam, bila GDS 300 insulin diturunkan jadi 2,5 ui/jam, GDS <200 1
iu/jam, GDS <100 (STOP).
Masuk ICU
8
Pasien masuk ICU pukul 00.00 WITA
GDS
o 03.00 = 421
o 05.00 = 350
Follow Up
22 Januari 2017
N: 113x/mnt S: 36,0ºC
Pemeriksaan lab :
Na/K/Cl : 134,2/5,71/101,1
Pemeriksaan EKG :
9
A:
Edema paru
DM tipe II (NO)
CAP
Dispepsia
Hiperkalemia (5,71)
P:
O2 3 lpm
Bolus insulin 15 iu (iv) selanjutnya drip insulin dalam syringe pump mulai
5 iu/jam, bila GDS 300 insulin diturunkan jadi 2,5 ui/jam, GDS <200 1
iu/jam, GDS <100 (STOP).
10
Lampiran :
BC : -115 (7 jam)
GDS:
◦ 07.00 : 262
◦ 10.00 : 127
◦ 12.00 : 69
◦ 14.00 : 165
◦ 17.00 : 121
◦ 20.00 : 69
◦ 23.00 : 133
◦ 02.00 : 125
◦ 05.00 : 43
23 Januari 2017
N: 108x/mnt S: 36,2ºC
11
Pemeriksaan Lab :
GDS: 195
Pemeriksaan EKG :
A:
Edema paru
DM tipe II (NO)
CAP
Hiperkalemia
12
P:
O2 3 lpm
24 Januari 2017
S: batuk + lendir +
N: 84x/mnt S: 36,2ºC
13
Pemeriksaan Lab :
GDP : 121
GD2PP : 263
Na/K/Cl 136,1/4,86/100,2
Ur/Cr : 73,4 / 1,6
Pemeriksaan EKG :
A:
Edema paru
DM tipe II
CAP
14
P:
O2 3 lpm
Glikuidon 1-0-0
25 Januari 2017
N: 91 x/mnt S: 36,5 ºC
Abd : NTE +
15
Pemeriksaan Lab :
GDP : 54
GD2PP : 71
UOP : 0,58cc/BB/jam
Pemeriksaan EKG :
A:
Edema paru
DM tipe II
CAP
16
P:
O2 3 lpm
26 Januari 2017
S: batuk +
Pemeriksaan Lab :
GDS 92
UOP : 0,79cc/BB/jam
17
Peemriksaan EKG :
A:
Edema paru
DM tipe II
CAP
P:
O2 3 lpm
Inj. ceftazidime 2x1 gr (ST) (iv) (h5)terakhir hari ini, besok ganti cefixime
2x100 mg
Lasix 1x20 mg
18
CPG 1x75 mg (po)
27 Januari 2017
N: 68 x/mnt S: 36 ºC
A:
Edema paru
DM tipe II
CAP
P:
venvlon
Lasix 1x20 mg
19
CPG 1x75 mg (po)
28 Januari 2017
N: 68 x/mnt S: 36 ºC
A:
Edema paru
DM tipe II
CAP
P:
Venvlon aff
Lasix 1x20 mg
20
ISDN 3x5 mg (po) (k/p)
Rawat Jalan
21
BAB III
PEMBAHASAN
MAYOR MINOR
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema ekstremitas
Orthopnea Batuk malam hari
Distensi vena leher Sesak saat beraktivitas
Ronkhi Hepatomegali
S3 gallop Efusi pleura
ALO (Akut lung oedem) Kapasitas vital menurun 1/3 dari
Kardiomegali maksimal
Refluks hepatojuguler Takikardi
*CHF : 1 mayor 2 minor atau 2 mayor
PND
Distensi vena leher
Ronkhi
ALO
Kardiomegali
Sesak saat beraktivitas
Takikardi
22
Klasifikasi gagal jantung kongestif berdasarkan New York Heart Association
(NYHA) dibagi dalam 4 kelas fungsional, yaitu :
Kelas I :
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktivitas
fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Kelas II :
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III :
Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi atau sesak.
Kelas IV :
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.
23
pembatasan intake cairan dan pada diberikan NaCl pada kasus ini karena pasien
menderita DM.7,8
Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiens
fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defenisi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.10
Diabetes mellitus tipe 2 (Non-Insulin-Dependent Diabetes mellitus, NIDDM)
merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di
dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan
oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β,
gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati
menjadi kurang peka terhadap insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh
otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.10
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik
(olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan
berat badan.11
Terapi yang diberikan pada kasus adalah pemberian obat hipoglikemi oral dan
terapi insulin intravena. Pada prinsipnya, pasien dengan penyakit berat atau kritis
yang dirawat di rumah sakit memerulkan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka
membutuhkan terapi insulin yang diberikan secara intravena, misalnya pada pasien
kritis/akut seperti hiperglikemia gawat darurat, infark miokard akut, stroke, fraktur,
infeksi sistemik, syok kardiogenik, pasien transplantasi organ, edema anasarka,
kelainan kulit yang luas, persalinan, pasien yang mendapat terapi glukokortikoid
dosis tinggi, dan pasien pada periode perioperatif.11,12
24
25
Protokol terapi insulin intravena :12
26
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:14
Nyeri dada
EKG normal atau non dignostik
Marker jantung normal
Angina tipikal
EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST
atau inversi ST yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru atau persangkaan baru
Peningkatan marker jantung
Penatalaksanaan :14
Tirah baring
Oksigen
Aspirin 160-320 mg (sublingual)
Penghambat reseptor adenosine diphosphate (CPG dosis awal 300 mg
dilanjutkan 75 mg/hari
Isosorbid dinitrat (ISDN), pemberian satu kali kalau nyeri dada tidak
berkurang dapat diulangi lagi sampai maksimal tiga kali pemberian.
Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan gagal jantung kongestif adalah
edema pulmoner akut, hiperkalemia, pericarditis, hipertensi dan anemia akibat
penurunan eritropoetin. Sedangkan untuk DM komplikasinya terbagi 2, yaitu
komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut seperti hipoglikemi, ketoasidosis dan
hiperosmolar non ketotik. Sedangkan untuk komplikasi kronik seperti retinopati,
nefropati, neuropati, stroke, penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah
perifer.15
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al.
2013 ACCF/AHA guideline for the management of heart failure: a report of
the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013;62(16):e147-239.
2. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM, Francis GS, Ganiats TG, et
al. ACCF/AHA Practice Guideline: Full Text. Circ AHA J.
2009;119(14):e391-479.
3. Bui AL, Horwich TB, Fonarow GC. Epidemiology and risk profile of heart
failure. NatRev Cardiol. 2011;8(1):30-41.
4. Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di
Puskesmas Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010.
5. Bennett,P. Epidemiology of Type 2 Diabetes Mellitus. In Le Roithet.al,
Diabetes Mellitus a Fundamental and Clinical Text. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins. 2008;43(1): 544-7.
6. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi VI. Jakarta. Interna publishing; 2014.h.1148-53.
7. Gopal M, Karnath B. Clinical Diagnosis of Heart Failure. 2009. h. 9-15.
8. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi VI. Jakarta. Interna publishing; 2014.h.1148-53.
9. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, et
al. Pedoman tatalaksana gagal jantung. Edisi ke-1. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. hlm. 14-28.
28
10. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam indonesia. Panduan Pelayanan
Medik. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2006.
11. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsesus pengelolaan dan
pencegahan diabetes mellitus tipe2 di Indonesia. Jakarta: PB Perkeni. 2006.
12. American Diabetes Association. Practical insulin. A handbook for prescribers.
ADA edisi 2004.
13. ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with unstable
angina/non-ST-elevation myocardial infarction. A report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practive
Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2007.
14. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Ketiga. 2015.
15. Braun, Vittoria et all. Innovative strategy for implementing chronic heart
failure guidelines among family physicians in different healthcare settings in
Berlin. European Journal Of Hearth Failure. 2011.
29