Preskas Kulit Fix
Preskas Kulit Fix
PENDAHULUAN
5. Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat – obatan disangkal pasien.
6. Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang pelajar kelas 3 SMA. Bertempat tinggal di lingkungan padat
penduduk. Pasien seorang pelajar yang aktif, suka berinteraksi pada semua orang dan
ikut organisasi di sekolah, namun kepercayaan diri pasien berkurang karena ada
kelainan pada jari kangan pasien.
b. Status Dermatologis
Pembesaran saraf
2.9 Penatalaksanaan
Biopsi
2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam.
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam.
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam.
3.1.DEFINISI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Mycobacterium leprae merupakan bakteri tahan
asam penyebab penyakit kusta atau sering juga disebut dengan lepra. Berbentuk batang,
bakteri tahan asam dan tahan alcohol, bakteri gram positif, tidak berspora, tidak bergerak,
hidup didalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan.Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Bagian tubuh yang dingin merupakan predileksi seperti saluran nafas, testis, ruang anterior
mata, kulit terutama cuping telinga dan jari-jari.
Reaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu
interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah
tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
3.2.EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh
dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh
orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri
ternyata berbeda-beda. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir
diluar manusia . Belum ditemukan medium artifisial , mempersulit dalam mempelajari sifat-
sifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan
adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per
gram jaringan, penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita
yang mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar
keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung banyak
M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
3.3.ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan dalam media
artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um, tahan asam dan
alkohol serta Gram-positif. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media
buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.Masa
belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman
lain,yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 2 – 5 tahun.
Dengan mikroskop elektron, tampak M. Leprae mempunyai dinding yang terdiri dari
2 lapisan, yakni lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan lipopolisakarida
pada bagian luarnya.Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi
oleh asam mikolik dengan ketebalan 20 nm. . Dinding sel basil mengandung rangka
peptidoglikan yang berhubungan dengan arabinogalactan dan asam mycolic.Protein
imunogenik terdapat baik di dinding sel maupun sitoplasmanya.
Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. Leprae, yakni:
M. Leprae merupakan parasit intraselular obligat yang tidak dapat dibiakkan pada
media buatan.
Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
M. Leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenylalanin).
M. Leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
Ekstrak terlarut dan preparat M. Leprae mengandung komponen antigenik yang stabil
dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid dan
negatif pada penderita lepromatous.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.Kusta yang merupakan penyakit
menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru
muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala dan
tanda yang muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita.
Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya.Kerusakan pada saluran udara di hidung
bisa menyebabkan hidung tersumbat.Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
3.4.FAKTOR RESIKO
Imunitas tubuh yang rendah. Telah disebutkan bahwa penyakit kusta dapat dikatakan
juga penyakit imunologik. Artinya daya tahan sangat berpengaruh dalam manifestasi
penyakit ini. Saat daya tahan tubuh penderita turun dan saat itu juga terpajan bakteri
3.5.PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan
seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.Selain manusia, hewan yang dapat
tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat bukti bahwa
tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor
genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu.Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta
yang berbeda pada setiap individu.Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor
penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang
yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi
untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina
hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa
hidung.Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah organisme
di dermis kulit.Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit.Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan
asam di epiteldeskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis.Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratinsuperfisial kulit di penderita kusta
3.6.PATOGENESIS
Lepra merupakan penyakit infeksius kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. M. leprae memiliki tiga target utama dalam tubuh manusia:
jaringan saraf perifer (sel Schwann), pembuluh darah kecil (sel endotel dan perisit), serta
system monosit-makrofag. Basil tersebut dapat tetap bertahan hidup dan melakukan
replikasi di dalam sel Schwann dan selanjutnya dapat pula melakukan penetrasi ke
jaringan perineural serta dapat pula berkembang dalam sel endotel dan perisit untuk
kemudian dapat menyebabkan bakteremi.
Banyak percobaan dan penelitian telah dilakukan untuk menerangkan spektrum
kliniko-patologi dari lepra. Faktor resistensi alami dan kelemahan istem imunitas selular
merupakan salah satu teori yang dipostulasikan secara umum.
Pada kasus yang terletak pada hemispher tuberkuloid dengan hasil mitsuda
positif, fagositosis terhadap M. leprae mampu menimbulkan lisis bakteri secara utuh,
makrofag dapat bertransformasi menjadi Antigen Presenting Cells (APC) dengan
presentasi lengkap antigen basil di permukaan sel bersama MHC II sehingga dapat
menginduksi sintesis IL-12 yang kemudian dapat merangsang Limfosit T CD4+ (Th-1)
untuk memproduksi IL-2 dan IFN-gamma. Berbagai sitokin tersebut juga dapat
mengaktivasi makrofag lain dan membantu proses lisis bakteri hingga terbentuk sel
epiteloid dan sel langhans. Secara structural, sitoplasma dari sel epiteloid menunjukkan
lisosom dan apparatus golgi yang normal, degenerasi mitokondria, dengan tanpa struktur
gabus (Virchowsit). Perbesaran mitokondria menunjukkan aktivitas metabolic yang
tinggi dari makrofag tersebut.Limfosit T CD4+ dapat berperan melalui produksi IL-2
dan IFN-gamma. Bersama dengan MHC I, APC yang sama dapat merangsang limfosit T
CD8+ walaupun tidak sebesar efek pada lepromatos lepra.
3.7.KLASIFIKASI KUSTA
Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetap diobati sebagai MB apapun hasil
pemeriksaan BTA-nya saat int.
Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan
gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering
dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang
besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung
dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
BB :Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.
Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada
tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas
sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral
tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin
( - ).
LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah
sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit
dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih
yang datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah
merusak saraf-sarafnya.
Lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar
dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, seperti alis
dan bulu mata.
Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki
gambaran kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai
lepra tuberkuloid; jika keadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra
lepromatosa
Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi
reaksi kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit,
saraf tepi dan kelenjar getah getah bening, sendi, testis dan organ lain.
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralysis N. orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata
lainnya.Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan.Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.Pada tipe
Lepromatosa dapat timbul Ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan
oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
3.9.DIAGNOSIS KRITERIA
Pemeriksaan Pasien
1. Anamnesis
- Keluhan pasien
- Riwayat kontak dengan pasien
- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi.
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik.lesi kulit harus diperhatikan dan jugakerusakan kulit.
3. Palpasi
- Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan
kaki
- Kelainan saraf :
Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. Aurikularis magnus, N.
ulnaris, dan N. peroneus. Petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan
saraf.harus diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hitung sel darah lengkap
2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3. HIV status, terutama nonresponder
4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL
NEELSEN.Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung M. leprae.
Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat
tersebut, dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling eritomatosa dan paling
infiltratif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular
2+ 1-10 dalam 10 LP
3+ 1-10 dalam 1 LP
4+ 11-100 dalam 1 LP
5+ 101-1000 dalam 1 LP
6+ >1000 dalam 1 LP
2. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada Tipe
Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati
sel virchow dengan banyak basil. Pada Tipe Borderline terdapat campuran unsur-
unsur tersebut.
3. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra,
tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae.0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari (Reaksi
Fernandez), atau 3-4 minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif, bila
3.10. KOMPLIKASI
Reaksi Kusta
Reaksi kusta : suatu keadaan gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta
yang terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yang diduga disebabkan hipersensitivitas
akut terhadap Ag basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah
ada. Ada dua tipe reaksi berdasarkan hipersensitivitas yang menyebabkannya ;
Hipersensitivitas terhadap antigen m.leprae karena ketidakseimbangan imunologis:
1. Reaksi tipe 1
Hipersensitivitas tipe IV, antigen m.leprae dgn T limfosit Karena perubahan cepat
dr imunitas seluler. Timbul pd kusta tipe borderline ( BT, BB, BL ). Gejala klinis
lesi macula eritematus,menebal,panas dan nyeri.
2. Reaksi tipe 2
Reaksi antigen-antibodi yg melibatkan komplemen. Terjadi pd 50% tipe LL dan
25% tipe BL. Gejala utama Eritema Nodusum Leprosum (ENL)→ nodul kemerahan
yg nyeri
3.11. PENATALAKSANAAN
e. Minosiklin
Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari
klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran
cerna dan susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu
tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
f. Klaritromicin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan
diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.
(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu
berhenti minum obat.
Tabel Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Rifampicin Dapson
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah
RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun
Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Rifampicin Dapson Lamprene
Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita
MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga
hanya bisa mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi
klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan
dan lagi selama 8 bulan.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan
berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan
kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5
hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat
anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan
dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang
diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon
jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita
(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan
(tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
Gambar : Regimen MDT
WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO
Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita
kusta.
Tabel : Klasifikasi Cacat
Cacat pada kaki dan tangan
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas atau
kecacatan yang terlihat.
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
3.12. PROGNOSIS
A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2007; 73-88
Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67
Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-126