Panduan Pasien Terminal Rs R
Panduan Pasien Terminal Rs R
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada
dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degenerative, penyakit paru obstruktif
kronis, cyctic fibrosis, stroke, parkison, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan
penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan lebih lanjut, disamping
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien
dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana
prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai
kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah
fisik seperti nyeri, sesak napas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga
mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan
psikologis, social dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin. Pada
perawatan pasien dalam kondisi terminal menekankan pentingnya integrasi perawatan lebih
dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik.
B. Tujuan
Tujuan Umum :
Sebagai arahan bagi perawatan pasien terminal di rumah sakit
Tujuan Khusus :
1. Terlaksananya perawatan pasien terminal yang bermutu sesuai standar yang berlaku di
rumah sakit
2. Tersusunnya panduan pasien terminal
3. Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih
4. Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan
C. Pengertian
1. Keadaan Terminal
Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi si sakit
untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu
kecelakaan.
2. Kematian
Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan mengalami/menghadapi
seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari dan merupakan suatu kehilangan.
D. Masalah di Akhir Kehidupan
Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup pasien yang sekarat.
Samapai teknologi eksperimental canggih seperti implantasi organ binatang, percobaan
mengakhiri hidup lebih awal melalui euthanasia dan bunuh diri secara medis. Di antara hal-
hal yang ekstrim tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau menghentikan perawatan
yang dapat memperpanjang hidup, perawatan pasien dengan penyakit stadium terminal
secara kelayakan dan penggunaan peralatan bantuan hidup lanjut. Dan masalah yang pantas
mendapat perhatian khusus : euthanasia dan bantuan bunuh diri.
1. Euthanasia
Adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan yang jelas dimaksudkan untuk
mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen-elemen berikut : subyek tersebut
adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan
yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri, agen mengetahui tentang kondisi pasien
dan menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama mengakhiri
hidup orang tersebut, dan tindakan dengan belas kasih dan tanpa tujuan pribadi.
2. Bantuan Bunuh Diri
Berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang pengetahuan atau alat atau
keadaan yang diperlukan untuk melakukan bunuh diri, termasuk konseling mengenai obat
dosis letal, meresepkan obat dosis letal atau memberikannya. Euthanasia dan bunuh diri
dengan bantuan sering dianggap sama secara moral, walaupun antara keduanya ada
perbedaan yang jauh secara praktek maupun hal yuridiksi legal. Euthanasia dan bunuh
diri dengan bantuan secara definisi harus dibedakan dengan menunda atau menghentikan
perawatan medis yang tidak diinginkan, sia-sia atau tidak tepat ketentuan perawatan
paliatif, bahkan jika tindakan-tindakan tersebut dapat memperpendek hidup.
Permintaan Euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebagai akibat dari rasa sakit atau
penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan. Mereka lebih memilih mati dari pada
meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Lebih jauh lagi, banyak pasien menganggap
mereka mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati.
Dokter dianggap sebagai instrument kematian yang paling tepat karena mereka
mempunyai pengetahuan medis dan akses kepada obat-obatan yang sesuai untuk
mendapatkan kematian yang cepat dan tanpa rasa sakit. Tentunya dokter akan merasa
enggan memenuhi permintaan tersebut karena merupakan tindakan yang illegal di
sebagian besar Negara di larang dalam sebagian besar kode etik kedokteran. Larangan
tersebut merupakan bagian dari Sumpah Hippocrates dan telah dinyatakan kembali oleh
WMA dalam Declaration on Euthanasia.
Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup seseorang pasien dengan segera,
tetaplah tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yang memintanya.
Hal ini tetap saja tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan
pasien untuk membiarkan proses kematian alami dalam keadaan sakit tahap terminal.
Penolakan terhadap euthanasia dan bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak dapat
melakukan apapun bagi pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa pada stadium
lanjut dan dimana tindakan kuratif tidak tepat. Pada tahun-tahun terakhir telah terjadi
kemajuan yang besar dalam perawatan paliatif untuk mengurangi rasa sakit dan
penderitaan serta meningkatkan kualitas hidup.
Pengobatan paliatif dapat diberikan pada pasien segala usia, dari anak-anak dengan
penyakit kanker sampai orang tua yang hampir meninggal. Satu aspek dalam pengobatan
paliatif yang memerlukan perhatian lebih adalah control rasa sakit. Semua dokter yang
merawat pasien sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup keterampilan
dalam masalah ini, dan jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai
dari ahli pengobatan paliatif. Dan diatas semuanya itu, dokter tidak boleh membiarkan
pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah
tidak mungkin disembuhkan.
Pendekatan terhadap kematian memunculkan berbagai tantangan etis kepada pasien,
wakil pasien dalam mengambil keputusan, dan juga dokter. Kemungkinan
memperpanjang hidup dengan memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi, procedure
radiologi, dan perawatan intensif memerlukan keputusan mengenai kapan mulai tindakan
tersebut dan kapan menghentikan jika tidak berhasil. Seperti dibahas di atas, jika
hubungan dengan komunikasi dan ijin, pasien yang kompeten mempunyai hak untuk
menolak tindakan medis apapun walaupun jika penolakan itu dapat “……. Dokter tidak
boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih
bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan. Setiap orang berbeda dalam menanggapi
kematian : beberapa akan melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak
peduli seberapapun sakit dan menderitanya, sedang yang lain sangat ingin mati sehingga
menolak bahkan tindakan yang sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup
seperti antibiotic untuk penderita pneumonia bakteri. Jika dokter telah melakukan setiap
usaha untuk memberiatahukan kepada pasien semua informasi tentang perawatan yang
ada serta kemungkinan keberhasilannya, dokter harus tetap menghormati keputusan
pasien apakah akan memulai atau melanjutkan suatu terapi.
Pengambilan keputusan di akhir kehidupan untuk pasien yang tidak kompeten
memunculkan kesulitan yang lebih besar lagi. Jika pasien dengan jelas mengungkapkan
keinginannya sebelumnya seperti menggunakan bantuan hidup lanjut, keputusan akan
lebih mudah walaupun bantuan seperti itu kadang sangat samar-samar dan harus
diinterpretasikan berdasarkan kondisi actual pasien. Jika pasien tidak menyatakan
keinginannya dengan jelas, wakil pasien dalam mengambil keputusan harus
menggunakan Kriteria-kriteria lain untuk keputusan perawatan yaitu kepentingan terbaik
pasien.
E. Tahap-tahap Menjelang Ajal
Kubler – Rosa (1969), telah menggambarkan/membagi tahap-tahap menjelang ajal (dying)
dalam 5 tahap, yaitu :
1. Denial (menolak)
Pada fase ini, pasien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi, dan
menunjukkan reaksi menolak. Timbul pemikiran-pemikiran seperti : “ Seharusnya tidak
terjadi dengan diriku, tidak salahkah keadaan ini?”. Beberapa orang bereaksi pada fase ini
dengan menunjukkan keceriaan yang palsu (biasanya orang akan sedih mengalami keadaan
menjelang ajal).
2. Anger (Marah)
Kemaran terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal yang
telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya. Timbul pemikiran pada diri klien
seperti : “Mengapa hal ini terjadi dengan diriku kemarahan-kamarahan tersebut biasanya
diekspresikan kepada obyek-obyek yang dekat dengan pasien, seperti : keluarga, teman,
dan tenaga kesehatan yang merawatnya.
3. Bargaining (Tawar Menawar)
Pada tahap ini kemarahan biasanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan kesan
sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya. Pada pasien yang sedang dying,
keadaan demikian dapat terjadi, seringkali klien berkata : Ya Tuhan, jangan dulu saya mati
dengan segera, sebelum anak saya lulus sarjana”.
4. Depresion (Depresi)
Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak
menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk dengan tenang disamping pasien yang
sedang malalui masa sedihnya sebelum meninggal.
5. Aceptance (Penerimaan)
Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh pasien dan keluarga tentang
kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian. Fase ini sangat
membantu apabila pasien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana yang
terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya : ingin bertemu dengan keluarga terdekat,
menulis surat wasiat dan sebagainya.
F. Type-type Perjalanan Menjelang Kematian
Ada 4 type perjalanan proses kematian, yaitu :
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat
dari fase akut ke kronik.
2. Kematian yang pasif dengan waktu tidak bisa diketahui, biasanya terjadi pada kondisi
penyakit yang kronik.
3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada
pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit kronik
dan telah berjalan lama.
G. Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian
1. Kehilangan Tonus Otot ditandai :
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai : nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi, dan lainnya
d. Penurunan control spingter urinary dan rectal
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
2. Kelambatan dalam sirkulasi, ditandai :
a. Kemunduran dalam sensasi
b. Sianosis pada daerah ekstermitas
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
3. Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital :
a. Nadi lambat dan lemah
b. Tekanan darah turun
c. Pernapasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
4. Gangguan Sensori :
a. Penglihatan Kabur
b. Gangguan penciuman dan perabaan
Variasi-variasi tingkat kesadaran dapat dilihat sebelum kematian, kadang-kadang pasien tetap
sadar sampai meninggal. Pendengaran merupakan sensori terakhir yang berfungsi sebelum
meninggal.
H. Tanda-tanda klinis saat meninggal :
a. Pupil mata melebar
b. Tidak mampu untuk bergerak
c. Kehilangan reflek
d. Nadi cepat dan kecil
e. Pernapasan chyene-stoke dan ngorok
f. Tekanan darah sangat rendah
g. Mata dapat tertutup atau agak terbuka
I. Tanda-tanda meninggal secara klinis :
Secara tradisonal, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan
nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan
beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
1. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total
2. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernapasan
3. Tidak ada reflek
4. Gambaran mendatar pada EKG.
J. Macam Tingkatan Kesadaran/pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap Kematian
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type :
1. Closed Awareness/Tidak Mengerti
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang
diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat
menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan
keluarganya. Perawat sering kali dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung,
kapan sembuh, kapan pulang, dan sebagainya.
2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu
yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
3. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka
Pada situasi ini, pasien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang
menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan
ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan
saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal tersebut.
K. Bantuan yang dapat diberikan
1. Bantuan Emosional
a. Pada Fase Denial
Dokter/Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara
mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan
perasaan-perasaannya.
b. Pada Fase Marah
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang
marah. Dokter/Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih merupakan
hal yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan
lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat
dipercaya, memberikan rasa aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta
meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
c. Pada Fase Menawar
Pada fase ini Dokter/Perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong
pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang
tidak masuk akal.
d. Pada Fase Depresi
Pada fase ini Dokter/Perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu
duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari
pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e. Pada Fase Penerimaan
Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan teman-
temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan perlu
dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk
menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.
2. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
a. Kebersihan Diri
Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas
kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan, dan sebagainya.
b. Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit
terminal, seperti morphin, heroin, dan lainnya. Pemberian obat ini diberikan sesuai
dengan tingkat toleransi nyeri yang dirasakan klien. Obat-obatan lebih baik diberikan
Intra Vena dibandingkan melalui Intra Muskular/Subcutan, karena kondisi system
sirkulasi sudah menurun.
c. Membebaskan Jalan Nafas
Untuk klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran
sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi klien
yang tida sadar, posisi yang baik adalah dengan dipasang drainase dari mulut dan
pemberian oksigen.
d. Bergerak
Apabila kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak, seperti:
turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan dilakukan
secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh klien,
karena tonus otot sudah menurun.
e. Nutrisi
Pasien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat
diberikan annti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta
pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi tonus otot
yang berkurang, terjadi dysphagia, perawat perlu menguji reflek menelan klien
sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra
Vena/Infus.
f. Eliminasi
Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinen urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi.
Pasien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur atau
dipasang duk yang diganti setiap saat atau dilakukan kateteri. Harus dijaga kebersihan
pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan salep.
g. Perubahan Sensori
Klien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, pasien biasanya menolak/
menghadapkan kepala kearah lampu/tempat terang. Klien masih dapat mendengar,
tetapi tidak dapat/mampu merespon, perawat dan keluarga harus bicara dengan jelas
dan tidak berbisik-bisik.
3. Bantuan memenuhi Kebutuhan Sosial
Pasien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan
kontak sosialnya, perawat dapat melakukan :
a. Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan pasien
dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota
keluarga lain.
b. Menggali perasaan-perasaan klien sehubungan dengan sakitnya dan perlu diisolasi.
c. Menjaga penampilan klien pada saat-saat menerima kunjungan teman-teman
terdekatnya, yaitu dengan memberikan pasien untuk membersihkan diri dan
merapikan diri.
d. Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang
lain dan membawa buku-buku bacaan bagi pasien apabila pasien mampu
membacanya.
4. Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual
- Menanyakan kepada klien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana
pasien selanjutnya menjelang kematian.
- Menanyakan kepada pasien untuk bila ingin mendatangkan pemuka agama dalam hal
untuk memenuhi kebutuhan spiritual sesuai keyakinannya.
- Membantu dan mendorong pasien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas
kemampuannya.
Keyakinan spiritual mencakup prakterk ibadah sesuai dengan keyakinannya/ritual harus
diberi dukungan. Petugas kesehatan dan keluarga harus mampu memberikan ketenangan
dan kayakinan-keyakinan spiritualnya. Petugas kesehatan dan keluarga harus sensitive
terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi kematian, sehingga kebutuhan
spiritual pasien menjelang kemtian dapat terpenuhi.
L. Kesimpulan
Kondisi terminal adalah suatu keadaan diaman seseorang mengalami penyakit/sakit yang
tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik, psikologis,
social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda. Hal
ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukkan oleh pasien terminal. Orang
yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit
kronis yang lama dapat memakai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan.
Atau sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang
akan mempersatukan dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain bernaggapan
takut akan perpisahan, dikucilkan, ditelantarkan, kesepaian atau mengalami penderitaan
sepanjang hidup. Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani
hidup, merespon terhadap berbagai kejadian dan orang terminal sering bukan pada kematian
itu sendiri tetapi lebih pada kehilangan control terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang
menyakitkan atau tekanan psikologis yang diakibatkan ketakutan akan persiapan, kehilangan
orang yang dicintai.
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN TERMINAL
A. PENGERTIAN
Penyakit terminal adalah suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi. Kematian adalah
tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang tiba-tiba tanpa peringatan atau mengikuti
periode sakit yang panjang
B. TAHAP-TAHAP BERDUKA
Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat terjadi pada
pasien menjelang ajal :
1. Denial ( pengingkaran )
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat menerima
informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin mengingkarinya
2. Anger ( Marah )
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan meninggal
3. Bergaining ( tawar-menawar )
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar waktu untuk hidup
4. Depetion ( depresi )
Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan segera mati, ia
sangat sedih karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama lagi bersama keluarga dan
teman-teman.
5. Acceptance ( penerimaan )
Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan bahwa ia akan
meninggal. Ia akan berusaha keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang belum
terselesaikan.