Oleh :
KELOMPOK 2
Mengetahui,
(______________________) (______________________)
NIP. _________________ NIP. __________________
1
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................................ 2
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................61
2
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
1.3. Konsep Teori
A. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent (PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Hudak & Gallo, 2010).
B. Etiologi
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera
local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia
(Wijaya, 2013)
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil, multiple
pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang
otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)
C. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2010) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran,
tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan
mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap
bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik
bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur
awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada
sisi sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan otak
tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan otak
dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”.
Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke
daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan
terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam
tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan
tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan
cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam
hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan
penyelamatan hidup.
4
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal CO2
adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)
menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan
bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera
kepala akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap
bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena
vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami cedera
tidak mampu mentoleransi hipoksia.
a) Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat
jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu
komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap
masing-masing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang
dewasa (suatu kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar).
Walaupun CSF memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak
mampu mentoleransi bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah
tidak boleh terganggu karena otak membutuhkan suplai darah yang konstan
(oksigen dan glukosa) untuk bertahan hidup. Tidak satu pun dari komponen
yang mendukung otak dapat mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak
otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian. Tekanan yang
ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini
biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika
meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas
25 mmHg
b) Sindroma herniasi
Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala,
peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat
mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan
menimbulkan tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan
keadaan yang mengancam hidup di tandai dengan penurunan tingkat
kesadaran yang secara progresif menjadi koma, dilatasi pupil dan deviasi
mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi kepala yang mengalami
cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh berlawanan terhadap
sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan berikut ini)
penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas dan
5
meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut.
Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi
masih merupakan indikasi (Corwin, 2009).
6
E. PATHWAY
Trauma kepala
Meningkatkan
Perubahan sirkulasi cairan serebrospinal rangsangan
Iskemia
Nyeri simpatis
Peningkatan
Pandangan kabur tekanan hidrostatik
Gangguan
kesadaran Penurunan fungsi
pendengaran
Kebocoran cairan
Imobilisasi Nyeri kepala kapiler
Risiko cidera
(Corwin, 2009)
7
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan ini dapat
diperoleh informasi yang lebih jelas tentang lokasi dan adanya pendarahan
intrakrarnial, edema, kontusi, udara, benda asing intrakrarnial, serta pergeseran
struktur didalam rongga tenggkorak (Satyanegara, 2010).
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak yang kronis, dalam
MRI mampu menunjukan gambar yang lebih jelas terutama dam memberikan
indentifikasi (Satyanegara, 2010).
3. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah dan tidak
adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai mengalami kematian
batang otak. Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke
akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal
akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan
selubung setelah infus dilepaskan (Muttaqin, 2008).
4. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan mekanisme
autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang melewati pembuluh darah.
Kemampuan pemeriksaan ini dalam meberikan informasi mengenai autoregulasi
serebral dapat mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien
cedera kepala dimasa yang akan dating (satyonegara, 2010).
5. EEG ( elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna dalam
mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal
dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan yang penting dalam
mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif. Temuan yang paling umum
pada pasien cedera kepala adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada
area cedera (Muttaqin, 2008).
6. Pungsi lumbal
Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis, emboli
serebral, dan TIA ( Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak
sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan
adanya hemoragik subarachnoid atau perdarahan intra cranial. Kadar protein
total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi(Muttaqin, 2008).
7. Sinar X
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis
serebral (satyanegara, 2010).
8
9. Analisi Gas Darah
Salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status
respirasiyang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa (Muttaqin, 2008).
F. Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat
dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada
tekanan darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih
bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah ke
dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping tempat tidur
dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap
dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan
napas paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera
lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot
terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral,
atau tongkat gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat
akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal.
G. Penatalaksanaan
9
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera setelah
cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-rumahsakit.
Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus pada pengkajian
system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas definitive, intervensi yang
dapat berdampak positif terhadap hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan
hiperkapnia, yang telah terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak
sekunder.
1) Penatalaksanaan Gawat Darurat
Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita pada
kelopok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai resiko terbesar
berkaitan dengan morbilitas dan mortalitas, di mana tindakan ‘menunggu’ (wait
and see) di sini dapat berakibat sangat fatal. Penanganan kasus-kasus yang
termasuk kelompok ini mencakup diantaranya yaitu :
a. Stabilisasi kardiopulmonal mencakup prinsip-prinsip ABC
(Airway,Breathing,Circulation). Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi, dan
anemia akan cenderung memperberat peningkatan tekanan intrakranial dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera kepala
berat memerlukan tindakan intubasai pada kessempatan pertama.
b. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibawah tubuh lainnya.Pemeriksaan neurologis
mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, refleks
okulosefalik dan refleks okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bila
tekanan darah penderita masih rendah (syok)
c. Pemberian pengobatan seperti : antiedema serebri, antikejang, dan natrium
bikarbonat.
d. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : sken tomografi komputer otak,
angiografi serebral, dan lainnya (Satyanegara, 2010).
2) Penatalaksanaan Operatif
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif adalah
adanya lesi massa intrakarnial dengan pergeseran garis tengah > 5 mm (kecuali
penderita sudah ‘mati otak’). Prinsip pertimbangan pemilihan obat anastesi
didasari oleh pemakaian obat yang tidak meningkatkan tekanan intrakarnial.
Semua obat anastesi inhalasi volatil seperti halotan, enflurane dan isoflurane
dapat meningkatkan aliran darah sersbral, sehingga umumnya dipergunakan
dalam kadar rendah.
Kasus-kasus dengan lesi massa intrakarnial yang mempunyaiindikasi operasi,
berkaitan dengan predileksi lokasinya khususnya dilobus frontal bagian inferior
10
dan lobus temporal, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam tindakan
kraniotomi adalah bentuk “tanda tanya” mulai dari depan telinga (traktus) pada
arkus zygomatikus, melengkung keposterior diatas telinga menuju ke garis
tengah dan berakhir di anterior di belakang garis batas rambut. Bila ada
penurunan kesadaran/perburukan klinis yang progresif, perlu segera dilakukan
operasi dekompresi berupa kraniektomi untuk mengurangi tekanan batang otak
dan prevensi terjadinya herniasi tentorial (Satyanegara, 2010)
3) Obat
a. Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial, umumnya
dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus intra vena dengan
cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena akan memperberat
hipovolemi.
b. Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan TIK,
kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim 0,3-0,5 mg/kg
bb IV
c. Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan tidak
memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
d. Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek hipotensi tak
diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak dianjurkan pada
resusitasi akut
e. Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita trauma
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti konvulsan hanya
berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang, tidak minggu yang berikut,
jadi hanya dianjurkan pada minggu pertama saja.
11
leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh
obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner,
2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara
lain :
o Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
o Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
o Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
o Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
o Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
o Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
b. Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of
open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
12
Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b) Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika
perlu.
c) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d) Penilaian kembali status mental pasien.
e) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
g) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.
c. Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia,
takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim
untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang
mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua
perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada
pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner,
2000).Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
13
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d. Disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
1. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan
2. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang
tidak bisa dimengerti
3. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
4. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri
maupun stimulus verbar
e. Expose, Examine, Evalute
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika
pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line
penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada
punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan
eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien
dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan
pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011). Dalam situasi yang diduga telah terjadi
mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment
harus segera dilakukan:
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
2) Secondary Survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
a) Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007).
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi
pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang
14
terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang
dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur
servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama.
3) Pemeriksaan fisik
a) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
b) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
15
Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor
atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami
miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan
acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa
nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta
diplopia
Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
Telinga:periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum
Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
c) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi,
apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa
ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
d) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan
menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam,
deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri,
deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada
leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.
Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah
kerusakan otak sekunder.
e) Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks
bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales)
dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
16
f) Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan
dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan
internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi
bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau
uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang
operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
g) Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada
saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur
pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma
kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi
sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada
penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118,
2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan
sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya
nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament
dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan
mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya
fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat
trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako
lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent.
17
Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
- Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi
syok yang dpat berakibat fatal
- Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
- Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h) Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat
dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta
nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam
status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis
dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.
Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan
alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas
kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak
dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan
gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat
gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi
(ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau
fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006).
B. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d PTIK
2) Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
18
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan darah dan
lendir
4) Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala
5) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif
19
C. Rencana Intervensi Keperawatan
20
ditandai dengan: rontgen dada 3. Mengetahui suara napas
1. Pasien bernapas tanpa 3. Monitor suara napas pasien pasien
kesulitan 4. Kaji dan pantau adanya 4. Mengetahui kondisi pasien
2. Menunjukkan perbaikan perubahan dalam pernapasan untuk menentukan intervensi
pernapasan 5. Monitor sekret yang dikeluarkan selanjutnya sesuai indikasi
3. Paru-paru bersih pada oleh pasien 5. Untuk memantau kondisi
pemeriksaan auskultasi 6. Health education tentang keadaan pasien (suara napas pasien)
4. Kadar PO2 dan PCO2 dan kondisi pasien kepada untuk menentukan intervensi
dalam batas normal keluarga sesuai indikasi
7. Kolaborasi pemberian terapi 6. Mengurangi kecemasan
medikamentosa keluarga
7. Membantu penyembuhan klien
3 Ketidakefektifan NOC : NIC :
bersihan jalan
napas berhubungan 1. Respiratory status : Airway suction
dengan akumulasi Ventilation
darah dan lendir 2. Respiratory status : Airway 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal 1. Menjaga kebersihan oral
patency suctioning mencegah penumpukan
3. Aspiration Control 2. Auskultasi suara nafas sebelum sputum
Kriteria Hasil : dan sesudah suctioning. 2. Mengetahui ada tidaknya
3. Informasikan pada klien dan sputum
1. Mendemonstrasikan batuk keluarga tentang suctioning 3. Informed consent tindakan
efektif dan suara nafas yang 4. Minta klien nafas dalam sebelum 4. Menampung O2 sebagai
bersih, tidak ada sianosis suction dilakukan. cadangan
dan dyspneu (mampu 5. Berikan O2 dengan menggunakan 5. O2 masih ada untuk
mengeluarkan sputum, nasal untuk memfasilitasi suksion pernapasan
mampu bernafas dengan nasotrakeal 6. Mencegah infeksi
mudah, tidak ada pursed 6. Gunakan alat yang steril setiap 7. Memberikan waktu pasien
lips) melakukan tindakan untuk istirahat
2. Menunjukkan jalan nafas 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan 8. Mengetahui status oksigen
yang paten (klien tidak napas dalam setelah kateter pasien
merasa tercekik, irama dikeluarkan dari nasotrakeal 9. Mencegah hipoksia yang
nafas, frekuensi pernafasan 8. Monitor status oksigen pasien berlebihan
dalam rentang normal, tidak 9. Hentikan suction dan berikan
ada suara nafas abnormal) oksigen apabila pasien
21
3. Mampu mengidentifikasikan menunjukkan bradikardi,
dan mencegah factor yang peningkatan saturasi O2, dll.
dapat menghambat jalan Airway Management
nafas
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik 1. Membuat jalan napas paten
chin lift atau jaw thrust bila perlu 2. Memposisikan yang nyaman
2. Posisikan pasien untuk untuk ventilasi
memaksimalkan ventilasi 3. Mengetahui status respirasi
3. Identifikasi pasien perlunya pasien adekuat atau tidak
pemasangan alat jalan nafas 4. Membantu jalan napas supaya
buatan paten
4. Pasang mayo bila perlu 5. Membantu mengeluarkan
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu sputum
6. Keluarkan sekret dengan batuk 6. Mencegah penumpukan
atau suction sputum didalam paru
7. Auskultasi suara nafas, catat 7. Mengetahui adanya suara
adanya suara tambahan tambahan
8. Lakukan suction pada mayo 8. Mencegah jalan napas tidak
9. Berikan bronkodilator bila perlu buntu
10. Berikan pelembab udara kassa 9. Vasodilatasi paru
basah NaCl lembab 10. Mencegah gesekan yang
11. Atur intake untuk cairan berlebihan
mengoptimalkan keseimbangan. 11. Menjaga balance cairan
12. Monitor respirasi dan status O2 12. Mengetahui status oksigen
pasien
23
BAB II
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Trauma
Cedera Otak Berat
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah = 156/70 mmHg
Suhu = 35,5 0C
Respirasi = 40 x/menit
Nadi = 68 x/menit
Saturasi = 98 %
GDA = 184 mg/dl
GCS:
E: 1 V: x M: 2
Data Subjektif
Keluhan Utama : Klien tidak sadarkan diri setelah kecelakaan lalu lintas jam 19.30
Alergi (Allergy):
Keluarga mengatakan klien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan ataupun obat
tertentu. Hanya saja klien tidak menyukai ikan sama sekali.
Medikasi (Medication):
Klien tidak mengkonsumsi obat apapun sebelum terjadinya kecelakaan.
Riwayat Penyakit Dahulu (Past Medical History):
Keluarga mengatkan pasien pernah MRS sebelumnya karena demam berdarah pada tahun
2015, pasien tidak mempunyai riwayat penyakit hipertensi ataupun DM.
Makan terakhir (Last Meal):
Klien makan nasi , lauk dan sayur terakhir sekitar jam 14.00
Kejadian pemicu (Event)/Mekanisme Injuri:
24
Klien mengalami kecelakaan sepedah motor sekitar jam 19.30 saat di bonceng oleh temannya.
Sepeda motor klien bertabrakan dengan kendaraan berlawanan arah, sepedah motor jatuh
kearah kiri, sementara klien yang tidak memakai helm jatuh terpental kearah belakang kepala
terbentur jalan sehingga tidak sadarkan diri lalu di bawa ke RS.C. Setelah dilakukan penangan
pemasangan infus NS 0,9% dan pemberian 02 10 lpm melalui NRBM di RS.C kemudian klien di
rujuk ke IGD RSSA.
Data Objektif:
Airway
Paten
Tidak paten
Temuan lainnya:
Terdapat perdarahan aktif yang keluar dari mulut dan lubang
hidung kanan
Pangkal lidah jatuh ke belakang menutupi jalan nafas
Terdengar suara nafas gargling / ngorok
Tindakan resusitasi:
Membuka jalan nafas dengan melakukan modified jawtrust
Membersihkan sumbatan darah dari mulut sampai trakhea
dengan suction
Memasang oropharingeal tube no.5
Breathing Penggunaan otot bantu Irama pernafasan:
pernafasan:
Reguler
Ya Ireguler
Tidak
Kesimetrisan gerak:
Kedalaman respirasi:
Simetris
Dangkal
Asimetris
Dalam
Temuan lainnya:
Pola napas takipnea
Bunyi nafas vesikuler
Napas cepat dan dangkal
Terdapat retraksi intercostae
25
Tindakan resusitasi:
Memberikan posisi head up 300
Memberikan O2 10 lpm dengan Masker Non Rebreathing
Membantu dokter melakukan intubasi pemasangan
endotrakeal tube ukuran 7 di sambungkan dengan O2
jackson rees 10-15 lpm
Circulation
Anemis Nadi:
Pucat Kuat
Keringat dingin Lemah
Sianosis Reguler
Jaundice Ireguler
Temuan lainnya:
Akral teraba dingin
CRT kembali dalam waktu 3 detik
Kulit lembab turgor kulit normal
Terdapat perdarahan aktif keluar dari mulut dan lubang
hidung kanan
Terdapat darah keluar dari kepala bagian oksipital
Tindakan resusitasi:
Mengobservasi tanda tanda vital
Mengobservasi tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
Mengobservasi perdarahan yang keluar
Memasang infus 2 line dengan cairan NS 0,9%
Disability Temuan:
AVPU : Responds to pain only
Kesadaran Koma
GCS 1-x-2
Pupil anisokor 4 mm / 3mm
Reflek cahaya -/-
Klien mengalamai kejang ringan
Tindakan resusitasi:
Menilai tingkat kesadaran /GCS
Berikan drip fenitoin 100 mg dalam NS 0.9% 100 cc
Berikan infus manitol 20% 200 cc
26
Exposure/environmenta Temuan:
l control Pada saat pakaian klien di buka tidak terdapat deformitas
tulang belakang
Pada saat pakaian di buka terdapat luka abrasi pada siku kiri ,
punggung tangan kanan dan kiri, lutut kanan dan kiri.
Tindakan resusitasi:
Melakukan log roll untuk melihat adanya luka/kelaina pada
anggota tubuh bagian belakang,
Memberikan selimut untuk menghindari hipotermia.
Memasang pagar pengaman bed
SECONDARY ASESSMENT
Full Set Vital Sign Tekanan darah = 120/70 mmHg
Suhu = 36 0C
Respirasi = 40 x/menit
Nadi = 65 x/menit
Saturasi = 98 %
GDA = 237 mg/dl
GCS:
E: 1 V: x M: 2
Family presence Jelaskan tentang kehadiran keluarga dan dukungan
keluarga terhadap pasien:
Keluarga yang mengatar klien ke IGD RSSA ada 5 orang
Saat di IGD RSSA ibu klien bergantian dengan paman
klien untuk menemani klien di dalam ruang critical care.
Focused adjunct Tindakan invasif lain yang dilakukan pada pasien:
Penggantian pemasangan infus di vena femoralis
Pemasangan dower kateter dengan ukuran no. 16
Give Comfort Measure Tindakan yang dilakukan perawat untuk meningkatkan
kenyamanan pasien:
Memberikan posisi head up 300
27
Riwayat penyakit Keluarga klien mengatakan di keluarganya tidak ada yang
keluarga menderita penyakit menular atau penyakit generative seperti
diabetes, Tb atau sebagainya.
Clubbing finger
Sianosis
Persebaran warna kulit selain pada luka merata
Terdapat luka abrasi pada : siku kiri, punggung tangan kanan dan
kiri, serta lutut kanan dan kiri.
Turgor kulit normal kembali dalam 2 detik
Kondisi kulit lembab
Kulit teraba dingin
3. Mata : Letak mata: Pupil: Refleks cahaya=
Asimetris Isokor Ya
Anisokor Tidak
Ket :
Diameter 4 / 3 mm
Gusi: Ditengah
Ya Bicara:
Jatuh ke
Tidak Normal
Normal
Ket: Pelo
Perdarahan belakang
29
8. Dada : Bentuk dada: Paru-paru: Jantung:
Normal Suara nafas Bunyi jantung
Barrel chest tambahan: tambahan:
Pigeon chest
Ada Ada
Ket: Tidak ada Tidak ada
Produksi abnormal
Ada
Tidak ada
Inspeksi:
- Pergerakan dinding dada simetris
- Terdapat retraksi intercostae
- Persebaran warna kulit merata
- Tidak ada lesi, luka, dan massa
Perkusi :
- Terdengar sonor pada ICS 1-5 dekstra dan ics 1-3 sinistra
- Terdengar pekak pada ICS 4-5 sinistra
Palpasi :
- Taktil fremitus teraba kuat kanan dan kiri
- Ictus cordis teraba pada ics 5 midklavicula sinistra line tinggi
denyutan ± 1 cm
Auskultasi :
- Suara nafas vesikuler
- BJ 1 : tunggal
- BJ II : tunggal
30
9. Perut : Bentuk Bising usus: Perkusi: Nyeri tekan:
abdomen: Normal Timpani Ada
Supel Meningkat Hipertimpani Tidak ada
Distensi Menurun Ket:
Terdengar pada Pembesaran
sebagian besar hepar:
lapang paru Ada
Tidak ada
Persebaran warna kulit merata dan tidak ada jejas
31
Ekstremitas atas :
- Terdapat luka abrasi pada siku kiri, punggung tangan kanan dan
kiri
Ekstremitas Bawah :
- Terdapat luka abrasi pada lutut kanan dan kiri
- Tidak teraba krepitasi
- Terdapat lebam dan bengkak pada kaki kana
- P : Nadi teraba lemah dan lambat
- M : klien mampu menggerakan kaki kanan dan kiri
- S : klien tidak berespon saat kaki di gores
11. Genetalia : Perdarahan abnormal: Keputihan abnormal:
Ada Ada
Tidak ada Tidak ada
Terpasang dower kateter no.16
Focused Asessment:
Klien mengalami penurunan kesadaran
Kesadaran : KOMA
GCS E1 Vx M2
Pupil anisokor diameter 4mm/3mm reflek cahaya -/-
Keluar darah dari hidung serta mulut
Suara napas terdengar gargling / ngorok
Tampak sedikit perdarahan di ujung kanan mata sebelah kanan
Terdapat luka robek pada kepala bagian oksipital sepanjang ± 5 cm tepi luka tidak rata
Terdapat benjolan berisi darah pada kepala bagian oksipital dengan diameter ± 3 cm
32
PEMERIKSAAN PENUNJANG
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN KET
DEWASA NORMAL
Hematologi
Hemoglobin (HGB) 13.70 g/dL 13.4 – 17.7 N
Eritrosit (RBC) 4.95 10 4.0 – 5.5 N
Leukosit (WBC) 15.06 103µL 4.3 – 10.3 H
Hematokrit 38.80 % 40 – 47 N
Trombosit (PLT) 384 103µL 142 – 424 N
MCV 78.40 fl 80 – 93 L
MCH 27.70 pg 27 – 31 N
MCHC 35.30 g/dL 32 – 36 N
RDW 13.20 % 11.5 – 14.5 N
PDW 12.1 fl 9 – 13 N
MPV 10.4 Fl 7.2 – 11.1 N
P-LCR 28.0 % 15.0 – 25.0 H
PCT 0.40 % 0.150 – 0.400 L
NRBC Absolute 0.04 103µL
NRBC Percent 0.3 %
Hitung Jenis
Eosinosil 0.4 % 0–4 N
Basofil 0.3 % 0–1 N
Neutrofil 76.1 % 51- 57 H
Limfosit 18,6 % 25 – 33 L
Monosit 4.6 % 2-5 N
Immature Granulosit 0.10 103µL
Immature Granulosit (1%) 0.70 %
Lain – Lain
FAAL HEMOSTASIS
PPT
Pasien 12.20 Detik 9.4 – 11.3 H
Kontrol 11.3 Detik
INR 1.18 < 1.5 H
APTT
Pasien 25.10 Detik 24.6 – 30.6 L
Kontrol 28.6 Detik
KIMIA KLIMIK
FAAL HATI
AST/SGOT 49 U/L 0 – 40 H
ALT/SGPT 30 U/L 0 – 41 N
Albumin 4.19 g/dL 3.5 - 5.5 N
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Drah Sewaktu 237 mg/dL < 200 H
FAAL GINJAL
Ureum 25.60 mg/dL 16.6 – 48.5 N
Kreatinin 0.94 mg/dL < 1.2 N
KIMIA KLINIK ELEKTROLIT
ELEKTROLIT SERUM
Natrium (Na) 138 mmol/L 136 - 145 N
Kalium (K) 3.20 mmol/L 3.5 - 5.0 N
33
Klorida (CI) 109 mmol/L 98 - 106 H
34
FOTO CT-SCAN
FOTO X-RAY
THORAX TULANG BELAKANG
35
PELVIS KAKI
LUTUT
36
TERAPI OBAT
Rute
Nama dan Dosis Obat Fungsi Obat
Pemberian
Nacl 0.9 %/20 m IV Digunakan untuk menggantikan cairan tubuh
yang hilang, sebagai pengatur keseimbangan
cairan tubuh, mengatur kerja fungsi otot
jantung, mendukung metabolisme tubuh dan
merangsang kerja saraf
Ranitidin 2x50g IV Digunakan untuk pengobatan jangka pendek
tukak usus 12 jari aktif, tukak lambung aktif,
mengurangi gejala.
Pengobatan untuk hipersekresi patologis
atau ulkus 12 jari yang sulit diatasi
Keterolac 2x50mg IV Untuk penatalaksanaan nyeri akut yang berat
jangka pendek (<5 hari)
Asam Tranexamat 3x500g IV Digunakan untuk menghambat aktivitas dari
activator plasminogen dan plasmin aktivitas
hemostatis, mencegah degradasi fibrin,
pemecah trombosit, pemecah faktor
koagulasi.
Indikasi : Perdarahan sesudah operasi,
edema angioneurotic herediter
Citicolin 3x250mg IV Keadaan Akut : Keadaan kehilangan
kesadaran akibat trauma serebral atau
kecelakaan lalu lintas serta operasi otak,
Keadaan Kronis : Gangguan psikiatrik atau
saraf akibat apopleksia, trauma kepala dan
operasi otak
Memperbaiki sirkulasi darah ke otak
sehingga termasuk stroke iskemik
Phenitoin 700mg dalam IV Digunakan untuk mencegah dan mengontrol
100cc NS, 3x100g kejang (Antikonvulsan atau obat antiepilepsi)
bekerja dengan mengurangi penyebaran
aktivitas kejang otak dan mengobati
beberapa jenis denyut jantung yang tidak
teratur
Manitol bolus 200cc IV Menurunkan tekanan intracranial yang tinggi
karena edema serebral, meningkatkan
diuresis pada pencegahan dana tau
37
pengobatan oliguria yang disebabkan gagl
ginjal, menurunkan tekanan intraocular,
meningkatkan ekskresi uriner senyawa toksik
sebagai larutan irigasi genitouriner pada
operasi prostat atau operasi transurethral
Piracetam 3gr IV Piracetam adalah obat yang berfungsi untuk
meningkatkan kemampuan kognitif tanpa
menimbulkan rangsangan pada otak.
38
ANALISIS DATA
Tgl No. Data Etiologi Masalah
Dx
5 1 DATA SUBJEKTIF Kecelakaan Ketidakefektifan
April - perfusi jaringan
2018 DATA OBJEKTIF Cedera otak primer serebral
Kesadaran koma
GCS : E1 Vx M2 Cedera otak
AVPU : Responds to pain only sekunder
Pupil anisokor 4 mm / 3mm
Reflek cahaya -/- Kerusakan sel otak
Klien mengalamai kejang meningkat
ringan
CRT kembali dalam 3 detik Gangguang
TD : 156/70 mmHg autoregulasi
Hasil lab
Faal hemostasis Aliran darah ke otak
PPT 12.20 detik (H) menurun
INR : 1.18 (H)
APTT : 25.10 detik (L) 02 menurun
Gangguan
metabolism
Asam laktat
meningkat
Odema otak
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
serebral
39
2 DATA SUBJEKTIF Kecelakaan Ketidakefektifan
- bersihan jalan napas
DATA OBJEKTIF Trauma kepala
Airway :
Nafas tidak paten Terputusnya
Terdapat sumbatan darah kontinuitas jaringan
yang keluar dari mulut dan tulang, jaringan kulit,
pangkal lidah jatuh ke otot, dan pembuluh
belakang darah
Terdengar suara nafas
gargling dan mengorok Perubahan sirkulasi
Breathing cairan
Kedalaman respirasi dangkal
Irama nafas ireguler CSS di lapisan
RR: 40x/menit
SpO2 : 98 % Edema serebri
Peningkatan TIK
Mesenfalon tertekan
Gangguan kesadran
Penumpukan secret
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
40
3 DATA SUBJEKTIF Kecelakaan Ketidakefektifan pola
- nafas
DATA OBJEKTIF
Keadaan Umum : Cedera
Klien tidak sadar Kepala
GCS : 1 x 2
Breathing :
Terdapat retraksi intercoctae Perdarahan
Nafas cepat dan dangkal Didalam otak
Irama pernafasan ireguler
Pergerakan dinding dada
simetris Peningkatan
Pola nafas takipneu TIK
Bunyi nafas vesikuler
TTV :
TD=156/70 mmHg Cedera jaringan
Suhu = 35,5 0C otak(kontusio)
Respirasi =40 x/menit
Nadi =68 x/menit
Saturasi =98 % Perubahan
dengan masker NRBM 10 autoregulasi
lpm
GDA =237 mg/dl
Hasil Lab: Gangguan
Kalium : 3.20 (L) neurologis fokal
Klorida : 109 (H)
Leukosit : 15.06 (H)
MCV : 78.40 (L) Kejang
P-LCR :28.0 (H)
PCT : 0.40 (L)
Ketidakefektifan pola
nafas
41
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Tgl No. Diagnosis Keperawatan
Dx
5 april 1 Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
2018 TIK
2 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
darah dan lendir pada jalan nafas
3 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan cidera otak, kerusakan
neurovaskuler
42
TUJUAN, KRITERIA HASIL, DAN RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
43
5 1 Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan 1. Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan
April keperawatan 3 x 24 jam koma/penurunan perfusi jaringan otak dan dalam pemulihannya setelah serangan awal,
2018 klien menunjukan status potensial peningkatan TIK. menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan
2. Pantau /catat status neurologis secara
sirkulasi dan tissue intensif.
teratur dan bandingkan dengan nilai standar 2. Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial
perfusion cerebral
GCS. peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
membaik.
3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan
NOC :
antara kiri dan kanan, reaksi terhadap
Circulation status kerusakan SSP.
Tissue Prefusion : cahaya. 3. Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
4. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi
cerebral berguna untuk menentukan apakah batang otak
nafas, suhu.
KH : masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh
5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan
Nilai GCS meningkat keseimbangan antara persarafan simpatis dan
membran mukosa.
yaitu 6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan parasimpatis. Respon terhadap cahaya
12 kenyamanan, seperti lingkungan yang mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf
Kesadaran tenang. kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
7. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad 4. Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh
membaik yaitu
sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. penurunan TD diastolik (nadi yang membesar)
compos mentis 8. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
menunjukkan merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika
9. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik,
konsentrasi dan diikuti oleh penurunan kesadaran.
steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif,
orientasi Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan
antipiretik.
pupil mata isokor, kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat
simetris +/+. mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Bebas dari aktivitas
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
kejang.
oksigen terjadi (terutama saat demam dan
Tidakada ortostatik menggigil) yang selanjutnya menyebabkan
hipertensi 44
2 Setelah dilakukan 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan 1. Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
asuhan keperawatan 3 x ventilasi menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
2. Auskultasi suara nafas, catat hasil penurunan
24 diharapkan klien menyumbat jalan napas.
daerah ventilasiatau tidak adanya suara
dapat mempertahankan 2. Untuk memonitor kepatenan jalan nafas
adventif 3. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
pola nafas yang efektif
3. Pantau frekuensi, irama dan kedalaman
NOC : pulmo atau menandakan luasnya keterlibatan otak.
Respiratory status : pernafasan. Catat ketidakteraturan
Pernafasan lambat, periode aprea dapat menandakan
Ventilation pernafasan
perlunya ventilasi mekanik
Respiratory status : 4. Pantau TTV klien
4. Dengan perubahan TTV mendadak dapat menentukan
5. Kolaborasi memberikan O2 sesuai advis
Airway patency peningkatan TIK dan trauma batang otak
Vital sign Status dokter
5. Memaksimalkan O2 pada arteri dan membantu dalam
KH :
1.Suara nafas yang mencegah hipoksia
bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu
2.Menunjukkan jalan
nafas yang paten (klien
tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam
rentang normal, tidak
ada suara nafas
abnormal
3.Tanda Tanda vital
dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi,
pernafasan) 45
3 Setelah diberikan askep 1. Monitor suara napas tambahan 1. suara napas tambahan dapat menjadi indikator
selama 3 x 24 jam, 2. Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi, gangguan kepatenan jalan napas
diharapkan bersihan jalan wheezing. 2. Adanya bunyi ronchi menandakan terdapat
nafas klien kembali efektif 3. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; penumpukan sekret atau sekret berlebih di jalan
dengan kriteria hasil: lakukan penghisapan sesuai keperluan. nafas.
NOC Label >> 4. Auskultasi sura nafas sebelum dan sesudah 3. Mencegah obstruksi atau aspirasi. Penghisapan
Respiratory status: suction dapat diperlukan bia klien tak mampu mengeluarkan
airway patency 5. Informasikan kepada keluarga mengenai sekret sendiri.
Frekuensi tindakan suction 4. Mengetahui adanya suara nafas tambahan dan
pernapasan dalam 6. Lakukan pemasangan OPA dan suction kefektifan jalan nafas untuk memenuhi O2 pasien
batas normal (16- 5. memberikan pemahaman kepada keluarga
20x/mnt) mengenai indikasi kenapa dilakukan tindakan suction
Irama pernapasn 6. Sebagai alat bantu supaya jalan napas tidak
normal tertutup
Kedalaman
pernapasan normal
Lidah klien tidak
menutupi jalan nafas
Tidak ada
sumbatan darah dan
lendir
Suara nafas
normal
46
IMPLEMENTASI
No.
Tgl Waktu Implementasi TT
Dx
Mengukur/mengobservasi TTV
(TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
Memberikan posisi head up 300
Menilai GCS klien
21.00
1 Memeriksa kondisi pupil meliputi reflek terhadap
cahaya dan diameter pupil
Memantau adanya tanda-tanda muntah proyektil, papila
6 april
edema, hipertermia , dan kejang
2018
Membatasi kunjungan keluarga
22.00 Mengukur/mengobservasi TTV
(TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
1
Memasang iv line di vena femoralis
Memberikan cairan infus NS 20 tpm
22.30 Mengukur/mengobservasi TTV
23.15 1 (TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
00.30
01.30 1 Mengukur/mengobservasi TTV
(TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
Memberikan obat injeksi ranitidin 50 mg, citicolin 250
mg, keterolac 30mg, asam tranexamat 500 mg
02.15 1 Mengukur/mengobservasi TTV
7 april 02.30 (TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
2018 02.30 1 Memberikan cairan infus mannitol 20% 200 cc
04.00 1 Mengukur/mengobservasi TTV
05.00 (TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
47
02.15 2 Mengukur/mengobservasi TTV
(TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
Mengurangi gerakan kepala dengan memasang
cervical collar
03.30 2 Mengeluarkan sumbatan lendir dan darah dari mulut
serta mayo dengan menggunakan suction
04.00 2 Mengukur/mengobservasi TTV
05.00 (TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
06.00 2 Mendengarkan suara nafas
Mengeluarkan sumbatan lendir dan darah dari mulut,
mayo serta hidung dengan menggunakan suction
07.00 2 Mengukur/mengobservasi TTV
(TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
00.30 3 Mengukur/mengobservasi TTV
(TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
01.00 3 Memperbaiki posisi klien head up 300
01.30 3 Mengukur/mengobservasi TTV
7 april (TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
02.15 3 Mengukur/mengobservasi TTV
2018
02.30 (TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
03.30 3 Mengeluarkan sumbatan lendir dan darah dari mulut
serta mayo dengan menggunakan suction
04.00 3 Mengukur/mengobservasi TTV
05.00 (TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
06.00 3 Mendengarkan suara nafas
Mengeluarkan sumbatan lendir dan darah dari mulut,
mayo serta hidung dengan menggunakan suction
07.00 3 Mengukur/mengobservasi TTV
(TD,nadi,RR,suhu,SpO2)
48
EVALUASI
No.
Tgl Waktu Evaluasi TT
Dx
S:
Klien mengalami penurunan kesadaran
O:
RR : 27 x/menit
Suara nafas terdengar stridor gargling dan ngororok
Terdapat suara nafas vesikuler
Irama nafas ireguler
Klien tidak mampu mengeluarkan sumbatan secara
mandiri
Jalan nafas paten dengan menggunakan opa
7 April
1 07.00 Terdapat sumbatan berupa lendir dan darah
2018
Klien menggunakan otot bantu pernafasan
Tidak ada suara nafas tambahan baik ronchi
maupun wheezing
- - - -
- - - -
- -
Ronchi Wheezing
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
2 7 April 07.00 S:
2018 Klien mengalami penurunan kesadaran
O:
Klien terpasang ETT 7cm dengan O2 15 lpm
Terpasang mayo 100 mm
Suara nafas vesikuler tidak terdapat suara nafas
tambahan
Klien menggunakan otot bantu pernapasan dada
Suara napas terdengar stridor
Masih terdapat sumbatan berupa darah dan lender
pasien terlihat sesak napas
Pola nafas irregular
TTV
49
TD : 124/66 mmHg
N : 144 x / menit
S : 370C
RR : 27 x / menit
SpO2 : 100 %
A: Masalah Teratasi Sebagian
P: Lanjutkan Intervensi
3 7 April 07.00 S:
2018 Klien mengalami penurunan kesadaran
O:
K/U : jelek
Kesadaran : koma
GCS : E1 Vx M2
Klien terpasang infus NS 20 tpm di femoralis
Klien tampak gelisah
Pupil isokor dengan diameter 4mm/4mm
Reflek cahaya -/-
Urine output 700 cc /8 jam
A: Masalah Teratasi Sebagian
P: Lanjutkan Intervensi
50
IMPLEMENTASI
Tanggal Jam No.Dx Implementasi
07 April 07.30 1 Mengukur/mengobservasi TTV
2018 (TD,Nadi,Suhu,RR,SpO2)
08.00 Memeriksa GCS
08.10 Memperbaiki posisi head up 30º
08.40 Memeriksa reaksi pupil mata (reflek cahaya)
Membatasi kunjungan keluarga
51
EVALUASI
52
IMPLEMENTASI
15.30
53
2 7-4-2018 14.00 1. memantau pergerakan dinding dada.
14.00 2. memantau RR/irama pernafasan.
17.35 3. melihat pada pasien apakah terjadi batuk
atau tidak.
17.36 4. melihat apakah pasien mengeluarkan
secret atau tidak.
15.00 5. berkolaborasi pemberian manitol 100 cc.
54
EVALUASI
55
3 7-4-2018 19.35 S:-
WIB.
O : -Airway: paten
-Breathing : spontan.
-Circulasi : lancar.
-TD :135/80 mmHg, S: 38,5°C, N :
168x/mnt, RR : 37x/mnt.
-SPO2 : 99-100%.
-terdapat retraksi dada
-Pasien terlihat gelisah ekstremitas atas dan
bawah terlihat terpasang restrain.
A : Masalah teratasi sebagian.
P : Lanjutkan intervensi.
56
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Yang dapat disebabkan karena trauma tajam (Trauma oleh benda tajam) dan trauma
tumpul (Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)).
Dari kasus diatas dengan diagnosa medis cidera kepala didapatkan 3 diagnosa yang
keperawatan yang terdiri dari Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan penumpukan darah dan lendir pada jalan nafas, Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan cidera otak, kerusakan neurovaskuler, Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK.
3.2. SARAN
Saran yang dapat disampaikan yaitu
1. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera kepala
2. Dapat menentukan Batasan GCS
3. Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien dengan cidera
kepala
4. Dapat memberikan Pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun klien, baik di
rumah sakit maupun di lingkungan sekitar.
57
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M, (et al).2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th Edition.
Missouri: Mosby Elsevier
Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala. Bagian/SMF Ilmu
Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat
darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta: Deltacitra
Grafind.
Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw Hill
Professional.
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta:
EGC
Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012
Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arief. 2010. Kapita Selekta Kedokteran , edisi 4. Jakarta : Media
Moorhed, (et al). 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th Edition. Missouri:
Mosby Elsevier
Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta:
EGC
Muttakin, arif. 2008. Asuhan keperawatan dengan klien gangguan sistem persyaratan.
Jakarta : Salemba Medika
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi, Dan Klasifikasi 2012-
2014/Editor, T. Heather Herdman; Alih Bahasa, Made Sumarwati, Dan Nike Budhi
Subekti ; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Barrah Bariid, Monica Ester, Dan Wuri
Praptiani. Jakarta; EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar Keperawatan
Emergensi. Jakarta: EGC.
PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.
58
Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation.
59