Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Nama : H.S
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : swasta
Alamat : Pindol
Agama : Islam
No. RM : 392050
Tanggal masuk : 17/09/2017

I. SUBJEKTIF
a. Anamnesis : Autoanamnesis
b. Keluhan Utama : Demam
c. Anamnesis Terpimpin :
Demam dialami sejak 1 minggu yang lalu sebelum masuk RS, dirasakan
tidak terus menerus, kadang turun pada pagi hari tapi tidak mencapai suhu
tubuh yang normal, dan naik lagi terutama pada sore hari, menggigil ada,
pasien juga mengeluhkan keringat dingin. Demam menghilang dengan
obat penurun panas (paracetamol).
Pasien juga mengeluh sakit kepala dan pusing, sakit kepala terutama pada
bagian belakang kepala. Tidak ada mimisan dan tidak ada perdarahan
gusi. Batuk tidak ada, lendir tidak ada. Sesak tidak ada.
Ada nyeri ulu hati, terasa tertusuk-tusuk, ada mual, ada muntah 1 hari
yang sebelum masuk rumah sakit frekuensi lebih dari 5 x berisi cairan dan
sisa makanan.
Lemah badan, terdapat penurunan nafsu makan, tidak ada penurunan berat
badan.

1
Buang air besar belum hari ini, riwayat bab encer 1 hari yang lalu
frekuensi 5 x tidak disertai lendir dan darah. Riwayat buang air besar
hitam tidak ada
Buang air kecil kesan lancar, kesan normal, warna kuning jernih

II. Pem fisik


a. Status Generalisasi : Sakit sedang, Gizi baik, Compos Mentis

Status Vitalis :

TD : 110/70 mmHg
N : 90 x/menit
P : 24 x/menit
S : 38,5 ⁰C, axilla

III. Pemeriksaan Fisis


a. Kepala :
Ekspresi : biasa
Simetris muka : simetris kiri = kanan
Deformitas : tidak ada
Rambut : warna hitam, sukar dicabut
b. Mata :
Eksoptalmus/Enoptalmus : tidak ada
Gerakan : ke segala arah (normal)
Kelopak Mata : edema tidak ada, hiperemis tidak ada, ptosis
tidak ada
Konjungtiva : anemis tidak ada
Sklera : ikterus tidak ada
Kornea : jernih

2
Pupil : bulat isokor, uk ϴ2,5 ODS

c. Telinga :
Pendengaran : dalam batas normal
Tophi : tidak ada
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : tidak ada

d. Hidung :
Perdarahan : tidak ada
Sekret : tidak ada

e. Mulut :
Bibir : pucat tidak ada, kering ada
Lidah : kotor ada, tremor ada,tepi hiperemis
Tonsil : T1 – T1, hiperemis tidak ada
Faring : hiperemis tidak ada
Gigi geligi : caries dentis tidak ada
Gusi : hiperemis tidak ada

f. Leher :
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
DVS : R-2 cmH2O
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Kaku kuduk : tidak ada
Tumor : tidak ada

3
g. Dada :
Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri = kanan, normochest
Pembuluh darah : bendungan vena sentral tidak ada
Sela iga : dalam batas normal

h. Paru :
Palpasi :
Fremitus raba : kesan normal
Nyeri tekan : tidak ada
Massa tumor : tidak ada
Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor.
Batas paru-hepar : ICS VI dekstra anterior,
Batas paru belakang kanan : CV Th. IX dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. X sinistra
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/-, Wh -/-

i. Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak relatif
Kanan atas : ICS II linea parasternalis dexter
Kiri atas : ICS II linea midclavicularis sinistra
Kanan bawah : ICS V linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra

4
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bunyi
tambahan tidak ada

j. Perut :
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas, massa tumor tidak
ada
Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal.
Palpasi : Nyeri tekan ada pada epigastrium, massa
tumor tidak ada,
Hepar dan Lien tidak teraba pembesaran
Perkusi : timpani

k. Alat Kelamin :
Tidak dilakukan pemeriksaan
l. Anus dan Rektum :
Tidak dilakukan pemeriksaan
m. Punggung :
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, Massa tumor tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
Auskultasi : BP: vesikuler
Gerakan : dalam batas normal

n. Ekstremitas :
Edema : -/-, hangat ada

IV. ASSESSMENT
 Diagnosa :
1. Demam tifoid

5
 Diagnosis banding :
1. Demam dengue
2. Malaria

V. PLANNING
 Pengobatan:
 Tirah Baring
 Diet Lunak
 IVFD NaCl 0,9% 24 tetes/menit
 Ceftriaxone 3 gr/24 jam/IV, drips dalam NaCl 0,9% 100 cc
 Paracetamol 500 mg 3x1(bila suhu > 37,50C)
 Ranitidine 1 ampul/8 jam/IV
 Rencana Pemeriksaan :
Darah rutin kontrol, tes widal, Urinalisa, PT APTT, Profil Lipid, elektrolit,
foto thorax.

VI. PROGNOSIS

• Quad ad vitam : Dubia et Bonam


• Quad ad sanationam : Dubia et Bonam

6
FOLLOW UP

TANGGAL PERJALANAN INSTRUKSI DOKTER


PENYAKIT
18/09/2017 S: P:
T: 110/80 mmhg
Demam ada, menggigil  Tirah baring
N: 80 x/m
P: 22 x/m tidak ada, nyeri kepala  Diet Lunak
S:39,1 ⁰C
ada.  NaCl 0,9% 24
Batuk dan lendir tidak tetes/menit
ada, sesak tidak ada,  Ceftriaxone 1gr/ jam
Mual ada, muntah tidak /drips (dalam piggy
ada. bag) (hari ke2)
Nyeri ulu hati tidak ada.  Paracetamol 500 mg
BAB : Biasa 3x1 (bila suhu >37,5
o
BAK : Lancar, kuning. C)
 Ranitidine 1 ampul/8
O: jam/IV
KU : cukup, Kes : CM
Kep : conj an -/-, skl ikt -/-
Tho : cor : BjI-II n
Pulmo : Sp.ves Rh-/-,
Wh -/-
Abd : datar, lemas, BU +
(N), NTE (+)
Ext : akral hangat, edema
(-)

A:
 Demam typhoid

7
19/09/2017 S: P:
T: 110/80 mmhg
Demam ada, mengigil  Tirah baring
N: 76 x/m
P: 22 x/m tidak ada, nyeri kepala  Diet Lunak
S:38,7 ⁰C
ada.  NaCl 0,9% 24
Batuk dan lendir tidak tetes/menit
ada, sesak tidak ada,  Ciprofloxacin
Mual berkurang, muntah 2x400mg
tidak ada.  Paracetamol 500 mg
Nyeri ulu hati ada. 3x1 (bila suhu >37,5
o
BAB : Biasa C)
BAK : Lancar, kuning,  Ranitidine 1 ampul/8
jam/IV
O : KU : cukup, Kes : CM
Kep : conj an-/-, skl ikt -/-
Tho : cor : BjI-II n
Pulmo : Sp.Ves Rh -/-,
Wh -/-
Abd : datar, lemas, Bu (+)
N, NTE (+)
Ext : akral hangat, edema
(-)

A:
 Demam typhoid

20/09/2017 S: P:
T: 120/80 mmhg
Demam ada, mengigil  Tirah baring
N: 72 x/m
P: 20 x/m tidak ada, nyeri kepala  Diet Lunak
S:38,1 ⁰C

8
ada.  NaCl 0,9% 24
Batuk dan lendir tidak tetes/menit
ada, sesak tidak ada,  Ciprofloxacin
Mual ada, muntah tidak 2x400mg
ada.  Paracetamol 500 mg
Nyeri ulu hati ada. 3x1 (bila suhu >37,5
o
BAB : Biasa C)
BAK : Lancar, kuning,  Ranitidine 1 ampul/8
jam/IV
O : KU : cukup, Kes : CM
Kep : conj an-/-, skl ikt -/-
Tho : cor : BjI-II n
Pulmo : Sp.Ves Rh -/-,
Wh -/-
Abd : datar, lemas, Bu (+)
N, NTE (+)
Ext : akral hangat, edema
(-)

A:
 Demam typhoid

S: P:
21/09/2017
T: 120/80 mmhg Demam tidak ada,  Tirah baring
N: 80 x/m
mengigil tidak ada,  Diet Lunak
P: 20 x/m
S:36,7 ⁰C nyeri kepala ada.  NaCl 0,9% 24gtt/m
Batuk dan lendir tidak  Ciprofloxacin
ada, sesak tidak ada, 2x400mg

9
Mual tidak ada, muntah  Paracetamol 500 mg
tidak ada. 3x1 (bila suhu >37,5
o
Nyeri ulu hati tidak ada. C)
BAB : Biasa
BAK : Lancar, kuning,

O : KU : cukup, Kes : CM
Kep : conj an-/-, skl ikt -/-
Tho : cor : BjI-II n
Pulmo : Sp.Ves Rh -/-,
Wh -/-
Abd : datar, lemas, Bu (+)
N, NTE (-)
Ext : akral hangat, edema
(-)

A:
 Demam typhoid

22/09/2017 S: P:
T: 110/80 mmhg
Demam tidak ada,  Tirah baring
N: 84 x/m
P: 20 x/m mengigil tidak ada,  Diet Lunak
S:36,5 ⁰C
nyeri kepala ada.  NaCl 0,9% 24gtt/m
Batuk dan lendir tidak  Ciprofloxacin
ada, sesak tidak ada, 2x400mg
Mual tidak ada, muntah  Paracetamol 500 mg

10
tidak ada. 3x1 (bila suhu >37,5
o
Nyeri ulu hati tidak ada. C)
BAB : Biasa
BAK : Lancar, kuning,

O : KU : cukup, Kes : CM
Kep : conj an-/-, skl ikt -/-
Tho : cor : BjI-II n
Pulmo : Sp.Ves Rh -/-,
Wh -/-
Abd : datar, lemas, Bu (+)
N, NTE (-)
Ext : akral hangat, edema
(-)

A:
 Demam typhoid

23/09/2017
S: P:
T: 110/80 mmhg
N: 84 x/m Demam tidak ada,  Diet Lunak
P: 20 x/m
mengigil tidak ada,  Ciprofloxacin
S:36,5 ⁰C
nyeri kepala ada. 2x400mg
Batuk dan lendir tidak  Paracetamol 500 mg
ada, sesak tidak ada, 3x1 (bila suhu >37,5
o
Mual tidak ada, muntah C)
tidak ada.  Ranitidine 3x1 (k/p)
Nyeri ulu hati tidak ada.
BAB : Biasa

11
BAK : Lancar, kuning,

O : KU : cukup, Kes : CM
Kep : conj an-/-, skl ikt -/-
Tho : cor : BjI-II n
Pulmo : Sp.Ves Rh -/-,
Wh -/-
Abd : datar, lemas, Bu (+)
N, NTE (-)
Ext : akral hangat, edema
(-)

A:
 Demam typhoid

12
o. Laboratorium :
Tanggal Jenis Item Hasil Nilai rujukan Satuan
Pemeriksaan
18/09/2017 Hematologi WBC 5,00 4.00-10.00 10^3/uL
rutin RBC 4,33 4.00-6.00 10^6/uL
HGB 12,0 12.0-16.0 gr/dL
HCT 37,6 37.0-48.0 %
PLT 158 150-400 10^3/uL
NEUTH 59,2 52.0-75.0 10^3/uL
LYMPH 28,1 20.0-40.0 %
MONO 8,9 2.00-8.00 10^3/uL
EO 0,7 1.00-3.00 10^3/uL
BASO 3,1 0.00-0.10 10^3/uL
Fungsi Ureum 19 10-50 mg/dl
Ginjal Kreatinin 0,7 L(<1.3);P(<1 mg/dl
.1)
Kimia Hati GOT 42 <38 U/L
GPT 26 <41 U/L

13
18/09/2017 (Tes Widal)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Salmonella Thypii O positif 1/160 Negatif
Salmonella part A H positif 1/160 Negatif
Salmonella part B Negatif Negatif
Salmonella part C O positif 1/320 Negatif

RESUME

Seorang laki-laki 25 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam. demam
dialami ± 1 minggu SMRS, bersifat intermiten, demam meningkat pada saat sore
hari, menggigil ada. Febris menghilang dengan obat penurun panas (paracetamol).
Nyeri kepala dirasakan hilang timbul. Epistaksis tidak ada, perdarahan gusi tidak ada.
Nausea ada, vomiting ada 1 hari yang lalu frekuensi lebih 5 x isi air dan sisa
makanan, nyeri epigastrium ada. Lemah badan ada, penurunan nafsu makan ada,
penurunan berat badan tidak ada. Buang air besar belum hari ini ada riwayat BAB
encer 1 hari yang lalu frekuensi lebih 5 x tidak ada darah dan lendir . Buang air kecil
kesan lancar, volume kesan normal, warna kuning jernih.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital yakni tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 90x per menit, pernapasan 24 x per menit, suhu axilla 38,5oC. pada
pemeriksaan lidah didapatkan lidah kotor ada, tremor ada, hiperemis ada. Pada
pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan ada pada regio epigastrium,
hepar dan lien tidak teraba pembesaran.

Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang


yang telah dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah Demam typhoid.

14
DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan utama demam. Beberapa penyakit yang dapat
menimbulkan demam, antara lain demam tifoid, demam berdarah, malaria,
tuberkulosis, abses hepar, dan infeksi saluran kemih. Berdasarkan hasil anamnesis,
pasien mengalami keluhan demam yang dialami sejak 1 minggu SMRS, bersifat
intermitten di mana demam meningkat saat malam hari, dan ada menggigil. Demam
menurun ketika mengonsumsi obat penurun demam (paracetamol) dan naik kembali
setelah reaksi obat habis. Ada sakit kepala yang dirasakan hilang timbul. Tidak ada
perdarahan spontan. Ada nausea dan vomitting. Ada nyeri epigastrium. Lemah badan,
ada penurunan nafsu makan, tidak ada penurunan berat badan. Buang air besar belum
hari ini namun ada riwayat BAB encer 1 hari yang lalu dan buang air kecil kesan
normal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan sakit sedang, gizi normal, composmentis.
Tekanan darah = 110/70 mmHg, nadi = 90 x/menit, regular, pernapasan = 24 x/menit,
vesikuler, suhu axilla = 38,50C. tidak ada anemis, ada nyeri epigastrium, hepar dan
lien tidak teraba. Hasil pemeriksaan laboratorium: WBC = 5 x 103/uL, RBC = 4,33 x
106/uL, HGB = 12,0 g/dL, HCT 37,6%, NEUT 59,2 x 103/UL, ureum = 19 mg/dL,
kreatinin = 0,7 mg/dL, GOT = 42 U/L, GPT = 26 U/L, gr/dL.

Diagnosis pasti ditegakkan melalui kultur darah, perbandingan kepekaan antara


typhoid dan metode kultur adalah > 93% untuk menemukan bakteri Salmonella typhi,
namun pemeriksaan widal test dan tubex test sangat bermanfat untuk diagnosis cepat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan pada pasien apabila terdapat gejala klinis yang
lengkap atau hampir lengkap seperti adanya demam, sakit kepala, kelemahan,
mual/muntah, nyeri abdomen, anoreksia, gangguan gastrointestinal, insomnia sampai
penurunan kesadaran serta dari pemeriksaan fisis hepatomegali, splenomegali,
bradikardi relatif, serta didukung oleh hasil laboratorium yang menunjukkan tifoid
berupa Tes Widal.1

15
Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien didapatkan hasil
IgM Salmonella +6 terdapat hasil positif untuk pemeriksaan Tes Widal yang
menunjukkan adanya reaksi antigen dengan aglutinin yang merupakan antibodi
spesifik terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia. 1

Pasien diberikan terapi farmakologi berupa IVFD NaCl 0,9% 24 tpm,


ceftriaxone injeksi 3 gram/24jam/hari dalam NaCl 0,9% 100 cc, paracetamol 3 x 500
mg jika suhu > 37,50C, Ranitidine 1 ampul/8 jam/intravena, domperidone 1-0-1.

Ceftriaxone umumnya aktif terhadap kuman gram positif dan negatif termasuk
Salmonella typhi.5 Efek samping yang paling sering adalah rasa hangat di sekitar
tempat injeksi, sakit kepala, berkeringat, dan diare.6 Ceftriaxone memiliki waktu
paruh berkisar 6 hingga 8 jam di dalam tubuh dan sangat cocok untuk pemberian
dosis dalam sehari. Selain itu, Ceftriaxone dapat mengurangi waktu terapi hingga 5
hari di rumah sakit sehingga lebih menghemat biaya perawatan. Penggunaan
Kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang belakang. Dengan menggunakan
Ceftriaxone, pencegahan relaps setelah dinyatakan sembuh terhadap pasien lebih baik
daripada Kloramfenikol.3

Paracetamol diberikan sebagai analgesik dan antipiretik yaitu dapat


menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang serta menurunkan suhu
tubuh.

Ranitidin atau simetidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel.


Perangsangan reseptor H2 akan merangsan sekresi asam lambung, sehingga pada
pemberian ranitidin sekresi asam lambung dihambat.

16
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.4

II. EPIDEMIOLOGI

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di


Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 % dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 % per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1

Insiden demam tifoid bervariasi ditiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Didaerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan didaerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens diperkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadahi serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1

Case fatality rate (CFR) demam tifoid ditahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah
tangga departemen kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak
termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1

17
III. ETIOLOGI

Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukuran antara 2 – 4 x 0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37°C
dengan pH antara 6 – 8.1

Gambar 1. Salmonella typhi4

Gambar 1. Salmonella typhi (dikutip dari kepustakaan 4)

IV. PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam tubuh


manusia dapat melalui transmisi oral melalui makanan yang terkontaminasi kuman
Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana tangan yang tidak higienis
yang terkontaminasi dengan kuman Salmonella typhi langsung bersentuhan dengan
makanan yang dimakan serta melalui transmisi dari kotoran, dimana kotoran individu
yang mempunyai basil Salmonella typhi ke sungai atau dekat dengan sumber air yang
digunakan sebagai air minum yang kemudian langsung diminum tanpa dimasak.
Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung, sebagian lolos dan masuk kedalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan

18
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus toracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi
darah sehingga mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan menyebar
keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.1

Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagosit kuman Salmonella terjadi pelepasan
berbagai mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.1

Didalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia


jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plak peyer yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.1

Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat


timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan
dan gangguan organ lainnya.1

19
V. GAMBARAN KLINIS

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada
kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.1

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan
yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (Kotor ditengah, tepid an ujung merah
serta tremor), Hepatosplenomegally, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada
orang Indonesia.1

20
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Pemeriksaan Rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan


leukopenia, dapat juga ditemukan kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap
darah (LED) pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT sering kali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT
dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1

Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur bakteri.
Sampai sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan diagnostik.
Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas
lebih baik dari antara uji TUBEX, Typhidot dan dipstick.1

b. Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman Salmonella


typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella typhi dengan antibody yang disebu dengan agglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah dilaboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : aglutinin O pada
tubuh kuman, Aglutinin H pada flagella kuman dan aglutinin Vi pada simpai
kuman.1

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan agglutinin H yang


digunakan untuk diagnosisn demam tifoid. Semakin tinggi titernya maka semakin
besar kemungkinan terinfeksi oleh kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai

21
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin
H. pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena
itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.1

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini dengan
antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, waktu
pengambilan darah, daerah endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi, reaksi
anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium.1

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna
diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan
saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda diberbagai
laboratorium setempat.1

c. Uji tubex

Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Salmonella typhi O9
pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella
typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif ujin tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada Salmonella typhi. Infeksi oleh Salmonella paratyphi akan
memberikan hasil negatif.1

Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga dapat


merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis

22
sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9
berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu
pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu
diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi lgM dan tidak dapat mendeteksi
IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi
lampau.1

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi :


tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas, reagen A yang
mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen O9, reagen B yang
mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi
monoklonal spesifik dengan antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini,
satu tetes serum (25 µL) dicampurkan kedalam tabung dengan satu tetes (25 µL)
reagen A. setelah itu dua tetes reagen B (50 µL) ditambahkan kedalam tabung. Hal
tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian
diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit
dengan kecepatan 250 rpm. Interretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna
inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut :

Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Tabel 2. Interpretasi hasil uji Tubex (dikutip dari kepustakaan 1)

23
Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. ketika
diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet (magnet rak), komponen
magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa
serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya, terlihat warna merah
pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya,
bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan
reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan
warna biru pada larutan.1

d. Uji Typhidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen Salmonella typhi. Seberat 50 kD, yang terdapat dalam strip
nitroselulosa.1

Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesay 76,6% dan
efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk
(2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama
dengan uji tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.1

Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara berlebihan
sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga
pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut
dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi
masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan mengaktivasi total IgG pada
sampel serum. Uji ini yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan
ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi

24
yang dilakukan oleh Khoo Ke dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-M
menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan
lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.1

e. Uji IgM Dipstik

Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonella typhi
pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dan antigen IgM
(sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati
dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan
serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun
pada suhu 4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam
pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.
Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan
baik.1

House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji
ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan
sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah
dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi
hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan selama 1 minggu setelah timbulnya
gejala.1

f. Kultur darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil yang
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut: telah mendapatkan terapi dengan antibiotik, volume

25
darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat pengambilan darah setelah minggu
pertama pada saat aglutinin semakin meningkat.1

VII. PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai berikut
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal, pemberian
antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.1,4
a. Istirahat dan perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.


Tirah baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian,
dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan
dan dijaga.1,3
b. Diet dan terapi penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan semakin lama.1,3
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
jperforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus d;
iistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini

26
yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang
berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid.1-3

Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
sebagai berikut:

Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid1

Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid1

27
VIII. KOMPLIKASI

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
 Komplikasi intestinal :
perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
 Komplikasi ekstraintestinal
 Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
 Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia
 Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
 Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
 Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis
 Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis
 Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1

IX. PROGNOSIS

Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya
penanganan serta penggunaan antibiotik yang tepat. Bila penyakit berat, pengobatan
terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis buruk.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing. Edisi 5. Jakarta, 2009. Hal 2797-2805.
2. Aziz R, Sidartawan S, Anna UZ, dkk. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 2. Jakarta,
2006. Hal 139-141.

3. Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5
Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575.
Bangladesh: 1993.

4. John LB. Typhoid Fever. Medscape. 2012. Dapat diakses di


http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. Diakses 13 februari
2014.

5. Siti FS. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta: 2006.

6. Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya Baru.
Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.

7. The American Society of Health System Pharmacists. Ceftriaxone Injection.


Maryland. 2013. Dapat diakses di http://www.nlm.nih.gov/midlineplus/meds.
Diakses 15 Februari 2014.

29

Anda mungkin juga menyukai