Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kusta merupakan penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi dan kulit. Kurangnya pemahaman dan
kepercayaan yang keliru mengenai penyakit kusta dan deformitas yang ditimbulkan
menyebabkan ketakutan bagi masyarakat. Masyarakat awam menganggap kusta sebagai
penyakit keturunan dan menyebabkan kecacatan.
Gejala klinis dari penyakit kusta meliputi lesi kulit hipopigmentasi, rasa nyeri pada
persarafan dan mati rasa pada bagian tubuh atau pada lesi tertentu. Gejala-gejala ini
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan dengan
ditemukannya 3 tanda kardinal, yaitu : adanya lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi,
dan ditemukannya bakteri tahan asam (BTA).
Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yaitu keadaan eksaserbasi yang
ditandai dengan peningkatan aktivitas penyakit secara tiba-tiba. Reaksi kusta sering terjadi
sebagai komplikasi pengobatan, tetapi dapat juga terjadi sebelum pengobatan atau sesudah
pengobatan selesai dengan obat kusta. Reaksi kusta dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu reaksi kusta
tipe I, reaksi kusta tipe II dan reaksi kusta tipe III (Fenomena Lucio). Reaksi kusta
meningkatkan morbiditas dari penyakit kusta dan dapat menimbulkan kecacatan bagi
penderitanya.
Penyakit kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Menurut WHO,
diperkirakan jumlah penderita kusta baru di dunia pada tahun 2012 adalah sekitar 232.857
orang. Dari jumlah tersebut terbanyak terdapat di regional Asia Tenggara : 116.445 kasus
(71%), diikuti regional regional Amerika : 36.178 kasus(16%), Afrika : 20.599 kasus (9%),
dan sisanya berada pada regional lain di dunia (4%). Pada awal tahun 2013, di dunia terdapat
189.018 kasus dengan perincian regional Asia Tenggara 125.167 kasus, regional Amerika :
33.926 kasus, dan regional Afrika 17.540 kasus, sedangkan sisanya berada di regional
lainnya.
Pada tahun 2012, di Indonesia tercatat 22.390 penderita kusta terdaftar. Jumlah kasus
baru sebanyak 18.994 penderita, 15.703 penderita menderita kusta tipe multibasiler, 2.131
mengalami cacat tingkat 2 serta 194 penderita di antaranya adalah kasus relaps. Menurut data
kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita mengalami reaksi kusta.
Reaksi kusta yang terjadi pada penderita kusta diharapkan dapat diketahui sedini
mungkin, sehingga penderita secepatnya mendapat penanganan dan kecacatan akibat reaksi

Presentasi kasus Page 1


dapat dihindari. Menurut Depkes (2006), faktor pencetus reaksi kusta antara lain : penderita
dalam kondisi stres fisik, kehamilan, sesudah melahirkan, sesudah mendapat imunisasi,
penyakit malaria, kecacingan, karies gigi, penderita stres mental dan efek pemakaian obat
untuk kekebalan tubuh.
Banyaknya jumlah penderita kusta di Indonesia serta pentingnya penatalaksanaan saat reaksi
kusta menjadi landasan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini. Pengenalan dan
penatalaksanaan reaksi kusta yang adekuat diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas
dan kecacatan yang terjadi.

Presentasi kasus Page 2


BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Y
No. RM : 901068
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 18 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Suku : Jawa
Status Marital : Belum Menikah
Alamat : Jatisawit
Tanggal Pemeriksaan : 15 Desember 2015

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis dan Heteroanamesis)


1. Keluhan Utama
Bercak keputihan pada kulit.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Arjawinangun dengan
keluhan timbul bercak-bercak putih pada badan. Bercak pertama timbul di tangan
sekitar 4 Tahun yang lalu, bercak putih awalnya timbul kecil, semakin lama bercak
putih tersebut semakin meluas dan menyebar ke leher dan wajah. Pasien juga
mengeluhkan ada bagian daerah pada tangan kanan yang mati rasa tidak bisa
mengenali rasa raba maupun nyeri. Pasien mengeluhkan kelainan bentuk jari tangan
kanan yang semakin bengkok dan mengecil. Saat pertama kali timbul keputihan di
tangan pasien hanya membeli obat berupa salep di apotek tanpa berbobat ke dokter.
Namun keluhan tersebut semakin meyebar ke daerah tubuh lainnya dan menyebabkan
kelainan sensorik dan motorik tangannya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Presentasi kasus Page 3


4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama seperti yang dirasakan
pasien.

5. Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat – obatan disangkal pasien.

6. Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang pelajar kelas 3 SMA. Bertempat tinggal di lingkungan padat
penduduk. Pasien seorang pelajar yang aktif, suka berinteraksi pada semua orang dan
ikut organisasi di sekolah, namun kepercayaan diri pasien berkurang karena ada
kelainan pada jari kangan pasien.

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
TTV : TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 36,3 °C
Kepala / Leher : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pembesaran KGB
regional (-/-)
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-), bunyi jantung I-II reguler,
Abdomen : cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+), kelainan kulit (-)
Ekstermitas : Akral hangat, edema (-/-)
Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan.

b. Status Dermatologis

Presentasi kasus Page 4


 Pada regio tangan kiri, terdapat plak hipopigmentasi, multipel, berukuran numular, bentuk
bulat dan oval, berbatas kurang jelas, dan persebarannya diskret.
 Terdapat kelainan bentuk jari-jari tangan kanan.

2.4 Pemeriksaan Tambahan


Pemeriksaan Saraf Tepi
 Sensorik
a. Sensasi raba : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal
b. Sensasi nyeri : hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal.
c. Sensasi suhu : Tidak dilakukan
 Motorik
Pada pemeriksaan kekuatan otot dari keempat ekstremitas dalam batas normal.

 Pembesaran saraf

Saraf Tepi Hasil Pemeriksaan

N. Aurikularis Magnus Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

N. Ulnaris Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

N. Tibialis Posterior Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)

N. Peroneus Lateralis Pembesaran d/s (-/-), Nyeri (-/-)


Komunis

Presentasi kasus Page 5


2.5 Resume
Seorang perempuan usia 29 tahun datang ke poliklinik penyakit kulit dan kelamin
RSUD Arjawinangun pada tanggal 15 Desember 2015 dengan keluhan, timbul
bercak-bercak putih pada badan. Bercak pertama timbul di tangan sekitar 4 Tahun
yang lalu, bercak putih awalnya timbul kecil, semakin lama bercak putih tersebut
semakin meluas dan menyebar ke leher dan wajah. Terdapat kelaianan pada bagian
daerah pada tangan kanan yang mati rasa tidak bisa mengenali rasa raba maupun
nyeri. Terdapat kelainan bentuk jari tangan kanan yang semakin bengkok dan
mengecil. Saat pertama kali timbul keputihan di tangan pasien hanya membeli obat
berupa salep di apotek tanpa berbobat ke dokter. Namun keluhan tersebut semakin
meyebar ke daerah tubuh lainnya dan menyebabkan kelainan sensorik dan motorik
tangannya.

2.6 Diagnosis Kerja


Morbus Hansen

2.7 Diagnosis Banding


a) Pitriasis Versikolor
b) Vitiligo
c) Dermatofitosis

2.8 Pemeriksaan BTA


Pengambilan sampel dilakukan pada lesi tangan kanan. dilakukan pengambilan sampel ±5cm,
diambil antara bagian kulit yang normal terhadap lesi. Dilakukan pada hari rabu tanggal 15
Desember 2015. Pada pemeriksaan didapatkan hasil :

2.9 Penatalaksanaan
Biopsi

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam.
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam.
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam.

Presentasi kasus Page 6


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.DEFINISI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Mycobacterium leprae merupakan bakteri tahan
asam penyebab penyakit kusta atau sering juga disebut dengan lepra. Berbentuk batang,
bakteri tahan asam dan tahan alcohol, bakteri gram positif, tidak berspora, tidak bergerak,
hidup didalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan.Saraf perifer sebagai afinitas pertama lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Bagian tubuh yang dingin merupakan predileksi seperti saluran nafas, testis, ruang anterior
mata, kulit terutama cuping telinga dan jari-jari.
Reaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu
interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah
tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.

3.2.EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh
dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh
orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri
ternyata berbeda-beda. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir
diluar manusia . Belum ditemukan medium artifisial , mempersulit dalam mempelajari sifat-
sifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan
adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per
gram jaringan, penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita
yang mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar
keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung banyak
M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan

Presentasi kasus Page 7


daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada
kelompok umur anatar 25-35 tahun.
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin , daerah tropis
dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah. Makin rendah sosial
ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. Leprae yang mengakibatkan varian
gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan
oleh faktor genetik yang berbeda.
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85%
di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun
1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan problem
kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara ,
dan 82% nya di 5 negara yaitu Brazil, India , Indonesia , Myanmar dan Nigeria. Jumlah kasus
kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar
negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat
213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008
baru tercatat 249.0007. Di Indonesia, distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di
Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk
adalah 0,73.

3.3.ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan dalam media
artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um, tahan asam dan
alkohol serta Gram-positif. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media
buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.Masa
belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman
lain,yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 2 – 5 tahun.

Presentasi kasus Page 8


Gambar : Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen

Dengan mikroskop elektron, tampak M. Leprae mempunyai dinding yang terdiri dari
2 lapisan, yakni lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan lipopolisakarida
pada bagian luarnya.Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi
oleh asam mikolik dengan ketebalan 20 nm. . Dinding sel basil mengandung rangka
peptidoglikan yang berhubungan dengan arabinogalactan dan asam mycolic.Protein
imunogenik terdapat baik di dinding sel maupun sitoplasmanya.
Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. Leprae, yakni:
 M. Leprae merupakan parasit intraselular obligat yang tidak dapat dibiakkan pada
media buatan.
 Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
 M. Leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenylalanin).
 M. Leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
 Ekstrak terlarut dan preparat M. Leprae mengandung komponen antigenik yang stabil
dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid dan
negatif pada penderita lepromatous.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata,
otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.Kusta yang merupakan penyakit
menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru
muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala dan
tanda yang muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita.

Presentasi kasus Page 9


Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan
kebutuhan akan antibiotik.
 Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih
yang datar.Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-
sarafnya.
 Pada lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar
dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis dan bulu
mata.
 Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki
gambaran kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra
tuberkuloid; jika kaeadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa.
Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi reaksi
kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf tepi dan
kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata.Pengobatan yang diberikan
tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan kortikosteroid atau talidomid.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir
semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf
tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.Kemampuan untuk merasakan
sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan
saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya
sendiri.Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari
tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai.Karena itu penderita lepra menjadi tampak
mengerikan.

Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya.Kerusakan pada saluran udara di hidung
bisa menyebabkan hidung tersumbat.Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.

3.4.FAKTOR RESIKO
 Imunitas tubuh yang rendah. Telah disebutkan bahwa penyakit kusta dapat dikatakan
juga penyakit imunologik. Artinya daya tahan sangat berpengaruh dalam manifestasi
penyakit ini. Saat daya tahan tubuh penderita turun dan saat itu juga terpajan bakteri

Presentasi kasus Page 10


M. leprae maka orang tersebut akan mudah terserang penyakit ini. Penggunaan obat –
obat immunosuoresor juga dapat menjadi salah satu penyebab dari penyakit ini
 Usia. Dapat menyerang semua umur tapi sangat rentan terjadi pada anak – anak.
 Kebersihan. Berganti – ganti handuk dan pakaian dengan penderita dapat pula
menyebabkan seseorang tertular penyakit ini. Seseorang yang kurang menjaga
kebersihan kulitnya misalnya jarang mandi juga dapat tertular penyakit ini.
 Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih,
 Asupan gizi yang buruk, dan
 Adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
 Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita

3.5.PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan
seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.Selain manusia, hewan yang dapat
tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat bukti bahwa
tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor
genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu.Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta
yang berbeda pada setiap individu.Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor
penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang
yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi
untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina
hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa
hidung.Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah organisme
di dermis kulit.Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit.Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan
asam di epiteldeskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis.Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratinsuperfisial kulit di penderita kusta

Presentasi kasus Page 11


lepromatosa.Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar
melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga
10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.Davey dan Rees mengindikasi
bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per
hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini
diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya
bakteri.Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit
yang ditekan sistem imunnya.Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan
pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.Banyak ilmuwan yang
mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi
gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat
disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi maksimum dilaporkan
selama 30 tahun.Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik.Secara umum,
telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

3.6.PATOGENESIS
Lepra merupakan penyakit infeksius kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. M. leprae memiliki tiga target utama dalam tubuh manusia:
jaringan saraf perifer (sel Schwann), pembuluh darah kecil (sel endotel dan perisit), serta
system monosit-makrofag. Basil tersebut dapat tetap bertahan hidup dan melakukan
replikasi di dalam sel Schwann dan selanjutnya dapat pula melakukan penetrasi ke
jaringan perineural serta dapat pula berkembang dalam sel endotel dan perisit untuk
kemudian dapat menyebabkan bakteremi.
Banyak percobaan dan penelitian telah dilakukan untuk menerangkan spektrum
kliniko-patologi dari lepra. Faktor resistensi alami dan kelemahan istem imunitas selular
merupakan salah satu teori yang dipostulasikan secara umum.

Presentasi kasus Page 12


Penyakit ini dapat menimbulkan bipolaritas penyakit berdasarkan reaksi mitsuda
yang terjadi pada manusia yang terinfeksi. Pada reaksi mitsuda positif, kemungkinan
terjadi resistensi dengan sedikit atau bahkan tanpa proliferasi basiler dan dapat
menimbulkan granuloma epiteloid yang dimediasi oleh mekanisme imunitas seluler.
Pada manusia dengan reaksi mitsuda negative terjadi proliferasi basiler dan terbentuk
granuloma lepromatosa atau virchowsitik. Bipolaritas tersebut terjadi karena adanya dua
respon monosit dan makrofag terhadap M. leprae.

Pada kasus yang terletak pada hemispher tuberkuloid dengan hasil mitsuda
positif, fagositosis terhadap M. leprae mampu menimbulkan lisis bakteri secara utuh,
makrofag dapat bertransformasi menjadi Antigen Presenting Cells (APC) dengan
presentasi lengkap antigen basil di permukaan sel bersama MHC II sehingga dapat
menginduksi sintesis IL-12 yang kemudian dapat merangsang Limfosit T CD4+ (Th-1)
untuk memproduksi IL-2 dan IFN-gamma. Berbagai sitokin tersebut juga dapat
mengaktivasi makrofag lain dan membantu proses lisis bakteri hingga terbentuk sel
epiteloid dan sel langhans. Secara structural, sitoplasma dari sel epiteloid menunjukkan
lisosom dan apparatus golgi yang normal, degenerasi mitokondria, dengan tanpa struktur
gabus (Virchowsit). Perbesaran mitokondria menunjukkan aktivitas metabolic yang
tinggi dari makrofag tersebut.Limfosit T CD4+ dapat berperan melalui produksi IL-2
dan IFN-gamma. Bersama dengan MHC I, APC yang sama dapat merangsang limfosit T
CD8+ walaupun tidak sebesar efek pada lepromatos lepra.

Presentasi kasus Page 13


Pada tipe lain dari lepra, hemisphere lepromatosa dengan hasil mitsuda negative
terjadi overproduksi radikal bebas sehingga menyebabkan efek inhibisi terhadap
fosfolipase lisosom dan menimbulkan bentukan sel lepra (Virchowsit) karena fosfolipid
basil yang persisten. Hal tersebut menyebabkan hilangnya stimulasi imunologis (APC)
sehingga imunitas seluler tubuh tak terstimulasi. Pada tahapan lanjut dari lepromatos
lepra, makrofag lain akan memfagosit sel lepra (virchowsit) dan menimbulkan ekspresi
dari MHC II, pelepasan IL-4 akan merangsang imunitas humoral (CD4+ Th-2 dan
Limfosit T CD8+, limfosit B, IL-1, sintesis TNF – alfa) dengan produksi antibody anti-
lepra dan memfasilitasi reaksi lepra tipe 2 (ENL) dan tipe 3 (fenomena Lucio).

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen


Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.Signal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua

Presentasi kasus Page 14


adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC
yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan
mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF
α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th 1 akan menghasilkan IL 2
dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang
merupakan lemak dari M.leprae akan berikatandengan C3 melalui reseptor
CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain
itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I
akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif olehanion superoksida dan radikal
hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi.
Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus
dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan
lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag sudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan
membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B
untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel
mast.Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan
denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th1.
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang
dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid.Sel dendritik merupakan APC
yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan
antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba.Sel
denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc
akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan
adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC
matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya
ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC
matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan

Presentasi kasus Page 15


diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR
2polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy

Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta


M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2
yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan
mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan
Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal
memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus
untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak
mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak
akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel
schwann merupakan APC non professional.

Patogenesis Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta
yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta.Ada
dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta
tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (
Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan
BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan
sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading
reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan
sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan
downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem
imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi.
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas
tipe III.Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini
sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi
membentukkompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan
berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim
lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.

3.7.KLASIFIKASI KUSTA

Presentasi kasus Page 16


Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit
lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
TI: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
LI: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi


Zona Spektrum Kusta
Klasifikasi
TT BT BB BL LL
Ridley & Jopling
Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
Madrid
Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
WHO
PB MB
Puskesmas

Jenis klasifikasi yang umum


A. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953) :
 Indeterminate (I)
 Tuberkuloid (T)
 Borderline – Dimorphous (B)
 Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley-Jopling (1962).
 Tuberkuloid (TT)
 Boderline tuberculo’d (BT)
 Mid-borderline (BB)
 Borderline lepromatcus (BL)
 Lepromatosa (LL)

Presentasi kasus Page 17


C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta: Klasifikasi WHO (1981) dan
modifikasi WHO (1988)
 Psusibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I danTT menurut klasifikasi Madrid.
 Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan
Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifi-kasikan sebagai
berikut :

 Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetap diobati sebagai MB apapun hasil
pemeriksaan BTA-nya saat int.
 Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan
gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
 TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering
dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang
besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung
dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
 BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
 BB :Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.
Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada
tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas
sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
 BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral
tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin
( - ).
 LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah
sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit
dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

Presentasi kasus Page 18


3.8.MANIFESTASI KLINIS
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru
muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala
dan tanda yang muncul tergantung pada respon imun penderita.Jenis lepra menentukan
prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan antibiotic yang
diberikan.

 Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih
yang datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah
merusak saraf-sarafnya.
 Lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar
dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, seperti alis
dan bulu mata.
 Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki
gambaran kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai
lepra tuberkuloid; jika keadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra
lepromatosa

Sedangkan klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas


gambaran klinis, bakteriologis, imunologis dan histologis.
1. Lepra tipe Indeterminate (I)
Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan
kemudian menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda
ukurannya dari 20 sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula
memperlihatkan hipoestesia dan gangguan berkeringat.Hasil tes lepromin mungkin
positif atau negatif.Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak
diobati, sekitar 25% berkembang menjadi salah satutipe determinate.
 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
 Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
 Sebagian sembuh spontan.
2. Lepra tipe Determinate
a. Lepra tipe Tuberkuloid(TT)

Presentasi kasus Page 19


Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan
kulit.Kelainan kulit tersebutdapatberupa bercak-bercakhipopigmentasi yang
berbatas tegas, lebar, kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak
berambut.Kadang kala ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi,
atau penebalan pada saraf predileksi seperti n. auricularis magnus.Hasil
pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin
memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjuk-kan adanya imunitas seluler
terhadap Mycobacterium leprae yang baik.
 Mengenai kulit dan saraf.
 Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas,
regresi, atau, kontrol healing ( + ).
 Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
 Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya
respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
b. Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun
biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang
jelas.Dapat dijumpai lesi-lesi satelit.Dapat mengenai satu saraf tepi atau lebih,
sehingga menyebabkan kecacatan yang luas.Hasil pemeriksaan usapan kulit
untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes
lepromin positif.
 Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
 Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
 Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
 Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
c. Lepra tipe Borderline-Borderline (BB)
Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan poli-morf. Kelainan
kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah
hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan
yang curam (punched out). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan
asam positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+.Tes lepromin biasanya
negatif. Lepra tipe BB sangat tidal( stabil).

Presentasi kasus Page 20


 Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
 Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
 Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi
tipe BT, cenderung simetris.
 Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
 Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada
bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
d. Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa Dimulai
makula, bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula,
nodul serta plakaL awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan
gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf
yang dapat teraba pada tempat prediteksi.Kelainan saraf ringan.Hasil
pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks
bakteriologis 4+ sampai 5+.Tes lepromin negatif.
e. Lepra tipe Lepromatosa (LL)
Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang
berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal,
permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula.Saraf tepi biasanya
tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut.Dapat terjadi neuropati
perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan
hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah.Lama-kelamaan
sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif,
sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul.Nodul juga dapat terjadi
pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera.Alis dan bulu mata menjadi tipis,
serta bibir, jarijari Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan
keratitis.Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan,
menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan
timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala
mengakibatkan ginekomastia.Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan

Presentasi kasus Page 21


asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu
negative
 Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas
tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
 Distribusi lesi khas :
Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
 Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif, Cuping telinga menebal, Garis
muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis,
intis dan keratitis.
 Lebih lanjut : Deformitas hidung, Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi,
testis, Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit
progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
 Stadium lanjut : serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis
menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
Gambaran klinis organ lain
 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, arthritis
 Lidah : ulkus, nodus
 Larings : suara parau
 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
 Kelenjar limfe : limfadenitis
 Rambut : alopesia, madarosis
 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial

Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi
reaksi kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit,
saraf tepi dan kelenjar getah getah bening, sendi, testis dan organ lain.

Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi


dan hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke
dalam saraf tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.

Presentasi kasus Page 22


Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun,
sehingga penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka
bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya sendiri.Kerusakan saraf tepi juga
menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-jari tangan seperti sedang
mencakar dan kaki terkulai.Karena itu penderita lepra menjadi tampak
mengerikan.Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya.Kerusakan pada saluran
udara di hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat.Kerusakan mata dapat
menyebabkan kebutaan. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul,
karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang
dihasilkan oleh testis.
Manisfestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang
jelaspada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan
fisiksaja.Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta
denganatau tanpa pemerikasaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan.Gejala
dan keluhan penyakit bergantung pada:
 Multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae
 Respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae
 Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai


kulit,saraf, dan membran mukosa.Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan
lagimenjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit
Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).Kusta multibasiler,
dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi
kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak
beraturan bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi
dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi
seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid.Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu
atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).Kusta
lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang
menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan
hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap
kerusakan saraf sering kali terlambat.

Presentasi kasus Page 23


Secara umum, lepra mempengaruhi kulit, saraf perifer, dan mata.Kemungkinan
juga mempengaruhi gejala sistemik.Gejala-gejala spesifik berubah-ubah menyesuaikan
beratnya penyakit.Gejala-gejala prodromal pada umumnya begitu diabaikan sehingga
penyakit ini tidak diketahui sampai timbulnya erupsi kutaneus.Bagaimanapun juga, 90%
dari pasien sudah memiliki riwayat kebas, beberapa tahun sebelum lesi pada kulit
muncul.Sensasi yang pertama hilang adalah sensasi suhu.Pasien tidak dapat merasakan
perbedaan besar antara suhu panas dengan suhu dingin.Sensasi berikutnya yang
menghilang adalah sentuhan ringan, kemudian nyeri, dan pada akhirnya tekanan yang
dalam.
Kehilangan-kehilangan ini terutama didapatkan pada tangan dan kaki, oleh
karena itu, keluhan utamanya dapat berupa terbakar atau borok pada ekstremitas yang
mati rasa. Bagian tubuh lain yang mungkin terpengaruh adalah area dingin, dimana dapat
termasuk saraf perifer superficial, ruang mata anterior, testis, dagu, malar eminen,
cuping telinga, dan lutut. Dari stage ini, sebagian besar lesi berubah menjadi tipe-tipe
tuberkuloid, borderline, atau lepromatosa. Penilaian untuk tanda-tanda phisik terdapat
pada 3 area umum: lesi kutaneus, neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai
jumlah dan distribusi lesi pada kulit.Makula hipopigmentasi dengan tepian yang
menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali muncul.Sering juga berupa
plak.Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi hipoesthetik.Lesi pada pantat sering
sebagai indikasi tipe borderline.
Berkenaan dengan neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia ( sentuhan
ringan, pinprick, suhu dan anhidrosis), terutama cabang saraf perifer dan saraf kutaneus.
Saraf yang paling sering terkena adalah saraf tibia posterior.Saraf lainnya yang pada
umumnya mengalami kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan saraf
facial.Disamping kehilangan sensoris, pasien dapat juga mengalami kelemahan dan
kehilangan gerak.
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra:
 Neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
 Mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
 Neuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:

Presentasi kasus Page 24


 Anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang
menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
kerusakan motoris dan sensoris
 Deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul
kelemahan otot)
 Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia
dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek
atau diregangkan
 lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya
sensoris
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi:
 Reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya
lesi-lesi kulit yang baru
 reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
mata merah
 nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.
Gejala-gejala kerusakan saraf :
N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis
- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari,
telunjuk dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari
tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis
lateral
N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung

Presentasi kasus Page 25


proksimal jari telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
- tak mampu ekstensi jari-jari atau
pergelangan tangan
N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral
dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki
- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps
arkus pedis
N. Fasialis - cabang zigomatik dan temporal
menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir
N. Trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea dan
konjugtiva mata

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralysis N. orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata
lainnya.Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan.Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.Pada tipe
Lepromatosa dapat timbul Ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan
oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis

Presentasi kasus Page 26


N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian
atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan. Kerusakan pada mata lebih sering
terlihat dengan adanya lesi fasial.Lagophthalmos (ketidakmampuan menutup mata),
ditemukan terakhir pada orang dengan LL, hasil keterlibatan dari zigomatik dan cabang-
cabang temporal dari saraf fasial (nervus cranialis VII).Keterlibatan dari cabang
ophthalmic dari saraf trigeminal (nervus kranialis V) dapat menyebabkan reflek kornea
berkurang, mata kering, dan kurang berkedip.

3.9.DIAGNOSIS KRITERIA

Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis


dansymptom.Hal ini mudah diamati dan diperoleh oleh petugas kesehatan sesudah
latihan dalam periode yang singkat.Dalam prakteknya, seringnya orang yang memiliki
beberapa keluhan datang sendiri ke pusat kesehatan. Hanya pada beberapa contoh kasus
yang jarang memerlukan laboratorium dan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk
menyatakan diagnose lepra. Dalam daerah atau negara endemis, seorang individu harus
dicurigai mengidap lepra jika dia menunjukkan satu dari tanda-tanda kardinal berikut:
 Lesi kulit pada tipe karakteristik lepra dengan penurunan atau kehilangan sensasi
(anestesi), penebalan saraf perifer
 Ditemukan M. Lepra biasanya pada kulit. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau
multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit dibandingkan kulit normal
yang mengelilingi.
Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna tembaga.Beberapa variasi lesi
kulit mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau
nodul.Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin
menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal,
terutama cabang saraf perifer merupakan ciri-ciri lepra.Saraf yang menebal biasanya
disertai oleh tanda-tanda lain sebagai hasil dari kerusakan saraf.Ini dapat mengakibatkan
berkurangnya sensasi pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf
yang terserang.Pada ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa
berkurangnya sensori dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi
lepra. Smear pada kulit dengan hasil positif: pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk
batang, basil lepra tercat merah, dimana merupakan diagnostic dari penyakit, dapat

Presentasi kasus Page 27


terlihat pada sediaan yang diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah
mikroskop sesudah mengalami pengecatan yang tepat.
Seseorang yang menunjukkan kelainan kulit atau dengan symptom
yangmengarah kepada kerusakan saraf, dimana pada dirinya tanda kardinal tidak
didapatkan atau diragukan sebaiknya disebut ‘’suspek kasus’’ dalam ketidak hadiran dari
diagnosis alternative lain yang dengan segera dapat diterima.Individu dengan hal
tersebut sebaiknya diberitahu tentang fakta-fakta dasar dari lepra dan disarankan untuk
kembali ke pusat kesehatan jika gejala tetap ada selama lebih dari enam bulan atau jika
ditemukan gejala makin memburuk. Suspek kasus dapat dikirim ke klinik rujukan
dengan fasilitas yang lebih baik untuk diagnose.
Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk
menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni:
1. Lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer, dan
3. Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.
Lepra dapat diklasifikasikan berdasarkan pada manifestasi klinis dan hasil kerok
kulit (skin smear).Dalam klasifikasi yang berdasar pada kerokan kulit, pasien yang
menunjukkan kerokan negative pada segala tempat dikelompokkan sebagai paucibasiler
lepra (PB), sedang pasien yang menunjukkan hasil positif dikelompokkan dalam
multibasiler lepra (MB). Meskipun demikian, pada prakteknya, sebagian besar program-
program menggunakan kriteria klinik untuk mengklasifikasikan dan memutuskan bentuk
pengobatan yang tepat bagi pasien secara individual, terutama sekali dalam pandangan
terhadap pelayanan skin smear yang tidak availabel atau dependable. Klasifikasi
berdasarkan pada system klinis yang bertujuan pada pengobatan terdiri dari penggunaan
jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk mengkelompokkan
pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan pausibasiler lepra(PB).
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5
tipe yaitu Tipe tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe
borderlineborderline(BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous-
lepromatous, (LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan
imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan.

Presentasi kasus Page 28


Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler
(PB) dan kelompok multibasiler (MB).Saat mengkelompokkan lepra, sangat penting
untuk menjamin bahwa pasien dengan multibasiler tidak diobati menggunakan sediaan
yang diperuntukkan bagi bentukan pausibasiler.Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya
adalah adanya makula yang hipopigmentasi, anestesi, dengan pinggir yang agak tinggi
dan bervariasi ukurannya dari mm sampai lesi besar yang menutupi seluruh tubuh.Warna
lesinya adalah eritema atau ungu pada pinggirnya dan hipopigmentasi di
tengah.Distribusi lesinya adalah dimana saja termasuk wajah.Keterlibatan saraf yaitu
dapat terjadinya penebalan saraf pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf
perifer pada nervus Ulnaris. Pada lepromatous Leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil
yang eritematous atau hipopigmentasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan
penebalan kulit yang difus. Selain itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada
alis dan bulu mata (madarosis). Facies lionina (Lion’s face) karena penebalan, nodul,
dan plak yang mengubah wajah yang normal.Warna lesinya adalah warna kulit, eritema,
dan hipopigmentasi. Distribusinya adalah bilateral simetris termasuk cuping telinga,
wajah , lengan, dan pantat atau nyang paling jarang di badan dan ekstremitas bawah.
Pada membran mukosa tepatnya di lidah dijumpai plak, nodul, atau fisura.Pada
borderline, lesinya terdapat diantara tuberkuloid dan lepromatous denga makula, papul,
dan plak.Ditemukan adanya anestesi dan penurunan keringat pada lesi.

Pemeriksaan Pasien
1. Anamnesis
- Keluhan pasien
- Riwayat kontak dengan pasien
- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi.
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik.lesi kulit harus diperhatikan dan jugakerusakan kulit.
3. Palpasi
- Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan
kaki
- Kelainan saraf :
Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. Aurikularis magnus, N.
ulnaris, dan N. peroneus. Petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan
saraf.harus diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu

Presentasi kasus Page 29


saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian
rupa jangan sampai menyakiti atau pasien mendapatkesan kurang baik.
Pemeriksaan saraf :
- bandingkan saraf bagian kiri dan kanan membesar atau tidak
- pembesaran regular (smooth) atau irregular, bergumpal
- perabaan keras atau kenyal.
- nyeri atau tidak
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal
dan saraf mana yang masih normal.di.perlukan pengalaman yang banyak.
Cara pemeriksaan saraf tepi :
a. N. aurikularis magnus :
- Pasien disuruh menoleh ke samping-semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa
tertihat bila saraf membesar. Dua jari parneriksa diletakkan di atas persilangan
jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada
perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat.
- Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan.
b. N. ulnaris :
- Tangan yang dlperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di
atas satu tangan pemeriksa.
- -Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi
ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak.
- Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya
perbedaan atau tidak.
c. N. paroneus lateralis :
- Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari
capitclum fibulae, biasanya sedikit ke posterior.
- Bila saraf yang dicari tensentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan
seperti terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut.
- Pada keadaan neuritis akut sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri
yang hebat.
4. Tes fungsi saraf
a. Tes sensoris .

Presentasi kasus Page 30


Gunakan kapas.jarum. serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit.Pasien yang
diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan.Terlebih dahulu petugas
menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan
kapas.ia harus rnenunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta
menutup rnatanya, kalau perlu matanya ditiutup dengan sepotong kain/karton.
Lesi di kulit dan bagian kulit lain yang dicurigai, perlu diperiksa sensibilitasnya.
Harus diperiksa sensibilitas kulit yang sehat dan kulit yang tersangka diserang
kusta.Bercak-bercak di kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya, jangan di
pinggimya.
Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum.Petugas menusuk kulit dengan ujung
jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus
mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
Rasa suhu
- diiakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang 1 berisi air panas
(sebaiknya 40°C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20°C).
- mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
- sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk
memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.
- bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah
menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disirnpulkan
bahwa sensasi suhu di daerah terssbut terganggu.
b. Tes otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis
1. Tes dengan pinsil tinta (tes Gunawan)
Pinsil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus
sampai ke daerah kulit normal.
2. Tes pilocarpin
Presentasi kasus Page 31
- daerah kulit pada rnakula dan perbatasannya disuntik dengan pilocarpin
subkutan.
- setelah beberapa menit tampak daerah kuiit normal berkeringat, sedangkan
daerah lesi tetap koring.
c. Tes motoris
Voluntary muscle test (VMT) Cara memeriksa
1. Mula-mula periksa gerakan, perhatikan apakah pasien dapat merakukan
dengan baik dan tanpa bantuan.
2. Kemudian perksa ketahanannya kerjakan ini hanya jika gerakannya sempuma
atau mendekati dan lakukanlah perlahan, jangan dikejutkan/sekaligus (tiba-
tiba). Jangan paksa sampai berubah posisi, amati apakah kekuatan menahan
penderita normal, berkurang atau nol.
3. Bandingkan selalu kaki dan tangan kanan pasien dengan yang sebelah kiri.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Hitung sel darah lengkap
2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3. HIV status, terutama nonresponder
4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit

1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL
NEELSEN.Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung M. leprae.
Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat
tersebut, dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling eritomatosa dan paling
infiltratif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular

Presentasi kasus Page 32


bentuk mati. Bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembangbiak dan dapat
menularkan ke orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (I.B) dengan nilai dari 0 sampai 6+
menurut Ridley.0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

 Indeks bakteri (BI)


1+ 1-10 dalam 100 LP

2+ 1-10 dalam 10 LP

3+ 1-10 dalam 1 LP

4+ 11-100 dalam 1 LP

5+ 101-1000 dalam 1 LP

6+ >1000 dalam 1 LP

 Indeks morfologi (MI)


Jumlah bakteri utuh x 100%
Jumlah semuanya

2. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada Tipe
Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati
sel virchow dengan banyak basil. Pada Tipe Borderline terdapat campuran unsur-
unsur tersebut.
3. Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra,
tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae.0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari (Reaksi
Fernandez), atau 3-4 minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif, bila

Presentasi kasus Page 33


terdapat indurasi dan erytema, yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap
M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti Mantoux test (PPD) pada M.
tuberculosis.
Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :
· 0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang
· +1 : Papul berdiameter 4-6 mm
· +2 : Papul berdiameter 7-10 mm· +3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau
papul dengan ulserasi.
Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang bernilai
prognosis. Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi mitsuda memiliki
kemungkinan klinis lebih baik daripada histologi dari lesi kulit lepra itu sendiri.
4. Tes Serologi
1. Pemeriksaan serologi, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.
2. Pemeriksaan serologi utama terdiri dari fluorescent antibody absorption test
(FLA-ABS), radioimmunoassay (RIA), ELISA, passive hemagglutination assay
(PHA), serum antibody competition test (SACT), dan particle agglutination assay
(PAA).
3. Tes serologi yang penting adalah FLA-ABS test dan PGL-1 ELISA, dimana sudah
disederhanakan lebih lanjut sebagai dot ELISA dan dipstick ELISA. Estimasi dari
komponen spesifik M leprae pada jaringan.
4. Antigen spesifik M leprae, nucleic acids, dan lipid spesifik M leprae diperiksa
menggunakan thin-layer chromatography, high-pressure liquid chromatography,
gas-liquid chromatography, dan mass spectrometry.
5. Lipid seperti mycolic acid dan phenolic glycolipid merupakan karakteristik dari
mycobacteria, termasuk M leprae.
6. Test untuk mendeteksi epitope pada antigen M leprae dilakukan dengan memakai
antibody monoclonal atau ELISA sudah di temukan, tapi frekuensi munculnya
reaksi positif palsu, terutama pada negara tropis, menurunkan nilai prediksi positif
dari aktivitas penyakit ini.

Presentasi kasus Page 34


Presentasi kasus Page 35
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO
SIFAT PB MB

1. Lesi Kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi


(Makula datar, - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi
papul yang - Distribusi tidak simetris lebih simetris
meninggi, nodus) - Hilangnya sensasi yang - Hilangnya
jelas sensasi
kurang jelas

2. Kerusakan Saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak


(menyebabkan cabang saraf
hilangnya
sensasi/kelemaha
n otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang
terkena)

3.10. KOMPLIKASI

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan bersifat intraseluler


obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta
merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi,
mutilasi, dan deformitas.
Defomitas pada kusta ini sesuai dengan patofisiologinya, dan dibagi dalam
deformitas primer dan deformitas sekunder.Deformitas primer sebagai akibat langsung
oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendasak dan
merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit, traktus mukosa respiratorius atas, tulang jari-
jari, dan wajah.Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya
deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Presentasi kasus Page 36


Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralisis N. orbikularis palpebarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan bagian-bagian mata
lainnya.Secara bergabung dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut yang dapat menyebabkan kulit kering dan
alopesia.Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal
dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis. Pada kulit akan
timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di
lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lainnya dapat menimbulkan gejala seperti :
1. Iridosiklitis
2. Neuritis Akut
3. Limfadenitis
4. Arthritis
5. Orkitis, dan
6. Nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.
M. lepare menyerang syaraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan
urat syaraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi syaraf tepi : Sensorik, motorik, dan
otonom.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena
kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan Reaksi
Lepra.
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anestesi).Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka.
Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek
kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat
menimbulkan infeksi mata dan akhirnya kebutaan.

Kerusakan Fungsi Motorik


Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) oleh karena tidak dipergunakan.Jari-jari tangan dan kaki

Presentasi kasus Page 37


menjadi bengkok (“claw hand/claw toes”) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada
sendinya (kontraktur).Bila terjadi kelemahan/kelumpuhan pada otot kelopak mata maka
kelopak mata tidak dapat dirapatkan(“lagophtalmos”).

Kerusakan Fungsi Otonom


Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah. Pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak ditangani
secara cepat dan tepat maka akan terjadi cacat ketingkat yang lebih berat.

Reaksi Kusta
Reaksi kusta : suatu keadaan gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta
yang terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yang diduga disebabkan hipersensitivitas
akut terhadap Ag basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah
ada. Ada dua tipe reaksi berdasarkan hipersensitivitas yang menyebabkannya ;
Hipersensitivitas terhadap antigen m.leprae karena ketidakseimbangan imunologis:
1. Reaksi tipe 1
Hipersensitivitas tipe IV, antigen m.leprae dgn T limfosit Karena perubahan cepat
dr imunitas seluler. Timbul pd kusta tipe borderline ( BT, BB, BL ). Gejala klinis
lesi macula eritematus,menebal,panas dan nyeri.
2. Reaksi tipe 2
Reaksi antigen-antibodi yg melibatkan komplemen. Terjadi pd 50% tipe LL dan
25% tipe BL. Gejala utama Eritema Nodusum Leprosum (ENL)→ nodul kemerahan
yg nyeri

Presentasi kasus Page 38


Fenomena Lucio
Merupakan reaksi kusta yang sangat berat, terjadi pada kusta tipe lepromatosa non
nodular difus.Terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah.
Klinis berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tak teratur dan
nyeri.Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan
ulserasi yang nyeri.Lesi lambat menyembuh dan terbentuk jaringan parut.
Histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik, edema, proliferasi
endotelial pembuluh darah dan banyak basil M. Leprae di endotel kapiler.

3.11. PENATALAKSANAAN

Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan


untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT)
untuk kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk
, mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat
pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan
antara lain: efek teraptik obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan
penerapannya.
a. DDS atau Dapsone
Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan
obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson, diamino
difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat
pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-
aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat
oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia
hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis
epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia, skin rash,
anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.
b.Lamprene atau Clofazimin
Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin
bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis
sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg
setiap minggu. Bersifat antiinflamasi dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL
dengan dosis 200-300mg/hari, namun awitan kerja timbul seteah 2-3 minggu. Efek

Presentasi kasus Page 39


sampingnya adalah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera
sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan zat warna klofazimin yang dideposit
terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya
terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen,
nausea, diare, anokresia dan vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3
bulan obat dihentikan.
c. Rifampicin
Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap
hari atau setiap bulan. Efek sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.
d. Ofloksasin
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium
Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan
dalam 22 dosis akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar
99.99%. Efek sampingnya adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness,
nervousness dan halusinasi. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan
menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.

e. Minosiklin
Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari
klaritromisin, tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran
cerna dan susunan saraf pusat termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu
tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
f. Klaritromicin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99.9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan
diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.

Presentasi kasus Page 40


Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat
bakterioskopis harus negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan
dilanjutkan sampai bakterioskopis negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan
secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap egative
dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control (RFC).
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan
lesi 2-5 buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar
pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa
pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan
pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment.
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat
pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi
tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja
langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak
Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati
dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf
diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Tabel Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut


WHO/DEPKES RI

Presentasi kasus Page 41


Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg

(5-14 th)

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu
berhenti minum obat.
Tabel Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di


rumah
Diminum di depan
petugas kesehatan
Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di
rumah
(10-14 th) Diminum di depan
petugas kesehatan

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah
RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun
Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Rifampicin Dapson Lamprene

Presentasi kasus Page 42


Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan
diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum 150 mg/bulan


diminum di depan di rumah diminum di depan
(10-14 th)
petugas petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah

Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita
MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga
hanya bisa mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi
klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan
dan lagi selama 8 bulan.

Pengobatan Reaksi Kusta


a. Pengobatan ENL
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan
dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan pada
penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila terdapat
perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu dapat
diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap.
Thalidomide merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek teratogenik.
Pada saat ini , obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di Indonesia. Klofazimin
dengan dosis 200-300mg/ hari dapat dipakai untuk pengobatan ENL. Klofazimin
dapat dipakai untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid.
b. Pengobatan reaksi raversal

Presentasi kasus Page 43


Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yang
dosisnya disesuaikan dengan berat ringan neuritis. Biasanya diberikan prednisone
40-60 mg per hari dan kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang
terkena neuritis akut harus direhatkan . Analgetik dan sedative kalau diperlukan
dapat diberikan . Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu
jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi
reversal.

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan
berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan
kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5
hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat
anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan
dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang
diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon
jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita
(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan
(tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
Gambar : Regimen MDT

Presentasi kasus Page 44


Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang
cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang
disertai gangguan saraf serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera
mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana,
misalnya memakai sepatu untuk melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung
tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk
melindnginya. Perawatan kulit sehari-hari juga diajar. Hal ini dimulai dengan
memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam,
disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.

WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO
Technical Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita
kusta.
Tabel : Klasifikasi Cacat
Cacat pada kaki dan tangan
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas atau
kecacatan yang terlihat.
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata

Presentasi kasus Page 45


Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan
penglihatan
Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang
berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter)
Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter)

3.12. PROGNOSIS

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.


Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang
pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien
menurun.

Presentasi kasus Page 46


BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di
Norwegia, bakteri ini berukuran 3-8 µm x 0,2-0,5 µm, bersifat tahan asam, berbentuk
batang, tidak bergerak dan berspora, serta merupakan bakteri Gram positif. M. leprae
dapat berkembang biak dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit, namun hingga saat
ini belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.
Pada kasus ini, diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan baal pada
daerah tangan kanan. Pasien dicurigai menderita penyakit kusta karena kusta dapat
menyebabkan kelainan kulit dan saraf tepi, yang mengakibatkan terjadinya keluhan rasa
baal, bahkan mati rasa pada daerah yang diinervasi oleh saraf yang diserang kuman M.
lepra.
Pada pemeriksaan dermatologi plak hipopigmentasi, multipel, berukuran numular,
bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret. Kemudian pada
pemeriksaan sistem saraf tepi dengan pemeriksaan funsi sensorik pada rasa raba, nyeri
ditemukan hipostesi didalam lesi, tidak dikulit normal dan tidak terdapat pembesaran
saraf pada nerves ulnaris dextra pada lengan kanan. Pada pemeriksaan penunjang
dengan pemeriksaan BTA ditemukan bakteri index dan morfologi index

Adanya gejala keterlibatan saraf dengan gangguan sesibilitas, munculnya plak,


makula, dan pemeriksaan BTA dengan hasil maka diagnosis kerja sementara adalah
Morbus Hansen.

Presentasi kasus Page 47


DAFTAR PUSTAKA

Smith D.S. Leprosy. Available at http://emedicine.medscape.com/article/220455-


overview#a0104 diakses pada 22 Desember 2015.

A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2007; 73-88

Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.


http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/ diakses pada 22 Desember 2015.

Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67

WHO. Leprosy elimination: Classification of leprosy.


http://www.who.int/lep/classification/en/index.html diakses pada 22 Desember 2015

Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at


http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm. Diakseds pada
22 Desember 2015

WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:


http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html diakses pada 22 Desember 2015

Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall diakses pada 22
Desember 2015

Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 : 124-126

Presentasi kasus Page 48

Anda mungkin juga menyukai