Anda di halaman 1dari 16

ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT

Nama Anggota Kelompok :


1. Fahmi Maulana Ardiansyah
2. Febriansyah Niman Saputra
3. Riswanto

Mata Kuliah : Etika Bisnis


Program Studi : Manajemen (S1) , P2K Konversi
Dosen : Mahruz Junaedi, S.kom

PROGRAM STUDI MANAJEMEN EKONOMI


UNIVERSITAS MH. THAMRIN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan


Indonesia (PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini
meyangkut hak dan kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan
dalam segala aspeknya, organisasi, saranan, pedoman standar pelayanan medik ,
ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.

Hukum Kesehatan terdiri dari banyak disiplin diantaranya: hukum kedokteran/


kedokteran gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi klinik, hukum apotik, hukum
kesehatan masyarakat, hukum perobatan, hukum rumah sakit, hukum kesehatan
lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor:


159b/Men.Kes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit adalah ”Sarana upaya kesehatan
yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan
untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian”.

Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya sebagian besar tenaga hukum


kedokteran yaitu ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
atau pemeliharaan kesehatan dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter
gigi, apoteker, perawat, bidan, nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik dan lain-lain.

Sedangkan menurut WHO, Rumah Sakit adalah suatu badan usaha yang
menyediakan pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek
dan jangka panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terpeutik dan
rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka, mereka yang mau
melahirkan dan menyediakan pelayanan berobat jalan.

Masing-masing disiplin ini umunnya telah mempunyai etik profesi yang harus
diamalkan anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam
pelayanan kesehatan juga telah mempunyai etika yang di Indonesia terhimpun
dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).

Dengan demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing profesi


harus berpedoman pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi
disiplin lainnya apalagi dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar
tidak saling berbenturan.

B. Tujuan

Untuk mengetahui Hukum dan Etika Rumah Sakit


BAB II

PEMBAHASAN

A. Etik dan Hukum

Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik
merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu
dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.

Hukum adalah pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuaaan,


dalam mengatur pergaulan hidup masyarakat.

Etik dan hukum memeiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan
tentramnya pergaulan hidup dalam masyarakat.

Persamaan etik dan hukum adalah sebagai berikut:

1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.

2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.

3. Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat agar tidak


saling merugikan.

4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.

5. Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota
senior.

Sedangkan perbedaan Etik dan hukum adalah sebagai berikut:

1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi . Hukum berlaku untuk umum.

2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum disusun oleh


badan pemerintah.

3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab
undang-undang dan lembaran/berita negara.

4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan. Sanksi terhadap


pelanggaran hukum berupa tuntutan.

5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran


(MKEK), yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu
diteruskan kepada Panitia Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), yang dibentuk
oleh Departemen Kesehatan (DEPKES). Pelanggaran hukum diselesaikan
melalui pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik. Penyelesaian
pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.

B. Etika Rumah Sakit

Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical
ethics), yaitu moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti
perlakuan terhadap etnik-etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan,
penggunaan hewan untuk bahan makanan atau penelitian, pelestarian lingkungan
hidup, aborsi, etanasia, kewajiban bagi yang mampu untuk membantu yang tidak
mampu, dan sebagainya. Jadi, etika rumah sakit adalah etika umum yang diterapkan
pada (pengoperasian) rumah sakit.

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal
tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral
adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik
atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari
orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental :
bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Peter Singer, filusf kontemporer dari
Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-
bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari
lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga
kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan
(ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang
profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara
pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan
terhormat.

Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap
diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak
langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat
tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.

Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk


diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan
buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.

Etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah
Sakit sebagai suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan
kehadiran etika biomedis. Atau dapat juga dikatakan etika institusional rumah sakit
adalah pengembangan dari etika biomedika (bioetika). Karena masalah-masalah
atau dilema etika yang baru sama sekali sebagai dampak atau akibat dari
penerapan kemajuan pesat ilmu dan teknologi biomedis, justru terjadi di rumah sakit.
Sebagai contoh, dapat disebut kegiatan reproduksi dibantu transplantasi organ.
Etika rumah sakit terdiri atas dua komponen :

v Etika administratif

v Etika biomedis

Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur adalah tentang:

1. Rekam medis

2. Keperawatan

3. Pelayanan laboratorium

4. Pelayanan pasien dewasa

5. Pelayanan kesehatan anak

6. Pelayanan klinik medik

7. Pelayanan intensif, anestesi dan euthanasia

8. Pelayanan radiologi

9. Pelayanan kamar operasi

10. Pelayanan rehabilitasi medik

11. Pelayanan gawat darurat

12. Pelayanan medikolegal dan lain-lain

C. Isu-isu etika administratif

Potensi isu etika administratif yang pertama terkait dengan kepemimpinan dan
manajemen di rumah sakit. Fungsi manajemen mencakup antara lain kegiatan
menentukan obyektif, menentukan arah dan memberi pedoman pada organisasi.
kegiatan-kegiatan kepemimpinan dan manajemen ini paling sensitif secara etis.
Artinya dalam pelaksanaannya seorang pemimpin yang manajer puncak sangat
mudah disadari atau tidak melanggar asas-asas etika beneficence, nonmaleficence,
menghormati manusia dan berlaku adil. Apalagi jika Direktur Rumah Sakit berprilaku
diskrimatif dan menerapkan standar ganda. Ia menuntut orang lain mematuhi
standar-standar yang ditetapkan. Sedangkan ia sendiri tidak mau memberi teladan
sesuai dengan standar-standar itu

Potensi isu etika administratif berikutnya adalah tentang privasi. Privasi menyangkut
hal-hal konfidensial tentang pasien, seperti rahasia pribadi, kelainan atau penyakit
yang diderita, keadaan keuangan, dan terjaminnya pasien dari gangguan terhadap
ketersendirian yang menjadi haknya. Adalah kewajiban etis rumah sakit untuk
menjaga dan melindungi privasi dan kerahasiaan pasiennya. Harus di akui, hal itu
tidak selalu mudah. Misalnya kerahasiaan rekam medis pasien sukar dijaga, karena
rumah sakit modern data dan informasi yang terdapat di dalamnya terbuka bagi
begitu banyak petugas yang karena kewajibannya memang berhak punya akses
terhadap dokumen tersebut. Dapat juga terjadi dilema etika administratif, jika terjadi
keterpaksaan membuka kerahasiaan karena suatu sebab di satu pihak lain
kewajiban moral untuk menjaganya

Persetujuan tindakan medis (Informed consent). Masalah etika administratif dapat


terjadi, jika informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya, yaitu
persetujuan yang diberikan secara sukarela oleh pasien yang kompeten kepada
dokter untuk melakukan tindakan medis tertentu pada dirinya, setelah ia diberi
informasi yang lengkap dan dimengerti olehnya tentang semua dampak dan resiko
yang mungkin terjadi sebagai akibat tindakan itu atau sebagai akibat sebagai tidak
dilakukan tindakan itu. Dalam banyak hal, memang tidak terjadi banyak masalah
etika, jika intervensi medis berjalan aman dan outcome klinis sesuai dengan apa
yang diharapkan semua pihak.

Tetapi, dapat saja terjadi suatu tindakan invansif ringan yang rutin dikerjakan sehari-
hari misalnya pendektomi erakibat fatal. Kasus demikian dapat menjadi penyesalan
berkepanjangan. Dapat juga terjadi dilema etik pada dokter dirumah sakit, yang tega
mengungkapkan informasi yang selengkapnya kepada pasien, karena ia tahu jika itu
dilakukan pasien akan jadi bingung, panik, dan takut sehingga ia minta dipulangkan
saja untuk mencari pengobatan alternatif. padahal dokter percaya bahwa tindakan
medik yang direncanakan masih besar kemungkinannya untuk menyelamatkan
pasien.

Dilema etika administratif berikutnya di rumah sakit dapat terjadi berhubung dengan
faktor-faktor situasi keuangan. Contoh-contoh berikut ini terjadi sehari-hari.

1. Apakah kemampuan pasien membayar uang muka adalah faktor yang mutlak bagi
rumah sakit untuk memberikan pertolongan kepadanya. karena pertimbangan
tertentu, pemilik atau manajeman rumah sakit mengalokasikan dana yang terbatas
untuk proyek tertentu,dan dengan demikian mengakibatkan kebutuhan lain yang
mungkin lebih mendesak, lebih besar manfaatnya, dan lebih efektif biaya.

2. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap dokter tertentu sangat tinggi tarif jasanya.
Jika ditegur ia pasti akan marah, dan mungkin akan hengkang kerumah sakit lain.
padahal ia patient getter yang merupakan ‘telur emas’bagi rumah sakit.

3. Bagaimana sikap terhadap pasien yang kurang tepat waktu melunasi piutang
periodiknya, padahal ia sangat memerlukan tindakan khusus lanjutan.

4. Untuk rumah sakit milik pemodal, bagaimana sikap manajemen jika ada konflik
kepentingan antara kebutuhan pasien dengan keingginan pemegang saham yang
melihat sesuatu hanya dari perhitungan bisnis.

5. Bagaimana jika ada konflik kepentingan antara pemilik, manajemen dan para
klinis yang akar masalahnya adalah soal keuangan dan pendapatan. Bagaimana
sikap manajemen terhadap dokter tertentu yang dapat diduga melakukan
moral hazard dengan berkolusi dengan PBF.
6. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap teknologi mahal; disatu pihak diperlukan
untuk meningkatkan posisi dan citra rumah sakit, di pihak lain potensi moral hazard
juga tinggi demi untuk membayar cicilan kredit atau/ easing.

D. Isu-isu Etika Biomeidis

Isu etika biomedis di rumah sakit menyangkut persepsi dan perilaku profesional dan
instutisional terhadap hidup dan kesehatan manusia dari sejak sebelum kelahiran,
pada saat-saat sejak lahir, selama pertumbuhan, jika terjadi penyakit atau cidera,
menjadi tua, sampai saat-saat menjelang akhir hidup, kematian dan malah beberapa
waktu setelah itu.

Sebenarnya pengertian etika biomedis dalam hal ini masih perlu dipilah lagi dalam
isu-isu etika biomedis atau bioetika yang lahir sebagai dampak revolusi biomedis
sejak tahun 1960-an, yang antara lain berakibat masalah dan dilema baru sama
sekali bagi para dokter dalam menjalankan propesinya. Etika biomedis dalam arti ini
didefinisikan oleh International association of bioethics sebagai berikut; Bioetika
adalah studi tentang isu-isu etis,sosial,hukum,dan isu-isu lainyang timbul dalam
pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biolagi (terjemahan oleh penulis).

Pengertian etika biomedis juga masih perlu dipilah lagi dalam isu-isu etika
medis’tradisional’ yang sudah dikenal sejak ribuan tahun, dan lebih banyak
menyangkuthubungan individual dalam interaksi terapeutik antara dokter dan
pasien. Kemungkinan adanya masalah etika medis demikianlah yang dalam
pelayanan di rumah sakit sekarang cepat oleh masyarakat (dan media masa)
ditunding sebagai malpraktek.

F. Isu-isu Bioetika

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam arti
pertama (bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa
genetik,teknologi reproduksi,eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ,
penggantian kelamin, eutanasia, isu-isu pada akhir hidup, kloning terapeutik dan
kloning repraduktif. Sesuai dengan definisi di atas tentang bioetika oleh International
Association of Bioethics ,kegiatan-kegiatan di atas dalam pelayanan kesehatan dan
ilmu-ilmu biologi tidak hanya menimbulkan isu-isu etika,tapi juga isu-isu sosial,
hukum, agama, politik, pemerintahan, ekonomi,kependudukan,lingkungan hidup,dan
mungikin juga isu-isu di bidang lain.

Dengan demikian,identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam arti tidak
hanya terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite Etika
Rumah Sakit dan para dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah etika
medis ‘tradisional’- melainkan kepedulian dan bidang kajian banyak ahlimulti- dan
inter-displiner tentang masalah-masalah yang timbul karena perkembangan bidang
biomedis pada skala mikro dan makro,dan tentang dampaknya atas masyarakat luas
dan sistemnilainya,kini dan dimasa mendatang (F.Abel,terjemahan K.Bertens).
Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika yang
sekarang sudah banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia.Dengan
demikian,identifikasi dan pemecahan masalah etika biomedis dalam arti pertama
tidak dibicarakan lebih lanjut pada presentasi ini. yang perlu diketahui dan diikuti
perkembangannya oleh pimpinan rumah sakit adalah tentang ‘fatwa’ pusat-pusat
kajian nasional dan internasional,deklarasi badan-badan internasional seperti PBB,
WHO, Amnesty International, atau’fatwa’ Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional
(diIndonesia;AIPI) tentang isu-isu bioetika tertentu, agar rumah sakit sebagai institusi
tidak melanggar kaidah-kaidah yang sudah dikonsesuskan oleh lembaga-lembaga
nasional atau supranasional yang terhormat itu. Dan jika terjadi masalah bioetika
dirumah sakit yang belum diketahui solusinya,pendapat lembaga-lembaga demikian
tentu dapat diminta.

G. Isu-isu Etika Medis

Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam pelayanan
medis dirumah sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya
malpraktek, terutama oleh dokter. Padahal, etika disini terutama diartikan kewajiban
dan tanggung jawab institusional rumah sakit. Kewajiban dan tanggung jawab itu
dapat berdasar pada ketentuan hukum (Perdata, Pidana, atau Tata Usaha Negara)
atau pada norma-norma etika.

G. Hukum Rumah Sakit

Hukum kesehatan eksistensinya masih sangat relatif baru, dalam perkembangannya


di Indonesia, semula dikembangkan oleh Fred Ameln dan Almarhum Prof. Oetama
dalam bentuk ilmu hukum kedokteran. Perkembangan kehidupan yang pesat di
bidang kesehatan dalam bentuk sistem kesehatan nasional mengakibatkan di
perlukannya pengaturan yang lebih luas, dari hukum kedokteran ke hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan (hukum kesehatan).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan
perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi
penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan
memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya
perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap
kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang
terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang
terkait.

Sesuai dengan pengertian hukum kesehatan, maka hukum rumah sakit dapat
disebut sebagai semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam
segala aspek organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum
lainnya.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan
rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu :

a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan
pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana
tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan.

b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit
dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal
untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred
Ameln, 1991: 75-76).

Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/ tenaga kesehatan
agar tidak menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien, sekaligus
pasien mendapatkan perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab rumah sakit
dan dokter/ tenaga kesehatan.

Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah
sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu
rumah sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan
hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).

Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan
kesehatan (YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur,
yaitu yang terdiri dari :

1) Unsur mutu yang dijamin kualitasnya;

2) Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan

3) Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan atau
medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).

Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya
landasan hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien (kontrak-
terapetik), mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan
kewajiban dokter dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan
pekerjaan (M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999: 29).

Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter rumah
sakit memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik Rumah Sakit
(KODERSI), Surat Edaran Dirjen Yan Med No: tentang Pedoman Hak & Kewajiban
Pasien, Dokter dan Rumah Sakit02.04.3.5.2504

I. Panitia Etika Rumah Sakit (PERS)

Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) disusun oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI). ERSI ini memuat tentang kewajiban umum rumah sakit,
kewajiban rumah sakit terhadap masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap
pasien, kewajiban rumah sakit terhadap staf dan lain-lain.

Pada saat ini beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah badan
yang menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah sakit besar
di Indonesia telah ada badan yang dibentuk di bawah nama Panitia Etika Rumah
Sakit (PERS) yang di luar negeri disebut Hospital Ethical Commitee dimana
anggotanya terdiri dari staf medis, perawatan, administratif dan pihak lain yang
berkaitan dengan tugas rumah sakit.

J. Fungsi Panitia Etika Rumah Sakit

Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat atau konsultasi melalui diskusi atau
berperan dalam menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada
lingkungannya dan memberikan anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.

Dengan demikian PERS dapat memberikan manfaat :

1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di


rumah sakit.

2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan memberikan


pendapat untuk penyelesaian.

3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau tidak,
perkara pelanggaran etik ke MKEK.

Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di
rumah sakit dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik maupun
pemantapan pengalaman kode etik masing-masing profesi.

K. Hospital Bylaw

Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’
mungkin sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata
‘Bylaw’ terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford
Illustrated Dictionary:Bylaw is regulation made by local authority or corporation.
Pengertian lainnya, Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally
by a faculty, organization, or specified group of persons to govern internal functions
or practices within that group, facility, or organization (Guwandi, 2004). Dengan
demikian, pengertian Bylaw tersebut dapat disimpulkan sebagai peraturan dan
ketentuan yang dibuat suatu organisasi atau perkumpulan untuk mengatur para
anggota-anggotanya. Keberadaan Hospital Bylaw memegang peranan penting
sebagai tata tertib dan menjamin kepastian hukum di rumah sakit. Ia adalah ‘rules of
the game’ dari dan dalam manajemen rumah sakit.

Ada beberapa ciri dan sifat Hospital Bylaw yaitu pertama tailor-made. Hal ini berarti
bahwa isi, substansi, dan rumusan rinci Hospital Bylaw tidaklah mesti sama. Hal ini
disebabkan oleh karena tiap rumah sakit memiliki latar belakang, maksud, tujuan,
kepemilikan, situasi, dan kondisi yang berbeda. Adapun ciri kedua, Hospital Bylaw
dapat berfungsi sebagai ‘perpanjangan tangan hukum’. Fungsi hukum adalah
membuat peraturan-peraturan yang bersifat umum dan yang berlaku secara umum
dalam berbagai hal. Sedangkan kasus-kasus hukum kedokteran dan rumah sakit
bersifat kasuistis. Dengan demikian, maka peraturan perundang-undangannya
masih harus ditafsirkan lagi dengan peraturan yang lebih rinci, yaitu Hospital Bylaw.
Sebagaimana diketahui, hampir tidak ada kasus kedokteran yang persis sama,
karena sangat tergantung kepada situasi dan kondisi pasien, seperti kegawatannya,
tingkat penyakitnya, umur, daya tahan tubuh, komplikasi penyakitnya, lama
pengobatan yang sudah dilakukan, dan sebagainya. Ketiga, Hospital Bylaw
mengatur bidang yang berkaitan dengan seluruh manajemen rumah sakit meliputi
administrasi, medik, perawatan, pasien, dokter, karyawan, dan lain-lain. Keempat,
rumusan Hospital Bylaw harus tegas, jelas, dan terperinci. Hospital Bylaw tidak
membuka peluang untuk ditafsirkan lagi secara individual. Kelima, Hospital Bylaw
harus bersifat sistematis dan berjenjang.

Hospital Bylaw merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: tata
tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan
rumah sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan
rahasia kedokteran, komite medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit,
hak akses dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan
keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan.
Adapun bentuk HBL dapat merupakan kumpulan dari Peraturan Rumah
Sakit, Standar Operating Procedure (SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan,
Pengumuman, Pemberitahuan dan Perjanjian (MOU). Namun demikian, peraturan
internal rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti
Keputusan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-
undang. Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut harus selaras dengan
Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan
pelaksanaannya.

Belakangan ini tidak jarang keluhan masyarakat bahwa rumah sakit tidak melayani
masyarakat dengan baik. Bahkan beberapa rumah sakit saat ini telah dituntut karena
pelayanan yang tidak sesuai harapan. Ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa
masih ada rumah sakit yang belum mempunyai aturan rumah sakit yang jelas,
sistematis, dan rinci. Karena itu, sesuai prinsip tailor made rumah sakit seharusnya
mempunyai Hospital Bylaw yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Banyaknya kasus malapraktik di negara ini merupakan salah satu bentuk dari
kurang demokratisnya dokter dalam melayani pasien. Tidak dapat disangkal bahwa
di negara ini masih banyak rumah sakit yang menerapkan doctor-oriented. Padahal,
seharusnya manajemen rumah sakit menetapkan patient-oriented.

Akibat manajemen rumah sakit yang kerap kali ”menganakemaskan” para


dokternya, dalam artian mengelola rumah sakit berdasarkan keinginan para dokter,
telah menjadi bumerang bagi perkembangan rumah sakit di negara ini. Contoh kecil
berkembangnya sikap doctor-oriented dapat dilihat dari perekrutan dokter oleh pihak
pengelola rumah sakit. Dalam hal ini, pihak manajemen akan mempekerjakan
dokter-dokter yang sudah terkenal dan mempunyai pasien tetap.
Secara ekonomis, praktik seperti ini memang menguntungan. Pasien-pasien dokter
yang direkrut tersebut akan berpindah ke rumah sakit di mana si dokter berpraktik,
selain berpraktik secara pribadi. Padahal, hal seperti ini tidak boleh dilakukan karena
dokter dengan kemampuannya yang terbatas, tidak mungkin bisa menangani begitu
banyak pasien. Otak dan tubuh kita perlu istirahat setelah digunakan dalam jangka
waktu tertentu. Tapi, hal ini sering diabaikan karena sejumlah dokter lebih
mementingkan nilai material yang dapat diraihnya.

Dengan demikian, kepentingan Hospital Bylaw dapat dilihat dari tiga sudut yaitu
pertama, untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan. Dalam hal ini Hospital
Bylaw dapat menjadi instrumen akreditasi rumah sakit. Rumah sakit perlu membuat
standar-standar yang berlaku baik untuk tingkat rumah sakit maupun untuk masing-
masing pelayanan misalnya pelayanan medis, pelayananan keperawatan,
administrasi dan manajemen, rekam medis, pelayanan gawat darurat, dan
sebagainya. Standar-standar ini terdiri dari elemen struktur, proses, dan hasil.
Adapun elemen struktur meliputi fasilitas fisik, organisasi, sumber daya manusianya,
sistem keuangan, peralatan medis dan non-medis, AD/ART, kebijakan, SOP/Protap,
dan program. Proses adalah semua pelaksanaan operasional dari staf/unit/bagian
rumah sakit kepada pasien/keluarga/masyarakat pengguna jasa rumah sakit
tersebut. Hasil (outcome) adalah perubahan status kesehatan pasien, perubahan
pengetahuan/pemahaman serta perilaku yang mempengaruhi status kesehatannya
di masa depan, dan kepuasan pasien.

Kepentingan yang kedua, dilihat dari segi hukum Hospital Bylaw dapat menjadi tolak
ukur mengenai ada tidaknya suatu kelalaian atau kesalahan di dalam suatu kasus
hukum kedokteran. Di dalam Hukum Rumah Sakit pembuktian yang lebih rinci harus
terdapat dalam Hospital Bylaw. Ketiga, dilihat dari segi manajemen risiko, maka HBL
dapat menjadi alat (tool) untuk mencegah timbulnya atau mencegah terulangnya
suatu risiko yang merugikan. Dengan demikian, pasien akan semakin terlindungi
sesuai prinsip patient safety. Hospital Bylaw juga akan memperjelas fungsi dan
kedudukan dokter dalam sebuah rumah sakit . Sebagai tenaga medis, dokter
dituntut melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi yang ditetapkan
dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Apalagi, berdasarkan
strategi WTO pada tahun 2010 Indonesia akan membuka peluang dokter asing
untuk berpraktik. Sementara itu, ASEAN bersepakat dua tahu lebih cepat yaitu pada
tahun 2008 membuka peluang yang sama untuk tenaga kesehatan.

L. Masalah Etika dan Hukum di Rumah Sakit

Masalah etika dan hukum di rumah sakit yang paling marak saat ini adalah
malpraktek. Malpraktek (medis) sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti
kesalahan dalam menjalankan profesi. Berkhouwer dan Borstman (dikutip oleh
Veronica Komalawati) mengatakan, seorang dokter melakukan kesalahan profesi,
apabila ia tidak memeriksa, tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan atau
tidak menghindari tindakan (tertentu), sedangkan dokter-dokter yang baik pada
umumnya pada situasi yang sama akan melakukan pemeriksaan, membuat
penilaian, melakukan tindakan atau menghindari tindakan (tertentu).
Kita dapat melihat bahwa: Pertama, definisi ini bersifat relatif. Baik buruknya seorang
dokter menjalankan profesinya dibandingkan dengan rata-rata dokter lain. Tentu ini
ada kelemahan-kelemahannya, dapat saja seorang dokter yang inovatif di tuduh
melakukan malpraktek karena ia melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan
kebanyakan dokter lain, padahal yang ia lakukan adalah baik dan bermanfaat bagi
pasien. Soal standar profesi tidak disinggung dalam devinisi itu,mungkin karena
belum ada, karena buku dua ahli hukum Belanda itu diterbitkan lebih daripada
setengah abad yang lalu dalam tahun 1950.

Kedua, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, dalam definisi ini dengan
kesalahan profesional ditonjolkan tentang kelainan; dokter tentu tidak melakukan
pemeriksaan. tidak membuat penilaian, tidak melakukan tindakan, dan tidak
menghindari tindakan tertentu. Ini sesuai dengan pemahaman, bahwa malpraktek
adalah sama dengan negligence.

Sesuai dengan konteks makalah ini, tentang malpraktek dengan latar belakang
pelanggaran hukum tidak dibicarakan lebih jauh. Fokus utama adalah pada masalah
etika medis di rumah sakit.

1. Etika dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.

2. Etika rumah sakit adalah etika institusi, jadi kewajiban dan tanggng jawab itu
adalah institusional, bukan individual.

3. Namun, eksekutif puncak rumah sakit- sebagai yang oleh pemilik melalui
Governing Body (Badan Pengampu, Majelis Wali Amanah, Dewan Pembina, atau
nama jenis yang lain) diberi kekuasaan mengelola dan tanggung jawab rumah sakit,
dengan sendirinya juga adalah penanggung jawab moral dan etika institusional.

4. Etika medis berhubungan dengan hidup dan kesehatan. Objek kewajiban dan
tanggung jawab pada etika medis adalah hidup dan kesehatan manusia dan
kelompok manusia dilingkungan luar rumah sakit. itu berarti pasien staf serta
karyawan rumah sakit,dan masyarakat.

5. Masalah etika rumah sakit timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap asas-asas
etika (umum)dan Kode Etik Rumah Sakit, yang adalah uraian lebih operasional dari
asas-asas etika.

6. Asas-asas etika yang diterapkan pada etika rumah sakit sebagai etika praktis
adalah:

 o Rumah sakit berbuat kebaikan (benifecence) dan tidak menimbulkan


mudharat atau cidera (nonmalifecence) pada pasien, staf dan
karyawan,masyarakat umum,serta lingkungan hidup. Dua asas etika klasik ini
sudah ada dalam lafal Sumpah Hipprokrates sejak lebih 23 abad yang lalu. Dua
asas ini adalah juga ajaran semua agama. Ajaran islam hampir selalu menyebut
dua asas itu dalam satu kalimat (Amar ma ‘arupnahi mungkar).dalam ajaran
agama hindu, nonmaleficence adalah Ahimsa.
 o Asas menghormati manusia (respect for persons) berarti menghormati
pasien,staf dan karyawan,serta masyarakat dalam hal hidup dan kesehatan
mereka. itu berarti menghormati otonomi (hak untuk mengambil keputusan
tentang diri sendiri),hak-hak asasi sebagai warga negara, hak atas informasi,hak
atas privasi,hak atas kerahasiaan,seta harkat dan mertabat mereka sebagai
manusia dan lain-lain.

 o Asas keadilan (justice): keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perlakuan


yang ‘fair’terhadap pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum.

M. Identifikasi Masalah Etika Di Rumah Sakit

Kurt Darr mengatakan, bahwa seorang eksekutuf rumah sakit tidak perlu sampai
mengikuti kursus tentang pilosofi atau etika untuk dapat mengidentifikasikan
masalah etika, walaupun kursus-kursus demikian akan banyak menolong. yang
penting,harus ada kepekaan, kebiasaan melakukan refleksi (an inquiring mind), dan
etika pribadi (personal etics)yang cukup baik. tiga pertanyaan berikut ini dianjurkan
diajukan pada diri sendiri untuk mengidentifikasikan kemungkinan adanya etika pada
kasus tertentu.

 Apakah pasien, staf dan karyawan, atau masyarakat umum dalam kasus
tertentu itu diperlakukan seperti saya ingin diperlakukan dalam kasus seperti itu?
ini dinamakan The Golden Rule.

 Apakah pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum cukup dilindungi
terhadap kemungkinan cidera dalam keberadaan dan pelayanan di rumah sakit?

 Apakah penjelasan tentang informed conset kepada pasien cukup memberi


informasi baginya tentang apa yang akan dilakukan pada dirinya?

Jika salah satu atau lebih dari tiga pertanyaan itu terjawab dengan “tidak”,ada
indikasi masalah etika pada kasus yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya adalah:

 Adakah pasal-pasal dalam Kode Etik Rumah Sakit yang dilanggar?

 Adakah asas-asas etika umum yang dilanggar?

 Jika masih perlu untuk lebih memastikan: Teori etika mana yang dapat dipakai
untuk pembenaran keputusan atau tindakan rumah sakit yang menimbulkan
masalah etika administratif atau etika biomedis.

Sama halnya dengan proses pemecahan masalah secara umum, mengajukan


pertanyaan-pertanyaan yang tepat adalah bagian penting proses itu.

N. Pemecahan Masalah Etika Di Rumah Sakit

Setelah berhasil mengidentifikasikan adanya masalah etika administratif, masalah


bioetika, masalah medis tradisional, atau gabungan berbagai masalah etika itu
dirumah sakit, langkah berikutnya adalah mencari solusi untuk masalah-masalah itu.
Perlu segera ditambahkan, bahwa pemecahan masalah etika secara umum tidak
mudah. Pada dasarnya ada dua model untuk pemecahan masalah secara umum;
model terprogram (rasional) dan model tak terprogram.

Model rasional terprogram mungkin dapat diterapkan pada pemecahan banyak


masalah manajemen umum, tetapi rasio saja tidak selalu berhasil diterapkan pada
pemecahan masalah etika. Masalah etika administratif tertentu di rumah sakit yang
menyangkut proses atau prosedur mungkin dapat lebih mudah dipecahkan secara
rasional. Tetapi, masalah etika biomedis yang menyangkut substansi atau prinsif
sering kali sangat sensitif, karena itu rasio saja tidak selalu efektif. Diperlukan
kebijaksanaan yang umumnya tidak dapt diprogramkan.

Dianjurkan langkah langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah etika
rumah sakit:

1. Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-


komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan
akar masalah.Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang
terjadi. Ia dapat berupa kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen,
budaya organisasi, sarana, alat, sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.

2. Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root
cause analysis),untuk menetapkan arah pemecahannya.

3. Menetapkan beberapa alternatif untuk pemecahan akar masalah.

4. Memilih alternatif yang situasional terbaik untuk pemecahan masalah itu.

5. Memantau dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan yang sudah


dilaksanakan.

6. Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang
lagi terjadi. Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah
jika manusia sebagai penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari
rumah sakit.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan
kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam
segala aspek organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum
lainnya.

2. Rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan telah mempunyai
etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).

B. Saran

Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, masing-masing profesi harus


berpedoman pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin
lainnya apalagi dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar tidak
saling berbenturan.

Anda mungkin juga menyukai